Anda di halaman 1dari 105

TSD-02

 
kembali ke STSD-01 | lanjut ke
STSD-03

Bagian 1
“TANGKAP pembunuh..!!” yang
lainnya pun ikut berteriak sambil
mengangkat senjata di tangan
kanan mereka tinggi-tinggi.
Untuk beberapa saat Ki Rangga
dan kawan-kawannya justru telah
membeku. Mereka tidak tahu apa
yang harus  dilakukan dan hanya
diam di tempat saja sambil
menunggu.
Sejenak kemudian orang-orang
yang berlari-larian itu telah sampai
di tempat  Ki Rangga dan kawan-
kawannya berdiri. Dengan  segera
mereka berkerumun sambil
mengacu-acukan senjata mereka.
Sekilas Ki Rangga dan kawan-
kawannya segera melihat  bahwa
mereka adalah sekumpulan orang-
orang padukuhan yang masih lugu,
dilihat dari jenis senjata yang
mereka bawa. Kebanyakan dari
mereka membawa parang
pembelah kayu, linggis dan bahkan
sabit rumput serta dua orang justru
telah membawa cangkul.
Agaknya mereka begitu tergesa-
gesa atau bahkan tidak menutup
kemungkinan mereka sedang
dalam perjalanan  ke sawah atau
ke pategalan dan kemudian
seseorang telah mempengaruhi
mereka.
“Ki Sanak semua,” berkata Ki
Waskita kemudian dengan suara
sareh sambil maju selangkah,
“Apakah sebenarnya yang telah
terjadi, sehingga Ki Sanak semua
telah berbondong-bondong menuju
ke tempat ini?”
“Tidak usah berpura-pura kakek
tua!” geram seorang yang
berperawakan tegap dan masih
cukup muda sambil melangkah ke
depan, “Kalian berlima akan kami
bawa ke banjar padukuhan untuk
mempertanggung-jawabkan
perbuatan kalian.”
“Sebentar Ki Sanak,” berkata Ki
Waskita tetap dengan nada yang
sareh, “Perbuatan apakah yang
harus kami pertanggung-
jawabkan?”
“Kalian telah membunuh orang itu!”
bentak orang bertubuh kekar itu
sambil menunjuk orang yang duduk
di bawah pohon dan telah menjadi
mayat.
“Kalian salah sangka,” jawab Ki
Waskita, “Kami berlima justru
terheran-heran mendapatkan orang
itu telah menjadi mayat.”
“Bohong!” kembali orang
berperawakan tegap itu
membentak, “Ada seseorang yang
telah memberitahu kami bahwa
kalian lah yang telah membunuh
orang itu.”
Ki Waskita mengerutkan keningnya
sejenak. Katanya kemudian,
“Siapakah diantara kalian yang
melihat kami telah membunuh
orang itu?”
Serentak orang-orang yang
berkerumun itu saling pandang
sambil mencoba mengenali orang-
orang yang berada di dekat
mereka. Agaknya mereka sedang
mencari seseorang diantara
mereka.
“Dimana dia?” geram orang
berperawakan tegap itu sambil
menebarkan pandangannya ke
sekeliling.
REPORT THIS AD
“Ya, mana orang tadi?” seseorang
yang lain telah menyahut.
“Siapa?” yang lain justru balik
bertanya
“Orang yang memberitahu  kita
bahwa di bulak telah terjadi
rajapati,” sahut yang lain.
Segera saja terdengar suara
bergeremang di antara mereka.
Ternyata orang yang sedang
mereka cari  itu  justru tidak ada di
antara mereka.
“Gila!” kembali orang tegap itu
menggeram, “Kemana perginya
orang itu, he? Dia harus
bertanggung jawab atas semua
kejadian ini.”
“Maaf Ki Sanak,” kali ini Ki Rangga
yang berkata, “Sesungguhnya kami
berlima  bermaksud untuk
menanyakan sesuatu kepada
orang itu. Namun kami menjadi
curiga begitu orang itu sama sekali
tidak menjawab bahkan terlihat
tidak bergerak sama sekali,” Ki
Rangga berhenti sebentar.
Lanjutnya kemudian, “Kami
menyangka orang itu sedang
mengalami kesulitan atau
menderita sakit. Maka kami
memberanikan diri untuk mendekat
dan memeriksanya. Ternyata orang
itu telah meninggal.”
Beberapa orang tampak menarik
nafas sambil mengangguk-angguk.
Sedangkan orang berperawakan
tegap itu masih mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Bertanya
orang itu kemudian dengan nada
yang mulai menurun, “Siapakah
sebenarnya Ki Sanak berlima ini?”
“Kami dari Prambanan dan sedang
dalam perjalanan menuju ke tanah
Perdikan Matesih,” jawab Ki
Waskita, “Kami sangat jarang
melakukan perjalanan jauh.
Sehingga kami sering berhenti di
suatu tempat dan menanyakan
kembali arah perjalanan kami untuk
meyakinkan bahwa kami tidak
tersesat.”
Orang bertubuh tegap itu tampak
ragu-ragu. Namun sebelum dia
bertanya lebih lanjut, tiba-tiba
terdengar langkah-langkah
beberapa orang yang sedang
berlari-larian menuju ke tempat itu
Sejenak kemudian beberapa orang
tampak muncul dari regol
padukuhan.
“Ki Jagabaya!” hampir setiap mulut
menyebut nama itu kecuali Ki
Rangga dan kawan-kawannya.
Memang yang datang itu adalah Ki
Jagabaya, perangkat padukuhan
Klangon yang bertanggung jawab
atas keselamatan dan keamanan
padukuhan.
“Ada apa Ki Senggi?” bertanya Ki
Jagabaya sesampainya dia di
hadapan orang yang bertubuh
tegap itu.
“Maaf Ki Jagabaya, kita sedang
mengusut sebuah rajapati yang
baru saja terjadi di bulak ini,” jawab
orang bertubuh tegap itu yang
ternyata bernama Ki Senggi.
Sejenak Ki Jagabaya mengerutkan
keningnya sambil mengedarkan
pandangan matanya ke wajah-
wajah yang ada di sekelilingnya.
Katanya kemudian, “Aku baru saja
diberi tahu tentang rajapati ini. Nah,
di mana jasad orang itu? Aku ingin
melihatnya.”
Segera saja kerumunan itu
menyibak dan memberi jalan Ki
Jagabaya. Dengan langkah lebar Ki
Jagabaya pun kemudian mendekati
jasad orang yang masih terlihat
duduk di bawah pohon itu.
Sambil membungkuk Ki Jagabaya
mencoba membuka caping itu.
Sejenak kerut merut yang dalam
terlihat menghiasi kening Ki
Jagabaya.
“Sebuah paser,” desis Ki Jagabaya
perlahan sambil mengamat-amati
sebuah paser yang menancap
dalam-dalam di leher orang itu,
“Tentu sebuah paser yang sangat
beracun.”
Beberapa orang yang mendengar
desis Ki Jagabaya itu mencoba
mendekat. Dengan berdesak-
desakan mereka mencoba melihat
keadaan orang itu.
