Bhaja Govindam
Bhaja Govindam
SEPATAH KATA
Sri Acharya Shankara adalah seorang pemikir yang lahir pada kurun waktu
setelah agama Buddha lahir di tanahnya para resi, yaitu yang dikenal sebagai
India pada saat ini, dan di era tersebut masih disebut Bharat (Negaranya sang
Bharata). Pada saat itu para brahmana yang korup di India telah berkuasa
sedemikian kuatnya sehingga agama Hindhu dijungkir-balikkan oleh mereka demi
kepentingan golongan-golongan mereka sendiri. Dengan lahirnya agama
Buddha terjadilah goncangan-goncangan spiritual teramat dahsyat di India yang
mengancam kedudukan para brahmana secara umum, karena ajaran Buddha
sebagai kelanjutan dari Sanathana Dharma mengingatkan sekali lagi para
pemujanya bahwasanya tidak ada sistim kasta di dalam ajaran dharma itu sendiri.
Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan yang amat dahsyat dari para
brahmana pada waktu tersebut yang telah menyalah-gunakan wewenang
mereka dan menguasai jazirah India dengan mengagungkan kasta dan golongan
mereka sendiri. Akibatnya masih terasa di India sampai saat ini bahkan juga di
berbagai daerah di Asia yang masih menganut ajaran Hindhu Dharma, seperti
Nepal dan Indonesia (Bali), dan di beberapa tempat lainnya. Di jaman itu
terjadilah revolusi spiritual di berbagai tempat di India, para brahmana yang korup
akan kekuasaan mengucilkan dan mengecam para pengikut agama Buddha yang
berkembang dengan dahsyat dan akhirnya bahkan melampaui batas-batas
negara ke Cina, Indo-Cina, Jepang dan Indonesia (Nusantara).
Pada saat itu hadirlah Sri Shankara Acharya (Beliau terkenal dengan sebutan ini)
sebagai seorang filsuf agung dari golongan yang dikenal dengan nama Adwaitik,
beliau adalah seorang muda yang sedemikian cemerlangnya sehingga tafsir-tafsir
beliau akan berbagai Veda, Upanishad dan Bhagawat –Gita dianggap sebagai
maha karya oleh kaum Hindhu di India. Berkat beliau inilah Sanathana Dharma
terangkat kembali di India hingga kini. Sidharta Buddha Gautama sendiri yang
lahir sebagai seorang pangeran Hindhu sampai dengan akhir hayatnya tidak
pernah merubah status agamanya, dan Beliau dianggap sebagai salah satu
avatara Visnu yang kesembilan dan kehadiran Beliau ternyata berdampak begitu
besar, karena akibatnya lahir Sri Shankara yang mengubah kembali wajah
Hindhu Dharma ke asalnya, dan ajaran Buddha ini kemudian menyebar ke
wilayah-wilayah yang disebut di atas. Bahkan di Indonesia seperti karya
menumental yang tidak ada tandingannya di dunia, yaitu Candi Borobudur.
Karya Bhaja Govindam yang hanya berisikan 31 sloka merupakan kritikan-kritikan
tajam dari Adi Shankara bagi manusia-manusia yang merasa dirinya bergolongan
tinggi dan cara berpikirnya bodoh (jauh dari ilmu-pengetahuan yang sejati).
Orang-orang yang kurang pengetahuannya ini disebut bodoh oleh Sri Shankara
dan mereka ini bukan saja menyengsarakan diri mereka sendiri tetapi juga
orang-orang di sekitar mereka sendiri karena ulah mereka sendiri yang penuh
dengan kelemahan-kelemahan spiritual dan nilai-nilai komersiil, sehingga Hindhu
Dharma tampil ibarat suatu keharusan komersiel yang menyengsarakan banyak
umat yang mau tidak mau diperas terus dengan alasan keagamaan.
Dengan mempelajari kritik-kritik sosial dari filsuf yang piawai ini, seorang
pembaca bahkan bisa memasuki dunia dharmanya dengan penuh keyakinan dan
percaya diri. Kita harus menghormati kaum brahmana, pendeta dan para guru
agama kita, tetapi harus juga selalu waspada agar tidak “disesatkan” oleh
pelaksanaan sesuatu tradisi yang bertentangan dengan Sanathana Dharma, atau
dengan alasan bahwa dari dulunya sudah begitu. Setiap ajaran dan ritual dalam
Sanathana Dharma ada dasar logika spiritualnya, dan tidak berdasarkan tradisi
atau pemaksaan dari satu golongan tertentu yang merasa golongannya lebih
mulia dari warna-warna lainnya. Yang dinamakan brahmana sejati adalah
mereka-mereka yang kodratnya telah menentukan demikian, yang buddhinya
telah terbuka ke arah Yang Maha Esa, bukan mereka-mereka yang lahir dari
keturunan seorang brahmana. Anak seorang pendeta tidak otomatis jadi
pendeta dan begitupun dengan warna-warna lainnya. Di India seniman dalam
bidang apapun juga berwarna brahmana karena berada di bawah naungan Dewi
Saraswati yang adalah Shaktinya Dewa Brahma, asal kata dari brahmana itu
sendiri.
Beliau terkenal bukan saja sebagai seorang filsuf, tetapi di zamannya beliau
dikenal sebagai seorang diplomat, sastrawan pencetus gagasan-gagasan yang
brilian dalam bidang spiritual dan sosial. Beliau juga mendirikan berbagai institut
pendidikan kerohanian, berbagai candi-candi dan berbagai karya spiritual
sehingga dianggap maha karya bagi seorang pemuda di zamannya, dan sampai
saat ini jasa beliau belum ada yang dapat menandingi.
Bhaja Govindam yang berarti puja-pujilah Govindam (Khresna atau Yang Maha
Esa) terdiri dari 31 sloka /syair, tetapi merupakan adi-karya dalam bentuk sastra
dan spiritual bagi umat Hindhu di India. Karya yang sederhana ini biasanya
dilantunkan oleh para sishya (murid). Bagi kaum bijak, karya ini dianggap sebagai
penuntun spiritual yang menakjubkan maknanya, sehingga mereka
beranggapan dengan meneguk sari karya ini akan menghapuskan dahaga
spiritual mereka, dan menghapuskan moha (khayalan dan ikatan-ikatan duniawi
mereka), oleh karena itu karya ini juga disebut Moha-Mudgara (Penghapus
ikatan-ikatan duniawi).
