Hinduisme merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal,
yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini meliputi berbagai aliran, di
antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan hukum dan
aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma,
dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti himpunan berbagai pandangan
filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam seperti
pada agama Abrahamik.
Dalam teks berbahasa Arab, al-Hind adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suku
bangsa di suatu daerah yang kini disebut India, sedangkan 'Hindu' atau 'Hindoo' digunakan
sejak akhir abad ke-18 dan seterusnya oleh orang Inggris untuk menyebut penduduk
'Hindustan', yaitu bangsa di sebelah barat daya India. Akhirnya, 'Hindu' menjadi istilah
padanan bagi 'orang India' yang bukan Muslim, Sikh, Jaina, atau Kristen, sehingga mencakup
berbagai penganut dan pelaksana kepercayaan tradisional yang berbeda-beda. Akhiran '-isme'
ditambahkan pada kata Hindu sekitar tahun 1830-an untuk merujuk pada kebudayaan dan
agama kasta brahmana yang berlainan dengan agama lainnya, dan kemudian istilah tersebut
diterima oleh orang India sendiri dalam hal membangun jati diri bangsa untuk
menentang kolonialisme, meski istilah 'Hindu' pernah dicantumkan dalam babad berbahasa
Sanskerta dan Bengali sebagai antonim bagi 'Yawana' atau Muslim, sekitar awal abad ke-16.
—Gavin Flood, An Introduction to Hinduism.
Kiri: Peta kawasan peradaban Lembah Indus (ditandai dengan warna hijau) beserta kota-kota
kuno di sekitar aliran sungai Sindhu.
Kanan: Peta aliran sungai Sindhu di negara Pakistan, yang terletak di antara
negara Afghanistan dan India.
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu
nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—sebagian besar alirannya terletak
di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa Inggris disebut Indus. Menurut Gavin Flood,
pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut
suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindhu. Para sejarawan pun menyebut
peradaban suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah
'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Eropa dari istilah Arab al-Hind, dan mengacu kepada
negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar Sungai Sindhu. Istilah Arab tersebut
berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada seluruh suku di India. Pada abad ke-
13, Hindustan muncul sebagai nama alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti
"Negeri para Hindu".
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks berbahasa
Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca. 1450) dan beberapa teks
mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang berbahasa Bengali,
seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah itu digunakan untuk
membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha. Sejak abad ke-18 dan seterusnya, istilah
Hindu digunakan oleh para kolonis dan pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut
agama tradisional India secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa
Inggris pada abad ke-19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli
India.
Definisi
Sebagai tanggapan atas kolonialisme dan orientalisme Barat, para pemuka dan ahli Hindu
menginterpretasikan agamanya dalam suatu upaya yang disebut "modernisme Hindu" oleh
orang Barat. Tokoh terkemuka dalam upaya tersebut adalah Swami Vivekananda, Sarvepalli
Radhakrishnan, dan Mahatma Gandhi. Menurut Gavin Flood, Vivekanda (1863–1902) adalah
tokoh penting dalam pengembangan pemahaman diri umat Hindu masa kini dan telah
merumuskan pandangan terhadap Hinduisme bagi orang Barat. Intisari dalam filsafatnya
adalah gagasan bahwa "percikan dari Tuhan" berada dalam setiap makhluk hidup, sehingga
seluruh umat manusia dapat mencapai persatuan dengan "sifat ilahi bawaan" tersebut, dan
dengan memandang bahwa sifat ilahi ini juga terkandung pada setiap orang maka
berkembanglah kasih sayang dan harmoni sosial. Menurut Flood, pandangan Vivekananda
terhadap Hinduisme adalah yang paling umum diterima oleh kebanyakan umat Hindu
golongan menengah berbahasa Inggris (English-speaking middle-class Hindus) pada masa
kini.
Sarvepalli Radhakrishnan adalah salah satu cendekiawan terpelajar dari India yang bergelut
dengan filsafat Barat dan India. Ia mencari keselarasan antara rasionalisme barat dengan
Hinduisme, dan memperkenalkan Hinduisme sebagai pengalaman religius yang pada
hakikatnya rasional dan humanistis. Wawasan Radhakrishnan disebut sangat relevan dan
penting dalam membentuk jati diri Hindu kontemporer.
Pendapat orang Barat
Keberadaan agama Hindu sebagai agama tersendiri yang berbeda dengan agama
Buddha dan Jainisme diperkuat oleh penegasan para penganutnya bahwa agama mereka
memang demikian berbeda. Berbeda dengan dua agama tersebut, Hinduisme bersifat
lebih teistik. Sebagian besar sekte dan aliran Hinduisme meyakini suatu pengatur alam
semesta—dasar bagi segala fenomena di dunia yang memanifestasikan diri dalam berbagai
wujud—yang disebut dengan berbagai nama, seperti Iswara, Dewa, Batara, Hyang, dan lain-
lain. Sebagian aliran meyakini bahwa berbagai kemajemukan di dunia merupakan bagian
dari Brahman. Dalam agama Hindu, seorang umat boleh berkontemplasi tentang misteri
Brahman (dalam konteks tertentu, Brahman dapat didefinisikan sebagai Tuhan personal
ataupun impersonal) dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-
habisnya, serta melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan atas penderitaan
melalui praktik-praktik brata atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan melalui cinta kasih (bhakti) dan percaya (sradha).
Akar Hinduisme
Seorang wanita melakukan puja saat matahari terbenam di Rishikesh, Haridwar.