REPORT THIS AD
“Sudahlah,” berkata Ki Jagabaya
kemudian sambil menegakkan
tubuhnya dan berbalik, “Angkat
jasad ini dan bawa ke banjar
padukuhan. Kita harus segera
menyelenggarakan pemakaman
baginya sebelum hujan turun.”
Mendengar kalimat terakhir Ki
Jagabaya, serentak mereka yang
hadir mendongakkan kepala
mereka ke langit. Mendung sudah
sedemikian tebalnya serta angin
yang bertiup keras terasa telah
membawa titik-titik air.
“Bagaimana dengan Ki Sanak
berlima ini, Ki Jagabaya?” bertanya
Ki Senggi begitu melihat Ki
Jagabaya tampak memperhatikan
Ki Rangga dan kawan-kawannya
yang berdiri termangu-mangu
sambil memegang kendali kuda
masing-masing.
Ki Jagabaya berpaling sekilas
mendengar pertanyaan Ki Senggi.
Bertanya Ki Jagabaya kemudian,
“Siapakah mereka?”
“Maaf Ki Jagabaya,” Ki Waskita lah
yang mendahului menjawab sambil
melangkah mendekat dengan tetap
memegangi kendali kudanya,
“Kami berlima berasal dari
Prambanan dan sedang dalam
perjalanan menuju ke Perdikan
Matesih,” Ki Waskita berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Beberapa saat tadi kami
menemukan orang itu sudah dalam
keadaan tidak bernyawa di bawah
pohon.”
Ki Jagabaya tidak segera
menanggapi kata-kata Ki Waskita.
Sepasang matanya yang mirip
sepasang mata burung hantu itu
menatap tajam ke wajah Ki
Waskita.
Agaknya Ki Waskita dapat
menjajagi isi hati Ki Jagabaya.
Maka katanya kemudian sambil
balas menatap mata Ki Jagabaya,
“Apakah Ki Jagabaya meragukan
keterangan kami?”
Ki Jagabaya terkejut. Sepasang
mata Ki Waskita yang balik
menatapnya itu bagaikan menyala
dan telah membuat sepasang
matanya menjadi pedas bahkan
mulai berair.
“Gila!” geram Ki Jagabaya dalam
hati sambil melemparkan
pandangan matanya ke arah Ki
Senggi. Katanya kemudian, “Ada
hubungan apakah mereka berlima
dengan peristiwa rajapati ini?”
Ki Senggi beringsut setapak.
Jawabnya kemudian, “Seseorang
telah memberitahukan kepada kami
bahwa mereka berlima itulah
pembunuh yang sebenarnya.”
Untuk ke sekian kalinya Ki
Jagabaya mengerutkan keningnya.
Tanyanya kemudian, “Di mana
orang itu sekarang?”
“Dia tidak ada di sini, Ki Jagabaya.”
Merah padam wajah Ki Jagabaya.
Katanya kemudian dengan suara
sedikit keras, “Panggil orang itu ke
sini sekarang juga!”
“Aku tidak mengenalnya, Ki
Jagabaya.”
“He?” seru Ki Jagabaya keheranan,
“Bagaimana mungkin? Bukankah
Ki Senggi mengenal hampir semua
penghuni padukuhan Klangon ini?”
“Ya, Ki Jagabaya,” jawab Ki Senggi
cepat, “Namun kami tidak sempat
menanyakan jati diri orang itu,
karena berita rajapati itu telah
mengejutkan kami.”
“Ki Senggi benar Ki Jagabaya,”
sahut yang lain, “Pada saat kami
akan berangkat ke sawah, di
tengah perjalanan seseorang telah
memberitahu kami tentang rajapati
ini.”
“Dan tidak ada seorang pun dari
kalian yang mengenal orang itu?’
sela Ki Jagabaya cepat.
Hampir bersamaan orang-orang
padukuhan Klangon yang hadir di
tempat itu menggeleng.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-
dalam sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. Sambil
menatap satu-satu wajah yang
tertunduk itu Ki Jagabaya pun
kemudian bertanya, “Atas dasar
apa kalian seenaknya saja
menuduh Ki Sanak berlima ini
sebagai pelakunya?”
Wajah-wajah lugu penghuni
padukuhan Klangon itupun
semakin tertunduk dalam-dalam.
“Untunglah seseorang telah
memberitahu aku tentang peristiwa
di depan regol padukuhan ini,
sehingga kesalah-pahaman ini
dapat dihindarkan,” berkata Ki
Jabagaya kemudian setelah
sejenak mereka terdiam. Lanjut Ki
Jagabaya kemudian, “Marilah kita
segera menyelenggarakan jasad
orang itu. Siapapun dia
sebenarnya, karena dia telah
meninggal di padukuhan Klangon,
maka sudah menjadi kewajiban kita
untuk menyelenggarakan
pemakamannya.”
Setiap kepala yang hadir di tempat
itu pun tampak terangguk-angguk.
Kemudian kepada Ki Rangga dan
kawan-kawannya, Ki Jagabaya
berkata, “Marilah Ki Sanak, kami
persilahkan Ki Sanak berlima untuk
sekedar mampir di padukuhan
Klangon. Kalian dapat bermalam di
banjar padukuhan karena sebentar
lagi kelihatannya hujan akan turun,
dan sebaiknya Ki Sanak mencari
tempat berteduh.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan
kawan-kawannya saling pandang.
Segera saja mereka memaklumi
ajakan Ki Jagabaya itu. Walaupun
tidak secara langsung orang yang
bertanggung jawab atas keamanan
padukuhan Klangon itu mencurigai
mereka, namun ajakan untuk
bermalam di padukuhan Klangon
itu perlu diwaspadai. Secara tidak
langsung ajakan itu
mengisyaratkan bahwa Ki Rangga
berlima masih dalam pengawasan
atas peristiwa rajapati itu.
“Terima kasih Ki Jagabaya,”
akhirnya Ki Waskita lah yang
menjawab mewakili yang lain,
“Kami sangat bersyukur mendapat
tempat bermalam di padukuhan
Klangon. Semoga kehadiran kami
tidak merepotkan para penghuni
padukuhan.”
“O, tidak..tidak,” jawab Ki Jagabaya
dengan serta merta, “Marilah kita
berangkat sebelum hujan benar-
benar turun,” Ki Jagabaya berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Apakah kami dapat meminjam
salah satu kuda kalian untuk
membawa jasad orang itu?”
“O, tentu..tentu,” dengan tergopoh-
gopoh Ki Waskita segera
menyerahkan kendali kudanya,
“Kami akan berjalan kaki bersama-
sama kalian ke banjar padukuhan.”
“Terima kasih,” jawab Ki Jagabaya
sambil menerima kendali kuda.
Sejenak kemudian, salah satu
penghuni padukuhan Klangon
segera menaikkan jasad itu ke atas
punggung kuda Ki Waskita. Setelah
menerima kendali kuda dari Ki
Jagabaya, dengan perlahan kuda
itu pun dihelanya maju. Sementara
dua orang menjaga di kiri kanan
jasad yang terlelungkup di atas
punggung kuda itu.
Demikianlah iring-iringan itu pun
segera bergerak menuju ke banjar
padukuhan Klangon. Sepanjang
jalan hampir tidak ada seorang pun
yang berbicara. Masing-masing
sedang sibuk dengan angan-angan
mereka sendiri-sendiri. Sementara
di langit sesekali terdengar petir
bersabung disertai dengan air
hujan yang mulai turun menetes
satu persatu.
