kembali ke STSD-04 | lanjut ke
STSD-06
Bagian 1
SEJENAK wajah pengawal itu
bagaikan kapas, putih pucat
seakan-akan tanpa ada setetes
darah pun yang mengaliri
wajahnya.
“Majulah!” perintah Ki Gede kepada
pengawal itu kemudian, “Jangan
takut. Kita harus mengetahui
terlebih dahulu duduk
permasalahan yang sebenarnya
sebelum memutuskan sebuah
perkara.”
Kata-kata Ki Gede itu memang
terdengar sareh, tidak ada nada
kemarahan sama sekali. Namun
betapapun juga, tubuh pengawal itu
tampak gemetaran dan wajahnya
pucat sepucat kapas. Dengan
langkah satu-satu, pengawal itu
pun akhir bergeser mendekati Ki
Gede.
“Nah,” berkata Ki Gede kemudian
setelah pengawal itu berdiri di
hadapannya, “Ceritakanlah
sejujurnya apa sebenarnya yang
telah terjadi.”
Sejenak pengawal itu masih
menundukkan wajahnya dalam-
dalam dengan tubuh menggigil
seperti orang kedinginan. Ketika
dicobanya untuk mengangkat
kepala, segera saja pandangan
matanya berbenturan dengan
pandangan mata Ki Gede, dan
ternyata Ki Gede justru telah
tersenyum sareh.
Bagaikan tersiram embun pagi, hati
pengawal itupun menjadi sedikit
tenang. Setelah menarik nafas
dalam-dalam beberapa kali,
akhirnya pengawal itu pun memulai
laporannya.
“Ki Gede, kami berdua mendapat
tugas untuk mengantar makan
malam bagi tawanan,” berkata
pengawal itu kemudian memulai
laporannya, “Kawanku itu yang
bertugas membawa makanan,
sedangkan aku bertugas untuk
melindunginya serta mencegah jika
tawanan itu akan menggunakan
kesempatan saat kami memberi
makan untuk melarikan diri.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Kedengarannya apa yang
dilaporkan oleh pengawal itu
sepertinya sudah sewajarnya.
Maka kata Ki Gede kemudian,
“Lanjutkan ceritamu.”
Pengawal itu menganggukkan
kepalanya sebelum menjawab.
Katanya kemudian, “Begitu kami
membuka selarak bilik, ternyata
tawanan itu masih terikat erat pada
tiang yang terdapat di tengah-
tengah ruangan itu. Namun ketika
kawanku itu kemudian meletakkan
semangkuk nasi dan semangkuk
kuah yang masih panas di
hadapannya, dia telah berteriak
untuk meminta salah satu ikatan
tangannya untuk dibebaskan.”
“Jika kalian masih menganggap
aku sebagai manusia sebagaimana
kalian berdua, tentu kalian tidak
akan membiarkan aku makan
langsung dengan mulutku seperti
seekor binatang, begitu berkata
tawanan itu selanjutnya,” pengawal
itu berhenti sejenak untuk sekedar
menarik nafas. Lanjutnya
kemudian, “Ketika kawanku
meminta persetujuanku, aku pun
tidak keberatan untuk melepaskan
ikatan salah satu tangannya.”
“Siapakah yang melepas ikatan
tangan tawanan itu?” potong Ki
Gede cepat.
Sejenak pengawal itu
mengkerutkan lehernya. Jawabnya
kemudian dengan suara sedikit
tersendat, “Aku Ki Gede.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Katanya kemudian, “Seharusnya
kawanmu itulah yang melepas
ikatan tangan tawanan itu. Bukan
kamu.”
Pengawal itu tampak menundukkan
wajahnya semakin dalam. Memang
seharusnya kawannya itu yang
membuka ikatan, bukan dirinya
yang sedang memegang senjata.
Agaknya Ki Gede tanggap melihat
pengawal itu hanya menundukkan
wajahnya dalam-dalam. Maka kata
Ki Gede kemudian, “Memang
engkau pada saat itu berada di
belakang tawanan itu sehingga
tanpa sadar engkau telah
melakukannya tanpa banyak
pertimbangan.”
