Dari Penulis
Rata-rata pemeluk agama Budha hanya tahu prihal Dewi yang Maha
Pemurah, Maha Suci dan Maha Sakti ini dari penuturan teman atau
membaca cerita Sie Yu (Perjalanan ke Barat), yang penuh dengan
kejadian gaib serta adu kesaktian antara Dewa dan makhluk jejadian;
atau cerita-cerita lainnya yang melibatkan Dewi Kwan Im. Akan tetapi
jarang sekali yang tahu persis mengenai riwayat Dewi Welas Asih ini.
Wajah wanita itu mirip benar dengan Uma Parwati, hingga para
penduduk percaya bahwa Uma Parwati telah menjelma menjadi
seorang Dewi.
Versi lain dari Dewi Uma Parwati, disamakan dengan Dewi Umna
Kanya, yang dipandang sebagai 'isteri' Dewa Shiwa, yang kini dikenal
sebagai Dewi Durga Kali yang sakti tapi kejam. Padahal, di zaman
dulu, ia dilukiskan sebagai Dewi yang murah hati, Pengasih dan
Penyayang, membuatnya dijuluki sebagai 'Suara Tuhan', yang
mencipta dan memberi wujud pada fikiran.
Tong Hian Chong berangkat dari Si-an ke India pada tahun 629 dan
kembali lagi ke Tiongkok pada tahun 645 dan hal itu memang tercatat
dalam sejarah Tiongkok. Dewi Kwan Im di Jepang disebut Kwan-non,
sedangkan dalam bahasa Sanskerta-nya disebut 'Avalokites'vara
Bodhisatva', yang berarti 'Dewi yang memandang ke bawah dengan
penuh belas kasih'. Dan bagi umat yang percaya, sesungguhnya Dewi
Kwan Im memiliki kekuatan rohani yang tiada taranya.
Dan pada zaman Tong Tiauw justeru telah terjalin akrab hubungan
antara kerajaan Tiongkok dan Tibet. Dengan demikian jelas, bahwa
pemujaan Dewi Kwan Im di Tiongkok, yang kemudian berkembang ke
Timur Jauh dan Asia Tenggara, berasal dari India melalui Tibet.
S a l a m,
Pendahuluan
Yang paling cemas adalah ratu Pao Te, setiap hari tekun
beribadah.
Sekama tujuh hari tujuh malam Vihara itu penuh diisi oleh
suara lonceng, tambur yang dipukul bertalu-talu, ditambah lagi
dengan irama tabuan lainnya, yang berbaur dengan suara do’a
para Bikhu.
“Akan kucoba”.
Sementara itu, dewa dari gunung Hoa san berkata lagi, “Saya
dengar, belum lama berselang ada dua orang Shih bersaudara
yang karena penolakannya terhadap permintaan pemimpin
perampok, telah mengakibatkan keluarga Tai jadi korban
kebuasan Wang Che dan anak buahnya. Memang Shih
bersaudara boleh dikatakan sebagai penyebab dari
pembantaian tersebut, tapi hal itu dilakukan di luar sadar
mereka. Mengingat pula nenek moyang mereka telah begitu
taat menjalankan perintah agama, maka saya sangat
mengharapkan Baginda sudi mempertimbangkan kembali
keputusan sebelumnya, dengan memberi kesempatan pada
mereka untuk dilahirkan kembali ke dunia, agar mereka dapat
menebus kesalahan sebelumnya”.
“Tidak bias, sebab bila kita penuhi hasratnya itu, bukan saja
takkan menghilangkan nafsu Miao Chuang yang haus akan
kekuasaan, begitu pula dia akan berkesimpulan bahwa untuk
memperoleh sesuatu, cukup dengan menyodorkan sajian yang
melimpah, permintaannya tentu akan terpenuhi. Kesan
demikian akan meluas ke umat lainnya, yang dapat
mengakibatkan manusia di dunia akan berlomba mencari
kekayaan tanpa menghiraukan ada fihak lain yang dirugikan
bahkan dihancurkan! Dan orang-orang yang punya uang, akan
berbuat sewenang-wenang memuaskan nafsu serakahnya, tak
takut berbuat dosa, toh mereka berpendapat, dosanya itu dapat
ditebus dengan kekayaan, dengan mempersembahkan sajian
yang melimpah kepada kita. Bila sudah demikian halnya, siapa
lagi yang akan memperdulikan larangan agama dan dunia akan
jadi kacau dan tambah banyak umat yang benar-benar taat
menjalankan perintah agama yang menderita hidupnya. Dan
pada gilirannya nanti, mereka juga akan berbuat seperti orang
lainnya, menjadi rakus, kejam dan mendewakan uang! Semua
orang akan berpendapat : tolol sekali manusia yang tak sudi
ikut gila di dunia yang edan ! Manakala sudah demikian
keadaannya, dimana lagi kewibawaan kita sebagai Dewa?”.
