Anda di halaman 1dari 5

SELENE

Hidup di tengah hiruk-pikuk kota yang padat membuat Alaric merasa muak dengan suasana dan
tuntutan orang tua yang berada di luar kendalinya. Dengan tekat kuat Alaric sudah siap dengan
tas di punggungnya, ia mulai melangkah dengan yakin meninggalkan rumah di saat keadaan sepi
karena orang tuanya sudah lelap dalam tidurnya.

Alaric adalah putra tunggal dari keluarga Hendrawan yang di mana nama itu sudah tidak asing
lagi. Bukannya merasa bahagia karena apapun yang ia butuhkan selalu terpenuhi, Alaric lebih
merasa dirinya hanyalah hewan peliharaan keluarganya.

Taksi yang semula berjalan melewati patung-patung besar di tangah kota dan gedung-gedung
berdiri gagah, kini digantikan dengan pepohonan rimbun serta suasana sepi dan tenang. Hanya
ada suara hewan malam yang terdengar.

"Nek, ini Alaric." Pintu dengan berbahan dasar kayu dan kertas transparan itu diketuk oleh
Alaric, kemudian muncul wanita paruh baya dari balik pintu atau sebut saja Shoji. Alaric masih
memiliki keturunan Jepang, Kakek buyutnya adalah tentara Jepang pada masanya, tidak heran
mengapa rumah Neneknya sama persis dengan rumah dahulu para orang Jepang tinggali.

"Astaga, kau Alaric? Cucuku datang dari kota. Masuklah"

Pintu terbuka lebar sehingga terlihat jelas isi dari rumah berornamen Jepang tersebut, tidak ada
furnitur mewah seperti lukisan, guci serta lemari kaca dengan piala yang berjejeran, hanya ada
lemari kayu sederhana dan meja di tengah-tengahnya. Alaric duduk di bawah beralaskan
zabuton, alas berbentuk bantal.

"Mengapa kau bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" Sang Nenek mengusap pelan kepala Alaric,
cucunya sudah besar ternyata.

"Aku sudah tidak tahan dengan orang tuaku Nek, mereka selalu mengatur kehidupanku. Aku
memiliki kehidupanku sendiri dan mereka pun juga sama, tapi mengapa aku harus selalu
menuruti apapun yang mereka inginkan. Padahal aku tidak suka, jika aku tidak melakukannya
mereka tidak akan segan untuk menghukumku."

"Apa mereka tau sekarang kau ada di sini?"

"Tidak, aku kabur dari rumah." Dengan malas Alaric mengatakannya, namun ia langsung
tertunduk saat raut wajah Neneknya berubah, ia merasa takut saat ini.

"Baiklah sekarang kau istirahat, kita lanjutkan besok lagi kau pasti lelah"

"Baiklah, selamat malam Nek." Sang Nenek hanya tersenyum menanggapinya, kakinya mulai
melangkah menuju ruangan lain. Kamar sederhana hanya ada kasur lantai, serta bantal dan
selimut di atasnya. Jendela kecil menampilkan suasana malam yang sunyi, namun itu tidak
membuat Alaric takut, rasa tenang lah yang ia dapatkan.

Saat sedang asyik melamun, ia melihat bayangan hitam dari balik jendela, ia mengira itu adalah
makhluk gaib namun saat diperhatikan lagi ternyata seorang manusia. Dengan langkah pelan
Alaric meninggalkan rumah dan menghampiri gadis tersebut.

"Hei, apa yang sedang kau lakukan di sini?" Gadis itu awalnya terkejut karena kehadirannya
yang tiba-tiba, namun dia malah menampilkan senyumannya dan memberikan ruang untuk
Alaric duduk.

"Kau orang baru?"

"Tidak juga. Nenekku tinggal di sini, aku sedang berkunjung. Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi"

"Kau lihat di atas sana, bulan malam ini sangat cantik bukan?" Alaric menatap langit hanya ada
bulan dengan bulatan sempurna yang bercahaya tidak ada bintang-bintang yang
mendampinginya, sangat membosankan. Di manakah keindahannya? Alaric mengernyit tidak
mengerti.

"Kau tahu, malam ini sedang purnama aku sangat menyukainya, cahaya itu seperti kekuatan
bagiku"

"Mengapa? Itu hanya bulan biasa, setiap akhir bulan pun akan muncul purnama" Alaric
mendengus, lebih baik dia rebahkan saja tubuhnya yang lelah di dalam gubuk itu.

"Dasar orang kota, mereka hanya bisa menilai tampilannya saja. Pantas kau diusir dari rumah"

"Jika kau tidak tahu, lebih baik diam."

Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan, mereka larut dalam kegiatannya masing-masing, gadis itu
masih nyaman dengan pandangan ke atas menatap purnama, sedangkan Alaric sibuk menepuki
nyamuk yang hinggap di tangannya.

"Aku Selena, kau?"

"Alaric."

"Alaric, pemuda dari kota yang kabur dari rumahnya. Betul bukan?"

"Terserah kau saja, aku lelah."