Sejak minat akan Indologi dan studi Hindu bertumbuh, sejarah dan pangkal agama Hindu
telah menjadi perdebatan para cendekiawan di Dunia Barat. Sebelumnya, tidak ada istilah
'Hinduisme' atau 'agama Hindu', tetapi keberadaan tradisi Hindu seperti sekarang telah
berpangkal sejak purbakala. Selain itu, para ahli sulit mendefinisikan Hinduisme karena
ketiadaan seorang tokoh pendiri agama tersebut. Para cendekiawan memandang Hinduisme
sebagai gabungan dari berbagai kebudayaan atau tradisi yang ada di India.[48][49][50] Salah
satu akarnya adalah Brahmanisme atau agama Weda Kuno dari India pada Zaman Besi,[51]
[49] yang merupakan hasil peleburan antara bangsa Indo-Arya dengan kebudayaan dan
peradaban Harrapa.[52] Selain itu, tradisi yang mendukung perkembangan agama Hindu
meliputi Sramana atau "tradisi penolakan" dari India Utara, serta
kebudayaan mesolitik dan neolitik di India, seperti agama-agama peradaban lembah sungai
Indus,[53][54][55] tradisi bangsa Dravida,[56] serta tradisi dan agama lokal dari suku bangsa
di India.[57]
Setelah periode Weda (antara 500–200 SM dan ca. 300 M,[48] pada permulaan periode
"Wiracarita dan Purana" atau "periode Praklasik"), "sintesis Hindu" mulai timbul[48] (masa
ketika dimasukkannya pengaruh Sramana dan Buddhisme), diiringi dengan kemunculan
tradisi bhakti ke dalam balutan Brahmanisme melalui kitab-kitab Smerti. Sintesis ini muncul
di bawah tekanan perkembangan Buddhisme dan Jainisme.[58] Selama pemerintahan Dinasti
Gupta, kitab-kitab Purana disusun, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan
umum di tengah-tengah akulturasi yang dijalani masyarakat tribal dan buta huruf. Hasilnya
adalah kemunculan Hinduisme-Puranis (Puranic-Hinduism) yang memiliki perbedaan
mencolok jika dibandingkan dengan Brahmanisme sebelumnya (yang berpegang
pada Dharmasastra dan Smerti). Selama beberapa abad, Hinduisme dan Buddhisme tumbuh
berdampingan,[59] sampai akhirnya memperoleh keunggulan pada abad ke-8 M.[60][61]
Dari India Utara, "sintesis Hindu" beserta konsep pembagian masyarakat menyebar ke India
Selatan dan sebagian Asia Tenggara.[62] Hal tersebut didukung oleh sejumlah kegiatan:
pengadaan permukiman bagi kaum brahmana di kawasan yang diizinkan oleh penguasa lokal;
[63][64] dimasukkannya atau diasimilasikannya dewa-dewi non-Weda (tidak disebut
dalam Weda) yang populer;[65][66] dan proses Sanskritisasi, yaitu kondisi ketika "orang-
orang dari berbagai strata masyarakat India cenderung menyesuaikan kehidupan religius dan
sosial mereka dengan norma-norma Brahmanis".[65][67] Proses asimilasi tersebut
menjelaskan bahwa keanekaragaman budaya lokal di India diselimuti oleh selubung
persamaan konseptual.[68]
Keanekaragaman
Diversitas Hinduisme
Salah satu masalah dalam merumuskan satu definisi tentang istilah "agama Hindu" adalah
adanya fakta bahwa agama Hindu tidak didirikan oleh seorang tokoh.[16][74] Agama ini
merupakan sintesis dari berbagai tradisi, atau himpunan tradisi keagamaan yang berbeda
tetapi memiliki persamaan.
Konsep ketuhanan dalam tubuh agama Hindu pun tidak seragam. Beberapa aliran
bersifat monoteisme—mengagungkan Wisnu, Kresna, atau Siwa—sementara aliran lainnya
bersifat monisme, yang memandang bahwa para dewa atau sembahan apa pun merupakan
manifestasi beragam dari Yang Maha Esa Beberapa aliran Hindu bersifat panenteisme—
sebagaimana disebutkan dalam kitab Bhagawadgita—yang meyakini bahwa Tuhan meresap
ke seluruh alam semesta, tapi alam semesta bukanlah Tuhan. Beberapa filsafat
Hindu membuat postulat ontologi teistis (dalil ketuhanan) tentang penciptaan dan peleburan
alam semesta, meskipun beberapa umat Hindu merupakan ateis yang memandang Hinduisme
tak lebih dari sebuah filsafat, bukan agama.
Di samping itu, agama Hindu tidak mengenal satu sistem saja untuk mencari "keselamatan"
(salvation), namun mengandung sejumlah aliran dan berbagai bentuk tradisi
keagamaan. Beberapa tradisi Hindu mengandalkan ritus tertentu sebagai hal penting demi
keselamatan, tapi berbagai pandangan mengenai hal tersebut juga hadir secara berdampingan.
Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan reinkarnasi (samsara, atau
siklus lahir-mati) yang ditentukan oleh hukum karma, dan gagasan tentang "keselamatan"
adalah kondisi saat individu terbebas dari siklus lahir-mati yang terus berputar. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, agama Hindu dipandang sebagai agama yang paling kompleks dari
seluruh agama yang masih bertahan hingga saat ini.