Betapa suka cita dia, dipanggilnya tabib yang baik untuk selalu
memeriksa kandungan permaisurinya.
Tak kurang gelisahnya adalah ratu Pao Te, sebab pada zaman
itu, pandangan masyarakat lebih mementingkan anak laki-laki
daripada anak perempuan. Mereka berpendapat, bahwa anak
laki-laki akan memberinya keturunan langsung, meneruskan
Marga (She)-nya. Dan bagi seorang raja, hal itu lebih penting
lagi, sebab putera mahkotalah yang akan selalu meneruskan
dinastinya.
Sebagai Dewi yang berhati welas asih, amat iba Dewi Che
fang menyaksikan segalanya itu.
Dalam benak raja merasa yakin, bahwa anak yang akan lahir
tentulah berjenis kelamin laki-laki, yang akan jadi putera
mahkota yang akan mewarisi singgasananya.
Tiada terlihat tanda tanda yang luar biasa menjelang anak itu
dilahirkan.
Kalau Miao Yuan dan Miao Yin sangat manja dan angkuh,
sebaliknya Miao Siang amat sopan dan penuh belas kasih,
sering ia memberikan sesuatu kepada orang yang
membutuhkannya, baik itu merupakan makanan, uang maupun
benda benda lain miliknya yang cukup berharga.
Sering dia diolok olok oleh kedua kakaknya, ”Tolol benar kau
bukannya kau makan dan pakai sendiri malah diberikan kepada
orang lain”.
”Saya kasihan melihat anak anak orang miskin itu kak, mereka
tak mampu membeli mainan seperti kita, maka apa salahnya
kalau kita berikan sebagian mainan dan pakaian kita yang
berlebihan kepada mereka?”.
”Benar benar sangat aneh sifatmu ini”, kata Miao Yuan, ”jutaan
rakyat yang mengharapkan dapat hidup senang seperti kita, tak
seorang pun yang dapat mencapai apa yang dicita citakannya
itu. Tapi kau, segala fasilitas untuk hidup senang telah tersedia
di hadapanmu, tak pernah kau manfaatkan malah sebaliknya
ingin hidup sederhana”.
Maka harapan satu satunya kini tertumpu pada diri Miao Siang.
Miao Siang menyadari akan sifat ayahnya, maka dia reda tidak
ngotot lagi: ”Bila ayah menginginkan saya menikah, baiklah tapi
ada syaratnya”.
”Kau menyindir kami ya?”, kata Miao Yuan dan Miao Yin
hampir bersamaan, jelas kalau mereka merasa tersinggung.
”Ini kan taman istana, tak ada tanda larangan bagi tamu
kerajaan untuk memasuki taman ini”, pemuda itu
mengembangkan senyum simpatik.
”Maaf bila aku telah salah berkata”, perlahan suara Miao Siang
sambil menunduk, ”semula kukira kau sengaja diutus oleh
ayahku!”.
”Jangan sok jual mahal kau!” pemuda itu tetap senyum, ”baru
sekali ini kutemui anak tukang kebun yang menolak jadi istri
pangeran tampan”.
”Jangan kata baru pangeran, biar raja sekalipun, aku tatap tak
sudi! .... Sebaiknya kau segera meninggalkan taman ini, atau
akan kupanggil pengawal untuk menangkapmu!”.
”Galak benar kau ini?” pemuda itu lebih mendekati Miao Siang
bermaksud memeluknya.
”Aku jamin kau takkan kecewa bila jadi istriku”, kata pemuda itu
lagi, ”kau kusediakan istana yang jauh lebih mewah dari yang
dimiliki raja Miao Chuang, ribuan pelayan serta permata
setinggi gunung. Aku jamin hidupmu seperti di Sorga”.