Rombongan itu segera
mempercepat langkah mereka.
Ketika titik-titik hujan mulai terasa
semakin deras, beberapa orang
bahkan telah mulai berlari-lari kecil.
Untunglah banjar padukuhan itu
sudah mulai terlihat di ujung
kelokan jalan. Begitu mereka
mencapai pendapa banjar
padukuhan, jasad itu segera
diangkat dan kemudian diletakkan
di tengah-tengah pendapa. Sejenak
kemudian, hujan pun turun
bagaikan dicurahkan dari langit.
“Marilah Ki Sanak sekalian,”
berkata Ki Jagabaya kemudian
kepada Ki Waskita, “Biarlah kuda-
kuda kalian dirawat oleh penjaga
banjar ini,” Ki Jagabaya berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Bukankah kalian sudah mengambil
perbekalan masing-masing?”
“Sudah Ki Jagabaya,” jawab Ki
Waskita sambil menunjukkan
buntalan pakaian di tangan kirinya
diikuti oleh yang lainnya, “Jika
diijinkan kami akan membersihkan
diri terlebih dahulu sebelum
berganti pakaian.”
“Silahkan, silahkan,” sahut Ki
Jagabaya cepat, “Setelah
membersihkan diri dan berganti
pakaian, kalian dapat beristirahat di
ruang dalam banjar. Aku akan
mempersiapkan pemakaman
jenazah sambil menunggu hujan
reda.”
Demikianlah kelima orang itu
segera memasuki banjar
padukuhan Klangon. Seorang yang
berpakaian serba hitam dengan
rambut yang sudah mulai memutih
telah menunjukkan ruang dalam
tempat mereka untuk beristirahat.
Untuk beberapa saat mereka masih
menunggu hujan agak mereda
untuk pergi ke pakiwan secara
bergantian. Kesempatan itu
digunakan oleh Ki Rangga untuk
membicarakan rencana mereka
selanjutnya.
“Kelihatannya sekarang ini kita
diterima sebagai tamu,” berkata Ki
Rangga memulai pembicaraan,
“Namun aku merasa kita selalu
diawasi sehingga kita ini seperti
menjadi tawanan saja.”
“Angger benar,” sahut Ki Waskita,
“Aku tadi sempat melihat beberapa
pengawal padukuhan Klangon
telah berdatangan bersamaan
dengan turunnya hujan.”
Ki Rangga menarik nafas dalam-
dalam sambil memandang ke arah
Glagah Putih. Agaknya Glagah
Putih pun tanggap dengan maksud
kakak sepupunya itu. Maka
katanya kemudian sambil bangkit
berdiri, “Aku akan melihatnya
kakang.”
“Berhati-hatilah,” hampir
bersamaan Ki Rangga dan Ki
Jayaraga berpesan.
“Ya Guru,” jawab Glagah Putih
sambil melangkah ke pintu.
Begitu bayangan Glagah Putih
hilang di balik pintu, Ki Rangga pun
segera meneruskan kata-katanya.
“Malam ini kita akan membagi
tugas untuk menyelidiki padukuhan
ini,” Ki Rangga berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Kita ingin
mengetahui, sejauh mana
padukuhan ini telah terpengaruh
oleh bujukan orang-orang yang
mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”
“Kemungkinan itu memang ada.
Ngger,” berkata Ki Waskita
menanggapi, “Terbukti salah satu
petugas sandi Mataram telah
menjadi korban.”
“Agaknya mereka juga senang
bermain-main dengan racun,” Ki
Jayaraga memberikan
pendapatnya.
Sejenak Ki Rangga terdiam. Tanpa
sadar dia berpaling ke arah Ki
Bango Lamatan yang terlihat hanya
menundukkan kepalanya dalam-
dalam.
“Apakah Ki Bango Lamatan
mempunyai sebuah gagasan?,”
tiba-tiba Ki Rangga mengajukan
sebuah pertanyaan yang
membuyarkan lamunan Ki Bango
Lamatan.
Untuk sejenak Ki Bango Lamatan
masih menarik nafas dalam sambil
menegakkan punggungnya.
Jawabnya kemudian, “Ki Rangga,
kedudukanku dalam kelompok ini
hanyalah sebagai pelengkap. Aku
dititipkan oleh Pangeran Pati atas
persetujuan KI Patih Mandaraka.
Sehingga apapun rencana Ki
Rangga, aku akan mengikutinya.”
“Ah,” desah Ki Rangga sambil
tertawa pendek, “Aku ditunjuk
sebagai pemimpin kelompok ini
bukan berarti aku mempunyai
kekuasan mutlak untuk
menjalankan rencana sesuai
dengan hasil pemikiranku sendiri.
Setiap anggota di dalam kelompok
ini berhak untuk mengajukan
pendapatnya.”
“Ki Rangga benar,” sahut Ki
Jayaraga cepat, “Setiap orang
dalam kelompok ini dapat
mengusulkan sebuah rencana yang
disesuaikan dengan keadaan.
Rencana manakah yang akan kita
pakai nantinya, tergantung dari
hasil kesepakatan kita.”
Semua yang hadir di ruangan itu
mengangguk-anggukkan kepala
mereka tak terkecuali Ki Bango
Lamatan.
REPORT THIS AD
Pembicaraan itu terhenti ketika
terdengar pintu berderit dan Glagah
Putih muncul dari balik pintu.
Sementara hujan di luar
kelihatannya sudah mulai mereda.
Bunyi air hujan yang memukul-
mukul atap banjar padukuhan
sudah tidak sekeras dan sesering
seperti beberapa saat tadi.
“Masuklah,” berkata Ki Rangga
begitu melihat adik sepupunya itu
masih termangu-mangu di tengah-
tengah pintu, “Apakah engkau
melihat sesuatu yang perlu
mendapat perhatian?”
“Jenazah itu akan diberangkatkan,”
jawab Glagah Putih sambil
melangkah mendekat dan
kemudian duduk di sebelah
gurunya, “Banjar ini rasa-rasanya
telah terkepung dari segala
penjuru. Aku melihat banyak
pengawal yang berjaga-jaga di
seputar banjar.”
“Apakah tidak sebaiknya kita ikut
mengantarkan jenazah itu, ngger?”
sela Ki Waskita sambil berpaling ke
arah Ki Rangga.
Sejenak Ki Rangga termenung.
Namun jawabnya kemudian, “Aku
kira tidak perlu Ki Waskita. Kita
tidak usah menunjukkan kedekatan
kita dengan orang yang sudah
meninggal itu. Sebaiknya kita tetap
di banjar ini.”
Hampir bersamaan mereka yang
hadir di ruangan itu telah menarik
nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-angguk.
Untuk sejenak mereka yang berada
di dalam ruang itu terdiam.
Sementara bunyi titik-titik air hujan
yang menimpa atap banjar
padukuhan sudah tidak terdengar
lagi. Berkata Ki Rangga kemudian,
“Nah, hujan sudah benar-benar
reda. Siapakah yang akan ke
pakiwan terlebih dahulu?”