"Kau sudah menyerah? Dengarkan aku, bumi sangat membutuhkan bulan bukan karena dia
adalah satelit alami. Tetapi dahulu orang-orang menghitung hari berdasarkan fase bulan, dan lagi
bulan tidak bisa bercahaya dengan sendirinya ia membutuhkan matahari untuk memantulkan
cahayanya. Sehingga bulan bisa tampak lebih indah, tanpa disadari bulan memiliki banyak
filosofi yang menunjukkan nilai kehidupan."

"Aku manusia dan bulan hanyalah benda langit."

"Anggap saja kau adalah bulan yang selalu memberikan manfaat untuk orang lain, bulan saja
masih membutuhkan matahari untuk bisa bersinar dan bercahaya. Begitupun kau yang
membutuhkan orang lain, contohnya orangtuamu. Kau masih membutuhkan mereka untuk
kehidupamu selanjutnya." Diam-diam Alaric mencerna perkataan gadis itu, ada benarnya juga
seharusnya dia berpikir lebih jauh lagi, dan tidak bertindak gegabah dengan kabur dari rumah.

"Jika kau merasa terbebani dengan tuntutan orang tuamu setidaknya kau bisa berani bicara,
walaupun kau laki-laki pasti merasakan bosan dan merasa tak mampu. Jika kau tidak mau maka
bilang tidak mau, dan jujurlah kepada orang tuamu katakan apa yang kau inginkan"

"Tapi mereka keras kepala"

"Itu karena kau salah menyikapinya, kau tidak memberikan alasan yang cukup untuk mereka
mengerti apa yang kau mau. Lain kali coba kau bicara baik-baik dengan orang tuamu."

"Baiklah, akan aku coba terimakasih atas sarannya"

"Wah lihat ada meteor jatuh " Dengan riang gadis itu menepuk lengan Alaric, membuat Alaric
mau tak mau bangkit dari rebahannya dan melihat ke langit yang jauh di sana. Pikirannya
berkecamuk setelah mendengar ucapan Selene, gadis pecinta bulan.

Tidak ada salahnya dia kabur dari rumah dan bertemu dengan Selene, nyatanya semua warga
desa tidak sekolot yang ia pikirkan, ternyata benar orang kota seperti ku hanya bisa menilai
tampilannya saja, tanpa tahu bahwa di dalamnya terdapat makna yang tersembunyi.

"Sudah larut, lebih baik kita pulang dan istirahat. Apa perlu ku antar aku takut gadis sepertimu
tidak bisa sampai di rumah dengan selamat?"

"Tidak perlu, rumahku tepat di pinggiran sawah" Alaric mengulurkan tangannya membantu
Selene turun dari gubuk tersebut dan meninggalkan sawah, lalu mereka kembali ke rumah
masing-masing.

Keesokan paginya Alaric terbangun dengan tubuh yang pegal karena tidak terbiasa dengan kasur
lantai yang ditidurinya, ia bangkit menuju kebelakang mencari Neneknya, terlihat sang Nenek
tengah memasak sendirian di dapur, Alaric pun berinisiatif untuk membantunya.

"Siang nanti Ayahmu akan datang bersama Ibumu, apapun yang terjadi Nenek akan selalu
mendukungmu."
Kali ini mau tidak mau ia harus bisa mengungkapkan apa yang ia inginkan, ini adalah
kehidupannya dan ini adalah hak miliknya, tidak boleh ada satupun orang yang bisa mengatur
hidupnya. Untuk kali ini saja Alaric bersifat egois karena nyatanya ia tidak merasa bahagia atas
hidup yang ia jalani, biarkan ia melangkah dengan bebas menuju tujuannya, sama seperti burung
yang terbang bebas di langit.

°°°

"Ayah, Ibu. Aku mengaku salah karena kabur dari rumah begitu saja, tetapi yang harus kalian
tahu aku merasa terbebani dengan harapan-harapan besar yang kalian limpahankan kepadaku.
Aku tidak bisa menggantikan posisi Ayah sebagai pemimpin perusahaan kedepannya, aku ingin
menjadi dokter, jadi tolong hargai keputusanku."

"Baiklah, Ibu akan menghargai keputusanmu, tapi tolong untuk tidak pergi begitu saja karena
kami khawatir akan terjadi sesuatu denganmu. Dan juga ini salah kami karena tidak tahu apa
yang kau inginkan. Maaf Ayah dan Ibu tidak akan mengulanginya lagi dan tolong kembalilah ke
rumah Nak."

"Aku akan kembali, tapi tidak untuk sekarang. Biarkan aku di sini untuk beberapa hari, Ayah dan
Ibu duluan saja"

"Ayah menyayangimu, kami menunggumu di rumah."

Pundak tegap itu mulai meluruh menandakan masalah sudah terselesaikan. Tidak ada lagi rasa
tak nyaman dalam dirinya, harapan untuk kedepannya semoga saja mereka dapat menerima
keputusan ini dengan lapang dada, dan mulai mengubur dalam-dalam harapan itu. Mobil orang
tuanya melaju meninggalkan desa tidak lupa juga Alaric yang masih menetap bersama Neneknya
untuk beberapa hari, ia ingin mengucapkan terimakasih kepada Selene untuk terkahir kalinya,
semoga saja malam nanti mereka dapat bertemu kembali.

Anda mungkin juga menyukai