Anda di halaman 1dari 72

Agama Hindu

Hinduisme merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal,
yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran, di
antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan hukum dan
aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma,
dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan
filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti
pada agama Abrahamik.

Sungai Indus di Pakistan, yang merupakan asal dari kata Hindu.


Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan
hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-
dharma (Dewanagari: सनातन धर्म), artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui
asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh
umatnya—tanpa memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan
pengendalian diri.
Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai
tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri.
Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama
masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut
muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad
ke-8. Dari India Utara, "Sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara.
Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah
dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara
luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi
yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh
gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu.
Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan
jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan
pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang
disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada
umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan
melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar")
dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut
memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan
kaidah arsitektur Hindu. Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya
tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti,
dan Agama (semuanya tergolong Smerti).
Dengan penganut sekitar 1 miliar jiwa, agama Hindu merupakan agama terbesar ketiga di
dunia, setelah Kristen dan Islam.
Etimologi

Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku
bangsa di suatu daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan
sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk
'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah
padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen, sehingga mencakup
berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme'
ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan
agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut
diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk
menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa
Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.
—Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.
Kiri: Peta kawasan peradaban Lembah Indus (ditandai dengan warna hijau) beserta kota-kota
kuno di sekitar aliran sungai Sindhu.
Kanan: Peta aliran sungai Sindhu di negara Pakistan, yang terletak di antara
negara Afghanistan dan India.

Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu
nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak
di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus. Menurut Gavin Flood,
pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut
suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindhu. Para sejarawan pun menyebut
peradaban suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah
'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Eropa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada
negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar Sungai Sindhu. Istilah Arab tersebut
berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-
13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti
"Negeri para Hindu".
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa
Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca. 1450) dan beberapa teks
mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali,
seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk
membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha. Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah
Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut
agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa
Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli
India.
Definisi

Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi


"Hinduisme"—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang Barat tentang
agama tersebut. Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta dampaknya telah menjadi topik
perdebatan di kalangan ahli Hindu, dan turut dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India
menurut pandangan Barat. Karena istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan
yang luas, maka sulit untuk memperoleh definisi yang komprehensif. Tanpa keseragaman,
Hinduisme didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan
religius
Pengaruh kolonial
Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan tradisi di India
sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12. Gagasan "Hinduisme" sebagai "tradisi
keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang
mengacu kepada "kasta-kasta brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di
India. Hal ini mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan
terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya, serta bagi
hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai
perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).
Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan
"brahmanisasi" dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga memengaruhi
pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana melestarikan kitab-kitab Hindu
yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa. Kewenangan kitab-kitab tersebut telah
menjadi sasaran penelitian orang Eropa. Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh
kaum orientalis Eropa didasari oleh kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis
daripada otoritas lisan. Kaum Brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama
tentang "suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni".
Pendapat orang Hindu
Menurut Sarvepalli Radhakrishnan,
"Hinduisme tidak sekadar keyakinan. Ia adalah gabungan antara penalaran dan intuisi yang
tak dapat didefinisikan, tapi hanya bisa dirasakan."
Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan hidup tradisional. Banyak penganutnya yang
menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma, artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang
abadi".Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi" yang harus dijalankan oleh seluruh umat
Hindu—tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—seperti kejujuran, tidak
menyakiti makhluk hidup, menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar, mengendalikan
nafsu, mengendalikan diri sendiri, murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda dengan swadarma,
artinya "darma seseorang", yaitu kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang diikuti
dan tingkatan kehidupan. Menurut Kim Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan
bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia, dan kebenarannya disampaikan oleh
Tuhan (Sruti) serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa kini, dalam suatu
kumpulan kitab tertua di dunia, yaitu Weda.
Menurut Encyclopædia Britannica:
Pada masa kini, istilah [Sanatana-dharma] itu pun digunakan oleh para pemuka, reformis,
dan nasionalis Hindu untuk menyebut Hinduisme sebagai suatu agama dunia yang bersatu.
Maka dari itu, Sanatana-dharma menjadi sinonim bagi kebenaran dan ajaran Hindu yang
"abadi", yang kemudian dipahami bahwa tidak hanya transenden bagi sejarah dan tak
berubah-ubah, tapi juga tak terbagi-bagi dan pada pokoknya bukanlah sektarian.

Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu
menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh
orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli
Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi. Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah
tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah
merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat. Intisari dalam filsafatnya
adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga
seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat ilahi bawaan" tersebut, dan
dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka
berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial. Menurut Flood, pandangan Vivekananda
terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu
golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa
kini.
Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut
dengan filsafat Barat dan India. Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan
Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada
hakikatnya rasional dan humanistis. Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan
penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.
Pendapat orang Barat

Monier-Williams (1819–1899), Profesor Sastra Sanskerta dan Indolog


terawal, berpendapat bahwa "berawal dari Weda, Hinduisme telah merangkul berbagai
bentuk kepercayaan, dan menyajikan fase yang cocok bagi berbagai pikiran. Paham tersebut
begitu toleran, rendah hati, komprehensif, dan menerima [berbagai bentuk tradisi]."
Toleransi agama Hindu terhadap aneka ragam aliran kepercayaan dan tradisi yang berbeda-
beda membuatnya sulit untuk didefinisikan sebagai suatu agama menurut pemahaman
tradisional orang Barat. Dalam sejumlah kajian didapati bahwa agama Hindu dapat
dipandang sebagai suatu kategori dengan "batas-batas yang kabur", daripada suatu lembaga
yang tegar dan terdefinisikan dengan baik. Beberapa aktivitas keagamaan Hindu dapat
dipandang sebagai hal yang lazim dalam agama tersebut, sementara yang tak lazim pun masih
dapat dimasukkan ke dalam kategori agama Hindu. Berdasarkan pemikiran-pemikiran
tersebut, Ferro-Luzzi menulis suatu 'pendekatan Teori Prototipe' untuk mendefinisikan
Hinduisme.
Menurut Flood, globalisasi kebudayaan Hindu diprakarsai oleh Swami Vivekananda dengan
mendirikan Misi Ramakrishna, dan diikuti oleh para pemuka Hindu lainnya, yang membawa
ajaran yang menjadi kekuatan kultural penting dalam masyarakat Barat, dan sebagai
akibatnya menjadi kekuatan kultural penting di India, tempat ajaran itu bermula.
[43] Hinduisme Global tersebut menarik minat di seluruh dunia, melampaui batas-batas
nasional, dan telah menjadikannya suatu agama dunia yang berdampingan
dengan Kekristenan, Islam, dan Buddhisme, bagi komunitas Hindu seluruh dunia maupun
orang-orang Barat yang tertarik dengan kebudayaan dan kepercayaan non-Barat. Agama ini
menekankan nilai-nilai spiritual universal seperti keadilan sosial, kedamaian, serta
"transformasi spiritual umat manusia." Sebagian perkembangannya disebabkan oleh "re-
enkulturasi" atau efek Pizza, yaitu suatu kondisi ketika unsur-unsur kebudayaan Hindu
diperkenalkan ke Dunia Barat, lalu mendapatkan popularitas di sana, dan sebagai akibatnya
juga mendapatkan popularitas yang lebih besar di India.
Karakteristik

Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama
Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka
memang demikian berbeda. Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat
lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam
semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai
wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-
lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian
dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri
Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal
ataupun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-
habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan
melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).
Akar Hinduisme
Seorang wanita melakukan puja saat matahari terbenam di Rishikesh, Haridwar.

Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu
telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah
'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah
berpangkal sejak purbakala. Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena
ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme
sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah
satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51]
[49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan
peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu
meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta
kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai
Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa
di India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan ca. 300 M,[48] pada permulaan periode
"Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa
ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan
tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul
di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti
Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan
umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya
adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan
mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang
pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh
berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India
Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan:
pengadaan permukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;
[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut
dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-
orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan
sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut
menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung
persamaan konseptual.[68]
Keanekaragaman

Diversitas Hinduisme

Anak-anak Hindu saat perayaan gaijtra di Kathmandu, Nepal.

Ritual keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.


Tari kebaktian yang dilakukan wanita Hindu di Moskwa, Rusia.

Upacara Puja barthaband di Bagmati, Nepal.

Seorang petapa Hindu di tepi sungai Gangga, Benares, India.

Ritus tindik lidah saat thaipusam di Batu Caves, Malaysia.


Perayaan mandi suci (baruni snan) di Bangladesh.

Praktisi yoga melakukan sikap halasana di Zhengzhou, Tiongkok.

Prosesi keagamaan Hindu di Bali, Indonesia.

Prosesi pernikahan adat Hindu di Budhanilkantha, Nepal.