Tanpa menunggu jawaban yang
lainnya, ternyata Glagah Putih telah
berdiri kembali. Sambil melangkah
ke pintu dia berkata, “Aku akan
menimba air terlebih dahulu.
Silahkan jika ada yang akan
membersihkan diri.”
“Benar-benar anak yang baik,”
sahut Ki Jayaraga yang disambut
gelak tawa oleh yang lainnya.
Demikianlah ketika Glagah Putih
kemudian membuka pintu butulan
dan turun ke halaman belakang,
secara tidak mencolok tampak
beberapa pengawal duduk-duduk
bergerombol di teritisan sebelah kiri
sambil bersenda-gurau. Di
hadapan mereka tampak beberapa
mangkuk minuman panas dan
penganan.
Glagah Putih pura-pura tidak
memperhatikan mereka. Diayunkan
langkahnya menuju ke perigi.
Setelah melepas tali senggot yang
diikatkan pada sebatang bambu
yang ditancapkan di sebelah perigi,
sejenak kemudian Glagah Putih
pun telah tenggelam dalam
keasyikannya menimba air.
Dalam pada itu, di pendapa banjar
padukuhan jenazah petugas sandi
Mataram itu telah diberangkatkan.
Beberapa orang penghuni
padukuhan Klangon tampak ikut
mengantar jenazah itu ke tanah
pekuburan bersama dengan
beberapa pengawal padukuhan.
Selain pengawal padukuhan
Klangon, Ki Jagabaya pun tampak
ikut berjalan di antara mereka.
Tiba-tiba seseorang yang
rambutnya sudah putih semua
dengan memakai ikat kepala yang
agak rendah tanpa menarik
perhatian telah berjalan menjajari
langkah Ki Jagabaya.
“Ki Jagabaya,” bisik orang itu,
“Apakah benar ada lima orang
yang bermalam di banjar sekarang
ini?”
Ki Jagabaya terkejut. Dengan cepat
dia segera berpaling. Sejenak Ki
Jagabaya ragu-ragu, dia hampir
tidak mengenali orang itu. Namun
ketika orang itu kemudian
tersenyum ke arahnya, barulah Ki
Jagabaya menarik nafas dalam-
dalam.
REPORT THIS AD
“Benar Ki Gede,” jawab Ki
Jagabaya kemudian juga dengan
berbisik sambil mengiringi langkah
orang yang dipanggilnya Ki Gede
itu.
Orang yang dipanggil Ki Gede itu
tampak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil memandang ke
titik-titik di kejauhan dia berdesis,
“Usahakan untuk mengetahui jati
diri mereka. Agaknya mereka itu
orang-orang yang sedang
menyamar. Tidak menutup
kemungkinan mereka adalah para
petugas sandi Mataram. Aku
memerlukan datang ke sini untuk
bisa bertemu dengan mereka.
Mudah-mudahan dugaanku ini
tidak keliru, namun jangan sampai
menimbulkan kesan kepada para
pengikut Raden Mas Harya
Surengpati yang banyak tersebar di
padukuhan ini.”
“Akan aku usahakan, Ki Gede,”
sahut Ki Jagabaya, “Namun aku
tidak yakin jika mereka itu para
petugas sandi Mataram yang
sedang menyamar. Jika mereka
adalah para prajurit sandi Mataram,
beberapa di antaranya sudah
terlalu tua untuk disebut sebagai
seorang prajurit.”
Orang yang dipanggil Ki Gede itu
tertawa pendek sehingga orang-
orang yang berjalan di depannya
telah berpaling sekilas. Namun Ki
Gede tidak mempedulikan mereka.
Lanjutnya kemudian, “Mungkin
yang tua-tua itu adalah para prajurit
yang sudah purna namun
tenaganya masih dibutuhkan
sehingga tidak menutup
kemungkinan mereka
diperbantukan dalam tugas rahasia
ini,” Ki Gede berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Apakah para
penghuni padukuhan Klangon ini
ada yang dapat mengenali aku?”.
Ki Jagabaya mengerutkan
keningnya. Sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekitarnya,
dengan nada sedikit ragu dia
menjawab, “Sejauh ini belum ada
yang mengenali dan
memperhatikan Ki Gede. Dalam
pakaian yang sangat sederhana ini,
kemungkinannya sangat kecil untuk
mengenal Ki Gede. Kecuali orang-
orang terdekat yang sudah terbiasa
bergaul dengan Ki Gede.”
Orang yang dipanggil Ki Gede itu
mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar keterangan Ki
Jagabaya. Dalam hati dia
membenarkan pendapat Ki
Jagabaya itu. Betapapun
sempurnanya dia melakukan
penyamaran, namun orang-orang
terdekatnya terutama istri dan
kedua anaknya tentu dapat
mengenali dari bentuk tubuh,
gerak-gerik serta hal-hal lain yang
tidak pernah terbaca oleh orang
lain kecuali hanya keluarga
terdekatnya saja.
Untuk beberapa saat mereka
berdua terdiam. Masing-masing
tenggelam dalam angan-angan
tentang kelima orang asing itu.
Sementara langkah-langkah
mereka telah semakin mendekati
tanah pekuburan.
“Usahakan mereka tidak keluar dari
banjar malam ini,” berkata Ki Gede
kemudian ketika iring-iringan
jenazah itu sudah memasuki
gerbang tanah pekuburan, “Apapun
yang akan terjadi, aku akan
menemui mereka. Aku sudah muak
dengan segala tingkah polah para
pengikut Trah Sekar Seda Lepen
itu.”
Ki Jagabaya yang berjalan di
samping Ki Gede tampak
mengerutkan keningnya. Jawabnya
kemudian, “Bagaimana jika dugaan
Ki Gede justru sebaliknya? Mereka
ternyata justru utusan Raden
Wirasena yang selama ini belum
pernah kita lihat? Atau bahkan
tidak menutup kemungkinan justru
salah satu dari mereka itu adalah
Raden Wirasena sendiri.”
Berdesir jantung Ki Gede.
Kemungkinan itu memang ada.
Dan jika kemungkinan itulah yang
akan terjadi, tentu lehernya sendiri
yang akan menjadi taruhannya.
Untuk beberapa saat kedua orang
itu kembali terdiam sambil berjalan
di antara sela-sela batu nisan.
Ketika iring-iringan itu kemudian
berhenti di depan liang lahat yang
telah disediakan, kedua orang itu
pun segera menepi dan berdiri di
bawah sebatang pohon Kamboja.
“Apakah kita akan mendekat, Ki
Gede?” bertanya Ki Jagabaya
kepada Ki Gede yang berdiri di
sebelahnya.
REPORT THIS AD
“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “Aku
khawatir jika terlalu dekat dengan
mereka, mungkin salah satu dari
mereka akan ada yang
mengenaliku.”
Ki Jagabaya tersenyum. Katanya
kemudian, “Sudah aku katakan
tadi, penyamaran Ki Gede cukup
sempurna. Namun jika Ki Gede
berbicara, tentu orang akan dapat
mengenali Ki Gede dari suara itu.”
