Anda di halaman 1dari 125

ANAK TANI

Judul asli: Farmer Boy

Published by arrangement with HarperCollins Children's

Books, a division of Harper Collins Publisher, Inc.

10 East 53rd Street, New York. N.Y. 10022

Text Copyright 1995 by Little House Heritage Trust

Pictures copyright 1953 by Garth Williams

Hak Cipta Terjemahan Indonesia oleh

PT BPK Gunung Mulia, Jl. Kwitang 22-23, Jakarta 10420

E-mail: Publishing@bpkgm.com

http://www.bpkgm.com

Anggota IKAPI

Editor: Nino Oktorino, Eko Y.A.Fangohoy

Setter: Deisy Rikayanti

Desain Sampul: Hendry Kusumawijaya

ANAK TANI

CHARACTER BUILDING STORIES

PENULIS: LAURA INGALLS WILDER

PENERBIT: LIBRI

PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG

EPUB ini dibuat oleh Yayasan Mitra Netra untuk memfasilitasi akses bagi
tunanetra dan mereka yang memiliki keterbatasan membaca buku dalam cetak tinta.

Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang
kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf
braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat
komersial.

Cuplikan UU No.28 Tahun 2014 Pasal 44 Ayat 2 tentang Hak Cipta

Pasal 44

(2) Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra,
penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna
huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran
Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali
bersifat komersial.

HARI SEKOLAH

BULAN Januari sudah tiba di utara negara bagian New York, pada tahun 1860-an.
Salju menumpuk tinggi di mana-mana. Salju memberati cabang pohon eik, mapel, dan
beech yang tidak berdaun, serta melengkungkan cabang pohon cedar dan cemara yang
hijau. Ladang dan pagar batu juga tertutup oleh timbunan salju yang tebal.

Sepanjang jalan yang menembus hutan, seorang anak laki-laki kecil berjalan
dengan susah payah ke sekolah. Ia disertai kakak laki-lakinya, Royal, serta kakak
perempuannya, Eliza Jane dan Alice. Royal berumur tiga belas tahun, Eliza Jane dua
belas tahun, dan Alice sepuluh tahun. Almanzo yang paling kecil umurnya belum ada
sembilan tahun, dan ini adalah hari pertama ia pergi ke sekolah.

Ia harus berjalan cepat agar tidak ketinggalan dari yang lainnya dan harus
membawa kotak makanan. "Seharusnya Royal yang membawakan," katanya. "Ia lebih besar
daripada aku."

Royal melangkahkan kaki di depan, kelihatan besar seperti laki-laki dewasa


dengan sepatu bot. Eliza Jane berkata, "Tidak, Manzo. Sekarang giliranmu membawa
karena kau yang paling kecil."

Eliza Jane suka memerintah. Ia selalu mengetahui apa yang paling baik untuk
dilakukan dan ia membuat Almanzo dan Alice melakukannya.

Almanzo mempercepat langkahnya di belakang Royal, dan Alice mempercepat


langkahnya di belakang Eliza Jane, pada alur dalam yang dibuat oleh peluncur kereta
salju. Di kiri kanan alur ini, salju yang lunak menumpuk tinggi. Jalan menuruni
lereng yang panjang, kemudian melintasi sebuah jembatan kecil dan memanjang terus
sejauh satu kilometer lebih, menembus hutan yang membeku ke gedung sekolah.

Hawa dingin menyakitkan kelopak mata Almanzo dan membuat hidungnya terasa
kaku, tetapi di dalam pakaian yang terbuat dari wol, badannya hangat. Pakaian
wolnya itu dibuat dari bulu biri-biri milik ayahnya. Pakaian dalamnya putih susu,
tetapi ibu mencelup wol untuk pakaian luarnya.

Benang yang dipakai untuk membuat mantel dan celana panjangnya dicelup dengan
zat pewarna dari kulit sejenis buah-buahan. Kemudian ibu menenun benang ini menjadi
kain wol yang tebal. Baik angin maupun hawa dingin, bahkan hujan lebat pun, tidak
dapat menembus kain wol tenunan ibu.

Untuk pinggang Almanzo, ibu mencelup wol berwarna merah buah ceri dan
kemudian ditenunnya menjadi kain halus yang tipis. Kain ini ringan dan hangat,
warna merahnya sangat indah.

Celana panjang Almanzo yang cokelat dikancingkan ke pinggangnya yang merah


dengan sederet kancing loyang yang berkilap-kilap. Kemejanya dikancing sampai ke
dagu, demikian pula mantelnya yang terbuat dari kain wol cokelat. Ibu membuat
topinya dari kain cokelat pula, dengan kelepak penutup telinga yang diikatkan di
bawah dagu. Sarung tangannya yang merah diikatkan dengan tali melalui lengan
mantelnya terus sampai ke belakang lehernya. Dengan demikian, sarung tangannya
tidak akan hilang.

Ia memakai sepasang kaus kaki yang ditarik sampai ke atas celana dalamnya dan
sepasang lagi di luar kaki celana panjangnya yang cokelat. Di luar kaus kakinya, ia
memakai sepasang mokasin.

Mokasin ini sama benar dengan yang dipakai orang Indian.

Anak-anak perempuan memakai selendang tebal yang menutupi mukanya, kalau


mereka keluar dalam musim dingin. Namun Almanzo, anak laki-laki, mukanya terbuka
dalam udara bersalju. Pipinya merah seperti buah apel dan hidungnya lebih merah
daripada buah ceri. Setelah berjalan sejauh 2 kilometer lebih, ia senang sekali
melihat gedung sekolah.

Gedung sekolah berdiri terpencil di hutan yang membeku, di kaki bukit


Hardscrabble, dan guru sedang menyingkirkan salju dengan sekop untuk membuat jalan
ke pintu. Lima orang anak laki-laki bertubuh besar berjalan melewati salju yang
dalam di tepi jalan.

Almanzo merasa takut saat melihat mereka. Royal pura-pura tidak takut,
sekalipun sebenarnya ia juga merasa takut. Anak-anak ini berasal dari Permukiman
Hardscrabble, dan semua anak takut kepada mereka.

Mereka merusak kereta luncur anak-anak kecil, hanya untuk menyenangkan hati.
Mereka menangkap seorang anak kecil dan mengayunkannya dengan memegangi kakinya,
kemudian melemparkan kepalanya lebih dulu ke salju yang dalam. Kadang-kadang,
mereka menyuruh dua orang anak kecil berkelahi, walaupun anak-anak kecil ini tidak
mau berkelahi dan merengek-rengek minta dilepaskan.

Anak-anak bertubuh besar ini berumur enam belas sampai tujuh belas tahun, dan
mereka baru masuk sekolah pada pertengahan masa sekolah musim dingin. Mereka
membual bahwa tidak ada guru yang dapat menyelesaikan masa sekolah musim dingin di
situ, dan bualan mereka memang benar.

Tahun ini, guru mereka seorang laki-laki muda yang kurus dan pucat. Namanya
Pak Corse. Sosoknya lemah-lembut dan sabar serta tidak pernah mencambuk anak kecil
hanya karena mereka lupa bagaimana cara mengeja perkataannya. Almanzo merasa
perutnya sakit ketika memikirkan bagaimana bila anak-anak yang bertubuh besar itu
memukuli Pak Corse. Pak Corse tidak cukup besar untuk melawan mereka.

Di dalam kelas, anak-anak terdiam sehingga dapat terdengar suara ribut anak-
anak yang lebih tua di luar. Murid yang lain saling berbisik dekat tungku di tengah
ruangan. Pak Corse duduk menghadap meja tulisnya. Sebelah pipinya yang kurus
ditopang oleh tangannya yang kecil dan ia sedang membaca buku. Ia mengangkat
mukanya dan berkata ramah, "Selamat pagi."

Royal, Eliza Jane, dan Alice menjawab dengan sopan, tetapi Almanzo diam saja.
Ia berdiri disisi bangku, memandangi Pak Corse. Pak Corse tersenyum kepadanya dan
berkata, "Kau tahu, nanti malam aku akan pulang bersamamu?" Namun, pikiran Almanzo
begitu kusut sehingga ia tidak menjawab. "Ya." kata Pak Corse meneruskan. "Sekarang
sudah tiba giliran ayahmu."

Setiap keluarga di distrik itu menerima Pak Guru menumpang selama dua minggu.

Pak Guru berpindah-pindah, dari satu pertanian ke pertanian lainnya, setelah


tinggal selama dua minggu pada masing-masing keluarga.

Setelah itu, masa sekolah ditutupnya. Sesudah mengatakan ini. Pak Corse
mengetuk-ngetuk meja tulisnya dengan penggaris.

Pelajaran akan segera dimulai.

Semua murid duduk ke tempat mereka masing-masing.

Anak-anak perempuan duduk di sebelah kiri ruangan dan anak-anak laki-laki di


sebelah kanan ruangan, dengan tungku besar dan tempat kayu di tengah-tengah, di
antara mereka.

Anak-anak yang lebih besar duduk di belakang. Anak-anak yang lebih muda dari
mereka duduk di tengah, sementara anak-anak yang lebih kecil duduk di bagian depan.

Semua tempat duduk berukuran sama. Anak-anak yang lebih besar hampir tidak
dapat memasukkan lututnya di bawah bangku, sementara kaki anak-anak yang kecil
tidak menyentuh lantai.

Almanzo dan Miles Lewis baru masuk kelas permulaan. Jadi, mereka duduk di
tempat duduk paling depan dan tidak punya bangku.

Mereka harus memegangi buku dengan tangannya.

Kemudian Pak Corse pergi ke jendela dan mengetuknya. Anak-anak besar masuk
dengan suara ribut, berteriak-teriak, dan tertawa keras-keras. Mereka membuka pintu
dengan mendobraknya dan melangkah masuk. Big Bill Ritchie adalah pemimpin mereka.
Ia hampir sebesar ayah Almanzo, dan tinjunya pun sebesar tinju ayah Almanzo.

Ia menghentak-hentakkan salju dari sepatunya dan dengan suara ribut berjalan


ke tempat duduk belakang. Keempat temannya juga membuat suara yang seribut-
ributnya.

Pak Corse tidak mengatakan apa pun.

Dalam kelas tidak diperbolehkan berbisik, demikian pula bergerak-gerak di


atas tempat duduk. Semua harus duduk tenang dan memusatkan perhatian pada
pelajaran. Almanzo dan Miles mengangkat buku bacaannya dan mencoba menahan diri
agar tidak mengayunkan kakinya. Kaki mereka makin lelah sehingga terasa sakit,
tergantung-gantung dari tepi tempat duduk. Kadang-kadang, satu kaki tiba-tiba
menendang dengan sendirinya, sebelum dapat ditahan oleh Almanzo. Kemudian ia
mencoba berpura-pura bahwa tidak ada suatu apa pun yang terjadi, tetapi ia dapat
merasakan pandangan Pak Corse tertuju kepadanya.
Di tempat duduk belakang, anak-anak yang besar berbisik-bisik, menggeser-
geserkan kaki, dan membanting bukunya. Pak Corse berkata dengan tegas, "Kuminta
jangan terlalu ribut."

Sesaat mereka tenang, kemudian mereka mulai lagi. Mereka ingin agar Pak Corse
mencoba menghukum mereka. Kalau ini dilakukan, mereka berlima akan mengeroyoknya.

Akhirnya, kelas permulaan dipanggil. Almanzo merosot turun dari tempat duduk
dan berjalan bersama Miles ke meja tulis Pak Corse. Pak Corse mengambil buku
Almanzo dan memberi mereka perkataan untuk dieja.

Waktu Royal duduk di kelas permulaan, ia sering pulang di waktu malam dengan
tangan kaku dan bengkak. Guru memukul telapak tangannya dengan penggaris karena
Royal tidak memahami pelajarannya. Waktu itu ayah berkata, "Kalau guru memukulmu
lagi, Royal, kau akan kulabrak sehingga kau tidak dapat melupakannya seumur hidup."

Namun, Pak Corse tidak pernah memukul tangan anak kecil dengan penggaris.
Waktu Almanzo tidak dapat mengeja satu perkataan, Pak Corse berkata, "Tinggallah di
kelas waktu istirahat dan beiajarlah mengeja."

Pada waktu istirahat, anak-anak perempuan keluar lebih dulu. Mereka


mengenakan selendang dan mantel dan dengan diam-diam pergi ke luar. Setelah lima
belas menit, Pak Corse mengetuk jendela lagi. Mereka masuk, menggantungkan mantel
dan selendang di pintu masuk dan mengambil buku mereka kembali. Kemudian anak-anak
laki-laki boleh keluar untuk istirahat selama lima belas menit.

Mereka berebut keluar ke hawa dingin sambil berteriak-teriak. Yang pertama


keluar mulai melempari temannya dengan bola salju. Yang punya kereta luncur segera
naik ke bukit Hardscrabble. Mereka tengkurap di atas keretanya dan meluncur turun
sepanjang lereng yang terjal. Mereka jatuh ke dalam salju. Mereka lari dan bergulat
serta lempar-lemparan bola salju, melumuri muka temannya dengan salju, sambil
berteriak-teriak sekeras-kerasnya.

Almanzo harus tetap tinggal di kelas pada waktu istirahat. Ia merasa malu
karena tinggal di kelas bersama anak-anak perempuan.

Pada tengah hari, semua murid diperbolehkan berkeliaran dalam ruang kelas dan
bercakap-cakap perlahan-lahan. Eliza Jane membuka tempat makanannya di atas bangku.
Isinya roti mentega dan sosis, donat serta apel. Ada juga empat potong manisan
apel, potongannya besar-besar, berisi irisan apel dan cairan manis yang cokelat.

Setelah Almanzo menghabiskan manisan apel bagiannya, serta menjilat-jilat


jarinya, ia minum air dari ember yang terletak di atas bangku di sudut, dengan
gayung. Kemudian ia mengenakan topi, mantel, dan sarung tangannya, lalu pergi ke
luar untuk bermain.

Matahari bersinar hampir tepat di atas kepala. Salju tampak berkilap-kilap


menyilaukan dan para penarik kayu sedang menuruni bukit Hardscrabble. Tinggi di
atas kereta salju yang penuh dengan tumpukan kayu gelondongan, orang melecutkan
cambuk dan berteriak kepada kudanya, dan kuda itu menggoyangkan giring-giring kecil
yang berbunyi gemerincing.

Anak laki-laki lari, sambil berteriak-teriak untuk mengikatkan kereta luncur


masing-masing ke peluncuran kereta salju. Anak-anak yang tidak membawa kereta
luncur naik dan duduk di atas muatan kayu.

Dengan riang gembira, mereka terus melewati rumah sekolah dan terus meluncur
sepanjang jalan. Bola salju yang besar-besar beterbangan. Di atas muatan kayu anak-
anak bergulat, saling mendorong temannya ke timbunan salju. Almanzo dan Miles naik
kereta luncur milik Miles sambil berseru riuh-rendah.

Rasanya seperti baru satu menit mereka meninggalkan gedung sekolah. Namun,
untuk kembali, diperlukan waktu yang lebih lama. Mula-mula mereka berjalan, lalu
lari-lari kecil, kemudian berlari, terengah-engah. Mereka takut terlambat. Kemudian
mereka tahu bahwa mereka benar-benar telah terlambat. Pak Corse akan mencambuk
mereka semua.

Di dalam kelas sunyi senyap. Mereka tidak ingin masuk, tetapi mereka harus
masuk. Jadi, masuklah mereka diam-diam tanpa suara. Pak Corse sedang duduk
menghadapi meja tulis dan semua anak perempuan ada di tempat masing-masing, pura-
pura sedang belajar. Pada bagian untuk anak laki-laki, semua tempat duduk kosong.

Almanzo naik ke tempat duduknya dalam kesunyian yang mencekam. Ia mengangkat


bukunya dan berusaha agar tidak bernapas keras-keras. Pak Corse tidak mengatakan
apa-apa.

Bill Ritchie dan anak-anak besar lainnya tidak peduli. Mereka ribut seperti
biasa waktu kembali ke tempat duduknya. Pak Corse menunggu sampai mereka semua
tenang. Kemudian ia berkata, "Kali ini aku tidak akan menghukum kalian karena
terlambat. Namun, jangan sampai ini terjadi lagi."

Semua tahu bahwa anak-anak besar akan terlambat lagi. Pak Corse tidak dapat
menghukum mereka karena mereka dapat memukulinya dan memang itulah yang mereka
inginkan.

SENJA MUSIM DINGIN

UDARA tenang, tidak berangin, dan ranting kayu berpatahan dalam hawa dingin.
Cahaya kelabu terpancar dari salju, tetapi bayangan makin gelap di hutan. Senja
sudah turun saat Almanzo menuruni lereng yang terakhir menuju rumah pertanian.

Ia berjalan cepat-cepat di belakang Royal, yang melangkah cepat-cepat di


belakang Pak Corse. Alice berjalan cepat-cepat di belakang Eliza Jane dalam alur
kereta salju yang lain. Mereka melindungi mulut masing-masing dari hawa dingin
dengan tidak mengatakan apa pun.

Atap rumah bercat merah yang tinggi, berlapis timbunan salju. Dari semua
cucuran atap bergantungan salju yang membeku. Bagian depan rumah gelap, tetapi ada
sepasang jejak kereta salju menuju bangsal besar dan jalan setapak yang menuju
pintu samping yang sudah dibersihkan saljunya. Di jendela dapur kelihatan cahaya
lilin bersinar.

Almanzo tidak masuk ke rumah. Ia memberikan tempat makanan kepada Alice dan
pergi ke bangsal bersama Royal.

Ada tiga buah bangsal besar dan panjang pada tiga sisi lapangan yang persegi.
Inilah bangsal yang paling bagus di seluruh daerah itu.

Mula-mula, Almanzo pergi ke bangsal kuda. Bangsal ini berhadapan dengan rumah
dan panjangnya 30 meter. Kandang tempat kuda yang berderet-deret ada di tengah. Di
ujung satu terdapat kandang sapi muda dan lebih jauh lagi ada kandang ayam. Di
ujung satunya, terdapat gudang kereta. Gudang ini begitu besar sehingga dua buah
kereta kuda dan sebuah kereta salju dapat dimasukkan ke dalamnya, dengan ruangan
yang cukup untuk melepaskan kuda dari kendalinya. Dari sini, kuda pergi ke
kandangnya, tanpa harus keluar lagi ke hawa dingin.

Bangsal besar mulai dari ujung barat bangsal kuda, yang merupakan sisi barat
lapangan. Di bagian tengah bangsal besar terdapat lantai bangsal yang besar. Pintu
yang besar-besar terbuka ke dalamnya dari padang rumput, untuk memasukkan gerobak
yang penuh berisi rumput. Pada satu sisi, terdapat tempat rumput yang besar,
panjangnya 15 meter dan lebarnya 6 meter, penuh dengan rumput sampai ke puncak
atap, jauh di atas kepala.

Di seberang lantai bangsal besar terdapat empat belas buah kandang untuk sapi
jantan. Di seberangnya lagi terdapat gudang mesin dan di sebelahnya ada gudang
perkakas. Dari sini, kita dapat berputar ke bangsal selatan.

Di dalamnya terdapat ruang makanan ternak, kemudian kandang babi, kandang


sapi muda, dan lantai bangsal selatan. Ini adalah ruangan untuk menggebuk gandum.
Ukurannya bahkan lebih besar daripada lantai bangsal besar dan mesin pengipas
gandum ada di sini.

Di seberang lantai bangsal selatan terdapat kandang untuk sapi muda, dan di
seberangnya lagi terdapat kandang biri-biri. Itulah isi bangsal selatan.

Pagar papan yang rapat berdiri setinggi 3,5 meter sepanjang sisi timur
lapangan. Ketiga bangsal yang besar dan pagar menutup lapangan ini. Angin menderu
dan hujan salju menderanya, tetapi tidak dapat masuk. Bagaimanapun buruknya cuaca
dalam musim dingin, timbunan salju hampir tidak ada setengah meter di dalam
lapangan yang terlindung ini.

Kalau Almanzo masuk ke bangsal besar, ia selalu melalui pintu kecil di


bangsal kuda. Ia sangat menyukai kuda. Semua kuda berdiri dalam kandang masing-
masing yang luas, bersih, dan berkilap, dengan surai dan ekor yang hitam panjang.
Kuda pekerja berdiri sambil mengunyah rumput dengan tenang. Kuda yang berumur tiga
tahun saling mendekatkan hidungnya melalui jeruji pemisah dan mereka kelihatan
seakan sedang berbisik-bisik. Kemudian mereka saling mencium leher lainnya. Yang
satu pura-pura menggigit, kemudian mereka memekik dan berbalik sambil menendang
untuk bergurau. Kuda yang sudah tua menolehkan kepalanya dan tampak seperti nenek
yang melihat kepada cucunya. Namun, kuda yang masih muda berlari-lari berkeliling
dengan kakinya yang panjang dan menatap dengan mata lebar.

Mereka semua mengenal Almanzo. Telinga mereka ditegakkan dan mata mereka
bersinar-sinar saat melihatnya. Kuda yang berumur tiga tahun datang menghampiri dan
menjulurkan kepalanya untuk mengendus-endus Almanzo. Hidungnya lembut seperti
beledu, dengan beberapa helai rambut yang kaku. Dan, di kepala mereka, rambut yang
pendek terasa halus seperti sutra. Leher mereka melengkung indah, kuat, dan montok,
dengan surai yang hitam lebat. Orang dapat mengelus-elus lehernya yang melengkung,
yang terasa hangat di bawah surai.

Namun, Almanzo hampir tidak berani melakukannya. Ia tidak diperbolehkan


menyentuh kuda berumur tiga tahun yang cantik. Ia tidak boleh masuk ke kandang
mereka, bahkan waktu membersihkannya. Almanzo baru berumur delapan tahun dan Ayah
tidak memperbolehkannya mengurus kuda yang masih muda. Ayah belum memberinya
kepercayaan, sebab kalau tidak diperlakukan dengan hati-hati, kuda yang masih muda
mudah sekali sakit.

Seorang anak yang belum tahu apa-apa mungkin akan menakut-nakuti kuda muda
atau mengganggunya, bahkan memukulnya. Dan, ini bisa membuat kuda itu sakit. Kuda
ini akan belajar menggigit, menyepak serta membenci manusia, dan akibatnya tidak
akan menjadi kuda yang baik.

Namun, Almanzo sudah mengerti hal itu. Ia tidak mau menakut-nakuti atau
menyakiti salah seekor kuda yang cantik ini. Ia tidak mau membuat gaduh, selalu
lemah-lembut dan sabar. Ia tidak mau mengejutkan seekor kuda muda, atau berteriak
kepadanya, bahkan ketika kakinya terinjak oleh salah seekor kuda. Namun, Ayah tiaak
memercayainya.

Jadi, Almanzo hanya dapat memandangi kuda berumur tiga tahun ini. Ia hanya
menyentuh hidungnya yang seperti beledu, lalu cepat-cepat menarik tangannya,
kemudian memakai pakaian kandang di luar pakaian sekolahnya.

Ayah sudah memberikan air minum kepada semua ternak dan sekarang ia sudah
mulai memberi mereka gandum. Royal dan Almanzo mengambil garpu rumput dan berjalan
dari kandang ke kandang, menyingkirkan rumput yang sudah kotor terinjak-injak,
kemudian menghamparkan rumput segar dari tempat makanan untuk membuat alas tidur
bagi sapi dan sapi jantan, serta anak sapi dan biri-biri.

Mereka tidak membuatkan alas tidur bagi babi karena babi sudah membuat alas
tidurnya sendiri. Babi tidak tahu kebersihan!

Di bangsal selatan, dua anak sapi milik Almanzo sendiri berada dalam satu
kandang. Keduanya berdesakan pada jeruji pemisah waktu melihatnya. Kedua anak sapi
ini berwarna kemerahan dan yang seekor ada belang putih pada kepalanya. Almanzo
memberinya nama Star. Satunya berwarna merah terang dan Almanzo memberi namanya
Bright.

Star dan Bright, anak sapi yang masih muda, umurnya belum ada setahun. Tanduk
mereka yang kecil baru mulai tumbuh dalam bulu yang lunak dekat telinga mereka.
Almanzo menggarukgaruk sekeliling tanduk mereka yang kecil karena ini disukai oleh
anak sapi. Mereka menjulurkan hidungnya yang tumpul dan basah di antara jeruji dan
menjilat-jilat dengan lidahnya yang kasar.

Almanzo mengambil dua buah wortel dari kotak makanan sapi. Wortel ini
dipotong-potongnya menjadi kecil-kecil dan potongan wortel diberikannya satu demi
satu kepada Star dan Bright.

Kemudian ia mengambil garpu rumputnya lagi dan naik ke atas tumpukan rumput.
Di situ gelap. Hanya sedikit cahaya yang keluar dari lubang-lubang kaleng yang
menutupi lentera yang digantung di bawah gang. Royal dan Almanzo tidak
diperbolehkan membawa lentera ke tumpukan rumput, takut jangan-jangan terjadi
kebakaran. Namun, sesaat kemudian mereka dapat melihat di dalam gelap.

Mereka bekerja cepat, melemparkan rumput ke tempat makanan di bawahnya.


Almanzo dapat mendengar semua ternak yang sedang mengunyah makanan. Tumpukan rumput
terasa hangat karena panas badan semua ternak di bawah dan rumput berbau harum.
Juga tercium bau kuda dan sapi serta bau biri-biri yang berbulu tebal. Dan, sebelum
anak-anak itu selesai mengisi tempat makanan, tercium bau susu hangat yang mengalir
ke dalam ember susu Ayah.

Almanzo mengambil bangkunya sendiri yang kecil dan sebuah ember untuk memerah
susu dan duduk di kandang si Blossom untuk memerah susunya Tangannya masih belum
cukup kuat untuk memerah susu sapi yang keras, tetapi ia dapat memerah susu si
Blossom dan si Bossy. Keduanya adalah sapi tua yang penurut kalau diperah, tidak
pernah melecutkan ekor ke matanya, atau menendang ember dengan kaki belakangnya.

Ia duduk dengan ember di antara kakinya dan memerah dengan teratur. Kiri
kanan! Cur, cur! Susu sapi menyembur miring, ke dalam ember, sementara sapi makan
gandum dan mengunyah wortel.
Kucing bangsal menggelungkan badan mereka di sudut kandang, mendengkur keras.
Tubuh mereka halus dan gemuk karena makan tikus. Semua kucing bangsal punya telinga
yang besar dan ekor yang panjang, yang merupakan ciri-ciri penangkap tikus yang
baik. Siang malam mereka menjaga bangsal, menjaga agar tikus tidak mengganggu
tempat makanan, dan pada waktu memerah susu mereka mendapat bagian susu segar.

Setelah Almanzo selesai memerah, ia mengisi piring dengan susu untuk kucing.
Ayahnya masuk ke kandang si Blossom membawa ember dan bangkunya sendiri. Ia duduk
untuk memerah susu yang terakhir dan yang paling kental. Namun, Almanzo sudah
memerah semuanya. Kemudian Ayah pergi ke kandang si Bossy. Ia segera ke luar dan
berkata, "Kau pemerah susu yang baik, Nak."

Almanzo hanya menoleh dan menyepak-nyepak jerami di lantai. Ia sangat senang


sehingga tidak dapat mengatakan apa pun. Sekarang ia dapat memerah susu sendiri.
Ayah tidak perlu lagi menyelesaikannya. Segera ia dapat memerah susu yang paling
keras.

Ayah Almanzo memiliki mata biru yang ramah dan bersinar-sinar. Tubuhnya
tinggi besar dan memiliki janggut yang panjang, cokelat, dan lembut, serta rambut
yang cokelat dan lembut pula. Mantelnya yang terbuat dari wol berwarna cokelat
tergantung sampai ke tepi sepatu botnya yang tinggi. Pada bagian depannya ada
selempang dan sabuk membelit pinggangnya, dan mantel dibiarkan bergantung menutupi
celananya yang terbuat dari kain wol tebal berwarna cokelat.

Ayah seorang yang penting. Ia punya pertanian yang baik. Keretanya ditarik
oleh kuda terbaik di daerah itu. Ia orang yang dipercaya dan tiap tahun ia
memasukkan uang ke bank. Kalau Ayah pergi naik kereta ke Malone, semua orang kota
hormat kepadanya.

Royal datang membawa ember susu dan lentera. Ia berkata dengan suara rendah,
"Ayah, siang tadi Big Bill Ritchie datang ke sekolah."

Lubang-lubang pada lentera kaleng menyebabkan sekitarnya penuh bintik-bintik


cahaya dan bayangan kecil. Almanzo melihat ayahnya terdiam. Ia mengelus-elus
janggutnya dan perlahan-lahan menggelengkan kepala. Almanzo menunggu tidak sabar,
tetapi Ayah hanya mengambil lentera dan berkeliling bangsal sekali lagi untuk
melihat apakah segalanya sudah beres untuk malam itu. Kemudian mereka pergi ke
rumah.

Hawa dingin terasa sangat menyiksa. Malam gelap tidak berangin, dan bintang-
bintang bertaburan di langit. Almanzo senang sekali masuk ke dapur yang besar, yang
hangat oleh api dan cahaya lilin. Di samping itu, ia juga sangat lapar.

Air dari tong penampung hujan sedang dipanaskan di atas tungku. Mula-mula
Ayah, lalu Royal, dan kemudian Almanzo, bergantian, mencuci muka dan tangan di atas
bangku dekat pintu. Almanzo mengeringkan tangan dan mukanya dengan handuk linen,
kemudian berdiri di muka cermin kecil di dinding. Rambutnya yang basah disisirnya
sampai halus.

Dalam dapur, Eliza Jane dan Alice sedang sibuk menaruh makanan ke piring. Bau
daging asin yang digoreng membuat perut Almanzo keroncongan.

Ia berhenti sebentar di muka lemari makan. Ibu sedang mengaduk susu di ujung
lemari makan yang rendah dan panjang. Punggung ibu menghadap kepadanya. Kedua
bagian lemari penuh dengan makanan yang enak-enak. Keju yang kuning dan besar-besar
ditumpuk di situ, juga kue cokelat yang terbuat dari gula mapel. Ada juga roti yang
baru dipanggang, empat buah kue besar, satu bagian penuh dengan kue juadah. Sebuah
kue sudah dipotong dan diiris kecil-kecil. Rasanya pasti lezat sekali.
Almanzo belum bergerak juga. Namun, Eliza Jane sudah berseru, "Almanzo,
berhenti! Ibu!"

Ibu tidak menoleh. Ia hanya berkata, "Jangan ambil, Almanzo. Kau akan merusak
nafsu makanmu sendiri."

Ini benar-benar tidak masuk akal sehingga Almanzo kesal sekali. Mencicipi
sedikit saja tentu tidak akan merusak nafsu makan. Ia sangat lapar dan mereka tidak
memperbolehkannya makan apa pun sebelum dihidangkan di atas meja. Ini benar-benar
tidak masuk akal. Namun, tentu saja ia tidak dapat mengatakan ini kepada ibu. Ia
harus menurut tidak boleh menyangkal.

Almanzo menjulurkan lidahnya kepada Eliza Jane. Eliza Jane tidak dapat
berbuat apa-apa. Kedua tangannya penuh. Kemudian cepat-cepat Almanzo masuk ke ruang
makan.

Sinar lampu sangat menyilaukan. Dekat tungku pemanas persegi yang dipasang di
dinding, Ayah sedang membicarakan politik dengan Pak Corse. Muka Ayah menghadap ke
meja makan dan Almanzo tidak berani menyentuh apa pun yang ada di atas meja.

Di atas meja ada banyak potongan keju yang merangsang selera dan ada sepiring
acar daging. Selain itu juga ada selai, agar-agar, dan buah yang diawetkan, gelas
tinggi berisi susu, dan sepanci kacang panggang yang dimasak dengan daging yang
gemuk.

Almanzo memandangi ini semua dan perutnya terasa seperti diremas-remas. Ia


menelan ludah dan perlahan-lahan pergi menjauh.

Ruang makan kelihatan sangat indah. Kertas dindingnya bergaris-garis hijau


dengan bunga merah berderet-deret di atas dasar cokelat, dan ibu memasang permadani
hasil rajutan sendiri. Ia mencelup permadani dengan warna hijau dan cokelat,
kemudian merajutnya dalam pola garis-garis, dengan garis-garis merah dan putih,
dijalin di antaranya. Lemari tinggi yang terletak di sudut penuh dengan benda-benda
yang indah kerang laut, kayu yang dikeringkan, batu-batu yang bentuknya aneh, dan
buku. Di atas meja tengah tergantung sebuah istana mainan. Alice membuatnya dari
jerami, dianyamnya sendiri, dengan potongan-potongan kain warna-warni di sudutnya.
Istana mainan ini terayun dan bergetar kalau kena angin sedikit saja, dan jeraminya
yang keemasan berkilap-kilap kena cahaya lampu.

Namun, bagi Almanzo pemandangan yang paling indah adalah ibunya, yang membawa
masuk sebuah piring besar berisi ham.

Ibu pendek gemuk dan cantik. Matanya biru dan rambutnya cokelat seperti sayap
burung yang halus. Sederet kancing merah terpasang pada bagian depan gaunnya yang
terbuat dari wol berwarna merah, dari leher gaun berwarna putih sampai ke celemek
putih yang diikatkan pada pinggangnya. Lengan gaunnya tergantung seperti lonceng
merah yang besar di sisi kedua ujung piring yang berwarna biru. Ia masuk melalui
pintu sambil sebentar-sebentar berhenti karena gaunnya yang menggelembung lebih
lebar daripada pintu.

Bau ham membuat Almanzo lapar. Ibu meletakkan piring di atas meja. Ia
mengamati untuk melihat apakah semuanya sudah siap, dan meja diatur dengan
semestinya. Ia membuka celemek dan menggantungkannya di dapur. Kemudian ia menunggu
sampai Ayah menyelesaikan pembicaraannya dengan Pak Corse. Namun, akhirnya ia
berkata, "James, makan malam sudah siap?"

Rasanya lama sekali baru mereka duduk di tempat masing-masing. Ayah duduk di
ujung seberang meja dan Ibu pada ujung satunya. Kemudian mereka semua harus
menundukkan kepala sementara Ayah berdoa kepada Tuhan agar memberkati makanan.
Setelah itu mereka harus menunggu, sampai Ayah membuka serbet makan dan memasangnya
pada leher mantelnya.

Ayah mulai mengisi piring. Mula-mula ia mengisi piring Pak Corse. Kemudian
piring Ibu. Lalu piring Royal, piring Eliza Jane, dan piring Alice. Terakhir, ia
mengisi piring Almanzo.

"Terima kasih," kata Almanzo. Hanya itulah kata-kata yang boleh


dikeluarkannya di meja makan. Ayah, Ibu, dan Pak Corse boleh bercakap-cakap, tetapi
Royal, Eliza Jane, Alice, dan Almanzo tidak boleh mengatakan apa pun.

Almanzo makan kacang panggang yang manis dan lezat. Ia makan daging asin yang
terasa sangat lezat di mulutnya. Ia makan kentang rebus dengan kuah ham yang
berwarna cokelat. Kemudian ia memakan hamnya. Digigitnya roti yang empuk berlapis
mentega, dan memakan kulitnya yang keemasan. Ia menghabiskan setumpuk lobak tumbuk,
serta gulai labu kuning. Kemudian, ia menghela napas dan memasangkan serbet
makannya lebih dalam pada pinggangnya yang merah. Dan, ia makan buah plum yang
diawetkan, selai buah arbei, agar-agar buah anggur, dan acar biji semangka. Ia
merasakan perutnya sangat kenyang. Perlahan-lahan ia memakan sepotong besar kue
labu.

Ia mendengar Ayah berkata kepada Pak Corse, "Anak-anak Hardscrabble siang


tadi datang ke sekolah, Royal mengatakannya kepadaku."

"Ya," kata Pak Corse. "Kudengar mereka mengatakan akan melemparmu keluar."

Pak Corse berkata, "Kurasa mereka akan mencobanya."

Ayah meniupi teh di atas cawan. Ia menyeruputnya, kemudian mengeringkan cawan


dan menuangkan teh sedikit lagi ke atasnya.

"Mereka sudah mengusir dua orang guru." katanya. "Tahun yang lalu mereka
melukai Jonas Lane begitu parah sehingga kemudian ia meninggal."

"Aku tahu," kata Pak Corse. "Aku dan Jonas Lane bersekolah bersama-sama. Ia
sahabatku." Ayah tidak mengatakan apa-apa lagi.

MALAM MUSIM DINGIN

SETELAH makan malam Almanzo merawat mokasinnya. Setiap malam ia duduk dekat
tungku dapur dan menggosok mokasin dengan lemak. Ia memegangi mokasin ke dekat api
yang panas dan menggosokkan lemak yang meleleh ke kulit mokasin dengan telapak
tangannya. Mokasinnya akan tetap lembut dan enak dipakai, juga menjaga kakinya agar
tetap kering, selama kulitnya diminyaki baik-baik. Jadi, ia tidak berhenti
menggosok ketika mokasin tidak banyak lagi menyerap lemak.

Royal juga duduk dekat tungku dan meminyaki sepatu botnya. Almanzo belum
mempunyai sepatu bot. Ia harus memakai mokasin karena ia masih kecil. Ibu dan anak-
anak perempuan mencuci piring dan membersihkan dapur. Di bawah, di ruang bawah
tanah yang besar, Ayah memotong-motong wortel dan kentang untuk makanan sapi
keesokan harinya.
Setelah ini selesai dikerjakan, Ayah naik tangga ruang bawah tanah lagi,
membawa seguci besar sider manis dan sepanci apel. Royal mengambil alat pembuat
berondong jagung dan sepanci jagung. Ibu menutup api di dapur dengan abu. Setelah
semua orang meninggalkan dapur, ia memadamkan lilin.

