Anda di halaman 1dari 6

PDFaid.

com Ngilmu Kasampurnan ( Wirid


Home
#1 pdf solutions online Mengenal Cahaya Kehidupan (Nur Rajah Kalacakra ) Search this site... Jalankan
Hidayat Jati )

Serat Sultan Agung ( saresehan para wali ) Suluk Wujil ( Sunan Bonang ) Suluk Sunan Kalijogo

Serat Siti Jenar Hakikat Insan Kamil ( vers. siti jenar ) Ajaran Rahasia Orang Jawa Syekh

Abdul
Qadir

Al Jailani

Tafsir Kisah Musa dan Khidir Semar Serat Dewa Ruci Mitologi Sang Ratu Kidul

Ramayana Aji Saka Mitologi Pasaran dan Hari Mangkunegaran IV ( Sembah dan Budi

Luhur )

Falsafah Orang Jawa Sedulur Papat Limo Pancer Meditasi Serat sastra gending “20
petunjuk “aksara” ( Sultan Agung

Prabu Anyakrakusuma )

Kidung Rumeksa Ing Wengi SERAT AGUTARA NIKAYA SERAT ANGLING DARMA Pujine Dina

Pitu

Pujine Badan Pujine Nafas Patang Prakara Pujine Napsu Patang Prakara Pujine Ati

Patang Prakara

Pujine Wijining Manusa Pujine Anasiring Manusa Martabat Tujuh Wejangan Nabi Khidir

Hakikat Kematian, Peperangan, Punakawan ( Barathayudha ) Sifat 30 ing badane manusa

Pikukuhing Iman iku 8 RSS

… Samudera Hening Hey there! Thanks for dropping by ... Samudera Hening! Take a look
around and grab the RSS feed to stay updated. See you around!
Kembali ke Kehampaan …..

1 Art of Life Life Circle Renungan Harian

Aji Saka

Karya klasik berbentuk puisi tembang macapat, dan berbahasa Jawa Baru. Isi teks tentang cerita mitos yang dimulai dengan kedatangan Aji Saka dari Arab
( bumi Majeti )ke Tanah Jawa atau Medhang Kamulan. Diceritakan pula tentang kematian Prabu Dewatacengkar oleh Aji Saka yang kemudian
menggantikannya sebagai raja di Medhang Kamulan dengan gelar Prabu Jaka. Cerita ini diakhiri dengan peperangan antara para Adipati Brang Wetan (pesisir
timur) melawan Prabu Banjaransari di Kerajaan Galuh.Aji Saka dalam perjalanannya ke Medhang Kamulan singgah di rumah seorang janda bernama
Sengkeran. Ditempat inilah banyak orang yang berguru kepada Aji Saka. Raja Medhang Kamulan, Prabu Dewatacengkar, senang sekali melihat banyak orang
ditempat tersebut kesukaannya memakan daging manusia. Oleh karena itu orang-orang menjadi takut.Aji Saka menawarkan dirinya lewat Patih Trenggana
agar dihadapkan sebagai santapannya. Ia mengajukan persyaratan meminta tanah seluas ikat kepala yang dimilikinya untuk dibentangkan di tanah
tersebut.

Raja Dewatacengkar menyanggupinya sehingga ikat kepala yang dibentangkan tadi memenuhi wilayah Medhang Kamulan. Dewatacengkar terdesak dan
akhirnya sampai di pantai selatan hingga tercebur dalam samudera dan berubah wujud menjadi buaya putih. Selanjutnya Aji Saka kembali ke Medhang
Kamulan dan menggantikan kedudukannya sebagai raja dengan gelar prabu Jaka atau Prabu Anom Aji Saka. Sepeninggal Dewatacengkar kerajaan Medhang
Kamulan menjadi aman tenteram dan damai kekuasaan Aji Saka. Ia dapat membuat manusia dengan tanah dan menciptakan aksara Jawa yang disebut
Dhentawyanjana. Diceritakan pula mengenai naga Nginglung yang mengaku dirinya sebagai putra prabu Jaka. Ia disuruh untuk membunuh buaya putih di
samudera yang merupakan penjelmaan Dewatacengkar. Naga tersebut dapat membunuh buaya putih sehingga diakui sebagai putranya dan diberi nama
Tunggul Wulung.