Pada saat itu dengan 14 orang sishyanya, Sri Shankara sedang berkelana di
daerah Benares, dan beliau mendapatkan seorang pendeta tua yang sedang
mengulang-ulang sloka-sloka suci secara gramatika yang baik tetapi tanpa
menghayati makna dari mantram-mantram tersebut. Melihat sang pendeta yang
selama hidupnya hanya mampu mengulang mantra dan melakukan berbagai
ritual secara tradisi sebagai penghasilannya sehari-hari, Sri Shankara langsung
saja tergugah batinnya dan lahirlah karya adi-sastra ini. Dua belas stanza
pertama adalah karya beliau dan disebut : “ Dwadasha-Manjarika-Stotram”
kemudian ada empatbelas syair lainnya yang masing-masing dikontribusikan oleh
seorang murid beliau yang disebut : “Caturdasha-Manjarika-Stotram” yang
merupakan karya tersendiri tetapi disatukan dalam karya ini, selanjutnya ditutup
oleh syair-syair Sri Shankara lagi. Jumlah seluruhnya di buku ini adalah 31
syair. Mungkin saja diterjemahan atau tafsir lainnya bisa saja lebih atau kurang
jumlah syairnya tergantung penafsirannya, tetapi menurut para ahli tidak
mengurangi atau melebihi isinya karena hal tersebut hanya merupakan masalah
teknis sastra semata.
Seseorang bisa disebut sebagai sishya (a) setelah mendapatkan pelajaran dari
seorang guru; (b) sudah maju cara berpikirnya akan wawasan spiritual yang
dipelajarinya melalui berbagai studi shastranya; (c) sesorang yang sedang atau
telah mengendalikan aktifitas berbagai organ-organ sensualnya (indriyasnya).
MOHA MUDGARA
Keterangan: Kata Govinda adalah nama dari Sri Kreshna Vasudewa yang lainnya
yang juga berarti Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya syair di atas dianggap sebagai
sebuah korus dan diulang-ulang pada akhir setiap syair yang berikutnya oleh para
sishya yang menyanyikannya. Kata “aturan dan ajaran” pada syair di atas berarti
aturan-aturan gramatika yang terdapat pada ajaran Sidhanta Koumudi yang terkenal
pada kurun masa tersebut.
Sri Shankara Acharya merasa aneh kalau sesorang merasa religius hanya dengan
mengulang-ulang mantram, ajaran spiritual tanpa menghayati arti dari semua
semuanya itu, dan lalu menjadikannya sebuah tradisi yang baku dan berharga mati
dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal yang sama ditemukan di Chandogya
Upanishad, sewaktu resi Narada menghampiri para Sanata Kumara dan mohon
ditunjukkan jalan ke Ilmu-pengetahuan nan Agung, maka oleh para Sanata Kumara
(resi-resi yang tidak bisa meninggal dunia karena umur mereka selalu berada di
bawah lima tahun, dan dewasa ini hadir sebagai gugusan bintang-bintang di langit),
Narada ditanya apa saja yang sudah dipelajari dan diketahuinya selama ini agar dapat
diajarkan kepadanya sesuatu yang belum diketahuinya. Dengan sangat bangga
Narada mengulang-ulang seluruh ilmu-pengetahuan dari berbagai bidang seperti
astrologi, astronomi, sampai ke sastra, seni musik, tari dan berbagai ilmu lainnya
yang dibacakannya dengan sangat brillian dan tepat. Tetapi para Sanata Kumara
justru tidak terkesan akan teori-teori yang muluk-muluk ini, dan menyebut semua itu
hanya nama belaka. Sang Maha Tak Terjelaskan (Buma) seharusnya disadari akan
HakikatNya. Beliau melampaui semua nama, rupa dan ajaran.
Untuk apa ajaran-ajaran yang bersifat teori tanpa penghayatan dan penetrapannya?
Di saat-saat kematian, semua itu tidak akan menolong jiwa seseorang. Kata Bhaja
disini juga bisa berarti memuja, jadi yang dimaksud oleh Shankara, seandainya
seseorang memuja dengan mencari hakikat akan Govinda (Yang Maha Esa) dan
mendapatkan kesatuan identitas denganNya, barulah itu disebut Bhajan (puja-puji)
yang sejati dan benar, yang merupakan seva (pelayanan) yang tersendiri bagi para
pemujaNya. Dan hal ini bisa dilakukan secara pribadi atau secara bersama-sama di
mana saja, tetapi bukan untuk sekedar pertunjukan religius, tradisional atau
ritual-ritual kosong yang bernuansa indah.
Didalam semua bentuk pemujaan ini tersirat intisari Bhaja. Dengan kata lain intisari
semua pemujaan adalah Bhajanam yaitu seva (pelayanan tanpa pamrih ke umat
manusia, fauna, flora dan lingkungan melalui berbagai sifat pelayanan yang pada
hakekatnya berarti ke Tuhan Yang Maha Esa yang bermanifestasi di dalam semua
ciptaan beliau). Ihwara Seva adalah Ishwara Bhajanam, tanpa diragukan lagi seva
yang penuh dengan dedikasi dan ketulusan, ini adalah bentuk seva yang terbaik.
Kata Govinda juga berarti Dewa Vishnu dan dharsanaNya seperti yang dimuat di
karya suci Vishnu Sahasrana. Oleh Sri Shankara Acharya kata Govinda diartikan
sebagai persamaan Yang Maha Brahman sebagai kesadaran Tertinggi seperti berikut:
a) Seseorang yang sadar dan memahami bumi dimana kita semua ini hadir --- yang
berarti kehidupan kita di bumi ini sebenarnya ada maknanya, demikian juga
dengan semua fenomena yang ada di dalam kehidupan dunia ini.
b) Seseorang yang sadar akan Sang Jati Diri, Sang Kreshna Vasudewa yang telah
bereinkarnasi sebagai seorang penggembala sapi (Penuntun jalan umat manusia),
dan yang hadir sebagai Tujuan dari dharma itu sendiri.