Mereka semua duduk dengan nyaman dekat tungku pemanas besar yang terpasang di
dinding ruang makan. Di bagian belakang tungku, ada ruang tamu dan tidak seorang
pun masuk ke sana kecuali kalau ada tamu. Tungku ini sangat bagus, menghangatkan
ruang makan dan ruang tamu, cerobongnya menghangatkan kamar tidur di atas, dan
seluruh puncaknya merupakan sebuah oven.

Royal membuka pintunya yang terbuat dari besi dan dengan pengorek abu ia
memecahkan kayu yang sudah menjadi arang sehingga menjadi bara pijar yang kecil-
kecil. Ia memasukkan tiga genggam jagung ke dalam alat pembuat berondong yang
terbuat dari kawat, dan mengguncangkan alat pembuat berondong ini di atas bara.

Tidak lama kemudian jagung mulai meletup, kemudian yang lain, kemudian tiga
atau empat bersama-sama, dan seketika ratusan butir jagung meletup bersama-sama.

Waktu panci yang besar sudah penuh dengan berondong jagung yang besar-besar
dan putih, Alice menuang mentega ke atasnya dan mengaduk serta menggaraminya.
Berondong ini panas dan renyah, sangat lezat karena diberi mentega dan garam, dan
setiap orang boleh makan semaunya.

Ibu merajut sambil bergoyang-goyang di atas kursi goyang bersandaran tinggi.


Ayah dengan hati-hati menggosok tangkai kapak yang baru dengan sepotong pecahan
kaca.

Royal meraut rantai yang terbuat dari kayu pinus. Alice duduk di atas bantal,
membuat bordiran dengan benang wol.

Mereka makan berondong jagung dan apel serta minum sider manis, kecuali Eliza
Jane. Eliza Jane membaca keras-keras berita dalam surat kabar mingguan New York.

Almanzo duduk di atas bangku rendah dekat tungku. Sebuah apel di tangannya,
semangkuk berondong jagung di sisinya, dan secangkir sider dekat perapian di sisi
kakinya. Ia menggigit apel yang manis, kemudian makan beberapa buah berondong
jagung, dan minum seteguk sider. Ia memikirkan berondong jagung.

Berondong jagung adalah makanan khas Amerika. Sebelumnya, tidak ada yang
mengenal berondong jagung, kecuali bangsa Indian, sampai ada pendatang yang
menginjakkan kaki di Benua Amerika. Pada acara Thanksgiving yang pertama, bangsa
Indian diundang untuk makan bersama. Mereka pun datang dan menuangkan ke atas meja
sekantung besar berondong jagung. Para pendatang tidak tahu benda apa itu. Orang
Indian telah membuat berondong jagung, tetapi mungkin tidak begitu enak. Mungkin
mereka tidak memberinya mentega atau garam, dan berondong ini sudah dingin serta
keras setelah mereka membawanya ke mana-mana, dalam kantung kulit.

Almanzo memandangi setiap butir berondong sebelum memakannya. Semua bentuknya


berbedabeda. Ia sudah memakan ribuan genggam berondong jagung dan belum pernah
menemukan dua butir yang serupa. Kemudian ia memikirkan seandainya ia punya susu,
ia akan makan berondong jagung dan susu.

Kita dapat mengisi satu gelas penuh dengan susu dan mengisi gelas lain yang
ukurannya sama penuh dengan berondong jagung. Kemudian kita dapat memasukkan semua
berondong jagung satu demi satu ke dalam susu, dan susunya tidak tumpah. Kita tidak
dapat melakukan ini dengan roti. Hanya berondong jagung dan susu saja dua benda
yang dapat dimasukkan ke dalam satu tempat.
Selain itu, berondong jagung dan susu juga enak dimakan. Namun, Almanzo tidak
begitu lapar dan ia tahu bahwa ibunya tidak ingin panci susunya diganggu. Kalau
susu diganggu waktu menteganya sedang naik, menteganya tidak akan cukup tebal.
Jadi, Almanzo makan apel satu lagi dan minum sider dengan berondong jagung, dan
tidak mengatakan apa-apa tentang berondong jagung dan susu.

Ketika lonceng berdentang sembilan kali, waktu tidur pun telah tiba. Royal
menyingkirkan rantainya dan Alice meletakkan bordirannya. Ibu menusukkan jarum ke
dalam segulung benang dan Ayah memutar jam lonceng yang tinggi. Ia memasukkan
sepotong kayu lagi ke dalam tungku dan memasang penutupnya. "Malam ini sangat
dingin," kata Pak Corse.

"Empat puluh derajat di bawah nol," kata Ayah, "Dan, menjelang pagi akan
lebih dingin lagi."

Royal menyalakan sebatang lilin dan Almanzo mengikutinya terkantuk-kantuk ke


tangga. Hawa dingin di tangga membuat rasa kantuknya lenyap seketika. Ia lari
menaiki tangga. Kamar tidur begitu dingin sehingga ia hampir-hampir tidak dapat
membuka kancing pakaiannya dan memakai pakaian tidur wol yang panjang serta topi
tidurnya. Seharusnya ia berlutut untuk mengucapkan doa, tetapi ini tidak
dilakukannya. Hidungnya sakit sekali karena hawa dingin dan giginya gemeletuk. Ia
cepat-cepat naik ke tempat tidur yang kasurnya berisi bulu angsa di antara selimut,
dan menarik selimut sampai ke atas hidungnya.

Tahu-tahu ia tersadar waktu lonceng di bawah berbunyi dua belas kali.


Kegelapan menekan mata dan kepalanya, dan rasanya seperti penuh dengan jarum es
yang kecil-kecil. Ia mendengar seseorang bergerak di bawah, kemudian pintu dapur
membuka dan menutup. Ia tahu bahwa ayahnya pergi ke kandang.

Bahkan kandang yang besar-besar tidak dapat menampung semua kekayaan Ayah
yang terdiri atas ternak sapi jantan, kuda, babi, anak sapi, dan biri-biri. Dua
puluh lima ekor sapi muda harus tidur di kolong kandang. Kalau mereka berbaring
diam-diam di sepanjang malam, pada malam yang sedingin ini, mereka akan membeku
dalam tidurnya. Jadi, pada waktu tengah malam, dalam hawa dingin yang menusuk
tulang, Ayah bangun dari tempat tidurnya yang hangat dan pergi untuk membangunkan
mereka.

Di luar, dalam malam yang gelap dan dingin, Ayah membangunkan semua sapi
muda. Ia melecutkan cambuk dan berlari-lari di belakang mereka, berkeliling
lapangan. Ia membuat mereka terus berlari-lari sampai badan mereka hangat.

Almanzo membuka matanya lagi dan dilihatnya lilin berkedip-kedip di atas


meja. Royal sedang berpakaian. Napasnya membeku putih di udara. Cahaya lilin
remang-remang, seakan-akan kegelapan berusaha memadamkannya.

Tiba-tiba Royal sudah tidak ada lagi. Sinar lilin sudah tidak dilihatnya dan
Ibu memanggil dari bawah tangga, "Almanzo! Ada apa? Apakah kau sakit? Ini sudah
pukul lima!"

Ia merayap keluar tempat tidur, menggigil. Ia memakai celana dan bajunya,


lalu lari ke bawah untuk memasang kancingnya dekat tungku dapur. Ayah dan Royal
sudah pergi ke kandang. Almanzo mengambil ember susu dan cepat-cepat keluar.

Malam tadi seakan sangat panjang dan tenang, dan bintang-bintang berkedip-
kedip seperti salju beku di langit yang hitam.

Setelah pekerjaan selesai dilakukan dan ia kembali bersama Ayah dan Royal ke
dapur yang hangat, makan pagi sudah hampir siap. Alangkah sedap baunya! Ibu sedang
menggoreng kue. Piring biru yang besar terletak di atas tungku yang panas, penuh
dengan sosis cokelat yang besar-besar dalam kuahnya yang kental.

Almanzo mencuci muka dan tangan cepat-cepat kemudian menyisir rambutnya.


Segera setelah Ibu selesai menyaring susu, semua duduk dan Ayah berdoa memohon
berkat sebelum makan pagi.

Untuk makan pagi ada bubur gandum dengan banyak susu kental dan gula mapel.
Juga ada kentang goreng dan kue gandum yang keemasan. Almanzo boleh makan sebanyak-
banyaknya, dengan sosis dan kuah atau dengan mentega dan sirop mapel. Selain itu,
ada buah yang diawetkan, selai serta agar-agar dan donat. Namun, Almanzo paling
menyukai kue apel yang berair banyak gula. Ia makan dua potong besar kue.

Kemudian, dengan kelepak topi menutup telinga untuk menghangatkan, syal


menutupi hidung, serta kotak makanan pada tangannya yang bersarung tangan, ia mulai
melangkah di jalan yang panjang menuju ke sekolah.

Sebenarnya, ia tidak ingin pergi ke sekolah. Ia tidak ingin menyaksikan waktu


anak-anak yang besar memukuli Pak Corse.

Namun, ia harus pergi ke sekolah karena umurnya hampir sembilan tahun.

MENDAPAT KEJUTAN

SETIAP tengah hari, para penarik kayu menuruni bukit Hardscrabble, dan anak-
anak mengikatkan kereta luncur mereka ke peluncur kereta salju yang mengangkut kayu
dan ikut meluncur sepanjang jalan. Namun, mereka tidak berani jauh-jauh, dan
kembali pada waktunya. Hanya Big Bill Ritchie dan teman-temannya saja yang tidak
memedulikan apakah Pak Corse akan menghukum mereka.

Suatu hari mereka pergi sampai lewat waktu istirahat. Saat mereka kembali
sambil menghentak-hentakkan kaki masuk ruang sekolah, mereka semua tersenyum kurang
ajar kepada Pak Corse. Pak Corse menunggu sampai mereka semua duduk. Kemudian ia
berdiri dengan muka pucat, dan berkata, "Kalau ini terjadi sekali lagi, aku akan
menghukum kalian." Semua tahu apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Waktu Royal dan Almanzo sampai ke rumah pada malamnya, mereka menceritakan
peristiwa ini kepada Ayah. Almanzo mengatakan bahwa ini tidak adil. Tubuh Pak Corse
tidak cukup besar bahkan untuk melawan salah seorang di antara anak-anak besar ini,
dan mereka semua akan mengeroyoknya.

"Sayang, aku tidak cukup besar untuk melawan mereka!" katanya.

"Nak, Pak Corse dibayar untuk mengajar di sekolah," jawab Ayah. "Dewan
sekolah cukup adil dan jujur kepadanya. Mereka sudah menceritakan kepadanya apa
yang akan dihadapinya. Ia menerima pekerjaan ini. Ini pekerjaannya, bukan
pekerjaanmu."

"Tetapi mungkin mereka akan membunuhnya!" kata Almanzo.

"Itu urusannya," kata Ayah. "Kalau seorang laki-laki menerima suatu


pekerjaan, ia harus melakukannya sampai selesai. Kalau Corse adalah laki-laki yang
sesuai dengan dugaanku, ia tidak akan berterima kasih kepada siapa pun yang ikut
campur."

Almanzo tidak dapat menahan dirinya untuk berkata lagi, "Ini tidak adil. Ia
tidak dapat melawan mereka berlima."

"Aku tidak akan heran kalau kau mendapat kejutan, Nak," kata Ayah.

"Sekarang, kalian anak-anak lekas bekerja. Pekerjaan ini tidak menunggu


semalaman."

Almanzo pun mulai bekerja dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Sepanjang pagi, sementara Almanzo memegangi bukunya, ia tidak dapat belajar.


Ia merasa ngeri memikirkan apa yang akan menimpa Pak Corse. Waktu kelas permulaan
dipanggil, ia tidak dapat membaca pelajarannya. Jadi, di waktu istirahat ia harus
tetap tinggal di kelas bersama anak-anak perempuan, dan ia ingin sekali rasanya
dapat mengalahkan Bill Ritchie.

Pada tengah hari, ia keluar untuk bermain, dan melihat Pak Ritchie, ayah
Bill, menuruni bukit di atas kereta saljunya yang penuh muatan. Semua anak laki-
laki berdiri di tempatnya mengawasi Pak Ritchie. Ia seorang laki-laki yang tinggi
besar dan kasar, dengan suara dan tawa yang keras. Ia sangat membanggakan Bill
karena Bill dapat memukuli guru dan merusak sekolah.

Tidak ada seorang pun yang lari untuk mengikatkan kereta luncur di belakang
kereta salju Pak Ritchie. Namun, Bill dan anak-anak besar lainnya naik ke atas
muatan kayu. Mereka naik kereta salju, sambil bercakap-cakap dengan suara keras,
sampai kereta salju membelok di tikungan jalan dan tidak kelihatan lagi. Anak-anak
lainnya tidak bermain-main lagi. Mereka berdiri dan membicarakan apa yang terjadi.

Waktu Pak Corse mengetuk jendela, mereka masuk sambil berdiam diri dan tanpa
suara duduk di tempat masing-masing.

Siang itu tak seorang pun dapat memahami pelajarannya. Pak Corse memberikan
pelajaran demi pelajaran, dan mereka semua duduk diam-diam. Namun, tidak seorang
pun dapat menjawab pertanyaannya. Walaupun demikian, Pak Corse tidak menghukum
seorang pun. Ia berkata, "Kita akan mengulangi pelajaran ini lagi besok pagi."

Semua murid tahu bahwa besok pagi Pak Corse sudah tidak ada lagi. Salah
seorang anak perempuan kecil mulai menangis, kemudian tiga atau empat orang lagi
menundukkan kepala di atas bangku dan tersedu-sedu. Almanzo duduk diam-diam dan
melihat ke buku pelajarannya.

Beberapa waktu kemudian Pak Corse memanggilnya ke meja tulis, untuk


mengetahui apakah sekarang ia sudah dapat membaca pelajarannya. Almanzo mengetahui
setiap kata yang harus dibacanya. Namun, tenggorokannya terasa tersumbat sehingga
tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia berdiri memandangi halaman bukunya
sementara Pak Corse menunggu. Kemudian ia mendengar anak-anak yang besar datang.

Pak Corse berdiri dan memegang bahu Almanzo dengan tangannya yang kurus. Ia
membalikkan badan Almanzo dan berkata.

"Kembalilah ke tempat dudukmu, Almanzo." Dalam ruang kelas sunyi-senyap.


Semua menunggu. Anak-anak yang besar berjalan di jalan setapak dan masuk dengan
suara ribut, berteriak-teriak, dan saling mendorong temannya. Pintu terbanting
membuka, dan Big Bill Ritchie melangkah masuk. Anak-anak besar lainnya menyusul di
belakangnya.
Pak Corse memandangi mereka dan tidak mengatakan apa pun. Bill Ritchie
tertawa di mukanya. Namun, Pak Corse masih diam saja. Anak-anak yang besar
mendorong Bill, dan ia tertawa lagi kepada Pak Corse. Kemudian, ia memimpin mereka
semua berjalan dengan suara ribut sepanjang lorong ke tempat duduk mereka.

Pak Corse membuka penutup lemari meja tulisnya dan memasukkan sebelah
tangannya. Ia berkata, "Bill Ritchie, kemarilah."

Big Bill melompat berdiri dan membuka jaketnya, berteriak, "Ayo, kawan-
kawan!" Ia menghambur sepanjang lorong. Almanzo merasakan perutnya sakit. Ia tidak
ingin melihat. Namun, ia tidak dapat mengalihkan pandangannya.

Pak Corse melangkah menjauhi meja tulisnya. Tangannya keluar dari balik meja
tulis, dan sebuah cambuk hitam yang panjang mendesis di udara.

Ini adalah cambuk ular hitam yang biasa dipakai untuk mencambuk sapi jantan
sepanjang hampir lima meter. Pak Corse memegangi pegangannya yang pendek, berisi
besi, yang dapat membunuh seekor sapi. Cambuknya yang panjang dan kecil membelit
kaki Bill, dan Pak Corse merenggutkannya. Bill terhuyung-huyung dan hampir jatuh.
Cepat seperti kilat hitam cambuk membelit, melecut, dan menggulung kembali, dan
sekali lagi Pak Corse menyentakkannya.

"Ke sini, Bill Ritchie," katanya, menyentakkan Bill ke arahnya, dan melangkah
mundur.

Bill tidak dapat menjangkaunya. Cambuk semakin cepat mendesis dan melecut,
membelit dan menyentak dan semakin cepat. Pak Corse melangkah mundur, menyentakkan
Bill sampai hampir terangkat dari kakinya. Mereka berputar-putar di ruangan kosong
di muka meja tulis. Cambuk terus membelit dan menyentakkan Bill, dan Pak Corse
terus melangkah ke belakang dan mencambuk.

Celana Bill sudah tembus, kemejanya robek-robek, dan lengannya berdarah kena
lecutan cambuk. Cambuk terus melecut dan mendesis, begitu cepatnya sehingga tidak
kelihatan. Bill menghambur ke depan, dan lantai bergetar waktu cambuk
menyentakkannya sampai ia jatuh terlentang. Ia bangkit berdiri sambil menyumpah-
nyumpah dan mencoba mengambil kursi guru, untuk melemparkannya. Namun, cambuk
menyentakkan lagi. Ia mulai meraung seperti anak sapi. Mulutnya mengoceh tidak
keruan dan meminta ampun.

Cambuk masih terus mendesis, membelit, menyentak. Sedikit demi sedikit cambuk
menyentakkan Bill sampai ke pintu. Pak Corse melemparkannya keluar pintu, lalu
menutup dan mengunci pintu. Berbalik dengan cepat, Pak Corse berkata, "Sekarang,
John, kau ke sini."

John berdiri di antara deretan bangku, terbelalak. Ia berbalik dan mencoba


lari, tetapi Pak Corse melangkah dengan cepat, menangkapnya dengan cambuk dan
menyentakkannya ke depan.

"Aduh, jangan. Jangan, Pak Guru!" rengek John. Pak Corse tidak menjawab. Ia
terengah-engah dan keringat menetes-netes dari pipinya. Cambuk melecut dan
mendesis, menyentakkan John ke pintu. Pak Corse melemparkannya keluar dan menutup
pintu, kemudian membalikkan badan.

Anak-anak besar lainnya sudah membuka jendela. Satu, dua, tiga, mereka
melompat keluar ke salju yang tebal dan melarikan diri.

Pak Corse menggulung cambuk dengan rapi kembali dan menaruhnya di dalam meja
tulis. Ia menyeka mukanya dengan sapu tangan, merapikan kemejanya, lalu berkata,
"Royal, tolong tutupkan jendela."
Royal berjingkat-jingkat ke jendela dan menutupnya. Kemudian Pak Corse
memberikan pelajaran berhitung. Namun, tidak seorang pun yang memahami pelajaran
ini. Sepanjang sisa sore hari itu, tidak ada yang mengetahui satu pelajaran pun.
Dan siang itu tidak ada waktu istirahat. Semua sudah melupakannya.

Almanzo hampir-hampir tidak dapat menunggu sampai sekolah usai dan ia dapat
keluar dengan anak-anak yang lain dan berteriak-teriak. Anak-anak besar sudah
dikalahkan! Pak Corse sudah mengalahkan gerombolan Bill Ritchie dari Permukiman
Hardscrabble!

Namun, Almanzo baru mengetahui persoalan yang paling penting setelah ia


mendengar ayahnya bercakap-cakap dengan Pak Corse pada waktu makan malam.

"Anak-anak tidak melemparkanmu keluar, Royal menceritakannya kepadaku," kata


Ayah.

"Tidak," kata Pak Corse. "Berkat cambuk ular hitammu."

Almanzo berhenti makan. Ia memandangi ayahnya. Jadi, selama itu ayahnya sudah
tahu. Yang mengalahkan Big Bill Ritchie adalah cambuk ular hitam milik ayahnya.
Almanzo yakin bahwa ayahnya adalah orang yang paling pintar di dunia, di samping
juga orang yang paling besar dan paling kuat.

Ayah terus bercerita. Ia mengatakan bahwa waktu anak-anak besar naik kereta
salju Pak Ritchie, mereka menceritakan kepada Pak Ritchie bahwa mereka akan
memukuli guru pada sore hari itu. Pak Ritchie berpikir bahwa itu lelucon yang baik.
Ia yakin sekali bahwa anak-anak akan melakukannya sehingga ia menceritakan kepada
semua orang di kota bahwa mereka sudah melakukannya. Dan dalam perjalanan pulang,
ia berhenti untuk menceritakan kepada Ayah bahwa Bill habis memukuli Pak Corse dan
merusak sekolah lagi.

Almanzo bisa membayangkan betapa terkejutnya Pak Ritchie setelah sampai ke


rumah dan melihat keadaan Bill.

HARI ULANG TAHUN

KEESOKAN paginya, waktu Almanzo sedang makan bubur gandum, Ayah mengatakan
bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya. Almanzo sendiri sudah lupa. Jadi, pada
pagi yang dingin, di musim dingin, itu umurnya sembilan tahun.

"Ada sesuatu untukmu di gudang kayu," kata Ayah. Almanzo ingin segera
melihatnya. Namun Ibu mengatakan, bahwa kalau ia tidak memakan sarapannya, ia akan
sakit, dan harus minum obat. Kemudian ia makan terburu-buru sehingga Ibu berkata,
"Jangan menjejali mulutmu terlalu penuh."

Semua ibu memang biasa meributkan cara kita makan. Dengan cara apa pun, kita
hampir-hampir tidak dapat menyenangkan mereka.

Akhirnya, makan pagi selesai dan Almanzo bisa pergi ke gudang kayu. Di situ
ada sebuah kuk sapi yang kecil! Ayah membuatnya dari kayu sedar merah. Jadi, kuk
ini kuat, sekaligus ringan. Ini milik Almanzo sendiri, dan ayah berkata, "Ya, Nak.
Sekarang kau cukup besar untuk menjinakkan anak sapi."

Hari itu Almanzo tidak pergi ke sekolah. Ia tidak perlu pergi ke sekolah
kalau ada yang lebih penting untuk dilakukan. Ia membawa kuk kecil ke kandang, dan
Ayah pergi bersamanya. Almanzo berpikir kalau ia mengurus anak sapi dengan sebaik-
baiknya, mungkin Ayah akan mengizinkannya membantu mengurus anak kuda tahun depan.

Star dan Bright ada di dalam kandang mereka yang hangat di bangsal selatan.
Lambung mereka kecil, merah, dan halus seperti sutera karena selama ini dirawat
Almanzo baik-baik. Mereka berdesakan menyambutnya waktu ia pergi ke kandang, dan
menjilatinya dengan lidah yang basah dan kasar. Mereka mengira ia datang membawakan
wortel. Mereka tidak tahu bahwa ia akan mengajarkan kepada mereka bagaimana berlaku
seperti sapi jantan yang besar.

Ayah menunjukkan kepadanya cara memasangkan kuk dengan hati-hati pada leher
mereka yang lunak. Ia harus menggosok lengkungan dalamnya dengan sepotong pecahan
kaca, sampai kuk ini pas benar dan kayunya halus sekali. Kemudian, Almanzo
menurunkan palang kandang, dan kedua anak sapi yang keheranan itu mengikutinya ke
lapangan yang dingin, bersalju, dan menyilaukan.

Ayah memegangi sebuah ujung kuk sementara Almanzo meletakkan ujung lainnya
pada leher Bright. Kemudian Almanzo mengangkat gelang leher di bawah tenggorokan
Bright dan mendorongkan ujungnya melalui lubang yang dibuat pada kuk. Ia memasukkan
kancingnya yang terbuat dari kayu melalui satu ujung gelang leher, di atas kuk,
sehingga gelang leher terpasang di tempatnya.

Bright terus-menerus memutar kepalanya dan mencoba melihat benda aneh yang
ada pada lehernya. Namun, Almanzo sudah membuatnya begitu jinak sehingga ia berdiri
tenang, dan Almanzo memberinya sepotong wortel.

Star mendengar temannya mengunyah wortel dan datang untuk meminta jatahnya.

Ayah mendorongnya sampai berdiri di sisi Bright, di bawah kuk satunya dan
Almanzo mendorongkan gelang leher satunya di bawah tenggorokannya, lalu
mengancingkannya. Nah, sekarang kuknya sudah terpasang.

Kemudian Ayah mengikatkan tali pada tanduk Star dan Almanzo memegang talinya.
Ia berdiri di depan kedua anak sapi dan berseru, "Hia!"

Star menjulurkan lehernya makin panjang. Almanzo menghela, sampai akhirnya


Star melangkah ke depan, Bright mendengus dan bertahan. Kuk memilin kepala Star dan
menghentikannya, dan kedua anak sapi berdiri keheranan memikirkan apa sebenarnya
yang terjadi.

Ayah membantu Almanzo mendorong mereka, sampai mereka berdiri berdampingan


dengan baik kembali.

Kemudian ia berkata. "Nah, Nak. Terserah bagaimana caramu melatih kedua sapi
ini." Kemudian ia pergi ke bangsal.

Waktu itu Almanzo sadar bahwa ia benar-benar sudah cukup besar untuk
melakukan hal penting, tanpa dibantu.

Ia berdiri di salju dan memandangi kedua anak sapi, dan mereka menatap
kebingungan kepadanya. Almanzo tidak tahu bagaimana cara mengajarkan kepada mereka
apa arti kata "Hia!" Tidak ada cara apa pun untuk mengatakan ini kepada mereka.
Namun, ia harus menemukan cara untuk mengatakan kepada mereka. "Kalau aku
mengatakan, 'Hia6' Kalian harus berjalan lurus ke depan."
Almanzo berpikir sebentar. Kemudian ia meninggalkan kedua anak sapi dan pergi
ke kotak makanan sapi. Diisinya kedua saku mantelnya dengan wortel. Ia kembali dan
berdiri agak jauh di depan kedua sapi, memegangi ujung tali dengan tangan kirinya.
Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam saku mantel. Kemudian ia berseru, "Hia!" dan
menunjukkan kepada Star dan Bright sebatang wortel di tangannya.

Mereka pun datang mendekatinya dengan bersemangat.

"Hup!" Almanzo berseru waktu mereka sampai kepadanya, dan mereka berhenti
untuk mengambil wortel. Ia memberi mereka masing-masing sepotong. Setelah mereka
selesai makan, ia mundur lagi, memasukkan tangan ke dalam sakunya, dan berseru,
"Hia!"

Sungguh mengherankan begitu cepatnya mereka mempelajari bahwa "Hia!" berarti


maju ke depan, dan "Hup!" berarti berhenti. Mereka berlaku seperti sapi dewasa
waktu Ayah keluar dari pintu kandang dan berkata, "Itu sudah cukup, Nak."

Almanzo berpendapat bahwa itu belum cukup. Namun, tentu saja ia tidak dapat
menentang ayahnya.

"Anak sapi akan murung dan tidak menuruti perintahmu kalau kau menyuruh
mereka bekerja terlalu lama pada waktu permulaan," kata Ayah. "Di samping itu, ini
sudah waktunya makan."

Almanzo hampir-hampir tidak percaya. Seluruh pagi itu rasanya hanya satu
menit.

Ia mencabut kancing gelang leher, menurunkan gelang, dan mengangkat kuk dari
leher anak sapi. Kemudian, ia memasukkan Star dan Bright ke dalam kandang mereka
yang hangat. Setelah itu, ayah menunjukkan kepadanya bagaimana cara menyeka gelang
leher dan kuk dengan rumput yang bersih, dan menggantungkannya pada sangkutan di
dinding. Ia harus selalu membersihkan dan mengeringkan kuk. Kalau tidak, leher sapi
akan lecet.

Di bangsal kuda, ia berhenti sebentar untuk melihat-lihat anak kuda. Ia


menyukai Star dan Bright. Namun, anak sapi lamban dan kikuk dibandingkan dengan
anak kuda yang ramping dan lincah. Cuping hidung mereka bergetar waktu mereka
bernapas, telinga mereka bergerak cepat seperti burung.

Mereka menggoyangkan kepala dan mengibaskan surai, serta menggaruk-garuk


dengan kaki mereka yang ramping, dan mata mereka penuh semangat.

"Aku ingin sekali membantu menjinakkan anak kuda," kata Almanzo.

"Itu pekerjaan laki-laki dewasa, Nak," kata Ayah. "Satu kesalahan kecil saja
akan merusak anak kuda yang baik."

Almanzo tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia pergi sambil berdiam diri masuk ke
rumah.

Rasanya aneh sekali makan sendirian bersama Ayah dan Ibu. Mereka makan di
meja dapur, karena hari itu yang makan tidak begitu banyak. Dapur sangat terang
oleh cahaya yang dipantulkan salju dari luar. Lantai dan meja digosok sampai putih
dengan batu apung dan pasir. Panci kaleng berkilap-kilap putih seperti perak, dan
panci tembaga bersinar-sinar seperti emas di dinding. Ketel teh mendengung, dan
bunga geranium di jendela lebih merah daripada gaun ibu.

Almanzo merasa lapar sekali. Ia makan diam-diam, sibuk mengisi perutnya yang
kosong, sementara Ayah dan Ibu bercakap-cakap. Setelah mereka selesai makan, Ibu
berdiri dan mulai memasukkan piring-piring ke dalam tempat cuci piring.

"Kau mengisi kotak kayu, Almanzo," kata Ibu. "Setelah itu ada lagi yang dapat
kaulakukan."

Almanzo membuka pintu gudang kayu dekat tungku. Di situ, tepat di mukanya,
dilihatnya sebuah kereta luncur baru!

Ia hampir-hampir tidak percaya bahwa kereta luncur itu untuk dirinya. Kuk
anak sapi adalah hadiah hari ulang tahunnya. Ia bertanya,

"Kereta luncur siapa itu, Yah? Apakah ini untukku?"

Ibu tertawa dan ayah mengedipkan matanya sambil bertanya, "Kau mengenal anak
umur sembilan tahun lainnya yang menginginkan kereta luncur?"

Kereta luncur ini sangat indah. Ayah membuatnya dari kayu hikori. Bentuknya
panjang dan ramping, dan kelihatannya dapat meluncur dengan cepat. Alat peluncurnya
yang juga terbuat dari kayu hikori ditekuk menjadi lengkungan yang sangat bagus.
Almanzo mengelus-elus kayu yang halus dan berkilap-kilap. Kereta luncur ini
dipernis begitu sempurna sehingga ia bahkan tidak dapat merasakan bagian atas paku
kayunya. Ada palang di antara peluncur, untuk meletakkan kakinya.

"Pergilah kau bermain!" kata Ibu sambil tertawa. "Bawalah kereta luncur itu
ke luar ke tempat yang semestinya."

Di luar udara dingin sampai empat puluh derajat di bawah nol. Namun, matahari
bersinar, dan sepanjang sore Almanzo bermain dengan kereta luncurnya. Tentu saja
kereta luncur ini tidak mau meluncur di atas salju yang lunak dan dalam. Namun, di
jalan peluncur kereta salju membuat dua jejak yang keras dan halus. Di puncak bukit
Almanzo mulai mendorong kereta luncurnya dan tengkurap di atasnya, kemudian dia
meluncur ke bawah.

Sayang sekali jejak peluncur membelok dan sempit, maka entah kapan ia pasti
akan jatuh ke timbunan salju. Benar saja, kereta salju keluar dari jalannya, dan
Almanzo terlempar. Namun, ia bangkit kembali, dan mendaki bukit lagi.

Beberapa kali ia masuk ke rumah untuk mengambil apel, donat, dan kue. Di
bawah masih hangat dan kosong. Di atas terdengar berdetak-detak alat tenun Ibu.
Almanzo membuka pintu gudang kayu dan mendengar bunyi lunak pisau penyerut, dan
bunyi papan kayu yang dibalik.

Ia naik tangga ke ruang kerja Ayah di loteng. Sarung tangannya tergantung


dengan tali pada lehernya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah donat, dan pada
tangan kirinya dua buah kue. Ia menggigit donat dan kemudian menggigit kue.

Ayah sedang duduk di ujung bangku penyerut, dekat jendela. Bangku ini miring
ke atas ke arahnya, dan pada puncak yang miring, tegak alat penjepit kayu. Di
sebelah kanannya ada setumpuk kayu kasar yang sudah dibelah dengan kapak dari
batang kayu eik.

Ia mengambil selembar papan, meletakkan ujungnya pada penjepit kayu, kemudian


meletakkan penyerut di atasnya. Dengan penyerut ini, papan dihaluskan, bagian
atasnya ditipiskan, lebih tipis daripada bagian bawahnya. Ayah membalik papan ini.
Bagian ini pun diserutnya, dan papan selesai dihaluskan. Ayah meletakkan papan ini
di atas tumpukan papan yang sudah jadi, kemudian memasang papan kasar lainnya pada
penjepit kayu.

Tangan ayah bergerak dengan cepat dan lancar. Tangannya tidak berhenti bahkan
saat ia mengangkat muka dan mengedipkan mata kepada Almanzo.

"Kau sudah cukup bersenang-senang, Nak?" tanya Ayah.

"Ayah, boleh aku melakukannya juga?" kata Almanzo.

Ayah menggeser mundur duduknya supaya Almanzo dapat duduk di depannya.


Almanzo duduk juga di bangku, dan memasukkan sisa donat ke dalam mulutnya. Ia
memegang tangkai pisau yang panjang dan dengan hati-hati menyerut papan kayu.
Ternyata, ini tidak semudah kelihatannya. Jadi, Ayah meletakkan tangannya yang
besar di atas tangannya dan bersama-sama mereka menyerut papan sampai halus.
Kemudian, Almanzo membalik papan, dan mereka menyerut sisi sebaliknya. Hanya itu
yang ingin dilakukannya. Ia turun dari bangku dan pergi untuk melihat pekerjaan
ibu.

Ibu sedang bekerja di depan alat tenun. Sekoci meluncur hilir-mudik dari
tangan kanan ke tangan kirinya dan kembali lagi, di antara deretan benang, dengan
cepat deretan benang saling bersilang, menangkap benang yang ditinggalkan oleh
sekoci.

Klik, klak! Klik, klak! Bunyi sekoci tenun. Klak! Bunyi palang, dan sekoci
meluncur kembali.

Ruang kerja ibu besar dan terang, serta hangat dari cerobong asap tungku
pemanas. Kursi goyang Ibu yang kecil ada di dekat jendela, dan di sebelahnya ada
sekeranjang guntingan kain. Di sudut berdiri alat pemintal yang tidak terpakai.
Sepanjang dinding ada rak-rak yang penuh dengan kumparan berisi benang berwarna
cokelat, biru, dan kuning, yang dicelup oleh Ibu pada musim panas yang lalu.

Namun, kain yang sedang ditenun Ibu berwarna abu-abu. Ibu menenun wol dari
biri-biri putih yang belum dicelup dan wol dari biri-biri hitam, yang dipintal
bersama-sama.

"Itu untuk apa?" tanya Almanzo.

"Jangan menunjuk, Almanzo," kata Ibu. "Itu bukan tingkah laku yang baik." Ibu
berbicara keras-keras, mengatasi bunyi alat tenun

"Itu untuk siapa?" tanya Almanzo, kali ini tidak menunjuk.

"Royal. Ini untuk membuat pakaian Akademi," kata Ibu.

Pada musim dingin yang akan datang, Royal akan masuk Akademi di Malone, dan
Ibu sedang menenun kain untuk pakaiannya yang baru.

Demikianlah, semuanya serba rapi dan menyenangkan di dalam rumah. Almanzo


turun ke bawah dan mengambil dua buah donat lagi dari stoples tempat donat,
kemudian bermain-main di luar lagi dengan kereta luncurnya.

Rasanya begitu cepat bayangan menggelapkan lereng sebelah timur. Ia harus


menyimpan kereta luncurnya dan membantu memberikan air minum untuk ternak sebab
sudah tiba waktu bekerja.

Sumur cukup jauh dari kandang. Sebuah rumah kecil berdiri di atas pompa, dan
air mengalir deras ke bak melalui dinding dan ke dalam bak tempat air besar di
luar. Bak air ini berlapis es dan pegangan pompa sangat dingin sehingga rasanya
dingin kalau disentuh dengan jari telanjang.

Anak-anak laki-laki kadang-kadang menantang anak lainnya untuk menjilat


tangkai pompa dalam cuaca dingin. Almanzo sudah cukup cerdik untuk tidak menerima
tantangan ini. Lidah bisa membeku dan menempel ke besi dan orang bisa mati
kelaparan atau merenggutkan lidahnya sampai sebagian tertinggal pada tangkai pompa.

Almanzo berdiri di dalam rumah pompa yang dingin dan ia memompa dengan
segenap kekuatannya, sementara Ayah menuntun kuda ke bak air di luar. Mula-mula
Ayah menuntun kuda penarik kereta, dan anak-anak kuda mengikuti induknya. Kemudian,
ia mengeluarkan anak kuda yang lebih tua, satu per satu. Anak-anak kuda ini belum
dijinakkan sebaik-baiknya. Mereka melompat-lompat dan merenggut-renggutkan tali
pengikatnya, karena merasa dingin. Namun, Ayah memegangi tali erat-erat dan tidak
membiarkan seekor pun terlepas.

Selama itu pula Almanzo memompa secepat-cepatnya. Air mengalir deras keluar
dari pompa, dan kuda menjulurkan hidungnya yang kedinginan ke air serta meminumnya
cepat-cepat.

Kemudian Ayah mengambil tangkai pompa. Ia memompa air sampai bak besar penuh,
lalu pergi ke kandang dan mengeluarkan semua sapi.

Sapi tidak perlu dituntun ke air. Mereka mau datang sendiri ke bak air dan
minum, sementara Almanzo memompa. Kemudian, mereka cepat-cepat pulang lagi ke
kandang yang hangat, dan masing-masing pergi ke tempatnya sendiri-sendiri. Setiap
sapi kembali ke kandangnya sendiri dan memasukkan kepalanya ke lubang tempat
makanan. Mereka tidak pernah membuat kesalahan.

Mungkin ini karena mereka memiliki kesadaran yang lebih besar daripada kuda,
atau kesadaran mereka sedikit sekali sehingga mereka melakukan segala-galanya
menurut kebiasaan. Entahlah, Ayah tidak tahu.

