Anda di halaman 1dari 103

STSD-05

kembali ke STSD-04 | lanjut ke
STSD-06

Bagian 1
SEJENAK wajah pengawal itu
bagaikan kapas, putih pucat
seakan-akan tanpa ada setetes
darah pun yang mengaliri
wajahnya.
“Majulah!” perintah Ki Gede kepada
pengawal itu kemudian, “Jangan
takut. Kita harus mengetahui
terlebih dahulu duduk
permasalahan yang sebenarnya
sebelum memutuskan sebuah
perkara.”
Kata-kata Ki Gede itu memang
terdengar sareh, tidak ada nada
kemarahan sama sekali. Namun
betapapun juga, tubuh pengawal itu
tampak gemetaran dan wajahnya
pucat sepucat kapas. Dengan
langkah satu-satu, pengawal itu
pun akhir bergeser mendekati Ki
Gede.
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian
setelah pengawal itu berdiri di
hadapannya, “Ceritakanlah
sejujurnya apa sebenarnya yang
telah terjadi.”
Sejenak pengawal itu masih
menundukkan wajahnya dalam-
dalam dengan tubuh menggigil
seperti orang kedinginan. Ketika
dicobanya untuk mengangkat
kepala, segera saja pandangan
matanya berbenturan dengan
pandangan mata Ki Gede, dan
ternyata Ki Gede justru telah
tersenyum sareh.
Bagaikan tersiram embun pagi, hati
pengawal itupun menjadi sedikit
tenang. Setelah menarik nafas
dalam-dalam beberapa kali,
akhirnya pengawal itu pun memulai
laporannya.
“Ki Gede, kami berdua mendapat
tugas untuk mengantar makan
malam bagi tawanan,” berkata
pengawal itu kemudian memulai
laporannya, “Kawanku itu yang
bertugas membawa makanan,
sedangkan aku bertugas untuk
melindunginya serta mencegah jika
tawanan itu akan menggunakan
kesempatan saat kami memberi
makan untuk melarikan diri.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Kedengarannya apa yang
dilaporkan oleh pengawal itu
sepertinya sudah sewajarnya.
Maka kata Ki Gede kemudian,
“Lanjutkan ceritamu.”
Pengawal itu menganggukkan
kepalanya sebelum menjawab.
Katanya kemudian, “Begitu kami
membuka selarak bilik, ternyata
tawanan itu masih terikat erat pada
tiang yang terdapat di tengah-
tengah ruangan itu. Namun ketika
kawanku itu kemudian meletakkan
semangkuk nasi dan semangkuk
kuah yang masih panas di
hadapannya, dia telah berteriak
untuk meminta salah satu ikatan
tangannya untuk dibebaskan.”
“Jika kalian masih menganggap
aku sebagai manusia sebagaimana
kalian berdua, tentu kalian tidak
akan membiarkan aku makan
langsung dengan mulutku seperti
seekor binatang, begitu berkata
tawanan itu selanjutnya,” pengawal
itu berhenti sejenak untuk sekedar
menarik nafas. Lanjutnya
kemudian, “Ketika kawanku
meminta persetujuanku, aku pun
tidak keberatan untuk melepaskan
ikatan salah satu tangannya.”
“Siapakah yang melepas ikatan
tangan tawanan itu?” potong Ki
Gede cepat.
Sejenak pengawal itu
mengkerutkan lehernya. Jawabnya
kemudian dengan suara sedikit
tersendat, “Aku Ki Gede.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Katanya kemudian, “Seharusnya
kawanmu itulah yang melepas
ikatan tangan tawanan itu. Bukan
kamu.”
Pengawal itu tampak menundukkan
wajahnya semakin dalam. Memang
seharusnya kawannya itu yang
membuka ikatan, bukan dirinya
yang sedang memegang senjata.
Agaknya Ki Gede tanggap melihat
pengawal itu hanya menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Maka kata
Ki Gede kemudian, “Memang
engkau pada saat itu berada di
belakang tawanan itu sehingga
tanpa sadar engkau telah
melakukannya tanpa banyak
pertimbangan.”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu
kemudian, “Memang pada saat itu
aku berada tepat di belakangnya
sehingga tanpa sadar aku telah
membuka ikatan tangannya tanpa
banyak pertimbangan.”
Kembali Ki Gede mengerutkan
keningnya. Bertanya Ki Gede
kemudian, “Akan tetapi bukankah
kamu hanya melepaskan salah
satu tangannya? Bagaimana
mungkin dia kemudian dapat
melepaskan diri?”
Pengawal itu tampak menelan
ludah sebelum menjawab
pertanyaan Ki Gede. Rasa-rasanya
tenggorokannya menjadi sangat
kering.
“Maaf Ki Gede,” jawab pengawal itu
kemudian dengan suara sedikit
bergetar, “Disitulah letaknya
kelengahan kami berdua. Ketika
aku sedang membuka ikatan salah
satu tangannya, senjataku tanpa
sadar telah aku letakkan di
sampingnya. Demikian salah satu
tangannya bebas, dengan cepat
dia meraih mangkuk yang berisi
kuah panas itu dan
menyiramkannya ke wajah
kawanku yang sedang berjongkok
di hadapannya. Setelah itu dia
segera meraih senjataku yang
tergeletak di sebelahnya sebelum
aku menyadari apa yang
sebenarnya sedang terjadi.”
Orang-orang yang hadir di tempat
itu menjadi berdebar debar. Dalam
keadaan yang tidak menentu itu,
segala sesuatunya bisa saja terjadi
dan berlangsung dalam waktu yang
cepat.
“Apakah engkau tidak segera
menyadari keadaan itu dan segera
meraih senjatamu kembali?”
bertanya Ki Gede kemudian.
Pengawal itu menggeleng.
Jawabnya kemudian, “Aku tidak
sempat mencegahnya. Begitu
senjata itu tergenggam di
tangannya dia segera
mengayunkan senjata itu ke arah
belakang untuk mencoba
melukaiku. Namun aku masih
sempat berguling ke samping.”
“Dan selanjutnya tawanan itu
mampu meloloskan diri dengan
memotong tali pengikatnya
menggunakan senjatamu sendiri.
Bukankah begitu cerita
selanjutnya?” potong Ki Gede
dengan serta merta.
Tampak pengawal itu mengangguk
lemah dengan wajah yang pucat.
Berkata pengawal itu kemudian,
“Maafkan kami Ki Gede. Kami
berdua memang lengah. Pada saat
tawanan itu sudah mampu
melepaskan ikatannya, dia segera
menyerang kawanku yang masih
sibuk membersihkan wajahnya
yang tersiram kuah panas tadi.
Namun naluri keprajuritannya
segera muncul dan segera
menyadari keadaan yang gawat itu.
Dengan sekuat tenaga dia
menghalangi tawanan yang
mencoba untuk meloloskan diri itu,
namun dia tidak berhasil dan
bahkan terluka.”