Dengan kata lain, secara singkat kata Govinda berarti intisari dari Sang Atman
(Sang Jati Diri) yang bersemayam di dalam diri kita sendiri. Beliaulah Realitas yang
tertinggi tersebut. Dengan kata lain Bhaja Govindam berarti “Puja dan Carilah
identitasmu di dalam Yang Maha Kuasa”, jadi jangan menghamburkan waktumu
untuk sekedar menghafal mantra-mantra atau ajaran suci tanpa penghayatan.
Janganlah terbius oleh harta-benda duniawi beserta segala atributnya seperti
ketenaran, posisi dan lain sebagainya. Semua itu sifatnya hanya sementara saja dan
akan segera berlalu dengan sang waktu, sedangkan Govindam akan selalu hadir dari
masa ke masa, pujalah dan carilah Dia (Bhaja Govinda).
Dalam karya lainnya dari Sri Shankara, yang disebut Viveka-chudamani, beliau
mengutip sebuah sloka dari Brihadaranyaka Upanishad yang mengatakan,
“seseorang tidak mungkin mencapai Yang Maha Tak Terbinasakan dan Tak
Terhancurkan melalui harta bendanya”. Jadi semua yang bersifat duniawi tidak
berguna tanpa penghayatan dan pencarian yang sejati akan Sang Jati Diri kita sendiri.
Keterangan : Kalau pada dua stanza di atas Sri Shankara Acharya memperingatkan
para bhaktanya akan godaan harta-benda dan wanita, maka di syair ini beliau
mengingatkan kita agar berhati-hati dengan kehidupan ini yang indah tetapi tidak
abadi dan stabil, ibarat tetesan air atau butir-butir embun di atas kelopak bunga
teratai yang sangat licin karena berminyak permukaannya. Tetesan atau butir-butir
yang terkumpul dipagi hari ini akan segera bergulir ke bawah dan menerjang
butir-butir air yang berada di dekatnya, ibarat sedang bermain sesama mereka
(berlari-larian), lalu gugurlah semua butir-butir air ini ke bawah bersama-sama. Jadi
semua di dunia ini hanya sementara sifatnya saja.
Ada peneliti yang menafsirkan syair tersebut di atas sebagai berikut : Teratai biasanya
lebih subur kalau tumbuh di air yang keruh, semakin keruh semakin subur
teratainya. Teratai itu tumbuh dari air dan akan mati di air juga. Bahkan butir-butir
air yang terkumpul di kelopaknya juga akan jatuh ke air juga. Dari air ke air, atau
dengan keterangan lain Brahman (Yang Maha Kuasa) itu adalah ibarat air itu sendiri
dan semua ciptaan baik itu besar ataupun kecil melebur kembali ke dalamNya.
Maha Vakya menyebutkan fenomena ini sebagai Tat Twam Asi (Itu adalah Dikau).
Di dunia barat pada dewasa ini pemujaan terhadap badan semakin menjadi-jadi.
Segala upaya dikerahkan agar manusia tetap awet muda dengan cara apapun juga
bahkan banyak yang tidak mau berkeluarga karena akan mempengaruhi bentuk tubuh
mereka. Sanathana Dharma mengajarkan agar manusia merawat jiwa-raga mereka
secara satvik dengan berbagai teknik hatha yoga, meditasi, ayur veda, bersifat
vegetarian ditambah aktivitas seperti menari dan melakukan berbagai kegiatan seni
sehari-harinya. Dengan jalan ini secara umum jiwa-raga mengalami relaksasi
bukan seperti sekarang ini kita sibuk setengah mati demi sesuap nasi dan lupa akan
penyegaran badan dan pikiran kita. Sesuai dengan ajaran Sanathana Dharma,
hindarilah alkohol, merokok, obat-obat terlarang, berjudi dan sebagainya, karena
Sang Atman tidak akan mau bersahabat dengan raga yang kotor seperti itu. Jauhi
juga bertato badan kita karena ini dilarang keras di dalam agama Hindhu.
Keterangan : Dewasa ini sistim ekonomi telah merubah nasib manusia di berbagai
belahan bumi ini. Setiap insan besar-kecil, tua-muda berlomba-lomba demi mencari
nafkah yang halal maupun yang haram, tetapi siapakah yang betul-betul mempunyai
waktu barang sedikit untuk secara tulus mempersembahkan lima menit saja untuk
bermeditasi kepadaNya. Bahkan sering kita melihat hand-phone ikut masuk di
tempat-tempat ibadah karena si empunya begitu sibuk melakukan transaksi.
Keterangan : Menurut berbagai sastra Hindhu kuno, sebuah perkawinan adalah suatu
keharusan dharma demi lestarinya keturunan dan kehidupan rumah-tangga, tetapi
tetap saja harus ada spasi antara suami dan istri …… dan jangan yang satu tertambat
dan bersandar kepada yang lainnya (mandiri) ….. karena ketertambatan ini tidak sehat
sifatnya. Di bagian sastra lainnya dikatakan keterikatan yang bersifat
berlebih-lebihan adalah racun bagi manusia-manusia yang saling terikat ini.
Siapakah anak-istrimu tanya Prabhu Shankara, jawabnya adalah setiap manusia itu
lahir secara sendiri dan akan mati sendiri juga sewaktu saatnya tiba. Di tengah
perjalanan, setiap individu, manusia ini saling kait mengait dan terbentuklah
ikatan-ikatan yang disebut sebagai persahabatan, persaudaraan, perkawinan dan
berbagai sebutan lainnya. Tetapi ingat setiap kelahiran individu adalah demi persiapan
kematiannya dan setiap perjumpaan adalah awal persiapan untuk sebuah perpisahan.
Jadi jangan bersikap cengeng dan selalu menuntut kepada orang lain baik itu ayah,
ibu atau suami-istri dan sebagainya. Bagitu beranjak dewasa, bersikaplah secara
sadar untuk mandiri. Ingat hukum alam akan selalu abadi sifatnya pada masa yang
lalu, sekarang dan masa-masa yang akan datang. Sedangkan kemajuan teknologi
tidak bersifat permanen dan merupakan alat yang bisa saja berubah fungsi sesuai
jaman dan kebutuhannya. Pada hakekatnya setiap kelahiran dan kematian telah
dirancang sebelum setiap individu itu lahir, sesuai dengan karma-karmanya di masa
yang lalu.