Ki Gede tersenyum, betapapun
masamnya. Katanya kemudian,
“Untuk itulah kita tidak perlu
mendekat. Jika seseorang
kemudian bertanya sesuatu
kepadaku, walaupun tanpa
kesengajaan dan maksud tertentu,
tentu aku akan mengalami
kesulitan untuk menyembunyikan
suaraku yang asli.”
Ki Jagabaya kembali tersenyum.
Sambil melemparkan pandangan
matanya ke arah kerumunan orang
di seputar liang lahat itu, dia
kemudian bergumam perlahan
seolah-olah ditujukan kepada
dirinya sendiri, “Siapakah
sebenarnya orang itu? Dia mati
tanpa meninggalkan ciri-ciri yang
dapat dijadikan sebagai pancadan
untuk menelusuri jati dirinya.”
Ki Gede yang mendengar gumam
Ki Jagabaya telah menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya kemudian,
“Tentu bukan pengikut Trah Sekar
Seda Lepen. Aku justru cenderung
menduga dia adalah salah satu dari
petugas sandi yang telah disebar
oleh Mataram. Kemungkinannya
orang itu ada hubungannya dengan
kedatangan kelima orang yang
sekarang berada di banjar.”
Ki Jagabaya mengangguk-
anggukkan kepalanya mendengar
dugaan Ki Gede. Namun semua
dugaan itu masih harus dibuktikan.
Demikianlah ketika liang lahat itu
telah selesai ditimbun tanah dan
seseorang yang dianggap sesepuh
padukuhan Klangon telah selesai
memanjatkan doa, orang-orang
yang hadir di tanah pekuburan itu
pun segera membubarkan diri.
 “Marilah Ki Gede,” berkata Ki
Jagabaya kemudian sambil
melangkahkan kakinya, “Sebaiknya
kita ikut meninggalkan tempat ini.”
Ki Gede mengangguk sambil
melangkahkan kakinya. Ketika
pandangan matanya melihat
beberapa pengawal padukuhan
yang berjalan beriringan sambil
bersenda gurau, Ki Gede pun
segera membisikkan sebuah
pertanyaan kepada Ki Jagabaya.
“Mengapa begitu banyak pengawal
yang datang melayat? Aku tadi
juga sempat melihat banyak
pengawal yang bersiaga di banjar
padukuhan. Apakah ini ada
hubungannya dengan kedatangan
kelima orang itu?”
Ki Jagabaya menggeleng.
Jawabnya kemudian, “Aku tidak
tahu, Ki Gede. Mungkin Ki Dukuh
telah mendapat laporan dan
menyuruh para pengawal
padukuhan untuk bersiaga.”
Ki Gede menarik nafas panjang.
Bertanya Ki Gede kemudian,
“Apakah Ki Dukuh Klangon masih
sering mengadakan hubungan
dengan pengikut Trah Sekar Seda
Lepen?”
K Jagabaya mengangguk sambil
berdesis, “Orang yang mengaku
bernama Raden Mas Harya
Surengpati itulah yang sering
mengunjungi Ki Dukuh dan
kemudian membuat hubungan
kerja sama dan janji-janji dengan
mengatas-namakan kakaknya,
Raden Wirasena.”
Ki Gede kembali menarik nafas
dalam-dalam sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya. Katanya
kemudian, “Agaknya Ki Dukuh
Klangon telah termakan janji-janji
dari Raden Mas Harya Surengpati.”
“Kemungkinannya memang
demikian Ki Gede,” sahut Ki
Jagabaya.
“Apakah semua perangkat
padukuhan telah terpengaruh?”
bertanya Ki Gede selanjutnya.
REPORT THIS AD
Ki Jagabaya menggeleng, “Aku
tidak tahu Ki Gede. Yang jelas aku
tetap bersetia kepada Mataram.
Namun hal ini tidak aku tunjukkan
dengan semata-mata. Aku masih
memikirkan keselamatan
keluargaku.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pertimbangan yang
sangat berat adalah permasalahan
yang menyangkut keluarga.
Bagaimanapun juga jika keluarga
terancam keselamatannya, tentu
akan berpikir seribu kali untuk
menentang pengaruh para pengikut
Trah Sekar Seda Lepen itu.
Tak terasa langkah mereka telah
sampai di persimpangan jalan.
Kedua orang itu pun kemudian
memutuskan untuk segera
berpisah.
“Kita bertemu lagi saat sirep
uwong,” berkata Ki Gede, “Aku
akan berusaha memasuki banjar
lewat belakang. Aku akan
menunggu di dekat perigi.
Lontarkanlah sebuah isyarat jika
memang kelima orang itu berada di
pihak kita. Namun jika ternyata
kelima orang itu justru orang-
orangnya Raden Mas Harya
Surengpati, aku harus segera
menyelamatkan diri.”
“Baik Ki Gede,” jawab Ki Jagabaya.
Demikianlah akhirnya kedua orang
itu pun kemudian segera berpisah.
Ki Gede dengan langkah yang
tergesa-gesa telah mengambil jalur
jalan yang lurus untuk
meninggalkan tempat itu,
sementara dengan langkah satu-
satu Ki Jagabaya mengambil jalur
jalan yang satunya untuk kembali
menuju ke banjar padukuhan.
Dalam pada itu, walaupun hujan
telah berhenti, namun di langit
masih menyisakan mendung yang
bergelayutan. Matahari tidak
menampakkan sinarnya sama
sekali. Walaupun hari belum
menjelang petang, namun
suasananya benar-benar sudah
seperti menjelang malam.
Di banjar padukuhan, Ki Rangga
dan kawan-kawannya telah selesai
membersihkan diri dan berganti
pakaian. Mereka pun kemudian
segera berkumpul kembali di ruang
dalam, ruang yang diperuntukkan
bagi mereka untuk bermalam.
“Sebentar lagi Matahari akan
terbenam,” berkata Ki Rangga
kemudian sambil membetulkan
letak duduknya, “Selepas makan
malam sebaiknya kita menyusun
rencana.”
“Ya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku
menyarankan sebagian dari kita
duduk-duduk saja di pendapa.
Siapa tahu Ki Jagabaya berkenan
hadir dan menemani kita
berbincang.”
“Ya, aku setuju,” sahut Ki Jayaraga,
“Sementara sebagian dari kita
berbincang di pendapa, yang
lainnya melakukan penyelidikan di
padukuhan Klangon ini.”
“Tepatnya di sekitar rumah Ki
Dukuh Klangon,” dengan serta-
merta Glagah Putih mengajukan
sebuah usul.
Semua orang menengok ke arah
suami Rara Wulan itu. Ki Rangga
lah yang kemudian bertanya, “Apa
pertimbanganmu Glagah Putih?”
Glagah Putih menggeser duduknya
sejengkal. Jawabnya kemudian,
“Aku mempunyai dugaan, jika
padukuhan ini telah terpengaruh
oleh orang-orang yang menyebut
dirinya Trah Sekar Seda Lepen,
tentu dimulai dari pemimpinnya ,
dalam hal ini adalah Ki Dukuh.”