“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu
kemudian, “Memang pada saat itu
aku berada tepat di belakangnya
sehingga tanpa sadar aku telah
membuka ikatan tangannya tanpa
banyak pertimbangan.”
Kembali Ki Gede mengerutkan
keningnya. Bertanya Ki Gede
kemudian, “Akan tetapi bukankah
kamu hanya melepaskan salah
satu tangannya? Bagaimana
mungkin dia kemudian dapat
melepaskan diri?”
Pengawal itu tampak menelan
ludah sebelum menjawab
pertanyaan Ki Gede. Rasa-rasanya
tenggorokannya menjadi sangat
kering.
“Maaf Ki Gede,” jawab pengawal itu
kemudian dengan suara sedikit
bergetar, “Disitulah letaknya
kelengahan kami berdua. Ketika
aku sedang membuka ikatan salah
satu tangannya, senjataku tanpa
sadar telah aku letakkan di
sampingnya. Demikian salah satu
tangannya bebas, dengan cepat
dia meraih mangkuk yang berisi
kuah panas itu dan
menyiramkannya ke wajah
kawanku yang sedang berjongkok
di hadapannya. Setelah itu dia
segera meraih senjataku yang
tergeletak di sebelahnya sebelum
aku menyadari apa yang
sebenarnya sedang terjadi.”
Orang-orang yang hadir di tempat
itu menjadi berdebar debar. Dalam
keadaan yang tidak menentu itu,
segala sesuatunya bisa saja terjadi
dan berlangsung dalam waktu yang
cepat.
“Apakah engkau tidak segera
menyadari keadaan itu dan segera
meraih senjatamu kembali?”
bertanya Ki Gede kemudian.
Pengawal itu menggeleng.
Jawabnya kemudian, “Aku tidak
sempat mencegahnya. Begitu
senjata itu tergenggam di
tangannya dia segera
mengayunkan senjata itu ke arah
belakang untuk mencoba
melukaiku. Namun aku masih
sempat berguling ke samping.”
“Dan selanjutnya tawanan itu
mampu meloloskan diri dengan
memotong tali pengikatnya
menggunakan senjatamu sendiri.
Bukankah begitu cerita
selanjutnya?” potong Ki Gede
dengan serta merta.
Tampak pengawal itu mengangguk
lemah dengan wajah yang pucat.
Berkata pengawal itu kemudian,
“Maafkan kami Ki Gede. Kami
berdua memang lengah. Pada saat
tawanan itu sudah mampu
melepaskan ikatannya, dia segera
menyerang kawanku yang masih
sibuk membersihkan wajahnya
yang tersiram kuah panas tadi.
Namun naluri keprajuritannya
segera muncul dan segera
menyadari keadaan yang gawat itu.
Dengan sekuat tenaga dia
menghalangi tawanan yang
mencoba untuk meloloskan diri itu,
namun dia tidak berhasil dan
bahkan terluka.”
Ki Gede Matesih menarik nafas
dalam-dalam sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling.
Tampak wajah-wajah yang tegang
sedang menunggu keputusannya.
“Kedua pengawal itu memang
bersalah,” berkata Ki Gede dalam
hati, “Namun kesalahannya bukan
karena kesengajaan. Semua
peristiwa ini terjadi karena
kekurang-waspadaan saja.”
Berpikir sampai disitu Ki Gede
segera berkata, “Baiklah, aku
sudah mengetahui duduk
permasalahannya. Sekarang
selenggarakan mayat Gegedug
Dukuh Salam ini. dan aku minta
kalian lebih berhati-hati lagi di lain
kesempatan.”
Selesai berkata demikian Ki Gede
segera membalikkan badan dan
kemudian melangkah kembali ke
pendapa. Beberapa bebahu pun
segera mengikutinya, kecuali Ki
Wiyaga yang masih mengurus
jasad tawanan yang telah terbujur
kaku di halaman samping itu.