Almanzo mengambil garpu rumput dan mulai membersihkan kandang. Sementara itu,
Ayah menakar gandum dan kacang, lalu memasukkannya ke dalam kotak makanan. Royal
datang dari sekolah, dan mereka semua menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama
seperti biasa. Hari ulang tahun Almanzo sudah berakhir.

Almanzo berpikir bahwa ia pasti harus berangkat sekolah keesokan harinya.


Namun, malam itu Ayah mengatakan bahwa sudah tiba waktunya untuk memotong es.
Almanzo dapat tinggal di rumah untuk membantu. Demikian pula Royal.

MENGISI RUMAH ES

CUACA begitu dingin sehingga salju terasa seperti pasir kalau diinjak. Air
sedikit yang dipercikkan ke udara turun ke tanah seperti bola es kecil-kecil.
Bahkan di sisi selatan rumah, di tengah hari salju tidak melunak. Ini cuaca yang
sempurna untuk memotong es, karena waktu balok es diangkat dari kolam, tidak ada
air yang akan menetes. Air seketika akan membeku.

Matahari sudah terbit, dan semua lereng sebelah timur yang diliputi salju
tampak kemerahan kena cahayanya. Almanzo bergelung di bawah mantel kulit berbulu
tebal di antara ayah dan Royal di kereta salju yang besar, dan mereka pergi ke
kolam di Sungai Trout.

Kuda mengayunkan langkahnya dengan cepat, menggoyangkan giring-giring kecil


sampai berbunyi gemerincing. Napas mereka keluar menjadi embun dari lubang hidung,
dan peluncur kereta salju bergerit-gerit di atas salju yang keras. Udara yang
dingin menyakitkan bagian dalam hidung Almanzo, tetapi setiap saat matahari
bersinar semakin terang, menyinari kilatan merah dan hijau yang kecil-kecil dari
salju, dan di seluruh hutan banyak cahaya putih yang dipancarkan dari es. Jarak
dari rumah ke kolam di tengah hutan ada satu setengah kilometer, dan sesekali ayah
turun untuk meletakkan tangannya di muka hidung kuda. Napas mereka membeku menutupi
lubang hidung, membuat mereka susah bernapas. Tangan ayah melelehkan salju beku,
dan mereka segera meneruskan perjalanan lagi.

French Joe dan Lazy john sedang menunggu di kolam waktu kereta salju mereka
datang. Mereka adalah dua orang Prancis yang tinggal di rumah kayu kecil di tengah
hutan. Mereka tidak pirnya pertanian. Mereka berburu, menangkap binatang dengan
perangkap, dan mengail. Mereka bernyanyi, melucu, dan menari. Mereka minum anggur
merah, bukannya sider. Kalau ayah membutuhkan orang upahan, mereka bekerja untuk
ayah dan ayah membayar mereka dengan daging asin dari tong yang disimpan dalam
ruang bawah tanah.

Mereka berdiri di atas kolam yang tertutup salju, mengenakan sepatu bot
panjang, jaket, dan topi kulit berbulu tebal dengan penutup telinga dari kulit
binatang berbulu tebal pula. Salju beku dari napas mereka melekat pada kumis mereka
yang panjang. Mereka masing-masing membawa kapak di atas bahunya. Mereka juga
membawa gergaji.

Gergaji ini panjang, dengan pegangan kayu pada kedua ujungnya. Dua orang
harus menarik gergaji ke sana kemari kalau memotong apa saja. Namun, mereka tidak
dapat memotong es dengan cara itu, karena es sangat padat di bawah kaki, seperti
lantai. Es ini tidak punya tepi untuk digergaji.

Waktu ayah melihat mereka, ia tertawa dan berseru, "Kalian sudah melemparkan
mata uang?" Semua orang tertawa, kecuali Almanzo. Ia tidak mamahami lelucon ini.
Jadi, French Joe menceritakan kepadanya.

"Dulu, ada dua orang Irlandia yang disuruh memotong es dengan gergaji.
Sebelumnya, mereka tidak pernah memotong es. Mereka melihat ke es dan kemudian ke
gergaji, sampai akhirnya salah seorang di antara mereka yang bernama Pat mengambil
sekeping mata uang dari sakunya dan berkata, Nah, Jamie. Sekarang biar adil. Kepala
atau ekor, siapa yang akan turun ke bawah?"

Setelah itu Almanzo tertawa, memikirkan orang yang akan turun ke air yang
gelap dan dingin di bawah es, untuk menarik satu ujung gergaji. Sungguh lucu ada
orang yang tidak mengerti cara memotong es.

Ia berjalan bersama yang lainnya melintasi es ke tengah kolam yang membeku.


Angin kencang bertiup, menerbangkan salju yang seperti kapas. Di atas air yang
dalam, lapisan es licin dan gelap, hampir bersih sama sekali dari salju. Almanzo
memperhatikan sementara Joe dan John membuat lubang segitiga pada lapisan es.
Mereka mengangkat pecahan es dan menyingkirkannya, sampai lubang penuh dengan air
yang terbuka.

"Tebal es kira-kira setengah meter," kata Lazy John.

"Kalau begitu, potonglah es setebal setengah meter," kata Ayah.

Lazy John dan French Joe berlutut di tepi lubang. Mereka menurunkan gergaji
ke dalam air dan mulai menggergaji. Tidak ada yang menarik ujung gergaji dari bawah
air.
Berdampingan mereka menggergaji dua celah yang lurus menembus es, dengan
lebar dan panjang masing-masing setengah meter. Kemudian, dengan kapak John dan
balok es selebar dua puluh inci, setebal dua puluh inci dan sepanjang dua puluh
inci muncul sedikit dari air dan terapung.

Dengan galah, John mendorong balok es ini ke arah lubang segitiga. Kemudian,
Joe menggergaji balok es setengah meter lagi. Ayah mengangkat kubus-kubus es ini
dengan penjepit es besar dari besi dan memuatnya ke atas kereta salju.

Almanzo lari ke tepi lubang, melihat orang menggergaji. Tiba-tiba, tepat di


tepi air, ia tergelincir. Ia merasakan dirinya jatuh ke air yang gelap. Tangannya
tidak dapat berpegangan pada apa pun. Ia tahu bahwa ia akan tenggelam dan terseret
ke bawah es yang keras. Arus air yang cepat akan menariknya ke bawah es, dan tak
seorang pun akan menemukannya. Ia akan terbenam, di bawah lapisan es dalam air yang
gelap.

French Joe menangkap Almanzo tepat pada waktunya. Ia mendengar teriakan dan
merasakan tangan yang kasar merenggutkannya dengan memegang satu kaki. Ia mendengar
suara berderak, kemudian ia berbaring menelungkup di atas es yang keras. Ia bangkit
berdiri. Ayah datang berlari-lari.

Ayah berdiri di atasnya, tinggi, besar, dan menakutkan.

"Kau harus dicambuk sekeras-kerasnya," kata Ayah.

"Ya, Ayah," bisik Almanzo. Ia sadar. Ia tahu bahwa seharusnya ia lebih


berhati-hati. Anak yang berumur sembilan tahun sudah cukup besar sehingga tidak
melakukan perbuatan yang bodoh karena tidak berpikir. Almanzo menyadari hal ini dan
merasa malu. Rasanya, ia mengerut sampai kecil sekali di dalam pakaiannya dan
kakinya gemetar, takut akan dicambuk. Cambukan ayah sakit sekali. Namun, ia tahu
bahwa ia patut dicambuk. Cambuk ada di atas kereta salju.

"Kali ini aku tidak akan mencambukmu," Ayah memutuskan. "Namun, kau harus
jauh-jauh, dari tepi air." bersama ayah dan Royal. Mereka pun kembali ke rumah es
dekat bangsal. Rumah es dibangun dari papan dengan celah-celah yang lebar. Bangunan
ini didirikan tinggi di atas tanah di atas balok kayu, dan kelihatan seperti sebuah
sangkar yang besar. Hanya lantai dan atapnya saja yang terbuat dari benda yang
keras. Di lantai ada timbunan serbuk gergaji, yang diangkut oleh Ayah dari
penggergajian kayu.

Dengan sekop Ayah menghamparkan serbuk gergaji setebal tujuh sentimeter di


lantai. Di atasnya, ia meletakkan kubus-kubus es, masing-masing berjarak delapan
sentimeter. Kemudian ia naik kereta salju kembali ke kolam, dan Almanzo bekerja
dengan Royal di rumah es.

Mereka mengisi setiap celah di antara kubus-kubus es dengan serbuk gergaji,


dan memadatkannya dengan tongkat kayu. Kemudian, mereka menyekop seluruh timbunan
serbuk gergaji di atas es, di sudut, dan kini mereka telah menutup semua lantai
dengan kubus-kubus es yang di atasnya dilapisi dengan serbuk gergaji. Kemudian
mereka menutup es dengan serbuk gergaji setebal tujuh sentimeter.

Mereka bekerja secepat-cepatnya. Namun, sebelum mereka selesai, Ayah sudah


datang dengan sekereta es lagi. Ia meletakkan selapis kubus es lagi dengan jarak
tujuh sentimeter, lalu pergi. Kedua anak ditinggalkan untuk mengisi setiap celah
dengan serbuk gergaji, lalu menebarkan serbuk gergaji di atasnya, kemudian menyekop
sisa serbuk gergaji lagi.

Mereka bekerja begitu keras sehingga gerakannya membuat tubuh mereka hangat.
Namun, lama sebelum tengah hari Almanzo sudah merasa kelaparan. Ia tidak dapat
berhenti bekerja cukup lama untuk lari ke rumah mengambil donat. Perutnya terasa
kosong sekali, dan rasanya seperti diremas-remas.

Ia berlutut di atas es, mendorong serbuk gergaji ke dalam celah-celah dengan


tangannya yang terbungkus sarung tangan. Serbuk gergaji dipadatkannya dengan
tongkat kayu secepat-cepatnya, dan ia bertanya kepada Royal.

"Apa yang paling kausukai untuk dimakan?" Mereka membicarakan daging iga,
kalkun, kacang panggang, roti jagung, dan makanan enak-enak lainnya. Namun, Almanzo
mengatakan bahwa yang paling disukainya di seluruh dunia adalah apel goreng dengan
bawang merah.

Tiba waktunya mereka masuk untuk makan, di atas meja terhidang sepiring besar
apel goreng! Ibu tahu apa yang paling disukai Almanzo, dan Ibu memasakkannya untuk
dirinya.

Almanzo makan apel goreng dengan bawang merah sampai tambah empat kali. Ia
makan daging sapi panggang dengan kuah cokelat, kentang tumbuk dan wortel, serta
lobak rebus, dan entah berapa iris roti mentega dengan selai apel.

"Anak yang sedang tumbuh makannya banyak sekali," kata Ibu. Ia meletakkan
seiris besar puding sarang burung pada piringnya yang kosong, lalu memberikan
segelas krim manis bercampur potongan buah pala.

Almanzo menuangkan krim yang kental di atas kue apel. Cairan cokelat yang
seperti sirop tampak di sekeliling krim. Almanzo mengambil sendok dan memakannya
sampai habis.

Kemudian sampai waktu bekerja tiba, ia dan Royal bekerja di dalam rumah es.
Sepanjang hari berikutnya mereka bekerja, demikian pula hari berikutnya lagi. Tepat
pada senja hari ketiga, Ayah membantu mereka menghamparkan lapisan serbuk gergaji
terakhir di atas kubus-kubus es yang paling atas, di puncak atap rumah es. Dan
pekerjaan ini pun selesailah sudah.

Terkubur di dalam serbuk gergaji, balok-balok es tidak akan meleleh dalam


cuaca musim panas yang paling panas. Mereka akan menggali es satu per satu, dan ibu
akan membuat es krim serta limun dan telur dingin.

MALAM MINGGU

MALAM itu adalah malam Minggu. Sepanjang hari Ibu memanggang, dan waktu
Almanzo masuk ke dapur membawa ember susu, Ibu masih menggoreng donat. Dapur penuh
dengan bau masakan yang panas, bau roti yang baru dipanggang, serta bau kue yang
baru dimasak.

Almanzo mengambil donat yang paling besar dari penggorengan dan menggigit
tepinya. Ibu sedang menggiling adonan yang keemasan, memotong-motongnya menjadi
panjang-panjang, menggulung, dan melipat serta memilin potongan-potongan ini.
Tangannya bekerja cepat, sehingga hampir-hampir tidak dapat dilihat. Potongan
adonan yang panjang seperti memilin sendiri di tangannya dan melompat sendiri ke
panci tembaga besar berisi lemak yang panas mendidih.
Plung! Adonan tenggelam ke dasar, mengeluarkan gelembung-gelembung udara.
Kemudian, dengan cepat adonan terapung kembali, perlahan-lahan menggembung, sampai
membalik sendiri. Bagian punggungnya yang keemasan masuk ke lemak dan perutnya yang
cokelat dan gemuk timbul.

Adonan ini membalik sendiri, kata Ibu, karena dipilin. Beberapa orang wanita
membuat donat dengan bentuk baru, yaitu bundar dengan lubang di tengahnya. Namun,
donat bundar tidak mau membalik sendiri. Ibu tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk
membalik donat. Lebih cepat memilin adonan.

Almanzo menyukai waktu membuat kue. Namun, ia tidak menyukai malam Minggu.
Pada malam Minggu, tidak ada senja yang menyenangkan dekat tungku pemanas dengan
apel, berondong jagung, dan sider. Malam Minggu adalah waktu untuk mandi. Setelah
makan malam, Almanzo dan Royal memakai kembali mantel, topi, selendang, serta
sarung tangan. Mereka membawa sebuah bak air dari luar ke tong air hujan.

Segala-galanya tertutup salju. Taburan bintang seakan membeku di langit dan


hanya cahaya yang remang-remang memancar dari lilin di dapur.

Bagian dalam tong air hujan berlapis es yang tebal, dan di bagian tengah yang
esnya dipecah setiap hari supaya tong tidak meletus, lubangnya makin lama makin
kecil. Royal memecahkannya, dan waktu parangnya menembus lapisan es, air dengan
cepat muncrat ke atas, sebab es menekan dari semua arah.

Sungguh aneh, air selalu membeku. Semua benda lainnya makin kecil dalam hawa
dingin.

Almanzo mulai memasukkan air dan potongan es yang terapung ke dalam bak air.
Ini adalah kerja yang lambat dan dingin, mengeluarkan air dan es melalui lubang
yang kecil, dan ia punya suatu gagasan.

Batangan es yang panjang-panjang tergantung dari cucuran atap dapur. Bagian


atasnya merupakan potongan es yang keras, kemudian batang es ini menggantung dengan
ujung ke bawah hampir sampai ke salju. Almanzo memegang salah sebuah batangan es
dan merenggutkannya, tetapi hanya ujungnya saja yang patah.

Parang sudah menempel beku di lantai tempat Royal meletakkannya. Namun,


Almanzo menariknya sampai terlepas. Ia mengangkatnya dengan dua tangan dan
memukulkannya ke batangan es. Batangan-batangan es berjatuhan dengan suara ribut.
Suaranya ramai sekali.

"Hei, berikan padaku!" kata Royal. Namun, Almanzo memukul batangan es lagi.
Suaranya lebih keras daripada sebelumnya.

"Kau lebih besar daripada aku. Kau pukul saja sendiri dengan tinju," kata
Almanzo. Jadi, Royal pun memukuli batangan-batangan es dengan kedua tinjunya.
Almanzo memukulkan parangnya lagi. Suaranya terdengar sangat ribut.

Almanzo berteriak, Royal berteriak, dan mereka memukuli batangan es lebih


banyak lagi. Potongan-potongan es yang besar-besar beterbangan dan jatuh ke lantai,
dan ada pula yang terlempar ke salju. Kini, beberapa bagian sepanjang cucuran atap
kelihatan ompong, seakan-akan kehilangan beberapa buah giginya.

Ibu membuka pintu dapur.

"Ya, ampun," jerjtnya. "Royal, Almanzo, kalian kesakitan?"

"Tidak, Bu," kata Almanzo, malu-malu.


"Ada apa? Apa yang kaulakukan?"

Almanzo merasa bersalah. Namun, sebenarnya mereka tidak bermain-main waktu


ada pekerjaan yang harus dilakukan.

"Mengambil es untuk air mandi, Bu," katanya.

"Namun, ribut benar suara yang kudengar! Apakah kalian harus berteriak-teriak
seperti orang Indian?"

"Tidak, Bu," kata Almanzo.

Gigi Ibu gemeletuk dalam hawa dingin, dan ia menutup pintu. Almanzo dan Royal
diam-diam mengambil batangan-batangan es yang jatuh dan mengisi bak air sambil
berdiam diri. Bak begitu berat sehingga mereka terhuyung-huyung waktu membawanya,
dan Ayah harus mengangkatnya ke atas tungku dapur.

Es meleleh sementara Almanzo meminyaki mokasinnya, dan Royal meminyaki sepatu


botnya. Di dapur, Ibu mengisi panci dengan kacang rebus, memasukkan bawang merah
dan lada serta potongan daging yang besar-besar, serta menuangkan gula tetes.
Kemudian Almanzo melihat Ibu membuka tong tepung. Ibu memasukkan tepung beras dan
tepung jagung ke dalam mangkuk kuning besar dan mengaduknya dalam susu dan telur,
serta menuangkan adonan ini ke dalam panci panggangan besar.

"Kau angkat adonan roti itu Almanzo. Jangan menumpahkannya," kata Ibu. Ibu
mengangkat panci berisi kacang dan Almanzo mengikuti perlahan-lahan membawa panci
yang berat. Ayah membuka pintu oven yang besar dalam tungku pemanas dan Ibu
memasukkan kacang dan roti ke dalamnya. Makanan ini akan terpanggang perlahan-lahan
dalam tungku, sampai waktu makan di hari Minggu.

Kemudian, Almanzo ditinggalkan sendirian di dapur untuk mandi. Pakaian


dalamnya yang kering digantungkan pada sandaran kursi untuk dianginkan dan
dihangatkan. Lap mandi, handuk, dan sabun ada di atas kursi lainnya. Ia mengambil
bak mandi lainnya dari gudang kayu dan menaruhnya di lantai di muka pintu oven yang
terbuka.

Ia membuka baju, kaus kaki, dan celananya. Kemudian ia menuangkan sedikit air
hangat dari bak di atas tungku ke dalam bak di lantai.

Ia membuka kaus kaki yang dipakai di bagian dalam serta pakaian dalamnya, dan
kulitnya yang telanjang terasa hangat terkena udara panas dari oven.

Badannya terasa panas dan ia berpikir alangkah enaknya memakai pakaian


dalamnya yang bersih dan tidak mandi sama sekali. Namun, Ibu akan melihatnya waktu
ia masuk ke ruang makan.

Jadi, ia melangkah ke dalam air. Air membasahi kakinya. Dengan jarinya, ia


mengambil sabun sedikit dan menyapukannya ke lap mandi. Kemudian ia menyabuni
tubuhnya.

Air terasa hangat pada jari kakinya, tetapi terasa dingin pada badannya.

Perutnya yang basah terasa panas oleh udara panas dari oven. Namun,
punggungnya yang basah menggigil.

Saat ia berbalik, punggungnya seakan melepuh, tetapi bagian depan badannya


terasa sangat dingin. Jadi, ia mandi secepat-cepatnya.
Kemudian ia mengeringkan badannya serta mengenakan pakaiannya, dan ia memakai
pakaian tidur wol yang panjang.

Kemudian, ia teringat pada telinganya. Ia mengambil lap mandi lagi dan


menggosok telinga serta belakang lehernya. Ia kemudian memakai topi tidurnya.

Kini, ia merasa badannya bersih dan lebih enak, dan kulitnya terasa licin di
dalam pakaian yang hangat dan bersih. Ini selalu dirasakannya setiap malam Minggu.

Rasanya memang enak. Namun, Almanzo tetap merasa enggan untuk mandi. Kalau
kemauannya dituruti, ia tidak akan mandi sampai musim semi tiba.

Ia tidak perlu mengosongkan baknya, karena kalau ia keluar rumah sesudah


mandi ia bisa kena selesma. Alice akan mengosongkan bak dan mencucinya sebelum ia
sendiri mandi di dalamnya. Kemudian Eliza Jane akan mengosongkan bak dari air yang
habis dipakai mandi oleh Alice, dan Royal akan mengosongkan air Eliza Jane, dan Ibu
akan mengosongkan air Royal. Di larut malam, Ayah akan membuang air yang habis
dipakai mandi oleh Ibu, dan ia sendiri mandi. Keesokkan harinya ia akan
mengosongkan bak untuk terakhir kalinya.

Almanzo masuk ke ruang makan dengan pakaian dalam yang bersih dan putih susu
serta kaus kaki dan pakaian serta topi tidur. Ibu memandanginya, dan ia menghampiri
ibu untuk diperiksa.

Ibu meletakkan jahitannya dan memeriksa telinga dan belakang leher Almanzo.
Ibu memandangi muka Almanzo yang bersih karena habis disabun, dan Ibu memeluknya.
"Nah! Sekarang pergilah kau tidur!"

Almanzo menyalakan sebatang lilin dan ia cepat-cepat naik tangga yang dingin
serta memadamkan lilin dan melompat ke kasur bulu yang empuk. Ia mulai berdoa.
Namun, ia sudah terlelap tidur sebelum menyelesaikannya.

MINGGU

WAKTU Almanzo masuk ke dapur keesokan harinya dengan membawa dua buah ember
penuh susu, Ibu sedang membuat panekuk susun karena hari itu adalah hari Minggu.

Piring besar yang biru ada di atas tungku, penuh dengan sosis yang besar-
besar. Eliza Jane sedang memotong-motong kue apel dan Alice sedang memasukkan bubur
gandum ke dalam piring, seperti biasa. Namun, piring biru kecil diletakkan di
belakang tungku supaya tetap panas, berisi sepuluh susun panekuk yang kelihatan
tinggi seperti menara.

Setelah sepuluh susun panekuk ini selesai dimasak, dengan cepat Ibu
menambahkan sepotong kue ke tiap-tiap susun serta memberinya mentega banyak-banyak
dan menyiramnya dengan gula mapel. Mentega dan gula meleleh bersama, membasahi kue
yang tebal-tebal, serta mengalir ke semua kue di bawahnya. Itulah yang namanya
panekuk susun. Almanzo lebih menyukai kue ini daripada jenis kue panekuk lainnya.

Ibu terus menggoreng kue sampai yang lain selesai makan bubur gandum. Ia
tidak pernah dapat memasak panekuk susun banyak-banyak. Mereka semua makan sesusun
demi sesusun, dan Almanzo masih terus makan saat Ibu mendorong kursinya ke belakang
dan berkata, "Ya ampun! Pukul delapan! Aku harus cepat-cepat!"

Ibu selalu cekatan. Kakinya bergerak cepat, demikian pula tangannya, sehingga
hampir-hampir tidak dapat diikuti gerakannya. Ia tidak pernah duduk di siang hari,
kecuali kalau menghadapi jentera pintal atau alat tenun. Namun, waktu itu pun
tangannya terus bergerak cepat, kakinya menggenjot, jentera pemintal berputar cepat
dan alat tenun terus berbunyi, klik, klak! klik, klak! Akan tetapi, pada Minggu
pagi, ia membuat semua yang lain juga tergesa-gesa.

Ayah mengerok dan menyikat kuda penghela yang berbulu cokelat sampai kulitnya
berkilap-kilap. Almanzo mengelap kereta salju dan Royal menyeka pakaian kuda yang
bertatahkan perak. Mereka memasang kuda ke kereta salju, kemudian masuk ke rumah
untuk mengenakan pakaian hari Minggu.

Ibu masih ada di dapur, memasak daging ayam untuk hari Minggu. Ia memasak
tiga ekor ayam yang gemuk-gemuk, di dalam kuah yang mendidih. Ibu mengaduk-aduk
masakannya, mencampurkan kuah dengan daging ayam yang sedang dimasak. Masakan ini
ditaruhnya di dalam oven, bersama kacang dan roti. Ayah mengisi tungku dengan kayu
hikori dan memasang penutupnya, sementara Ibu berlari cepat-cepat untuk
mengeluarkan pakaian Ayah dan mengenakan pakaiannya sendiri.

Orang yang miskin terpaksa memakai kain tenunan sendiri di hari Minggu.
Namun, Royal dan Almanzo mengenakan pakaian yang terbuat dari wol. Ayah dan ibu
serta anak-anak perempuan mengenakan pakaian yang bagus, yang terbuat dari kain
yang dibeli di toko, hasil tenunan mesin.

Ibu yang membuatkan pakaian mereka semua. Ibu juga membuatkan setelan ayah
yang terbuat dari kain hitam. Jasnya diberi kelepak leher beledu dan kemejanya
terbuat dari kain kaliko Prancis. Celananya terbuat dari sutera hitam, dan pada
hari Minggu ia tidak memakai sepatu bot. Ia memakai sepatu pendek yang terbuat dari
kulit sapi yang tipis.

Ibu mengenakan gaun wol berwarna cokelat, dengan kelepak, leher dari renda
berwarna putih serta hiasan renda putih pada pergelangan tangan di bawah lengan
yang besar dan berbentuk lonceng. Ia sendiri yang membuat renda ini dari benang
yang terbagus dan tampak seperti sarang laba-laba. Ada beberapa baris beledu
cokelat mengelilingi lengan gaunnya serta bagian depannya. Ia membuat topinya dari
beledu cokelat yang sama, dengan tali beledu cokelat yang diikatkan di bawah
dagunya.

Almanzo sangat membanggakan ibunya bila memakai pakaian hari Minggu yang
indah. Anak-anak perempuan juga berpakaian bagus-bagus, tetapi tidak sebangga itu
Almanzo terhadap mereka.

Gaun mereka menggembung begitu besarnya sehingga Royal dan Almanzo hampir-
hampir tidak dapat naik ke kereta salju. Mereka terimpit di tengah dan terpaksa
membiarkan gaun mereka menggembung menutupi lutut. Kalau mereka bergerak sedikit
saja, Eliza Jane sudah berseru, "Hati-hati anak kikuk!"

Alice pun akan bersungut-sungut, "Aduh, pitaku kusut!"

Namun, setelah mereka semua diselimuti dengan selimut kulit bison, dengan
bata panas pada kaki mereka, ayah menyuruh kudanya yang sudah tidak sabar berjalan,
dan Almanzo melupakan lain-lainnya.

Kereta salju meluncur secepat angin. Kuda penghela yang cantik-cantik


berkilap-kilap dalam sinar matahari.

Leher mereka melengkung, kepala mereka diangkat dan kaki mereka yang ramping
menerbangkan salju yang menutupi jalan.

Mereka seakan terbang dengan surai dan ekor yang panjang berkilap-kilap
diterbangkan angin ke belakang karena kecepatan lari mereka.

Ayah duduk tegak dan gagah, memegang kendali dan membiarkan kuda lari
secepat-cepatnya. Ia tidak pernah menggunakan cambuk.

Kudanya bagus-bagus dan terlatih dengan sempurna. Ia hanya perlu


mengencangkan atau mengendurkan kendali, dan mereka menurut.

Semua kudanya adalah kuda yang terbaik di Negara Bagian New York, atau
mungkin yang terbaik di seluruh dunia.

Kota Malone jauhnya delapan kilometer. Namun ayah selalu berangkat tiga puluh
menit sebelum waktu kebaktian di gereja.

Pasangan kudanya akan lari terus sejauh delapan kilometer dan ia akan
memasukkan mereka ke dalam kandang di muka gereja serta menyelimuti mereka waktu
lonceng berdentang.

Almanzo berpikir bahwa masih bertahun-tahun lagi ia akan dapat memegang


kekang dan Mengendalikan kuda seperti itu. Rasanya ia hampir-hampir tidak sabar
menunggu sampai selama itu.

Dalam waktu yang sangat singkat, Ayah membawa kereta ke kandang di muka
gereja di Malone. Kandang ini merupakan bangunan bangsal yang panjang dan rendah,
mengelilingi empat sisi lapangan. Orang masuk ke lapangan melalui sebuah pintu
gerbang.

Setiap orang yang beribadah di gereja ini menyewa sebuah kandang, untuk
keperluannya sendiri, dan Ayah menyewa kandang yang terbaik. Kandang ini begitu
besarnya sehingga ia dapat memasukkan kuda sekaligus dengan keretanya. Di dalam ada
kotak makanan dan ruangan untuk tempat rumput dan gandum.

Ayah mengizinkan Almanzo membantu menyelimuti kuda, sementara Ibu dan anak-
anak perempuan mengguncangkan gaun mereka dan menghaluskan pita mereka. Kemudian
mereka semua berjalan cepat-cepat, masuk ke gereja. Dentangan lonceng yang pertama
berbunyi waktu mereka melangkah di tangga. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi yang
harus dilakukan, kecuali duduk tenang sampai khotbah selesai. Kebaktian lamanya dua
jam. Kaki Almanzo sampai terasa sakit dan mulurnya ingin menguap. Namun, ia tidak
berani menguap atau bergerak di tempat duduknya. Ia harus duduk tenang dan jangan
pernah mengalihkan pandangannya dari wajah pengkhotbah yang khidmat dan janggutnya
yang bergerak-gerak. Almanzo tidak mengerti bagaimana Ayah sampai tahu bahwa ia
tidak melihat kepada pengkhotbah, kalau Ayah sendiri juga melihat ke si
pengkhotbah. Namun, Ayah selalu tahu.

Akhirnya, kebaktian selesai. Di bawah sinar matahari, di luar gereja, Almanzo


merasa lebih senang. Anak-anak tidak berlari-lari atau tertawa atau berbicara
keras-keras pada hari Minggu. Namun, mereka bercakap-cakap perlahan, dan saudara
sepupu Almanzo yang bernama Frank ada di situ.

Ayah Frank adalah Paman Wesley. Ia memiliki pabrik tepung kentang, tinggal di
kota. Ia tidak punya pertanian. Jadi, Frank adalah seorang anak kota dan ia
bermain-main dengan anak kota. Namun, pada hari Minggu ini ia mengenakan topi yang
dibeli di toko.

Topi ini terbuat dari kain yang berlipat-lipat, tenunan mesin, dan punya
penutup telinga yang dikancingkan di bawah dagu. Frank membuka kancingnya, dan
menunjukkan kepada Almanzo bahwa penutup telinganya dapat dibalik ke atas dan
dikancing di atas topi. Ia mengatakan bahwa topi ini berasal dari kota New York.
Ayahnya membeli topi ini di toko Pak Case.

Almanzo belum pernah melihat topi seperti itu. Ia ingin sekali punya topi
seperti milik Frank. Royal mengatakan bahwa itu topi orang tolol. Ia berkata kepada
Frank, "Apa perlunya penutup telinga yang dikancing di atas topi? Tidak ada seorang
pun yang punya telinga di atas kepalanya." Namun Almanzo tahu bahwa Royal juga
menginginkan topi seperti itu.

"Berapa harga topi seperti ini?" tanya Almanzo. "Lima puluh sen," jawab Frank
dengan bangga. Almanzo sadar bahwa ia tidak mungkin memiliki topi seperti itu. Topi
yang dibuat Ibu enak dipakai dan hangat, dan membeli topi seperti itu hanya
merupakan kebodohan karena membuang-buang uang. Lima puluh sen adalah uang yang
banyak sekali.

"Kau juga perlu melihat kuda kami," katanya kepada Frank.

"Huh! Itu bukan kudamu!" kata Frank. "Itu kuda ayahmu. Kau belum punya kuda,
bahkan anak kuda juga belum."

"Aku akan punya seekor anak kuda," kata Almanzo.

"Kapan?" tanya Frank.

Tepat pada saat itu Eliza Jane memanggilnya, "Ke sini, Almanzo! Ayah sudah
menyiapkan kereta!"

Ia berjalan cepat-cepat menghampiri Eliza Jane, tetapi Frank berseru di


belakangnya, "Kau juga tidak akan punya anak kuda."

Dengan tenang Almanzo naik ke kereta salju. Dalam hati ia bertanya-tanya


kapan ia akan cukup besar untuk memiliki apa saja yang diinginkannya. Waktu ia
masih kecil, kadang-kadang Ayah mengizinkannya memegang ujung kendali sementara
Ayah mengendalikan kuda. Namun, sekarang ia sudah bukan anak kecil lagi. Ia ingin
mengendalikan kuda sendiri. Ayah memperbolehkannya menyikat dan mengerok kuda
pekerja yang tua dan jinak, dan mengemudikannya waktu sedang menarik garu. Namun,
ia tidak boleh masuk ke kandang kuda penghela atau anak kuda. Ia hampir-hampir
tidak berani mengelus-elus hidung mereka melalui jeruji, dan menggaruk kepala
mereka di bawah rambutnya.

Ayah berkata, "Kalian tidak boleh mendekati anak-anak kuda. Dalam lima menit,
kalian akan memberikan ajaran yang salah kepada mereka, sehingga Ayah memerlukan
waktu berbulan-bulan untuk memperbaikinya."

Ia merasa agak senang setelah duduk untuk makan santapan hari Minggu yang
mewah. Ibu mengiris-iris roti di atas alas pengiris kayu di sisi piringnya. Sendok
ayah dicelupnya dalam-dalam ke masakan ayam. Ia menyendok kuah kental banyak-banyak
dan menuangkannya ke piringnya. Kemudian ia menyendok potongan-potongan daging ayam
yang empuk, daging yang terkelupas dari tulangnya. Ditambahkannya seonggok kacang
panggang dan di puncaknya ia taruh sepotong besar daging babi yang gemuk. Pada tepi
piringnya, ia menumpukkan acar bit merah tua. Dan piring ini diberikannya kepada
Almanzo.

Tanpa suara, Almanzo memakannya semua. Kemudian ia makan sepotong kue labu
dan merasakan perutnya sangat penuh. Namun, ia masih juga makan kue apel dengan
keju.

Sesudah makan, Eliza Jane dan Alice mencuci piring. Namun, Ayah, Ibu, Royal,
dan Almanzo tidak melakukan apa-apa. Sepanjang siang mereka duduk-duduk di ruang
makan yang hangat dan menyebabkan orang mengantuk. Ibu membaca Alkitab. Eliza Jane
membaca buku. Kepala Ayah terangguk-angguk sampai ia tersentak bangun, kemudian
mulai mengangguk-angguk lagi. Royal mengelus-elus rantai kayu yang tidak dapat
dirautnya dan Alice lama sekali melihat ke luar jendela. Namun, Almanzo hanya duduk
saja. Itulah yang harus dilakukannya. Ia tidak diperbolehkan melakukan hal lainnya,
sebab hari Minggu bukanlah hari kerja atau bermain. Ini adalah hari untuk pergi ke
gereja dan untuk duduk diam-diam.

Almanzo gembira setelah tiba waktunya untuk bekerja.

MELATIH ANAK SAPI

ALMANZO begitu sibuk mengisi rumah es, sehingga ia tidak sempat memberikan
pelajaran lagi kepada anak sapi. Jadi, pada Senin pagi ia berkata, "Ayah, bolehkah
aku tidak pergi ke sekolah hari ini? Kalau aku tidak melatih anak sapi, mereka akan
lupa bagaimana harus menuruti perintah."

Ayah menarik-narik janggutnya dan mengedipkan matanya.

"Anak laki-laki juga dapat melupakan pelajarannya," kata Ayah.

Almanzo tidak memikirkan ini. Ia berpikir sebentar dan berkata, "Ah,


pelajaranku lebih banyak daripada anak sapi. Lagi pula, mereka lebih muda daripada
aku."

Ayah berdiam diri, tetapi ada senyuman di balik janggutnya.

Ibu berkata, "Ah, biarkan saja anak ini, tinggal di rumah kalau ia
menghendakinya! Kalau hanya sekali dua kali tidak ada salahnya. Dan ia benar, anak
sapi perlu dilatih."

Jadi, Almanzo pergi ke kandang dan memanggil anak sapi ke luar, ke udara yang
dingin bersalju. Ia memasang kuk kecil pada leher mereka, mengancing gelang leher
dan mengikatkan tali pada tanduk Star yang kecil. Ia melakukan ini semua sendiri.

Sepanjang pagi, ia berjalan mundur berkeliling lapangan, sedikit demi sedikit


sambil berseru, "Hia!" dan kemudian, "Hup!" Star dan Bright maju ke depan dengan
bersemangat waktu ia berseru, "Hia!" dan mereka berhenti waktu ia berkata, "Hup!"
serta menjilati potongan wortel dari atas sarung tangan wolnya.

Kadang-kadang Almanzo sendiri juga memakan sepotong wortel mentah. Bagian


luarnya yang paling enak. Bagian ini merupakan gelang tebal yang keras, dan rasanya
manis. Bagian dalamnya lebih berair dan jernih seperti es kuning, tetapi rasanya
agak pedas.

Pada tengah hari, Ayah mengatakan bahwa anak sapi sudah mendapat latihan
cukup untuk satu hari. Siang itu Ayah akan menunjukkan kepada Almanzo cara membuat
cambuk.

Mereka pergi ke hutan, dan Ayah memotong beberapa batang cabang kayu. Almanzo
membawa cabang kayu ini ke ruang kerja Ayah di atas gudang kayu. Ayah menunjukkan
kepadanya cara mengupas kulit kayu ini menjadi potongan-potongan memanjang, dan
kemudian cara menjalinnya menjadi ujung cambuk. Mula-mula ia mengikat ujungnya lima
helai menjadi satu, kemudian menjalinnya menjadi bentuk bulat panjang yang kuat.

Sepanjang siang itu Almanzo duduk di sisi bangku Ayah. Ayah menyerut papan
dan Almanzo dengan hati-hati menjalin cambuk, tepat seperti cara Ayah menjalin
kulit menjadi cambuk ular hitam. Sementara ia membalik dan memilin lembaran kulit
kayu, kulit luar yang keras berjatuhan berkeping-keping, sehingga tinggal kulit
dalamnya yang putih dan lunak. Cambuk ini akan berwarna putih, kalau tangan Almanzo
tidak meninggalkan beberapa corengan kotor.