Seorang anak disebut putra atau putri kita setelah ia dilahirkan sebagai anak dari yang
disebut istri atau anak kita. Sebelumnya ia hanya merupakan indung telur dan
sperma yang terpisah bukan? Semua unsur vital ini diciptakan dari raga kita dari
makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Makanan berasal dari tanaman, dan
tanaman berasal dari bumi ini, bumi ini bukan lain dan bukan tidak adalah
gumpalan tanah, jadi sebenarnya kita ini apa dan siapa? Jawabannya karena berasal
dari tanah maka kita adalah tanah juga, karena kita akan kembali ke tanah juga pada
akhir hayat kita nanti. Tetapi sewaktu kita diberi kehidupan, maka Sang Maya
mampu menimbulkan Maha Karya ilusi oleh khayalan yang begitu menakjubkan dan
menggetarkan sekalugus mengikat kita. Padahal kita datang dari tanah dan sedang
menuju ke tanah kembali !
Menurut Shankara, sebaiknya kita bergaul dengan sesama manusia yang eling agar
kita selalu menyadarkan satu dengan yang lain dan bersikap eling dan waspada
(Pratipaksha Bhavana). Sebaiknya bersahabat selalu dengan insan-insan yang
satvik agar kita dapat mempelajari hal-hal yang baik darinya. Sebaiknya burung
dara terbang dengan burung-burung dara lain, dan tidak dengan burung gagak.
Keterangan : Sri Shankara Acharya walaupun dikenal sebagai seorang maha resi, toh
tidak menganjurkan kita untuk hidup sebagai resi, sebaliknya ia menganjurkan
untuk selalu berkarma dan menghayati kehidupan ini secara bajik dan bijak, dengan
bersahabatkan orang-orang yang saleh, beriman dan sadar, dengan demikian kita
saling mengingatkan satu dengan yang lain, begitupun bergaul dengan para penjudi
dan pemabok, kitapun akan terserap ke dalam kehidupan tersebut.
Keterangan: Secara amat singkat dan lugas, Sri Shankara Acharya memperingatkan
kita semua bahwa sewaktu sebuah (suatu) “sebab” berhenti, maka “akibatnya” juga
otomatis akan terhenti. Sewaktu masa tua datang menjelang, maka fungsi raga dan
seluruh aktivitasnya mulai berhenti secara perlahan pasti, dengan demikian berbagai
hasrat dan nafsu tidak mungkin bisa dilaksanakan ibarat “nafsu besar tenaga kurang”.
Jadi harus pesimiskah kita akan kelanjutan kehidupan ini? Tidak, analog dari Sri
Shankara menegaskan, sewaktu Kebenaran Ilahi tercapai, maka Samsara yang sudah
tidak memiliki basis duniawi inipun segera menghilang, dan orang tersebut akan
terserap ke dalam Hakikat Yang Maha Esa yang penuh dengan Kebahagiaan
Absolut. Dengan kata lain, sewaktu sumua vasanas (intisari berbagai hasrat, nafsu
dan keinginan) terhapus, hilanglah ego positif dan negatif dari diri kita, dan langsung
saja seseorang hidup secara sadar di atas dwandas (2 sifat alami yang saling
bertentangan, contoh : panas-dingin, suka-duka, malam-pagi dan sebagainya) dan
kesadaran Universal mengisi seluruh jiwa-raga kita. “Sang Pengenal Brahman
berubah menjadi Brahman”, sabda Sruthis.
Keterangan : Carilah Sang Pencipta semua ilusi duniawi ini, Sang Brahman yang
hadir sebagai saksi Chaitanya di dalam relung hati sanubari kita. Sadarilah
Kesadaran (Ayam Atma) yang bersemayam di dalam setiap Kesadaran Sejati. Ingat
setiap posesi (milik) kita akan berlalu dalam sekejab-mata ibarat diambil oleh pencuri
sewaktu kita lengah.
12.Pagi dan malam, ufuk pagi dan senja hari, musim salju dan
musim semi senantiasa bergulir datang dan pergi. Sang waktu
berpacu dan sang kehidupan sirna. Toh, manusia (yang
sudah sadar akan ketidak-adilan) ini juga tidak pernah
meninggalkan gejolak-gejolak dan hasarat-hasrat berbagai
nafsunya.
(Bhaja Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Walau seseorang mungkin hidup beratus-ratus tahun, walaupun ia
memiliki harta-benda untuk tujuh turunan, toh ia tidak memiliki keabadian atas diri
dan semua posesinya ini. Jadilah orang bijak, kesampingkan gejolak-gejolak nafsu
yang tiada habis-habisnya, carilah Realitas Kebenaran, karena hanya Ia yang
memuaskan semua hasrat-hasrat ini. Seandainya anda tidak dilanda demam duniawi
maka anda akan menikmati semilir angin Ilahi.
Keterangan : Kekhawatiran akan apa saja adalah suatu hal yang amat melelahkan
jiwa-raga kita semua. Manusia gagal bukan karena lingkungannya lebih kuat, tetapi
hukum alam menyatakan yang lemah pasti kalah dari yang kuat, bahkan bisa binasa.
Tetapi bertemankan para orang-orang suci dan sejati, nasib seseorang manusia bisa
berubah (sajanasangathi). Pengendalian diri (dama) akan menghasilkan kedamaian
batin (shama) yang pada gilirannya akan menghasilkan kebahagiaan internal (Santosh,
kesentosaan). Hanya dengan bermodalkan perangkat dan piranti-piranti spiritual ini
seseorang yang secara otodidak (Swadaya) dan penuh dengan refleksi diri (Vichar)
berkonteplasi ke Yang Maha Esa, maka ia akan menghasilkan sesuatu yang
menakjubkan di jalan Kebenaran. Semua ini harus dimulai dengan berasosiasi
dengan para kaum bijak, suci dan beriman. Sang Budha melakukan hal tersebut,
begitu juga Guru Nanak dan Sang Rama yang bahkan adalah reinkarnasi dari Yang
Maha Kuasa sendiri.