Agama Hindu dapat dideskripsikan sebagai sebuah wadah tradisi yang memiliki "sifat
kompleks, bertumbuh, berhierarki, dan kadangkala inkonsisten secara internal." Agama
Hindu tidak mengenal "satu sistem kepercayaan yang disusun demi menyeragamkan
keyakinan atau iman", namun menjadi istilah awam yang meliputi kemajemukan tradisi
keagamaan di India. Menurut Mahkamah Agung India:
Tidak seperti agama lainnya di dunia, agama Hindu tidak mengklaim satu nabi saja, tidak
memuja satu dewa saja, tidak menganut satu konsep filosofis saja, tidak mengikuti atau
mengadakan satu ritus keagamaan saja; faktanya, ciri-ciri [agama Hindu] itu tidak seperti
agama atau kepercayaan lain pada umumnya. Tak lain dan tak bukan, agama [Hindu] itu
merupakan suatu jalan hidup.

Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah
adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini
merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda
tetapi memiliki persamaan.
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran
bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya
bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan
manifestasi beragam dari Yang Maha Esa Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—
sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap
ke seluruh alam semesta, tapi alam semesta bukanlah Tuhan. Beberapa filsafat
Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan
alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme
tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan"
(salvation), namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi
keagamaan. Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi
keselamatan, tapi berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan.
Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau
siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan"
adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari
seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.
Persamaan
Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam
Hinduisme. Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental
dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk
pelaksanaannya. Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar
seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama
dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa,
sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan
dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak
setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai
manifestasi dari Yang Mahakuasa. Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh
Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban
yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang
disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya. Sekte Hindu
seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, tapi masih memiliki kepercayaan
akan Siwa. Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang
disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan
Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip
dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau
Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa
disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep
tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan
Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan
saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang
mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang
sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai
memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal
dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam
sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum." Tendensi dari kekaburan distingsi
filosofis juga digarisbawahi oleh Burley. Hacker menyebut perihal tersebut sebagai
"inklusivisme", dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri". Menurut Lorenzen,
rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,
[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum
Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an. Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi
yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu:
pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa
berikutnya … Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti
pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan
gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau.
Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah,
terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat
reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang
berbagai subjek.

Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan
reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.
Penggolongan
Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau
aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab pada masa lalu—yang digolongkan sebagai
"enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih
bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini
disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang
ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme),
dan Smarta (Smartisme).
Enam tipe umum
Prosesi ganga aarti di Dashashwamedh Ghat, Benares.
Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan
maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun
enam tipe tersebut sebagai berikut:
 Agama Hindu rakyat, yaitu agama Hindu yang berdasarkan pada tradisi masyarakat setempat
serta pemujaan dewa-dewi lokal, seperti Hindu Tamil, Hindu Newa, Hindu Bali, Hindu
Manipuri, Hindu Kaharingan, dan lain-lain. Berpangkal dari masa prasejarah atau setidaknya
mendahului penulisan Weda.
 Srauta atau Agama Hindu Weda, dilaksanakan oleh kaum brahmana-tradisional yang
disebut srautin.
 Agama Hindu Wedanta, yaitu agama Hindu yang mengacu pada filsafat Wedanta,
meliputi Adwaita Wedanta (Smarta), dan menekankan pendekatan filosofis pada kitab-
kitab Upanishad.
 Agama Hindu Yoga, yaitu sekte yang menitikberatkan
pelaksanaan yoga menurut Yogasutra Patanjali.
 Agama Hindu Dharma atau agama "moralitas sehari-hari", yaitu Hinduisme yang berdasarkan
pada realisasi karma dan pelaksanaan norma kemasyarakatan seperti wiwaha (adat
pernikahan Hindu).
 Bhakti, yaitu agama Hindu yang menekankan pelaksanaan kebaktian bagi entitas tertentu,
seperti Kresna, Siwa, Ganesa.
Religi dan religiositas Hindu
Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat
macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India
yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama
rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra). Menurut Michaels, tiga
bentuk agama Hindu yakni:
1. Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu
agama politeistis, ritualistis, dan kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar serta
upacara pengorbanan, dan merujuk kepada kitab-kitab Weda sebagai keabsahannya. Agama
ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah tentang agama Hindu karena memenuhi
banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta karena agama ini merupakan yang
dominan di berbagai wilayah India, sebab masyarakat non-brahmana pun mencoba untuk
mengasimilasinya.
2. Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadang kala animistis,
dengan tradisi lisan yang luas. Kadang kala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-
Sanskritis.
3. Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari
keselamatan (salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan sering kali
anti-Brahmanis. Agama ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:
 Agama sektarian: aliran keagamaan yang menggarisbawahi suatu konsep filosofis dari
Hinduisme dan menekankan praktik religius menurut konsep tersebut,
contohnya Waisnawa dan Saiwa.
 Agama-bentukan sinkretis: agama tersendiri yang terbentuk dari sinkretisme antara
Hinduisme dengan agama lain, contohnya Hindu-Islam (Sikhisme), Hindu-
Buddha (Buddhisme Newara), atau Hindu-Kristen (Neohinduisme).
 Agama proselitisis (proselytizing religions), atau "Guru-isme": kelompok keagamaan yang
berawal dari seorang guru dan biasanya menekankan isu universalisme,
contohnya Maharishi Mahesh Yogi dengan gerakan Meditasi Transendental, Sathya Sai
Baba dengan Federasi Satya Sai, Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan
gerakan ISKCON, Maharaj Ji dengan Divine Light Mission, dan Osho.

Menurut Michaels, empat macam religiositas Hindu yakni:


1. Ritualisme: terutama mengacu pada ritualisme Weda-Brahmanistis (Vedic-Brahmanistic
ritualism) yang domestik dan butuh kurban, tapi dapat juga meliputi beberapa
bentuk TantrismeTantrisme. Ini merupakan karma-marga klasik.
2. Spiritualisme: kesalehan intelektual, bertujuan untuk mencari kebebasan (moksa) bagi
individu, biasanya dengan bimbingan seorang guru. Ini merupakan karakteristik Adwaita
Wedanta, Saiwa Kashmir, Saiwa Siddhanta, Neo-Wedanta, Guruisme esoterik masa kini, dan
beberapa macam Tantrisme. Ini merupakan jnana-marga klasik.
3. Devosionalisme: pemujaan kepada Tuhan, seperti yang ditekankan dalam
tradisi bhakti dan Kresnaisme. Ini merupakan bhakti-marga klasik.
4. Heroisme: bentuk religiositas politeistis yang berpangkal dari tradisi militeristis, seperti
Ramaisme dan sebagian dari Hinduisme politis. Ini juga disebut wirya-marga.

Toleransi

Pendeta Hindu diberi kesempatan melantunkan doa dalam suatu upacara yang
diselenggarakan umat agama Romuva di Lituania.
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena
tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol
agama Hindu. Pada awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat
Hindu menganggap setiap orang yang mereka temui sebagai umat Hindu pula. Tetapi pada
masa kini, umat Hindu menerima pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi agama.
Maka, banyak umat Hindu berpendapat bahwa identitas kehinduan diperoleh semenjak
lahir, sementara yang lainnya berpendapat bahwa siapa pun yang mengikuti kepercayaan dan
praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.
Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat
menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar. Dalam tubuh
agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada agama lain—tidak untuk
diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan
nama yang berbeda, entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan. Dalam
kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan
hal tersebut, sebagai berikut:
एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति (Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti)
Arti: "Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak
nama."

Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Swami Vivekananda sebagai


perwakilan India mengawali pidatonya dengan salam "Sisters and brothers of America!" dan
mendapatkan sambutan yang hangat. Ia memperkenalkan Hinduisme sebagai agama yang
mengajarkan toleransi dan bersikap sangat terbuka.
Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan
satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan
tidak mempersoalkan perbedaan agama. Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui
konsep murtad, bidah, dan penghujatan. Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme
agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap
mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut diperselisihkan.
Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, setiap orang tidak hanya patut
menghargai agama lain, tapi juga merangkulnya dengan pikiran yang baik, dan kebenaran
itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, tapi
juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh
Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk
memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu. Sebuah sloka
dalam Bhagawadgita sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut:
ये यथा मां प्रपद्यन्ते तांस्तथैव भजाम्यहम् मम वर्त्मानुवर्तन्ते मनुष्या: पार्थ
सर्वश:
(Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante
manusyāh pārtha sarvaśah.)
Arti: "Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah
setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna."
(Bhagawadgita, IV:11)

Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu
ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam
memuja Tuhan, sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.
Mazhab, aliran, dan gerakan

Partisipasi umat Waisnawa dalam acara Festival Woodstock di Polandia.