Ia tidak dapat menyelesaikan cambuknya sebelum waktu bekerja tiba, dan


keesokan harinya ia harus pergi sekolah. Namun, ia menjalin cambuknya tiap pagi di
sisi tungku pemanas, sampai cambuknya sepanjang satu setengah meter. Kemudian Ayah
meminjamkan pisau lipatnya. Almanzo meraut sebuah tangkai kayu, dan mengikatkan
cambuk ke tangkainya dengan serat kulit kayu. Cambuk sudah selesai dibuat.

Ini cambuk yang bagus sekali, sebelum kering benar dan rapuh di musim panas.
Almanzo dapat melecutkannya hampir sekeras ayah melecutkan cambuk ular hitam. Ia
menyelesaikan cambuk tepat pada waktunya, sebab ia sudah perlu memberikan pelajaran
lagi kepada kedua anak sapi.

Sekarang Almanzo akan mengajar kedua binatang tersebut untuk membelok ke kiri
kalau ia berseru, "Haw!" dan membelok ke kanan kalau ia berseru, "Gii!"

Segera setelah cambuk siap, ia mulai. Setiap Sabtu pagi ia melewatkan waktu
di lapangan, mengajar Star dan Bright. Ia tidak pernah mencambuk mereka. Ia hanya
melecutkannya saja.

Almanzo tahu bahwa orang tidak akan dapat mengajarkan apa pun kepada binatang
kalau mencambukinya, bahkan juga kalau berteriak-teriak karena marah. Ia harus
selalu lemah-lembut, tenang, sabar, bahkan kalau mereka membuat kesalahan. Star dan
Bright harus menyukai dan memercayainya serta tahu bahwa ia tidak akan menyakiti
mereka. Sebab kalau mereka takut kepadanya mereka tidak akan menjadi sapi yang
baik, rajin, dan mau bekerja keras.

Kini mereka selalu menurut kepadanya kalau ia berseru, "Hia!" dan "Hup!"
Jadi, ia tidak berdiri di muka mereka lagi. Ia berdiri di sebelah kiri Star. Star
lebih dekat kepadanya, sedangkan Bright yang ada di sisi Star, lebih jauh di
sebelah kanannya.

Almanzo berseru, "Gii" sambil melecutkan cambuk sekuat-kuatnya, dekat kepala


Star. Star bergerak mengelakkan cambuk, dan kedua anak sapi itu membelok ke sebelah
kanan. Kemudian Almanzo berkata, "Hia!" dan membiarkan mereka berjalan sebentar,
perlahan-lahan.

Kemudian ia membuat cambuk bergelung di udara dan melecutkannya keras-keras


di sisi Bright. Sambil membunyikan cambuk ia berteriak, "Haw!"

Bright bergerak menjauhi cambuk, dan ini menyebabkan kedua anak sapi membelok
ke kiri.

Kadang-kadang mereka melompat dan mulai berlari. Pada waktu itu Almanzo
berkata, "Hup!" dengan suara besar seperti suara ayah. Kalau mereka tidak berhenti,
ia berlari mengejar dan menghentikan mereka. Kalau ini terjadi, ia menyuruh mereka
melatih "Hia!" dan "Hup!" lagi, dalam waktu yang cukup lama. Ia harus sabar sekali.

Sabtu pagi yang dingin, kedua anak sapi merasa gembira, mereka lari waktu ia
pertama kali membunyikan cambuk. Mereka menyepak-nyepak dan lari berkeliling
lapangan sambil melenguh-lenguh. Waktu Almanzo berusaha menghentikan mereka, kedua
anak sapi menabraknya sehingga ia jatuh tersungkur di salju. Mereka terus lari
karena mereka senang berlari-lari. Ia hampir tidak dapat melakukan apa pun untuk
melatih mereka pada pagi itu. Almanzo marah sekali sehingga sekujur badannya
gemetar, dan air mata mengalir di pipinya.

Ia ingin berteriak-teriak kepada sapi yang nakal ini, ingin menyepak mereka,
dan ingin memukul kepala mereka dengan tangkai cambuk. Tetapi, itu tidak
dilakukannya. Ia menyingkirkan cambuk, lalu sekali lagi mengikatkan tali pada
tanduk Star. Almanzo menyuruh mereka mengelilingi lapangan dua kali, mulai waktu ia
berkata "Hia!" dan berhenti waktu ia mengatakan, "Hup!"

Sesudah itu Almanzo menceritakan semuanya kepada ayah. Ia mengira bahwa orang
yang sesabar itu terhadap anak sapi, sudah boleh mengerok anak kuda. Tetapi,
rupanya Ayah tidak berpendapat demikian. Ia hanya mengatakan, "Itu benar, Nak.
Untuk melatih anak sapi kau harus perlahan-lahan dan sabar. Tetaplah begitu, nanti
kau akan diberi kuk lembu jantan."

Pada hari Sabtu berikutnya, Star dan Bright menurut sepenuhnya. Almanzo tidak
perlu melecutkan cambuk, karena mereka mematuhi seruannya. Walaupun demikian, ia
tetap membunyikan cambuk. Ia menyukainya.

Hari Sabtu itu, anak-anak Prancis, Pierre dan Louis, datang untuk menemui
Almanzo. Ayah Pierre adalah Lazy John, dan ayah Louis adalah French Joe. Mereka
tinggal bersama dengan saudara laki-laki dan perempuan di rumah kecil dalam hutan.
Mereka mencari ikan, berburu, dan mencari buah-buahan di hutan. Mereka tidak pernah
pergi ke sekolah. Namun, sering kali mereka datang untuk bekerja atau bermain-main
dengan Almanzo.

Mereka memperhatikan sementara Almanzo memamerkan anak sapinya di lapangan.


Star dan Bright berlaku sangat baik sehingga Almanzo punya gagasan yang baik. Ia
mengeluarkan kereta luncur yang indah hadiah ulang tahunnya. Dengan bor, ia membuat
lubang pada kayu palang di antara peluncur di muka. Kemudian ia mengambil salah
satu rantai kepunyaan Ayah, dan memasangkan kedua ekor anak sapi ke kereta luncur
ini.

Ada sebuah gelang besi kecil di bawah kuk mereka di tengah, sama seperti
gelang yang terpasang pada kuk besar. Almanzo mengikatkan pegangan kereta luncurnya
ke gelang ini, sampai ke kayu palang. Ia memasangkan kereta luncurnya tidak terlalu
dekat dengan gelang besi. Kemudian ia mengikatkan satu ujung rantai ke gelang besi,
dan ujung satunya dibelitkan pada pasak yang dipasang pada lubang di kayu palang.

Bila Star dan Bright menarik, mereka akan menarik kereta luncur dengan
rantai. Bila mereka berhenti, pegangan kereta luncur yang kaku akan menghentikan
kereta.

"Nah, Louis! Sekarang kau masuk ke kereta luncur," kata Almanzo.

"Tidak, aku yang terbesar!" kata Pierre, mendorong punggung Louis. "Aku naik
lebih dulu."

"Sebaiknya jangan," kata Almanzo. "Kalau anak sapi merasakan beban yang
berat, mereka akan lari. Biarlah Louis yang naik lebih dulu karena badannya lebih
ringan."

"Tidak, aku tidak mau," kata Louis. "Kurasa lebih baik kau," kata Almanzo
kepadanya.

"Tidak," kata Louis.


"Kau takut?" tanya Almanzo.

"Ya, ia takut," kata Pierre.

"Aku tidak takut," kata Louis. "Aku hanya tidak mau."

"Ia takut," Pierre mengejek. "Ya, ia takut," kata Almanzo.

Louis mengatakan bahwa ia sama sekali tidak takut.

"Ya, kau takut," kata Almanzo dan Pierre. Mereka mengatakan bahwa ia penakut.
Mereka mengejeknya sebagai bayi. Pierre menyuruhnya pulang kepada mama. Akhirnya,
Louis pun duduk dengan hati-hati di atas kereta luncur.

Almanzo melecutkan cambuk dan berseru, "Hia!" Star dan Bright mulai melangkah
dan berhenti. Mereka mencoba menoleh untuk melihat apa yang ada di belakangnya.
Namun, Almanzo dengan tegas berkata, "Hia!" lagi. Kali ini mereka melangkah dan
terus berjalan. Almanzo berjalan di sisi mereka, melecutkan cambuk dan berseru
"Gii!" dan menyuruh mereka mengelilingi lapangan.

Pierre berlari mengejar kereta luncur dan juga ikut naik, tetapi kedua anak
sapi masih berlaku sebaik-baiknya. Jadi, Almanzo membuka pintu gerbang lapangan.

Pierre dan Louis cepat-cepat turun dari kereta salju dan Pierre berkata,
"Mereka lari!"

Almanzo berkata, "Kurasa aku tahu cara mengendalikan anak sapiku sendiri."

Ia kembali mengambil tempatnya di sisi Star. Ia melecutkan cambuknya dan


berseru, "Hia!." Ia menyuruh Star dan Bright berjalan terus keluar lapangan di
antara bangsal ke halaman yang luas, besar dan penuh salju berkilap-kilap.

Almanzo berseru, "Haw!" dan ia berseru, "Gii!", dan menyuruh mereka melewati
rumah. Ia menyuruh mereka keluar ke jalan. Kedua anak sapi berhenti waktu Almanzo
berseru, "Hup!"

Kini Pierre dan Louis merasa senang sekali. Mereka naik ke kereta luncur.
Namun, Almanzo menyuruh mereka mundur ke belakang.

Ia juga akan naik. Ia duduk di muka. Pierre berpegangan pada badannya, dan
Louis berpegangan pada Pierre.

Kaki mereka keluar dari kereta luncur, dan mereka mengangkat kaki serta
menahannya di atas salju. Dengan bangga Almanzo melecutkan cambuk dan berseru,
"Hia!"

Star mengangkat ekornya, demikian pula Bright, dan mereka menyepak. Kereta
luncur melambung ke udara, dan kemudian segala-galanya terjadi seketika.

"Ngaaang!" suara Star. "Ngaaang!" suara Bright. Tepat di depan muka Almanzo
kedua sapi lari secepat-cepatnya sambil mengibas-ngibaskan ekor. "Hup!" seru
Almanzo. "Hup!"

"Ngaaang!" lenguh Bright. "Ngaaang!" suara Star. Mereka meluncur jauh lebih
cepat daripada kalau menuruni bukit. Pohon dan salju serta kaki belakang anak sapi
berbaur menjadi satu. Kereta luncur terbanting-banting, dan Almanzo mengertakkan
giginya.
Bright berlari lebih cepat daripada Star. Mereka sudah keluar dari jalan.
Kereta luncur terbalik. Almanzo berseru, "Haw! Haw!" Ia terlempar ke dalam salju
dan berteriak, "Haw!"

Mulut Almanzo yang terbuka penuh salju. Ia meludahkannya, dan berusaha


bangkit berdiri. Dilihatnya tidak ada sesuatu apa pun yang bergerak, jalan tampak
kosong. Kedua anak sapi lenyap, dan kereta luncur tidak kelihatan. Pierre dan
Louis, berdiri dari salju. Louis menyumpah-nyumpah dalam bahasa Prancis. Namun,
Almanzo tidak memedulikannya. Pierre menyembur-nyembur dan menyeka salju dari
mukanya, dan berkata, "Sacre bleu backslash Kukira tadi kau mengatakan dapat
mengendalikan sapimu. Mereka tidak lari, eh?" Jauh di ujung jalan, hampir terkubur
di salju

yang dalam, Almanzo melihat punggung kedua

anak sapinya yang merah.

"Mereka tidak melarikan diri," katanya kepada..."

Pierre. "Mereka hanya berlari saja. Itulah mereka."

Ia berjalan menghampiri untuk memeriksa mereka.

Kepala dan punggung mereka ada di atas salju.

Kuk mereka bengkok dan leher mereka masih terpasang pada gelangnya. Hidung
mereka saling berdekatan dan mata mereka lebar keheranan.

Rupanya mereka saling bertanya kepada temannya, "Apa yang terjadi?"

Pierre dan Louis membantu menggali salju yang menimbuni mereka dan menimbuni
kereta luncur. Almanzo meluruskan kuk kembali dan mengeluarkan rantainya. Kemudian
ia berdiri di muka mereka dan berkata, "Hia!" sementara Pierre dan Louis mendorong
mereka dari belakang. Kedua anak sapi berjalan naik ke jalan, dan Almanzo menuntun
mereka menuju ke kandang. Mereka berjalan atas kemauan sendiri. Almanzo berjalan di
sisi Star, melecutkan cambuk dan berseru-seru. Apa saja yang disuruhkannya kepada
mereka, dipatuhi oleh kedua ekor sapi ini. Pierre dan Louis berjalan di belakang.
Mereka tidak mau lagi naik kereta luncur.

Almanzo memasukkan anak sapi ke kandang dan memberi mereka masing-masing


jagung. Ia menyeka kuk dengan hati-hati dan menggantungkannya. Cambuk
digantungkannya pada paku, kemudian Almanzo menyeka rantai dan pasak serta
menaruhnya kembali di tempat ayah menaruhnya. Setelah itu ia mengatakan kepada
Pierre dan Louis bahwa mereka boleh duduk di belakangnya, dan mereka meluncur
menuruni bukit di atas kereta luncur sampai waktu bekerja tiba.

Malam itu ayah bertanya kepadanya, "Kau mendapat kesulitan siang tadi, Nak?"

"Tidak," kata Almanzo. "Aku hanya tahu bahwa aku harus melatih Star dan
Bright lebih dulu sebelum menyuruhnya menarik kereta luncur." Dan itu pun
dilakukannya di lapangan.

PERGANTIAN TAHUN
SIANG hari semakin panjang, tetapi hawa dingin Semakin menusuk tulang. Ayah
berkata, "Kalau siang hari mulai memanjang, Hawa dingin mulai menusuk tulang."

Akhirnya, salju melunak sedikit di lereng selatan dan barat. Di tengah hari,
air menetes dari es yang bergantungan pada cucuran atap. Getah mulai naik di pohon-
pohon dan sudah tiba waktunya untuk membuat gula.

Setiap pagi yang dingin, tepat sebelum matahari terbit, Almanzo dan Ayah
pergi ke hutan pohon mapel. Ayah membawa sebuah kuk kayu besar di atas bahunya, dan
Almanzo membawa kuk kecil. Dari tiap-tiap ujung kuk bergantung tali dari serat
kulit kayu, dengan kait besi terpasang pada tali dan sebuah ember kayu besar
berayun-ayun dari tiap kait.

Di setiap pohon mapel, Ayah sudah membor sebuah lubang kecil, dan memasangkan
sebuah corong kayu kecil pada lubang ini. Getah mapel yang manis menetes dari
corong ke ember kecil.

Berjalan dari pohon ke pohon, Almanzo menuangkan getah ke ember besarnya.


Berat ember menekan bahunya, tetapi dengan tangannya ia menjaga agar ember tidak
terayun-ayun. Setelah ember penuh semua, ia pergi ke bejana besar dan menuangkan
isi ember ke dalam bejana.

Bejana besar ini tergantung pada kayu palang yang dipasang di antara dua
batang pohon. Ayah menjaga api unggun agar tetap berkobar-kobar di bawahnya, untuk
mendidihkan getah.

Almanzo suka sekali berjalan-jalan dalam hutan di musim dingin. Ia berjalan


di atas salju yang belum pernah diinjak orang, dan hanya jejaknya sendiri saja yang
mengikuti di belakangnya. Ia sibuk sekali mengosongkan ember kecil ke dalam ember
besar. Kalau haus ia meminum sedikit getah mapel yang cair, manis, dan dingin
seperti es.

Ia senang sekali kalau kembali ke api unggun yang berkobar-kobar. Dikoreknya


api, dan ia melihat bunga api beterbangan. Ia menghangatkan muka dan tangannya
dalam panas api dan mencium bau getah yang mulai mendidih. Kemudian ia masuk ke
hutan lagi.

Pada tengah hari, semua getah sudah mendidih dalam bejana besar. Ayah membuka
tempat makanan, dan Almanzo duduk di atas batang kayu tumbang di sisinya. Mereka
makan siang sambil bercakap-cakap. Kaki mereka dijulurkan ke api, dengan susunan
kayu ada di belakang punggung mereka. Di sekeliling mereka ada salju dan es serta
hutan. Namun, mereka senang dan hangat.

Sesudah makan, Ayah tinggal dekat api untuk mengawasi getah yang sedang
direbus. Namun, Almanzo pergi ke hutan lagi, untuk mencari buah-buahan musim
dingin.

Di bawah salju di lereng selatan, buah yang merah-merah sudah masak di antara
daun hijau yang rimbun. Almanzo melepaskan sarung tangannya dan mengorek salju
dengan tangan telanjang. Ia menemukan setangkai buah yang merah dan mengisi
mulurnya sampai penuh. Buah yang dingin terasa renyah di antara giginya, pecah dan
mengeluarkan air yang berbau wangi.

Tidak ada lagi yang lebih enak daripada buah manis dingin yang digali dari
salju.

Pakaian Almanzo penuh salju. Tangan dan jarinya kaku dan merah karena
kedinginan. Namun, ia tidak mau meninggalkan lereng selatan sebelum mengorek semua
perdu yang berbuah.

Setelah matahari rendah di balik batang-batang pohon mapel, Ayah melemparkan


salju ke api. Api padam dengan bunyi mendesis dan mengeluarkan uap. Kemudian, Ayah
memasukkan sirop yang panas ke dalam ember. Ia dan Almanzo menyorongkan bahu
masing-masing ke bawah kuk lagi, dan memikul ember pulang.

Mereka menuangkan sirop ke dalam cerek loyang besar di atas tungku masak.
Kemudian, Almanzo mulai mengerjakan tugas hariannya sementara Ayah mengambil sirop
selebihnya dari hutan.

Sesudah makan malam, sirop siap untuk dibuat gula. Ibu menyendoki sirop ke
dalam beberapa tempat susu berukuran satu liter dan membiarkannya dingin sendiri.
Paginya, setiap tempat susu sudah berisi gula mapel yang padat. Ibu mengeluarkan
gula padat yang bundar dan berwarna cokelat keemasan, serta menyimpannya di lemari
makan bagian atas.

Setiap hari, getah mapel terus mengalir, dan tiap pagi Almanzo pergi bersama
Ayah untuk mengumpulkan dan merebusnya. Setiap malam, Ibu membuatnya menjadi gula.
Mereka membuat gula sebanyak-banyaknya, untuk dipakai pada tahun berikutnya.
Kemudian, sirop yang direbus paling akhir tidak dijadikan gula. Sirop ini disimpan
dalam guci di ruang bawah tanah; dan itulah persediaan sirop untuk tahun depan.

Waktu Alice pulang dari sekolah, ia mencium bau Almanzo, dan berseru, "Oh,
kau habis makan buah musim dingin!"

Alice berpendapat bahwa ini tidak adil. Ia harus pergi ke sekolah, sementara
Almanzo mengumpulkan getah mapel dan makan buah musim dingin. Ia berkata, "Anak
laki-laki bersenang-senang melulu." Alice menyuruh Almanzo berjanji tidak akan
mengganggu lereng selatan sepanjang Sungai Trout, di seberang padang penggembalaan
biri-biri.

Jadi, setiap hari Sabtu mereka pergi bersama-sama untuk mencari buah di
lereng ini. Kalau Almanzo menemukan serangkai buah, ia berseru, dan kalau Alice
yang menemukan, ia juga berseru. Kadang-kadang mereka membagi buah yang ditemukan,
dan kadang-kadang tidak. Namun, mereka terus merangkak-rangkak menjelajahi lereng
selatan, dan sepanjang siang mereka makan buah musim dingin.

Almanzo membawa pulang seember penuh daun yang tebal dan hijau, dan Alice
memasukkan daun ini ke dalam botol besar. Ibu mengisi botol dengan wiski dan
menyimpannya. Ini akan menjadi bumbu untuk pembuat kue.

Setiap hari, salju meleleh sedikit. Pohon cedar dan cemara menggoyangkan
salju dari dahannya, dan gumpalan salju berjatuhan dari cabang pohon mapel, eik,
dan beech yang tidak berdaun. Sepanjang dinding bangsal dan rumah, salju berlubang-
lubang oleh air yang menetes-netes dari kerucut es, dan akhirnya kerucut es jatuh
berderak.

Di sana-sini, tanah kelihatan dalam bencah yang basah dan hitam. Hanya jalan
setapak yang biasa diinjak-injak yang tetap putih, dan sedikit salju tetap menutup
sisi utara bangunan dan timbunan kayu. Kemudian, masa sekolah di musim dingin
berakhir, dan musim semi datang.

Suatu pagi, Ayah naik kereta salju ke Malone. Sebelum tengah hari, ia
tergesa-gesa pulang, dan menyerukan berita dari atas kereta. Pembeli kentang dari
New York datang ke kota!

Royal lari untuk membantu memasang kuda ke gerobak. Alice dan Almanzo berlari
untuk mengambil keranjang dari gudang kayu. Mereka menggelindingkan keranjang
menuruni tangga ke ruang bawah tanah, dan cepat-cepat mulai mengisi keranjang
dengan kentang. Mereka sudah mengisi dua keranjang sebelum Ayah membawa gerobak ke
depan pintu dapur.

Kemudian adu cepat dimulai. Ayah dan Royal dengan cepat membawa keranjang ke
atas dan menumpahkan isinya ke gerobak. Almanzo dan Alice cepat-cepat mengisi
keranjang lebih banyak, lebih cepat dan mereka yang membawanya pergi.

Almanzo berusaha mengisi keranjang lebih banyak daripada Alice, tetapi tidak
berhasil. Alice bekerja lebih cepat, begitu cepatnya sehingga badannya sudah
berputar ke belakang ke tempat kentang, sementara gaunnya yang menggembung masih
berputar ke arah lain. Waktu ia mendorong rambutnya yang keriting ke belakang,
tangannya meninggalkan noda kotor pada pipinya. Almanzo menertawakan muka Alice
yang kotor, dan Alice menertawakannya.

"Lihat dirimu sendiri di cermin! Kau lebih kotor daripada aku!"

Mereka tetap menjaga keranjang agar tetap penuh. Ayah dan Royal tidak pernah
harus menunggu. Setelah gerobak penuh, Ayah pergi dengan terburu-buru.

Pada waktu tengah hari, barulah Ayah kembali. Namun, Royal bersama Almanzo
dan Alice harus mengisi gerobak lagi sementara ayah makan sedikit makanan dingin,
kemudian membawa pergi segerobak muatan lagi. Malam itu, Alice membantu Royal dan
Almanzo melakukan pekerjaan harian. Ayah belum pulang saat waktu tidur tiba. Royal
duduk menunggu kedatangan ayahnya. Di larut malam, Almanzo mendengar bunyi gerobak.
Royal keluar untuk membantu ayah mengerok dan menyikat kuda yang kelelahan, setelah
menarik muatan sejauh 32 kilometer pada hari itu.

Keesokan paginya dan pada pagi berikutnya lagi, mereka semua mulai memuati
kentang dengan diterangi cahaya lilin. Ayah pergi membawa muatan yang pertama
sebelum matahari terbit. Pada hari ketiga, kereta api yang mengangkut kentang
berangkat menuju kota New York. Namun, semua kentang ayah sudah ada di dalam kereta
api.

"Lima ratus keranjang dengan harga satu dolar sekeranjang," kata Ayah kepada
Ibu waktu makan malam. "Aku sudah bilang kepadamu harga kentang murah di musim
gugur yang lalu dan bahwa harga kentang akan tinggi di musim semi."

Berarti, uang lima ratus dolar masuk bank. Mereka semua bangga pada ayah,
yang menanam kentang begitu bagusnya serta tahu kapan harus menyimpan dan kapan
harus menjualnya.

"Itu bagus sekali," kata Ibu dengan wajah berseri-seri. Mereka semua merasa
bahagia. Namun, kemudian Ibu berkata, "Nah, karena sekarang tidak harus mengurus
kentang lagi, kita akan mulai membersihkan rumah. Besok pagi, pagi-pagi sekali."

Almanzo benci pekerjaan membersihkan rumah. Ia harus mencabuti paku payung di


permadani, dari keliling tepi permadani yang terasa berkilo-kilometer panjangnya.
Kemudian permadani digantung pada tali jemuran di luar, dan ia harus memukulinya
dengan tongkat panjang. Waktu masih kecil, Almanzo suka berlari-lari di bawah
permadani, pura-pura bahwa permadani ini tenda. Namun, sekarang ia sudah berumur
sembilan tahun.

Ia harus memukuli permadani terus-menerus, sampai tidak ada lagi debu yang
keluar.

Semua benda di dalam rumah dipindahkan, dicuci, digosok, dan dilap. Semua
tirai diturunkan. Semua kasur bulu dikeluarkan, dianginkan, dan semua selimut
dicuci. Dari waktu fajar sampai sore, Almanzo lari ke sana kemari, memompa air,
mengambil kayu, menebarkan jerami bersih di lantai yang habis digosok dan kemudian
membantu menghamparkan permadani di atasnya, dan lalu menyematkan paku payung di
keliling tepinya lagi.

Berhari-hari ia melewatkan waktu di ruang bawah tanah. Ia membantu Royal


mengosongkan tempat sayuran. Ia memilih dan menyingkirkan setiap apel, wortel, dan
lobak yang busuk, kemudian mengembalikan yang baik ke tempat sayuran yang sudah
dicuci oleh Ibu. Mereka menurunkan tempat benda lainnya serta menyimpannya di
gudang kayu. Mereka mengeluarkan piring, cangkir, botol, dan guci, sampai ruang
bawah tanah hampir kosong. Kemudian, Ibu menggosok dinding dan lantainya. Royal
menuangkan air ke dalam ember terisi kapur, Almanzo mengaduk kapurnya sampai
berhenti mendidih dan siap dipakai untuk melabur. Kemudian, mereka melabur seluruh
ruang bawah tanah sampai putih semua. Pekerjaan ini sangat menyenangkan.

"Ya, ampun!" kata Ibu waktu mereka naik ke atas. "Apakah kalian melabur ruang
bawah tanah sampai seputih badanmu sendiri?"

Seluruh ruang bawah tanah tampak segar, bersih, dan putih bagaikan salju
setelah kering. Ibu memindahkan tempat susu ke rak-rak yang sudah dicuci. Bak
mentega sudah digosok sampai putih dengan pasir dan dijemur di bawah sinar
matahari. Almanzo mengatur bak ini berderet-deret di lantai ruang bawah tanah yang
bersih, untuk diisi mentega pada musim panas.

Di luar, bunga lila dan bunga bola salju sedang mekar. Bunga violet dan
kembang mangkuk mentega menghiasi padang rumput yang hijau. Burung-burung mulai
membuat sarang, dan kini sudah tiba waktunya untuk bekerja di ladang.

MUSIM SEMI

SEKARANG sarapan telah dihabiskan sebelum fajar, dan matahari terbit di


seberang padang rumput yang berembun saat Almanzo mengendalikan pasangan kuda
pekerja dari kandang.

Ia harus berdiri di atas peti untuk mengangkat tali kekang kuda yang berat
dan memasangkannya pada bahu kuda serta memasangkan kendali di atas telinga mereka.
Namun, ia tahu cara mengendalikan kuda. Ia sudah mempelajarinya waktu masih kecil.
Ayah tidak mengizinkannya menyentuh anak kuda, atau mengendalikan kuda muda yang
penuh semangat. Namun, kini ia sudah cukup besar untuk bekerja di ladang. Ia dapat
mengendalikan pasangan kuda pekerja yang sudah tua dan penurut, yaitu Bess dan
Beauty.

Bess dan Beauty adalah dua ekor kuda betina yang bijaksana dan berwatak
tenang. Waktu digiring ke padang rumput, mereka tidak meringkik dan berlari-lari
seperti anak kuda. Mereka hanya melihat berkeliling, berbaring, dan berguling-
guling satu atau dua kali, kemudian mulai makan rumput. Waktu diberi tali kekang,
mereka melangkah satu per satu melewati pintu gudang mengendus-endus udara musim
semi, dan menunggu dengan sabar sampai kekangnya selesai dipasangkan. Mereka lebih
tua daripada Almanzo, sudah hampir berumur sepuluh tahun.

Mereka tahu cara membajak tanpa menginjak jagung, dan tidak pernah membuat
alur yang bengkok. Mereka tahu caranya menggaru, dan membelok di ujung ladang.
Almanzo akan lebih suka mengendalikan mereka seandainya mereka belum mengetahui
sampai sebanyak itu.

Ia memasang mereka ke garu. Pada musim gugur yang lalu, ladang sudah dibajak
dan disebari pupuk. Kini, tanah yang sudah mengeras harus digaru.

Bess dan Beauty melangkah sepenuh hati, tidak terlalu cepat. Namun, cukup
cepat untuk menggaru dengan sebaik-baiknya. Mereka suka bekerja di musim semi,
setelah selama musim dingin yang panjang hanya berdiri di dalam kandang. Mereka
menarik garu hilir mudik melintasi ladang, sementara Almanzo berjalan di
belakangnya sambil memegangi kendali. Di ujung ladang, ia menyuruh pasangan kuda
itu berputar dan memasang garu sehingga giginya hanya sedikit menindih garis yang
sudah dibuat oleh garu. Kemudian, ia memukulkan kendali pada punggung kuda, berseru
"Hia!" dan mereka pun berjalan lagi.

Di seluruh pedesaan, anak-anak laki-laki yang lain juga sedang menggaru,


membalikkan tanah yang basah ke sinar matahari. Jauh di sebelah utara, Sungai St.
Lawrence merupakan kilatan perak dekat kaki langit. Hutan tampak seperti awan
berwarna hijau muda. Burung berloncatan sambil mencicit-cicit di atas pagar batu,
dan di sana-sini tupai tampak berkelebat. Almanzo berjalan sambil bersiul-siul di
belakang sepasang kuda itu.

Setelah menggaru seluruh ladang membujur, kemudian ia menggarunya lagi


melintang. Gigi garu yang tajam berkali-kali menggaruk tanah, menghancurkan tanah
yang keras. Semua tanah di ladang harus dibuat gembur dan halus.

Lama-kelamaan Almanzo merasa lapar sehingga tidak dapat bersiul lagi. Makin
lama ia semakin lapar. Rasanya seakan-akan waktu tengah hari tidak juga datang dan
dalam hati ia bertanya-tanya sudah berapa kilometer ia berjalan. Matahari tetap
kelihatan seakan tidak bergerak, dan bayangan seperti tidak berubah sama sekali. Ia
sudah kelaparan.

Akhirnya, matahari tepat berada di atas kepala dan bayangan hampir tidak
kelihatan. Almanzo menggaru satu baris lagi, dan kemudian satu baris lagi.
Akhirnya, ia mendengar bunyi puput ditiup.

Jelas dan menyenangkan terdengar bunyi puput kaleng yang ditiup ibu sebagai
tanda waktu makan.

Bess dan Beauty menegakkan telinga mereka dan melangkah lebih cepat. Di tepi
ladang yang menuju ke rumah, mereka berhenti. Almanzo melepaskan kuda dari garu,
dan meninggalkan garu di ladang. Kemudian ia naik di atas punggung Beauty yang
lebar.

Ia membawa kudanya ke pompa dan membiarkan kedua kuda itu minum. Lalu ia
memasukkan mereka ke dalam kandang, membuka kekang mereka, dan memberi mereka
gandum. Pemelihara kuda yang baik selalu merawat kudanya lebih dulu sebelum ia
makan atau istirahat.

Akan tetapi, Almanzo melakukannya dengan tergesa-gesa.

Alangkah lezatnya makanan yang dihidangkan! Dan alangkah lahapnya ia makan!


Ayah menumpukkan makanan ke atas piringnya, dan Ibu tersenyum sambil memberinya dua
potong kue.

Almanzo merasa lebih senang saat ia kembali bekerja. Namun, sore hari rasanya
lebih panjang daripada pagi hari. Ia merasa kelelahan saat naik kuda ke kandang
pada waktu matahari terbenam, untuk melakukan pekerjaan hariannya. Pada waktu makan
malam, ia sudah mengantuk, dan segera setelah makan ia naik ke atas dan tidur.
Alangkah senangnya membaringkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk. Sebelum ia
sempat menutupi tubuhnya dengan selimut, ia sudah tertidur nyenyak.

Rasanya baru satu menit cahaya lilin yang dibawa Ibu bersinar di tangga dan
Ibu memanggil. Hari yang baru sudah dimulai lagi.

Tidak ada waktu yang dapat dibuang-buang, tidak ada waktu untuk istirahat
atau bermain-main. Kehidupan di bumi penuh kesibukan dengan datangnya musim semi.
Semua benih rumput liar dan semak berduri, tunas tanaman rambat dan semak belukar
mencoba merebut ladang. Semua petani harus memerangi mereka dengan garu, bajak, dan
cangkul. Mereka harus menanam biji yang baik secepat-cepatnya.

Almanzo adalah seorang prajurit kecil dalam pertempuran besar ini. Sejak
fajar merekah sampai gelap malam turun ia bekerja; dari malam sampai fajar ia
tidur; kemudian ia bangun lagi dan mulai bekerja.

Ia menggaru ladang kentang sampai tanahnya halus dan gembur, dan semua tunas
rumput terbunuh. Kemudian ia membantu Royal mengambil benih kentang dari tempatnya
di ruang bawah tanah. Mereka memotong-motong benih kentang menjadi kecil-kecil,
meninggalkan dua atau tiga mata pada setiap potongan.

Tanaman kentang punya bunga dan biji, tetapi tidak seorang pun yang tahu
kentang macam apa yang akan tumbuh dari biji kentang. Semua jenis kentang yang
ditanam orang berasal dari sebuah kentang. Kentang bukan biji. Ini adalah bagian
dari akar tanaman kentang. Potong-potong dan tanamlah, dan ini selalu menjadi
kentang yang lebih banyak dan seperti kentang asalnya.

Setiap kentang punya beberapa lekukan kecil, yang kelihatan seperti mata.
Dari mata inilah akar yang kecil tumbuh dan masuk ke dalam tanah, dan daun-daun
yang kecil naik ke atas ke sinar matahari. Tumbuhan yang baru ini memakan
kentangnya waktu masih kecil, sebelum cukup kuat untuk mengisap makanan dari tanah
dan udara.

Ayah membuat tanda pada ladang. Alat untuk memberi tanda ini adalah sebatang
kayu dengan sederet pasak kayu yang dipasangkan pada batang kayu ini, dengan jarak
antara tiga setengah kaki. Seekor kuda menarik batang kayu ini melintang di
belakangnya, dan pasak-pasak membuat alur yang kecil-kecil. Ayah menandai ladang
memanjang dan melintang, sehingga alurnya membuat bujur sangkar kecil-kecil.
Kemudian mereka mulai menanam.

Ayah dan Royal mengambil cangkul. Alice dan Almanzo membawa ember yang penuh
berisi potongan-potongan kentang. Almanzo berjalan di depan Royal dan Alice
berjalan di depan ayah, sepanjang alur.

Pada sudut setiap bujur sangkar, di tempat kedua alur bersilang. Almanzo
menjatuhkan sebuah potongan kentang. Ia harus menjatuhkannya tepat di sudut,
sehingga barisannya akan lurus dan dapat dibajak. Royal menutupinya dengan tanah
dan menimbuninya sampai padat dengan cangkul. Di belakang Alice, Ayah menutupi
potongan kentang yang dijatuhkannya.

Menanam kentang terasa menyenangkan. Bau yang enak datang dari tanah yang
segar dan dari ladang semanggi. Alice tampak cantik dan gembira, dengan angin yang
meniup rambut ikalnya serta membuat gaunnya yang menggembung bergoyang-goyang. Ayah
suka melucu, dan mereka bercakap-cakap sambil bekerja.

Almanzo dan Alice berusaha menjatuhkan kentang secepat-cepatnya sehingga


mereka punya waktu sebentar di ujung deretan, untuk mencari-cari sarang burung atau
mengejar kadal sampai masuk ke pagar batu. Namun, ayah dan Royal tidak pernah jauh
di belakang mereka. Ayah berkata, "Lekas, Nak, lekas!"
Jadi, mereka bekerja cepat-cepat. Waktu mereka cukup jauh di muka, Almanzo
mencabut sebatang rumput dan membuatnya bersiul di antara ibu jarinya. Alice
mencoba, tetapi ia tidak dapat melakukannya. Alice tidak dapat meruncingkan
mulurnya dan bersiul. Royal mengganggunya.

"Gadis yang bersiul dan ayam betina yang berkotek. Selalu payah."

Sepanjang pagi dan siang, mereka berjalan hilir mudik di ladang, selama tiga
hari. Kentang pun selesai ditanam.

Setelah itu Ayah menyebar biji. Ia menyebar biji gandum untuk membuat roti
putih. Juga ada ladang yang ditanami padi untuk membuat roti tepung beras, serta
terigu campur kacang Kanada untuk memberi makan kuda dan sapi pada musim dingin
yang akan datang.

Sementara Ayah menyebar biji, Almanzo mengikutinya berjalan di ladang bersama


Bess dan Beauty, menggaru biji sehingga tertanam di tanah. Almanzo belum bisa
menyebar biji. Ia harus belajar dulu sebelum ia dapat menyebar biji sampai rata.
Itu bukan pekerjaan yang mudah.

Kantung berat yang berisi benih tergantung dengan selempang pada bahu kiri
ayah. Sambil berjalan, ia mengambil segenggam biji dari kantung. Dengan ayunan
tangannya, biji terbang dari jarinya. Ayunan tangannya selalu bersamaan dengan
langkah kakinya. Setelah Ayah selesai menyebar pada sebidang ladang, setiap jengkal
tanah rata disebari benih, tidak ada yang terlalu banyak atau terlalu sedikit.