Keduabelas stanza di atas menurut para peneliti adalah hasil karya dari Sri Shankara
Acharya dan disebut sebagai karangan bunga dalam bentuk syair
(Dwadasha-Manjarika-Stotra), sedangkan 14 buah sloka yang akan menyusul
kemudian diperkirakan adalah hasil para sishya beliau, yang mengikuti Sri Shankara
Acharya dalam perjalanannya ke Benares. Gabungan sloka-sloka ini disebut
Chaturdasha-Manjarika Stotra.
14.Ada fakir yang mengenakan kunci pengaman, ada yang
menggunduli kepalanya, ada yang mencabut rambutnya satu
persatu, ada yang berbusana compang-camping…….semua ini
adalah manusia-manusia bodoh yang melihat tetapi tidak
menyadari apapun juga. Sebenarnya semua penyamaran dan
pertunjukan ini hanya demi perut mereka yang gendut belaka.
(Bhaja Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Di India dan di berbagai bagian bumi ini banyak manusia menyamar
sebagai orang suci dengan bertingkah-laku, berpakaian ibarat orang suci, atau juga
bersifat aneh dengan menyiksa diri, berhatha-yoga secara tidak karuan demi
penghasilkan pribadi, bukan karena mereka ini adalah yogi atau fakir spiritual. Di
sekitar kita juga banyak manusia munafik semacam ini, apalagi yang berkedok
pandita, brahmana, guru dan mengenakan berbagai atribut lainnya seakan-akan
terkesan suci. Seorang yang bersifat spiritual sejati tidak akan pernah mengharapkan
uang dari murid atau dari lain-lainnya. Bagi sesorang yang bijak ini semua di atas
datang dari Yang Maha Kuasa dan harus dikembalikan kepada-Nya melalui berbagai
ciptaan dan manifestasi Beliau. Apapun yang diberikan kepadanya secara baik dan
ikhlas akan diterimanya dengan puji syukur ke Yang Maha Kuasa. Jadi berhati-hatilah
akan guru, pendeta, orang yang berlagak seperti yogi, fakir, resi dan sebagainya yang
lebih menghasratkan uang, harta-benda berikut berbagai fasilitas dari anda untuk
pelayanan spiritual yang ia berikan kepada saudara. Sesuatu yang baik dan bersifat
satvik, menurut Bhagavat-Gita diberikan kepada orang yang tepat, dalam bentuk
pemberian yang tepat, pada saat yang tepat dan untuk tujuan yang tepat. Tentunya
ini berlaku untuk semua pihak baik yang memberi ataupun yang diberi. Hindarilah
uang hasil judi, pencurian dan korupsi, karena tidak satvik sifatnya. Sloka di atas
dipersembahkan oleh Padmapada, seorang murid Sri Shankara yang terkenal sebagai
salah seorang murid sejati beliau.
15.Sang raga telah mulai layu, sang kepala telah mulai beruban.
Sang mulut sudah ompong-melompong. Si orang tua berjalan
tertatih-tatih bersandarkan tongkatnya. Walaupun sudah
sedemikian keadaannya, tetap saja memikul beban nafsunya
(kesana dan kemari).
(Bhaja Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Sampai ke liang kuburan (atau ke perapian) ternyata kita semua masih
memikul (dan terjerat kedalam) nafsu-nafsu ciptaan-ciptaan Sang Ilusi. Inilah Sang
Maya, Sang Moha, inilah yang disebut Samsara. Sloka ini dipersembahkan oleh
Sri Totakachrya.
Keterangan : Inilah tingkat kesadaran dalam Sang Brahman bagi seseorang yang
telah merealisasikannya. Apakah ia seorang resi, fakir ataukah seorang raja seperti
Raja Janaka, Yudisthira, sekali ia mencapaiNya, ia sendiri akan sanggup merasakan
kebahagiaan kepada unsur-unsur lainnya. Pada tahap ini pengetahuan dan tingkat
kesadaran sang pemuja yang telah bersatu dengan Sang Atmannya, tidak dapat
dijabarkan dengan rasio duniawi. Apa yang wajar baginya mungkin secara duniawi
dianggap gila atau sesat oleh sebagian besar manusia yang belum faham dan masuk
ke tingkatan spiritual tertinggi ini. Bukankah ada konsep salah di Jawa, di mana ada
yang berpendapat bahwa Sang Khresna adalah seorang yang licik dan penganjur
peperangan, konsep ini juga berlaku untuk sebagian kecil umat Hindhu di India dan
berbagai tempat lainnya, padahal Sang Khresna menganjurkan Arjuna untuk
memerangi adharma yang hadir di dalam saudara-saudara misannya, para Kaurawa,
bukan manusia-manusianya. Sang Khresna adalah kusir dan perancang perang
Mahabharata. Di sisi lain beliau lahir sebagai Sidharta Buddha Gautama yang penuh
dengan welas asih. Sloka mantra di atas dihaturkan oleh Sri Nityananda.
Keterangan : Ada tiga unsur upaya spiritual yang ditekankan di sloka mantra di atas:
1) Mempelajari Bhagavat-Gita;
2) Mensucikan diri di sungai Gangga;
3) Pemujaan kepada Sang Hyang Khresna Vasudewa.
Bhagavat-Gita yang terdiri dari delapanbelas bab adalah intisari dari seluruh
Upanishad; dengan disiplin intelektual seseorang, maka seseorang ini akan mampu
menghayati misteri akan intisari kehidupan ini, akan Tujuan Kehidupan ini, dan
juga akan memahami berbagai upaya untuk mencapai tujuan ini.
Mensucikan diri dengan air Gangga bukan berarti harus mati-matian beryatra dan
mandi di sungai ini, apalagi kalau ritual ini dijadikan destinasi pensucian terakhir.
Gangga sebenarnya adalah ajaran misteri agung Dewa Shiva yang didapatkan olah
Raja Bhagiratha. Ajaran ilmu-pengetahuan yang penuh dengan misteri spiritual ini
ibarat sungai yang mengalir abadi dari ubun-ubun Dewa Shiva (dianggap juga salah
satu manifestasi Yang Maha Esa) yang masih mengalir sampai saat ini dari para guru
resi yang suci kepada murid-muridnya. Setetes saja ajaran murni sang guru yang
diteguk oleh sang murid, ini akan menerangi kebijaksanaan internal sang murid.