Hinduisme tidak mengandalkan otoritas berdasarkan doktrin sentral seperti kredo, pengakuan
iman, rukun iman, atau syahadat. Meskipun tradisi Hindu tidak seragam, banyak umat Hindu
yang tidak mau mengakui dirinya sebagai penganut aliran atau sekte Hindu tertentu. Pada
umumnya, aliran dibedakan berdasarkan pada dewa yang dipuja sebagai manifestasi Yang
Mahakuasa, serta pada tradisi mengenai cara pemujaan dewa tersebut.
Ada empat aliran utama yang sering teramati: Waisnawa, Saiwa, Sakta,
dan Smarta. Umat Waisnawa memuja Wisnu sebagai manifestasi Yang Mahakuasa;
umat Saiwa memuja Siwa sebagai manifestasi Yang Mahakuasa;
umat Sakta memuja Sakti (kekuatan) atau Dewi yang dipersonifikasikan sebagai wanita ilahi;
sedangkan Smarta meyakini kesatuan mendasar dari lima (Pancadewa) atau enam (Shanmata)
dewa sebagai personifikasi dari Yang Mahakuasa. Aliran lainnya
seperti Ganapatya (pemujaan terhadap Ganesa) dan Saura (pemujaan terhadap Surya) kurang
menyebar secara luas.
Sejumlah gerakan keagamaan terkategorikan ke dalam salah satu aliran besar Hinduisme,
contohnya Gerakan Hare Krishna terkategorikan ke dalam golongan Waisnawa. Ada pula
gerakan keagamaan Hindu yang sukar ditentukan untuk dimasukkan ke dalam golongan yang
disebutkan di atas, contohnya Arya Samaj yang diprakarsai Swami Dayananda Saraswati.
Gerakan keagamaan ini berbeda dengan tradisi Hindu pada umumnya, yaitu tidak memuja
Tuhan dengan sarana arca atau lukisan. Gerakan ini berfokus
kepada Weda dan yadnya (yajña; ritus keagamaan berdasarkan Weda).
Di samping empat aliran besar dalam agama Hindu, sekte-sekte keagamaan yang ada
meliputi Ayyavazhi, Swaminarayana, Ravidassia, Linggayata, dan lain-lain. Beberapa sekte
memiliki konsep, mitologi, serta pustaka suci tersendiri yang berbeda dengan tradisi Hindu
pada umumnya. Sekte-sekte tertentu pun memiliki aliran di dalamnya, misalnya tradisi
Tantra.
Enam mazhab filsafat

Lukisan Kapila, dari abad ke-19.


Menurut sistem astika dan nastika, ada sembilan filsafat India klasik. Enam di antaranya
merupakan filsafat Hindu klasik (astika) yang mengakui otoritas Weda sebagai kitab suci.
Tiga filsafat lainnya merupakan aliran heterodoks (nastika) yang tidak mengakui
otoritas Weda, tapi menekankan tradisi perguruan yang berbeda. Adapun enam filsafat Hindu
tersebut sebagai berikut:
 Samkhya: mazhab filsafat yang—dipercaya secara tradisional—digagas oleh Resi Kapila.
Mazhab ini dianggap sebagai salah satu mazhab filsafat tertua di India. Mazhab ini
bersifat dualisme. Menurut Samkhya, alam semesta terdiri dari dua
realitas: purusa (kesadaran) dan prakerti (materi). Jiwa adalah kondisi saat purusa terikat
pada prakriti karena suatu "perekat" yang disebut kehendak, dan akhir dari ikatan itu
disebut moksa. Samkhya menolak bahwa sumber segalanya adalah Iswara (Tuhan). Samkhya
tidak mendeskripsikan apa yang terjadi setelah moksa, dan tidak menyinggung apa pun yang
berkaitan dengan Iswara atau Tuhan, karena filsafat ini menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan esensial antara purusa individu dengan alam semesta setelah mencapai moksa.
 Yoga: mazhab yang menekankan pada pengendalian diri dan pikiran. Mazhab Yoga
menerima psikologi dan metafisika yang diajarkan Samkhya, tapi bersifat
lebih teistis daripada Samkhya, karena ditambahkannya entitas ketuhanan pada 25 elemen
realitas menurut Samkhya. Mazhab ini digagas oleh Resi Patanjali. Yoga menurut Patanjali
dikenal sebagai Rajayoga, yaitu suatu sistem untuk mengontrol pikiran. Berbagai tradisi
Yoga didapati dalam agama Hindu, Buddha, dan Jaina. Para guru dari India memperkenalkan
Yoga ke Dunia Barat, mengikuti keberhasilan Vivekananda pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Pada tahun 1980-an, salah satu jenis Yoga menjadi populer sebagai suatu
sistem latihan jasmani di Dunia Barat. Bentuk Yoga semacam itu disebut Hathayoga.
 Nyaya: mazhab logika dalam Hinduisme. Mazhab spekulasi filosofis ini berdasarkan kitab-
kitab yang disebut Nyayasutra, ditulis oleh Aksapada Gautama pada abad ke-
2 Masehi. Kontribusi signifikan dari mazhab Nyaya adalah metodologi untuk membuktikan
keberadaan Tuhan, menurut kitab Weda. Menurut mazhab Nyaya, ada empat sumber untuk
memperoleh pengetahuan (pramana): persepsi, inferensi, perbandingan, dan testimoni.
Pengetahuan yang diperoleh melalui masing-masing sumber tersebut bisa saja sahih atau
tidak. Sebagai dampaknya, para filsuf Nyaya berusaha keras untuk mencari cara
membuktikan kesahihan pengetahuan melalui sejumlah bagan penjelasan.
 Waisesika: mazhab atomisme dalam Hinduisme yang menyatakan suatu postulat bahwa
segala benda di alam semesta dapat dibagi-bagi menjadi sejumlah atom. Mazhab ini mulanya
digagas oleh Resi Kanada sekitar abad ke-2 Masehi. Secara historis, mazhab ini dikaitkan
erat dengan Nyaya. Meskipun sistem Waisesika dan Nyaya berkembang secara mandiri,
keduanya bergabung karena teori-teori metafisis yang memiliki keterkaitan. Akan tetapi,
dalam bentuknya yang klasik, ajaran Waisesika berbeda dengan Nyaya, karena Nyaya
mengakui empat sumber pengetahuan, sementara Waisesika hanya mengakui persepsi dan
inferensi.
 Mimamsa: mazhab yang kajian utamanya adalah sifat-
sifat darma berdasarkan hermeneutika pada kitab-kitab Weda. Sifat-sifat darma tidak dapat
diakses untuk penalaran atau pengamatan, sehingga harus dikaji melalui otoritas wahyu-
wahyu yang dikandung dalam Weda, yang diyakini kekal, tanpa pengarang (apauruṣeyatva),
dan sempurna. Mazhab Mimamsa mengandung doktrin yang ateistis maupun teistis dan tidak
terlalu tertarik pada keberadaan Tuhan, tapi pada karakteristik darma. Mimamsa sangat
memerhatikan penafsiran tekstual, sehingga memberi rintisan pada kajian filologi dan filsafat
bahasa. Gagasannya tentang "tuturan" (śabda) sebagai kesatuan suara dan makna (penanda
dan petanda) yang tak dapat dibagi lagi dipengaruhi oleh Bhartṛhari (ca. abad ke-5).

Patung Adi Shankara, filsuf mazhab Adwaita yang tertemuka, terletak di Mysore, India.
 Wedanta: mazhab yang berfokus pada kajian tentang tiga sastra dasar dalam filsafat Hindu,
yaitu Upanishad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita. Sekurang-kurangnya, ada sepuluh aliran
dalam mazhab Wedanta, namun tiga di antaranya—Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita—
lebih termasyhur.