Mereka yang hadir mengangguk-
anggukkan kepala pertanda setuju
dengan pendapat Glagah Putih
kecuali Ki Bango Lamatan. Berkata
Ki Bango Lamatan kemudian,
“Belum tentu Ki Dukuh telah
terpengaruh oleh para pengikut
Trah Sekar Seda Lepen. Bisa saja
Ki Dukuh sedang dalam tekanan
dan ancaman orang-orang
terdekatnya yang telah terpengaruh
terlebih dahulu. Jika hal ini yang
terjadi, kita harus melindungi Ki
Dukuh.”
Kembali mereka mengangguk-
angguk. Berkata Ki Rangga
kemudian, “Kedua kemungkinan itu
bisa saja terjadi, dan sebaiknya kita
memang mengadakan penyelidikan
di sekitar rumah Ki Dukuh
Klangon.”
REPORT THIS AD
“Benar, ngger,” Ki Waskita
menambahi, “Namun harus tetap
kita usahakan jangan sampai jati
diri kita terungkap. Dan yang lebih
penting lagi, jangan sampai apa
yang terjadi nantinya di padukuhan
Klangon ini akan membangunkan
perguruan Sapta Dhahana yang
selama ini masih belum menyadari
akan kehadiran kita.”
Untuk beberapa saat mereka
terdiam. Memang sasaran mereka
yang utama adalah memutus
hubungan antara perguruan Sapta
Dhahana dengan orang-orang yang
menyebut dirinya Trah Sekar Seda
Lepen. Namun agaknya pengaruh
itu sudah cukup meluas sehingga
telah sampai di padukuhan
Klangon tempat mereka bermalam.
“Marilah,” tiba-tiba Ki Waskita
berkata memecah kesunyian,
“Matahari sudah terbenam dan
sudah terdengar panggilan untuk
menunaikan kewajiban kita kepada
Yang Maha Agung.”
Hampir bersamaan mereka
mengangguk-angguk. Secara
bergantian mereka pun kemudian
memerlukan pergi ke pakiwan
untuk mensucikan diri sebelum
menunaikan kewajiban sebagai
tanda syukur atas nikmat dan
karunia dari Sang Maha Pencipta.
Dalam pada itu Ki Gede yang
sedang menyusuri bulak panjang
yang menghubungkan padukuhan
Klangon dengan Tanah Perdikan
Matesih telah dikejutkan oleh
kehadiran seseorang di atas
tanggul.
Pada awalnya Ki Gede menduga
orang itu hanyalah seorang petani
yang sedang melepaskan lelah
sehabis membenahi sawahnya.
Musim hujan memang telah datang
dan agaknya para petani sudah
mulai ancang-ancang untuk
menggarap sawah mereka kembali.
“Mungkin hanya seorang petani
yang kebetulan belum pulang dari
sawahnya,” berkata Ki Gede dalam
hati sambil memandang bayangan
hitam yang berdiri di atas tanggul
sebelah kiri beberapa puluh tombak
di depan. Matahari memang baru
saja terbenam namun karena langit
masih menyisakan mendung yang
bergelayutan, sehingga suasana
pun terlihat cukup gelap.
“Mengapa akhir-akhir ini aku
menjadi cepat berprasangka buruk
terhadap seseorang.?” bertanya Ki
Gede dalam hati sambil terus
mengayunkan langkah, “Mungkin
kehadiran orang-orang yang
mengaku pengikut Trah Sekar
Seda Lepen itu yang membuatku
selalu bercuriga.”
Ketika langkah Ki Gede semakin
dekat dengan orang yang berdiri di
atas tanggul itu, jantung Ki Gede
pun berdentang semakin keras.
Orang itu tidak tampak
sebagaimana petani biasanya yang
memanggul cangkul di pundaknya
dan menyelipkan sabit di
pinggangnya. Orang itu justru telah
berdiri sambil bertolak pinggang
dan terlihat dengan sengaja
memang sedang menunggu
kedatangannya.
“Apa boleh buat,” geram Ki Gede
dalam hati sambil meraba
pinggangnya. Ketika tangan
kanannya menyentuh sebuah keris
pusaka turun-temurun kebanggaan
Tanah Perdikan Matesih yang
terselip di pinggang kanannya,
hatinya pun menjadi sedikit tenang.
Dengan langkah satu-satu Ki Gede
berjalan terus tanpa meninggalkan
kewaspadaan. Malam yang baru
saja mulai itu terasa sangat sepi.
Hanya terdengar suara binatang-
binatang malam yang mulai
memperdengarkan nyanyian dalam
irama ajeg. Sementara di langit
yang kelam kelelawar dan burung-
burung malam mulai beterbangan
hilir mudik mencari mangsa.
Semakin dekat jarak Ki Gede
dengan orang di atas tanggul itu,
jantung Ki Gede pun rasa-rasanya
telah berpacu semakin kencang.
Betapa pun Ki Gede berusaha
menepis syak wasangka di dalam
hatinya, namun sikap orang di atas
tanggul itu memang terasa sangat
mendebarkan.
Ternyata apa yang menjadi dugaan
Ki Gede itu benar adanya. Ketika
jarak mereka berdua tinggal
beberapa langkah lagi, tiba-tiba
terdengar suara tawa perlahan dan
tertahan-tahan dari orang yang
berdiri di atas tanggul itu. Agaknya
itu adalah sebuah isyarat bahwa
orang di atas tanggul itu memang
sengaja menunggu Ki Gede. Maka
Ki Gede pun segera menghentikan
langkahnya.
REPORT THIS AD
Sejenak suasana menjadi sunyi.
Sudah tidak terdengar lagi suara
tawa yang memuakkan itu. Masing-
masing terlihat saling menahan diri
dan menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Diam-diam Ki
Gede telah menggeser kedudukan
keris pusakanya ke depan. Tangan
kanannya pun telah menggenggam
hulu keris itu, siap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Suasana benar-benar sangat
mencekam. Masing-masing
mencoba menilai keadaan, namun
tidak ada yang berani mengambil
keputusan untuk bergerak terlebih
dahulu. Masing-masing hanya
menunggu dan menunggu.
Tiba-tiba suasana yang mencekam
itu telah dipecahkan kembali oleh
suara tawa orang yang berdiri di
atas tanggul itu. Suara tawa yang
terdengar dalam nada rendah dan
berkepanjangan. Benar-benar
sebuah tawa yang terdengar
sangat memuakkan di telinga Ki
Gede.
“Diam!” tiba-tiba Ki Gede yang
sudah tidak dapat menahan hatinya
itu telah membentak dengan suara
yang menggelegar.
Orang di atas tanggul itu tampak
terkejut dan segera menghentikan
tawanya. Untuk beberapa saat dia
hanya dapat berdiri diam termangu-
mangu.
“Apakah Ki Gede merasa
terganggu?” tiba-tiba orang di atas
tanggul itu bertanya. Suaranya
terdengar sangat berat dan dalam.
Berdesir dada Ki Gede mendengar
pertanyaan itu. Orang itu agaknya
telah mengenal dirinya. Jantung Ki
Gede pun menjadi semakin
berdebaran.
Ki Gede tidak segera menjawab.
Dicobanya untuk mengenali
bayangan yang berdiri bertolak
pinggang di atas tanggul itu.
Namun kegelapan yang
menyelimuti tempat itu telah
menghalangi Ki Gede untuk melihat
wajahnya dengan jelas, walaupun
Ki Gede telah mengerahkan
kemampuannya untuk menajamkan
pandangan matanya.