”Siapa Kung kung?”, tanya Miao Siang lirih, jauh lebih tenang
perasaannya sekarang.
”Aku adalah Dewa Jen teng yang diutus oleh Giok Tee untuk
menguji keteguhan imanmu”, sahut si kakek.
Pada suatu hari , Miao Yuan dan Miao Yin kembali datang ke
taman musim semi kerajaan.
”Segalanya asal kita rawat baik baik tentu akan tumbuh subur
dan segar” kata Miao Siang.
”Setelah pohon dapat kau rawar baik baik, kenapa justru dirimu
sendiri kau biarkan lusuh begini?”.
”Hidupku ini memang bukan buat diri pribadi, tapi buat semua!”
kata Miao Siang.
”Sabar, sabar! Apa selama ini aku kurang sabar?!”, raja Miao
Chuang masih tetap mendongkol, ”kalau saja dia bukan darah
dagingku sudah lama kusuruh algojo memenggal batang
lehernya”.
Vihara Pek Chiao Chan su dibangun oleh raja Oey tee (raja
Kuning), yang pada saat itu dipimpin oleh Ie Yu, yang
membawahi sekitar 500 Nikouw (Bikhuni).
Selagi Miao Siang ragu, tiba tiba terdengar suara dari ruang
dalam, suara laki laki : ”Siapa di luar?”.
Agek kaget juga Miao Siang ketika mendengar suara itu, tapi ia
cepat menenangkan diri.
”Tak usah ragu, masuk saja, pintunya tidak dikunci!”, suara laki
laki itu lagi, sabar nadanya.
”Tak usah kau tahu siapa aku ini, sebab itu tak penting bagiku
maupun bagimu, cukup asal kau memanggilku Suhu (guru)
saja”.
”Baiklah suhu”, Miao Siang segera berlutut di hadapan Bikhu
tua itu, ”terimalah sembah sujud dari Tee cu (murid)”.
Miao Siang segera lari keluar, bersujud tiga kali kearah barat
sebagai pengungkapan rasa terima kasihnya kepada Giok Tee,
kemudian baru masuk kembali ke dalam ruang.
"Tak usah kau sedih, sebab setiap ada pertemuan pasti akan
berakhir dengan perpisahan, itu sudah menjadi hukum alam;
tak ada yang langgeng di dunia ini!
"Baik Suhu", biar di mulut Miao Siang berkata begitu, tapi dia
tetap belum beranjak dari tempat duduknya.
"Lekas kau ke ruang 'Tiga Kesucian' !", kata Bikhu tua itu lagi,
disusul dengan gaib (sima)-nya dari hadapan Miao Siang.
Hampir saja Miao Siang berteriak : "Suhu !", tapi untung dia
masih dapat mengendalikan diri, memusatkan perhatiannya lagi
ke satu titik.
"Coba kau tuturkan dari awal !", permtah Raja Miao Chuang.
"Saya yakin diri saya sangat waras dan yang kurang waras
adalah lingkungan di sekitar kita ini, di lingkungan istana
terutama, yang akhir-akhir ini telah berlangsung pencemaran
atas martabat dan peranan manusia secara teratur dan terus
menerus, yang mengakibatkan kemerosotan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Tegasnya, manusia dewasa ini terancam
berbagai kemelut, ya kemelut akhlak, kemelut keyakinan
kepada agama, juga kemelut mental, banyak yang
mendewakan uang/ kekayaan, sehingga manusia, terutama
pimpman dan rakyat dari kerajaan Sing Lin ini, bagaikan berada
di ambang kebinasaan.
"Harus kau ketahui nak, sulit sekali bagi manusia biasa untuk
dapat mencapai kesempurnaan'*, sang ayah masih berusaha
membujuknya, "menolong umat Budha adalah umsan para
Bikhu/Bikhuni dan para Dewa !"
"Jangankan baru puteri Raja seperti saya, yang jadi Raja juga,
bila telah bulat tekadnya, akan dapat menembus segala
kesulitan", kata Miao Siang, "contoh yang paling gamblang
adalah sang Budha Gaiitama, yang kita kenal sekarang sebagai
Ji Lay Hud!"