Ki Gede Matesih menarik nafas
dalam-dalam sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling.
Tampak wajah-wajah yang tegang
sedang menunggu keputusannya.
“Kedua pengawal itu memang
bersalah,” berkata Ki Gede dalam
hati, “Namun kesalahannya bukan
karena kesengajaan. Semua
peristiwa ini terjadi karena
kekurang-waspadaan saja.”
Berpikir sampai disitu Ki Gede
segera berkata, “Baiklah, aku
sudah mengetahui duduk
permasalahannya. Sekarang
selenggarakan mayat Gegedug
Dukuh Salam ini. dan aku minta
kalian lebih berhati-hati lagi di lain
kesempatan.”
Selesai berkata demikian Ki Gede
segera membalikkan badan dan
kemudian melangkah kembali ke
pendapa. Beberapa bebahu pun
segera mengikutinya, kecuali Ki
Wiyaga yang masih mengurus
jasad tawanan yang telah terbujur
kaku di halaman samping itu.
Sementara pengawal yang merasa
nasibnya sudah berada di ujung
tanduk itu, bagaikan mendapat
siraman banyu sewindu.
Dalam pada itu di tengah kelebatan
hutan sebelah timur gunung Tidar,
tampak Ki Rangga sedang
bercakap-cakap di bawah sebatang
pohon dengan cantrik Gatra Bumi.
“Sukra,” berkata Ki Rangga sambil
memandang wajah anak muda
yang berkulit kehitam-hitaman itu,
“Mengapa engkau pergi dari rumah
tanpa meninggalkan pesan apapun
kepada Nyi Sekar Mirah?”
Cantrik Gatra Bumi yang lebih
dikenal sebagai nama Sukra itu
sejenak terdiam. Wajahnya
menunduk dalam-dalam sementara
mulutnya terkunci rapat-rapat.
Ki Rangga yang menyadari tentu
ada sesuatu yang sedang menjadi
ganjalan di dalam hati anak muda
itu, segera menepuk bahunya
pelahan sambil berkata, “Sukra,
katakanlah kebenaran itu,
sekalipun itu pahit. Dengan
demikian, diharapkan sudah tidak
ada lagi ganjalan di antara kita.
Untuk seterusnya engkau bebas
untuk memilih jalan hidupmu
sendiri.”
Sukra tampak termenung beberapa
saat. Namun akhirnya dengan tetap
menundukkan wajahnya, Sukra
pun kemudian menjawab, “Maaf Ki
Sedayu, memang tidak ada
maksud sebiji sawi pun dalam
hatiku untuk meninggalkan
kediaman Ki Sedayu tanpa pamit.
Semua itu karena aku tidak mampu
menahan godaan dalam hatiku
pada saat itu.”’
Ki Rangga mengerutkan keningnya
mendengar keterangan Sukra.
Bertanya Ki Rangga kemudian,
“Apa maksudmu dengan godaan
dalam hatimu itu, Sukra?”
Sejenak Sukra membetulkan letak
duduknya sebelum menjawab
pertanyaan Ki Rangga. Setelah
menarik nafas dalam-dalam,
barulah Sukra menjawab, “Ki
Sedayu, ijinkan aku menceritakan
peristiwa beberapa saat yang lalu
yang terjadi di kediaman Ki
Sedayu.”
“Silahkan,” jawab Ki Rangga
singkat.
Kembali Sukra menarik nafas
panjang. Setelah itu barulah Sukra
memulai ceritanya.
“Malam itu hujan turun sangat
deras,” berkata Sukra kemudian
memulai ceritanya, “Aku
mendengar suara titik-titik air hujan
yang menerobos di sela-sela atap
yang mungkin mulai bocor. Namun
karena hari sudah larut malam, aku
memutuskan untuk melihatnya
keesokan harinya saja.”
Sukra berhenti sejenak untuk
sekedar mengambil nafas.
Sementara Ki Rangga yang duduk
di hadapannya tampak
mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Keesokan harinya,” berkata Sukra
selanjutnya, “Sebelum aku
memeriksa atap yang mungkin
bocor, Nyi Sekar Mirah ternyata
telah menyuruhku untuk
memperbaiki atap yang berada
tepat di atas bilik Nyi Sekar Mirah,
karena semalam Nyi Sekar Mirah
merasakan ada titik-titik air yang
jatuh cukup banyak dari atap .”
Tiba-tiba jantung Ki Rangga
menjadi berdebar-debar. Dia sudah
mulai dapat meraba ke arah mana
cerita Sukra. Jika Sukra kemudian
memanjat atap yang berada tepat
di atas biliknya itu, tentu Sukra
akan mendapatkan sesuatu yang
mungkin akan sangat
mengherankannya.
“Demikianlah Ki Sedayu, aku pun
akhirnya memanjat atap dan
mencoba membenahi sirap yang
berada di atas bilik Nyi Sekar
Mirah.”
Sampai disini tiba-tiba saja suara
Sukra bagaikan tercekat. Beberapa
kali dia tampak menelan ludah
untuk melonggarkan
kerongkongannya serta menarik
nafas dalam-dalam beberapa kali.
Ki Rangga yang melihat Sukra
menjadi sedikit ragu-ragu untuk
meneruskan cerita segera
menyahut, “Sukra, apakah pada
saat berada di atas atap, engkau
telah melihat sesuatu yang aneh di
dalam bilikku?”
Dengan suara sedikit tergagap
Sukra pun menjawab, “Ya, Ki
Sedayu.”
“Apakah yang aneh itu
menurutmu?”
Sejenak Sukra ragu-ragu. Namun
jawabnya kemudian, “Sekat antara
bilik Ki Sedayu dan bilik sebelah
yang kosong itu ternyata ada dua.”
Ki Rangga tersenyum sekilas.
Bertanya Ki Rangga seterusnya,
“Apakah engkau melihat apa yang
berada di dalam kedua sekat itu?”
Sukra menganggukkan kepalanya.
Ki Rangga menarik nafas dalam-
dalam sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah anak muda
yang tertunduk dalam-dalam itu
dengan rasa kasihan. Anak muda
itu agaknya telah mengalami
goncangan batin setelah bertemu
dan ditolong oleh Kanjeng Sunan.
Kini Sukra yang berada di
hadapannya bukanlah Sukra
pembantu rumah tangganya
beberapa saat yang lalu.
“Sudahlah Sukra,” berkata Ki
Rangga kemudian memecahkan
kesunyian, “Cerita selanjutnya aku
sudah tahu karena Kanjeng Sunan
telah menceritakannya kepadaku
pada saat aku bertemu beliau di
Panaraga.”
Tampak kepala Sukra semakin
tunduk. Rasa bersalah yang tiada
taranya telah melanda hatinya.
Maka katanya kemudian, “Aku
mohon maaf Ki Sedayu. Aku telah
tergoda untuk melihat isi kotak
kayu itu dan kemudian membawa
isinya pergi dari rumah tanpa seijin
Ki Sedayu.”