Persamaan
Di samping berbagai perbedaan yang teramati, ada pula rasa persamaan dalam
Hinduisme. Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, ada kesatuan fundamental
dalam tubuh Hinduisme, yang mendasari berbagai perbedaan dalam bentuk-bentuk
pelaksanaannya. Pada umumnya, umat Hindu mengenal berbagai nama dan gelar
seperti Wisnu, Siwa, Sakti, Hyang, Dewata, dan Batara. Beberapa aliran memandang nama
dan gelar tersebut sebagai aneka manifestasi dari Yang Maha Esa atau Yang Mahakuasa,
sehingga agama Hindu dapat dikatakan bersifat monisme. Agama Hindu juga dicirikan
dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak
setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai
manifestasi dari Yang Mahakuasa. Karakteristik lainnya—yang kerap dijumpai dalam tubuh
Hinduisme—adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban
yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang
disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya. Sekte Hindu
seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, tapi masih memiliki kepercayaan
akan Siwa. Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang
disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan
Hinduisme—contohnya Narayana dan Laksmi—serta memiliki sejumlah mitos yang mirip
dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu—atau
Narayana dan Kresna—disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa
disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep
tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan
Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan
saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang
mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang
sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai
memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal
dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam
sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum." Tendensi dari kekaburan distingsi
filosofis juga digarisbawahi oleh Burley. Hacker menyebut perihal tersebut sebagai
"inklusivisme", dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri". Menurut Lorenzen,
rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu,
[86] dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum
Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an. Menurut Michaels:
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi
yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu:
pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa
berikutnya … Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti
pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609–1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan
gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau.
Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah,
terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat
reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang
berbagai subjek.
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan
reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.
Penggolongan
Agama Hindu sebagaimana biasanya dapat digolongkan ke dalam beberapa mazhab atau
aliran besar. Dalam suatu kelompok mazhab pada masa lalu—yang digolongkan sebagai
"enam darsana"—hanya dua mazhab yang popularitasnya masih
bertahan: Wedanta dan Yoga. Golongan-golongan utama Hinduisme pada masa kini
disesuaikan dengan aliran-aliran besar yang
ada: Waisnawa (Waisnawisme), Saiwa (Saiwisme), Sakta (Saktisme),
dan Smarta (Smartisme).
Enam tipe umum
Prosesi ganga aarti di Dashashwamedh Ghat, Benares.
Menurut J. McDaniel, ada enam tipe umum dalam tubuh agama Hindu, yang disusun dengan
maksud menampung berbagai pandangan terhadap suatu subjek yang kompleks. Adapun
enam tipe tersebut sebagai berikut:
Agama Hindu rakyat, yaitu agama Hindu yang berdasarkan pada tradisi masyarakat setempat
serta pemujaan dewa-dewi lokal, seperti Hindu Tamil, Hindu Newa, Hindu Bali, Hindu
Manipuri, Hindu Kaharingan, dan lain-lain. Berpangkal dari masa prasejarah atau setidaknya
mendahului penulisan Weda.
Srauta atau Agama Hindu Weda, dilaksanakan oleh kaum brahmana-tradisional yang
disebut srautin.
Agama Hindu Wedanta, yaitu agama Hindu yang mengacu pada filsafat Wedanta,
meliputi Adwaita Wedanta (Smarta), dan menekankan pendekatan filosofis pada kitab-
kitab Upanishad.
Agama Hindu Yoga, yaitu sekte yang menitikberatkan
pelaksanaan yoga menurut Yogasutra Patanjali.
Agama Hindu Dharma atau agama "moralitas sehari-hari", yaitu Hinduisme yang berdasarkan
pada realisasi karma dan pelaksanaan norma kemasyarakatan seperti wiwaha (adat
pernikahan Hindu).
Bhakti, yaitu agama Hindu yang menekankan pelaksanaan kebaktian bagi entitas tertentu,
seperti Kresna, Siwa, Ganesa.
Religi dan religiositas Hindu
Menurut Axel Michaels, ada tiga bentuk religi (agama) Hindu dan empat
macam religiositas (pengabdian) umat Hindu.
Pembagian agama Hindu menjadi tiga bentuk bersuaian dengan metode pembagian dari India
yang mengelompokkannya sebagai berikut: praktik ritual menurut Weda (vaidika), agama
rakyat dan lokal (gramya), dan sekte keagamaan (agama atau tantra). Menurut Michaels, tiga
bentuk agama Hindu yakni:
1. Hinduisme Brahmanis-Sanskritis (Brahmanic-Sanskritic Hinduism): suatu
agama politeistis, ritualistis, dan kependetaan yang berpusat pada suatu keluarga besar serta
upacara pengorbanan, dan merujuk kepada kitab-kitab Weda sebagai keabsahannya. Agama
ini mendapat sorotan utama dalam banyak risalah tentang agama Hindu karena memenuhi
banyak kriteria untuk disebut sebagai agama, serta karena agama ini merupakan yang
dominan di berbagai wilayah India, sebab masyarakat non-brahmana pun mencoba untuk
mengasimilasinya.
2. Agama rakyat dan agama suku: suatu agama lokal yang politeistis, kadang kala animistis,
dengan tradisi lisan yang luas. Kadang kala bertentangan dengan Hinduisme Brahmanis-
Sanskritis.
3. Agama bentukan: tradisi dengan komunitas monastis yang dibentuk untuk mencari
keselamatan (salvation), biasanya menjauhkan diri dari belenggu duniawi, dan sering kali
anti-Brahmanis. Agama ini dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian:
Agama sektarian: aliran keagamaan yang menggarisbawahi suatu konsep filosofis dari
Hinduisme dan menekankan praktik religius menurut konsep tersebut,
contohnya Waisnawa dan Saiwa.