Tapi aku tahu benar watak Che Fang yang berdiam di gua-
garba (jasad) Miao Siang itu, ia takkan mau dibantu oleh
siapapun. Karenanya, pada akhimya Miao Siang akan mati
akibat dijerat lehernya oleh tali sutra. Usahakanlah, pada saat
rohnya meninggalkan jasadnya, robahlah dirimu menjadi seekor
harimau dan bawa jenazahnya ke dalam hutan dan masukkan
sebutir Sian-tan (pil mujijat) ke dalam mulutnya,
agarjenazahnya tetap utuh dan tidak membusuk ! Manakala roh
Miao Siang atau tepatnya penjelmaan Che Fang itu kembali
lagi ke bumi dan masuk pula ke jasad Miao Siang, jasad itu
hams tetap berada dalam keadaan baik. Bila dia telah hidup
lagi, dirinya akan menuju ke gunung Siang-san, di pulau Pu To.
Kala itu Touw Ti, Dewa Tanah, melihat Kim Bo (Ibu Emas)
yang sedang melayang di angkasa. Segera meminta tolong
padanya untuk bantu menyelamatkan Miao Siang.
"Itu hanya alasan yang kau buat-buat saja !", tetap lantang
suara sang Raja, "yang jelas kau ingin membangkang
perintahku !"
"Ampun Tuanku, sesungguhnya hamba telah melaksanakan
permtah Paduka", gemetar suara maupun tubuh Kim Jiauw,
sebab dia menyadari, apa akibatnya orang yang dicap
membangkang perintah Raja.
"Boleh coba!"
"Aku tak peduli", kata Roh Miao Siang, "aku ingin ber temu
dengan Dewa Abadi!".
Roh Miao Siang kembali mgin menerobos masuk, tapi dirinya
kembali di pingpong oleh pukulan-pukulan kedua raksasa itu,
meuibuat kepalanya bertambah pusing.
"Kini telah hamba sadari kesalahan itu Paduka", kata Dewi Che
Fang segera.
"Aku Dewa baru di sini, telah diperintah oleh Dewa Abadi untuk
mengejarmu, Miao Siang".
"Ngaco !"
"Eh, galak juga kau !", sang Dewa tersenyum, "menurut Dewa
Abadi, kau sangat sabar, tak tahunya segalak ini. Biarpun
begitu, aku tetap bersediajadi suamimu".
"Dewacinta!"
Kim Tong, Giok Lie dan Oey Liong segera mengiringi rohnya
Miao Siang.
"Boleh saja kau bilang tak takut, tapi kalau sudah jadi mangsa
binatang buas atau orang jahat, bukankah kau mati secara sia-
sia!?"
"Aku..."
"Terima kasih atas tawaranmu yang tulus itu", kata Miao Siang,
"lalu apa bedanya dengan kehendak ayahku bila sekarang
kuterima tawaranmu ? Maaf, aku tak dapat menerima ajakanmu
itu!"
"Asal kita memiliki kemauan dan bulat tekad kita, apa pun
dapatkitacapai'."
"Tapi, apa yang telah dapat kau capai sekarang? Buktinya kau
tercampak sendirian di dalam hutan !"
"Benar-benar aneh kau ini, diajak senang tak mau, malah ingin
menyengsarakan diri!"
Tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Pemuda itu
mendadak lenyap, sebagai gantinya di hadapan Miao Siang
berdiri Ji Lay Hud.
"Aku adalah Budha dari Barat", kata Ji Lay Hud, sabar lagi
berwibawa sikapnya, "aku sengaja ke mari untuk melihat
sampai di mana tekadmu dalam mencari kesempumaan
hidup?!
Biarpun perjalanan itu cukup jauh dan sulit medan yang harus
dilalui, tapi telah bulat tekad Miao Siang untuk dapat mencapai
tempat tujuan itu.
Dalam waktu yang tak begitu lama, Miao Siang sudah tiba di
pantai Che-kiang.
"Maaf Kung-cu, aku hanya dapat mengantarmu sampai di sini
saja", kata sang harimau.
"Oh kau Oey Liong", Miao Siang tak pemah dapat melupakan
peristiwa itu, "senang sekali dapat bertemu denganmu lagi".
Namun belum jauh dia mendaki, telah dicegat oleh seekor ular,
yang temyata siluman ular yang telah mengangkat dirinya
sebagai Raja di gunung itu.