Sementara pengawal yang merasa
nasibnya sudah berada di ujung
tanduk itu, bagaikan mendapat
siraman banyu sewindu.
Dalam pada itu di tengah kelebatan
hutan sebelah timur gunung Tidar,
tampak Ki Rangga sedang
bercakap-cakap di bawah sebatang
pohon dengan cantrik Gatra Bumi.
“Sukra,” berkata Ki Rangga sambil
memandang wajah anak muda
yang berkulit kehitam-hitaman itu,
“Mengapa engkau pergi dari rumah
tanpa meninggalkan pesan apapun
kepada Nyi Sekar Mirah?”
Cantrik Gatra Bumi yang lebih
dikenal sebagai nama Sukra itu
sejenak terdiam. Wajahnya
menunduk dalam-dalam sementara
mulutnya terkunci rapat-rapat.
Ki Rangga yang menyadari tentu
ada sesuatu yang sedang menjadi
ganjalan di dalam hati anak muda
itu, segera menepuk bahunya
pelahan sambil berkata, “Sukra,
katakanlah kebenaran itu,
sekalipun itu pahit. Dengan
demikian, diharapkan sudah tidak
ada lagi ganjalan di antara kita.
Untuk seterusnya engkau bebas
untuk memilih jalan hidupmu
sendiri.”
Sukra tampak termenung beberapa
saat. Namun akhirnya dengan tetap
menundukkan wajahnya, Sukra
pun kemudian menjawab, “Maaf Ki
Sedayu, memang tidak ada
maksud sebiji sawi pun dalam
hatiku untuk meninggalkan
kediaman Ki Sedayu tanpa pamit.
Semua itu karena aku tidak mampu
menahan godaan dalam hatiku
pada saat itu.”’
Ki Rangga mengerutkan keningnya
mendengar keterangan Sukra.
Bertanya Ki Rangga kemudian,
“Apa maksudmu dengan godaan
dalam hatimu itu, Sukra?”
Sejenak Sukra membetulkan letak
duduknya sebelum menjawab
pertanyaan Ki Rangga. Setelah
menarik nafas dalam-dalam,
barulah Sukra menjawab, “Ki
Sedayu, ijinkan aku menceritakan
peristiwa beberapa saat yang lalu
yang terjadi di kediaman Ki
Sedayu.”
“Silahkan,” jawab Ki Rangga
singkat.
Kembali Sukra menarik nafas
panjang. Setelah itu barulah Sukra
memulai ceritanya.
“Malam itu hujan turun sangat
deras,” berkata Sukra kemudian
memulai ceritanya, “Aku
mendengar suara titik-titik air hujan
yang menerobos di sela-sela atap
yang mungkin mulai bocor. Namun
karena hari sudah larut malam, aku
memutuskan untuk melihatnya
keesokan harinya saja.”
Sukra berhenti sejenak untuk
sekedar mengambil nafas.
Sementara Ki Rangga yang duduk
di hadapannya tampak
mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Keesokan harinya,” berkata Sukra
selanjutnya, “Sebelum aku
memeriksa atap yang mungkin
bocor, Nyi Sekar Mirah ternyata
telah menyuruhku untuk
memperbaiki atap yang berada
tepat di atas bilik Nyi Sekar Mirah,
karena semalam Nyi Sekar Mirah
merasakan ada titik-titik air yang
jatuh cukup banyak dari atap .”
Tiba-tiba jantung Ki Rangga
menjadi berdebar-debar. Dia sudah
mulai dapat meraba ke arah mana
cerita Sukra. Jika Sukra kemudian
memanjat atap yang berada tepat
di atas biliknya itu, tentu Sukra
akan mendapatkan sesuatu yang
mungkin akan sangat
mengherankannya.
“Demikianlah Ki Sedayu, aku pun
akhirnya memanjat atap dan
mencoba membenahi sirap yang
berada di atas bilik Nyi Sekar
Mirah.”
Sampai disini tiba-tiba saja suara
Sukra bagaikan tercekat. Beberapa
kali dia tampak menelan ludah
untuk melonggarkan
kerongkongannya serta menarik
nafas dalam-dalam beberapa kali.