Wedanta terdiri dari berbagai macam aliran, tiga di antaranya ialah:


 Adwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Adi Shankara (awal abad ke-8) dan
guru besarnya, Gaudapada, yang menjabarkan Ajatiwada. Menurut perguruan
ini, Brahman adalah satu-satunya kenyataan, sedangkan dunia yang
teramati hanyalah ilusi belaka. Karena Brahman adalah kenyataan sejati, Ia tidak
dapat dikatakan memiliki atribut. Kekuatan ilusif dari Brahman yang disebut maya
(māyā) membuat dunia ini tampak ada. Ketidaktahuan akan kenyataan tersebut
merupakan penyebab adanya penderitaan di dunia, sehingga kebebasan (dari
penderitaan) hanya bisa diperoleh melalui kesadaran akan Brahman. Ketika seseorang
mencoba memahami Brahman melalui pikirannya, maka—karena pengaruh maya—
Brahman hadir sebagai Tuhan berkepribadian (Iswara), yang berbeda dengan dunia
dan juga individu. Pada kenyataannya, tiada perbedaan antara esensi individu yang
sejati (jiwatman) dengan Brahman. Kebebasan dapat diperoleh dengan merasakan
bahwa tiada perbedaan antara keduanya. Maka dari itu, jalan kebebasan ditempuh
dengan pengetahuan (jñāna).
 Wisistadwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Ramanuja (1017–1137).
Menurut perguruan ini, jiwatman adalah bagian dari Brahman, sehingga mereka
mirip, tetapi tidak sama. Menurut Wisistadwaita, Brahman dinyatakan memiliki
atribut (Saguna-brahman), termasuk materi dan jiwa kesadaran individu. Brahman,
materi, dan jiwa individu tidaklah sama tetapi merupakan entitas yang tidak
terpisahkan. Perguruan ini menegaskan Bhakti atau pengabdian kepada Tuhan—yang
dibayangkan sebagai Wisnu—sebagai jalan untuk mencapai kebebasan (moksa).
Dalam perguruan ini, maya dipandang sebagai daya cipta dari Tuhan.
 Dwaita: perguruan Wedanta yang dirintis oleh Madhwacarya (1199–1278).
Perguruan ini juga disebut sebagai tatvavādā – "Filsafat Kenyataan". Perguruan ini
menyamakan Tuhan dengan Brahman, sehingga tiada berbeda dengan Wisnu ataupun
berbagai perwujudan-Nya seperti Kresna, Narasinga, Wenkateswara, dan lain-lain.
Perguruan ini memandang Brahman, jiwa individu, dan materi sebagai entitas yang
berbeda. Perguruan ini menekankan Bhakti sebagai jalan yang benar untuk mencapai
kebebasan, dan pengabaian akan Tuhan akan berujung pada neraka serta ikatan
duniawi. Menurut Dwaita, segala tindakan diberdayakan oleh jiwa yang diberi
kekuatan oleh Tuhan, dan hasil tindakan tersebut dilimpahkan kepada jiwa, tapi
Tuhan tidak ikut terpengaruh oleh hasil tindakan tersebut.

Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa
gemilang pada masa Dinasti Gupta. Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan
filsafat tersebut kehilangan pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai
aliran-aliran Wedanta mulai naik pamor sebagai cabang-cabang utama dalam filsafat
keagamaan. Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan berganti nama menjadi Nawya-
nyaya ("Nyaya Baru"), sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan, tapi ajarannya diserap
oleh Yoga dan Wedanta.
Empat aliran utamaSunting

U
mat Saiwa di kuil Pashupatinatha, Nepal.
Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam
masing-masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya
sendiri.
 Waisnawa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Wisnu—dewa pemelihara menurut
konsep Trimurti (Tritunggal)—beserta sepuluh perwujudannya (awatara). Aliran ini
menekankan pada kebaktian, dan para pengikutnya turut memuja berbagai dewa,
termasuk Rama dan Kresna yang diyakini sebagai perwujudan Wisnu. Pengikut aliran ini
biasanya non-asketis, monastis (mengikuti cara hidup biarawan), dan menekuni praktik
meditasi serta melantunkan lagu-lagu pemujaan. Biasanya umat Waisnawa bersifat dualisme.
Aliran ini memiliki banyak tokoh suci, kuil, dan kitab suci. Aliran ini terbagi dalam beberapa
golongan, yaitu: Sri Sampradaya (Waisnawa yang memuja Laksmi sebagai pasangan
Wisnu), Brahma Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu secara eksklusif), Rudra
Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu atau para awatara,
seperti Kresna, Rama, Balarama, dan lain-lain), Kumara Sampradaya (Waisnawa yang
memuja Caturkumara).
 Saiwa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Siwa. Kadang kala Siwa digambarkan
sebagai Bhairawa yang menyeramkan. Umat Saiwa lebih tertarik pada tapa brata daripada
umat Hindu aliran lainnya, dan biasa ditemui berkeliaran di India dengan wajah yang
dilumuri abu dan melakukan ritual penyucian diri. Mereka bersembahyang di kuil dan
melakukan yoga, berjuang untuk dapat menyatukan diri dengan Siwa. Aliran ini terbagi
dalam beberapa golongan, yaitu: Pasupata (Saiwa yang menekankan tapa brata, terutama
tersebar di Gujarat, Kashmir, dan Nepal), Saiwa Siddhanta (Saiwa yang mendapat
pengaruh Tantra), Kashmira Saiwadarshana (Saiwa yang monistis dan idealistis), Natha
Siddha Siddhanta (Saiwa yang monistis), Linggayata (Saiwa yang monoteistis), Saiwa
Adwaita (Saiwa yang monistis dan teistis).

Umat Hindu Nepal mengoleskan tika dan jamara pada puncak hari raya Dashain, yaitu hari
pemujaan terhadap 9 manifestasi Dewi Durga selama 9 hari berturut-turut.
 Sakta: aliran Hinduisme yang memuja Sakti atau Dewi. Pengikut Saktisme
meyakini Sakti sebagai kekuatan yang mendasari prinsip-prinsip maskulinitas, yang
dipersonifikasikan sebagai pasangan dewa. Sakti diyakini memiliki berbagai wujud.
Beberapa di antaranya tampak ramah, seperti Parwati (pasangan Siwa)
atau Laksmi (pasangan Wisnu). Yang lainnya tampak menakutkan, seperti Kali atau Durga.
Sakta memiliki kaitan dekat dengan Hinduisme Tantra, yang mengajarkan ritual dan praktik
untuk penyucian pikiran dan tubuh. Umat Sakta menggunakan mantra-mantra, sihir, gambar
sakral, yoga, dan upacara untuk memanggil kekuatan kosmis. Aliran ini mengandung dua
golongan utama, yaitu: Srikula (pemujaan kepada dewi-dewi yang bergelar Sri)
dan Kalikula (pemujaan kepada dewi-dewi perwujudan Kali).
 Smarta: aliran Hindu-monistis yang memuja lebih dari satu dewa—
meliputi Siwa, Wisnu, Sakti, Ganesa, dan Surya di antara dewa dan dewi lainnya—tetapi
menganggap bahwa dewa-dewi tersebut merupakan manifestasi dari zat yang Maha Esa.
Dibandingkan tiga aliran Hinduisme yang disebutkan di atas, Smarta berusia relatif muda.
Berbeda dengan Waisnawa atau Saiwa, aliran ini tidak bersifat sektarian secara gamblang,
dan berdasarkan pada iman bahwa Brahman adalah asas tertinggi di alam semesta dan
meresap ke dalam segala sesuatu yang ada. Pada umumnya, umat Smarta memuja Yang
Mahakuasa dalam enam personifikasi: Ganesa, Siwa, Sakti, Wisnu, Surya, dan Skanda.
Karena umat Smarta menerima keberadaan dewa-dewi Hindu yang utama, mereka dikenal
sebagai umat liberal atau non-sektarian. Mereka mengikuti praktik-praktik filosofis dan
meditasi, serta menekankan persatuan antara individu dengan Tuhan melalui kesadaran.
Sekte dan aliran lainnyaSunting

Upacara tiwah yang dilaksanakan umat Hindu Kaharingan di Kotawaringin


Timur, Kalimantan Tengah.

Para peniup seruling saat hari raya Gaijatra yang dirayakan oleh umat Hindu Newa.