Agama-bentukan sinkretis: agama tersendiri yang terbentuk dari sinkretisme antara
Hinduisme dengan agama lain, contohnya Hindu-Islam (Sikhisme), Hindu-
Buddha (Buddhisme Newara), atau Hindu-Kristen (Neohinduisme).
Agama proselitisis (proselytizing religions), atau "Guru-isme": kelompok keagamaan yang
berawal dari seorang guru dan biasanya menekankan isu universalisme,
contohnya Maharishi Mahesh Yogi dengan gerakan Meditasi Transendental, Sathya Sai
Baba dengan Federasi Satya Sai, Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan
gerakan ISKCON, Maharaj Ji dengan Divine Light Mission, dan Osho.
Toleransi
Pendeta Hindu diberi kesempatan melantunkan doa dalam suatu upacara yang
diselenggarakan umat agama Romuva di Lituania.
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena
tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol
agama Hindu. Pada awal perkembangannya, saat tiadanya perselisihan antaragama, umat
Hindu menganggap setiap orang yang mereka temui sebagai umat Hindu pula. Tetapi pada
masa kini, umat Hindu menerima pengaruh dari Barat tentang pengadaan konversi agama.
Maka, banyak umat Hindu berpendapat bahwa identitas kehinduan diperoleh semenjak
lahir, sementara yang lainnya berpendapat bahwa siapa pun yang mengikuti kepercayaan dan
praktik agama Hindu merupakan seorang Hindu.
Gandhi menyatakan bahwa Hinduisme bebas dari dogma-dogma yang memaksa, serta dapat
menampung berbagai bentuk ekspresi diri dalam ruang lingkup yang besar. Dalam tubuh
agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi—bahkan pada agama lain—tidak untuk
diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan
nama yang berbeda, entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan. Dalam
kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan
hal tersebut, sebagai berikut:
एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति (Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti)
Arti: "Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak
nama."
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu
ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam
memuja Tuhan, sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan.
Mazhab, aliran, dan gerakan
Patung Adi Shankara, filsuf mazhab Adwaita yang tertemuka, terletak di Mysore, India.
Wedanta: mazhab yang berfokus pada kajian tentang tiga sastra dasar dalam filsafat Hindu,
yaitu Upanishad, Brahmasutra, dan Bhagawadgita. Sekurang-kurangnya, ada sepuluh aliran
dalam mazhab Wedanta, namun tiga di antaranya—Adwaita, Wisistadwaita, dan Dwaita—
lebih termasyhur.
Dalam sejarah agama Hindu, keberadaan enam mazhab tersebut di atas mencapai masa
gemilang pada masa Dinasti Gupta. Dengan bubarnya Waisesika dan Mimamsa, perguruan
filsafat tersebut kehilangan pamornya pada masa-masa berikutnya, sedangkan berbagai
aliran-aliran Wedanta mulai naik pamor sebagai cabang-cabang utama dalam filsafat
keagamaan. Nyaya bertahan sampai abad ke-17 dan berganti nama menjadi Nawya-
nyaya ("Nyaya Baru"), sedangkan Samkhya lenyap perlahan-lahan, tapi ajarannya diserap
oleh Yoga dan Wedanta.
Empat aliran utamaSunting
U
mat Saiwa di kuil Pashupatinatha, Nepal.
Empat aliran utama yang sering didapati adalah Waisnawa, Saiwa, Sakta, dan Smarta. Dalam
masing-masing aliran, ada beberapa perguruan atau aliran lain yang menempuh caranya
sendiri.
Waisnawa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Wisnu—dewa pemelihara menurut
konsep Trimurti (Tritunggal)—beserta sepuluh perwujudannya (awatara). Aliran ini
menekankan pada kebaktian, dan para pengikutnya turut memuja berbagai dewa,
termasuk Rama dan Kresna yang diyakini sebagai perwujudan Wisnu. Pengikut aliran ini
biasanya non-asketis, monastis (mengikuti cara hidup biarawan), dan menekuni praktik
meditasi serta melantunkan lagu-lagu pemujaan. Biasanya umat Waisnawa bersifat dualisme.
Aliran ini memiliki banyak tokoh suci, kuil, dan kitab suci. Aliran ini terbagi dalam beberapa
golongan, yaitu: Sri Sampradaya (Waisnawa yang memuja Laksmi sebagai pasangan
Wisnu), Brahma Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu secara eksklusif), Rudra
Sampradaya (Waisnawa yang memuja Wisnu atau para awatara,
seperti Kresna, Rama, Balarama, dan lain-lain), Kumara Sampradaya (Waisnawa yang
memuja Caturkumara).
Saiwa: aliran dalam tubuh Hinduisme yang memuja Siwa. Kadang kala Siwa digambarkan
sebagai Bhairawa yang menyeramkan. Umat Saiwa lebih tertarik pada tapa brata daripada
umat Hindu aliran lainnya, dan biasa ditemui berkeliaran di India dengan wajah yang
dilumuri abu dan melakukan ritual penyucian diri. Mereka bersembahyang di kuil dan
melakukan yoga, berjuang untuk dapat menyatukan diri dengan Siwa. Aliran ini terbagi
dalam beberapa golongan, yaitu: Pasupata (Saiwa yang menekankan tapa brata, terutama
tersebar di Gujarat, Kashmir, dan Nepal), Saiwa Siddhanta (Saiwa yang mendapat
pengaruh Tantra), Kashmira Saiwadarshana (Saiwa yang monistis dan idealistis), Natha
Siddha Siddhanta (Saiwa yang monistis), Linggayata (Saiwa yang monoteistis), Saiwa
Adwaita (Saiwa yang monistis dan teistis).