Ki Rangga yang melihat Sukra
menjadi sedikit ragu-ragu untuk
meneruskan cerita segera
menyahut, “Sukra, apakah pada
saat berada di atas atap, engkau
telah melihat sesuatu yang aneh di
dalam bilikku?”
Dengan suara sedikit tergagap
Sukra pun menjawab, “Ya, Ki
Sedayu.”
“Apakah yang aneh itu
menurutmu?”
Sejenak Sukra ragu-ragu. Namun
jawabnya kemudian, “Sekat antara
bilik Ki Sedayu dan bilik sebelah
yang kosong itu ternyata ada dua.”
Ki Rangga tersenyum sekilas.
Bertanya Ki Rangga seterusnya,
“Apakah engkau melihat apa yang
berada di dalam kedua sekat itu?”
Sukra menganggukkan kepalanya.
Ki Rangga menarik nafas dalam-
dalam sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah anak muda
yang tertunduk dalam-dalam itu
dengan rasa kasihan. Anak muda
itu agaknya telah mengalami
goncangan batin setelah bertemu
dan ditolong oleh Kanjeng Sunan.
Kini Sukra yang berada di
hadapannya bukanlah Sukra
pembantu rumah tangganya
beberapa saat yang lalu.
“Sudahlah Sukra,” berkata Ki
Rangga kemudian memecahkan
kesunyian, “Cerita selanjutnya aku
sudah tahu karena Kanjeng Sunan
telah menceritakannya kepadaku
pada saat aku bertemu beliau di
Panaraga.”
Tampak kepala Sukra semakin
tunduk. Rasa bersalah yang tiada
taranya telah melanda hatinya.
Maka katanya kemudian, “Aku
mohon maaf Ki Sedayu. Aku telah
tergoda untuk melihat isi kotak
kayu itu dan kemudian membawa
isinya pergi dari rumah tanpa seijin
Ki Sedayu.”
“Sukra,” berkata Ki Rangga sambil
menegakkan tubuhnya, “Segala
peristiwa yang terjadi di muka bumi
ini tidak ada satu pun yang terlepas
dari pengawasan Yang Maha
Agung,” Ki Rangga berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Bukankah engkau telah dicegat
oleh orang-orang tak dikenal di
tepian sungai yang berada tidak
jauh dari rumah kita?”
“Ya, Ki Sedayu,” jawab Sukra
sambil menganggukkan kepalanya.
“Nah, seandainya kitab itu tidak
engkau bawa, mungkin orang-
orang itu akan dengan mudah
menemukan tempat penyimpanan
kitab itu dan kemudian
membawanya pergi. Jika itu yang
terjadi, aku tidak tahu harus
kemana aku akan melacaknya
untuk menemukan kitab itu
kembali.”
Tampak kening Sukra berkerut
merut mendengar keterangan Ki
Rangga. Namun Ki Rangga
agaknya mampu membaca pikiran
Sukra. Maka kata Ki Rangga
selanjutnya, “Memang jika engkau
akan mempertahankan kitab itu
sendiri pasti tidak akan mampu.
Itulah sebabnya Yang Maha Agung
telah menolongmu melalui
kehadiran Kanjeng Sunan sehingga
akhirnya kitab itu sekarang sudah
kembali kepadaku.”
Kali ini kepala Sukra tampak
terangguk-angguk. Memang
seluruh kejadian di atas bumi ini
tidak akan lepas dari pengawasan
Yang Maha Agung yang
mengetahui segala mobah
mosiking jagad.
“Nah Sukra,” berkata Ki Rangga
kemudian, “Apakah masih ada
sesuatu yang ingin engkau
sampaikan?”
Sekarang tampak wajah Sukra
tidak murung lagi. Sambil
mengangkat wajahnya, Sukra pun
menjawab, “Ki Sedayu, sampaikan
permintaan maafku kepada Nyi
Sekar Mirah. Aku sudah tidak dapat
membantunya lagi. Untuk
selanjutnya aku telah diperintah
oleh Kanjeng Sunan agar mengikuti
dan menuntut ilmu kepada Ki Ajar
Mintaraga.”