Biji yang disebar terlalu kecil sehingga tidak kelihatan di tanah. Orang
tidak akan mengetahui seorang penyebar benih cukup ahli atau tidak sebelum benihnya
mulai tumbuh. Ayah menceritakan kepada Almanzo tentang seorang anak pemalas yang
harus menyebar benih di ladang. Anak ini tidak ingin bekerja, maka ia menumpahkan
benih dari kantung dan pergi berenang. Tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Sesudah itu ia menggaru ladang, dan tak seorang pun tahu apa yang dilakukannya.
Namun, benih tahu. Demikian pula tanah.

Bahkan, setelah anak ini melupakan kemalasannya, mereka menceritakannya.


Rumput liar tumbuh memenuhi ladang ini.

Setelah semua benih selesai disebar, Almanzo dan Alice menanam wortel. Mereka
membawa kantung penuh dengan benih wortel yang kecil, merah, dan bulat. Kantung ini
disandangkan di bahu, seperti Ayah membawa kantung benih yang besar. Ayah menandai
ladang wortel memanjang, dengan alat pemberi tanda yang giginya hanya berjarak
sekitar setengah meter. Almanzo dan Alice dengan benih wortelnya bolak-balik
sepanjang ladang, berjalan di atas alur yang kecil.

Kini, cuaca sudah begitu panasnya sehingga mereka bekerja di ladang telanjang
kaki. Kaki mereka yang tanpa alas terasa nyaman di udara dan di tanah yang empuk.
Mereka menjatuhkan benih wortel ke dalam alur, dan dengan kaki mereka mendorong
tanah sampai menutupi benih dan menginjaknya.

Almanzo dapat melihat kakinya, tetapi tentu saja kaki Alice tersembunyi di
bawah gaunnya. Ia terpaksa harus menarik gaunnya yang menggembung dan membungkuk
untuk menjatuhkan benih tepat ke dalam alur.

Almanzo bertanya kepada Alice apakah ia tidak ingin menjadi anak laki-laki.
Alice mengatakan ya, ia ingin. Kemudian ia mengatakan tidak, ia tidak ingin.

"Anak laki-laki tidak cantik seperti anak perempuan, dan mereka tidak dapat
memakai pita."

"Aku tidak peduli aku cantik atau tidak," kata Almanzo. "Lagipula aku tidak
mau pakai pita."

"Nah, aku suka membuat mentega dan menambal selimut. Juga memasak, menjahit,
dan memintal. Anak laki-laki tidak dapat melakukan itu semua. Walaupun aku anak
perempuan, aku dapat menanam kentang dan wortel, serta mengendalikan kuda seperti
kau."

"Kau tidak dapat bersiul dengan batang rumput," kata Almanzo.

Pada akhir deretan, Almanzo melihat daun muda pohon ash yang berkerut, dan
bertanya kepada Alice apakah ia tahu kapan waktu menanam jagung. Alice tidak tahu,
dan Almanzo mengatakan kepadanya. Waktu menanam jagung adalah kalau daun pohon ash
sudah seperti telinga tupai. "Tupai yang sebesar apa?" tanya Alice. "Ya, tupai yang
biasa."

"Nah, daun itu sudah sebesar telinga anak tupai. Dan sekarang belum waktunya
menanam jagung."

Selama satu menit, Almanzo kebingungan. Kemudian ia berkata, "Anak tupai


bukan tupai, namanya cindil."

"Namun, itu juga tupai..."

"Bukan. Itu cindil. Anak kucing namanya centeng. Anak anjing namanya kirik,
dan anak tupai namanya cindil. Cemeng bukan kucing, dan cindil juga bukan tupai."
"Oh," kata Alice.

Setelah daun pohon ash cukup besar, Almanzo membantu menanam jagung. Ladang
ditandai dengan alat pemberi tanda untuk menanam kentang. Ayah dengan Royal dan
Almanzo menanam jagung bersama-sama.

Mereka membawa kantung berisi biji jagung yang diikatkan di pinggang seperti
celemek, dan mereka membawa cangkul. Di sudut setiap bujur sangkar, tempat dua alur
bersilang, mereka mengorek tanah dengan cangkul. Mereka membuat lubang dangkal,
menjatuhkan dua butir biji jagung ke dalam lubang, lalu menimbuninya dengan tanah
serta menepuk-nepuk tanah sampai padat.

Ayah dan Royal bekerja cepat. Setiap kali, tangan dan cangkul mereka
melakukan gerakan yang sama. Tiga ayunan yang cepat dengan cangkul, gerakan tangan
yang cepat, kemudian satu kerukan dan dua tepukan dengan cangkul, dan biji jagung
pun tertanam. Kemudian mereka melangkah dengan cepat ke depan, dan melakukannya
lagi.

Namun, Almanzo belum pernah menanam jagung. Ia tidak dapat memainkan cangkul
sebaik mereka. Ia harus maju dua langkah setiap kali Royal atau Ayah maju
selangkah, sebab kakinya lebih pendek. Setiap kali, Ayah dan Royal selalu
mendahuluinya. Ia tidak dapat menyamai langkah mereka. Salah seorang dari mereka
selalu menyelesaikan bagian pekerjaannya pada satu deret, sehingga ia dapat mulai
lagi bersama-sama dengan mereka. Namun, Almanzo tidak merasa senang. Walaupun
demikian, ia tahu bahwa ia akan dapat menanam jagung sama cepatnya dengan siapa
saja, setelah kakinya lebih panjang.
PENJUAL PANCI

PADA suatu senja sesudah matahari terbenam, Almanzo melihat seekor kuda putih
menghela sebuah kereta besar berwarna merah sepanjang jalan. Ia berseru, "Penjual
panci datang! Penjual panci datang!"

Alice lari ke luar kandang ayam dengan celemek penuh telur. Ibu dan Eliza
Jane keluar ke pintu dapur. Royal muncul dari rumah pompa. Anak-anak kuda
mendongakkan kepalanya melalui jendela kandang dan meringkik ke arah kuda putih
yang besar.

Nick Brown, penjual panci, adalah seorang laki-laki gemuk yang periang, yang
suka bercerita dan benyanyi. Pada musim semi, ia berkereta berkeliling daerah,
membawa berita dari jauh dan dekat

Keretanya seperti sebuah rumah kecil terayun-ayun pada tali kulit yang kuat
di antara empat roda yang tinggi. Di kiri kanan kereta ada pintunya, dan dari
belakangnya sebuah panggung miring ke atas seperti ekor burung, diikatkan dengan
tali ke atap kereta. Ada pagar yang bagus mengelilingi atap kereta, dan kereta
dengan panggung dan rodanya semua dicat merah. Dinding kereta yang berisi tulisan
indah-indah dicat kuning. Tinggi di bagian depan, duduklah Nick Brown, pada tempat
duduk merah di atas kuda putihnya yang kuat.

Almanzo bersama Alice dan Royal, dan bahkan Elize Jane, sudah menunggu waktu
kereta berhenti di depan dapur. Ibu tersenyum di ambang pintu.

"Apa kabar, Pak Brown?" seru Ibu. "Tambatkan kudamu dan silakan masuk, makan
malam hampir siap!"

Ayah memanggil dari kandang, "Terus saja ke gudang kereta, Nick! Masih banyak
tempat!"

Almanzo melepaskan kuda besar yang berkilap-kilap, dan menuntunnya ke air.


Kemudian ia memasukkan kuda ke kandang dan memberinya gandum dan rumput banyak-
banyak. Dengan hati-hati, Pak Brown mengerok dan menyikat kudanya, serta menyekanya
dengan kain yang bersih. Ia seorang pemelihara kuda yang baik. Sesudah itu ia
memperhatikan semua ternak dan menyatakan pendapatnya. Ia mengagumi Star dan Bright
serta memuji anak kuda milik ayah.

"Kau pasti akan mendapatkan harga yang bagus untuk kuda ini setelah berumur
empat tahun," katanya kepada Ayah. "Di seberang Saranac, pembeli dari New York
mencari-cari kuda penghela. Salah seorang dari mereka membayar dua ratus dolar
seekor minggu yang lalu untuk kuda yang sedikit pun tidak lebih baik daripada ini."

Almanzo tidak dapat berbicara sementara orang dewasa sedang bercakap-cakap,


tentu saja. Namun, ia dapat mendengarkan. Ia tidak melewatkan sedikit pun yang
dikatakan oleh Pak Brown. Ia tahu bahwa saat yang baik akan tiba sesudah makan
malam.

Nick Brown dapat menceritakan cerita lucu dan bernyanyi lebih banyak daripada
siapa pun juga. Ia sendiri mengatakannya, dan itu memang benar.

"Ya," katanya, "Aku bukan hanya berani melawan setiap orang. Namun, melawan
setiap kelompok orang. Aku berani bertanding bercerita dan menyanyi, kapan saja
orang menantangku. Dan setelah mereka semua selesai, aku akan menceritakan kisah
terakhir dan menyanyikan lagu terakhir."

Ayah tahu bahwa ini benar. Ia sudah pernah mendengar Nick Brown melakukannya
di toko Pak Case di Malone.

Jadi, sesudah makan malam, mereka semua duduk-duduk dekat tungku pemanas dan
Pak Brown memulai aksinya.

Sesudah lewat pukul sembilan barulah mereka pergi tidur dan perut Almanzo
sakit rasanya karena tertawa.

Keesokan paginya, sesudah sarapan, Pak Brown memasangkan kuda putih ke kereta
dan menjalankan kereta ke muka dapur, serta membuka pintunya yang berwarna merah.

Di dalam kereta terdapat segala macam benda yang terbuat dari kaleng. Di rak-
rak sepanjang dinding kereta terdapat ember kaleng yang berkilap, demikian pula
loyang, baskom, loyang kue, loyang roti, dan tempat mencuci piring. Di atas
bergantungan mangkuk dan gayung, parut dan saringan, serta panggangan. Ada juga
terompet kaleng, peluit kaleng, piring mainan kaleng, panggangan kue mainan, dan
segala jenis binatang kecil yang terbuat dari kaleng dan dicat bagus sekali.

Pak Brown membuat ini semua sendiri selama musim dingin. Setiap benda dibuat
dari kaleng yang tebal dan bagus, dibuat dengan sebaik-baiknya serta dipateri kuat-
kuat.

Ibu mengeluarkan kantung besar berisi guntingan kain dari loteng, dan
menumpahkan ke lantai semua guntingan kain yang disimpannya dalam waktu setahun
yang terakhir. Pak Brown memeriksa guntingan kain wol dan linen yang bersih dan
bagus. Sementara itu, Ibu melihat-lihat perabotan kaleng yang berkilap-kilap, dan
mereka pun mulai tawar-menawar.

Lama sekali mereka tawar-menawar dan berdebat. Perabotan kaleng yang


berkilap-kilap dan guntingan kain bertumpuk-tumpuk tersebar di lantai. Untuk setiap
tumpuk guntingan kain yang ditambahkan oleh Nick Brown ke tumpukan besar, Ibu
meminta perabotan kaleng lebih banyak daripada yang ingin ditukarkan oleh Nick
Brown kepada Ibu. Keduanya tawar-menawar sambil melucu dan bergurau, serta tertawa-
tawa. Akhirnya, Pak Brown berkata, "Baiklah, Nyonya."

"Aku akan menukarkan tempat susu, ember, tapisan, dan parut, serta tiga
loyang panggangan. Namun, tempat cuci piring tidak. Itulah tawaranku yang
terakhir."

"Baiklah, Pak Brown," kata Ibu, tidak terduga-duga. Memang itulah yang
diinginkannya. Almanzo tahu bahwa Ibu tidak memerlukan tempat cuci piring. Ibu
hanya menyertakannya untuk tawar-menawar saja. Pak Brown juga kini sudah tahu. Ia
tampak terkejut, dan memandangi Ibu penuh rasa hormat. Ibu memang pandai dan cerdik
dalam tawar-menawar. Ia sudah mengalahkan Pak Brown. Namun, Pak Brown juga merasa
puas, karena ia mendapatkan banyak sekali guntingan kain yang bagus untuk perabotan
kalengnya.

Ia mengumpulkan semua guntingan kain dan mengikatnya menjadi segulung.


Gulungan ini diangkat ke panggung yang miring di belakang keretanya. Panggung dan
pagar di sekeliling atap kereta dibuat untuk tempat guntingan kain yang didapatnya
dalam tukar-menukar.

Kemudian, Pak Brown saling menggosokkan tangannya dan melihat berkeliling,


sambil tersenyum.
"Nah," katanya, "Sekarang apa kira-kira yang diinginkan oleh anak-anak muda
ini?"

Ia memberi Eliza Jane enam buah panggangan kue mainan berbentuk berlian untuk
memanggang kue kecil. Alice mendapatkan enam buah panggangan kue mainan berbentuk
hati, sementara Almanzo diberikan sebuah terompet kaleng bercat merah.

Mereka semua berkata, "Terima kasih, Pak Brown!."

Kemudian, Pak Brown naik ke tempat duduknya yang tinggi dan mengambil
kendali. Kuda putihnya yang besar melangkah penuh semangat, setelah makan kenyang
dan disikat serta istirahat. Kereta merah itu melalui rumah serta membelok ke
jalan, dan Pak Brown mulai bersiul.

Ibu sudah mendapatkan semua perabotan kaleng yang diperlukannya untuk


setahun. Almanzo memperoleh terompet yang bunyinya keras. Dan Nick Brown
menjalankan kereta sambil bersiul-siul di antara pohon-pohonan yang hijau dan
ladang. Sampai ia datang lagi pada musim semi yang akan datang, mereka akan selalu
teringat pada berita yang dibawanya serta tertawa akan leluconnya. Dan di belakang
pasangan kudanya di ladang, Almanzo akan menyiulkan lagu yang dinyanyikannya.

ANJING GELANDANGAN

NICK Brown mengatakan bahwa ada pembeli kuda dari New York di daerah mereka.
Jadi, setiap malam Ayah merawat anak kuda yang berumur empat tahun secara hati-hati
dan istimewa. Kuda yang berumur empat tahun ini sudah dilatih dengan sempurna, dan
Almanzo ingin sekali membantu merawat kuda ini kalau diperbolehkan oleh ayahnya.
Namun, ia hanya diizinkan masuk ke kandang mereka kalau Ayah ada di sana.

Dengan hati-hati Almanzo mengerok dan menyikat kulit mereka yang berkilap
serta kaki mereka yang ramping. Kemudian ia menggosok mereka dengan kain yang
bersih. Ia menyisir dan menjalin surai dan ekor mereka yang hitam dan panjang.
Dengan sikat kecil, ia meminyaki kuku mereka yang melengkung, sampai hitam berkilap
seperti tungku Ibu yang selalu digosok.

Ia selalu hati-hati agar tidak bergerak dengan tiba-tiba dan mengejutkan


mereka. Sambil bekerja, ia bercakap-cakap kepada mereka dengan suara rendah dan
lemah lembut. Anak-anak kuda ini menjilati lengan bajunya, dan menciumi sakunya,
mencari apel yang dibawakan untuk mereka. Mereka melengkungkan leher kalau ia
menggosok hidungnya yang seperti beledu, dan mata mereka bersinar-sinar.

Almanzo tahu bahwa di seluruh dunia tidak ada yang lebih indah dan memesona
daripada kuda yang cantik. Waktu berpikir bahwa masih bertahun-tahun lagi sebelum
ia boleh memiliki anak kuda untuk dilatih dan dirawat, ia hampir-hampir tidak tahan
lagi.

Suatu sore, seorang pembeli kuda datang dengan menunggangi kuda ke lapangan
di muka kandang. Ia seorang pembeli kuda yang masih asing. Ayah belum pernah
melihatnya. Ia mengenakan pakaian kota yang terbuat dari kain buatan mesin, dan
memukul-mukul sepatu bot panjangnya yang berkilap-kilap dengan cambuk kecil
berwarna merah. Matanya yang hitam dekat dengan hidungnya yang kurus. Janggutnya
yang hitam digunting sampai runcing, dan ujung kumisnya diberi lilin dan dipilin.

Ia kelihatan sangat aneh, berdiri di lapangan dan sambil berpikir memilin-


milin satu ujung kumisnya sehingga lebih runcing.

Ayah menuntun anak kuda keluar. Mereka adalah sepasang kuda Morgan yang
sangat bagus, dengan ukuran yang tepat sama, bentuk yang sama, kulit cokelat yang
sama, dengan bintang putih yang sama pada tiap-tiap kepala mereka. Mereka
melengkungkan leher dan melangkah tangkas dengan kakinya yang kecil-kecil.

"Berumur empat tahun pada bulan Mei, kuat dalam pernapasan dan anggota badan,
dan tidak ada cacat sedikit pun," kata Ayah. "Dilatih untuk menarik berdua atau
sendirian. Semangat mereka tinggi, dan mereka penurut seperti anak kucing. Seorang
wanita dapat mengendalikan mereka."

Almanzo mendengarkan. Ia senang sekali. Namun, ia mengingat baik-baik semua


yang dikatakan oleh Ayah dan si pembeli kuda. Kelak, di kemudian hari ia pun juga
akan berdagang kuda.

Si pembeli memeriksa kaki kuda, kemudian membuka mulut mereka dan melihat ke
giginya. Ayah tidak mengkhawatirkan apa-apa dari itu. Ia tidak berbohong tentang
umur anak kuda. Kemudian si pembeli mundur dan memperhatikan, sementara Ayah
menuntun setiap anak kuda dengan tali yang panjang dan mengajak mereka berjalan,
lari-lari kecil dan lari cepat dalam lingkaran mengelilinginya.

"Lihat gerakannya," kata Ayah. Surai dan ekor yang hitam dan berkilap-kilap
melambai-lambai di udara. Cahaya cokelat seakan memancar dari tubuh mereka yang
halus, dan kaki mereka yang ramping hampir-hampir tidak menyentuh tanah. Mereka
terus lari berputar-putar, dalam pasangan yang tidak terpisahkan.

Si pembeli memperhatikan. Ia berusaha menemukan cacat, tetapi tidak


mendapatkannya. Kedua anak kuda berdiri diam-diam, dan Ayah menunggu.

Akhirnya, si pembeli menawarkan harga seratus tujuh puluh lima dolar. Ayah
mengatakan ia tidak mau menerima kurang dari dua ratus dua puluh lima dolar.
Almanzo tahu Ayah mengatakan ini, karena ia menginginkan harga dua ratus dolar.
Nick Brown mengatakan kepadanya bahwa pembeli kuda membayar sebanyak itu.

Kemudian Ayah memasang kedua anak kuda ke kereta. Ia dan si pembeli naik ke
kereta beroda dua ini, dan mereka pun pergi berkereta di jalan besar. Kepala anak
kuda diangkat tinggi-tinggi, hidung mereka dijulurkan ke depan. Surai dan ekor
mereka diterbangkan angin karena kecepatan mereka berlari, dan kaki mereka
melangkah bersama-sama seakan-akan mereka hanya seekor kuda. Dalam sesaat kereta
sudah lenyap dari pandangan mata.

Almanzo tahu bahwa ia harus meneruskan pekerjaannya. Ia masuk ke bangsal dan


mengambil garpu rumput. Kemudian ia meletakkannya lagi dan keluar untuk melihat
kembalinya kedua anak kuda.

Waktu mereka kembali, Ayah dan si pembeli kuda belum mendapatkan kesepakatan
harga. Ayah menarik-narik janggutnya, dan si pembeli memilin-milin kumisnya. Si
pembeli berbicara tentang ongkos yang harus dikeluarkan untuk membawa anak kuda ke
New York, dan tentang rendahnya harga di sana. Ia juga harus memikirkan laba.
Tawaran paling baik yang dapat diajukannya hanya seratus tujuh puluh lima dolar.

Ayah berkata, "Aku akan membagi perbedaan harga kita. Dua ratus dolar, dan
itulah harga yang terakhir."

Si pembeli berpikir, dan menjawab, "Kurasa aku tidak dapat membayar sampai
sebanyak itu."

"Baiklah," kata Ayah. "Jangan berkecil hati, dan kami senang sekali kalau kau
tinggal untuk ikut makan malam bersama." Ia mulai melepaskan anak kuda.

Si pembeli berkata, "Di seberang Saranac, mereka menjual kuda yang lebih baik
daripada ini dengan harga seratus tujuh puluh lima dolar."

Ayah tidak menjawab. Ia melepaskan kuda dari kereta dan menuntun mereka ke
kandangnya. Kemudian si pembeli berkata, "Baiklah, dua ratus. Mungkin aku akan
rugi, tetapi biarlah. Ini uangnya."

Ia mengeluarkan dompet yang tebal dari sakunya dan memberi Ayah $200 sebagai
tanda jadi. "Bawa mereka ke kota besok pagi, dan ambil sisanya."

Kedua anak kuda sudah terjual, dengan harga yang dikehendaki Ayah.

Si pembeli kuda tidak mau menunggu untuk ikut makan malam. Ia pergi berkuda,
dan Ayah memberikan uang itu kepada Ibu di dapur. Ibu berseru, "Kau akan menyimpan
uang sebanyak itu semalaman?"

"Sudah terlambat untuk membawanya ke bank," kata Ayah. "Kita cukup aman.
Selain kita, tidak seorang pun yang tahu bahwa uang ini di sini."

"Tetapi, aku tidak akan bisa tidur sepicing pun!"

"Tuhan akan menjaga kita," kata Ayah.

"Tuhan menolong orang yang menolong dirinya sendiri," tukas Ibu. "Aku ingin
sekali uang ini aman di bank."

Waktu bekerja sudah lewat, dan Almanzo harus buru-buru ke kandang membawa
ember susu. Kalau sapi tidak diperah pada waktu yang tepat, malam dan pagi, mereka
tidak akan memberikan susu cukup banyak. Setelah itu, tempat makanan dan kandang
harus dibersihkan, dan semua ternak harus diberi makan. Hampir pukul delapan malam
barulah semua selesai dikerjakan, dan Ibu selalu menjaga agar makan malam selalu
hangat.

Waktu makan tidak penuh kegembiraan seperti biasa. Ada perasaan yang
menakutkan dan berat karena adanya uang ini. Ibu menyembunyikannya di lemari makan,
kemudian ia memindahkannya ke lemari tempat barang-barang linen. Sesudah makan, ia
mulai membuat adonan untuk dipanggang besok pagi, dan merasa khawatir lagi
memikirkan uang. Tangannya terus bekerja dengan cepat mengaduk adonan roti dengan
sendok, dan ia berkata, "Rasanya tidak akan ada orang yang mencari-cari di antara
seprai di lemari, tetapi kupikir... apa itu?"

Mereka semua terlonjak. Mereka menahan napas dan pasang telinga.

"Sesuatu atau seseorang sedang berkeliaran di sekeliling rumah ini!" Ibu


berbisik.

Yang dilihat waktu mereka melayangkan pandangan ke jendela hanyalah kegelapan


di luar. "Ah! Tidak ada apa-apa," kata Ayah. "Sungguh, aku mendengar sesuatu!" "Aku
tidak mendengar apa-apa," kata Ayah. "Royal," kata Ibu, "kau pergi lihat."

Royal membuka pintu dapur dan mengintip ke dalam kegelapan. Sejenak kemudian
ia berkata, "Itu hanya seekor anjing gelandangan." "Usir ia pergi!" kata Ibu. Royal
pergi ke luar dan mengusir anjing ini. Almanzo ingin sekali punya anjing. Namun,
anjing kecil biasanya mengorek-ngorek kebun, mengejar-ngejar ayam dan mencuri
telur, dan anjing yang besar dapat membunuh biri-biri. Ibu selalu mengatakan bahwa
ternak sudah cukup banyak, tidak ada tempat lagi untuk seekor anjing yang kotor.

Ibu menyimpan adonan roti. Almanzo mencuci kakinya. Ia harus mencuci kakinya
tiap malam, kalau ia ke mana-mana tanpa memakai alas kaki.

Ia sedang mencuci kaki waktu mereka semua mendengar suara di serambi


belakang.

Mata Ibu melebar. Royal berkata, "Itu hanya anjing yang tadi."

Royal membuka pintu. Mula-mula ia tidak melihat apa-apa, dan mata Ibu semakin
melotot. Kemudian mereka melihat seekor anjing yang besar dan kurus mundur ke
tempat yang terlindung. Tulang rusuknya tampak menonjol di balik kulitnya.

"Oh, Ibu! Kasihan anjing itu!" seru Alice. "Ibu, bolehkah aku memberinya
makanan sedikit saja?"

"Astaga, ya boleh, Nak!" kata Ibu. "Kau dapat mengusirnya besok pagi-pagi,
Royal."

Alice meletakkan sebuah piring berisi makanan untuk anjing. Anjing ini tidak
berani mendekat waktu pintu dibuka. Namun, setelah Almanzo menutup pintu, mereka
mendengarnya mengunyah makanan. Ibu memutar-mutar gagang pintu dua kali untuk
meyakinkan bahwa pintu sudah dikunci.

Kegelapan masuk ke dapur waktu mereka meninggalkannya dengan membawa lilin,


dan kegelapan mengintip masuk melalui jendela ruang makan. Ibu mengunci kedua pintu
ruang makan, dan ia bahkan memeriksa pintu ruang depan, walaupun pintu ini selalu
terkunci.

Almanzo berbaring di tempat tidurnya lama sekali, mendengar-dengarkan dan


melihat kegelapan. Namun akhirnya ia teridap tidur, dan tidak tahu apa yang terjadi
pada malam itu sampai Ibu menceritakannya keesokan harinya.

Ibu menaruh uang di bawah kaus kaki ayah di laci meja tulis. Namun setelah ia
pergi ke tempat tidur, ia bangun lagi dan menaruh uang di bawah bantal. Rasanya, ia
sama sekali tidak dapat tidur. Namun ia pasti tertidur, karena di waktu malam
sesuatu membangunkannya. Ia duduk tegak di tempat tidur dengan mata nyalang. Ayah
tetap tidur nyenyak.

Bulan bersinar dan Ibu dapat melihat pohon bunga lila di halaman. Di mana-
mana semuanya tenang. Lonceng berbunyi sebelas kali. Kemudian darah Ibu menjadi
dingin rasanya. Ia mendengar geraman rendah dan galak.

Ibu turun dari tempat tidur dan pergi ke jendela. Anjing gelandangan ini
berdiri di bawah jendela, semua bulunya tegak dan menunjukkan giginya. Ia berlaku
seakan-akan ada seseorang dekat tempat penyimpanan kayu.

Ibu berdiri memasang telinga dan melihat. Di bawah pepohonan ada bayangan
gelap, dan ia tidak dapat melihat seorang pun. Namun, anjing itu terus menggeram
garang ke arah kegelapan.

Ibu terus mengawasi. Ia mendengar lonceng berbunyi menunjukkan waktu tengah


malam, dan setelah lama sekali lonceng berbunyi menunjukkan pukul satu. Anjing itu
berjalan hilirmudik dekat pagar, menggeram. Akhirnya, anjing ini berbaring, Namun
tetap mengangkat kepala dan telinganya, mendengarkan. Ibu berjalan perlahan-lahan
kembali ke tempat tidur.
Di waktu fajar, anjing ini sudah pergi. Mereka mencari-carinya, tetapi tidak
dapat menemukannya di mana pun. Namun, jejak kakinya ada di halaman, dan di
seberang pagar, dekat tempat penyimpanan kayu. Ayah menemukan jejak sepatu bot dua
orang laki-laki.

Ayah segera memasang kuda pada kereta, sebelum makan pagi, dan menambatkan
kedua anak kuda di belakang kereta. Lalu ia pergi ke Malone. Ia menyimpan uang dua
ratus dolar di bank. Ia mengantarkan kedua anak kuda kepada si pembeli kuda dan
menerima uang dua ratus dolar sisanya. Uang ini pun dimasukkannya ke bank.

Kemudian ia pulang untuk menceritakannyakepada Ibu.

"Kau benar. Kita hampir saja dirampok semalam."

Seorang petani dekat Malone menjual sepasang kuda seminggu yang lalu, dan
menyimpan uangnya di rumah. Malam itu, perampok mendobrak rumahnya waktu ia sedang
tidur. Mereka mengikat istri dan anak-anaknya, lalu memukulinya sampai hampir mati,
untuk memaksa mengatakan tempat uang tersebut disembunyikan. Mereka mengambil uang
dan pergi. Sherif sedang mencari-cari mereka.

"Aku tidak heran kalau pembeli kuda ini juga ikut ambil bagian," kata Ayah.
"Siapa lagi yang tahu bahwa kita punya uang di rumah? Tetapi itu tidak dapat
dibuktikan. Aku melakukan penyelidikan, dan ia ada di hotel di Malone semalam."

Ibu mengatakan bahwa ia yakin Tuhan Yang Mahapengasih mengirim anjing


gelandangan ini untuk menjaga mereka. Almanzo berpikir bahwa mungkin anjing ini
tinggal di rumah mereka karena Alice memberinya makan.

"Mungkin anjing ini dikirim untuk menjaga kita," kata Ibu. "Mungkin Tuhan
berbelas kasihan kepada kita karena kita berbelas kasihan kepada anjing ini."

Mereka tidak pernah lagi melihat anjing gelandangan ini. Mungkin ia seekor
anjing yang hilang, dan makanan yang diberikan Alice membuatnya cukup kuat untuk
menemukan jalan pulang ke rumahnya lagi.

MENCUKUR BIRI-BIRI

KINI padang rumput dan padang penggembalaan sudah penuh dengan rumput yang
tebal, dan cuaca terasa panas. Sudah tiba waktunya untuk mencukur biri-biri.

Suatu pagi yang cerah, Pierre dan Louis pergi bersama Almanzo ke padang
penggembalaan, dan mereka menggiring biri-biri ke kandang pencucian.

Kandang memanjang dari padang rumput ke lubuk di Sungai Trout yang jernih.
Kandang ini punya dua pintu gerbang yang membuka ke padang rumput, dan di antara
pintu gerbang ada pagar rendah yang menuju ke tepi air.

Pierre dan Louis menjaga agar kawanan biri-biri tidak lari, sementara Almanzo
menangkap seekor biri-biri dan mendorongnya melalui sebuah pintu gerbang. Di dalam
kandang, Ayah dan Lazy John menangkap biri-biri. Kemudian, Almanzo mendorong seekor
biri-biri lainnya, dan Royal serta French Joe menangkapnya. Biri-biri lainnya
melihat sambil mengembik-embik, dan kedua biri-biri yang sedang dipegangi berontak,
menyepak-nyepak, dan menjerit-jerit. Namun, mereka menggosok bulu biri-biri ini
dengan sabun serta menyeret mereka ke air yang dalam.

Di situ biri-biri harus berenang. Orang-orang berdiri di air yang deras


setinggi pinggang, memegangi biri-biri dan menggosok mereka sampai bersih. Semua
kotoran keluar dari wol dan mengalir bersama busa sabun mengikuti arus air.

Saat semua biri-biri melihat hal ini, mereka semua berteriak-teriak, "Mbeeek,
mbeeek!" dan berusaha lari. Namun, Almanzo, Pierre, serta Louis mengejar sambil
berteriak-teriak mengepung kawanan biri-biri dan menggiring mereka kembali ke pintu
gerbang.

Segera setelah seekor biri-biri selesai dibersihkan, mereka menyuruh biri-


biri ini berenang mengelilingi ujung pagar pemisah dan naik ke tanggul di bagian
luar kandang. Biri-biri ini keluar dari air mengembik-embik dengan badan basah
kuyup, tetapi matahari segera mengeringkan wolnya yang putih dan tebal.

Begitu mereka melepaskan seekor biri-biri, Almanzo mendorong seekor biri-biri


lagi ke dalam kandang. Mereka menangkapnya, menyabuninya, dan menyeretnya ke dalam
sungai.

Memandikan biri-biri sangat menyenangkan bagi setiap orang, kecuali bagi


biri-biri itu sendiri. Laki-laki dewasa menyiramkan air, berteriak-teriak, dan
tertawa-tawa dalam air. Anak-anak laki-laki berlarian dan berteriak-teriak di
padang rumput. Sinar matahari terasa hangat pada punggung mereka dan rumput terasa
sejuk di bawah kaki telanjang. Suara tawa mereka kedengaran sangat lemah di padang
luas yang sunyi dan menyenangkan.

Seekor biri-biri menyeruduk John. Ia jatuh terduduk di sungai, sampai air


menenggelamkan kepalanya.

Joe berseru, "Kalau bulumu juga sudah disabuni, John, kau sudah siap untuk
dicukuri."

Setelah senja tiba, semua biri-biri sudah selesai dimandikan. Dengan bulu
yang tebal putih dan bersih, mereka menyebar di lereng bukit, makan rumput. Padang
penggembalaan tampak seakan-akan penuh dengan bunga bola salju yang sedang
bermekaran.

Keesokan harinya, John datang sebelum makan pagi, dan Ayah cepat-cepat
menyuruh Almanzo meninggalkan meja makan. Ia mengambil sepotong kue apel dan pergi
ke padang penggembalaan, merasakan nikmatnya bau bunga semanggi sambil memakan kue
apel yang lezat. Ia menjilat-jilat jarinya, kemudian mengumpulkan biri-biri serta
menggiring mereka melintasi padang rumput, ke kandang biri-biri di bangsal selatan.

Ayah sudah membersihkan kandang biri-biri dan membuat sebuah panggung di


salah satu ujungnya. Ia dan Lazy John masing-masing menangkap seekor biri-biri,
menaruhnya di atas panggung, dan mulai memotong wolnya dengan gunting panjang. Wol
yang tebal dan putih terkupas, menjadi satu gumpalan, dan kini biri-biri hanya
terbungkus oleh kulitnya yang merah muda.

Dengan guntingan terakhir, semua bulu jatuh ke panggung, dan biri-biri yang
telanjang ini terjun sambil berteriak, "Mbeeek!" Semua biri-biri lainnya menyambut
teriakan ini begitu melihat temannya. Namun, Ayah dan John sudah mencukur dua ekor
biri-biri lagi.

Royal menggulung bulu biri-biri erat-erat dan mengikatnya dengan tali,


sementara Almanzo membawanya ke atas untuk menaruhnya di lantai loteng. Ia lari ke
atas dan ke bawah lagi secepat-cepatnya, tetapi bulu biri-biri lainnya sudah siap
untuk dibawanya.

Ayah dan Lazy John adalah pencukur biri-biri yang pandai. Gunting panjang
mereka memotong wol yang tebal secepat kilat. Mereka memotong dekat sekali ke
kulit, tetapi tidak pernah melukai kulit yang merah muda. Ini bukan hal yang mudah
dilakukan karena biri-biri Ayah adalah biri-biri Merino. Biri-biri Merino punya wol
yang paling bagus, tetapi kulit mereka berlipat-lipat, sehingga sulit sekali
menggunting semua wol tanpa melukai kulitnya.

Almanzo bekerja cepat, lari ke atas membawa bulu biri-biri. Bulu ini begitu
beratnya sehingga ia hanya dapat membawa segulung saja. Ia tidak bermaksud
bermalas-malasan, tetapi saat melihat kucing betina melintasi dengan cepat membawa
seekor tikus, ia tahu bahwa kucing ini membawa tikus untuk anak-anaknya yang baru
lahir.

Almanzo lari mengejarnya, dan di bawah cucuran atap bangsal besar ia


menemukan sarang di rumput, dengan empat ekor anak kucing di dalamnya. Kucing
betina ini bergelung melindungi anaknya, mendengkur dengan keras. Celah hitam pada
matanya melebar dan menyempit dan melebar lagi. Mulut anak kucing yang kecil dan
kemerahan mengeluarkan bunyi meongan lemah, pada cakar mereka yang kecil terdapat
kuku yang kecil-kecil dan putih, dan mata mereka masih tertutup.

Saat Almanzo kembali ke kandang biri-biri, enam gulung bulu sudah menunggu.
Ayah menegurnya dengan tegas.

"Nak," katanya, "sesudah ini usahakan supaya kau tidak ketinggalan lagi."

"Ya, Ayah," jawab Almanzo, cepat-cepat. Namun, ia mendengar Lazy John


berkata, "Ia tidak mungkin melakukannya. Kita pasti akan selesai lebih dulu
sebelumnya."

Kemudian Ayah tertawa dan berkata, "Memang begitu, John. Ia pasti akan selalu
ketinggalan." Almanzo bertekad akan menunjukkan kepada mereka. Kalau ia bekerja
cukup cepat, ia tidak akan ketinggalan. Sebelum tengah hari ia sudah membawa semua
bulu biri-biri Royal, dan harus menunggu sementara segulung bulu biri-biri diikat.
Jadi, dia berkata, "Lihat, sekarang aku dapat menyusul kalian!"

"Tidak, tidak mungkin!" kata John. "Kami akan mengalahkanmu. Kami akan
selesai sebelum kau. Tunggu dan lihat saja."

Kemudian mereka semua menertawakan Almanzo. Mereka sedang tertawa saat mereka
mendengar terompet sebagai panggilan untuk makan. Ayah dan John menyelesaikan
mencukur biri-biri, dan masuk ke rumah. Royal mengikat bulu yang terakhir dan
meninggalkannya, sementara Almanzo masih harus membawanya ke atas. Kini ia mengerti
apa yang mereka maksudkan. Namun, ia berpikir, "Aku tidak akan membiarkan mereka
mengalahkanku."

Ia menemukan seutas tali pendek dan mengikatkannya ke leher seekor biri-biri


yang belum dicukur. Ia menuntun biri-biri ini ke atas, setindak demi setindak ia
menyeret biri-biri ini ke loteng. Biri-biri ini terus mengembik-embik, tetapi
akhirnya Almanzo berhasil juga memasukkannya ke loteng.

Ia mengikat biri-biri ini dekat tumpukan bulu dan memberinya sedikit rumput
supaya tenang. Kemudian ia pergi ke rumah untuk makan.