“Sukra,” berkata Ki Rangga sambil
menegakkan tubuhnya, “Segala
peristiwa yang terjadi di muka bumi
ini tidak ada satu pun yang terlepas
dari pengawasan Yang Maha
Agung,” Ki Rangga berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Bukankah engkau telah dicegat
oleh orang-orang tak dikenal di
tepian sungai yang berada tidak
jauh dari rumah kita?”
“Ya, Ki Sedayu,” jawab Sukra
sambil menganggukkan kepalanya.
“Nah, seandainya kitab itu tidak
engkau bawa, mungkin orang-
orang itu akan dengan mudah
menemukan tempat penyimpanan
kitab itu dan kemudian
membawanya pergi. Jika itu yang
terjadi, aku tidak tahu harus
kemana aku akan melacaknya
untuk menemukan kitab itu
kembali.”
Tampak kening Sukra berkerut
merut mendengar keterangan Ki
Rangga. Namun Ki Rangga
agaknya mampu membaca pikiran
Sukra. Maka kata Ki Rangga
selanjutnya, “Memang jika engkau
akan mempertahankan kitab itu
sendiri pasti tidak akan mampu.
Itulah sebabnya Yang Maha Agung
telah menolongmu melalui
kehadiran Kanjeng Sunan sehingga
akhirnya kitab itu sekarang sudah
kembali kepadaku.”
Kali ini kepala Sukra tampak
terangguk-angguk. Memang
seluruh kejadian di atas bumi ini
tidak akan lepas dari pengawasan
Yang Maha Agung yang
mengetahui segala mobah
mosiking jagad.
“Nah Sukra,” berkata Ki Rangga
kemudian, “Apakah masih ada
sesuatu yang ingin engkau
sampaikan?”
Sekarang tampak wajah Sukra
tidak murung lagi. Sambil
mengangkat wajahnya, Sukra pun
menjawab, “Ki Sedayu, sampaikan
permintaan maafku kepada Nyi
Sekar Mirah. Aku sudah tidak dapat
membantunya lagi. Untuk
selanjutnya aku telah diperintah
oleh Kanjeng Sunan agar mengikuti
dan menuntut ilmu kepada Ki Ajar
Mintaraga.”
Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Ketika Ki
Rangga kemudian berpaling ke
arah kanan, tampak Ki Waskita
sedang asyik berbincang dengan Ki
Ajar Mintaraga. Tampaknya kedua
orang yang sudah sepuh itu
dengan cepat menjadi akrab.
Sejenak suasana menjadi sunyi.
Ketika Ki Rangga kemudian
mendongakkan kepalanya ke
langit, tampak langit sedikit disaput
mendung. Hanya beberapa bintang
yang berkeredipan menghiasi
wajah langit. Sedangkan bulan tua
belum menampakkan dirinya.
Teringat akan bulan yang mungkin
sudah waktunya gelap, tiba-tiba Ki
Rangga bangkit berdiri sambil
berkata, “Marilah Sukra, kita
bergabung dengan orang-orang tua
itu. Ada sesuatu yang perlu kita
bicarakan.”
Namun Sukra ternyata telah
menggelengkan kepalanya.
Jawabnya kemudian, “Maaf Ki
Sedayu, aku lebih baik di sini saja.”
Mendengar jawaban Sukra,
langkah Ki Rangga yang sudah
terayun itu sejenak tertegun.
Namun Ki Rangga segera
menyadari bahwa kelihatannya
Sukra memang tidak ingin terlibat
terlalu jauh dalam masalah yang
sedang mereka hadapi.
“Baiklah Sukra kalau memang
engkau lebih senang duduk di sini,”
berkata Ki Rangga kemudian
sambil melanjutkan langkahnya
mendekat ke tempat kedua orang
tua itu sedang berbincang-bincang.
“O, marilah Ki Rangga,” sambut Ki
Ajar kemudian begitu melihat Ki
Rangga berjalan mendekat.
“Terima kasih Ki Ajar,” jawab Ki
Rangga kemudian sambil
menempatkan diri duduk bersila di
atas rerumputan di hadapan kedua
orang tua itu.
“Ki Rangga,” berkata Ki Waskita
kemudian begitu melihat Ki Rangga
telah duduk dengan nyaman, “Kami
sedang membicarakan
kemungkinan untuk mengadakan
penyelidikan ke Perguruan Sapta
Dhahana malam ini.”
Tanpa sadar ki Rangga
mengalihkan pandangannya
kepada Ki Ajar Mintaraga.
Betapapun juga keberadaan Ki Ajar
di tempat itu adalah atas petunjuk
Kanjeng Sunan. Tentu ada
pertimbangan khusus dari Kanjeng
Sunan yang mungkin telah
disampaikan kepada Ki Ajar.
Ki Ajar yang mengerti maksud Ki
Rangga segera menyahut, “Ki
Rangga, Kanjeng Sunan memang
tidak memberikan pesan khusus
dalam hal penyelidikan ke
Perguruan Sapta Dhahana. Namun
ada satu pesan beliau yang perlu
dipertimbangkan.”
“Pesan apakah itu, Ki Ajar?” sahut
Ki Rangga dengan serta merta.
Ki Ajar tersenyum melihat wajah Ki
Rangga yang menjadi sedikit
tegang. Maka jawabnya kemudian,
“Ki Rangga, Kanjeng Sunan
berpesan agar jangan membiarkan
gerombolan serigala menjadi
semakin besar. Semakin besar
gerombolan serigala itu terbentuk,
akan semakin sulit untuk
menghancurkannya.”
Ki Rangga dan Ki Waskita sejenak
saling pandang sambil menarik
nafas dalam-dalam. Tampak kedua
orang itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka segera
maklum dengan apa yang
dimaksud oleh Kanjeng Sunan.
“Malam ini setelah lewat wayah
sepi uwong kita berangkat, Ki
Waskita,” berkata Ki Rangga
kemudian, “Biarlah Ki Ajar dan
Sukra di tempat ini saja sambil
menunggu perkembangan.”
“Aku lebih senang jika cantrik Gatra
Bumi ikut serta dalam penyelidikan
ini,” sahut Ki Ajar cepat sambil
tersenyum, “Semoga dia akan
menjadi tambahan kekuatan, bukan
sebaliknya menjadi tambahan
beban bagi Ki Rangga berdua.”
Sekejab Ki Rangga tertegun.
Bertanya Ki Rangga kemudian,
“Apakah Sukra sudah dipersiapkan
untuk melakukan pekerjaan ini, Ki
Ajar?”
“Aku berharap demikian, Ki
Rangga,” jawab Ki Ajar masih
dengan senyum yang menghiasi
bibirnya, “Semoga cantrik Gatra
Bumi mendapatkan pengalaman
baru sebagai bekal masa
depannya.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan
Ki Waskita telah menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sadar Ki
Rangga berpaling ke arah Sukra
yang tampak duduk merenung
beberapa tombak jauhnya dari
tempat ketiga orang itu duduk.