Ki Rangga mengangguk-
anggukkan kepalanya. Ketika Ki
Rangga kemudian berpaling ke
arah kanan, tampak Ki Waskita
sedang asyik berbincang dengan Ki
Ajar Mintaraga. Tampaknya kedua
orang yang sudah sepuh itu
dengan cepat menjadi akrab.
Sejenak suasana menjadi sunyi.
Ketika Ki Rangga kemudian
mendongakkan kepalanya ke
langit, tampak langit sedikit disaput
mendung. Hanya beberapa bintang
yang berkeredipan menghiasi
wajah langit. Sedangkan bulan tua
belum menampakkan dirinya.
Teringat akan bulan yang mungkin
sudah waktunya gelap, tiba-tiba Ki
Rangga bangkit berdiri sambil
berkata, “Marilah Sukra, kita
bergabung dengan orang-orang tua
itu. Ada sesuatu yang perlu kita
bicarakan.”
Namun Sukra ternyata telah
menggelengkan kepalanya.
Jawabnya kemudian, “Maaf Ki
Sedayu, aku lebih baik di sini saja.”
Mendengar jawaban Sukra,
langkah Ki Rangga yang sudah
terayun itu sejenak tertegun.
Namun Ki Rangga segera
menyadari bahwa kelihatannya
Sukra memang tidak ingin terlibat
terlalu jauh dalam masalah yang
sedang mereka hadapi.
“Baiklah Sukra kalau memang
engkau lebih senang duduk di sini,”
berkata Ki Rangga kemudian
sambil melanjutkan langkahnya
mendekat ke tempat kedua orang
tua itu sedang berbincang-bincang.
“O, marilah Ki Rangga,” sambut Ki
Ajar kemudian begitu melihat Ki
Rangga berjalan mendekat.
“Terima kasih Ki Ajar,” jawab Ki
Rangga kemudian sambil
menempatkan diri duduk bersila di
atas rerumputan di hadapan kedua
orang tua itu.
“Ki Rangga,” berkata Ki Waskita
kemudian begitu melihat Ki Rangga
telah duduk dengan nyaman, “Kami
sedang membicarakan
kemungkinan untuk mengadakan
penyelidikan ke Perguruan Sapta
Dhahana malam ini.”
Tanpa sadar ki Rangga
mengalihkan pandangannya
kepada Ki Ajar Mintaraga.
Betapapun juga keberadaan Ki Ajar
di tempat itu adalah atas petunjuk
Kanjeng Sunan. Tentu ada
pertimbangan khusus dari Kanjeng
Sunan yang mungkin telah
disampaikan kepada Ki Ajar.
Ki Ajar yang mengerti maksud Ki
Rangga segera menyahut, “Ki
Rangga, Kanjeng Sunan memang
tidak memberikan pesan khusus
dalam hal penyelidikan ke
Perguruan Sapta Dhahana. Namun
ada satu pesan beliau yang perlu
dipertimbangkan.”
“Pesan apakah itu, Ki Ajar?” sahut
Ki Rangga dengan serta merta.
Ki Ajar tersenyum melihat wajah Ki
Rangga yang menjadi sedikit
tegang. Maka jawabnya kemudian,
“Ki Rangga, Kanjeng Sunan
berpesan agar jangan membiarkan
gerombolan serigala menjadi
semakin besar. Semakin besar
gerombolan serigala itu terbentuk,
akan semakin sulit untuk
menghancurkannya.”
Ki Rangga dan Ki Waskita sejenak
saling pandang sambil menarik
nafas dalam-dalam. Tampak kedua
orang itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka segera
maklum dengan apa yang
dimaksud oleh Kanjeng Sunan.
“Malam ini setelah lewat wayah
sepi uwong kita berangkat, Ki
Waskita,” berkata Ki Rangga
kemudian, “Biarlah Ki Ajar dan
Sukra di tempat ini saja sambil
menunggu perkembangan.”