Umat Hindu Nepal mengoleskan tika dan jamara pada puncak hari raya Dashain, yaitu hari
pemujaan terhadap 9 manifestasi Dewi Durga selama 9 hari berturut-turut.
Sakta: aliran Hinduisme yang memuja Sakti atau Dewi. Pengikut Saktisme
meyakini Sakti sebagai kekuatan yang mendasari prinsip-prinsip maskulinitas, yang
dipersonifikasikan sebagai pasangan dewa. Sakti diyakini memiliki berbagai wujud.
Beberapa di antaranya tampak ramah, seperti Parwati (pasangan Siwa)
atau Laksmi (pasangan Wisnu). Yang lainnya tampak menakutkan, seperti Kali atau Durga.
Sakta memiliki kaitan dekat dengan Hinduisme Tantra, yang mengajarkan ritual dan praktik
untuk penyucian pikiran dan tubuh. Umat Sakta menggunakan mantra-mantra, sihir, gambar
sakral, yoga, dan upacara untuk memanggil kekuatan kosmis. Aliran ini mengandung dua
golongan utama, yaitu: Srikula (pemujaan kepada dewi-dewi yang bergelar Sri)
dan Kalikula (pemujaan kepada dewi-dewi perwujudan Kali).
Smarta: aliran Hindu-monistis yang memuja lebih dari satu dewa—
meliputi Siwa, Wisnu, Sakti, Ganesa, dan Surya di antara dewa dan dewi lainnya—tetapi
menganggap bahwa dewa-dewi tersebut merupakan manifestasi dari zat yang Maha Esa.
Dibandingkan tiga aliran Hinduisme yang disebutkan di atas, Smarta berusia relatif muda.
Berbeda dengan Waisnawa atau Saiwa, aliran ini tidak bersifat sektarian secara gamblang,
dan berdasarkan pada iman bahwa Brahman adalah asas tertinggi di alam semesta dan
meresap ke dalam segala sesuatu yang ada. Pada umumnya, umat Smarta memuja Yang
Mahakuasa dalam enam personifikasi: Ganesa, Siwa, Sakti, Wisnu, Surya, dan Skanda.
Karena umat Smarta menerima keberadaan dewa-dewi Hindu yang utama, mereka dikenal
sebagai umat liberal atau non-sektarian. Mereka mengikuti praktik-praktik filosofis dan
meditasi, serta menekankan persatuan antara individu dengan Tuhan melalui kesadaran.
Sekte dan aliran lainnyaSunting
Para peniup seruling saat hari raya Gaijatra yang dirayakan oleh umat Hindu Newa.
Gerakan keagamaanSunting
Beberapa gerakan Hindu modern muncul di India pada periode antara abad ke-18 dan ke-20,
antara lain sebagai berikut:
Brahmoisme: gerakan keagamaan yang berasal dari Benggala pada awal abad ke-19.
Gerakan ini didirikan oleh Ram Mohan Roy. Dia menggagas pentingnya pemanfaatan nalar
untuk mereformasi praktik sosial dan religius agama Hindu, dengan pengaruh dari agama
monoteistis dan ilmu pengetahuan modern. Brahmoisme menolak dogma, takhayul, otoritas
kitab suci, dan penggambaran Tuhan.
Prarthana Samaj: gerakan reformasi sosial dan keagamaan yang dimulai di Bombay,
didirikan oleh Dr. Atmaram Pandurang pada tahun 1867 dengan tujuan agar masyarakat
meyakini satu Tuhan dan hanya menyembah satu Tuhan. Gerakan ini dimulai sebagai
reformasi sosial dan keagamaan sebagaimana Brahmo Samaj. Perintis Prarthana Samaj di
Mumbai adalah Paramahamsa Sabha, perkumpulan rahasia untuk memajukan gagasan-
gagasan liberal yang didirikan oleh Ram Balkrishna Jaykar.
Arya Samaj: gerakan reformasi Hindu yang diprakarsai oleh Swami Dayananda, dan
didirikan pada tanggal 7 April 1875. Gerakan ini bermaksud
mengamalkan Weda sebagaimana mestinya, dan mengesampingkan kitab-kitab yang ditulis
setelah Weda. Gerakan ini bersifat monoteistis karena tidak mengakui dewa-dewi
tertentu, serta menolak pemujaan Tuhan dengan sarana patung atau lukisan.
Misi Ramakrishna: gerakan filantropis dan sukarela yang diprakarsai oleh
murid Ramakrishna, Swami Vivekananda, pada tanggal 1 Mei 1897. Gerakan ini berfokus
pada masalah kemanusiaan seperti pemeliharaan kesehatan, bencana alam, kesejahteraan
masyarakat desa, pendidikan, dan lain-lain. Misi gerakan ini berdasarkan konsep Karmayoga.
Dalil-dalil yang digunakan adalah filsafat Wedanta.
Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (The International Society for Krishna
Consciousness–ISKCON): gerakan keagamaan berdasarkan tradisi Gaudiya Waisnawa.