Sepanjang siang itu Lazy John dan Royal selalu menyuruhnya buru-buru, kalau
tidak mereka akan mengalahkannya. Almanzo menjawab, "Tidak, kalian tidak akan
mengalahkanku. Aku akan berusaha supaya tidak akan ketinggalan."
Kemudian mereka menertawakannya.

Almanzo merenggut setiap gulung bulu, segera setelah Royal mengikatnya, lalu
cepat-cepat naik ke atas dan turun ke bawah lagi. Mereka tertawa melihatnya
tergesa-gesa, dan selalu berkata, "Tidak bisa, kau tidak akan mengalahkan kami!
Kami pasti akan selesai lebih dulu!"

Tepat sebelum waktu bekerja tiba, Ayah dan John beradu cepat untuk mencukur
dua ekor biri-biri yang terakhir. Ayah menang. Almanzo lari membawa segulung bulu,
dan kembali sebelum bulu yang terakhir siap dibawa. Royal mengikatnya, dan kemudian
ia berkata, "Kami sudah selesai! Almanzo, kami mengalahkanmu! Kami mengalahkanmu!"
Royal dan John tertawa tergelak-gelak, dan bahkan Ayah ikut tertawa.

Kemudian Almanzo berkata, "Tidak, kalian tidak mengalahkanku. Aku sudah


mengantarkan bulu biri-biri ke atas yang belum kau cukur."

Mereka berhenti tertawa, keheranan. Pada saat itu juga biri-biri yang ada di
loteng, mendengar semua biri-biri lainnya sudah dilepaskan untuk makan rumput,
berseru, "Mbeeek!."

Almanzo berseru, "Itulah bulunya! Aku sudah membawanya ke atas dan kau belum
mencukurnya! Aku mengalahkanmu!."

Rupanya John dan Royal merasa begitu lucu sehingga ia tidak dapat berhenti
tertawa. Ayah tertawa terbahak-bahak.

"Sekarang ganti kau yang ditertawakan, John!" seru Ayah. "Yang mendapat
kemenangan adalah yang tertawa paling akhir!"

SERANGAN HAWA DINGIN

WAKTU itu musim semi hampir berakhir, dan hawa terasa sangat dingin. Di waktu
fajar, udara membuat orang menggigil dan di tengah hari sinar matahari terasa
sejuk. Pepohonan melipat daunnya perlahan-lahan. Tanaman kacang-kacangan, wortel,
dan jagung berdiri menunggu udara hangat dan tidak mau tumbuh.

Setelah kesibukan kerja musim semi berakhir, Almanzo harus pergi ke sekolah
lagi. Hanya anak-anak kecil saja yang bersekolah pada masa sekolah musim semi, dan
Almanzo ingin sekali tinggal di rumah karena ia sudah cukup besar. Ia tidak suka
duduk dan mempelajari sebuah buku di waktu banyak pekerjaan menarik yang dapat
dilakukan.

Ayah membawa bulu biri-biri ke mesin penyikat di Malone, dan membawa pulang
gulungan wol yang panjang dan lembut, sesudah disisir menjadi lurus dan bagus. Ibu
tidak pernah menyikat wol sendiri lagi, sejak ada mesin yang dapat melakukannya.
Namun, Ibu mewarnainya.

Alice dan Eliza Jane mengumpulkan akar dan kulit kayu di hutan, dan Royal
membuat api unggun yang besar di halaman. Mereka merebus akar dan kulit kayu dalam
kuali besar di atas api, lalu memasukkan benang wol yang sudah dipintal oleh Ibu.
Kemudian mereka mengangkat wol dengan bilah kayu, sudah berwarna cokelat dan merah
serta biru. Waktu Almanzo pulang dari sekolah, tali jemuran penuh dengan benang wol
aneka warna yang bergantungan untuk dikeringkan.

Ibu juga membuat sabun lunak. Semua abu dari musim dingin disimpan dalam
sebuah tong. Kini, air dituangkan ke atasnya, dan air abu menetes dari lubang kecil
pada dasar tong. Ibu menakar air abu dan memasukkannya ke dalam kuali, kemudian
menambahkan lemak yang disimpannya sepanjang musim dingin. Air dalam kuali
mendidih, dan air abu dengan lemak menjadi sabun.

Almanzo tentu saja dapat menjaga api supaya tetap menyala. Ia dapat
mengeluarkan sabun lunak dari kuali dan memasukkannya ke dalam bak. Namun, ia harus
pergi ke sekolah.

Dengan rasa tidak sabar, ia terus-menerus memperhatikan bulan, sebab bila


bulan dalam bulan Mei gelap penuh ia tidak usah berangkat sekolah dan menanam labu.

Kemudian, pada suatu pagi buta yang dingin, ia mengikatkan sekantung biji
labu pada pinggangnya dan pergi ke ladang jagung. Kini, seluruh ladang yang gelap
penuh dengan tumbuhan berwarna hijau. Tanaman jagung yang kecil-kecil tidak tumbuh
dengan subur karena hawa dingin.

Pada setiap gundukan tanaman jagung yang kedua dan setiap deretan yang kedua,
Almanzo berlutut dan mengeluarkan biji labu dari kantung. Biji labu dipegangnya di
antara ibu jari dan telunjuk. Ia memasukkan biji ini dengan ujungnya yang tajam ke
dalam tanah.

Mula-mula Almanzo bekerja dalam udara dingin yang menusuk, tetapi segera
matahari naik makin tinggi. Udara dan tanah berbau sedap dan rasanya senang sekali
memasukkan telunjuk dan ibu jari ke dalam tanah yang lunak dan meninggalkan biji di
situ supaya tumbuh. Berhari-hari ia bekerja, sampai semua labu ditanam. Kemudian ia
minta agar diperbolehkan menyiangi tanaman wortel. Ia menyiangi semua rumput dari
deretan yang panjang, kemudian mencabuti tunas wortel yang kecil-kecil sampai yang
tertinggal masing-masing berjarak lima sentimeter.

Ia sama sekali tidak tergesa-gesa. Tidak ada seorang pun yang seteliti
dirinya merawat tanaman wortel, sebab ia tidak ingin kembali ke sekolah. Ia membuat
pekerjaan baru selesai setelah masa sekolah hanya tinggal tiga hari lagi. Setelah
itu, masa sekolah musim semi berakhir dan ia dapat bekerja sepanjang musim panas.

Mula-mula ia membantu menyiangi ladang jagung. Ayah membajak di antara


deretan tanaman jagung, sementara Royal dan Almanzo dengan cangkul membabat semua
rumput yang tertinggal, serta menyiangi sekeliling gundukan tanaman jagung. Kacruk,
kacruk, bunyi cangkul sepanjang hari, mengaduk-aduk tanah di sekeliling tunas
jagung yang masih muda dan dua helai daun labu yang pertama.

Almanzo menyiangi dua are ladang jagung, kemudian ia menyiangi 200 meter
persegi tanaman kentang. Untuk sementara, pekerjaan menyiangi sudah selesai, kini
musim buah arbei sudah tiba.

Buah arbei liar pada tahun itu sedikit sekali dan terlambat, sebab salju
membunuh bunga yang pertama. Almanzo terpaksa harus pergi jauh-jauh masuk hutan
untuk mengisi embernya penuh-penuh dengan buah yang kecil-kecil, manis, dan harum.

Waktu menemukan rangkaian buah arbei di bawah daun yang hijau, ia tidak dapat
menahan seleranya untuk memakan beberapa buah. Ia juga mematahkan cabang yang masih
hijau dan memakan buah musim dingin. Kemudian ia mengunyah batangnya yang manis-
manis asam, sampai ke tangkai bunganya yang biru. Ia berhenti untuk melemparkan
batu kepada tupai yang berkelebat, dan meninggalkan embernya di tepi sungai untuk
mengarungi air dan mengejar-ngejar ikan kecil. Namun ia tidak pernah pulang sebelum
embernya penuh.
Di waktu makan malam, dihidangkan krim campur buah arbei, dan hari berikutnya
Ibu akan membuat manisan buah arbei.

"Aku belum pernah melihat jagung tumbuh begitu lambat," kata Ayah dengan rasa
khawatir. Ia membajak ladang lagi dan sekali lagi Almanzo membantu Royal menyiangi
tanaman jagung. Namun, tunas jagung yang kecil tidak semakin tinggi. Pada tanggal 1
Juli, tingginya hanya 10 cm. Tanaman ini rupanya merasakan adanya bahaya yang
mengancam, dan takut untuk tumbuh.

Tiga hari lagi Hari Kemerdekaan tiba, yaitu pada tanggal 4 Juli. Kemudian
hanya tinggal dua hari lagi. Kemudian tinggal satu hari lagi, dan malam itu Almanzo
harus mandi, walaupun itu bukan malam Minggu. Keesokan paginya, mereka semua pergi
menghadiri perayaan di Malone. Almanzo hampir-hampir tidak sabar menunggu sampai
pagi. Pada perayaan Hari Kemerdekaan akan ada band, pidato, dan meriam kuningan
akan ditembakkan.

Malam itu udara sangat dingin dan tidak berangin, dan rupa taburan bintang
seperti pada musim dingin. Sesudah makan malam, Ayah pergi ke kandang lagi. Ia
menutup semua pintu dan jendela kecil di kandang kuda, dan memasukkan semua anak
biri-biri ke dalam kandangnya.

Waktu Ayah masuk, Ibu bertanya apakah udara sudah terasa lebih hangat. Ayah
menggelengkan kepalanya.

"Aku yakin udara akan membeku," kata Ayah.

"Ah! Tentu saja tidak!" jawab Ibu. Namun, ia tampak khawatir.

Pada suatu saat di tengah malam, Almanzo merasa kedinginan, tetapi ia terlalu
mengantuk sehingga tidak melakukan apa pun. Kemudian ia mendengar Ibu memanggil,
"Royal! Almanzo!" Almanzo terlalu mengantuk sehingga sulit membuka matanya.

"Anak-anak, bangun! Cepadah!" seru Ibu, "tanaman jagung membeku!"

Almanzo terjun dari tempat tidur dan mengenakan celananya. Ia tidak dapat
terjaga agar matanya tetap terbuka. Tangannya terasa lamban, dan ia menguap lebar-
lebar sampai rahangnya terasa mau lepas. Ia berjalan terhuyung-huyung menuruni
tangga di belakang Royal.

Ibu, Eliza Jane, dan Alice sedang memakai topi dan syal. Di dapur dingin. Api
belum dinyalakan. Di luar rumah, segala-galanya tampak aneh. Rumput tampak putih
oleh salju beku, di langit timur tampak kilatan warna hijau, tetapi udara masih
gelap.

Ayah memasangkan Bess dan Beauty ke gerobak. Royal memompa sampai tempat air
penuh. Almanzo membantu Ibu dan anak-anak perempuan membawa bak dan ember, dan Ayah
menaruh tong dalam gerobak. Mereka mengisi bak dan tong dengan air sampai penuh,
dan kemudian mereka berjalan di belakang gerobak menuju ladang jagung.

Semua tanaman jagung membeku. Daunnya yang kecil-kecil kaku, akan remuk kalau
disentuh. Hanya air dingin saja yang dapat menyelamatkan hidup tanaman jagung.
Setiap gundukan harus diairi sebelum sinar matahari menyentuhnya, kalau tidak
tanaman kecil ini akan mati. Tahun itu tidak ada harapan untuk mendapat panen
jagung.

Gerobak berhenti di tepi ladang. Ayah, Ibu, Royal, Eliza Jane, Alice, dan
Almanzo mengisi ember masing-masing dengan air. Kemudian mereka semua bekerja
cepat.
Almanzo berusaha bekerja cepat, tetapi ember terlalu berat dan kakinya
terlalu pendek. Jarinya yang basah terasa dingin, air tumpah menyiram kakinya, dan
ia sangat mengantuk. Ia berjalan terseok-seok sepanjang deretan tanaman jagung, dan
pada setiap gundukan ia menuangkan sedikit air di atas daun yang membeku.

Ladang rasanya sangat luas. Di situ terdapat beribu-ribu gundukan tanaman


jagung. Almanzo mulai merasa lapar. Namun, ia tidak dapat berhenti untuk mengeluh.
Ia harus cepat, cepat, cepat, untuk menyelamatkan tanaman jagung.

Warna hijau di sebelah timur berubah menjadi merah jambu. Setiap saat cahaya
semakin terang. Mula-mula kegelapan seperti kabut di atas ladang yang tidak ada
habis-habisnya. Kini Almanzo dapat melihat ujung deretan tanaman yang panjang. Ia
berusaha bekerja lebih cepat.

Tiba-tiba tanah berubah dari hitam menjadi kelabu. Matahari mulai terbit
untuk membunuh tanaman jagung.

Almanzo lari untuk mengisi embernya. Lalu ia lari kembali. Ia berlari


sepanjang deretan tanaman, memercikkan air ke gundukan tanaman jagung. Bahunya
pegal dan lengannya sakit, juga ada rasa nyeri pada lambungnya. Tanah yang lunak
bergantung pada kakinya. Ia merasa sangat lapar.

Namun, setiap siraman air menyelamatkan sebuah gundukan tanaman jagung.

Kini, dalam cahaya kelabu, tanaman jagung punya bayangan samar-samar.


Seketika cahaya matahari yang pucat menyinari ladang.

"Terus bekerja!" seru Ayah. Mereka semua pun terus bekerja. Mereka tidak
berhenti.

Namun, sejurus kemudian Ayah menyerah. "Tidak ada gunanya!" serunya. Tidak
ada lagi yang dapat menyelamatkan tanaman jagung setelah sinar matahari
menyentuhnya.

Almanzo meletakkan ember dan menegakkan tubuhnya yang terasa sakit-sakit. Ia


berdiri dan memandangi ladang jagung. Yang lain juga berdiri dan melihat
berkeliling, tidak mengatakan apa pun. Mereka sudah menyirami tanaman jagung hampir
seluas 300 meter persegi. Dua puluh lima meter persegi lagi belum sempat diairi.
Tanaman ini akan musnah.

Almanzo berjalan kembali ke gerobak dan naik. Ayah berkata, "Marilah kita
bersyukur karena kita berhasil menyelamatkan sebagian besar."

Mereka menaiki gerobak, kembali ke bangsal sambil mengantuk. Rasanya Almanzo


belum sadar benar, dan ia kelelahan, kedinginan dan lapar. Tangannya terasa lamban,
setelah bekerja keras. Namun, sebagian besar tanaman jagung dapat diselamatkan.

HARI KEMERDEKAAN

WAKTU sedang menyantap sarapannya, Almanzo teringat bahwa hari itu adalah
tanggal 4 Juli. Ia merasa lebih gembira.
Hari itu rasanya seperti Minggu pagi. Sesudah makan pagi, ia menggosok
mukanya dengan sabun sampai bersih sekali dan menyibakkan rambutnya yang basah
serta menyisirnya sampai rapi. Ia mengenakan celana wol abu-abu dan kemeja yang
terbuat dari kain kaliko Prancis. Ia juga memakai rompi dan jas pendek.

Ibu membuatkan setelan baru dengan model baru. Jasnya dikancingkan di leher
dengan kelepak kecil, kemudian kedua sisinya miring ke belakang untuk menunjukkan
rompinya, dan tepinya menutupi saku celananya.

Almanzo mengenakan topi jerami bundar, yang dianyam oleh Ibu. Sekarang ia
sudah selesai berdandan untuk perayaan Hari Kemerdekaan. Ia merasa sangat gagah.

Kuda ayah yang berkilap sudah dipasangkan pada kereta yang berkilap dan
beroda merah. Mereka semua kemudian berkereta dalam cahaya matahari yang sejuk. Di
seluruh daerah terasa ada suasana liburan. Tidak ada seorang pun yang bekerja di
ladang dan di sepanjang jalan orang yang berpakaian hari Minggu berkereta menuju ke
kota.

Kuda ayah yang cepat larinya melewati mereka semua. Mereka melewati gerobak,
delman, dan kereta. Mereka melewati kuda kelabu, kuda hitam, dan kuda berbintik-
bintik. Almanzo melambaikan topinya setiap kali melewati seseorang yang
dikenalinya. Ia pasti akan merasa senang sekali seandainya ia yang mengendalikan
pasangan kuda yang cepat dan cantik ini.

Di kandang di muka gereja di Malone, ia membantu ayah melepaskan kuda dari


kereta. Ibu, bersama-sama dengan anak-anak perempuan dan Royal, bergegas pergi.

Namun, Almanzo lebih suka membantu mengurus kuda daripada melakukan lainnya.
Ia tidak dapat mengendalikan mereka, tetapi ia dapat menambatkan mereka dan
memasangkan pelana mereka, mengelus-elus hidung mereka yang lunak serta memberi
mereka rumput.

Kemudian ia keluar bersama Ayah, dan mereka berjalan di tepi jalan yang penuh
manusia. Semua toko ditutup, tetapi banyak orang berjalan hilir-mudik di jalan
sambil bercakap-cakap. Anak-anak perempuan kecil yang berpakaian bagus membawa
payung, dan semua anak laki-laki mengenakan setelan seperti Almanzo. Bendera
berkibar di mana-mana, dan di lapangan band sedang memainkan lagu "Yankee Doodle."
Beberapa jenis alat musik tiup melengking-lengking dan genderang dibunyikan
bertalu-talu.

Yankee Doodle pergi ke kota, naik kuda poni, dia memasangkan bulu pada
topinya, dan menyebutnya makaroni!

Bahkan orang dewasa mengikuti irama lagu ini. Di situ, di sudut lapangan,
berdiri dua pucuk meriam kuningan!

Lapangan ini bentuknya tidak lagi segi empat seperti seharusnya. Jalan kereta
api membuatnya menjadi berbentuk segitiga. Semua tepinya dipagari, dan di
sekitarnya ditumbuhi rumput. Bangku-bangku berdiri berjajar di lapangan berumput,
dan orang berkerumun di antara bangku serta duduk-duduk seperti yang mereka lakukan
di gereja.

Almanzo pergi bersama Ayah ke salah satu tempat duduk terbaik di deretan
depan. Semua orang penting berhenti untuk berjabat tangan dengan Ayah. Orang banyak
terus berdatangan sampai semua tempat duduk penuh, sementara masih banyak orang di
luar pagar.

Band berhenti bermain, dan pendeta berdoa. Kemudian, band memainkan musik
lagi dan setiap orang berdiri. Semua laki-laki dan anak laki-laki membuka topi
mereka. Musik dimainkan, dan semua orang menyanyikan lagu kebangsaan Amerika.

Dari puncak tiang bendera, dengan latar belakang langit yang biru, bendera
bergambar taburan bintang dan garis berkibar dengan megahnya.

Semua orang melihat ke bendera Amerika, dan Almanzo menyanyi dengan penuh
semangat. Kemudian semua orang duduk, dan seorang anggota Kongres berdiri di
panggung.

Perlahan-lahan dan dengan khidmat ia membacakan Deklarasi Kemerdekaan.

Almanzo merasa khidmat dan sangat bangga. Kemudian, dua orang laki-laki
mengucapkan pidato politik yang panjang. Yang seorang membahas tentang pajak yang
tinggi, dan satunya membahas tentang perdagangan bebas. Semua orang dewasa
mendengarkan baik-baik. Namun, Almanzo tidak begitu memahami isi pidato dan mulai
merasa lapar. Ia gembira setelah band mulai memainkan musik lagi.

Musik yang dimainkan adalah lagu gembira. Pemain band yang berpakaian biru
dan merah serta mengenakan kancing loyang memainkan musik dengan gembira, dan
pemukul genderang yang gemuk memainkan pemukulnya dengan cepat sekali. Semua
bendera berkibar dan setiap orang merasa bahagia, sebab mereka bebas dan merdeka,
dan hari itu adalah Hari Kemerdekaan.

Sudah tiba waktunya untuk makan siang. Almanzo membantu Ayah memberi makan
kuda sementara Ibu dan anak-anak perempuan mengatur hidangan piknik di atas rumput
di halaman gereja.

Orang lain juga banyak yang berpiknik di situ. Setelah makan sampai perutnya
kenyang, Almanzo kembali ke lapangan.

Dekat tempat tambatan kuda ada tenda penjual limun. Seorang laki-laki menjual
limun merah jambu di situ. Harganya lima sen segelas, dan anak laki-laki dari kota
berdiri mengerumuninya.

Saudara sepupu Almanzo yang bernama Frank juga ada di situ. Almanzo sudah
minum di pompa air, tetapi Frank mengatakan bahwa ia akan membeli limun. Ia punya
sekeping uang lima sen. Ia berjalan menghampiri tenda dan membeli limun merah jambu
serta meminumnya perlahan-lahan. Ia menceplak-ceplakkan bibirnya dan menggosok-
gosok perutnya sambil berkata. "Mmm! Mengapa kau tidak membeli limun?"

"Dari mana kau mendapat uang lima sen?" tanya Almanzo. Ia tidak pernah
memiliki uang lima sen. Ayah memberinya, satu sen setiap hari Minggu untuk
diletakkan dalam kotak kolekte di gereja. Ia tidak pernah memiliki uang lainnya.

"Ayah memberikannya kepadaku," Frank menyombong. "Ayah selalu memberiku lima


sen setiap kali aku memintanya."

"Nah, begitu pula Ayahku kalau aku memintanya." kata Almanzo.

"Nah, mengapa kau tidak memintanya?" Frank tidak percaya bahwa ayah Almanzo
akan memberi Almanzo uang lima sen. Almanzo tidak tahu ayah akan memberinya uang
atau tidak.

"Karena aku tidak ingin," katanya.

"Ia tidak akan memberimu uang lima sen," kata Frank.

"Ia akan memberi."


"Coba kau minta," kata Frank. Semua anak laki-laki yang lain ikut
mendengarkan. Almanzo memasukkan tangannya ke dalam saku dan berkata, "Aku akan
memintanya kalau aku mau."

"Yeah, kau takut!" Frank mengejek. "Coba kau minta! Coba kau minta!"

Ayah berdiri agak jauh, sedang bercakap-cakap dengan Pak Paddock, pembuat
gerobak. Almanzo berjalan perlahan-lahan menghampiri mereka. Ia agak takut, tetapi
ia terpaksa pergi. Makin dekat kepada ayah, makin takut ia untuk minta uang lima
sen. Sebelumnya, ia tidak pernah berpikir untuk berbuat begitu. Ia yakin Ayah tidak
akan memberikan uang kepadanya.

Almanzo menunggu sampai Ayah berhenti berbicara dan melihat kepadanya.

"Ada apa, Nak?" tanya Ayah.

Almanzo ketakutan. "Ayah," katanya.

"Bagaimana, Nak?"

"Ayah," kata Almanzo, "maukah... maukah Ayah memberiku uang lima sen?"

Almanzo berdiri di situ sementara Ayah dan Pak Paddock melihat kepadanya, dan
rasanya ingin sekali ia lari dari situ. Akhirnya, Ayah bertanya,

"Untuk apa?"

Almanzo melihat ke bawah ke mokasinnya dan berbisik, "Frank punya uang lima
sen. Ia membeli limun merah jambu."

"Baiklah," kata Ayah, perlahan. "Kalau Frank mentraktirmu, sudah sepantasnya


kalau kau juga mentraktirnya." Ayah memasukkan tangannya ke dalam saku. Kemudian ia
berhenti dan bertanya, "Apakah Frank mentraktirmu minum limun?"

Almanzo ingin sekali mendapatkan uang lima sen sehingga ia mengangguk.


Kemudian ia gelisah dan berkata, "Tidak, Yah."

Ayah melihat kepadanya lama sekali. Kemudian ia mengeluarkan dompet dan


membukanya. Perlahan ia mengeluarkan sekeping uang perak yang bundar dan besar,
bernilai setengah dolar. Ia bertanya, "Almanzo, kau tahu ini apa?"

"Uang setengah dolar," jawab Almanzo.

"Ya. Tetapi tahukah kau apa artinya uang sete-ngah dolar?"

Almanzo tidak tahu selain bahwa itu hanya uang setengah dolar.

"Ini adalah kerja, Nak," kata Ayah. "Itulah artinya uang. Ini adalah hasil
kerja keras."

Pak Paddock tertawa. "Anak itu masih terlalu kecil, Wilder," katanya. "Kau
tidak dapat membuat anak kecil memahami kata-kata itu."

"Almanzo lebih cerdas daripada yang kau kira," kata Ayah.

Almanzo sama sekali tidak mengerti. Ia ingin sekali menyingkir meninggalkan


mereka. Namun Pak Paddock melihat kepada ayah sama seperti Frank melihat kepada
Almanzo waktu ia menantangnya. Ayah mengatakan bahwa Almanzo cerdas, maka Almanzo
berusaha agar kelihatan seperti anak yang cerdas. Ayah bertanya, "Kau tahu
bagaimana caranya menanam kentang, Almanzo?"

"Ya," kata Almanzo.

"Misalkan kau punya benih kentang pada musim semi, apa yang akan kaulakukan?"

"Memotong-motongnya," jawab Almanzo.

"Teruskan, Nak."

"Kita menggaru, mula-mula kita memupuk ladang, dan membajaknya. Kemudian kita
menggaru, dan menandai tanah. Lalu menanam kentang, dan membajaknya, kemudian
menyianginya. Kita membajak dan menyiangi ladang dua kali."

"Itu benar, Nak. Dan kemudian?"

"Kita menggalinya dan menyimpan kentang dalam ruang bawah tanah."

"Ya. Kemudian kita memilihnya sepanjang musim dingin. Kita membuang yang
kecil-kecil dan yang busuk. Pada musim semi berikutnya, kita memuatnya dan
mengangkutnya ke sini ke Malone, dan menjualnya. Dan kalau kita mendapat harga yang
baik, Nak, berapa yang kau dapat untuk semua kerja itu? Berapa banyak yang kau
dapat untuk setengah keranjang kentang?"

"Setengah dolar," kata Almanzo.

"Ya," kata Ayah. "Itulah arti uang setengah dolar ini, Almanzo. Kerja untuk
menanam setengah keranjang kentang ada di dalamnya."

Almanzo memandangi kepingan uang bundar yang dipegangi oleh ayah.


Kelihatannya begitu kecil, dibandingkan dengan kerja keras yang dilakukan selama
itu.

"Kau boleh memilikinya, Almanzo," kata Ayah. Almanzo hampir tidak memercayai
pendengarannya. Ayah memberinya uang sebanyak setengah dolar.

"Ini milikmu," kata Ayah. "Kau dapat membeli seekor anak babi dengan uang
itu, kalau kau mau. Kau dapat memeliharanya, dan babi ini akan melahirkan anak-anak
babi, yang harganya empat atau lima dolar seekor. Atau, kau dapat menukarkan uang
setengah dolar itu dengan limun dan meminumnya. Lakukan apa yang kau inginkan, itu
uangmu."

Almanzo lupa untuk mengatakan terima kasih. Ia memegangi uang setengah dolar
ini selama satu menit, kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku dan kembali
menemui anak-anak di tenda limun. Si penjual limun berseru, "Silakan datang ke
sini, silakan datang! Limun dingin, limun merah jambu harganya hanya lima sen
segelas! Hanya 10 sen, limun merah jambu dingin! Hanya 20 sen dolar!"

Frank bertanya kepada Almanzo, "Mana uang lima sennya?"

"Ia tidak memberiku uang lima sen," kata Almanzo, dan Frank berseru, "Ya, ya!
Aku sudah bilang ia tidak akan memberimu! Aku sudah bilang!"

"Ayah memberiku uang setengah dolar," kata Almanzo.

Anak-anak tidak percaya sebelum Almanzo menunjukkan uang itu kepada mereka.
Kemudian mereka berkerumun mengelilinginya, menunggu sampai Almanzo
membelanjakannya. Almanzo menunjukkan uang kepada mereka semua, dan memasukkannya
kembali ke dalam saku.

"Aku akan berkeliling melihat-lihat," katanya, "dan akan membeli seekor anak
babi."

Band berbaris sepanjang jalan, dan mereka semua berlari-lari mengikutinya.


Bendera dengan megahnya melambai-lambai di depan, kemudian berbaris para peniup
terompet dan pemukul genderang. Band berjalan hilir-mudik di jalan raya.

Semua anak laki-laki mengikutinya, kemudian mereka semua berhenti di lapangan


dekat meriam kuningan.

Ratusan orang ada di situ, berdesakkan untuk melihat.

Meriam terpasang di atas rodanya masing-masing, larasnya yang panjang tertuju


ke atas. Band terus memainkan musik. Dua orang laki-laki terus-menerus berseru,
"Mundur! Mundur!" Orang-orang lainnya menuangkan mesiu hitam ke dalam moncong
meriam dan mendorongnya ke bawah dengan gumpalan kain di ujung galah yang panjang.

Galah yang terbuat dari besi ini punya dua pegangan, dan dua orang laki-laki
mendorong dan menariknya, memasukkan mesiu hitam ke dalam laras meriam yang terbuat
dari kuningan. Kemudian, semua anak laki-laki lari untuk mencabuti rumput dan
ilalang sepanjang jalan kereta api. Mereka mengangkutnya ke meriam, dan orang yang
ada di situ memasukkan rumput dan ilalang ke dalam moncong meriam serta
mendorongnya ke bawah dengan galah panjang.

Di sisi jalan kereta api ada api unggun menyala dan batangan besi yang
panjang sedang dipanaskan di situ.

Setelah semua ilalang dan rumput dipepatkan di mesiu di dalam meriam, seorang
laki-laki mengambil mesiu sedikit lagi di tangannya. Dengan hati-hati ia memasukkan
mesiu ini ke dalam dua lubang penyala kecil pada pangkal laras meriam. Kini, setiap
orang berseru, "Mundur! Mundur!

Ibu memegang lengan Almanzo, dan mengajaknya menyingkir bersamanya. Almanzo


berkata, kepada Ibu, "Ah, Ibu! Mereka hanya mengisi meriam dengan mesiu dan rumput.
Aku tidak akan celaka, Ibu. Aku akan berhati-hati, sungguh." Namun, Ibu terus
mengajaknya menyingkir dari meriam.

Dua orang laki-laki berdiri jauh-jauh di belakang meriam, kemudian


mengulurkan batangan besi yang ujungnya merah pijar, menyentuhkan ujungnya ke
lubang penyulut. Nyala api kecil seperti nyala lilin tampak berkobar dari mesiu.
Api kecil ini terus menyala. Tidak seorang pun menarik napas. Kemudian JLEGUUR!

Meriam terlonjak ke belakang, dan udara penuh dengan rumput dan ilalang yang
beterbangan. Almanzo lari dengan semua anak laki-laki lainnya untuk merasakan
moncong meriam yang hangat. Semua orang berseru-seru mengagumi suara keras yang
dikeluarkan oleh meriam.

"Suara itulah yang membuat pasukan Inggris lari pontang-panting!" kata Pak
Paddock kepada Ayah.

"Bisa jadi," kata Ayah, sambil menarik-narik janggutnya. "Tetapi senapanlah


yang memenangkan Perang Kemerdekaan. Dan jangan lupa bahwa kapak dan bajak yang
membuat negeri ini."

"Memang demikian, kalau dipikirkan," kata Pak Paddock.

Perayaan Hari Kemerdekaan berakhir sesudah meriam ditembakkan, dan kini tidak
ada suatu apa pun lagi kecuali memasang kuda ke kereta dan pulang ke rumah untuk
melakukan pekerjaan masing-masing.

Malam itu, waktu mereka semua masuk ke rumah membawa susu, Almanzo bertanya
kepada Ayah, "Ayah, bagaimana bisa kapak dan bajak yang membuat negeri ini?
Bukankah kita berjuang melawan Inggris untuk mendapatkannya?"

"Kita berjuang untuk merebut kemerdekaan, Nak," kata Ayah. "Tetapi semua
tanah yang didapat oleh leluhur kita hanya sedikit sekali, di sini di antara
pegunungan dan laut. Mulai dari sini ke barat seluruhnya daerah Indian, serta
daerah Spanyol, Prancis, dan Inggris. Para petanilah yang merebut semua negeri ini
dan menjadikannya negara Amerika."

"Bagaimana caranya?" Almanzo bertanya. "Begini, Nak. Bangsa Spanyol semuanya


prajurit, dan kaum bangsawannya hanya menginginkan emas. Bangsa Prancis adalah para
pedagang kulit binatang berbulu tebal, yang ingin memperoleh uang dengan cara yang
cepat. Dan orang Inggris sibuk berperang. Namun, kita adalah petani, Nak. Kita
menginginkan tanah. Para petanilah yang naik turun pegunungan, merambah tanah,
mendiaminya, menjadikannya tanah pertanian, dan mempertahankan tanah pertanian
ini."

"Sekarang, negeri ini terbentang sampai sejauh 44800 kilometer ke barat.


Negeri ini jauh melewati Kansas, melewati Gurun Pasir Besar, melewati pegunungan
yang lebih besar daripada pegunungan ini, sampai ke Samudra Pasifik. Ini negeri
yang terbesar di dunia, dan para petanilah yang merebut semua negeri ini dan
menjadikannya Amerika, Nak. Jangan sekali-kali kau melupakannya."

MUSIM PANAS

KINI sinar matahari sudah lebih panas dan semua tanaman hijau tumbuh dengan
cepat. Daun jagung sudah tumbuh sampai setinggi pinggang. Ayah membajaknya.
Kemudian, tanaman jagung bisa ditinggalkan. Tanaman ini sudah mengalahkan rumput
dan dapat menguasai ladang tanpa harus dibantu lagi.

Deretan tanaman kentang yang rimbun hampir saling bersentuhan, bunganya yang
putih seperti buih di ladang. Tanaman gandum berwarna kelabu kehijaunan, dan
tanaman padi mulai berbuah. Padang rumput berwarna ungu kemerahan dengan bunga yang
paling disukai oleh lebah.

Kini kerja sudah tidak terburu-buru lagi. Almanzo punya waktu untuk mencabuti
rumput di kebun, serta menyiangi deretan tanaman kentang yang dipeliharanya dari
biji. Ia menanam beberapa biji kentang, hanya untuk melihat bagaimana hasilnya.
Setiap pagi ia memberi makan labunya, yang dipelihara untuk dipertandingkan dalam
Pekan Raya.

Ayah sudah menunjukkan kepadanya cara memelihara labu yang diberi makan susu.
Mereka memilih tanaman labu yang terbaik, kemudian memotong semua cabangnya kecuali
sebatang saja, serta membuang semua bunga labu yang kuning kecuali satu saja.
Kemudian, di antara akar dan buah labu kecil yang hijau, mereka dengan hati-hati
membuat sayatan kecil pada bagian bawah batang labu. Di bawah sayatan ini, Almanzo
membuat lubang di tanah dan memasang semangkuk susu di situ. Kemudian ia
mencelupkan sebatang sumbu lilin dalam susu, dan ujung sumbu satunya dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam sayatan batang labu.

Setiap hari, batang labu meminum semangkuk susu, melalui sumbu lilin, dan
buah labu ini tumbuh sampai besar sekali. Kini, besarnya sudah tiga kali labu
lainnya yang ada di ladang.

Kini Almanzo juga sudah punya seekor anak babi. Ia membelinya dengan uang
setengah dolar, dan babi ini begitu kecilnya sehingga mula-mula Almanzo harus
memberinya makan dengan secabik kain yang dicelupkan ke dalam susu. Namun, segera
anak babi ini belajar minum sendiri. Almanzo memeliharanya dalam kandang yang
terlindung, sebab anak babi tumbuh lebih cepat di tempat yang terlindung. Almanzo
memberinya apa saja yang dapat dimakannya. Anak babi ini tumbuh dengan pesat
sekali.

Demikian pula dengan Almanzo, tetapi pertumbuhannya tidak cukup cepat. Ia


minum susu sebanyak-banyaknya, dan pada waktu makan ia mengisi piringnya penuh-
penuh sehingga ia tidak dapat menghabiskannya. Ayah memandanginya sambil melotot
karena ia menyisakan makan di piringnya, dan bertanya, "Ada apa, Nak? Matamu lebih
besar daripada perutmu?"

Kemudian Almanzo berusaha menelan makanan sedikit lagi. Ia tidak mengatakan


kepada siapa pun bahwa ia berusaha menjadi besar lebih cepat supaya ia dapat
membantu melatih anak kuda.

Setiap hari Ayah mengeluarkan kuda berumur dua tahun, satu demi satu pada
tali yang panjang. Ia melatih mereka untuk mulai berjalan dan berhenti kalau ia
menyuruh mereka. Ia melatih mereka memakai kendali dan kekang untuk menarik, dan
supaya tidak takut kepada apa pun. Tidak beberapa lama ia memasang seekor kuda
dengan kuda tua yang penurut, dan mengajarinya menarik kereta ringan di belakangnya
tanpa merasa takut. Namun, ia bahkan tidak mengizinkan Almanzo masuk ke lapangan
sementara ia melatih mereka.

Almanzo yakin bahwa ia tidak akan menakut-nakuti mereka. Ia tidak akan


mengajari mereka untuk melompat, atau berontak, atau mencoba kabur. Namun, Ayah
tidak memercayai anak berumur sembilan tahun. Tahun itu Beauty punya anak yang
paling bagus yang pernah dilihat oleh Almanzo.

Anak kuda ini punya bintang putih yang sempurna pada dahinya, dan Almanzo
memberinya nama si Starlight. Anak kuda ini berlari-lari di padang rumput dengan
induknya, dan sekali waktu, ketika Ayah pergi ke kota Almanzo pergi ke padang
rumput.

Beauty mengangkat kepalanya dan mengawasi Almanzo yang datang mendekat, dan
anak kuda lari di belakangnya. Almanzo berhenti, dan berdiri diam-diam. Setelah
beberapa saat si Starlight mengintip melihat-lihatnya, dari bawah leher Beauty.
Almanzo tidak bergerak. Sedikit demi sedikit anak kuda ini menjulurkan leher ke
arah Almanzo, menatapnya dengan mata lebar keheranan. Beauty mengendus-endus
punggungnya dan menggerakkan ekornya. Kemudian ia maju selangkah dan mencabut
serumpun rumput. Si Starlight berdiri gemetar, menatap Almanzo. Beauty
memperhatikan mereka berdua, sambil mengunyah rumput dengan tenang. Anak kuda ini
maju selangkah, kemudian selangkah lagi.