Perhatikan dengan baik gambaran Dewa Shiva yang sedang bersemedi dengan dada
telanjang, dan Sang Gangga mengalir keluar dari kepala beliau yang berhiaskan
bulan sabit (lambang alam-semesta). Sapi tunggangan Beliau disebut Nandini berdiri
atau duduk di samping Beliau dan terdapat sebuah Trisula tegak juga di salah satu sisi
Beliau, trisula ini adalah lambang dari Trimurti dan para shaktinya. Sedikit
penjelasan dari gambaran ini : Kata Shiva bisa dijelaskan sebagai gabungan kata Sh
yang berarti pemilik dan jiva yang berarti setiap jiwa, dengan demikian salah satu arti
dari kata Shiva berarti Pemilik setiap jiwa, siapa lagi kalau bukan Yang Maha Esa itu
sendiri. Sapi Nandini adalah simbol dari bumi ini, dianggap suci karena sapi selalu
memberikan susunya kepada manusia tanpa mengeluh, begitu juga ibu dan Pertiwi ini,
selalu melahirkan, mengayomi dan mendaur-ulang kita lagi dan mengembalikan setiap
jiwa kembali ke Shiva untuk diproses kembali. Barang siapa memakan daging sapi
maka ia memakan daging ibunya sendiri, inilah intisari mengapa sapi dan sejenisnya
tidak dimakan oleh kaum Hindhu, bukan karena haram sifatnya, tetapi karena teramat
suci apalagi susunya.
Kata Murari (Penghancur Ego) adalah sebutan lain dari Sri Kreshna. Para pemujaNya
yang sejati akan menghayati segala ajaranNya dan akan berhasil mengarungi lautan
samsara ini dengan baik sesuai dengan berkat dan karuniaNya.
Seorang yang sudah faham akan ketiga faktor ini tidak akan takut lagi akan kehidupan
dan kematian, apalagi dengan semua unsur-unsur duniawi yang mengikat ini, jadi
bahkan Dewa Kematian, Yama Dewa (yang berarti pengendali agung) tidak akan
pernah menyengsarakan manusia ini, karena manusia ini sadar bahwa kematian
hanyalah sebuah proses daur ulang, begitu juga dengan kehidupan ini. Kehidupan
menapak ke arah kematian dan begitu juga sebaliknya, jadi apalagi yang harus
dikhawatirkan? Seharusnya setiap manusia diajarkan akan hakikat kehidupan ini,
memahami fungsi tubuhnya saja ia belum tahu. Tersirat yoga ilmu-pengetahuan dalam
stanza di atas yang dihaturkan oleh Sri Anandagiri.
21.Lahir lagi, mati lagi dan lagi-lagi hidup di kandungan ibu ---
proses Samsara ini begitu sulit untuk diseberangi ----
selamatkan daku, wahai Murari (Oh, Penghancur ego), melalui
kebaikanMu Yang Tak Dapat Dijabarkan.
(Bhaja Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Stanza ini khusus dihaturkan oleh sang seorang murid Sri Shankara
yang tidak disebutkan namanya, untuk memperingatkan kita semua agar selalu
berpedoman ke Sang Khresna dan intisari yang terdapat di Bhagavat-Gita guna
mencapai Yang Maha Kuasa yang bersemayam di dalam diri kita.
Orang ini sudah tidak menjadi budak dari raga, nafsu dan indriyasnya lagi. Ia
ibaratnya sudah tidak memperhatikan tubuhnya lagi, padahal tubuh satvik luar dan
dalam ibarat dewa Shiva. Orang semacam ini akan memproteksi linggamnya
dengan kain tambal-sulam yang didapatkan dari sana-sini, karena ia beranggapan
bahwa linggam itu suci. Insan ini disebut sebagai seorang mistik. Seorang mistik
dianggap telah mati secara duniawi tetapi tetap hidup dalam strata spiritual yang
misterius. Selama sisa hidupnya ia berdoa secara terus-menerus demi lestarinya
dunia ini. Menurut ajaran Sanathana Dharma, tanpa manusia-manusia ini, dunia
seyogyanya sudah hancur dan kiamat dari dulu, akibat perbuatan rakus manusia ini,
yang semakin lama semakin tidak mengenal batas lagi.
Para resi yang suci ini masih terdapat di India dan mereka ini hidupnya sederhana
dengan bersantap dan meminum secara minimum sekali, tetapi selalu beraksi secara
spiritual semaximum mungkin demi lestarinya alam-semesta ini. Dari mereka inilah
Sanathana Dharma lahir di masa yang lalu, dan oleh mereka-mereka juga
dilestarikan hingga waktu ini, mereka-mereka dikenal sebagai “manusia-tuhan”.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh seseorang manusia? Ia harus waspada
terhadap tindak-tanduk pikiran dan tingkah lakunya sehari-hari, waspada akan
dampak lingkungannya. Memohon kepada para guru, resi dan kaum bijak untuk
dituntun ke arah realisasi akan jati dirinya, akan peri-lakunya yang positif dan negatif.
Ada ahli yang menyatakan bukan saja kehidupan sehari-hari adalah mimpi, ilusi dan
khayalan, tetapi bahkan semua jenis mimpipun adalah produk dari khayalan duniawi
ini, wahai manusia berhati-hatilah akan kehidupan dunia ini. Stanza di atas
dipersembahkan oleh Sri Yogananda.
24.Di dalam dirimu, dan di (semua) tempat juga, hadir Realitas Yang
Maha Hadir (Vishnu). Merasa tidak sabar, dikau marah
terhadapku, padahal kemarahan tersebut tidak diperlukan.
Seandainya dikau ingin segera mencapai status Vishnu,
bersikap sama ratalah di dalam berbagai keadaan.
(Bhaja Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Sang guru di sini mencoba sekali lagi untuk mengungkapkan tentang
kebenaran Abadi, yaitu Yang Maha Esa yang sebenarnya hadir di mana saja, dan
dalam bentuk apa saja …. Sering sekali kita merasa jengkel kepada guru kita yang
kita anggap memberikan keterangan yang bertele-tele. Seorang guru yang bijaksana
biasanya sadar akan kekurangan sang murid, oleh karena itu beliau selalu akan
mengulang-ulang akan Hakikat Yang Maha Esa daripada menjabarkanNya secara
langsung. Karena pada hakikatnya Yang Maha Kuasa sebaiknya dipersepsi secara
langsung melalui intuisi kita melalui budhi kita yang telembut berdasarkan disiplin,
bhakti dan dedikasi yang penuh dengan prema (cinta-kasih spiritual). Untuk apa
semua ajaran para guru kalau sang murid tidak memiliki “RASA” tersebut.