Raden Daniswara di Panungkulan bermaksud ingin merebut Kerajaan Medhang. Ia disarankan oleh Hyang Sendhula agar meminta bantuan kepada ratu Kidul
yang bernama Ratu Angin-Angin. Ia kemudian dapat menjadi raja di tanah Jawa dengan sebutan Raja Daniswara atau Srimapunggung. Ki Jugulmudha
dijadikan patih dengan gelar Adipati Jugulmudha. Langkah selanjutnya adalah ingin menaklukan pesisir mencanegara. Setelah selesai tugasnya ia kembali
ke Panungkulan dan selanjutnya berniat menaklukan Medhang. Akhirnya Aji Saka moksa bersama dengan kerajaannya sedangkan Medhang dibawah
kekuasaan Srimapunggung. Setelah Srimapunggung moksa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sri Kandhihuwan. Setelah Sri Kandhihuwan
moksa kemudian digantikan oleh prabu Kelapagadhing. Selanjutnya kekuasaan secara berturut-turut digantikan oleh : (1) Prabu Andhong, (2) Sri
Andhongwilis, (3) Prabu Banakeling, (4) Sri Banagaluh, (5) Sri Awulangit, (6) Ratu Tunggul, (7) Selaraja, (8) Mundhingwangi, (9) Mundhigsari, (10)
Jajalsengara, (11) Gilingwesi, (12) Sri Prawatasari, (13) Wanasantun, (14) Sanasewu, (15) Raja Tanduran, (16) Rama Jayarata, (17) Raja Ketangga, (18) Raja
Umbulsantuin, (19) Raja Padhangling, (20) Ratu Prambanan, (21) Resi Getayu, (22) Lembu Amiluhur, (23) Raden Laleyan, dan (24) Raden Banjaransari). Pusat
kerajaan di Medhang Pangremesan atau Jenggala.

Pada saat pemerintahan Raden Banjaransari, ia mendapatkan wangsit dari dewa Sang Hyang Narada agar meninggalkan kerajaan untuk pergi ke arah barat
yang akhirnya sampai di Gua Terusan untuk bertapa. Ditempat inilah ia dapat bertemu dengan kakeknya, Sang Hyang Sindula, yang akhirnya dapat menjadi
raja di Kerajaan Galuh. Disebutkan pula mengenai peperangan antara para Adipati Brang Wetan melawan Prabu Banjarsari di Kerajaan Galuh.

Cerita Ajisaka tersebut diatas ada yang mengartikan perlambang atau bermakna sebagai berikut :

1. Ajisaka

Aji = Raja ( pegangan raja )

Saka = Pilar

2. Majeti

Ma = Diterima ( keterima )

Jet = Grenjet ( bijaksana )

Ti = Pangesti ( doa khusuk )

Artinya : Doa orang yang bijak, yang melakukan dengan khusuk akan diterima.

3. Medang Kamolan

Kamolan = Mula = tempat asal muasal kehidupan

Beberapa resensi tentang Ajisaka terdapat pada serat Jatiswara dan Serat Centhini yang memuat sebuah episode mengenai nama Ajisaka ( Raja Jawa
Pertama ) pada abad ke. 17.

Ngasah paluning bangsa

Isih tungkul padhadene

Ngalung anduk bebasane

Oglak aglik gegondhele

Maling alok maling

Osoring ketara

Sapa wani arumangsa?

KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda.
Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional.
Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Konsepsi secara tradisional.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar
dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang
sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang
sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka
( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau
Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain,
kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-
mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka,
Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang
ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan
Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan
Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang
dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing
mencakupi lima sastra, yakni :

1. Ha-na-ca-ra-ka 2. Da-ta-sa-wa-la

3. Pa-dha-ja-ya-nya 4. Ma-ga-ba-tha-nga

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

Dora goroh ture werdineki Dora bohong ucapannya yakin

Sembada temen tuhu perentah Sembada jujur patuh perintah

Sun kabranang nepsu ture Ku emosi marah ucapannya

Cidra si Dora iku Ingkar si Dora itu

Nulya Prabu Jaka angganggit Lalu Prabu Jaka Menganggit

Anggit pinurwa warna Anggit dibuat macam

Sastra kalih puluh Sastra dua puluh

Kinarya warga lelima Dibuat warga lelima

Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya

Pindho Da-ta-sa-wala Dua Da-ta-sa-wala

Yeku sawarga ping tiganeki Yaitu sewarga ketiganya

Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya Pa-dha-ja-ya-nya sewargane

Ma-ga-ba-tha-nga ping pate Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya

Iku sawarganipun itulah sewarganya

Anglelima sawarganeki Lima-lima satu warganya

Ran sastra sarimbangan Nama sastra sarimbangan

Iku milanipun Itulah sebabnya

Awit ana sastra Jawa Mulai ada hufur Jawa

Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji Mulai diberi harakat satu per satu

Weneh-weneh ungelnya Macam-macam lafalnya

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-
anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar
kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa.
Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga
puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah
dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan.
Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 )
yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah
selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa
Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning
Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur
Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa
ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun
1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 :
80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni
seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab.
Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan
Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan
pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau
Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan
oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra
Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab,
Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang
mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan
penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi
Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk
memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu
saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 :
26 )

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang
mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan
siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan
negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah
atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk
menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga
pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu
dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam
jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih
terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri
pencipta aksara tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah

Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir
sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat
( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat
pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa
muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka,
1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis,
meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang
ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen,
1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa
menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah
ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh
hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa.
Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya
sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa
baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 :
370 )

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai
ciptaan )

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala
atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksudnya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh,
cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah,
sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX

Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura adalah ” Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara
Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningrat “. Dalam makalah itu dikemukakan oleh
Yasadipura ( 1992 : 9 – 10 ) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran ( filsafat hidup ) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai
dengan tembang kinanthi, sebagai berikut.

Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran

Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa

Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan

Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya

Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa

Iku guru kang sejati itu guru yang sejati

Ha Na Ca Ra Ka

MAKNA HURUF

Ha
Hana hurip wening suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci

Na
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi

Ca
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal

Ra
Rasaingsun handulusih – rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani

Ka
Karsaningsun memayuhayuning bawana – hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam
Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya

Ta
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa – mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup

Sa
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan

Wa
Wujud hana tan kena kinira – ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas

La
Lir handaya paseban jati – mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi

Pa
Papan kang tanpa kiblat – Hakekat Allah yang ada disegala arah

Dha
Dhuwur wekasane endek wiwitane – Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar

Ja
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya

Ya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi – yakin atas titah /kodrat Illahi

Nya
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki – memahami kodrat kehidupan

Ma
Madep mantep manembah mring Ilahi – yakin – mantap dalam menyembah Ilahi

Ga
Guru sejati sing muruki – belajar pada guru nurani

Ba
Bayu sejati kang andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam

Tha
Tukul saka niat – sesuatu harus dimulai – tumbuh dari niatan

Nga
Ngracut busananing manungso – melepaskan egoisme pribadi -manusia

KELAHIRAN HA-NA-CA-RA-KA

Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda.
Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional.

Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar
dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang
sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang
sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka
( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau
Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain,
kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-
mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka,
Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang
ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan
Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan
Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang
dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing
mencakupi lima sastra, yakni :