Ia begitu dekat sehingga Almanzo hampir dapat menyentuhnya, tetapi itu tidak
dilakukannya. Ia tetap berdiri tidak bergerak-gerak. Starlight maju selangkah lagi
lebih dekat. Almanzo bahkan tidak berani menarik napas.

Tiba-tiba anak kuda ini berbalik dan lari mendekati induknya.

Almanzo mendengar Eliza Jane memanggil, "Maaanzo!"


Eliza Jane melihatnya. Malam itu, ia mengadu kepada Ayah. Almanzo mengatakan
bahwa ia tidak melakukan apa pun, sungguh ia tidak berbuat apa-apa, tetapi Ayah
berkata, "Sekali lagi Ayah lihat kau main-main dengan anak kuda itu, akan Ayah
cambuk kulitmu. Anak kuda itu terlalu baik sehingga tidak boleh dirusak. Ayah tidak
ingin kau mengajarkan perbuatan yang salah sehingga Ayah harus memperbaikinya."

Siang hari di musim panas kini semakin panjang dan panas, dan Ibu mengatakan
bahwa cuaca sangat baik bagi tanaman yang sedang tumbuh. Namun, Almanzo merasakan
bahwa segala-galanya tumbuh, kecuali dirinya. Hari demi hari berlalu, dan rasanya
tidak ada suatu apa pun yang berubah. Almanzo mencabuti rumput dan menyiangi kebun,
ia membantu memperbaiki pagar batu, dan memotong-motong kayu serta melakukan
pekerjaan harian. Kalau sudah lewat tengah hari dan tidak ada lagi yang harus
dikerjakan, dalam udara panas ia pergi berenang.

Kadang-kadang ia bangun di pagi hari dan mendengar bunyi air hujan menimpa
atap. Itu berarti bahwa ia dan Ayah dapat pergi memancing ikan.

Almanzo tidak berani bicara kepada ayah tentang mengail ikan, sebab membuang-
buang waktu. Bahkan, pada waktu hujan, banyak yang dapat dikerjakan. Ayah dapat
memperbaiki pelana kuda, mengasah perkakas, atau menyerut papan kayu. Sambil
berdiam diri, Almanzo menyantap sarapannya, tahu bahwa Ayah dalam hati sedang
berjuang melawan godaan. Almanzo takut jangan-jangan kesadaran ayah yang akan
menang.

"Nah, apa yang akan kalian lakukan hari ini?" Biasanya Ibu bertanya. Dan Ayah
dapat menjawab, perlahan-lahan, "Aku berencana ingin merawat wortel dan memperbaiki
pagar."

"Kau tidak dapat melakukannya, karena hujan."

"Tidak," kata Ayah. Sesudah makan pagi ia akan berdiri memandangi hujan yang
turun, sampai akhirnya ia akan berkata, "Ah! Tanah terlalu becek untuk bekerja di
luar rumah. Bagaimana kalau kita memancing saja, Almanzo?"

Kemudian Almanzo lari untuk mengambil cangkul dan kaleng tempat umpan, dan ia
menggali cacing untuk umpan mengail. Hujan mengguyur topi jeraminya yang sudah tua.
Air mengalir pada lengan dan punggungnya, dan lumpur yang memercik di antara jari
kakinya terasa dingin. Ia sudah basah kuyup waktu ia dan Ayah mengambil joran dan
berjalan melintasi padang rumput ke Sungai Trout.

Tidak ada yang berbau lebih harum daripada bunga semanggi yang kehujanan.
Tidak ada yang terasa lebih enak daripada titik-titik air hujan pada muka Almanzo,
dan rumput basah yang berdesis di sekeliling kakinya. Tidak ada yang terdengar
lebih menyenangkan daripada titik-titik air hujan yang menetes di atas semak-semak
sepanjang Sungai Trout, dan aliran air yang deras di antara batu-batu.

Mereka berjalan diam-diam sepanjang tanggul sungai, tidak mengeluarkan suara,


dan mereka menjatuhkan kail ke dalam lubuk. Ayah berdiri di bawah pohon hujan yang
rimbun, dan Almanzo duduk di bawah cabang pohon sedar, memandangi air hujan menimpa
permukaan air.

Tiba-tiba Almanzo melihat benda keperakan berkelebat di udara. Ayah sudah


mendapat seekor ikan korel! Ikan ini menggeliat-nggeliat dengan badan berkilap-
kilap dalam hujan yang terus turun waktu Ayah menjatuhkannya di atas tunggul sungai
yang berumput. Almanzo melonjak-lonjak, dan pada waktunya teringat bahwa ia tidak
boleh berteriak.

Kemudian ia merasakan tarikan pada tali kailnya. Ujung joran melengkung


hampir sampai ke permukaan air, dan ia merenggutkannya ke atas sekuat-kuatnya.
Seekor ikan besar yang berkilap meluncur ke atas pada ujung tali kail! Ikan ini
berontak dan lolos dari tangannya, tetapi ia dapat melepaskannya dari kail. Seekor
ikan korel berbintik-bintik yang bagus, bahkan lebih besar daripada ikan Ayah.

Ia mengangkatnya untuk ditunjukkan kepada Ayah. Kemudian ia memasang umpan


pada kailnya dan melemparkan kail lagi.

Ikan selalu kelaparan di waktu air hujan jatuh di permukaan air sungai.

Ayah mendapat ikan satu lagi, kemudian Almanzo mendapat dua. Kemudian Ayah
mendapat dua lagi, dan Almanzo mendapat satu lagi yang lebih besar daripada yang
pertama.

Dalam waktu yang singkat sekali mereka sudah mendapat dua untai ikan korel
yang besar-besar. Almanzo, mengagumi ikan yang didapat Ayah. Mereka pulang ke rumah
melalui tanaman semanggi dalam hujan.

Mereka basah kuyup sehingga tidak dapat lebih basah lagi, dan kulit mereka
terasa hangat. Di luar di tengah hujan, di tempat pemotongan kayu, mereka memotong
kepala ikan dan membuang sisiknya yang keperakan, lalu membuang isi perutnya. Panci
susu yang besar penuh dengan ikan korel. Ibu memasukkan ikan ke dalam tepung jagung
dan menggorengnya untuk lauk makan.

"Siang hari ini Almanzo dapat membantuku mengocok susu." kata Ibu.

Sapi memberi susu begitu banyak sehingga mengocok susu harus dilakukan dua
kali seminggu. Ibu dan anak-anak perempuan sudah letih mengocok susu, dan pada hari
hujan Almanzo harus turut membantu.

Di ruang bawah tanah yang dikapur putih, tong pengocok susu berdiri di atas
kakinya yang terbuat dari kayu, setengahnya penuh dengan krim. Almanzo memutar
pegangannya, dan tong bergoyang. Di dalam tong krimnya berbunyi, koclak! koclak!
Almanzo harus terus menggoyang-goyang tong sampai krimnya menjadi mentega di atas
susu.

Kemudian Almanzo minum secangkir susu asam dan makan kur, sementara Ibu
mencedoki mentega yang terapung dan menaruhnya dalam mangkuk mentega dari kayu.
Kemudian ia menggarami mentega, dan menyimpan mentega yang keemasan di dalam bak
mentega.

Mengail bukan satu-satunya kesenangan dalam musim panas. Pada suatu sore di
bulan Juli, Ayah berkata, "Hanya bekerja saja tanpa bermain-main membuat hidup kita
membosankan. Besok pagi kita akan pergi mencari buah arbei."

Almanzo tidak mengatakan apa-apa, tapi dalam hati ia sangat gembira.

Sebelum fajar keesokan harinya, mereka semua sudah naik gerobak kayu, memakai
pakaian tua serta membawa ember dan keranjang, dan juga tidak lupa membawa bekal
makan siang. Mereka naik gerobak sampai jauh ke pegunungan dekat Danau Chateaugay,
tempat rumpun-rumpun pohon arbei tumbuh.

Hutan penuh dengan gerobak lainnya, dan banyak keluarga lainnya sedang
mencari buah arbei. Mereka tertawa-tawa dan menyanyi, dan di antara pohon-pohonan
kita dapat mendengar mereka bercakap-cakap. Tiap tahun mereka bertemu dengan kawan-
kawan di sini, yang tidak dapat ditemui pada waktu lainnya.

Mereka semua sibuk memetik buah arbei. Mereka bercakap-cakap sambil terus
bekerja.
Semak-semak rendah yang berdaun rimbun tumbuh di antara pohon-pohonan. Buah
arbei yang berwarna biru tua bergerombol di bawah daun, dan dalam udara yang panas
karena sinar matahari yang terik tercium bau yang seperti sirop. Burung-burung juga
datang untuk berpesta di rumpun pohon arbei. Udara penuh dengan burung yang
beterbangan. Beberapa ekor burung biru terbang sambil menjerit-jerit di atas kepala
para pemetik buah. Sekali dua ekor burung biru menyerang topi Alice, dan Almanzo
harus memukul mereka untuk mengusirnya. Dan waktu ia memetik buah sendirian, di
balik sebatang pohon sedar ia bertemu dengan seekor beruang hitam.

Beruang ini sedang berdiri di atas kaki belakangnya, sedang memasukkan buah
arbei ke dalam mulutnya dengan dua kaki depan yang berbulu tebal. Almanzo berdiri
mematung, demikian juga si beruang.

Almanzo memandangi beruang, dan beruang membalas menatapnya dengan matanya


yang kecil dan tampak ketakutan di atas cakarnya yang tidak bergerak-gerak.

Kemudian beruang menurunkan kaki depannya dan lari dengan empat kaki masuk
hutan.

Pada tengah hari, keranjang bekal dibuka dekat mata air. Di tempat yang sejuk
dan terlindung, mereka makan sambil bercakap-cakap.

Kemudian mereka minum dari mata air dan kembali ke rumpun buah arbei.

Menjelang senja, semua keranjang dan ember sudah penuh, dan Ayah menjalankan
gerobak pulang.

Mereka semua mulai mengantuk, karena berjemur dan menghirup udara yang berbau
wangi buah arbei. Selama berhari-hari, Ibu dan anak-anak perempuan membuat selai
dan manisan. Setiap makan, sebagai pencuci mulut mereka makan kue atau puding buah
arbei.

Kemudian, suatu sore pada waktu makan, Ayah berkata, "Sudah waktunya aku dan
Ibu pergi berlibur. Kami bermaksud akan tinggal di rumah Paman Andrew selama
seminggu. Anak-anak dapatkah kalian menjaga rumah dan menjaga diri baik-baik
sementara kami pergi?"

"Aku yakin Eliza Jane dan Royal dapat menjaga tempat ini selama seminggu,"
kata Ibu. "Dengan Alice dan Almanzo untuk membantu mereka."

Almanzo memandang Alice, dan kemudian mereka berdua menatap Eliza Jane.
Kemudian mereka semua memandangi Ayah dan berkata, "Ya, Ayah."

MENJAGA RUMAH

RUMAH Paman Andrew jauhnya 17 kilometer dari rumah Almanzo. Selama seminggu,
Ayah dan Ibu mempersiapkan diri untuk kepergian mereka. Selama itu mereka
memikirkan hal-hal yang harus dilakukan sementara mereka pergi.

Bahkan waktu Ibu naik ke kereta, ia masih berbicara. "Jangan lupa


mengumpulkan telur tiap malam," katanya, "dan aku memercayakan kepadamu, Eliza
Jane, untuk membuat mentega. Jangan terlalu banyak menggarami mentega, simpanlah
dalam bak kecil dan jangan lupa menutupinya. Ingat, kau tidak boleh memetik kacang
yang akan dijadikan benih. Dan kalian semua harus bersikap yang baik sementara kami
pergi."

Ibu duduk di kereta dan mengatur gaunnya. Ayah menghamparkan selimut untuk
menutup pangkuan ibu.

"Dan ingat, Eliza Jane. Hati-hati menjaga api. Jangan meninggalkan rumah
waktu ada api di tungku, dan jangan melakukan apa-apa sambil membawa lilin menyala,
dan..."

Ayah menarik kendali dan kuda mulai melangkah.

"... dan jangan menghabiskan gula!" seru Ibu kepada mereka.

Kereta membelok ke jalan besar. Kuda mulai berlari, dengan cepat membawa Ayah
dan Ibu menjauhi rumah. Sejurus kemudian, bunyi roda kereta sudah tidak terdengar
lagi. Ayah dan Ibu sudah pergi.

Tidak seorang pun mengucapkan sepatah kata. Bahkan Eliza Jane tampak agak
ketakutan. Rumah, bangsal, dan ladang kelihatan seakan-akan sangat besar dan
kosong. Selama seminggu penuh Ayah dan Ibu akan berada di tempat yang jauhnya 17
kilometer.

Tiba-tiba Almanzo melemparkan topinya ke udara dan menjerit. Alice melipat


tangan di muka dadanya dan berseru, "Apa yang akan kita lakukan lebih dulu?"

Mereka dapat melakukan apa saja sesuka hati. Tidak akan ada seorang pun yang
mencegah mereka.

"Kita akan mencuci piring dan membereskan tempat tidur," kata Eliza Jane,
mulai memerintah.

"Mari kita membuat es krim!" teriak Royal. Eliza Jane menyukai es krim. Ia
ragu-ragu, kemudian berkata, "Baiklah

Almanzo lari mengejar Royal ke rumah es. Mereka menggali sebalok es dari
dalam serbuk gergaji dan menaruhnya di dalam karung terigu. Mereka meletakkan
karung di serambi belakang dan memukulnya dengan golok sampai esnya hancur. Alice
keluar untuk melihat sementara ia mengocok putih telur di atas piring. Ia
mengocoknya dengan garpu sampai putih telur tidak meleleh waktu ia memiringkan
piring.

Eliza Jane menakar susu dan krim, dan menyendoki gula dari tong di dapur. Ini
bukan gula mapel yang biasa, tetapi gula putih yang dibeli di toko. Ibu hanya
memakainya kalau ada tamu. Eliza Jane mengambil gula enam mangkuk, kemudian ia
meratakan kembali gula yang masih ada di tong, dan hampir tidak kelihatan bahwa
gula baru diambil.

Ia membuat campuran telur dan susu satu ember susu besar. Ember ditaruh di
dalam bak yang diisi dengan remukan es, dengan garam, dan mereka menutupinya dengan
selimut. Setiap beberapa menit mereka mengangkat selimut dan membuka ember,
kemudian mengaduk es krim yang membeku.

Setelah es krim membeku, Alice mengambil piring kecil dan sendok. Almanzo
mengeluarkan sepotong kue dan sebilah pisau dapur. Ia mengiris sepotong besar kue,
sementara Eliza Jane menumpuk piring. Mereka dapat memakan semua es krim dan kue
yang mereka inginkan. Tidak ada seorang pun yang akan mencegah mereka.
Pada tengah hari, mereka sudah menghabiskan kue, dan hampir semua es krim.
Eliza Jane mengatakan bahwa waktu makan sudah tiba, tetapi yang lain tidak ada yang
ingin makan. Almanzo berkata. "Aku hanya ingin makan semangka."

Alice terlonjak. "Bagus! Mari kita memetik semangka!"

"Alice!" seru Eliza Jane. "Lekas kembali ke sini dan mencuci piring yang
habis dipakai makan pagi!"

"Baiklah," Alice balas berseru, "Nanti setelah aku kembali."

Alice dan Almanzo pergi ke kebun semangka yang panas. Di situ buah semangka
yang bulat berserakan di atas daunnya yang lebar. Almanzo menjentikkan jarinya ke
kulit semangka yang hijau, dan mendengarkan. Kalau sebuah semangka terdengar sudah
masak, semangka ini sudah masak. Dan kalau kedengarannya masih mentah, maka
semangka ini masih mentah. Tetapi waktu Almanzo mengatakan bahwa sebuah semangka
kedengarannya sudah masak, Alice berpikir bahwa semangka ini kedengarannya masih
mentah. Tidak ada cara yang tepat untuk mengetahui, walaupun Almanzo yakin benar ia
lebih tahu tentang semangka daripada anak perempuan mana pun juga. Akhirnya, mereka
memetik enam buah semangka yang paling besar. Buah semangka ini mereka angkat satu
per satu ke dalam rumah es dan mereka letakkan di atas serbuk gergaji yang lembab
dan dingin.

Kemudian Alice masuk ke rumah untuk mencuci piring. Almanzo berkata bahwa ia
tidak akan melakukan apa pun. Mungkin ia akan pergi berenang.

Namun, segera setelah Alice tidak kelihatan lagi, ia melompat-lompat melalui


bangsal dan menyelinap, masuk ke padang rumput tempat anak kuda sedang bermain-
main.

Padang rumput sangat luas dan matahari sangat terik. Udara seakan berombak-
ombak karena panas, dan serangga kecil berbunyi melengking. Bess dan Beauty sedang
berbaring di bawah pohon yang rindang. Anak-anak kuda berdiri tidak jauh dari
mereka, menggoyang-goyangkan ekornya yang lebat dan berdiri di atas kakinya yang
ramping dan panjang. Anak kuda yang baru lahir sedang makan rumput bersama dengan
kuda berumur dua tahun dan tiga tahun. Mereka semua mengangkat kepala dan
memandangi Almanzo.

Almanzo berjalan perlahan-lahan menghampiri mereka, mengulurkan tangannya.


Tidak ada apa-apa pada tangannya, tetapi mereka tidak tahu. Almanzo tidak bermaksud
melakukan apa pun. Ia hanya ingin dekat sekali dengan mereka untuk mengelus mereka.
Si Starlight dan anak-anak kuda lainnya lari terpincang-pincang menghampiri induk
masing-masing. Bess dan Beauty mengangkat kepalanya dan melihat, kemudian
meletakkan kepalanya lagi. Semua anak kuda yang besar-besar menegakkan telinganya.

Seekor anak kuda yang sudah besar melangkah ke arah Almanzo, kemudian seekor
lagi. Enam ekor anak kuda yang sudah besar datang bersama-sama. Almanzo merasa
menyesal karena ia tidak membawakan wortel untuk mereka. Mereka begitu cantik,
bebas, dan besar, mengibaskan surai dan menunjukkan putih mata mereka. Sinar
matahari berkilap-kilap pada leher mereka yang kuat dan melengkung, dan pada otot
di dada mereka. Tiba-tiba salah seekor di antara mereka berbunyi, "Wusss!"

Salah seekor dari mereka menyepak, yang lain memekik, seketika kepala mereka
ditegakkan, ekor mereka diangkat dan kaki mereka menderu di tanah.

Mereka semua mengangkat ekor tinggi-tinggi dan berbalik membelakangi Almanzo.


Seperti angin puyuh yang gegapgempita, keenam anak kuda ini lari memutari pohon,
dan Almanzo mendengar mereka di belakangnya.
Almanzo membalikkan tubuhnya. Ia melihat kaki mereka yang dihentakkan ke
tanah dan dada mereka yang besar-besar lurus menuju ke arahnya. Mereka lari begitu
cepatnya sehingga tidak mungkin dihentikan. Tidak ada waktu lagi untuk menyingkir.
Almanzo memejamkan matanya dan berseru, "Hup!"

Udara dan tanah terasa bergoyang. Almanzo membuka matanya. Ia melihat lutut
kuda yang cokelat diangkat di udara, perut yang bulat dan kaki belakang melintas di
atas kepalanya. Lambung kuda yang cokelat melewatinya secepat kilat. Topinya
terbang melayang. Ia tertegun. Salah seekor kuda berumur tiga tahun melompat di
atasnya. Semua anak kuda menderu melintasi padang rumput, dan Almanzo melihat Royal
datang menghampirinya.

"Jangan mengganggu anak kuda!" Royal berteriak. Ia datang menghampiri dan


mengatakan bahwa dibayar satu sen pun ia mau memukuli Almanzo sampai ia jera.

"Seharusnya kau mengerti bahwa kau tidak boleh mempermainkan anak kuda itu,"
kata Royal. Ia menjewer telinga Almanzo. Almanzo berlari-lari kecil, tetapi
telinganya terus ditarik sampai ke bangsal. Ia mengatakan bahwa ia tidak melakukan
apa pun. Tetapi Royal tidak mau mendengarkan.

"Coba sekali lagi kulihat kau di padang rumput dan akan kucambuk kulitmu,"
kata Royal. "Aku juga akan mengadukannya kepada Ayah."

Almanzo pergi menyingkir, sambil menggosok-gosok telinganya. Ia pergi ke


Sungai Trout dan berenang di lubuk sampai perasaannya senang. Tetapi, ia berpikir
bahwa rasanya tidak adil karena ia yang paling kecil di rumah.

Siang itu semangka sudah dingin, dan Almanzo membawanya ke rumput di bawah
pohon balsam di halaman. Royal mengiriskan pisau dapur ke kulitnya yang berembun,
dan setiap semangka begitu masaknya sehingga kulitnya langsung terbuka tersentuh
pisau.

Almanzo, Alice, Eliza Jane, dan Royal menggigit dalam-dalam irisan semangka
yang manis dan dingin, dan mereka makan terus sampai tidak bisa makan lagi.

Almanzo memencet bijinya yang hitam dan licin, meluncurkannya ke arah Eliza
Jane sampai ia disuruh berhenti. Kemudian perlahan-lahan ia makan irisan semangka
yang terakhir, dan ia berkata, "Aku akan mengambil Lucy biar memakan kulit
semangka."

"Kau sekali-kali tidak boleh berbuat begitu!" kata Eliza Jane. "Terlalu!
Memasukkan babi tua yang kotor ke halaman depan!"

"Ia bukan babi tua yang kotor!" kata Almanzo. "Lucy adalah seekor babi yang
masih kecil, muda dan bersih. Babi adalah binatang paling bersih! Coba saja lihat
cara Lucy menjaga agar tempat tidurnya selalu bersih, membaliknya dan
menganginkannya serta merapikannya setiap hari. Kuda tidak dapat berbuat begitu,
demikian pula sapi, atau biri-biri, atau apa saja. Sedangkan babi

"Itu semua aku sudah tahu! Kurasa aku mengetahui semua tentang babi seperti
kau!" kata Eliza Jane.

"Kalau begitu kau jangan menyebut Lucy kotor! Ia sama bersihnya dengan kau!"

"Ibu mengatakan bahwa kau harus patuh padaku," jawab Eliza Jane. "Dan aku
tidak mau membuang-buang kulit semangka untuk diberikan kepada babi! Aku akan
membuat asinan kulit semangka."
"Kurasa itu juga kulit semangkaku, bukan hanya kepunyaanmu," Almanzo memulai,
tetapi Royal bangkit berdiri dan berkata, "Ayo ikut, Manzo. Sudah tiba waktunya
untuk bekerja."

Almanzo tidak mengatakan apa-apa lagi. Tetapi setelah pekerjaan selesai, ia


mengeluarkan Lucy dari kandangnya. Babi kecil ini seputih anak biri-biri, dan ia
menyukai Almanzo. Ekornya yang kecil bergelung menggeletar waktu babi itu
melihatnya. Ia mengikuti Almanzo ke rumah, menggeruh dengan gembira, dan menjerit-
jerit memanggil Almanzo di pintu sampai Eliza Jane mengatakan bahwa kepalanya
pusing mendengarnya.

Sesudah makan, Almanzo mengambil sepiring sisa makanan dan memberikannya


kepada Lucy. Ia duduk di tangga belakang dan menggaruk-garuk punggungnya yang
berbulu. Babi sangat suka diperlakukan demikian. Di dapur, Eliza Jane dan Royal
sedang bertengkar tentang gula-gula. Royal ingin makan gula-gula, tetapi Eliza Jane
mengatakan bahwa gula tarik hanya dibuat untuk malam musim dingin. Royal mengatakan
bahwa ia tidak tahu mengapa gula-gula juga tidak akan terasa enak di musim panas.
Almanzo juga berpendapat begitu, dan ia masuk serta memihak kepada Royal.

Alice mengatakan bahwa ia tahu caranya membuat gula-gula. Eliza Jane tidak
mau membuatnya, tetapi Alice mencampurkan gula dengan setetes air, lalu merebusnya.

Kemudian ia menuangkan gula-gula cair, pada piring yang sudah dilapisi


mentega dan menaruhnya di serambi supaya dingin.

Mereka menggulung lengan baju masing-masing dan menggosok tangan mereka


dengan mentega, siap untuk menarik gula-gula. Eliza Jane juga menggosok tangannya
dengan mentega.

Selama itu Lucy menjerit-jerit memanggil Almanzo. Almanzo pergi ke luar untuk
melihat apakah gula-gula sudah cukup dingin, dan ia berpikir bahwa babi kecilnya
perlu diberi sedikit. Gula-gula ini sudah dingin. Tidak ada seorang pun yang
melihat maka ia mengambil sejumput besar gula-gula cokelat yang lunak dan
menjatuhkannya dari serambi ke mulut Lucy yang terbuka lebar.

Kemudian mereka semua menarik gula-gula. Mereka menariknya menjadi panjang,


kemudian melipatnya, dan menariknya lagi. Setiap kali mereka menarik dan
melipatnya, mereka menggigit gula-gula sedikit.

Gula-gula ini sangat lengket. Gula-gula menempel pada gigi, jari, dan muka
mereka, dan yang menempel ke rambut susah dilepaskan. Waktu Almanzo menjatuhkan
sedikit ke lantai, gula-gula juga menempel di situ. Seharusnya, gula-gula menjadi
keras dan renyah, tetapi ini tidak demikian. Mereka menarik dan menarik terus.
Tetapi gula-gula masih tetap lunak dan lengket. Setelah lama sekali waktu tidur
lewat, mereka putus asa dan pergi tidur.

Keesokan harinya, waktu Almanzo memulai pekerjaan harian, Lucy sudah berdiri
di halaman. Ekornya tergantung lemas dan kepalanya terkulai ke bawah. Ia tidak
menjerit waktu melihat Almanzo. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sedih dan
mengernyitkan hidungnya, Kini giginya yang putih tidak kelihatan lagi. Sebaliknya,
di situ tampak gumpalan cokelat yang lunak.

Gigi Lucy terkunci oleh gulali yang lengket! Ia tidak dapat makan, tidak
dapat minum, dan bahkan tidak dapat menjerit. Ia tidak dapat menggeruh. Namun,
waktu melihat Almanzo datang, ia lari.

Almanzo berteriak memanggil Royal. Mereka mengejar-ngejar Lucy berkeliling


rumah, di bawah semak bunga bola salju dan pohon lila. Mereka mengejar-ngejarnya di
seluruh kebun. Lucy berputar menyuruk dan merunduk serta berlari secepat-cepatnya.
Selama itu Lucy tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia tidak dapat mengeluarkan
suara. Mulutnya penuh dengan gulali.

Lucy lari di antara kaki Royal dan menyebabkan Royal jatuh terjengkang.
Almanzo hampir dapat menerkamnya, dan jatuh tersungkur di atas hidungnya. Lucy lari
melalui tanaman kacang, menginjak-injak tomat masak, dan menyebabkan banyak tanaman
kobis tercabut. Eliza Jane terus-menerus menyuruh Royal dan Almanzo menangkapnya.
Alice ikut mengejar.

Akhirnya, mereka dapat menyudutkan Lucy. Lucy lari mengelilingi rok Alice.
Almanzo jatuh di atasnya dan menangkap Lucy dengan kedua tangannya. Ia menyepak,
dan membuat robekan panjang pada bagian depan bajunya.

Almanzo terus memegang dan menekannya. Alice memegangi kaki belakangnya yang
terus menyepak-nyepak. Royal membuka mulutnya dengan paksa dan mengeluarkan gulali
yang menempel. Kemudian, alangkah kerasnya Lucy menjerit-jerit! Ia mengeluarkan
semua jeritan yang tertahan sepanjang malam dan semua jeritan yang tidak dapat
dikeluarkannya waktu mereka mengejar-ngejarnya, dan ia lari menjerit-jerit ke
kandangnya.

"Almanzo James Wilder, coba lihat dirimu!" tegur Eliza Jane. Almanzo tidak
dapat berbuat begitu, dan ia tidak ingin melakukannya.

Bahkan Alice merasa ngeri karena Almanzo membuang-buang gulali untuk


diberikan kepada babi. Dan bajunya robek. Itu dapat ditambal, tetapi tambalannya
akan kelihatan.

"Aku tidak peduli," kata Almanzo. Ia gembira karena setelah seminggu penuh
lewat baru Ibunya akan tahu.

Hari itu mereka membuat es krim lagi, dan mereka memakan sisa kue yang
terakhir. Alice mengatakan bahwa ia tahu caranya membuat kue. Ia mengatakan akan
membuat kue, dan kemudian ia akan duduk di ruang tamu.

Almanzo berpikir bahwa itu pasti akan menyenangkan. Namun Eliza Jane berkata,
"Kau tidak boleh sekali-kali berbuat begitu, Alice. Kau tahu benar bahwa ruang tamu
hanya disediakan bagi tamu."

Itu bukan ruang tamu milik Eliza Jane, dan Ibu tidak mengatakan bahwa ia
tidak boleh duduk di situ. Almanzo berpendapat bahwa Alice boleh duduk di ruang
tamu kalau ia menghendakinya.

Siang itu Almanzo masuk ke dapur untuk melihat apakah kuenya sudah jadi.
Alice sedang mengeluarkannya dari oven. Baunya enak, dan ia mengambil segumpal
kecil dari sudutnya. Kemudian Alice membuat irisan untuk menyembunyikan bagian yang
dipatahkan, dan kemudian mereka makan dua iris lagi bersama sisa es krim.

"Aku dapat membuat es krim lagi," kata Alice. Eliza Jane sedang ada di atas,
dan Almanzo berkata, "Mari kita pergi ke ruang tamu."

Mereka masuk berjingkat-jingkat, tanpa mengeluarkan suara. Di dalam cahaya


remang-remang karena kerai diturunkan, tetapi ruang tamu tampak indah. Kertas
dindingnya putih dan keemasan, dan permadaninya adalah buatan ibu yang terbagus,
hampir sayang untuk diinjak. Meja yang ada di tengah daunnya terbuat dari pualam.
Di atasnya ada lampu tinggi yang bagus, terbuat dari porselen putih dan keemasan
serta dihiasi dengan bunga mawar berwarna merah muda. Di sisinya terletak album
foto, dengan sampul terbuat dari beledu merah dan indung mutiara.

Di sekeliling ruangan dekat dinding berdiri kursi yang terbuat dari bulu
kuda, dan lukisan George Washington terpasang pada pigura di antara dua jendela.

Alice mengangkat roknya dan duduk di atas sofa. Kain pelapis kursi yang licin
membuatnya langsung tergelincir ke lantai. Alice tidak berani tertawa keras-keras,
takut jangan-jangan Eliza Jane akan mendengarnya. Ia duduk di sofa lagi, dan
kembali tergelincir. Kemudian Almanzo tergelincir jatuh dari sebuah kursi.

Ketika ada tamu datang dan mereka harus duduk di ruang tamu, mereka menjaga
diri masing-masing supaya tidak tergelincir dari kursi yang licin dengan menahankan
jari kaki ke lantai. Namun, kini mereka membiarkan diri tergelincir. Mereka
tergelincir jatuh dari sofa sampai Alice tertawa cukup keras sehingga mereka tidak
berani lagi main luncuran.

Kemudian, mereka melihat-lihat kerang dan karang laut serta patung porselen
yang diletakkan di mana-mana. Mereka tidak menyentuh apa pun. Mereka melihat-lihat
sampai mereka mendengar Eliza Jane turun ke bawah. Kemudian mereka lari berjingkat-
jingkat keluar dari ruang tamu dan menutup pintu tanpa suara. Eliza Jane tidak
memergoki mereka.

Rasanya seminggu berlangsung selama-lamanya, tetapi tiba-tiba waktu seminggu


sudah habis. Suatu pagi di waktu sarapan Eliza Jane berkata, "Besok pagi, Ayah dan
Ibu akan datang."

Mereka semua berhenti makan. Rumput di kebun belum dicabuti. Kacang belum
dipetik, demikian pula buah anggur yang cepat masak. Kandang ayam juga belum
dikapur.

"Rupa rumah ini tidak keruan," kata Eliza Jane. "Dan hari ini kita harus
membuat mentega. Namun, apa yang akan kukatakan kepada Ibu? Gula sudah habis
semua."

Kini tidak ada lagi yang meneruskan makan. Mereka melihat ke dalam tong
tempat gula, dan mereka dapat melihat dasarnya.

Hanya Alice yang mencoba tetap bergembira. "Kita harus melihat hal yang
baik," katanya seperti Ibu. "Masih ada sedikit gula yang tersisa. Ibu mengatakan,
'Jangan menghabiskan gula1' dan kita memang tidak menghabiskannya. Masih ada gula
sedikit sekeliling dasar tong."

Ini barulah awal dari hari yang menyedihkan. Mereka semua mulai bekerja
sekeras-kerasnya. Royal dan Almanzo menyiangi kebun, mereka mengapur kandang ayam,
membersihkan kandang sapi, dan menyapu seluruh lantai bangsal selatan. Anak-anak
perempuan menyapu dan mengepel lantai dalam rumah. Eliza Jane menyuruh Almanzo
menggoyang-goyang tong sampai menteganya jadi, dan tangannya bekerja cepat
menyendoki dan menggarami mentega serta menaruhnya dalam bak. Untuk makan siang
hanya ada roti dengan mentega dan selai, walaupun Almanzo merasa kelaparan.

"Nah, Almanzo. Sekarang kau menggosok tungku pemanas," kata Eliza Jane.

Almanzo tidak suka menyemir tungku, tetapi ia berharap Eliza Jane tidak akan
menceritakan bahwa ia membuang-buang gulali untuk diberikan kepada babinya. Ia
mengoleskan bahan penghitam tungku dengan kuas. Eliza Jane terus-menerus menyuruh
Almanzo bekerja lebih cepat.

"Hati-hati, jangan sampai menumpahkan semirnya," kata Eliza Jane, sambil


sibuk mengelap perabotan.

Almanzo tahu benar bahwa ia tidak boleh mencecerkan semir tungku. Tetapi, ia
tidak mengatakan apa pun.
"Jangan menggunakan air terlalu banyak, Almanzo. Ya, ampun! Gosok lebih keras
lagi!" Almanzo tidak berkata apa-apa.

Eliza Jane masuk ke ruang tamu untuk membersihkan debunya. Ia berseru,


"Almanzo, tungku itu sudah selesai?"

"Belum," kata Almanzo.

"Ya, ampun! Jangan kerja sambil main-main!"

Almanzo berkata perlahan, "Memangnya kau ini majikan?"

Eliza Jane bertanya, "Apa yang kaukatakan?"

"Tidak apa-apa," jawab Almanzo.

Eliza Jane berjalan ke pintu. "Kau tadi mengatakan sesuatu."

Almanzo menegakkan tubuhnya dan berteriak, "Aku bilang, MEMANGNYA KAU INI
MAJIKAN?"

Eliza Jane tergagap. Kemudian ia menjerit, "Kau tunggu saja, Almanzo James
Wilder! Tunggu saja sampai kuadukan kepada Ibu...."

Almanzo tidak bermaksud melemparkan kuas. Benda itu melayang begitu saja dari
tangannya. Kuas melayang melewati kepala Eliza Jane. Plak! Kuas menghantam dinding
ruang tamu.

Bercak semir yang besar tampak pada kertas dinding yang putih dan keemasan.

Alice menjerit. Almanzo berbalik dan lari terus ke bangsal. Ia naik ke


tumpukan rumput dan merangkak sampai jauh di sudut timbunan rumput. Ia tidak
menangis, tetapi mungkin akan menangis seandainya umurnya tidak hampir sepuluh
tahun. Ibu akan pulang dan mengetahui bahwa ruang tamunya yang indah sudah kotor.
Ayah akan membawanya ke gudang kayu dan memukulinya dengan cambuk ular hitam. Ia
tidak ingin lagi keluar dari timbunan rumput. Ingin sekali ia dapat tinggal di situ
selama-lamanya.

Setelah beberapa waktu lamanya berlalu Royal datang ke timbunan rumput dan
memanggilnya. Almanzo keluar dari rumput, dan ia melihat bahwa Royal sudah tahu.

"Manzo, kau akan dicambuk sekeras-kerasnya" kata Royal. Royal menyesal


sekali, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Keduanya tahu bahwa Almanzo patut
dicambuk, dan tidak ada cara apa pun yang dapat dilakukan supaya Ayah tidak tahu.

Almanzo berkata, "Aku tidak peduli."

Almanzo membantu melakukan pekerjaan harian, dan ia makan malam. Ia tidak


lapar, tetapi ia makan untuk menunjukkan kepada Eliza Jane bahwa ia tidak peduli.
Kemudian ia tidur. Pintu ruang tamu tertutup, tetapi ia tahu bahwa bercak hitam
yang besar ada pada dinding yang berwarna putih dan keemasan.

Keesokan harinya, kereta Ayah dan Ibu masuk ke halaman. Almanzo harus ikut
keluar menyongsong mereka bersama lain-lainnya. Alice berbisik kepadanya, "Jangan
terlalu bersedih hati. Mungkin mereka tidak peduli." Namun, Alice juga tampak
gelisah.

Ayah berkata dengan gembira, "Nah, kami sudah datang. Bagaimana, semuanya
beres?"

"Ya, Ayah," jawab Royal. Almanzo tidak membantu melepaskan kuda dari kereta.
Ia tetap tinggal di dalam rumah.

Ibu mondar-mandir ke mana-mana, memeriksa segala-galanya sambil membuka


ikatan topinya. "Sungguh, Eliza Jane dan Alice," kata Ibu, "Kau menjaga rumah
sebaik-baiknya sama seperti yang kulakukan sendiri."