Umat Hindu di Ghana merayakan Ganesh Chaturthi


Umat Hindu Cham di Vietnam merayakan festival Kuil "Yan Po Nagar", alias Dewi

Bhagawati. Pengikut Gerakan Hare Krishna di Rusia menyelenggarakan


prosesi Rathayatra pada musim dingin 2011.
 Agama Hindu Newa: agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar suku Newa di Nepal.
Agama Hindu ini mengenal beberapa tradisi unik seperti tarian sakral dengan topeng yang
disebut Chachaa Pyakhan. Agama Hindu ini juga mengenal sejumlah hari raya, dan
adakalanya bertepatan dengan perayaan Buddhis di sana.
 Agama Hindu Nusantara: tradisi serta kepercayaan masyarakat Indonesia yang telah
mengalami akulturasi/berasimilasi dengan konsep-konsep Hindu dari India, sehingga
membentuk suatu tradisi Hindu yang unik, contohnya Hindu Jawa dan Hindu Bali. Karena
sikap lembaga Hindu yang terbuka, beberapa kepercayaan asli Nusantara pun diakui sebagai
bagian dari agama Hindu Nusantara sehingga mendapatkan label Hindu, contohnya Hindu
Kaharingan dan Hindu Tollotang.
 Agama Hindu Swaminarayana: agama yang dianut oleh sebagian besar orang Hindu
Gujarat.[138] Pengikut Hindu Swaminarayana memuja Wisnu atau Kresna sebagai Tuhan
sehingga sering dianggap sebagai salah satu aliran dalam Waisnawa. Tetapi—tidak seperti
aliran Waisnawa pada umumnya—Hindu Swaminarayana tidak
membedakan Wisnu dan Siwa. Aliran ini menggunakan pemahaman sebagaimana
aliran Smarta bahwa para dewa adalah manifestasi dari Brahman.[139][140]
 Ayyavazhi: sistem kepercayaan monistis berdasarkan darma yang berasal dari India Selatan.
Aliran ini dikatakan sebagai agama tersendiri oleh media massa dan beberapa penganutnya,
tetapi banyak penganutnya yang mengaku sebagai umat Hindu, sehingga Ayyavazhi juga
dianggap sebagai sekte Hindu.[141][142] Ayyavazhi berpusat pada ajaran dan khotbah Ayya
Vaikundar; gagasan dan filosofi mereka berdasarkan kitab Akilattirattu Ammanai dan Arul
Nool. Ayyavazhi memiliki banyak kesamaan dengan Hinduisme dalam hal mitologi dan
praktik, tapi memiliki perbedaan dalam konsep baik dan buruk, serta perbedaan pandangan
tentang darma.
 Balmiki: sekte yang memuja Begawan Walmiki sebagai leluhur dan dewa mereka.
Pengikutnya meyakini bahwa Walmiki adalah awatara Tuhan, dan menghormati karya-karya
gubahannya, seperti Ramayana dan Yoga Vasistha, sebagai kitab suci.
 Ekasarana Dharma: aliran Hindu-panenteistis yang dirintis oleh Srimanta
Sankardeva pada abad ke-15. Kini, banyak penganutnya yang tinggal di negara
bagian Assam. Aliran kepercayaan ini menolak upacara dan ritus berbasis Weda, menentang
pelaksanaan kurban hewan, dan hanya melakukan pemujaan dengan menyebut nama Tuhan
berulang-ulang. Kitab pegangan bagi aliran ini adalah Sankardewa Bhagawata. Aliran
kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Brahma-sanghati, Purusha-sanghati, Nika-
sanghati, dan Kala-sanghati.
 Ganapatya: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Ganesa sebagai Tuhan Yang
Mahakuasa. Ganesa dipuja sebagai bagian dari Saiwa sejak sekitar abad ke-5. Sekte
Ganapatya mulai muncul sekitar abad ke-6 dan ke-9. Kemudian, sekte ini dipopulerkan
oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya mulai masyhur antara abad ke-17 dan ke-19
di Maharashtra.
 Kapadi Sampradaya: aliran dan tradisi Hinduisme yang dianut sebagian
masyarakat kesatria di Gujarat, terutama di Kutch. Pengikut tradisi ini memuja Rama sebagai
Tuhan Yang Mahakuasa. Kepercayaan ini terbagi menjadi empat golongan: Ramsnehi,
Ashapuri, Sravani, dan Makadbantha.
 Kaumaram: sekte Hinduisme yang berfokus pada pemujaan Murugan atau Skanda di
kawasan India Selatan, terutama yang didominasi oleh suku Tamil. Tradisi tersebut juga
dapat ditemui di luar India, khususnya di kawasan permukiman imigran Tamil.
 Mahima Dharma: sekte Hinduisme yang penganutnya banyak terdapat di Orissa, India.
Sekte ini diprakarsai oleh seorang guru spiritual yang dikenal dengan nama Mahima Swami
atau Mahima Gosain.[143] Sekte ini memusatkan kebaktian pada Tuhan Yang Maha Esa
yang disebut Alekha, serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana arca, gambar, ataupun
pratima.[143]
 Pranami Sampradaya: disebut pula Nijananda Sampradaya, adalah suatu aliran monoteistis
yang memuja Tuhan dengan sebutan Raj Ji atau Prannath Ji. Pengikut kepercayaan ini tidak
diperkenankan makan daging, mengonsumsi alkohol, atau merokok. Mereka juga memiliki
kitab tersendiri yang disebut Kuljam Swarup atau Tartam Sagar. Pengikut kepercayaan ini
banyak terdapat di Najarpur, Nepal.
 Saura: sekte Hinduisme yang memuja Surya sebagai Saguna-brahman. Aliran ini berpangkal
dari tradisi Weda kuno. Kini, hanya ada sedikit penganut aliran ini di India.
 Srauta: golongan brahmana ortodoks yang mengikuti Purwamimamsa, berbeda dengan
Wedanta yang diikuti oleh kaum brahmana lainnya. Mereka merupakan penganut tradisi
ritual konservatif dan membentuk golongan minoritas di antara umat Hindu di India.
Penganut aliran ini biasanya terdapat di negara bagian Kerala (kaum Nambudiri)
dan Karnataka (Mattur, Holenarsipur, Sringeri).

Gerakan keagamaanSunting

Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20,
antara lain sebagai berikut:

 Brahmoisme: gerakan keagamaan yang berasal dari Benggala pada awal abad ke-19.
Gerakan ini didirikan oleh Ram Mohan Roy. Dia menggagas pentingnya pemanfaatan nalar
untuk mereformasi praktik sosial dan religius agama Hindu, dengan pengaruh dari agama
monoteistis dan ilmu pengetahuan modern. Brahmoisme menolak dogma, takhayul, otoritas
kitab suci, dan penggambaran Tuhan.
 Prarthana Samaj: gerakan reformasi sosial dan keagamaan yang dimulai di Bombay,
didirikan oleh Dr. Atmaram Pandurang pada tahun 1867 dengan tujuan agar masyarakat
meyakini satu Tuhan dan hanya menyembah satu Tuhan. Gerakan ini dimulai sebagai
reformasi sosial dan keagamaan sebagaimana Brahmo Samaj. Perintis Prarthana Samaj di
Mumbai adalah Paramahamsa Sabha, perkumpulan rahasia untuk memajukan gagasan-
gagasan liberal yang didirikan oleh Ram Balkrishna Jaykar.
 Arya Samaj: gerakan reformasi Hindu yang diprakarsai oleh Swami Dayananda, dan
didirikan pada tanggal 7 April 1875. Gerakan ini bermaksud
mengamalkan Weda sebagaimana mestinya, dan mengesampingkan kitab-kitab yang ditulis
setelah Weda. Gerakan ini bersifat monoteistis karena tidak mengakui dewa-dewi
tertentu, serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana patung atau lukisan.
 Misi Ramakrishna: gerakan filantropis dan sukarela yang diprakarsai oleh
murid Ramakrishna, Swami Vivekananda, pada tanggal 1 Mei 1897. Gerakan ini berfokus
pada masalah kemanusiaan seperti pemeliharaan kesehatan, bencana alam, kesejahteraan
masyarakat desa, pendidikan, dan lain-lain. Misi gerakan ini berdasarkan konsep Karmayoga.
Dalil-dalil yang digunakan adalah filsafat Wedanta.
 Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (The International Society for Krishna
Consciousness–ISKCON): gerakan keagamaan berdasarkan tradisi Gaudiya Waisnawa.
Gerakan ini juga dikenal dengan nama "Gerakan Hare Krishna", didirikan pada
tahun 1966 di New York City oleh A. C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Ajarannya
berpegang pada Bhagawadgita dan Srimad Bhagawatam. Gerakan ini didirikan untuk
menyebarkan Bhaktiyoga dan memuja Tuhan dengan wujud Kresna.

Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah
tradisi Waisnawa yang dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga
dilaksanakan di beberapa negara dengan jumlah imigran India yang signifikan,
seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan Tobago (Amerika Tengah).
Keyakinan

Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.
Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu.
Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak
untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa
(dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-
lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan
kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan
dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).
Konsep ketuhanan
Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau
Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi
yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan
dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan),
contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang
bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme. Konsep
ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi
dan filsafat yang diikuti. Kadang kala agama Hindu dikatakan
bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui
keberadaan para dewa), tapi istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan
keberadaan Tuhan. Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan
"logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu
"penyebab" di balik semuanya.
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering
didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang
menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena. Tetapi, umat Hindu tidak
menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah
yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu
kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka
disebut brahmana. Kadang kala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau
Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di
dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman,
maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa
atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab
dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan
yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat
baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya),
sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-
lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang
dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada
dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan,
atau Parameswara. Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari
keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai
pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan
mazhab Adwaita. Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab
Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadang kala menyebutnya Swayam Bhagawan.
Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam
aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh
nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya,
dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada
hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut. Menurut mazhab ini, Tuhan yang
berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau
kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-
sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Menurut
mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan
sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut
sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya. Mazhab ini menegaskan bahwa
tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, tapi tujuan hidup
sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya
tiada berbeda dengan Brahman. Mazhab Adwaita dapat dikatakan
sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal
dari Brahman, tapi pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa. Dalam
kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan
(Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui. Samkhya
berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang
senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk
suatu keadaan. Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual
dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu
"pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan
apa yang dibuatkan upacara. Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis
dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk
keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya
merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.
Atman dan jiwa

Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:


• annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
• pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
• manomayakosa (lapisan pikiran atau indra yang menerima rangsangan)
• wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
• anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)
Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu
yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan. Taittiriya-
upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima
lapisan: annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, wijanamayakosa,
dan anandamayakosa. Istilah atman dan jiwa kadang kala dipakai untuk konteks yang sama.
Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah
penggerak segala makhluk hidup.
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma
individu sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut jiwatman,
sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.
Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru
melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau
"ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan
menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya
sama dengan Brahman. Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan
bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan
dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses
reinkarnasi/samsara).
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda
dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita. Menurut yoga, pencapaian spiritual
tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan
maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman
belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok
alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati diri individu (jiwatman) dengan
sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda
dengan Tuhan, tapi memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan
pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih
sayang Tuhan.
Para dewa dan awatara
Lukisan dari akhir abad ke-18, menggambarkan tiga dewa utama Hinduisme—
Brahma, Wisnu, dan Siwa—beserta sakti (pasangan) masing-masing.
Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung
banyaknya dan mengikuti aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena
merupakan agama Hindu, maka para penganutnya memandang kekayaan tradisi tersebut
sebagai ungkapan dari suatu realitas yang kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata
dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
—Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.

Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang


disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa),
bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi". Para dewa
merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan
dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai
keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita
Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman.
Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan panteisme ataupun politeisme,
melainkan monoteisme dan monisme. Ada banyak dewa, tapi mereka merupakan manifestasi
berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati". Keberadaan konsep monisme dan monoteisme
berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam
sloka lainnya dikatakan transenden. Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah
Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut
(Saguna) dari Brahman.
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun
banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada
Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu)
dari Tuhan yang cenderung dipuja. Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang
atau menurut tradisi regional dan keluarga.
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan
bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan
merupakan murid dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum
memperoleh keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan
makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran.
Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab
suci dan pemujaan. Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek
dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut
agama Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa
sebagai pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut
dengan jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam
tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa
umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan
fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui
[konsep] awatara."
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti
dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia
membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia
membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan
Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai
kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia
(inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia
mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan
perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting
dalam Mahabharata).
Karma dan reinkarnasi
Dua sadu di Kuil Pahupatinatha, Nepal.
Sadu adalah istilah bagi kaum yogi yang sedang menempuh Rajayoga, yaitu jalan
pengendalian pikiran, demi melepaskan diri dari belenggu duniawi sehingga dapat mencapai
kesadaran spiritual tingkat tinggi atau bahkan moksa.
Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan, dan dapat
dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat". Menurut hukum karma, nasib baik
berasal dari tindakan baik terdahulu, dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu,
yang merupakan suatu sistem aksi-reaksi dan membentuk suatu siklus reinkarnasi. Fenomena
sebab-akibat tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia material, tapi juga terhadap pikiran,
perkataan, tindakan, dan tindakan yang dilakukan berdasarkan perintah seseorang.
Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara
fisik atau mental. Linga-sarira (tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih
kasar daripada jiwa) dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan
selanjutnya, sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap orang. Maka dari
itu, konsep karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan
dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma
menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.
Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan, maka kematian tidak
dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami. Maka dari itu,
seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung
jawab lagi di dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian
dengan cara Prayopavesa.
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang
disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis
kuat dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama,
demikian pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.

Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati
kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati
kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari
belenggu samsara (melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian
abadi. Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya
suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau semadi
—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan
kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna
serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan
pelepasan dari segala keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari
samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai
contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak
lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam
segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhab Dwaita (dualistis)
memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka
yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang
dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati
gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".
Tujuan hidup manusiaSunting
Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia
—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:
 Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma dapat
dipandang sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi ataupun rohani), hukum, keadilan,
tindakan benar, dan berbagai kualitas yang mendukung harmoni segala
sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang darma sebagai prinsip universal—tentang
aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman. Darma berlaku sebagai prinsip
moral bagi alam semesta. Darma merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama
Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran
Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda"
(Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, tapi
kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan darma sebagai penegak
perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak
mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu sebagai Sanātana-dharma bermakna suatu darma
yang tidak berawal atau berakhir.
 Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini juga
mencakup usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan mencari
kesejahteraan material. Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa,
terutama bagi umat yang sudah berumah tangga. Ajaran tentang arta disebut Arthashastra,
dan yang termasyhur di antaranya adalah Arthashastra karya Kautilya.
 Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama
dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan (seni, hiburan,
kegembiraan), kasih sayang, ataupun asmara. Akan tetapi, kama dalam hubungan asmara atau
percintaan hanya dapat dipenuhi melalui hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam
membangun kehidupan rumah tangga, atau grehasta.
 Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah
keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat
individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga individu mengalami
kemerdekaan dari kesan-kesan duniawi, tanpa suka ataupun duka, lepas belenggu samsara,
serta lepas dari hasil perbuatan (karma) yang melekati individu selama mengalami
proses reinkarnasi.

Jalan menuju Tuhan

Karmayoga
Bhaktiyoga

Jnanayoga

Rajayoga
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara
yang berbeda untuk mencapai moksa.
Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan
tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan
spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran. Dalam konteks dan tradisi
lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak
liar", atau "[usaha] mempersatukan diri dengan Tuhan".Ajaran tentang pelaksanaan yoga
dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga
meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis
filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang
spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung.
Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:
1. Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)
2. Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)
3. Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)
4. Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau semacamnya)

Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan
kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan
pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai
kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia
sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga yang kini
sedang berlangsung). Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya.
Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami berbaur dan
mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti
mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga),
dan demikian sebaliknya. Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang
ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga,
dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.
Pustaka suci

Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada
himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman
yang berbeda-beda. Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk
syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan. Selama berabad-abad,
para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode
Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan
secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di
dalamnya. Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti
dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat
Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu
adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita,
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat
dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut
sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-
pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.
SrutiSunting

Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regweda dalam foto ini ditulis
dengan aksara Dewanagari.
Sruti (artinya "apa yang didengar") terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang
merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai
kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala, sementara umat yang lain
tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu
meyakini kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-
lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi. Umat
Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual
dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.
Ada empat kitab Weda,
yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda),
dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan
terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—
adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya
membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan
dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut
adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama
disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir
disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan). Kumpulan Weda berfokus kepada
pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual
dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.
Smerti
Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab
Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri
dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian
dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu
pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaan, mitologi, dan cerita
tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata,
dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran
filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna,
menjelang perang di Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ±
650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada
Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok
ajaran Weda. Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadang kala disebut Gitopanishad—
sering kali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah
yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-
kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti
"sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar
tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke
dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantiram, S
iwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan kitab
hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang
kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat
tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga
mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca.
Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang
pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran
sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan
peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya
suatu musim.
Sejarah

Periodisasi
James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi
sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania. Periodisasi ini
menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya. Periodisasi lainnya memilah-
milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern. Smart dan
Michaels tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood dan
Muesse mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan
modern.

Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:

 Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu
merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme.
Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan
dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha
Mahayana di India.
 Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme
Asketis", sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme
Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.
 Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200
SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama
Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak
ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.

Michaels
Smart Muesse Flood
Umum Detail

Peradaban Agama-Agama Pra-Weda Peradaban Lembah Peradaban Lembah


Lembah Sungai (prasejarah–ca. 1750 SM) Sungai Indus Sungai Indus
Indus (3300–1400 SM) (ca. 2500–1500 SM)
Periode Weda
Awal
dan (ca. 1750–
Periode Weda Agama 1200 SM) Periode Weda
(ca. 3000–1000 Weda Periode Weda (1600–800 SM)
Periode Weda
SM) Kuno Pertengahan
(ca. 1500–500 SM)
(ca. 1750– (dari 1200
500 SM) SM)

Periode Weda
Akhir
Periode Klasik
(dari 850 SM)
(800–200 SM)
Periode Praklasik Reformisme Asketis
(ca. 1000 SM– (ca. 500–200 SM)
100 M) Hinduisme
Praklasik
(ca. 200 SM–
300 M) Periode Epos dan Purana

"Zaman Periode Epos dan Purana (ca. 500 SM–500 M)


Hinduisme
Kejayaan" (200 SM–500 M)
Klasik
(Kemaharajaan
(ca. 200
Gupta)
Periode Klasik SM–1100
(ca. 320–650
(ca. 100 M–1000 M)
M)
M)
Hinduisme-
Klasik Akhir Periode-Purana Periode-Purana
(ca. 650–1100 Pertengahan dan Akhir Pertengahan dan Akhir
M) (500–1500 M) (500–1500 M)

Peradaban Penaklukan Muslim dan


Hindu-Islam Kemunculan Sekte-Sekte Abad Modern Abad Modern
(ca. 1000–1750 Hinduisme (1500–kini) (ca. 1500–kini)
M) (ca. 1100–1850 M)
Periode Modern Hinduisme Modern
(ca. 1750–kini) (sejak ca. 1850)
Agama-Agama Pra-Weda

Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari
masa Peradaban Lembah Sungai Indus.
Ras manusia pertama yang menduduki India (ca. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat
periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk
asli Australia. Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang
migrasi pada masa berikutnya.
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-
Dravida [ca. 4000 hingga 6000 SM] dan Indo-Arya [ca. 2000 hingga 1500 SM])
dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada kemungkinan
berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu
—berasal dari zaman mesolitik dan neolitik. Beberapa agama suku di India masih bertahan,
mendahului dominansi agama Hindu, tapi tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan
antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM)
mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi
Hindu di kemudian hari. Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa
Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall)
sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-
praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang berlanjut ke periode Weda
meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik
agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan
politis serta perdebatan para ahli.
Periode Weda

Peta dataran subur India Utara.