“Nah, sekarang,” berkata Ki Ajar
kemudian sambil berpaling ke arah
Ki Rangga, “Apakah masih ada
yang ingin disampaikan, Ki
Rangga?”
“Ya, Ki Ajar,” jawab Ki Rangga
sambil beringsut setapak, “Sesuai
dengan keterangan Ki Jayaraga
dan Glagah Putih yang telah
melakukan penyelidikan di
Perguruan Sapta Dhahana
beberapa saat yang lalu, 
menjelang bulan gelap mereka
mempunyai suatu kebiasaan yang
aneh, kebiasaan untuk bermain-
main dengan api dan tidak
menutup kemungkinan mereka
juga melakukan persembahan
kepada api yang mereka anggap
sebagai Dewa.”
Tanpa sadar kedua orang tua itu
mendongakkan wajah mereka ke
langit. Bulan tua memang belum
tampak, atau mungkin saat itu
memang sudah saatnya bulan
gelap.
Tiba-tiba dada Ki Waskita berdesir
tajam. Katanya kemudian sambil
beringsut sejengkal ke depan, “Ki
Rangga, sepertinya malam ini
sudah waktunya bulan gelap. Tentu
pada saat ini adalah puncaknya
kemampuan pemimpin Perguruan
Sapta Dhahana yang senang
bermain-main dengan api itu.
Apakah tidak sebaiknya kita tunda
dulu penyelidikan ini barang sehari
atau dua hari?”
Ki Rangga tertegun, tanpa sadar
dia berpaling kearah Ki Ajar.
“Aku rasa tidak,” sahut Ki Ajar
kemudian, “Menurut perhitunganku
nanti menjelang dini hari bulan tua
masih akan muncul.”
Sejenak Ki Rangga merenung.
Berbagai pertimbangan bergolak di
dalam dadanya.
“Kita sudah berjanji dengan Ki
Jayaraga untuk mengadakan
penyelidikan malam ini,” berkata Ki
Rangga kemudian setelah sejenak
terdiam, “Kita hanya akan
mendekat dan melihat  Perguruan
Sapta Dhahana secara
keseluruhan sebagai bahan
pertimbangan  apa  yang akan kita
lakukan kemudian.”
Hampir bersamaan kedua orang
tua itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
“Baiklah ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian, “Sekarang masih belum
waktunya sepi uwong. Kita masih
sempat untuk mempersiapkan
segala sesuatunya.”
Serentak Ki Ajar dan Ki Rangga
pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
Dalam pada itu, di lereng sebelah
utara gunung Tidar, tampak dua
orang berkuda dengan sangat hati-
hati menuruni lereng yang cukup
terjal. Namun agaknya kuda-kuda
itu sudah sangat terlatih. Demikian
juga kedua orang yang berada di
atas punggung kuda-kuda itu juga
bukan orang kebanyakan sehingga
kedua orang itu mampu
mengendalikan kuda-kuda mereka
untuk menuruni lereng tanpa
banyak menemui
kesulitan. 

Dalam pada itu, di lereng sebelah


utara gunung Tidar, tampak dua
orang berkuda dengan sangat hati-
hati menuruni lereng yang cukup
terjal.
“Kita mengambil jalan memutar
untuk menghindari pantauan para
telik sandi Mataram yang tentu
telah tersebar sepanjang jalan dari
perdikan Matesih sampai ke
Mataram,” berkata salah satu
penunggang kuda itu yang berusia
hampir paro baya.
Orang yang berkuda di sebelahnya
tertawa pendek. Katanya
kemudian, “Sebenarnya tidak ada
seorang pun yang aku takuti di
Mataram saat ini. Namun semua ini
kita lakukan karena kita memang
harus bergerak dengan sangat
rahasia agar rencana Raden dapat
berjalan dengan sempurna.”
“Bagaimana dengan Ki Rangga
Agung Sedayu?” bertanya orang
yang dipanggil Raden itu
kemudian.
Orang yang berumur sangat sepuh
tapi tampak masih sangat sehat
dan kuat itu tertawa pendek.
Jawabnya kemudian, “Bukankah
aku tadi mengatakan di Mataram
saat ini? Ki Rangga sekarang
sedang berada di Perdikan Matesih
sehingga di Mataram tidak ada
orang yang perlu ditakutkan,” orang
yang sudah sangat sepuh itu
berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Sebenarnya dengan Ki
Rangga pun aku tidak takut. Aku
sedikit banyak sudah dapat meraba
kelemahan ilmu semunya. Namun
tetap diperlukan orang lain untuk
membantu menemukan tempat
samadinya.”
Orang yang dipanggil Raden itu
tampak mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dilemparkan
pandangan matanya jauh ke
kegelapan di hadapannya. Mereka
berdua harus mengambil jalan
memutar yang cukup jauh demi
tetap terjaganya rencana mereka
dari penciuman para petugas sandi
Mataram.
“Kita berbelok ke kiri saja Raden,”
berkata orang yang sudah sangat
sepuh tapi masih terlihat sangat
sehat dan kuat itu, “Aku rasa kita
lebih baik menyeberangi kali Praga
dan kemudian menyusuri tepian
sebelah barat untuk sekedar
menghilangkan jejak.”
Orang yang dipanggil Raden itu
tampak mengerutkan keningnya.
Katanya kemudian, “Eyang Guru, di
waktu seperti ini, apakah ada para
tukang satang yang mau
menyeberangkan kita ke tepian
sebelah barat?”
Orang tua yang ternyata Eyang
Guru itu tertawa pendek. Jawabnya
kemudian, “Raden, tentu saja kita
harus membayar lebih untuk
menyeberang diluar waktu yang
wajar. Namun jika mereka tetap
menolak, aku akan mencekik
lehernya dan kemudian
melemparkan mayatnya ke Kali
Praga. Dengan demikian kita dapat
menyeberang dengan
menggunakan rakit mereka tanpa
ada kewajiban harus membayar.”
Orang yang di panggil Raden itu
menarik nafas panjang mendengar
kelakar Eyang Guru itu. Namun
sesungguhnya lah apa yang
dikatakan oleh Eyang Guru itu
bukan sekedar kelakar, namun
benar-benar dapat terjadi jika
Eyang Guru menghendaki.
“Raden Wirasena,” bertanya Eyang
Guru kemudian, “Apakah kawan-
kawan kita yang berada di Mataram
sudah mempersiapkan segala
sesuatunya sehubungan dengan
rencana kita ini?”
“Sudah Eyang Guru,” jawab orang
paro baya itu yang ternyata adalah
Raden Wirasena, “Jika perjalanan
kita ini lancar, kita akan tiba di
Mataram besuk menjelang wayah
pasar temawon. Kita masih punya
cukup banyak waktu untuk
mengatur segala sesuatunya
sampai besuk pagi berikutnya.”