“Aku lebih senang jika cantrik Gatra
Bumi ikut serta dalam penyelidikan
ini,” sahut Ki Ajar cepat sambil
tersenyum, “Semoga dia akan
menjadi tambahan kekuatan, bukan
sebaliknya menjadi tambahan
beban bagi Ki Rangga berdua.”
Sekejab Ki Rangga tertegun.
Bertanya Ki Rangga kemudian,
“Apakah Sukra sudah dipersiapkan
untuk melakukan pekerjaan ini, Ki
Ajar?”
“Aku berharap demikian, Ki
Rangga,” jawab Ki Ajar masih
dengan senyum yang menghiasi
bibirnya, “Semoga cantrik Gatra
Bumi mendapatkan pengalaman
baru sebagai bekal masa
depannya.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan
Ki Waskita telah menarik nafas
dalam-dalam. Tanpa sadar Ki
Rangga berpaling ke arah Sukra
yang tampak duduk merenung
beberapa tombak jauhnya dari
tempat ketiga orang itu duduk.
“Nah, sekarang,” berkata Ki Ajar
kemudian sambil berpaling ke arah
Ki Rangga, “Apakah masih ada
yang ingin disampaikan, Ki
Rangga?”
“Ya, Ki Ajar,” jawab Ki Rangga
sambil beringsut setapak, “Sesuai
dengan keterangan Ki Jayaraga
dan Glagah Putih yang telah
melakukan penyelidikan di
Perguruan Sapta Dhahana
beberapa saat yang lalu,
menjelang bulan gelap mereka
mempunyai suatu kebiasaan yang
aneh, kebiasaan untuk bermain-
main dengan api dan tidak
menutup kemungkinan mereka
juga melakukan persembahan
kepada api yang mereka anggap
sebagai Dewa.”
Tanpa sadar kedua orang tua itu
mendongakkan wajah mereka ke
langit. Bulan tua memang belum
tampak, atau mungkin saat itu
memang sudah saatnya bulan
gelap.
Tiba-tiba dada Ki Waskita berdesir
tajam. Katanya kemudian sambil
beringsut sejengkal ke depan, “Ki
Rangga, sepertinya malam ini
sudah waktunya bulan gelap. Tentu
pada saat ini adalah puncaknya
kemampuan pemimpin Perguruan
Sapta Dhahana yang senang
bermain-main dengan api itu.
Apakah tidak sebaiknya kita tunda
dulu penyelidikan ini barang sehari
atau dua hari?”
Ki Rangga tertegun, tanpa sadar
dia berpaling kearah Ki Ajar.
“Aku rasa tidak,” sahut Ki Ajar
kemudian, “Menurut perhitunganku
nanti menjelang dini hari bulan tua
masih akan muncul.”
Sejenak Ki Rangga merenung.
Berbagai pertimbangan bergolak di
dalam dadanya.
“Kita sudah berjanji dengan Ki
Jayaraga untuk mengadakan
penyelidikan malam ini,” berkata Ki
Rangga kemudian setelah sejenak
terdiam, “Kita hanya akan
mendekat dan melihat Perguruan
Sapta Dhahana secara
keseluruhan sebagai bahan
pertimbangan apa yang akan kita
lakukan kemudian.”
Hampir bersamaan kedua orang
tua itu mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
“Baiklah ngger,” berkata Ki Waskita
kemudian, “Sekarang masih belum
waktunya sepi uwong. Kita masih
sempat untuk mempersiapkan
segala sesuatunya.”
Serentak Ki Ajar dan Ki Rangga
pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
Dalam pada itu, di lereng sebelah
utara gunung Tidar, tampak dua
orang berkuda dengan sangat hati-
hati menuruni lereng yang cukup
terjal. Namun agaknya kuda-kuda
itu sudah sangat terlatih. Demikian
juga kedua orang yang berada di
atas punggung kuda-kuda itu juga
bukan orang kebanyakan sehingga
kedua orang itu mampu
mengendalikan kuda-kuda mereka
untuk menuruni lereng tanpa
banyak menemui
kesulitan.