Sang murid ini tidak akan pernah mencapai tahap kesadaran yang lebih tinggi.
Rahasianya diungkapkan sekali lagi di stanza di atas yaitu, “bersikap sama rata di
dalam berbagai keadaan (samachittawan). Dan ini tidaklah mudah, seseorang harus
melaksanakan beberapa upaya di bawah ini secara berkesinambungan :
1) Bhakti;
2) Pemujaan yang tulus kepada Yang Maha Esa;
3) Seva (pelayanan) terhadap sesama manusia sesuai dengan kemampuan kita secara
tulus, dan juga kepada lingkungan dan hewan-hewan dan makhluk-makhluk lain
di sekitar kita;
4) Meditasi secara berkesinambungan dengan Tuhan Yang Maha Esa;
5) Mempelajari secara terus-menerus mengenai Yang Maha Esa dari berbagai segi,
buku (sastra vidhi), dan dari para guru;
6) Bersih secara lahir dan batin.
Keterangan : Rasa benci, marah, gusar dan lain sebagainya datang kepada kita
sewaktu persepsi seseorang itu lain atau berbeda dengan persepsi kita; kita langsung
saja anti dan merasa orang tersebut beda dari kita. Padahal Sang Atman hadir dimana
saja dalam bentuk apapun juga bahkan juga hadir di dalam diri para setan, dedemit,
raksasa dan iblis sekalipun. Semua berasal dari Yang Maha Kuasa termasuk engkau
dan aku, jadi apakah yang berbeda?, membenci seseorang lain sama dengan
membenci diri kita sendiri, demikian juga kalau kita mencintai orang lain. Jadi
jangan sia-siakan energi dan tenagamu untuk membenci atau mencintai semuanya
(secara duniawi), lalu harus bagaimana?
Seandainya anda adalah sesorang pencari kebenaran dan merasa dahaga akan
eksistensinya, dan ingin menyatu kepada Yang Maha Esa, dan ingin mengabdikan
dirimu kepadaNya, maka sadarlah akan HakikatNya Yang Tunggal yang serba hadir
di dalam berbagai manifestasiNya, dengan demikian timbullah sikap Ahimsa
(welas-asih dan non kekerasan) di dalam dirimu. Dan dikau akan sadar bahwa
cinta-kasihNya (Prema) sebenarnyalah yang menunjang seluruh alam-semesta dengan
berbagai aktivitasNya. Alam semesta ini yang kita lihat dan rasakan sebenarnya
terpadu secara alami di berbagai hukum alam yang semuanya berlandaskan kepada
prinsip-prinsip cinta-kasih Sang Pencipta.
Seandainya seseorang di dunia ini merasa tidak bahagia, selalu sengsara, terabaikan
dan bejat, itu semata-mata adalah salahnya sendiri yang selalu merasakan demikian,
bukan salah dunia atau sekelilingnya. Bhagavat-Gita menyatakan “Dikau sendiri
adalah teman bagi dirimu sendiri, dan dikau sendiri adalah musuh bagi dirimu juga”.
Sewaktu kita bersikap kotor pada diri sendiri, maka Sang Jati Diri di dalam diri kita
“bereaksi dan memusuhi” kita. Sewaktu kita mencintai diri dan sekeliling kita, Ia
pun bersikap ramah dan penuh prema kepada kita semua. Semua ini adalah refleksi
jiwa dan batin kita, jadi mulailah dari dirimu sendiri dan jangan mengharapkan dari
orang-orang lain. Menurut Ishavasya Upanishad, seandainya seseorang sudah
mampu mencapai Yang Maha Tunggal di alam-semesta ini, manusia ini tidak akan
merasa terabaikan atau merasa ditolak dalam situasi apapun (tahap ini disebut
jugupsa), suatu tahap dimana insan yang saleh sudah harmonis jiwa dan raganya, dan
selaras dengan kehendak Beliau. Ishavasya Upanishad bahkan menyabdakan “di
tahap ini, tidak ada khayalan, tidak ada penderitaan yang dapat mencapai seseorang
yang telah manunggal dengan Yang Maha Kuasa yang hadir di mana saja”. Stanza
ini disampaikan oleh sishya yang tidak disebutkan namanya.