“Baiklah, Raden,” sahut Eyang
Guru cepat, “Menurut berita telik
sandi kita tadi sore, memang besuk
pagi rombongan Panembahan
Hanyakrawati akan berangkat
menuju hutan Krapyak. Namun
tidak mungkin mereka akan
langsung berburu. Mereka tentu
memerlukan waktu barang
semalam untuk sekedar
beristirahat.”
Raden Wirasena mengangguk-
anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, “Apakah sudah ada
berita dari kawan-kawan kita yang
berada di istana Kapangeranan?”
Eyang Guru menggeleng.
Jawabnya kemudian, “Petugas
sandi kita tadi sore tidak
menyebutkan berita dari istana
Kapangeranan, namun aku yakin
tentu Putra Mahkota Raden Mas
Rangsang akan ikut dalam
rombongan itu.”
Tampak sebuah senyum menghias
wajah Raden Wirasena. Katanya
kemudian sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya, “Jika
memang kesempatan itu ada, apa
salahnya jika kita lenyapkan
sekalian Putra Mahkota itu,
sehingga jalan kita akan menjadi
semakin lapang.”
“Raden benar,” jawab Eyang Guru
dengan serta merta, “Kita akan
mengumpulkan kawan-kawan kita
yang tersebar di Mataram. Segala
kemungkinan memang harus
diperhitungkan agar kita
mendapatkan hasil yang sesuai
dengan harapan.”
Raden Wirasena tersenyum.
Sebuah senyum yang penuh
dengan keyakinan bahwa jalan
menuju tahta sudah terbentang di
depan mata.
“Eyang Guru,” berkata Raden
Wirasena kemudian memecah
kesepian, “Sebenarnya aku agak
ragu-ragu untuk meninggalkan
Perguruan Sapta Dhahana. Namun
karena berita yang dibawa oleh
petugas sandi kita sangat penting,
dengan terpaksa kita harus pergi
ke Mataram.”
Eyang Guru tertawa pendek.
Katanya kemudian, “Raden, di
Perguruan Sapta Dhahana ada
Begawan Cipta Hening yang aku
yakin kesaktiannya pada saat ini
sudah jarang ada bandingnya.
Kemudian, pemimpin Perguruan
Sapta Dhahana itu sendiri Kiai
Damar Sasangka yang aku yakin
akan mampu menandingi ilmu Ki
Rangga. Selebihnya masih ada lagi
Ki Brukut, Ki Kebo Mengo, dan
Putut Sambernyawa serta adik
Raden sendiri, Raden Surengpati.”
Raden Wirasena menarik nafas
panjang. Tanpa sadar wajahnya
mendongak ke langit. Tampak
langit yang sedikit buram tersaput
mendung. Sementara hanya
beberapa bintang yang tampak
berkelip di angkasa. Sedangkan
bulan tua sama sekali belum
tampak.
“Sudah waktunya bulan tua,” desis
Raden Wirasena tanpa sadar.
“Ya Raden,” sahut Eyang Guru, “Di
saat inilah puncak kemampuan
ilmu Kiai Damar Sasangka, Aji
Sapta Dhahana yang nggegirisi itu
akan mampu membakar dan
meluluh-lantakkan apa saja yang
dikehendakinya.”
Kembali Raden Wirasena menarik
nafas panjang. Memang di dalam
Padepokan Sapta Dhahana telah
berkumpul orang-orang pilih
tanding. Namun entah mengapa,
setiap kali teringat akan Ki Rangga
Agung Sedayu agul-agulnya
Mataram yang sekarang mungkin
sedang mendekati padepokan, hati
Raden Wirasena selalu gelisah
tidak menentu.
“Siapakah sebenarnya orang-orang
tua yang dibawa oleh Ki Rangga
itu?” bertanya Raden Wirasena
dalam hati, “Selain Ki Rangga
sendiri, ada anak muda yang
bernama Glagah Putih. Menurut
keterangan Adimas Surengpati,
kemampuannya cukup ngedab-
edabi. Sedangkan menurut telik
sandi yang datang sore tadi, Ki
Patih Mandaraka masih terlihat
berada di Kepatihan sehingga
dugaan Adimas Surengpati
sebelumnya ternyata salah,”
sejenak Raden Wirasena berhenti
berangan-angan. Lanjutnya
kemudian, “Namun dengan
demikian kekuatan orang-orang
yang dibawa oleh Ki Rangga itu
menjadi sulit untuk diketahui.”
Raden Wirasena menarik nafas
panjang untuk melonggarkan
dadanya. Dihirupnya udara malam
yang sejuk untuk memenuhi rongga
dadanya yang terasa sedikit sesak.
“Mungkin hanya sebuah
kekhawatiran yang tidak
beralasan,” berkata Raden
Wirasena kembali dalam hati
mencoba menghibur hatinya yang
sedikit gelisah, “Siapapun yang
dibawa oleh Ki Rangga,
kemampuan mereka tentu tidak
akan melebihi Ki Patih Mandaraka
dan Ki Rangga sendiri.”
Berpikir sampai disitu hati Raden
Wirasena menjadi sedikit agak
tenang. Bagaimana pun juga dia
telah meninggalkan adiknya
disana, Raden Mas Harya
Surengpati.
“Surengpati memang terlalu malas
untuk meningkatkan ilmunya,”
geram Raden Wirasena dalam hati,
“Kesenangannya bermain-main
dengan perempuan telah
menghambat pematangan ilmunya.
Semoga kekalahannya dari Ki
Gede Matesih akan menjadi
pelajaran yang berharga baginya.”
Tanpa terasa jalan yang mereka
lalui mulai landai. Setelah melewati
sebuah padang perdu yang tidak
seberapa luas, mereka berdua pun
kemudian memacu kuda-kuda
mereka di atas jalan setapak yang
tampak menjelujur di dalam
keremangan malam.
“Hampir wayah sepi uwong,” desis
Raden Wirasena sambil
mendongakkan wajahnya ke langit.
Eyang guru yang berkuda di
sebelahnya agaknya mendengar
desis Raden Wirasena. Maka
katanya kemudian, “Raden, apakah
kita akan mengambil jalan lurus
yang menuju padukuhan kecil di
depan kita, ataukah kita menyusur
jalan setapak ini yang nantinya
akan berbelok ke kanan dan
melintasi hutan di sebelah barat
padukuhan yang cukup lebat?”
Sejenak Raden Wirasena
mengerutkan keningnya. Jawabnya
kemudian, “Kita mengambil jalan
lurus saja melewati padukuhan
kecil itu. Aku rasa jika kita berkuda
dengan kecepatan wajar tentu para
peronda tidak akan
mempermasalahkannya.”
“Dan kita dapat membuat seribu
satu macam alasan untuk
meyakinkan para peronda,” sahut
Eyang Guru.
“Atau sekalian mencekik leher
mereka agar tidak banyak
bertanya,” timpal Raden Wirasena.