Periode Weda—yang berlangsung dari ca. 1750 sampai 500 SM—disebut demikian karena
berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya, yang bermigrasi ke
India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus (ada kemungkinan
dari stepa Asia Tengah). Bangsa ini membawa serta bahasadan agama mereka. Agama
mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah ca. 1100 SM
dan menjadi pastoralis.
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari
bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis), sastra yang mendasari tradisi
pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab
tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada
periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa
seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api,
yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan mantra-
mantra Weda. Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran
India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju
masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul.
Masyarakat baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur
tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas
politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.
Selama Periode Weda Awal (ca. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan
suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut. Setelah 1100 SM, seiring
ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah
barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris. Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum
sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku
Kuru. Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi
masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar
1000 M. Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda
sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan
mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai
upacara-upacara srauta, yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-
kitab Upanishad tertua. Upanishad membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme Klasik
dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda). Kitab-kitab Upanishad kuno
menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah. Spekulasi monistis yang
beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci
Hindu Bhagawadgita.
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah
prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang
meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.
Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya,
sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak
diinginkan. Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang
dipandang sebagai aspek dari reta. Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran,
yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan)
dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip
dengan ṛta dalam Weda.
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata
mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer. Agama berbasis Weda pada periode
selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal seperti pemujaan Yaksa dan ia
sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.
Reformisme Asketis
Mahavira

Siddhartha Gautama
Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan
sastra Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan
Siddhartha Gautama dalam Buddhisme.

Artikel utama: Sramana

Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya
gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.
Mahavira (ca. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (ca. 563–483 SM,
penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.
Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan
pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya, tetapi
mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang
tinggal] di India bagian timur laut–dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang
spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India
lainnya yang tidak berbasis Weda.

Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian
(siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi
tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist
Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915),
dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari
kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa
pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha
menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.
Hinduisme Klasik
Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan
zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme
Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia
Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.
Hinduisme Praklasik
Pada periode dari 500hingga 200 SM, dan ca. 300 M, terjadi "sintesis Hindu", yang menyerap
pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha, serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan
Brahmanisme melalui pustaka Smerti. Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan
agama Buddha dan Jainisme.
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama
berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah
naungan agama Weda. Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornyadan harus bersaing
dengan Buddhisme dan Jainisme, agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk
menonjolkan ajarannya. Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai
maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang
sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan
sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di
antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].

Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal
tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu. Kitab-kitab
Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga
pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan
Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[301] Sebagian besar gagasan
dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi
inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam
Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman
Masehi. Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan
peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama.
Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-
dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa.
Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilankonsolidasi agama Hindu, dengan
memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian
yang teistis.
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal,
meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.
"Zaman Kejayaan"

Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun
pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya
perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta
huruf. Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks
mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta, yang dipimpin para raja
penganut Waisnawa. Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai
didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu. Selama pemerintahan Dinasti Gupta,
sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di
kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi. Para raja Gupta
melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka. Hal ini
menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda
dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan
tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan).
Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10) serta para Alwar dari
aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru
India dari abad ke-12 hingga ke-18.
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun
waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha
tumbuh subur secara berdampingan. Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India
Utara sebelum abad ke-8.
Hinduisme Klasik Akhir
Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India
mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri
taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal.
Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar. Maharaja sulit
dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan, sebagaimana yang digambarkan
dalam mandala Tantra, dan kadang kala raja digambarkan sebagai pusat mandala.
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan
religius. Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis
ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang. Gerakan rakyat dan kebaktian mulai
bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra,
meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-
aliran tersebut. Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari
penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar
di India. Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana
India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai
pelindung kerajaan
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan
masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti
Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin
keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan
status bagi kelas penguasa yang baru.[319] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru
India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda.
Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat
agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para
brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya
orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu
penganut Purana. Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi
mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut. Kelompok-kelompok
brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan
rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada
golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana
lainnya. Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-
aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat
silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan.
Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara
orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda
dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.

Lukisan Kresna sebagai Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.
Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal
di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic
Hinduism), bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian
melintangi segala agama-agama yang ada. Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan
yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan
gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan. Agama ini berbeda dengan
Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis,
pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme
Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan
dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan
kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu
pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan
dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan
[inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan
mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.

Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan
dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus
berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan. Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan
menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal,
contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara. Dalam lingkungan keluarga raja pada
abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu.
Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha
dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para
filsuf pendahulunya. Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat
dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu, Adwaita Wedanta
mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh
paradigmatis dari spiritualitas Hindu.
Kehadiran Islam dan sekte Hindu
Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan
berkali-kali selama periode penaklukan India oleh Muslim, sampai akhirnya dipugar pada
tahun 1951.
Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para
pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama
periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya. Pada periode
tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke
Islam. Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik
Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim akan
tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang
terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya. Pengikut gerakan Bhakti beralih dari
konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad
sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan
para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama. Menurut
Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai
menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis
dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam
sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum. Lorenzen menentukan bahwa asal mula
identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu, dan
dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim, yang sudah
dimulai sebelum 1800-an. Baik cendekiawan India ataupun Eropa—yang mempopulerkan
istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.
Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian
hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.
Hinduisme masa kini
Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai
bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama
Hindu, baik di India ataupun di Barat. Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan
India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli
seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan
pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-
agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda, sambil membuat gagasan bahwa
"Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer
mengenai ‘India yang mistis’. Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi
Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian, bersama
dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama
memiliki dasar mistisisme yang sama. "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka
seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman
populer mengenai agama Hindu.
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S.
Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy,
dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka
dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru, mengangkat
pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan
perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan
acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak
gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-
dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan
percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata
Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India. Religiositas Hindu
juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.
Pranata

Caturwarna
Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.
Artikel utama: Warna dalam agama Hindu

Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:
 Brahmana: pendeta dan guru kerohanian
 Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
 Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
 Sudra: pelayan dan buruh

Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma),


pembawaan (swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa). Berdasarkan
pengertian warna menurut Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat
doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya.
Dalam kitab Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi sosial dalam sistem
kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog, meskipun beberapa ahli tidak
sependapat. Para ahli memperdebatkan apakah sistem kasta merupakan bagian dari
Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat. Berbagai ahli
berpendapat bahwa sistem kasta dibangun oleh rezim kolonial Britania. Menurut guru rohani
Hindu Sri Ramakrishna (1836–1886):
Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta tertentu … Seorang brahmana tanpa cinta
pada Tuhan bukanlah brahmana lagi. Dan seorang paria tanpa cinta pada Tuhan bukanlah
paria lagi. Melalui bhakti (pengabdian kepada Tuhan), seorang hina dina dapat menjadi suci
dan derajatnya pun meningkat.

Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli
seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh
warna, tapi seseorang yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh
perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.
Jenjang kehidupan

Upacara pernikahan umat Hindu menurut adat di Orissa, India.


Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi
empat āśrama atau caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama dalam
kehidupan seseorang adalah Brahmacari, yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan
sebelum masa kawin, untuk dapat berkontemplasi secara murni dan bijaksana di bawah
bimbingan Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap berikutnya
adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan cara
menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria) dan arta (kemakmuran). Setelah berumah
tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua,
menghormati tamu dan orang suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh
tahap Wanaprasta, yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi.
Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab kepada keturunan,
agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan aktivitas keagamaan
dan mengunjungi tempat-tempat suci. Tahap yang terakhir adalah Sannyasa, yaitu masa
menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa brata, atau berusaha melepaskan diri dari
ikatan duniawi. Pelepasan tersebut dilakukan dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk
mencari cara meninggalkan tubuh fana secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang
disebut moksa.
Praktik keagamaan

Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan, dan
kadang kala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik
keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam
upaya memahami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Persembahyangan

Seorang praktisi Bhaktiyoga sedang bermeditasi.


Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan mantra.
Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar dapat
memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui kata-kata, suara, dan cara
pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai yang dikeramatkan, banyak umat Hindu yang
melaksanakan upacara pembersihan sambil melantunkan Gayatri Mantra atau mantra-
mantra Mahamrityunjaya. Wiracarita Mahabharata mengagungkan japa (lagu-lagu pujaan)
sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–kini). Banyak
aliran yang mengadopsi japa sebagai praktik spiritual yang utama.
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga. Yoga merupakan ajaran Hindu
yang gunanya melatih kesadaran demi kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal
ini dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk
mengendalikan raga dan pikiran.
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam:
dapat berupa mantra semata atau kirtan, atau berupa dhrupad atau kriti dengan musik
berdasarkan raga dan tala menurut musik klasik India. Biasanya, bhajan mengandung syair
untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang
artinya "pengabdian religius", menyiratkan pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang
menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen India pada masa Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah
menjadi subjek bagi pelaksanaan bhajan. Tradisi dhrupad, qawwali Sufi, dan kirtan atau lagu
dalam tradisi Haridasi berkaitan dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama
Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah para pujangga bhajan terkemuka. Tradisi
dalam bhajan seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi, Ashtachhap, Madhura-bhakti,
dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki repertoar dan cara pelantunan masing-
masing.
Upacara

Upacara choroonu (nama lain dari annaprashan) di Kerala.


Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.
[365][366] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah, tetapi pelaksanaannya
berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang
saleh melaksanakan ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di
kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan menyalakan pelita serta
menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-dewi), membaca kitab suci berulang-ulang,
menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi, merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain. Ciri
menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah pembedaan antara yang murni dan sudah
tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana kondisi-kondisi yang dikatakan
tercemar atau tak murni lagi, sehingga pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau
pemurnian kembali sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan air
—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu. Ciri lainnya meliputi
kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep pahala yang diperoleh melalui
kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga
mengurangi penderitaan di kehidupan selanjutnya.
Ritus dengan sarana api (yadnya) kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun
pelaksanaannya sangat diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan
pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-mantra Weda masih
disesuaikan dengan norma.[368] Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu.
Sebagai contoh, pada masa beberapa abad yang lalu, persembahan tarian dan musik sakral
menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—sebagaimana tercantum
dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan seperangkat tradisi Hindu
yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara bagi "siklus kehidupan"
meliputi Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama
kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai menempuh
pendidikan formal), dan Śrāddha (upacara menjamu orang-orang dengan makanan karena
bersedia melantunkan doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang mendapatkan
kedamaian). Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India, masa
pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan ditentukan oleh para
orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan. Untuk perihal kematian, kremasi merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang
adalah sanyasin, hijra, atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan
membungkus jenazah dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya dengan api unggun.
Ahimsa

Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik
ahimsa dalam upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan
Kemerdekaan India.
Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan
penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan
dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.
Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa
adalah yang pertama di antara lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri)
dalam Yogasutra Patanjali, dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh
anggota Warnasramadarma (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra) menurut Manusmerti.
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak
keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya
mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda), kurban kuda (Aswameda,
dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda, dalam Yajurweda), sedangkan dalam
ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing
disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya. Yajurweda dianggap
sebagai Weda pengorbanan dan ritual, serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan,
contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu, seekor anak lembu
kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra, seekor
sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan
kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis
seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban. Pada masa
pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan
kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan
kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."

Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat
ditelusuri. Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana
Baru. Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan
benar-benar dilakukan, tapi dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan
kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan. Hal ini merupakan reaksi dari
kebangkitan agama-agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat
pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.
Vegetarianisme

Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di Tokyo, Jepang.
Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang
mengikuti vegetarianisme (tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang
tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya pada hari-hari
tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan kawasan. Sebagai contoh,
beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir
cenderung bergantung kepada masakan laut. Perkiraan jumlah lakto-
vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.
[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan
bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian
(satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat
akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang. Berdasarkan alasan tersebut,
umat Hindu dianjurkan untuk menghindari atau meminimalkan konsumsi makanan yang
tidak meningkatkan kebersihan hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud
adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini mengandung sifat rajas (keadaan
yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging (daging dari hewan apa
pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan,
kerakusan, dan iri hati).
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme meliputi Waisnawa dan Saiwa
yang melarang pengorbanan hewan, tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang
mengizinkan pengorbanan hewan. Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat
Hindu dari aliran Sakta, (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan
kesatria, penganut aliran Hinduisme di India Timur, serta penganut aliran Hinduisme di Asia
Tenggara.
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging
sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan
figur keibuan, dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat. Maka dari
itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di
India.
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik
vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah
gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan
pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas), tetapi
juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh
negatif, seperti bawang merah, bawang putih, dan jamur. Contoh yang kedua adalah
gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi
daging, telur, dan ikan.
Pertapaan
Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.
Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai
"moksa" ataupun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen untuk
hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta duniawi, serta
berkontemplasi tentang Tuhan. Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan
yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam
masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi
inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran.
Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama, sedangkan yang lainnya berkelana dari
satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi
keinginan mereka. Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para
petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu menerimanya
dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang miskin atau kaya, baik atau jahat
—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa senang, ataupun sedih.
Tempat suci

Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa
istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu
meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat, balai
basarah, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam
beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan dewa-
dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi
mengenai kuil di berbagai wilayah India.
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau
kuil. Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil
dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata),
misalnya Kresna, Ganesa, Durga, dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati
(misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui
suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang
dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa utama
beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang didedikasikan untuk
beberapa dewa sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil
bukanlah suatu kewajiban, dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada
perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan
Tuhan.[401] Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari Tuhan,
sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun demikian, ada
golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan dengan murti dalam bentuk
apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.

Akshardham, pemegang rekor Guiness sebagai kuil Hindu terbesar di dunia, terletak di New
Delhi, India.

Angkor Wat di Kamboja, dibangun oleh Suryavarman II pada abad ke-12, merupakan kuil
Hindu terluas di dunia.

Kuil Brihadiswara yang termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, terletak di Thanjavur,
negara bagian Tamil Nadu, India.

Pura Besakih, kompleks kuil Hindu terbesar di seluruh Bali, Indonesia.

Kuil Siwa-Parwati di Lapangan Durbar, Kathmandu, Nepal. Di belakangnya (berjajar) Kuil


Taleju, Kuil Degutale, dan Kuil Bhagawati.

Belur Math di Kolkata, Benggala Barat, India. Kuil ini didirikan oleh Swami
Vivekananda dari Misi Ramakrishna.

Kuil Hindu Shri Swaminarayan di London, Inggris. Kuil ini merupakan kuil Hindu terbesar
di Eropa.

Kuil bergaya jor-bangla atau char-chala dari Benggala Barat, didedikasikan untuk Krishna-
Gouranga.

Kuil Surya di Konark, negara bagian Odisha, India.

Kuil Baglamukhi di Gulariya, Nepal.

Balai Basarah Induk Intan Kaharingan di Muara Teweh, Kalimantan Tengah.


Kuil Sri Kamadachi Ampal di Hamm, Jerman.


SimbolismeSunting

Dalam agama Hindu ada aturan tentang simbolisme dan ikonografi untuk ditampilkan dalam
karya seni, arsitektur, dan pustaka yang disakralkan. Makna simbol-simbol tersebut
dicantumkan dalam kitab suci, mitologi, serta tradisi masyarakat. Suku kata om (yang
melambangkan Parabrahman) dan swastika (yang melambangkan keberuntungan) telah
berkembang (dalam sejarahnya) sebagai lambang bagi agama Hindu, sedangkan petanda
lainnya seperti tilaka memberi ciri mengenai aliran atau kepercayaan yang dianut. Umat
Hindu juga menyangkutpautkan beberapa simbol—meliputi bunga teratai (padma), cakra,
dan veena—dengan dewa-dewi tertentu.

"Om" yang ditulis dalam aksara Dewanagari.


Swastika dalam agama Hindu.

Trisula, lambang Siwa dan pengikutnya.

Padma atau teratai, simbol kemurnian dan ketidakterikatan.


Cakra, simbol darma yang tak terbatas.

Lingga, simbol kesuburan.

Seorang bocah Hindu Nepal dengan tilaka di dahinya.


Anjali-mudra (persatuan telapak tangan) dalam sikap namaskara.

Anda mungkin juga menyukai