1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

Dora goroh ture werdineki


(Dora bohong ucapannya yakin)
Sembada temen tuhu perentah
(Sembada jujur patuh perintah)
Sun kabranang nepsu ture
(Ku emosi marah ucapannya)
Cidra si Dora iku
(Ingkar si Dora itu)
Nulya Prabu Jaka angganggit
(Lalu Prabu Jaka Menganggit)
Anggit pinurwa warna
(Anggit dibuat macam)
Sastra kalih puluh
(Sastra dua puluh)
Kinarya warga lelima
(Dibuat warga lelima)
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki
(Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
Pindho Da-ta-sa-wala
(Dua Da-ta-sa-wala)
Yeku sawarga ping tiganeki
(Yaitu sewarga ketiganya)
Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya
(Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
Ma-ga-ba-tha-nga ping pate
(Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
Iku sawarganipun
(itulah sewarganya)
Anglelima sawarganeki
(Lima-lima satu warganya)
Ran sastra sarimbangan
(Nama sastra sarimbangan)
Iku milanipun
(Itulah sebabnya)
Awit ana sastra Jawa
(Mulai ada huruf Jawa)
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
(Mulai diberi harakat satu per satu)
Weneh-weneh ungelnya
(Macam-macam lafalnya)

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-
anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar
kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa.
Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga
puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah
dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan.
Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni ( 1984 : 147-148 )
yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah
selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa
Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning
Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur
Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi , penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa
ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun
1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 :
80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni
seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab.
Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad ( yang hidup pada akhir abad VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan
Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan
pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito ( dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46 ) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau
Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno ( 1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan
oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra
Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis ( Hadi Soetrisno, 1941 : 6 ). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab,
Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata ( Hadi Soetrisno, 1941 : 3 – 6 )

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang
mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang ( Hadi Soetrisno 1941 : 10 ).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan
penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi
Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk
memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu
saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 :
26 )

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang
mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan
siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan
negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah
atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk
menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga
pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu
dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam
jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih
terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri
pencipta aksara tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah

Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir
sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat
( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat
pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa
muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka,
1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis,
meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang
ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen,
1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa
menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah
ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh
hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa.
Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya
sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa
baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 :
370 )

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ” utusan ” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai
ciptaan )

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala
atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ” sama ” atau sesuai, jumbuh,
cocok ” tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ” menang, unggul ” sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan ” sekedar menang ” atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah,
sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Jakarta, Senin Pahing, 15 Desember 2008

pukul ; 09.45 – by Satmata

Memuat...

Tinggalkan Balasan

Surel (wajib)
(Alamat takkan pernah dipublikasikan)

Nama (wajib)

Situs web

Kirim Komentar
c Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik.
d
e
f
g

Friends & links Halaman Arsip Bulanan


Blog pada WordPress.com Mengenal Cahaya Kehidupan (Nur Rajah Desember 2011
. Kalacakra )
Juli 2011
Blog pada WordPress.com Ngilmu Kasampurnan ( Wirid Hidayat Jati )
Juni 2011
. Serat Sultan Agung ( saresehan para wali )
Desember 2010
Suluk Wujil ( Sunan Bonang )
Februari 2010
Suluk Sunan Kalijogo

Serat Siti Jenar

Ajaran Rahasia Orang Jawa

Hakikat Insan Kamil ( vers. siti jenar )

Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Tafsir Kisah Musa dan Khidir

Semar

Serat Dewa Ruci

Mitologi Sang Ratu Kidul

Ramayana

Aji Saka

Mitologi Pasaran dan Hari

Falsafah Orang Jawa


Mangkunegaran IV ( Sembah dan Budi
Luhur )

Sedulur Papat Limo Pancer

Meditasi

Kidung Rumeksa Ing Wengi

Serat sastra gending “20 petunjuk


“aksara” ( Sultan Agung Prabu
Anyakrakusuma )

SERAT AGUTARA NIKAYA

SERAT ANGLING DARMA

Pujine Dina Pitu

Pujine Badan

Pujine Nafas Patang Prakara

Pujine Napsu Patang Prakara

Pujine Ati Patang Prakara

Pujine Wijining Manusa

Pujine Anasiring Manusa

Martabat Tujuh

Wejangan Nabi Khidir

Hakikat Kematian, Peperangan, Punakawan


( Barathayudha )

Sifat 30 ing badane manusa

Pikukuhing Iman iku 8

Blog pada WordPress.com. | The Motion Theme. [ Kembali ke atas ]

Anda mungkin juga menyukai