“Bagaimana Ki Gede?” kembali
terdengar suara orang di atas
tanggul itu, “Mengapa Ki Gede
diam saja?” orang itu berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Ki
Gede tidak perlu menghunus
pusaka kebesaran Tanah Perdikan
Matesih. Tidak akan banyak berarti
bagiku.”
“Sombong!” sergah Ki Gede
dengan serta merta. Namun dalam
hati Ki Gede mengakui ketajaman
mata orang itu. Maka katanya
kemudian sambil melepaskan
pegangan pada hulu kerisnya dan
menunjuk ke arah orang itu,
“Turunlah! Jangan menjadi
pengecut yang hanya berani
bertempur dari atas tanggul. Jika Ki
Sanak tetap bertahan, jangan
salahkan aku jika aku akan
memaksamu turun dengan caraku.”
“O?” terdengar orang itu kembali
tertawa, tawa yang memuakkan,
“Tidak ada seorang pun yang dapat
memaksa aku untuk turun dari
tanggul ini. Ki Gede Matesih pun
tidak,” orang itu berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Kalau Ki
Gede tidak percaya, silahkan! Aku
berjanji tidak akan menggerakkan
tubuhku untuk melawan atau pun
menghindar, walaupun hanya ujung
ibu jari kakiku.”
Kata-kata itu benar-benar telah
membuat darah Ki Gede mendidih.
Rasa-rasanya kemarahan Ki Gede
telah sampai ke ubun-ubun.
Sebuah penghinaan yang luar
biasa telah dengan sengaja
ditujukan kepada dirinya, penguasa
tertinggi Tanah Perdikan Matesih.
Dengan menggeram marah Ki
Gede segera memusatkan
segenap nalar dan budinya untuk
mengungkapkan puncak ilmu
warisan turun-temurun leluhur
Perdikan Matesih. Sebuah ilmu
yang bersumber dari perguruan
Pandan Alas dari cabang Gunung
Kidul. Namun dalam
perkembangannya, sepeninggal Ki
Demang Sarayudha, murid
pertama Ki Ageng Pandan Alas,
ilmu cabang Perguruan Ki Pandan
Alas itu telah mengalami
kemunduran yang cukup
memprihatinkan.
REPORT THIS AD
Segera saja Ki Gede bergeser ke
samping setapak. Wajahnya
terangkat dan matanya menjadi
redup setengah terpejam.
Disalurkan segala tenaganya yang
dilambari dengan pemusatan
pikiran untuk kemudian meletakkan
satu tangannya di atas dada,
sedangkan tangan lainnya menjulur
ke depan lurus-lurus. Itulah suatu
sikap untuk melepaskan ilmunya
yang dahsyat, ilmu pamungkas
Cundha Manik dari Perguruan
Pandan Alas.
Orang di atas tanggul itu terkejut
begitu menyadari Ki Gede telah
mengungkapkan ilmu
pamungkasnya. Namun
sebagaimana janji yang telah
diucapkan sebelumnya, orang di
atas tanggul itu tidak akan
menggerakkan tubuhnya untuk
melawan atau pun menghindar,
walaupun hanya ujung ibu jari
kakinya.
Sejenak kemudian terdengar
teriakan menggelegar dari Ki Gede.
Tubuhnya melesat bagaikan tatit
yang meloncat di udara. Tangan
kanan yang terjulur lurus itu
dengan kekuatan penuh
menghantam dada orang yang
berdiri di atas tanggul itu.
Akibatnya sangat dahsyat. Tubuh
Ki Gede bagaikan membentur
dinding baja setebal satu jengkal.
Kekuatan yang tersalur pada
telapak tangan kanannya membalik
membentur dadanya sendiri
sehingga tubuhnya terpental ke
belakang dan melayang jatuh
terjerembab di tanah yang berdebu.
Terdengar sebuah keluhan pendek
sebelum akhirnya Ki Gede jatuh
pingsan.
Sedangkan orang yang berdiri di
atas tanggul itu sejenak bagaikan
membeku di tempatnya. Walaupun
kekuatan aji Cunda Manik itu tidak
mampu menggetarkan tubuhnya,
namun untuk beberapa saat jalan
nafasnya terasa bagaikan telah
tersumbat.
“Sayang,” desis orang itu sambil
menarik nafas dalam-dalam untuk
melonggarkan dadanya, “Aji Cunda
Manik ini tinggal kulitnya saja.
Seandainya Ki Gede mampu
mendalami dan mematangkannya,
menghadapi orang yang menyebut
dirinya Raden Mas Harya
Surengpati itu bukanlah suatu hal
yang menakutkan.”
Dengan perlahan orang itu pun
kemudian melangkahkan kakinya
menuruni tanggul.
“Seandainya Ki Ageng Pandan
Alas masih hidup dan beliau sendiri
yang melontarkan Aji Cunda Manik
ini, aku tidak yakin kalau aku akan
mampu bertahan,” gumam orang
itu kemudian sambil melangkah ke
tempat Ki Gede terbaring.
Sesampainya orang itu di sebelah
tubuh Ki Gede, segera saja dia
mengambil tempat di sebelah
kirinya dan kemudian duduk bersila
di atas tanah yang berdebu.
Untuk beberapa saat orang itu
masih merenungi tubuh Ki Gede
yang terbujur diam. Kemudian
dengan perlahan dirabanya
pergelangan tangan Ki Gede,
kemudian berpindah ke dada dan
terakhir orang itu memiringkan
tubuh Ki Gede untuk meraba
punggungnya.
“Untung hanya pingsan saja,” desis
orang itu, “Tidak ada luka dalam.
Semoga ini menjadi pelajaran bagi
Ki Gede untuk memacu
semangatnya dalam mendalami
dan menyempurnakan ilmu
kebanggaan Perguruan Pandan
Alas ini.”
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, orang itu pun kemudian
mulai memijat tengkuk Ki Gede.
Sejenak kemudian, terdengar
keluhan tertahan yang keluar dari
mulut Ki Gede.
“Ki Gede,” desis orang itu perlahan
ketika melihat Ki Gede mulai
membuka kedua matanya, “Tidak
ada yang perlu dirisaukan. Anggap
saja apa yang baru saja terjadi ini
adalah bentuk dari perkenalan
kita.”
Ki Gede yang belum menemukan
kesadarannya secara utuh itu tidak
menjawab. Pendengaran dan
penglihatannya belum pulih dan
bekerja sebagaimana biasa.
Sementara dadanya terasa nyeri
dan tulang-tulang rusuknya
bagaikan berpatahan.
“Duduklah Ki Gede,” bisik orang itu
sambil membantu menyangga
punggung Ki Gede.
REPORT THIS AD
Ki Gede masih berusaha
memperjelas penglihatan kedua
matanya. Dengan mengerjap-
kerjapkan kelopak kedua matanya
beberapa kali, akhirnya penglihatan
Ki Gede pun menjadi semakin
terang dan jelas.
Begitu kesadarannya mulai pulih
kembali, tanpa sadar Ki Gede telah
berpaling. Namun alangkah
terkejutnya Ki Gede. Darahnya
bagaikan tersirap sampai ke ubun-
ubun begitu kedua matanya
menatap  wajah orang yang berada
di sebelah kirinya itu.