“Ah,” Eyang Guru pun tertawa
masam.
Demikianlah akhirnya mereka
berdua segera melihat sebuah
regol padukuhan yang sangat
sederhana. Sebuah lampu dlupak
tampak tersangkut di salah satu
tiang regol itu.
“Tidak ada satu pun penjaga,”
gumam Raden Wirasena begitu
keduanya memasuki regol yang
terbuka lebar.
“Padukuhan ini kelihatannya terlalu
miskin,” berkata Eyang Guru
menanggapi, “Mungkin para
penghuni padukuhan ini merasa
aman karena justru mereka tidak
memiliki harta benda yang cukup
berharga untuk menjadi incaran
para pencuri atau perampok.”
Raden Wirasena mengangguk-
anggukkan kepalanya. Sementara
kuda-kuda mereka telah berderap
dengan irama yang tidak terlalu
kencang. Bahkan seakan-akan
mereka berdua adalah para
peronda itu sendiri yang sedang
nganglang.
Sebenarnyalah suara derap kaki-
kaki kuda itu telah mengejutkan
para penghuni padukuhan itu.
Salah satunya adalah Ki Dukuh
sendiri.
“Semoga bukan sebuah pertanda
buruk,” desis Ki Dukuh sambil
bangkit dari tidurnya dan kemudian
duduk di bibir pembaringan.
Tanpa sadar pandangan matanya
tersangkut pada sebilah pedang
yang masih tersimpan dengan rapi
dalam sarungnya. Pedang itu
tergantung di dekat geledek dan
sudah bertahun-tahun tidak pernah
dijamahnya.
Tiba-tiba terbersit keinginan di
dalam hatinya untuk bangkit dan
meraih senjatanya itu. Namun niat
itu segera diurungkannya begitu
mendengar derap kaki-kaki kuda itu
terdengar semakin menjauh dan
akhirnya menghilang dari
pendengarannya.
“Syukurlah,” gumam Ki Dukuh
perlahan sambil memandangi
istrinya yang tertidur lelap di
pembaringan, “Mungkin mereka
hanya para perantau yang tersesat
jalan. Padukuhan ini letaknya
sangat terpencil dan sangat jarang
dilewati orang asing.”
Setelah suara derap kaki-kaki kuda
itu menghilang dari
pendengarannya, Ki Dukuh pun
segera membaringkan tubuhnya
kembali di sisi istrinya yang
tercinta.
Dalam pada itu Raden Wirasena
dan Eyang Guru telah mencapai
tepian Kali Praga sebelah timur.
Dengan mudah mereka
menemukan seorang tukang
satang yang sedang tidur
meringkuk berselimutkan kain
panjangnya. Tukang satang itu
tidur di atas rakitnya yang
ditambatkan dengan kuat pada
sebatang pohon di tepian sungai.
Dengan segera kedua orang itu
meloncat turun dari kudanya.
Sambil menuntun kuda-kuda itu,
kedua orang itu pun kemudian
menghampiri ke tempat tukang
satang itu tidur.
“Ki Sanak, bangunlah!” seru Raden
Wirasena sambil berjongkok dan
mengguncang-guncang tubuh
tukang satang itu. Sementara
Eyang Guru di belakangnya
memegangi kendali kedua ekor
kuda mereka.
Sejenak tukang satang itu
menggeliat sambil meluruskan
tubuhnya. Setelah menguap lebar-
lebar barulah tukang satang itu
bangkit dan kemudian duduk di
atas rakitnya.
“Ada apa Ki Sanak berdua malam-
malam begini datang ke tepian?”
bertanya tukang satang itu
kemudian sambil menguap sekali
lagi dan mengucak-ucak matanya.
“Tolong seberangkan kami,” jawab
Raden Wirasena kemudian.
Sejenak tukang satang itu
memandang calon penumpangnya
ganti berganti. Setelah yakin
dengan pengamatannya, barulah
tukang satang itu menjawab sambil
bangkit dari duduknya, “Marilah.
Sebenarnya aku malas
menyeberangkan penumpang di
malam-malam seperti ini. Namun
aku yakin, jika tidak ada suatu
kepentingan yang sangat
mendesak, kalian berdua tentu
tidak akan menyeberang di saat
seperti ini.”
“Ki Sanak benar,” sahut Raden
Wirasena dengan serta merta
sambil menuntun kudanya naik ke
atas rakit, “Kami telah mendapat
berita musibah. Kerabat kami yang
tinggal di lereng sebelah selatan
Gunung Sumbing telah meninggal
dunia.”
“O,” seru tukang satang itu dengan
suara sedikit tertahan, “Aku ikut
berbela sungkawa Ki Sanak.
Semoga keluarga yang
ditinggalkan mendapat kekuatan
lahir dan batin serta yang
meninggal dunia mendapat tempat
yang layak di sisi Yang Maha
Agung.”
“Terima kasih,” jawab Raden
Wirasena dan Eyang Guru hampir
bersamaan.
Demikian lah setelah kedua orang
beserta kuda-kuda itu naik ke atas
rakit, dengan cekatan tukang
satang itu segera melepaskan tali
pengikat rakitnya. Sejenak
kemudian rakit itu pun telah
meluncur di atas air kali Praga
yang berwarna keruh kecoklat-
coklatan.
Tidak ada sepenginang sirih, rakit
itupun kemudian telah merapat di
sisi sebelah barat kali Praga.
“Terima kasih Ki Sanak,” berkata
Raden Wirasena kemudian sambil
merogoh beberapa keping uang
yang tersimpan di ikat
pinggangnya.
“O, tidak usah Ki Sanak, tidak
usah!” berkata tukang satang itu
dengan cepat sambil memberi
isyarat menolak dengan tangannya,
“Kalian tentu memerlukan biaya
yang tidak sedikit sehubungan
dengan kerabat Ki Sanak yang
meninggal itu.”
Untuk sejenak kedua orang itu
saling pandang. Namun ternyata
mereka berdua mempunyai
pendapat yang sama.
Berkata Eyang Guru kemudian
sambil menuntun kudanya turun
dari rakit, “Ki Sanak, terimalah
upah itu. Karena Ki sanak memang
berhak menerimanya. Selain itu Ki
sanak juga mempunyai keluarga
yang tentu membutuhkan biaya
untuk menghidupi mereka.”
“Ah,” tukang satang itu tertawa
pendek. Katanya kemudian, “Kami
sudah terbiasa hidup miskin.
Kemiskinan sudah sedemikian
akrabnya dengan kehidupan kami
sehari-hari. Jadi, apapun yang
terjadi dalam keseharian kami,
hanya itu yang dapat kami jalani
sambil senantiasa tidak pernah
lupa berdoa kepada Yang Maha
Hidup, Yang Maha Mengetahui
kebutuhan hambaNYA. Kami
mempunyai keyakinan bahwa
hidup ini hanyalah
mampir ngombe. Kita tidak akan
lama hidup di dunia ini, Ki Sanak.