Sewaktu seorang jabang bayi dibentuk dalam rahim ibunya maka ia tumbuh
berkembang lepas dari berbagai nafsu, kemarahan, keserakahan dan khayalan. Ia
berkembang menjadi seorang bayi dalam keheningan rahim ibunya, dan setelah ia
dilahirkan mulailah ia mempelajari dan mempraktekkan semua sifat-sifat alami ini,
dan melupakan bahwasanya ia juga diberi unsur-unsur ketenangan, keheningan pada
awal mula penciptaannya. Konon, para guru dan resi di India sering mengajarkan
bahwa semasa janin hidup di dalam rahim ibunya maka ia berada dalam posisi
mengambang dan bermeditasi sambil selalu berdialog dengan Sang Atman selama 9
bulan 10 hari sampai ia dilahirkan, dan pada saat itu Sang Atman pun langsung sirna
dari depan matanya tetapi tidak dari sanubarinya yang terbungkus oleh ilusi duniawi
ini. Ada juga yang mengatakan bahkan selama beberapa bulan atau tahun Sang
Atman masih mau menampakkan diriNya pada sang balita ini, yang sering terlihat
tersenyum manis atau berbicara sendiri sewaktu tidur. Lalu pada perkembangan
selanjutnya sang bayi terkontaminasi oleh berbagai faktor duniawi dan kemudian
melupakanNya. Pada suatu saat dikemudian hari, seseorang akan selalu
bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, “Siapakah aku ini, darimana aku ini berasal,
kemana aku akan kembali, dan apakah arti kehidupan ini?”. Ia akan merenung dan
sering mendambakan keheningan. Di saat inilah sebenarnya meditasi dapat dimulai
lagi dari awal, dan pada saatnya Sang Atman, yang sebenarnya sudah bersama-sama
kita sejak awal penciptaan akan menciptakan suatu fenomena atau keadaan yang akan
menjuruskan fokus kehidupan kita ke arahNya lagi. Beliau yang terkesan “hilang”
karena ilusi duniawi selalu akan menuntun dan mengingatkan kita agar kembali
kepadaNya (Tuhan Yang Maha Esa). Sloka di atas mengingatkan kita bahwa
seseorang yang tidak sadar akan hakikat ini adalah orang yang bodoh, karena
walaupun sudah memilikiNya, tetap saja tidak sadar akan fenomena tersebut. Oleh
karena itu kita semua seharusnya waspada akan seluruh potensi baik itu, negatif atau
positif yang diberikan oleh Yang Maha Esa di dalam diri kita. Tanggalkan
ke”aku”an, tanggalkan jalan pikiran atau perasaan yang menyatakan “ini punyaku”
dan ego-ego pribadi semacam ini. Kendalikan semua indriyas, pikiran dan berbagai
potensi yang kita miliki ini secara harmonis, pergunakan bila perlu saja dan secara
wajar dan cukup-cukup saja, kemudian pasrahkan hasil atau pahala baik dan buruk
(akibatnya) kepada Sang Pencipta yang tentunya lebih faham akan makna sebenarnya,
karena setiap tindakan kita ini berasal dariNya, dirancang olehNya dan ditentukan
olehNya. Tidak ada apapun selain Dia, dan Dia adalah aku ini (soham). Tanpa Dia
tidak ada yang eksis, dengan demikian kita semua akan sadar akan kemanusiaan kita
yang sesungguhnya dan berbakti penuh kesadaran demi Dia yang bersemayam di
dalam diri kita ini. Sewaktu anda bersatu denganNya di dalam kesadaran yang
penuh, maka anda sebenarnya telah moksha semasa anda masih hidup, demikian kata
para resi guru.
Salah seorang murid Sri Shankara yang tidak disebutkan namanya pernah
mempersembahkan sebuah sloka kepada gurunya sendiri seperti berikut ini :”Nafsu,
kemarahan dan keserakahan adalah pencuri-pencuri yang selalu siap mencuri dan
senantiasa hadir di dalam diri kita, mereka ini selalu siap untuk mencuri mutiara
dalam (bentuk ilmu-pengetahuan) itu ….. oleh sebab itu waspada dan waspadalah
selalu”.
Di dunia ini banyak orang yang berharta tetapi miskin sekali akan ilmu-pengetahuan
spiritualnya dan juga begitu sebaliknya. Ada yang miskin kesehatannya dan
membutuhkan tranfusi darah, lalu kita yang segar-bugar mengapa tidak membantunya
dengan darah kita kalau hal tersebut memungkinkan.
Mempelajari Bhagavat-Gita adalah sebuah anjuran dari semua resi dan guru, sampai
saat ini belum ada satu gurupun di India atau dimanapun juga di dunia ini yang
mampu menghasilkan kesadaran filosofi setinggi “Bhagavat-Gita. Bahkan Sai Baba
secara pribadi dan para guru lainnya di India selalu bersumber kepada Veda ke lima
ini, yang telah menjadi sumber pegangan bagi Mahatma Gandhi, Nehru, Swami
Vivekananda, Soekarno dan banyak cendekiawan baik di barat maupun di timur.
Tetapi mempelajarinya saja tidaklah akan cukup, bagaimana mengaplikasikan ajaran
ini dalam kehidupan sehari-harinya adalah faktor penentu yoga kebenaran Hindhu
Dharma ini.
Keterangan : Iman dan bhakti pada murid ke guru penuntun spiritualnya adalah
faktor inti dari penitian jalan ke arah Yang Maha Esa. Sebaliknya seorang guru
yang baik amat sangat berbahagia hatinya mendapatkan sishya yang baik dan
berbhakti kepadanya. Guru yang berprinsip “sia-sia saja guru yang baik tanpa murid
yang baik, demikian juga sebaliknya”, adalah guru yang bijaksana. Dengan berbekal
iman terhadap gurunya, para murid akan sanggup beriman kepada Yang Maha Esa,
inilah tangga-tangga spiritual yang harus didakinya. Bagi seorang guru seagung Sri
Shankara Acharya, para sishya yang mengikutinya ke Kashi selama kurun waktu
perjalanan spiritualnya pantas untuk didoakan. Inilah karunia dari para guru yang
mulia bagi pengikut-pengikutnya.
Sri Shankara Acharya sendiri adalah murid terbaik dari Sri Govindacharya dan
Shankara merasa gurunya adalah keberadaan dari Govindam (Yang Maha Esa) itu
sendiri …. “Bhaja Govindam, Bhaja Govindam” ini tersirat dipersembahkan olehnya
sekaligus ke gurunya dan ke Yang Maha Esa pada saat yang bersamaan. Para guru
spiritual di India, baik di masa-masa yang telah lalu maupun dewasa ini selalu
diagungkan oleh masyarakat dan para pengikutnya. Berbagai Upanishad seperti
Chandogya Upanishad dan yang lainnya mengagungkan guru sesuai tradisi Sanathana
Dharma. Di Indonesia, bagi saudara-saudara kita yang berlainan agama banyak
hadir para kyai dan ulama dan pembimbing masyarakat yang sehari-harinya
membimbing umat ke jalannya Yang Maha Esa. Tetapi bagi umat Hindhu Dharma,
guru-guru agung dan mulia ini sudah tidak eksis lagi diantara masyarakat kita, dan
tradisi antara guru dan murid sudah hilang, kalau ada satu dua pembimbing maka ia
lebih banyak menulis di mass-media daripada mendirikan ashram, sehingga kalau
karya ini bisa diibaratkan seorang guru, maka semoga para pembacanya akan
terbebaskan dari segala ikatan duniawi ini, dengan menghayati ajaran-ajaran yang
tersirat di sini. Bhaja-Govindam sebenarnya hanyalah berupa sebuah karya kecil
dan sederhana, tetapi adalah salah satu yang terpopuler di India dan kata-kata “Bhaja
Govindam, Bhaja Govindam” sudah menjadi puja-puji tersendiri bagi umat Hindhu di
mana saja.
Om Tat Sat