Anda di halaman 1dari 12

Arjuna dan Ekalaya (Ekalaya kembali ke

Paranggelung)
https://caritawayang.blogspot.com/2012/07/arjuna-dan-ekalaya-ekalaya-kembali-
ke.html?m=1

Oleh hery_wae 11:40


Aswatama bermaksud membesarkan hati Anggraeni dan Ekalaya
yang sedang berada dalam keterpurukan. Ia menggarisbawahi
pendapat Anggraeni, bahwa hidup yang dianugerahkan jauh
lebih berharga dibandingkan dengan pusaka andalan
Paranggelung yang dimiliki Ekalaya sejak bayi. Walaupun kini
pusaka yang diandalkan itu telah lepas dari dirinya dan Ekalaya
menjadi orang biasa yang tidak berilmu dahsyat, Anggraeni
mengalami suka cita ketika didapati suaminya mulai sadar dan
lukanya berangsur-angsur pulih.
Ekalaya bangkit untuk duduk. Ia memandangi tangannya yang
luka. Dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada
dirinya. Ia melihat Anggraeni yang berada sangat dekat dengan
dirinya. Juga Aswatama yang berada tidak jauh dari dirinya. Ya,
di bilik inilah ia telah mempersembahkan pusaka andalannya
kepada Sang Guru Durna.

“Terima kasih Anggraeni, terima kasih Aswatama. Kalian telah


merawat aku. Mungkin saat ini adalah saat akhir kita saling
bertemu. Karena apa yang berharga dalam hidupku telah hilang,
aku persembahkan kepada Guru Durna.”

“Jangan berkata begitu Kangmas, bukankah yang paling berharga


dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri? Dan Kangmas Ekalaya
masih memilikinya?”

“Engkau benar isteriku. Namun hidup tanpa ilmu dan kesaktian


tidak lebih berharga dibandingkan dengan daun jati kering.”

“Tidak demikian Kangmas Ekalaya, engkau sangat berharga


bagiku, karena cinta dan.kebijaksanaan masih ada padamu.”

“Anggraeni, engkau tahu ketika kita pergi berguru, rakyat


Paranggelung berjubel mengantar kita hingga tapal batas
negaragung Paranggelung. Harapannya adalah, kelak ketika Sang
Raja pulang kembali tentu kesaktiannya akan semakin dahsyat.
Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebaliknya.. Bukan
raja berilmu dahsyat yang didapat, tetapi raja yang lemah tak
berdaya tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Tentu saja rakyat
akan kecewa.”

“Menurutku tidak demikian Kangmas, karena kejadian ini bukan


kehendak kita dan bukan salah kita. Jika kita ceritakan dengan
jujur, rakyat tentu akan menerimanya, dan bahkan bangga
mempunyai raja bijaksana dan penuh cinta. Karena
sesungguhnya dua hal itulah yang paling dibutuhkan rakyat.”

Mata Ekalaya berkaca-kaca. Dari kata-kata yang telah


diungkapkan isterinya, ia mampu melihat cahaya harapan di
tengah tragedi hidup yang gelap pekat.

Walaupun berat, Ekalaya berusaha membangunkan sikap batin


untuk bangkit menyongsong masa depan dengan penuh
semangat.

“Yah! Memang benarlah, aku masih mempunyai kebijaksanaan


serta masih mencintai rakyatku. Anggreni, aku mau pulang ke
Paranggelung. Ingin segera mengabarkan kepada rakyatku
bahwasanya aku telah terperdaya oleh sosok guru yang aku
hormati dan aku kagumi.”

“Baik Kangmas, aku siapkan segala sesuatunya. Namun


sebaiknya, di sisa malam ini Kangmas beristirahat sejenak, nanti
sebelum wajar menyingsing kita akan mengucapkan selamat
tinggal kepada bumi Sokalima.”
Ekalaya mengangguk perlahan. Matanya mulai dipejamkan.
Sebelum benar-benar terlelap, sayup-sayup terdengar kidung
malam yang lembut menusuk kalbu.

Nalikanira ing dalu


wong agung mangsah semedi
sirep kang bala wanara
sadaya wus sami guling
nadyan ari sudarsana
wus dangu nggenira guling.
Kukusing dupa kumelun
ngeningken tyas sang apekik
kawengku sagung jajahan
nanging sanget angikipi
sang Resi Kanekaputra
anjog saking wiyati

Kidung Kinanthi yang dikumandangkan dari samping Pendopo


Agung Sokalima oleh Bekele Gandok tersebut menceritakan
kebiasaan Prabu Rama Wijaya, Raja Pancawatidenda ketika
malam mulai tiba. Pada saat balatentara kera telah lama terlelap
dalam tidur, termasuk juga Lesmana Widagda adiknya, sang raja
melakuan meditasi, untuk kemudian membakar dupa dan
berdoa, memohon kepada Sang Hyang Wenang, agar seluruh
balatentara dan rakyat yang termasuk dalam wilayah
kekuasaannya mendapatkan berkah ketenteraman, keselamatan,
serta terhindar dari segala marabahaya. Dari syair kidung yang
ditulis, doa Prabu Ramawijaya dikabulkan, yang ditandai dengan
turunnya Resi Kanekaputra untuk memberikan anugerah. Oleh
karena sikap Prabu Ramawijaya, rakyat Pancawatidenda merasa
tenteram dan bahagia mempunyai sosok raja yang
memperhatikan dan mencintai rakyatnya. Bahkan dalam
suasana perang pun, yaitu ketika balatentara kera yang dipimpin
Prabu Ramawijaya sedang mendirikan perkemahan di Swelagiri
untuk menyerang Alengkadiraja, rasa tenteram dan bahagia
tidak lepas dari hati mereka.