Jangan sampai kita justru
disibukkan mengurusi yang hanya
akan berlangsung sebentar.
Sementara kehidupan yang jauh
lebih lama dan langgeng justru
telah kita abaikan.”
Untuk beberapa saat kedua orang
itu justru telah membeku di tempat
masing-masing. Mereka benar-
benar tidak menyangka jika di
malam-malam seperti itu, di tepian
sungai Praga yang jauh dari
pemukiman penduduk, mereka
berdua telah mendapatkan
sebuah kawruh kehidupan yang
bermakna sangat dalam namun
dalam bingkai kehidupan yang
sangat sederhana, sesederhana
kehidupan tukang satang itu
sendiri.
“Ah, sudahlah,” berkata tukang
satang itu kemudian menyadarkan
mereka berdua, “Silahkan
melanjutkan perjalanan. Semoga
perjalanan kalian selamat sampai
tujuan.”
Kedua orang itu hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam sambil
saling berpandangan. Ketika
Raden Wirasena sekali lagi
berusaha menawarkan upah
kepada tukang satang itu, sambil
tersenyum tukang satang itu tetap
menolaknya.
“Terima kasih Ki Sanak,” berkata
tukang satang itu sambil mulai
menggerakkan rakitnya, “Tolong
jangan pengaruhi aku untuk
membatalkan niatku berbuat baik
bagi sesama. Kesempatan berbuat
baik kepada sesama itu
sebenarnya terbuka setiap saat,
namun justru kita lah yang kadang
mengabaikannya atau bahkan
kemudian mengotorinya dengan
niat yang menyimpang.”
Kata-kata terakhir tukang satang
yang semakin menjauh ke tengah
aliran Kali Praga itu telah mengetuk
hati kedua orang itu. Untuk sejenak
mereka berdua kembali berdiri
termangu-mangu tanpa
mengetahui harus berbuat apa.
“Persetan dengan tukang satang
itu!” tiba-tiba terdengar Eyang Guru
menggeram, “Untung dia sudah
kembali ke timur. Jika masih disini,
tentu mulutnya sudah aku robek-
robek!”
Raden Wirasena hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Entah mengapa, kata-kata terakhir
dari tukang satang itu telah
menghunjam ke dalam jantungnya
dan meninggalkan bekas yang tak
mungkin terhapuskan.
“Tukang satang yang aneh,” desis
Raden Wirasena kemudian sambil
meloncat ke atas punggung
kudanya, “Marilah Eyang Guru.
Semakin cepat kita tiba di
Mataram, akan semakin cepat kita
menyusun rencana kita.”
Namun nada suara Raden
Wirasena terdengar agak meragu.
Eyang Guru yang juga telah
meloncat ke atas punggung
kudanya agaknya dapat meraba isi
hati Raden Wirasena. Maka
katanya kemudian sambil
menggerakkan kendali kudanya,
“Raden, aku harap Raden jangan
sampai terpengaruh dengan kata-
kata tukang satang gila itu.
Memang orang-orang yang tidak
mampu memperjuangkan masa
depan dan cita-citanya kadang-
kadang melampiaskan ketidak-
berdayaan dan kegagalan mereka
dalam bentuk yang lain. Mereka
akan banyak berbicara tentang
kawruh batin yang menuntun
manusia menuju ke alam
kelanggengan. Namun
sebenarnyalah mereka itu telah
mengalami kegagalan dalam
mengejar cita-cita di dunia ini.”
Raden Wirasena yang mendengar
kata-kata Eyang Guru itu tidak
menanggapi. Namun jauh di lubuk
hatinya yang paling dalam telah
terjadi pergolakan batin yang
dahsyat.
Dalam pada itu, tukang satang
yang telah kembali menepi di sisi
timur, sejenak masih berdiri di atas
rakitnya. Dipandanginya kedua
orang yang tampak samar-samar
dalam kegelapan malam di tepian
sebelah barat. Ketika kedua orang
itu kemudian bergerak
meninggalkan tepian, tampak
tukang satang itu menarik nafas
dalam-dalam sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
“Semoga hati kedua orang itu
terketuk,” gumam tukang satang itu
seolah-olah ditujukan kepada
dirinya sendiri, “Namun jika Yang
Maha Kuasa sudah berkehendak,
tidak ada satu pun makhluk di
dunia ini yang akan mampu
menghalangiNYA.”
Sejenak kemudian tukang satang
itu segera melangkahkan kakinya
meninggalkan tepian setelah
terlebih dahulu menambatkan
rakitnya pada sebatang pohon
yang tumbuh di pinggir sungai.
Namun ternyata tukang satang itu
tidak terlalu jauh meninggalkan
tepian. Beberapa tombak dari
tepian, dia segera berbelok ke kiri
dan berjalan mendekati sebuah
gubuk reyot yang terletak tidak
seberapa jauh dari tepian.
Setelah berada di depan pintu
gubuk yang terbuat dari anyaman
bambu itu, tukang satang itu pun
kemudian mengguncang-guncang
pintu gubuk sambil berkata sedikit
keras, “Ki Sanak! Ki Sanak!
Bangunlah! Aku sudah selesai!
Rakitmu aku kembalikan!”
Terdengar suara orang terbatuk-
batuk dari dalam gubuk reyot itu.
Sejenak kemudian pintu pun
terbuka dan seorang yang
rambutnya sudah putih semua
muncul. Dengan dahi yang
berkerut-merut, orang itu pun
kemudian melangkah keluar.
“Ini uang sewa rakitmu,” berkata
tukang satang itu kemudian sambil
mengulurkan tangannya begitu
orang itu sudah berdiri di
hadapannya.
Sejenak orang berambut putih
tertegun. Namun tanpa
memperhatikan tangan tukang
satang yang menggenggam
kepingan uang itu, kepingan uang
itu pun kemudian segera berpindah
tangan.
Berkata orang berambut putih itu
kemudian sambil tersenyum,
“Terima kasih Ki Sanak. Apakah Ki
sanak sudah mendapat wangsit?”
Tukang satang itu tertawa pendek.
Jawabnya kemudian, “Ya, setelah
tidur sejenak di rakitmu, aku telah
mendapat wisik gaib.”
“He?!”  Wajah orang berambut
putih itu menegang sejenak.
Tanyanya kemudian, “Apakah isi
wisik gaib itu Ki Sanak?”
Tukang satang itu tersenyum.
Jawabnya kemudian sambil tetap
tersenyum, “Aku harus segera
meninggalkan tepian ini dan
selanjutnya diperintahkan untuk
mencari wangsit di Kota Mataram.”
“Di Kota Mataram?” ulang orang
berambut putih itu.
“Ya, di Kota Mataram,” jawab
tukang satang itu, “Apakah ada
yang aneh jika aku mencari wangsit
di Kota Mataram?”