"Aku telah diminta oleh Ji Lay Hud untuk datang ke mari", Miao
Siang menerangkan, "untuk bergabung dengan para Makhluk
Suci yang bermukim di Vihara di atas gunung ini".
"Di atas gunung ini memang ada Vihara tua, tapi tak ada
penghuninya", kata siluman ular itu, "setiap orang yang ingin ke
sana harus mendapat izin dariku".
"Aku tak peduli, pokoknya, siapa saja yang ke mari, baik itu
manusia ataupun Dewa, harus minta izin dariku, sebagai
penguasa tunggal di sini!"
"Atau begini saja, anggap aku meminjam pulau ini", Miao Siang
mengusulkan, "bukan untuk kepentingan pribadiku, tapi buat
seluruh orang yang ingin mencari kesempumaan hidup".
"Baik!"
"Jangan ingkar janji kau!", Miao Siang minta kepastian.
"Aneh, biasanya aku tak pemah gagal", kata siluman ular itu
sambil menggaruk-garuk kepala, "tapi kenapa hari ini bisa
begini!?"
"Selain Ji Lay, tak ada lagi orang suci yang dapat menyamai
keagungan, kewelas-asihan dan kesempumaannya", kata
Dewa penunggu pulau Pu To. "Rupanya memang sudah
menjadi takdir, bahwa Miao Siang akan menjadi pemimpin dari
beberapa ribu Pu Sa(PoSatatau Bodhisatva). Untuk itu, pada
Lakgwee Cap-kauw (tanggal 19 bulan keenam menurut
penanggalan Tionghoa), kita akan memperingati sebagai hari di
mana ia telah berhasil mencapai kesempumaan, dan
mendaulatnya ke atas takhta kesucian, agar seluruh dunia
memperoleh berkahnya".
Dalam waktu yang tidak terialu lama, telah diperoleh cara yang
dianggapnya cukup baik.
"Kau memang pemuda yang baik lagi jujur, Shan Chai", kata
Miao Siang.
"Itu rahasia alam, pada saatnya nanti akan kau ketahui sendiri,
siapa sebenamya kau ini! Untuk itu kau hams sabar dan tekun".
"Baik Dewi".
Hai Liong Ong memilih sejumlah mutiara yang terbaik dan amat
menyilaukan pandang, lalu menyumh puterinya segera
membawanya ke tempat bersemayamnya Miao Siang.
Kisah Liong Lie, puteri Raja Naga juga berbeda dengan yang
telah diceritakan di bagian atas.
Untung kejadian itu diketahui oleh Dewi Kwan Im, yang segera
menaklukkan sang siluman dan merobah bentuknya sebagai
gadis remaja yang manis, yang diberinya nama Liong Lie
(Gadis Naga).
SEMBILAN
Perbuatan Raja Miao Chuang yang telah membakar Pek
Chiao Chan-su (Vihara Burung Putih) dan begitu sampai hati
menyuruh algojo untuk membunuh puteri bungsunya, hanya
lantaran sang puteri tak sudi mendengar kata-katanya; telah
me- nimbulkan kemarahan para Dewa dan Dewi dari
Kahyangan (De- wachan), terutama sekali Dewi Chieh Lan,
yang langsung mem- protes kepada Giok Tee : "Kita tak boleh
membiarkan perbuat- an yang sewenang-wenang dari Miao
Chuang itu Baginda, kita harus mengajar adat padanya".
Kedua puteri Raja Miao Chuang : Miao Yuan dan Miao Yin
beserta suaminya masing-masing, bukannya merasa sedih atas
sakit yang diderita ayahnya, malah terus saja mengumbar
kesenangan sendiri-sendiri.
SEPULUH
Di sebuah ruang rahasia di tempat tinggal Kepala Rumah
Tangga Istana, tampak tiga orang yang sedang berunding. Se-
rius sikap mereka, tampaknya mereka sedang merundingkan
se suatu yang amat penting.
***
***
Tampaknya, tak lama lagi jiwa Chao Chen akan segera me-
layang oleh senjatanya sendiri.
Namun tiba-tiba seperti ada tenaga.luar biasa yang me-
nyampok pedang itu hingga lepas dari pegangan Chao Chen.