Gerakan ini juga dikenal dengan nama "Gerakan Hare Krishna", didirikan pada
tahun 1966 di New York City oleh A. C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. Ajarannya
berpegang pada Bhagawadgita dan Srimad Bhagawatam. Gerakan ini didirikan untuk
menyebarkan Bhaktiyoga dan memuja Tuhan dengan wujud Kresna.
Di luar Asia Selatan dan Asia Tenggara, aliran Hindu yang cukup populer adalah
tradisi Waisnawa yang dibawa oleh misionaris Gerakan Hare Krishna. Tradisi Hindu juga
dilaksanakan di beberapa negara dengan jumlah imigran India yang signifikan,
seperti Mauritius (Afrika bagian selatan) dan Trinidad dan Tobago (Amerika Tengah).
Keyakinan
Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.
Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu.
Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak
untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa
(dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-
lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan
kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan
dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).
Konsep ketuhanan
Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau
Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi
yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan
dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan),
contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang
bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme. Konsep
ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi
dan filsafat yang diikuti. Kadang kala agama Hindu dikatakan
bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui
keberadaan para dewa), tapi istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan
keberadaan Tuhan. Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan
"logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu
"penyebab" di balik semuanya.
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering
didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang
menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena. Tetapi, umat Hindu tidak
menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah
yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu
kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka
disebut brahmana. Kadang kala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau
Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di
dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman,
maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa
atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab
dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan
yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat
baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya),
sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-
lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang
dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada
dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan,
atau Parameswara. Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari
keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai
pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan
mazhab Adwaita. Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab
Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadang kala menyebutnya Swayam Bhagawan.
Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam
aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh
nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya,
dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada
hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut. Menurut mazhab ini, Tuhan yang
berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau
kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-
sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Menurut
mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan
sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut
sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya. Mazhab ini menegaskan bahwa
tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, tapi tujuan hidup
sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya
tiada berbeda dengan Brahman. Mazhab Adwaita dapat dikatakan
sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal
dari Brahman, tapi pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa. Dalam
kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan
(Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui. Samkhya
berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang
senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk
suatu keadaan. Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual
dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu
"pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan
apa yang dibuatkan upacara. Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis
dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk
keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya
merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.
Atman dan jiwa
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati
kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati
kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari
belenggu samsara (melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian
abadi. Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya
suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau semadi
—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan
kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna
serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan
pelepasan dari segala keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari
samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai
contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak
lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam
segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhab Dwaita (dualistis)
memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka
yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang
dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati
gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".
Tujuan hidup manusiaSunting
Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia
—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:
Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma dapat
dipandang sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi ataupun rohani), hukum, keadilan,
tindakan benar, dan berbagai kualitas yang mendukung harmoni segala
sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang darma sebagai prinsip universal—tentang
aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman. Darma berlaku sebagai prinsip
moral bagi alam semesta. Darma merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama
Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran
Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda"
(Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, tapi
kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan darma sebagai penegak
perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak
mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu sebagai Sanātana-dharma bermakna suatu darma
yang tidak berawal atau berakhir.
Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini juga
mencakup usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan mencari
kesejahteraan material. Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa,
terutama bagi umat yang sudah berumah tangga. Ajaran tentang arta disebut Arthashastra,
dan yang termasyhur di antaranya adalah Arthashastra karya Kautilya.
Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama
dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan (seni, hiburan,
kegembiraan), kasih sayang, ataupun asmara. Akan tetapi, kama dalam hubungan asmara atau
percintaan hanya dapat dipenuhi melalui hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam
membangun kehidupan rumah tangga, atau grehasta.
Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah
keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat
individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga individu mengalami
kemerdekaan dari kesan-kesan duniawi, tanpa suka ataupun duka, lepas belenggu samsara,
serta lepas dari hasil perbuatan (karma) yang melekati individu selama mengalami
proses reinkarnasi.
Karmayoga
Bhaktiyoga
Jnanayoga
Rajayoga
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara
yang berbeda untuk mencapai moksa.
Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan
tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan
spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran. Dalam konteks dan tradisi
lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak
liar", atau "[usaha] mempersatukan diri dengan Tuhan".Ajaran tentang pelaksanaan yoga
dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga
meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis
filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang
spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung.
Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:
1. Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)
2. Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)
3. Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)
4. Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau semacamnya)
Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan
kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan
pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai
kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia
sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga yang kini
sedang berlangsung). Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya.
Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami berbaur dan
mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti
mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga),
dan demikian sebaliknya. Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang
ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga,
dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.
Pustaka suci
Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada
himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman
yang berbeda-beda. Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk
syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan. Selama berabad-abad,
para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode
Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan
secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di
dalamnya. Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti
dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat
Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu
adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita,
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat
dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut
sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-
pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.
SrutiSunting
Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regweda dalam foto ini ditulis
dengan aksara Dewanagari.
Sruti (artinya "apa yang didengar") terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang
merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai
kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala, sementara umat yang lain
tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu
meyakini kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-
lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi. Umat
Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual
dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.
Ada empat kitab Weda,
yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda),
dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan
terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—
adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya
membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan
dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut
adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama
disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir
disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan). Kumpulan Weda berfokus kepada
pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual
dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.
Smerti
Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab
Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri
dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian
dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu
pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaan, mitologi, dan cerita
tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata,
dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran
filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna,
menjelang perang di Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ±
650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada
Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok
ajaran Weda. Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadang kala disebut Gitopanishad—
sering kali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah
yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-
kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti
"sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar
tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke
dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantiram, S
iwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan kitab
hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang
kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat
tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga
mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca.
Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang
pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran
sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan
peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya
suatu musim.
Sejarah
Periodisasi
James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi
sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania. Periodisasi ini
menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya. Periodisasi lainnya memilah-
milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern. Smart dan
Michaels tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood dan
Muesse mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan
modern.
Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu
merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme.
Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan
dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha
Mahayana di India.
Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme
Asketis", sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme
Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.
Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200
SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama
Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak
ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.
Michaels
Smart Muesse Flood
Umum Detail
Periode Weda
Akhir
Periode Klasik
(dari 850 SM)
(800–200 SM)
Periode Praklasik Reformisme Asketis
(ca. 1000 SM– (ca. 500–200 SM)
100 M) Hinduisme
Praklasik
(ca. 200 SM–
300 M) Periode Epos dan Purana
Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari
masa Peradaban Lembah Sungai Indus.
Ras manusia pertama yang menduduki India (ca. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat
periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk
asli Australia. Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang
migrasi pada masa berikutnya.
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-
Dravida [ca. 4000 hingga 6000 SM] dan Indo-Arya [ca. 2000 hingga 1500 SM])
dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada kemungkinan
berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu
—berasal dari zaman mesolitik dan neolitik. Beberapa agama suku di India masih bertahan,
mendahului dominansi agama Hindu, tapi tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan
antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM)
mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi
Hindu di kemudian hari. Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa
Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall)
sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-
praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang berlanjut ke periode Weda
meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik
agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan
politis serta perdebatan para ahli.
Periode Weda
Siddhartha Gautama
Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan
sastra Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan
Siddhartha Gautama dalam Buddhisme.
Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya
gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.
Mahavira (ca. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (ca. 563–483 SM,
penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.
Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan
pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya, tetapi
mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang
tinggal] di India bagian timur laut–dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang
spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India
lainnya yang tidak berbasis Weda.
Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian
(siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi
tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist
Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915),
dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari
kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa
pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha
menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.
Hinduisme Klasik
Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan
zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme
Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia
Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.
Hinduisme Praklasik
Pada periode dari 500hingga 200 SM, dan ca. 300 M, terjadi "sintesis Hindu", yang menyerap
pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha, serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan
Brahmanisme melalui pustaka Smerti. Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan
agama Buddha dan Jainisme.
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama
berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah
naungan agama Weda. Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornyadan harus bersaing
dengan Buddhisme dan Jainisme, agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk
menonjolkan ajarannya. Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai
maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang
sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan
sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di
antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].
Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal
tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu. Kitab-kitab
Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga
pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan
Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[301] Sebagian besar gagasan
dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi
inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam
Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman
Masehi. Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan
peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama.
Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-
dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa.
Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilankonsolidasi agama Hindu, dengan
memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian
yang teistis.
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal,
meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.
"Zaman Kejayaan"
Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun
pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya
perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta
huruf. Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks
mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta, yang dipimpin para raja
penganut Waisnawa. Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai
didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu. Selama pemerintahan Dinasti Gupta,
sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di
kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi. Para raja Gupta
melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka. Hal ini
menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda
dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan
tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan).
Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10) serta para Alwar dari
aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru
India dari abad ke-12 hingga ke-18.
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun
waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha
tumbuh subur secara berdampingan. Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India
Utara sebelum abad ke-8.
Hinduisme Klasik Akhir
Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India
mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri
taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal.
Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar. Maharaja sulit
dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan, sebagaimana yang digambarkan
dalam mandala Tantra, dan kadang kala raja digambarkan sebagai pusat mandala.
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan
religius. Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis
ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang. Gerakan rakyat dan kebaktian mulai
bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra,
meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-
aliran tersebut. Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari
penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar
di India. Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana
India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai
pelindung kerajaan
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan
masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti
Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin
keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan
status bagi kelas penguasa yang baru.[319] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru
India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda.
Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat
agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para
brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya
orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu
penganut Purana. Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi
mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut. Kelompok-kelompok
brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan
rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada
golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana
lainnya. Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-
aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat
silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan.
Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara
orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda
dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.
Lukisan Kresna sebagai Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.
Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal
di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic
Hinduism), bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian
melintangi segala agama-agama yang ada. Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan
yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan
gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan. Agama ini berbeda dengan
Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis,
pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme
Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan
dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan
kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu
pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan
dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan
[inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan
mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.
Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan
dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus
berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan. Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan
menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal,
contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara. Dalam lingkungan keluarga raja pada
abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu.
Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha
dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para
filsuf pendahulunya. Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat
dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu, Adwaita Wedanta
mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh
paradigmatis dari spiritualitas Hindu.
Kehadiran Islam dan sekte Hindu
Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan
berkali-kali selama periode penaklukan India oleh Muslim, sampai akhirnya dipugar pada
tahun 1951.
Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para
pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama
periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya. Pada periode
tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke
Islam. Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik
Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim akan
tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang
terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya. Pengikut gerakan Bhakti beralih dari
konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad
sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan
para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama. Menurut
Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai
menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis
dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam
sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum. Lorenzen menentukan bahwa asal mula
identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu, dan
dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim, yang sudah
dimulai sebelum 1800-an. Baik cendekiawan India ataupun Eropa—yang mempopulerkan
istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.
Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian
hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.