Orang berambut putih itu
menggeleng. Jawabnya kemudian,
“Tidak ada yang aneh dengan Kota
Mataram. Namun yang aneh
adalah Ki Sanak sendiri. Apakah Ki
Sanak bermaksud ingin menjadi
Raja sehingga harus pergi ke
Mataram?”
“Ah,” tukang satang itu tertawa
pendek sambil melangkah
meninggalkan tempat itu, “Jika aku
berhasil menjadi Raja, atas jasamu
meminjamkan rakit kepadaku,
engkau akan aku angkat menjadi
Patih.”
“He? Patih? Aku menjadi Patih?!”
seru orang berambut putih itu
terlonjak kaget. Namun orang yang
mengaku sebagai tukang satang itu
telah melangkah semakin jauh.
“Orang aneh,” desis orang
berambut putih itu sambil
menimang-nimang beberapa
kepingan uang yang berada di
dalam genggaman tangannya.
Ketika dia kemudian membuka
genggaman tangannya dan melihat
ke arah telapak tangannya dengan
seksama, alangkah terkejutnya
orang itu. Kepingan uang itu
tampak bersinar kekuning-kuningan
dibawah cahaya lemah bintang-
bintang di langit.
“He?!” teriak orang berambut putih
itu dengan suara gemetar menahan
gejolak di dalam dadanya.
Bagaikan melihat seekor hantu di
siang bolong, dengan pandangan
nanar orang itupun segera
mendekatkan kepingan uang yang
berada di telapak tangannya ke
arah wajahnya.
“Emas?! Uang emas..?!” desis
orang itu dengan suara gemetar.
“Mbokneee. Kita kaya Mbokneee..!”
teriak orang berambut putih itu
sambil berlari menyerbu ke dalam
gubuk dengan langkah terhuyung-
huyung bagaikan orang yang
sedang mabuk tuak.
***
Dalam pada itu malam telah
menghunjam ke pusatnya. Ki
Waskita bersama Ki Rangga
tampak sedang berjalan
menerobos hutan yang cukup lebat
dari arah timur Padepokan Sapta
Dhahana.
Hutan itu memang masih cukup
lebat dan kelihatannya belum
pernah terjamah oleh tangan
manusia. Sesekali terdengar
lolongan serigala bersahut-sahutan
jauh di dalam hutan serta sesekali
auman si raja hutan yang cukup
menggetarkan dada siapapun yang
mendengarnya.
“Ngger,” terdengar suara Ki
Waskita memecah kesunyian,
“Sepertinya Ki Ajar sangat kecewa
ketika Sukra menolak untuk
mengikuti perjalanan kita ini.”
Ki Rangga menarik nafas panjang
sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya kemudian,
“Memang Sukra berhak untuk
menentukan arah perjalanan
hidupnya sendiri. Dia telah memilih
yang terbaik menurut kata hatinya,
dan jika itu telah menjadi
keputusannya, tidak seorang pun
yang berhak mencampurinya.”
Ki Waskita mengangguk-
anggukkan kepalanya. Namun tiba-
tiba Ki Waskita berkata dengan
nada suara yang sedikit cemas,
“Ngger, aku mengkhawatirkan
perkembangan jiwa Sukra. Aku
takut perkembangan jiwa anak
muda itu nantinya akan menjadi
seperti anakku, Rudita.”
Ki Rangga yang berjalan di sebelah
Ki Waskita menarik nafas dalam-
dalam. Berkata Ki Rangga
kemudian, “Ada sedikit perbedaan,
Ki Waskita. Rudita sama sekali
tidak menyukai dan selalu
berusaha menghindari kekerasan.
Bahkan dia akan membiarkan
seseorang itu menganiaya dirinya
kalau memang orang itu
menghendaki. Aku jadi teringat
peristiwa beberapa tahun yang lalu
sewaktu Ajar Tal Pitu mencari aku
di Menoreh. Rudita telah menjadi
sasaran kemarahan Ajar Tal Pitu.
Untung anak itu tidak dibunuhnya,”
Ki Rangga berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Namun
perkembangan jiwa Sukra agak
berbeda. Sepertinya dia hanya
menghindari perselisihan sejauh
mungkin itu dapat dihindarkan. Jika
memang tindak kekerasan atau
kejahatan itu berada di depan
matanya, apalagi menyangkut
keselamatan dirinya, maka dia
merasa wajib untuk membela diri.
Itu yang disampaikannya kepadaku
sewaktu dia menolak untuk aku
ajak berangkat.”
Ki Waskita mengangguk-
anggukkan kepalanya. Sekilas
teringat akan anak semata
wayangnya dari istri pertamanya.
Rudita benar-benar menjauhi dunia
kekerasan walaupun itu
menyangkut keselamatan diri
pribadinya.
“Namun bagaimana pun juga,
Rudita masih memikirkan
keselamatan dirinya,” berkata Ki
Waskita dalam hati sambil
mengenang anak laki-laki satu-
satunya itu, “Dia telah mempelajari
dan membekali dirinya dengan ilmu
kebal, walaupun tanpa tuntunan
dari seorang guru. Aku sama sekali
tidak menyangka jika dia telah
berani mengambil kitab itu tanpa
seijinku dan kemudian
mempelajarinya sendiri.”
Tanpa terasa perjalanan mereka
berdua telah semakin mendekati
Padepokan Sapta Dhahana. Hutan
sudah mulai menipis dan terlihat
sudah sering dijamah oleh tangan
manusia.
“Hutan ini tentu menjadi salah satu
penyokong kehidupan di
Padepokan Sapta Dhahana,” desis
Ki Rangga tanpa sesadarnya.
“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita
sambil mengamat-amati bekas
beberapa pokok pohon yang
terlihat baru ditebang beberapa
saat yang lalu. “Padepokan itu
tentu memerlukan bahan bangunan
untuk menggantikan beberapa
bagian dari bangunan padepokan
yang mungkin sudah mulai rusak
dimakan waktu. Selebihnya
beberapa hasil hutan ini pun dapat
diambil manfaatnya.”
Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Berkata Ki
Rangga selanjutnya, “Mungkin
sesekali mereka juga mencari
binatang buruan yang masih
banyak terdapat di hutan ini.”
“Ya, ngger. Aku yakin itu,” sahut Ki
Waskita kemudian, “Berburu juga
dapat dijadikan sarana untuk
melatih ketangkasan membidik
yang salah satunya adalah
menggunakan anak panah.”
“Apakah ada kemungkinannya para
murid padepokan itu melatih
ketrampilan membidik mereka
dengan cara berburu?”
“Sangat mungkin, ngger. Selain
melatih ketrampilan, berburu juga
dapat mendatangkan kesenangan
dan keasyikan tersendiri. Para
keluarga kerajaan, terutama
Sinuhun Prabu Hanyakrawati
mempunyai kebiasaan untuk
sesekali berburu di sela-sela
kesibukannya.”
Bersambung ke bagian 2

Anda mungkin juga menyukai