Tabib penjelmaan Miao Siang masuk, memungut pedang
seraya berkata : "Hanya orang tolol saja yang mau membunuh
diri, sebab rohnya takkan dapat diterima di Nirwana!".
"Tapi saya malu . . .", Chao Chen tak dapat meneruskan
ucapannya.
***
Kurang dari sehari, tabib itu telah selesai meramu obat ter-
sebut.
"Harap Sri Ratu menitah pelayan untuk mengoleskan ra-
muan ini ke tubuh Baginda bagian kiri", pesan sang tabib
sambil menyerahkan ramuan itu pada Ratu Pao Te, "semoga
gering Baginda dapat segera sembuh".
"Terima kasih", kata Ratu Pao Te.
Lauw Chin ragu, tak sampai hati dia melakukan hal itu lagi.
"Cepatlah", kata Miao Siang tetiron lagi, "agar tidak ter-
lambat mengobati sakit ayah saya!"
Pada mulanya Lie Sing ragu, tapi setelah didesak dan demi
tugas juga, terpaksa dia melakukannya dengan berat hati.
Tangan kanan dan mata kanan Miao Siang tetiron itu dile-
takkan di atas baki, kemudian dibungkus rapi.
SEBELAS
Raja Miao Chuang menyelenggarakan sembahyang besar-
besaran, sebagai pengungkapan rasa syukumya kepada Thian,
bahwa dia telah diberikan kesembuhan dari penyakit aneh,
yang membuatnya menderita lahir bathin bertahun-tahun
lamanya.
kau berhadapan?"
"Kami tak peduli siapapun", kata pemuda berjubah pu-
tih itu, "pokoknya setiap orang yang melewati tempat ini ha-
rus menyerahkan seluruh barang bawaannya, bila tidak, jangan
harap bisa lewat!"
"Kita akan pesta besar dik!", kata pemuda itu pada gadis
yang berpakaian serba hijau, "daging Thian-cu (Anak Langit/
Raja) dan Permaisuri tentunya sangat empuk!"
"Sebaiknya kita sekap dulu", kata si gadis, "kita makan
pada saat bulan pumama nanti".
"Saran yang bagus . . . Huaaa ha ha . . . ", pemuda itu ter-
tawa besar.
Akan tetapi ilmu anak buah Pek Siong dan Ceng Say cu-
kup tinggi, temyata tubuh mereka hanya hangus sementara dan
di lain saat telah pulih lagi seperti sedia kala, meneijang maju
pula.
Tinggal kini Ang Hai Ji dan Hay Liong Ong yang bertugas
membebaskan Raja Miao Chuang beserta Permaisuri dan para
pembantu lainnya.
Ang Hai Ji dan Hay Liong Ong gaib dari pandangan rom-
bongan Raja Miao Chuang. Mereka tidak mendampingi lang-
sung perjalanan Raja selanjutnya, tapi melindungi secara diam-
diam dan memberi bantuan bila mana diperiukan.
Miao Siang turun dari altar, menghampiri orang tua dan ke-
dua kakaknya.
Miao Yuan dan Miao menunduk malu.
DUA BELAS
Di wajah Ceng Say dan Pek Siong mulai timbul harapan lagi.
Orang tua dan kedua kakak Miao Siang sangat tekun mem-
pelajari Dharma.
Berkat bimbingan Miao Siang, bukan saja orang tua dan kedua
kakaknya telah menyadari kesalahan dan melepaskan kese-
Dan Miao Yin digelari pula sebagai Pu Sa yang amat bajik dan
gemUang, menunggang Gajah Putih (Pek Siong).
TAMAT
SEKILAS MENGENAI
PULAU PU TO
Ingat akan hal itu, Bikhu Hwie Ngo jadi malu sendiri, berlutut di
hadapan arca Dewi Kwan Im seraya berkata : "Tay-su, saya
amat terpesona melihat patung Tay-su yang begitu indah
agung, yang tak pemah ada di negeri saya. Maka saya
bermaksud membawa pulang ke Jepang, agar Tay-su juga
dipuja oleh umat Budha di sana. Tapi seandainya Tay-su tak
berkenah saya boyong ke Jepang, biarlah saya yang akan ikut
ke tempat yang dikehendaki oleh Tay-su".
***
Tamat