Hinduisme masa kini
Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai
bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama
Hindu, baik di India ataupun di Barat. Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan
India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli
seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan
pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-
agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda, sambil membuat gagasan bahwa
"Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer
mengenai ‘India yang mistis’. Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi
Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian, bersama
dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama
memiliki dasar mistisisme yang sama. "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka
seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman
populer mengenai agama Hindu.
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S.
Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy,
dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka
dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru, mengangkat
pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan
perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan
acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak
gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-
dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan
percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata
Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India. Religiositas Hindu
juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.
Pranata
Caturwarna
Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.
Artikel utama: Warna dalam agama Hindu
Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:
Brahmana: pendeta dan guru kerohanian
Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
Sudra: pelayan dan buruh
Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli
seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh
warna, tapi seseorang yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh
perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.
Jenjang kehidupan
Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan, dan
kadang kala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik
keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam
upaya memahami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Persembahyangan
Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik
ahimsa dalam upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan
Kemerdekaan India.
Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan
penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan
dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.
Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa
adalah yang pertama di antara lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri)
dalam Yogasutra Patanjali, dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh
anggota Warnasramadarma (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra) menurut Manusmerti.
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak
keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya
mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda), kurban kuda (Aswameda,
dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda, dalam Yajurweda), sedangkan dalam
ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing
disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya. Yajurweda dianggap
sebagai Weda pengorbanan dan ritual, serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan,
contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu, seekor anak lembu
kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra, seekor
sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan
kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"
Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis
seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban. Pada masa
pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan
kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan
kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."
Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat
ditelusuri. Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana
Baru. Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan
benar-benar dilakukan, tapi dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan
kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan. Hal ini merupakan reaksi dari
kebangkitan agama-agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat
pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.
Vegetarianisme
Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di Tokyo, Jepang.
Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang
mengikuti vegetarianisme (tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang
tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya pada hari-hari
tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan kawasan. Sebagai contoh,
beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir
cenderung bergantung kepada masakan laut. Perkiraan jumlah lakto-
vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.
[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan
bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian
(satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat
akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang. Berdasarkan alasan tersebut,
umat Hindu dianjurkan untuk menghindari atau meminimalkan konsumsi makanan yang
tidak meningkatkan kebersihan hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud
adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini mengandung sifat rajas (keadaan
yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging (daging dari hewan apa
pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan,
kerakusan, dan iri hati).
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme meliputi Waisnawa dan Saiwa
yang melarang pengorbanan hewan, tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang
mengizinkan pengorbanan hewan. Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat
Hindu dari aliran Sakta, (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan
kesatria, penganut aliran Hinduisme di India Timur, serta penganut aliran Hinduisme di Asia
Tenggara.
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging
sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan
figur keibuan, dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat. Maka dari
itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di
India.
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik
vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah
gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan
pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas), tetapi
juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh
negatif, seperti bawang merah, bawang putih, dan jamur. Contoh yang kedua adalah
gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi
daging, telur, dan ikan.
Pertapaan
Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.
Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai
"moksa" ataupun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen untuk
hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta duniawi, serta
berkontemplasi tentang Tuhan. Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan
yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam
masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi
inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran.
Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama, sedangkan yang lainnya berkelana dari
satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi
keinginan mereka. Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para
petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu menerimanya
dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang miskin atau kaya, baik atau jahat
—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa senang, ataupun sedih.
Tempat suci
Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa
istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu
meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat, balai
basarah, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam
beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan dewa-
dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi
mengenai kuil di berbagai wilayah India.
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau
kuil. Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil
dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata),
misalnya Kresna, Ganesa, Durga, dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati
(misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui
suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang
dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa utama
beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang didedikasikan untuk
beberapa dewa sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil
bukanlah suatu kewajiban, dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada
perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan
Tuhan.[401] Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari Tuhan,
sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun demikian, ada
golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan dengan murti dalam bentuk
apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.
Akshardham, pemegang rekor Guiness sebagai kuil Hindu terbesar di dunia, terletak di New
Delhi, India.
Angkor Wat di Kamboja, dibangun oleh Suryavarman II pada abad ke-12, merupakan kuil
Hindu terluas di dunia.
Kuil Brihadiswara yang termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, terletak di Thanjavur,
negara bagian Tamil Nadu, India.
Belur Math di Kolkata, Benggala Barat, India. Kuil ini didirikan oleh Swami
Vivekananda dari Misi Ramakrishna.
Kuil Hindu Shri Swaminarayan di London, Inggris. Kuil ini merupakan kuil Hindu terbesar
di Eropa.
Kuil bergaya jor-bangla atau char-chala dari Benggala Barat, didedikasikan untuk Krishna-
Gouranga.
Dalam agama Hindu ada aturan tentang simbolisme dan ikonografi untuk ditampilkan dalam
karya seni, arsitektur, dan pustaka yang disakralkan. Makna simbol-simbol tersebut
dicantumkan dalam kitab suci, mitologi, serta tradisi masyarakat. Suku kata om (yang
melambangkan Parabrahman) dan swastika (yang melambangkan keberuntungan) telah
berkembang (dalam sejarahnya) sebagai lambang bagi agama Hindu, sedangkan petanda
lainnya seperti tilaka memberi ciri mengenai aliran atau kepercayaan yang dianut. Umat
Hindu juga menyangkutpautkan beberapa simbol—meliputi bunga teratai (padma), cakra,
dan veena—dengan dewa-dewi tertentu.