Kalau saja Ki Gede tidak
menguatkan hatinya, tentu dia
sudah berteriak ketakutan melihat
raut wajah orang yang berada di
sebelahnya itu. Seraut wajah yang
rata, tidak tampak adanya
sepasang mata, hidung atau pun
mulut. Seraut wajah yang benar-
benar tampak mengerikan.
Namun Ki Gede bukanlah anak
kemarin sore yang ketakutan
seperti melihat orang-orangan
pengusir burung di sawah. Menurut
dugaannya, orang itu pasti
menggunakan sejenis topeng tipis
dari kulit binatang yang disamak
dengan halus sehingga terlihat
seperti kulit wajah manusia.
Berpikir sampai disitu, dengan
mengendapkan hatinya yang
sempat bergejolak, Ki Gede pun
segera bergerak meraih topeng
yang menutupi wajah orang itu.
Namun sebelum tangan Ki Gede
sempat meraih wajah orang itu,
tiba-tiba saja dirasakan sekujur
tubuhnya menjadi lemas tak
bertenaga. Tulang-belulangnya pun
bagaikan terlepas dari persendian.
Bersamaan dengan itu, terasa
telapak tangan orang bertopeng itu
mengusap tengkuknya.
Sejenak kemudian, Ki Gede
merasakan kantuk yang luar biasa
beratnya dan tak tertahankan..
Namun sebelum Ki Gede jatuh
tertidur, terdengar orang bertopeng
itu membisikkan sesuatu di
telinganya.
Demikianlah akhirnya, Ki Gede
yang telah siuman dari pingsannya
itu telah tak sadarkan kembali,
namun kali ini Ki Gede merasakan
ketenangan yang luar biasa dalam
tidurnya.
Ketika Ki Gede kemudian
terbangun dari tidur nyenyaknya,
dia mendapatkan dirinya sedang
terbaring di bawah sebatang pohon
di sebelah perigi.
“He?” desis Ki Gede sambil bangkit
dan bertelekan pada kedua
tangannya, “Di mana aku? Apa
sebenarnya yang telah terjadi?”
Perlahan-lahan Ki Gede mencoba
merangkai ingatannya kembali.
Segera saja ingatan Ki Gede tertuju
pada seraut wajah yang
mengerikan, wajah yang tampak
rata tak berbentuk bagaikan
sebuah dinding batu saja.
“Mengapa orang bertopeng itu
membawaku kemari?” bertanya Ki
Gede dalam hati sambil
memperbaiki duduknya, “Orang
yang aneh, namun kesaktiannya
benar-benar ngedab-edabi,” Ki
Gede berhenti berangan-angan
sejenak. Kemudian lanjutnya, “Atau
aku saja yang terlalu malas untuk
mendalami Aji Cunda Manik?”
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja
terbesit niat di dalam hati Ki Gede
untuk menjalani laku yang sudah
ditentukan dalam
menyempurnakan puncak ilmunya.
“Namun guru sudah lama
meninggal,” kembali Ki Gede
berangan-angan, “Aku tidak berani
menjalani laku terakhir itu tanpa
bimbingan seorang guru.”
Niat yang sudah menggebu-gebu di
dalam hatinya itu tiba-tiba saja
surut kembali bagaikan sinar
sebuah dlupak yang kehabisan
minyak.
“Ah, sudahlah,” desah Ki Gede
kemudian, “Itu akan aku pikirkan
kemudian. Kelihatannya sekarang
sudah mendekati waktu sepi
uwong. Aku telah berjanji dengan
Ki Jagabaya untuk bertemu di
banjar.”
Sambil berpegangan pada
sebatang pohon sawo kecik di
sebelahnya, Ki Gede pun kemudian
mencoba untuk bangkit. Diedarkan
pandangan matanya ke
sekelilingnya sambil mengibas-
kibaskan kain panjangnya yang
menjadi sedikit kotor. Hujan
memang telah berhenti sejak sore
tadi, namun tanah tempat Ki Gede
terbaring masih terasa basah.
“Hem,” desah Ki Gede sambil
mengamat-amati lampu dlupak
yang disangkutkan di teririsan.
Tampak beberapa orang pengawal
sedang tidur silang melintang.
Bahkan ada yang bersandaran
tiang di teritisan itu.
“Banjar padukuhan Klangon,” desis
Ki Gede dalam hati dengan jantung
yang berdebaran begitu mengenali
tempat itu, “Para pengawal itu
seharusnya berjaga-jaga, namun
mengapa mereka justru telah
tertidur?”
Dengan tetap tidak meninggalkan
kewaspadaan, ki Gede pun mulai
melangkahkan kakinya menuju
banjar padukuhan.
“Mereka tidur dalam keadaan tidak
sewajarnya,” kembali Ki Gede
berkata dalam hati begitu dia
sampai di dekat teritisan,
“Sebaiknya aku tidak perlu
mengusik mereka. Aku akan masuk
dan menemui kelima perantau itu.”
Dengan sedikit bergegas Ki Gede
pun segera membuka pintu butulan
dan melangkahkan kakinya
memasuki dapur.
Di dalam dapur itu ternyata tidak
ada sebuah dlupak pun yang
menyala sehingga suasana benar-
benar gelap. Untunglah Ki Gede
bukan orang kebanyakan. Dengan
mengerahkan kemampuannya
untuk mempertajam pandangan
matanya, Ki Gede pun tidak
mengalami kesulitan sedikit pun
untuk melintasi dapur dan menuju
ke ruang tengah.
Begitu Ki Gede membuka pintu
yang menghubungkan dapur
dengan ruang tengah, sepercik
sinar segera saja menyambarnya.
Ternyata di ruang tengah itu ada
sebuah dlupak yang diletakkan di
ajug-ajug. Walaupun sinarnya tidak
begitu terang, namun sudah cukup
untuk menerangi ruang tengah
yang cukup luas itu.
Demikian Ki Gede melangkah
memasuki ruang tengah, lamat-
lamat dia mendengar suara orang
yang sedang bercakap-cakap.
“Mereka agaknya di pringgitan,”
berkata Ki Gede dalam hati sambil
mengayunkan langkahnya.
Namun tiba-tiba saja sebuah
keragu-raguan telah menyelinap di
hatinya sehingga ki Gede telah
menghentikan langkahnya.
“Bagaimana jika orang bertopeng
itu sengaja menjebakku?”
pertanyaan itu telah berputar-putar
di benak Ki Gede.
Memang sebelum jatuh tertidur
beberapa saat tadi, Ki Gede
sempat mendengar bisikan orang
bertopeng itu di telinganya,
“Bergabunglah dengan kelima
orang di banjar itu, Ki Gede.
Sesungguhnya mereka orang-
orang yang dapat dipercaya.”
Pesan singkat itu memang sangat
jelas. Namun tidak menutup
kemungkinan jika yang terjadi
kemudian adalah justru sebaliknya.
Mereka adalah para pengikut Trah
Sekar Seda Lepen, atau bahkan
salah satu dari mereka adalah
Raden Wirasena sendiri.
bersambung ke bagian 2

Anda mungkin juga menyukai