Benar juga kata Anggraeni. Sesungguhnya hal utama yang


dibutuhkan rakyat adalah dicintai dan diperlakukan dengan adil.
Prabu Rama telah memilih yang terbaik untuk diberikan kepada
balatentara dan kawulanya di seluruh wilayah jajahannya.

Ekalaya merasa bangga mempunyai isteri Anggraeni, yang


mampu membesarkan hatinya dalam ketidakberdayaan.
Memberikan cahaya ketika gelap gulita melanda jiwanya. Oleh
karenannya Sang Ekalaya masih mampu menggenggam
ketenteraman dan menumbuhkan semangatnya dalam keadaan
yang paling terpuruk. Buktinya, ia segera terlelap tidur, sesaat
setelah kidung malam dikidungkan.

Pagi-pagi benar, seorang cantrik yang bertugas membersihkan


bilik Ekalaya mendapati ruangan bilik telah kosong. Di atas meja
bambu ditemukan selembar daun lontar yang bertuliskan:

Bapa Resi Durna aku mohon pamit, walaupun Bapa Resi tidak
akan pernqh menyesalkan kepergian kami, Bapa Resi akan
terkejut karena putranda Aswatama ikut bersama kami. Maafkan
kami, seperti kami pun juga memaafkan Bapa Resi.
Selamat tinggal. Ekalaya

“Adhuh Ngger Aswatama anakku, jangan tinggalkan bapamu ya


Ngger!”

Sokalima menjadi geger. Durna kebingungan. Ia berjalan ke sana-


kemari, memasuki bilik yang satu ganti bilik yang lain, untuk
mendapatkan Aswatama. Guru Besar Sokalima tersebut
berperilaku seperti anak kecil, ia tidak percaya bahwa Aswatama
benar-benar telah meninggalkan Sokalima.

Aswatama, Aswatamaa!
Cantriiik!
Baca Juga

Pamuksa (Tremboko dan Pandu Gugur)


Berdirinya Negara Hastina
Cerita Wayang Lakon "Pandawa Gubah"
Cekeeel!
Geluntunggg!
Ulu-guntunggg!
Indung-indunggg!
Dimana Aswatamaaa!

“Oh Ngger anakku, mengapa engkau sungguh tega meninggalkan


Bapamu sebatang kara ini?”
Resi Durna teramat takut kehilangan putranya. Karena sejak
isteri tercinta Batari Wilutama meninggalkan dirinya, kasih dan
perhatiannya tercurah kepada Aswatama, satu-satunya anak
hasil hubungannya dengan sang Batari Wilutama.

Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama?


Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja
bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau
menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?

Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk


memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa
pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya
dan Anggraeni sahabatnya.
“Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak
kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku
sendirian.”

Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna


merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi
untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan
Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga
hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk
menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang
berani mengganggu.
Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah
meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan
cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya,
Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.

Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah


memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar
segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun
kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di
sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang
mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda,
dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi
deritanya dengan senyum dan keramahan.

“Raja datang!”
“Raja jaya!”
“Hidup Sang Raja”
“Hidup!!!”

Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh


karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan
senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada
sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika
dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa
ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana
tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya
pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan
jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana
mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa
yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?

Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun


akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian
berubah menjadi isak tangis kesedihan.

Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan


sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada
derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan
rakyatku yang rela ikut memikulnya.

Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya,


hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan
harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya,
karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja
dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.

Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah


berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat
bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke
Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara
Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya
memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih
dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan
Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna
boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar
cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya.
Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan
Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi
semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya
menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa
harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak
Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan
cara kekerasan.

Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat


Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana
–didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan
sebagai sahabatnya– lalu menceritakan kisah perjalanannya
dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang
mumpuni.
Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya
tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah
mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan
oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang
menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan
kegetirannya

Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan


Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak
seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini
begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan
kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia
semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin
bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan
itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.

“Diajeng Anggraeni, rasa-rasanya telah tiba saatnya apa yang


paling berharga dari kita pun akhirnya akan diambil pula.
Sehingga kita tidak punya apa-apa lagi. Yah kita tidak punya apa-
apa lagi, termasuk hidup itu sendiri.”

“Pasti Kakangmas, hidup ini akan diambil kembali oleh yang


mempunyai hidup dan akan diabadikan. Tetapi kapan waktunya
tidak ada seorang pun tahu. Oleh karena itu jangan cemas
Kakangmas, aku senantiasa berada di sampingmu.”

Selesai berkata demikian, Anggraeni terkejut melihat raut muka


suaminya berubah mendadak.

“Ada apa Kakangmas?!”

Ekalaya merasakan daya aji Pameling yang masuk di telinganya


dan menyusup ke hatinya. “Ekalaya, aku tunggu engkau dan
Aswatama di luar batas negara Paranggelung, sekarang juga. Dari
Harjuna.”

herjaka HS

Anda mungkin menyukai postingan ini :


Danurwenda

Semar Mantu
Rebut Kikis Tunggarana

Wisanggeni Racut

Anda mungkin juga menyukai