"Ibu," kata Alice, suaranya pelan. "Ibu

"Apa, Nak?"

"Ibu," kata Alice, dengan berani, "Ibu mengatakan supaya kami tidak
menghabiskan gula. Ibu, kami... kami memakan hampir semuanya."

Ibu tertawa. "Kalian semua sudah begitu baik," katanya, "Ibu tidak akan marah
karena soal gula." Ibu tidak tahu tentang bercak hitam pada dinding ruang tamu.
Pintu ruang tamu tertutup. Ibu tidak akan tahu pada hari itu, maupun hari-hari
berikutnya. Pada waktu makan, Almanzo hampir-hampir tidak dapat menelan makanan,
dan Ibu merasa khawatir. Ia mengajak Almanzo ke dapur dan menyuruhnya menelan
sesendok makan obat hitam yang dibuatnya dari akar dan daun-daunan.

Almanzo tidak ingin Ibu mengetahui tentang bercak hitam, tetapi ia juga ingin
agar Ibu cepat-cepat tahu. Setelah yang terburuk dilewati ia tidak akan merasa
khawatir lagi.

Pada malam berikutnya, mereka mendengar sebuah kereta dijalankan masuk ke


halaman. Kereta dinaiki oleh Pak dan Bu Webb. Ayah dan ibu keluar untuk menyongsong
mereka dan sejurus kemudian mereka semua masuk ke ruang makan. Almanzo mendengar
ibu berkata, "Mari kita masuk ke ruang tamu!"

Almanzo tidak dapat bergerak. Ia tidak dapat berbicara. Ini jatah lebih buruk
daripada apa saja yang pernah dipikirkannya. Ibu sangat membanggakan ruang tamunya
yang indah. Ibu merasa bangga karena menjaganya supaya tetap indah. Ia tidak tahu
bahwa Almanzo sudah mengotorinya, dan kini ia mengajak tamunya masuk ke ruang tamu.
Mereka akan melihat bercak hitam di dinding.

Ibu membuka pintu ruang tamu dan masuk. Bu Webb masuk, kemudian Pak Webb
bersama Ayah. Almanzo hanya melihat punggung mereka, dan ia mendengar tirai jendela
diangkat.

Ia melihat ruang tamu penuh cahaya terang. Bagi Almanzo rasanya lama benar
baru ada yang mulai berbicara.

Kemudian Ibu berkata, "Silakan duduk di kursi besar ini, Pak Webb. Silakan
duduk yang enak. Duduklah di sofa, Bu Webb."

Almanzo hampir tidak memercayai pendengarannya. Bu Webb berkata, "Kau punya


ruang tamu yang indah sekali. Rasanya ini hampir-hampir terlalu bagus untuk
diduduki."

Kini, Almanzo dapat melihat tempat kuas penghitam tungku menghantam dinding,
dan ia tidak dapat memercayai penglihatannya. Kertas dinding tampak putih bersih
dengan lukisan keemasan. Di situ sama sekali tidak ada bercak hitam.

Ibu melihat Almanzo dan berkata, "Masuklah, Almanzo."

Almanzo masuk. Ia duduk dengan sikap tegak di kursi rambut kuda dan
mendorongkan jari kakinya ke lantai supaya ia tidak tergelincir jatuh. Ayah dan Ibu
menceritakan tentang kunjungan mereka ke rumah Paman Andrew. Di mana pun di dinding
tidak ada bercak hitam.

"Apakah kau tidak khawatir, meninggalkan anak-anak sendirian di sini dan kau
pergi begitu jauh?" tanya Bu Webb.

"Tidak," jawab Ibu dengan bangga. "Aku tahu anak-anak akan mengurus segala-
galanya sama baiknya seperti kalau aku dan James di rumah."

Almanzo tetap bersikap sopan dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Hari berikutnya, waktu tidak ada seorang pun yang melihat, Almanzo menyelinap
masuk ke ruang tamu. Ia melihat dengan hati-hati tempat yang berbekas hitam. Kertas
dindingnya sudah ditambal. Tambalannya digunting dengan hati-hati sekeliling
lukisan yang berwarna keemasan, dan pola lukisan cocok benar dengan bagian yang
ditempel, sehingga sama sekali tidak kentara.

Almanzo menunggu sampai ia dapat berbicara sendirian kepada Eliza Jane, dan
kemudian ia bertanya, "Eliza Jane, apakah kau menambal kertas dinding ruang tamu
untukku?"

"Ya," kata Eliza Jane. "Aku menemukan sisa kertas dinding yang disimpan di
loteng, dan aku mengguntingnya untuk direkatkan dengan lem tepung."

Almanzo berkata dengan suara serak, "Aku menyesal melemparkan kuas kepadamu.
Sungguh, aku tidak bermaksud begitu, Eliza Jane."

"Kurasa aku yang membangkitkan kemarahanmu," kata Eliza Jane. "Tetapi


sebenarnya aku tidak bermaksud begitu. Kau satu-satunya adik laki-laki yang
kumiliki."

Baru kali inilah Almanzo sadar betapa sayangnya ia kepada Eliza Jane.

Mereka tidak pernah menceritakan tentang bercak hitam pada dinding ruang
tamu, dan Ibu tidak pernah tahu.

PERMULAAN PANEN

KINI sudah tiba waktunya untuk memotong rumput. Ayah mengeluarkan sabit, dan
Almanzo menyiapkan gerinda asahan. Ia memutar batu gerinda dengan satu tangan dan
menuangkan air sedikit dengan tangan satunya, sementara Ayah menempelkan mata sabit
pada batu asahan yang mendesir berputar. Air menjaga agar mata sabit tidak terlalu
panas, sementara batu gerinda mengasah matanya menjadi tipis dan tajam.

Kemudian Almanzo pergi menembus hutan ke pondok orang Prancis. Ia


memberitahukan French Joe dan Lazy John agar keesokan harinya datang untuk bekerja.

Segera setelah matahari mengeringkan embun dari padang rumput, Ayah bersama
dengan Joe dan John mulai memotong rumput. Mereka berjalan berjajar mengayunkan
sabit mereka, dan rumput yang berbunga bulu itu tersabit bertumpuk-tumpuk.
Wiss! Wiss! Wiss! Bunyi sabit. Sementara itu, Almanzo bersama Pierre dan
Louis mengikuti di belakang mereka, menghamparkan tumpukan rumput yang sudah
tersabit dengan garpu rumput supaya keringnya rata dalam sinar matahari. Tunggul
batang rumput terasa lunak dan sejuk di bawah kaki mereka yang telanjang. Burung
beterbangan di muka para penyabit rumput, dan kadang-kadang seekor kelinci melompat
dan lari. Tinggi di udara burung branjangan menyanyi sambil terbang menggelepar.

Sinar matahari makin terasa panas, bau rumput makin kuat dan makin harum.
Gelombang panas mulai keluar dari tanah. Lengan Almanzo yang cokelat kini semakin
cokelat terbakar oleh sinar matahari, dan keringat menitik-nitik pada dahinya. Para
penyabit rumput berhenti untuk memasukkan daun hijau ke dalam topi mereka, dan
anak-anak menirukan perbuatan mereka.

Untuk beberapa waktu lamanya daun hijau menyejukkan kepala mereka.

Sebelum tengah hari, Ibu sudah meniup terompet panggilan makan siang. Almanzo
tahu apa artinya. Ia menusukkan garpu rumputnya ke tanah, lalu pergi berlari-lari
dan melompat-lompat menyeberangi padang rumput ke rumah.

Ibu menemuinya di serambi belakang dengan ember susu, penuh dengan eggnog.

Eggnog terbuat dari susu dan krim, dengan telur dan gula banyak-banyak.
Bagian atasnya berbuih-buih, dan potongan-potongan es mengapung. Bagian luar
berembun karena dinginnya.

Almanzo berjalan perlahan-lahan menuju ke padang rumput membawa ember ini


terlalu penuh, dan mungkin ia akan mencecerkan sedikit eggnog. Ibu mengatakan bahwa
membuang-buang makanan adalah dosa. Ia harus melakukan sesuatu untuk
menyelamatkannya. Jadi, ia meletakkan ember, lalu isinya diminum. Eggnog meluncur
dengan lancar masuk tenggorokan, dan membuat bagian dalam tubuhnya terasa sejuk.

Setelah ia sampai ke padang rumput, setiap orang berhenti bekerja. Mereka


berdiri di bawah pohon eik yang rindang dan mendorongkan topi masing-masing ke
belakang.

Mereka minum bergantian dengan gayung sampai semua eggnog habis. Almanzo
minum sebanyak-banyaknya.

Kini angin terasa sejuk. Lazy John berkata sambil menyeka buih dari kumisnya.

"Ah! Ini memberikan semangat kepada seorang laki-laki!"

Kini mereka mengasah sabit masing-masing, membuat batu asahan berdering


dengan gembira pada mata sabit yang terbuat dari baja. Lalu mereka kembali bekerja
dengan semangat.

Ayah selalu mengatakan bahwa seorang laki-laki dapat bekerja lebih banyak
dalam dua belas jam, kalau istirahatnya cukup dan dapat minum eggnog sebanyak-
banyaknya, pagi dan siang.

Mereka semua bekerja di padang rumput selama masih ada cahaya untuk dapat
melihat apa yang mereka lakukan, dan pekerjaan harian mereka lakukan dalam cahaya
lentera.

Keesokan paginya, rumput yang disabit telah kering. Anak-anak laki-laki


mengumpulkannya memanjang dengan penggaruk kayu yang besar dan ringan buatan ayah.
Kemudian Joe dan John meneruskan memotong rumput. Pierre dan Louis menebarkan
rumput yang sudah tersabit di belakang mereka. Namun, Almanzo bekerja di tempat
penyimpanan rumput.
Ayah menjalankan gerobak dari bangsal. Lalu Ayah dan Royal memasukkan rumput
ke dalamnya, sementara Almanzo menginjak-injaknya. Ia berjalan hilir-mudik, di atas
rumput yang berbau harum, memadatkannya, memasukkan rumput ke dalam gerobak.

Waktu gerobak tidak dapat memuat rumput lebih banyak lagi, Almanzo sudah
berada tinggi di puncak timbunan rumput. Ia berbaring mene-lungkup dan menendang-
nendang tumitnya, sementara Ayah menjalankan gerobak ke bangsal besar. Muatan
rumput hampir tidak dapat lewat di pintu yang tinggi, dan Almanzo meluncur dari
puncak timbunan rumput ke tanah.

Ayah dan Royal memasukkan rumput ke tempatnya, sementara Almanzo membawa guci
air ke sumur. Ia memompa, kemudian menampung air yang keluar dengan tangannya dan
minum. Ia membawa air kepada Ayah dan Royal, lalu mengisi guci lagi. Kemudian ia
kembali naik gerobak rumput yang kosong, dan menginjak-injak muatan rumput lagi.

Almanzo menyukai saat memotong rumput. Sejak fajar menyingsing sampai lama
sekali sesudah gelap malam turun, ia sibuk melakukan berbagai pekerjaan. Rasanya
seperti bermain-main, dan setiap pagi dan siang selalu ada eggnog. Namun, sesudah
tiga minggu memotong rumput, semua tempat rumput sudah penuh sesak dan padang
rumput sudah gundul. Kemudian kesibukan musim panen pun tiba.

Gandum sudah masak, tegak tinggi dan berwarna kuning. Tanaman oat keemasan,
lebih tua daripada gandum. Kacang juga sudah masak, sementara labu, wortel dan
lobak serta kentang sudah siap dipetik.

Kini sudah tidak ada lagi istirahat dan bermain-main untuk setiap orang.
Mereka bekerja sejak pagi buta sampai larut malam. Ibu dan anak-anak perempuan
membuat acar timun, acar tomat hijau, dan acar kulit semangka. Mereka mengeringkan
jagung dan apel dan membuat manisan. Semua disimpan, tidak ada yang boleh dibuang-
buang dari hasil panen musim panas yang berlimpah-limpah. Bahkan biji apel juga
disimpan untuk membuat cuka dan berbundel-bundel jerami direndam dalam bak di
serambi belakang. Setiap kali Ibu punya kesempatan, ia menjalin jerami untuk topi
pada musim panas yang akan datang. Batang gandum dipotong dengan sabit panjang.
Mata sabit ini lebih panjang, tangkainya yang terbuat dari kayu juga lebih panjang.
Setelah mereka memotong cukup banyak untuk dijadikan seikat, Joe dan John
menumpahkan batang-batang gandum ini. Ayah, Royal, dan Almanzo mengikut di belakang
mengikat batang gandum menjadi bundelan.

Almanzo belum pernah mengikat batang gandum. Ayah menunjukkan kepadanya cara
mengikatkan dua genggam batang gandum menjadi pengikat yang panjang, kemudian
caranya mengumpulkan batang gandum yang harus diikat, kemudian membuat simpul yang
erat di tengahnya.

Tidak lama kemudian, ia sudah dapat mengikat sebundel batang gandum sebaik-
baiknya, tetapi tidak begitu cepat. Ayah dan Royal dapat mengikat batang gandum
secepat para pemotong gandum membabatnya.

Tepat sebelum matahari terbenam, para pemotong gandum berhenti bekerja.


Mereka semua mulai mendirikan bundelan gandum. Semua batang gandum yang sudah
dipotong harus didirikan sebelum gelap, sebab pasti akan rusak kalau dibiarkan
menggeletak di tanah dan kena embun semalaman.

Almanzo dapat mendirikan batang gandum sama baiknya dengan yang lain. Ia
mendirikan sepuluh bundel batang gandum di atas pangkal batangnya, membuat ikatan
ini saling menyandar dengan bagian yang ada bijinya di atas. Kemudian ia memasang
dua bundel lagi di atas dan mengembangkan batang-batangnya untuk membuat atap bagi
sepuluh bundel yang ada di bawah. Batang-batang gandum yang sudah didirikan
kelihatan seperti tenda Indian, bertebaran di ladang yang sudah gundul.
Sementara itu tanaman oat sudah menunggu. Tidak ada waktu lagi yang dapat
dibuang-buang. Segera setelah batang gandum didirikan, semua orang bergegas
memotong, mengikat, dan mendirikan batang oat. Ini lebih sulit dilakukan karena
batang oat lebih berat daripada batang gandum, tapi dengan gagah Almanzo bekerja.
Setelah itu, mereka harus memetik kacang. Batang kacang merambat menjalari tanaman
oat, sehingga batang oat tidak dapat didirikan. Almanzo mengumpulkannya menjadi
deretan panjang.

Kini sudah tiba waktunya pula untuk memetik kacang panjang. Alice harus
membantu mereka. Ayah membuat pancang di ladang, yang digunakan untuk
menggantungkan kacang, dengan cara menancapkannya di tanah dengan bantuan palu.
Kemudian Ayah dan Royal mengangkut gandum ke lumbung, sementara Almanzo dan Alice
mencabuti kacang.

Pertama-tama, mereka meletakkan batu di sekeliling pancang tadi, untuk


menjaga agar kacang tidak jatuh ke tanah. Kemudian mereka mengumpulkan kacang.
Dengan dua tangan mereka mencabuti kacang sampai tangan mereka tidak dapat memegang
lebih banyak lagi. Mereka membawa kacang ke pancang dan membentangkan akar-akarnya
di atas pancang itu, dengan batang rambatnya menggantung di atas batu.

Selapis demi selapis kacang mereka tumpukkan di sekeliling setiap pancang.


Akarnya lebih besar daripada batang rambatnya, sehingga tumpukan semakin tinggi di
bagian tengah. Batangnya yang saling menjalin, penuh dengan kacang, bergantung di
sekelilingnya.

Setelah semua kacang selesai ditumpuk, Almanzo dan Alice meletakkan batang
rambatnya di atas, membuat atap kecil untuk melindunginya dari hujan. Setelah ini
selesai, mereka mengerjakan yang lain.

Tumpukan kacang sampai setinggi Almanzo, dan batang rambat yang menutupinya
mengembang seperti gaun Alice.

Suatu hari, waktu Almanzo dan Alice pulang ke rumah untuk makan, pembeli
mentega sudah ada di situ. Ia datang setiap tahun dari kota New York.

Ia memakai pakaian kota yang bagus, dengan arloji dan rantai emas, dan naik
kereta yang ditarik oleh pasangan kuda yang bagus. Semua menyukai pembeli mentega
dan makan siang sangat menyenangkan waktu ia ada di situ.

Ia membawa semua berita tentang politik dan mode serta harga pasaran di kota
New York. Sesudah makan siang, Almanzo kembali bekerja. Namun, Alice tinggal di
rumah untuk menyaksikan Ibu menjual mentega.

Pembeli mentega turun ke ruang bawah tanah, tempat bak mentega berdiri
tertutup dengan kain putih yang bersih. Ibu membuka kain penutupnya, dan pembeli
mentega memasukkan sebatang baja panjang ke dalam mentega, sampai ke dasar bak.
Alat untuk mencoba mentega ini berlubang di tengah, dengan celah pada satu sisi.
Waktu ia mencabutnya, pada celah alat ini terdapat contoh mentega yang memanjang.

Ibu sama sekali tidak melakukan tawar-menawar. Ia berkata dengan bangga,


"Mentegaku sudah berbicara sendiri."

Tidak satu pun contoh mentega dari semua baknya yang bercacat. Dari atas
sampai ke dasar setiap bak, mentega buatan Ibu semuanya berwarna keemasan, padat,
dan berbau harum.

Almanzo melihat pembeli mentega menjalankan keretanya pergi. Kemudian Alice


melompat-lompat ke ladang kacang, mengayun-ngayun topi pada talinya. Ia berseru,
"Coba terka apa yang dilakukannya!"

"Apa?" tanya Almanzo.

"Ia mengatakan bahwa mentega buatan Ibu adalah mentega paling baik yang
pernah dilihatnya di mana pun! Dan ia membayarnya-coba terka berapa dia membayar!
Satu dolar, sekilo!"

Almanzo merasa takjub. Belum pernah ia mendengar sebanyak itu harga mentega.

"Ibu punya mentega dua ratus lima puluh kilo!" kata Alice. "Itu berarti dua
ratus lima puluh dolar! Ia membayar uang sebanyak itu tunai kepada Ibu. Dan
sekarang Ibu sedang memasang kuda ke kereta, untuk membawa uang ke bank."

Tidak lama kemudian Ibu pergi naik kereta, memakai pakaian dan topi yang
bagus. Ibu pergi ke kota lewat tengah hari, pada waktu panen. Sebelumnya, ia tidak
pernah melakukan ini. Namun Ayah sibuk di ladang, dan Ibu tidak mau menyimpan uang
sebanyak itu di rumah biar pun hanya satu malam.

Almanzo bangga sekali. Ibunya mungkin pembuat mentega yang paling enak di
seluruh negara bagian New York. Orang-orang di kota New York akan memakan
menteganya, dan berkata kepada teman-temannya tentang lezatnya mentega ini, serta
bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang membuatnya.

AKHIR PANENAN

KINI bulan purnama menyorotkan sinarnya yang kuning di atas ladang di waktu
malam, dan udara mulai terasa dingin. Semua tanaman jagung sudah dipotong dan
ikatan batangnya didirikan. Sinar bulan melemparkan bayangan hitam di tanah, tempat
buah labu berserakan di atas daunnya yang sudah layu.

Labu Almanzo yang diberi makan dengan susu tampak sangat besar. Dengan hati-
hati ia memotong labu ini dari batangnya, tetapi ia tidak kuat mengangkatnya. Ia
bahkan tidak sanggup menggulingkannya. Ayah mengangkat labu ini ke gerobak dan
dengan hati-hati membawanya ke bangsal. Di situ labu diletakkan di atas rumput,
untuk menunggu sampai Pekan Raya tiba.

Semua labu lainnya digelindingkan oleh Almanzo ke satu tumpukan dan Ayah
mengangkutnya ke bangsal. Labu yang terbaik disimpan dalam ruang bawah tanah untuk
dibuat kue labu, dan sisanya disusun di lantai bangsal selatan. Tiap malam Almanzo
memotong-motong labu dengan golok, dan memberikannya untuk makanan sapi dan anak
sapi.

Buah apel sudah masak. Almanzo bersama Royal dan Ayah memasang tangga ke
pohonnya, lalu naik sampai ke puncaknya. Mereka memilih apel yang sempurna benar
dengan hati-hati, dan meletakkannya dalam keranjang. Ayah mengangkut segerobak
keranjang perlahan-lahan ke rumah. Almanzo membantu mengangkut keranjang ke ruang
bawah tanah dan dengan hati-hati menaruh apel di dalam tempatnya. Mereka menjaga
agar tidak ada satu pun apel yang tergores. Apel yang tergores akan busuk dan
sebuah apel busuk akan merusak semua apel lainnya.

Ruang bawah tanah mulai berbau buah apel dan manisan seperti di waktu musim
dingin. Tempat susu sudah dipindahkan ke atas semua, menunggu sampai musim semi
datang lagi.

Setelah semua apel yang sempurna dipetik, Almanzo dan Royal dapat
mengguncangkan pohonnya. Ini sangat menyenangkan. Mereka mengguncangkan pohon apel
sekuat-kuatnya, dan buahnya berjatuhan seperti hujan es. Mereka mengambil buah apel
dari tanah dan melemparkannya ke gerobak. Apel ini hanya akan dijadikan sirop.
Almanzo makan sebuah kalau ia mau.

Kini tiba waktunya untuk memetik tanaman dari kebun. Ayah mengangkut apel ke
penggilingan, namun Almanzo harus tinggal di rumah. Ia mencabuti bit dan lobak,
lalu mengangkutnya ke ruang bawah tanah. Ia mencabuti bawang dan Alice menjalin,
daunnya yang kering menjadi jalinan yang panjang. Bawang yang bulat-bulat
bergantungan pada jalinan daunnya dan Ibu menggantungkannya di loteng. Almanzo
mencabuti cabai, sementara Alice menyiapkan benang dan jarum, dan ia merangkaikan
cabai merah seperti manik-manik pada benang. Ini mereka gantungkan di sisi bawang.

Malam itu Ayah pulang dengan membawa dua tong besar sirop apel. Ia
menggelindingkan tong ke ruang bawah tanah.

Kini, persediaan sirop apel cukup banyak, persediaan yang cukup sampai panen
apel yang akan datang.

Keesokan paginya, angin dingin mulai bertiup dan awan hujan bergulung-gulung
di langit yang kelabu. Ayah tampak khawatir. Wortel dan kentang harus digali
secepatnya.

Almanzo memakai kaus kaki dan mokasin, topi dan jaket serta kaus tangan.
Alice memakai topi dan syal. Ia juga akan ikut membantu.

Ayah memasangkan Bess dan Beauty ke bajak, lalu membuat alur di kiri kanan
deretan tanaman wortel. Jadi, tanaman wortel berdiri pada gundukan tanah yang
memanjang, sehingga mudah dicabut. Almanzo dan Alice mencabuti tanaman wortel
secepatnya. Royal memotongi daunnya dan melemparkan wortel ke gerobak. Ayah
mengangkutnya ke rumah dan dengan sekop dimasukkannya ke lubang sehingga wortel
meluncur ke tempatnya di ruang bawah tanah.

Benih kecil merah yang ditanam Almanzo dan Alice sudah tumbuh menjadi dua
ratus keranjang wortel. Ibu dapat memasak sesukanya, kuda dan sapi dapat makan
wortel mentah sepanjang musim dingin.

Lazy John datang untuk membantu menggali kentang. Ayah dan John menggali
kentang dengan cangkul, sementara Alice dan Almanzo mengumpulkannya. Kentang mereka
masukkan ke dalam keranjang, kemudian isi keranjang dimasukkan ke gerobak. Royal
meninggalkan gerobak kosong di ladang sementara ia menarik gerobak yang penuh ke
rumah dan memasukkan kentang melalui jendela ruang bawah tanah ke tempat kentang.
Almanzo dan Alice bekerja cepat-cepat untuk mengisi gerobak kosong sementara Royal
pergi.

Mereka hampir-hampir tidak berhenti di tengah hari untuk makan. Mereka


bekerja di waktu malam sampai malam terlalu gelap sehingga susah untuk melihat.
Kalau mereka tidak memasukkan kentang ke ruang bawah tanah sebelum tanah membeku,
pekerjaan selama setahun di ladang kentang akan terbuang sia-sia. Ayah terpaksa
akan membeli kentang.

"Belum pernah aku melihat cuaca yang seperti ini," kata Ayah.

Pagi-pagi benar, sebelum matahari terbit, mereka sudah bekerja keras lagi.
Matahari ternyata tidak terbit sama sekali. Awan yang tebal dan kelabu tergantung
rendah di atas kepala. Tanah terasa dingin dan kentang kedinginan. Angin yang
kencang dan dingin meniupkan debu campur kerikil ke mata Almanzo. Ia dan Alice
sangat mengantuk. Mereka berusaha bekerja cepat-cepat, tetapi jari mereka begitu
dingin hingga kesemutan dan menyebabkan kentang jatuh dari tangan mereka.

Alice berkata, "Hidungku dingin. Kita punya penutup telinga. Mengapa kita
juga tidak punya penutup hidung?"

Almanzo mengatakan kepada Ayah bahwa mereka kedinginan, dan Ayah berkata
kepadanya, "Bekerja cepat-cepat, Nak. Kerja akan membuat tubuhmu hangat."

Mereka berusaha, tetapi mereka terlalu kedinginan sehingga tidak dapat


bekerja cepat-cepat. Kemudian waktu Ayah menggali dekat mereka, ia berkata,
"Buatlah api unggun dengan daun kentang yang sudah kering Almanzo. Itu akan
menghangatkan badanmu."

Jadi, Alice dan Almanzo mengumpulkan setumpuk besar daun kentang. Ayah
memberi Almanzo korek api, lalu ia menyalakan api unggun.

Nyala yang kecil membakar sehelai daun kering, kemudian membakar batang
kentang yang kering dan api gemeretak dan merambat serta segera berkobar di udara.
Rasanya seluruh ladang menjadi lebih hangat.

Lama sekali mereka sibuk bekerja. Setiap kali Almanzo merasa terlalu dingin,
ia lari dan menumpukkan daun kentang lebih banyak ke api. Alice mendekatkan
tangannya ke api untuk menghangatkannya, dan cahaya api pada mukanya seperti sinar
matahari.

"Aku lapar," kata Almanzo.

"Aku juga," kata Alice. "Ini pasti hampir waktu makan siang."

Almanzo tidak dapat mengetahui waktu dengan melihat bayangan, sebab tidak ada
sinar matahari.

Mereka terus bekerja, dan mereka belum juga mendengar terompet tanda makan
siang. Perut Almanzo rasanya kosong sama sekali. Ia berkata kepada Alice, "Sebelum
kita sampai ke ujung deretan ini, kita akan mendengarnya." Namun mereka belum juga
mendengar bunyi terompet.

Almanzo menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang terjadi terhadap terompet.
Ia berkata kepada Ayah, "Kurasa ini sudah waktu makan siang."

John tertawa kepadanya, dan Ayah berkata, "Ini belum lagi tengah hari, Nak."

Almanzo meneruskan menggali kentang. Kemudian Ayah berseru, "Letakkan sebuah


kentang dalam abu, Almanzo. Itu akan mengurangi rasa laparmu."

Almanzo meletakkan dua buah kentang yang besar-besar dalam abu panas. Satu
untuk ia sendiri, dan satu untuk Alice. Ia menumpukkan abu panas di atasnya, dan
menumpukkan daun kentang lebih banyak pada api. Ia tahu bahwa seharusnya ia kembali
bekerja. Namun ia tetap berdiri dekat panas api yang menyenangkan, menunggu sampai
kentang masak dibakar. Dalam hatinya ia tidak merasa senang, tetapi badannya terasa
hangat dan ia berkata kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap tinggal di sini
untuk membakar kentang."

Ia merasa kurang senang karena membiarkan Alice bekerja sendirian, tetapi ia


berpikir, "Aku sibuk membakarkan kentang untuknya."
Tiba-tiba ia mendengar suara desisan dan letupan yang lemah, dan sesuatu
mengenai mukanya. Terkena benda ini mukanya terasa sangat panas. Ia menjerit-jerit.
Sakitnya luar biasa dan ia tidak dapat melihat.

Almanzo mendengar suara seruan, dan bunyi langkah-langkah orang berlari.


Tangan yang besar merenggutkan tangannya sendiri yang menutup mukanya, dan tangan
Ayah mendongakkan kepalanya. Lazy John berbicara dalam bahasa Prancis dan Alice
menangis, "Aduh, Ayah! Aduh, Ayah!"

"Buka matamu, Nak," kata Ayah.

Almanzo mencoba, tetapi hanya sebelah saja matanya yang bisa dibuka. Ibu jari
tangan Ayah membuka kelopak mata satunya, dan rasanya sakit. Ayah berkata, "Ini
tidak apa-apa. Matanya tidak luka."

Salah sebuah kentang yang sedang dibakar meletup, dan bagian dalamnya yang
panas mengenai Almanzo. Namun, kelopak matanya menutup pada waktunya. Hanya kelopak
mata dan pipinya saja yang terbakar.

Ayah membalutkan sapu tangan pada matanya, kemudian ia dan Lazy John kembali
bekerja. Rasanya Almanzo belum pernah mengalami sakit yang melebihi luka terbakar
ini. Namun, ia mengatakan kepada Alice bahwa ini tidak sakit sekali. Ia mengambil
sebatang bilah dan menggali kentang satunya dari bawah abu.

"Kurasa ini kentangmu," katanya dengan hidung mendengus. Ia tidak menangis.


Namun air mata terus-menerus mengalir dari matanya dan di dalam hidungnya.

"Bukan, ini kentangmu," kata Alice. "Yang meletup adalah kentangku."

"Bagaimana kamu tahu yang mana yang meletup?" tanya Almanzo.

"Ini kentangmu karena kau sakit, dan aku tidak lapar. Aku tidak begitu
lapar," kata Alice.

"Kau lapar seperti aku!" kata Almanzo. Ia tidak lagi mementingkan dirinya
sendiri. "Kau makan separuh," katanya kepada Alice, "dan aku makan separuh."

Kentang yang dibakar hitam pada bagian luarnya, tetapi di dalamnya putih dan
lunak, dan bau kentang bakar yang sangat enak tercium oleh mereka. Mereka
membiarkan sampai kentang dingin sedikit, dan kemudian mereka menggigit bagian
dalamnya. Ini kentang paling enak yang pernah mereka makan. Mereka merasa lebih
senang dan kembali bekerja.

Muka Almanzo melepuh dan matanya bengkak terutup. Tetapi pada tengah hari Ibu
mengobatinya, kemudian di waktu malam mengobatinya sekali lagi dan keesokan harinya
tidak lagi terasa begitu sakit.

Setelah gelap pada hari yang ketiga, ia dan Alice mengikuti muatan kentang
yang terakhir ke rumah. Cuaca makin dingin. Dengan sekop, Ayah memasukkan kentang
ke dalam ruang bawah tanah diterangi oleh cahaya lentera, sementara Royal dan
Almanzo melakukan semua pekerjaan harian.

Mereka menyelamatkan kentang tepat pada waktunya. Malam itu juga tanah
membeku.

"Kita sudah selesai jauh sebelum tanah membeku," kata Ibu, tetapi Ayah
menggelengkan kepala. "Hampir saja kita terlambat," kata Ayah. "Tidak lama lagi
salju akan turun. Kita harus bekerja cepat-cepat untuk melindungi kacang dan
jagung."
Ia memasang pagar penahan pada gerobak, lalu Royal bersama Almanzo
membantunya mengangkut kacang. Mereka mencabuti batang rambat kacang dan
meletakkannya dalam gerobak, bersama kacangnya. Mereka bekerja dengan hati-hati,
sebab guncangan akan menyebabkan kacang terjatuh dari kulitnya dan akan terbuang.

Setelah mereka selesai memasukkan semua kacang ke lantai bangsal selatan,


mereka mengangkut jagung. Panen tahun itu sangat berhasil sehingga bangsal Ayah
yang besar-besar tidak dapat menyimpan semua hasil panen. Beberapa gerobak jagung
terpaksa harus diletakkan di muka bangsal, dan Ayah membuat pagar di sekelilingnya
supaya tidak diganggu oleh anak sapi.

Kini hasil panenan sudah dibawa pulang semua. Ruang bawah tanah dan loteng
serta semua bangsal sudah penuh terisi. Makanan mereka dan makanan ternak yang
jumlahnya sangat banyak sudah disimpan untuk persediaan musim dingin.

Kini setiap orang dapat berhenti bekerja sebentar dan bisa bersenang-senang
di Pekan Raya.

PEKAN RAYA

PADA pagi buta yang dingin, mereka semua berangkat ke Pekan Raya. Mereka
mengenakan pakaian hari Minggu yang terbagus, kecuali Ibu. Ia memakai gaunnya yang
tidak begitu bagus dan membawa sehelai celemek, sebab ia akan membantu menyiapkan
makan siang di gereja.

Di bawah tempat duduk belakang kereta, ada kotak-kotak berisi selai, acar,
dan manisan buatan Eliza Jane dan Alice untuk dipamerkan di Pekan Raya. Alice juga
membawa bordiran benang wol yang dibuatnya. Namun, labu Almanzo yang diberi makan
susu sudah dibawa sehari sebelumnya. Labu ini terlalu besar sehingga tidak dapat
dibawa dalam kereta. Almanzo menggosoknya dengan hati-hati, Ayah mengangkatnya ke
gerobak dan menaruhnya di atas timbunan rumput yang lunak dan membawanya ke tempat
Pekan Raya diselenggarakan dan diberikan kepada Pak Paddock. Pak Paddock yang
mengurus hal-hal semacam itu.

Pagi itu, jalan besar begitu semarak dengan orang yang berkereta ke Pekan
Raya dan di Malone orang lebih banyak daripada waktu Perayaan Hari Kemerdekaan. Di
sekeliling Pekan Raya, banyak sekali gerobak dan kereta, dan orang banyak
berkerumun seperti lalat. Di mana-mana, bendera dikibarkan dan band memainkan
musik.

Ibu, Royal, dan anak-anak perempuan turun dari kereta di Pekan Raya, tetapi
Almanzo naik terus bersama Ayah ke gudang kereta di gereja dan membantu melepaskan
kuda dari kereta. Gudang penuh sekali dan sepanjang tepi jalan orang berduyun-duyun
mengenakan pakaian yang paling baik berjalan ke Pekan Raya, sementara kereta hilir-
mudik di jalan besar dalam kepulan debu.

"Nak, Nak," tanya Ayah kepadanya, "apa yang akan kita lakukan lebih dulu?"

"Aku ingin melihat kuda," kata Almanzo. Jadi, Ayah mengatakan bahwa mereka
akan melihat kuda lebih dulu.
Matahari sudah tinggi, udara cerah dan hangat. Gerombolan manusia terus
mengalir ke Pekan Raya, berjalan sambil bercakap-cakap ramai sekali, dan band
memainkan lagu gembira. Kereta datang dan pergi silih berganti. Orang-orang
berhenti untuk bercakap-cakap dengan Ayah, dan anak laki-laki ada di mana-mana.

Frank berjalan bersama-sama anak dari kota dan Almanzo melihat Miles Lewis
dan Aaron Webb. Namun, ia tetap bersama Ayah.

Mereka berjalan perlahan-lahan melewati bagian belakang panggung, dan


melewati bangunan gereja yang panjang dan rendah. Ini bukan gereja, melainkan dapur
gereja dan ruang makan di Pekan Raya. Bunyi piring dan panci beradu serta wanita
yang sedang mengobrol terdengar dari luar. Ibu dan anak-anak perempuan ada di dalam
di suatu tempat.

Setelah itu mereka melewati deretan tenda penjualan, semuanya meriah dengan
bendera dan gambar berwarna dan orang-orang berseru, "Silakan ke sini, silakan ke
sini, hanya sepuluh sen, sepersepuluh dolar!"

"Jeruk, jeruk, jeruk Florida yang manis!"

"Menyembuhkan semua penyakit manusia dan binatang!"

"Hadiah untuk semuanya! Hadiah untuk semuanya!"

"Kesempatan terakhir, anak-anak, letakkan uangmu! Mundur, jangan berdesak-


desakkan!"

Di satu tenda terdapat banyak sekali tongkat gula-gula yang bergaris-garis


hitam dan hijau. Siapa saja yang dapat melemparkan gelang pada sebatang gula-gula,
pemilik tenda akan memberikan gula-gula ini kepadanya. Ada juga setumpuk jeruk, dan
bertalam-talam roti, serta bak berisi limun merah jambu. Ada seorang laki-laki yang
memakai jas dan topi tinggi yang berkilap, yang meletakkan sebutir kacang di bawah
sebuah kulit kerang dan kemudian membayarkan uang kepada siapa saja yang dapat
menunjukkan letak kacang tersebut.

"Aku tahu di mana tempatnya, Yah!" kata Almanzo.

"Kau yakin"' tanya Ayah.

"Ya," kata Almanzo menunjuk. "Di bawah kerang itu."

"Nah, Nak, kita tunggu dan lihat saja," kata Ayah. Waktu itu seorang laki-
laki mendesak di tengah orang banyak dan meletakkan uang lembaran lima dolar di
sisi deretan kulit kerang. Di situ ada tiga buah kulit kerang. Laki-laki ini
menunjuk ke kulit kerang yang ditunjuk oleh Almanzo.

Laki-laki yang mengenakan topi tinggi mengangkat kulit kerang ini. Tidak ada
kacang di bawahnya. Saat berikutnya lembaran lima dolar sudah masuk ke saku jasnya,
lalu ia menunjukkan kacang lagi dan meletakkannya di bawah kulit kerang yang lain.
Almanzo sama sekali tidak mengerti. Ia melihat sendiri kacang ada di bawah kulit
kerang itu, dan kemudian tidak ada lagi. Ia menanyakan kepada Ayah bagaimana orang
itu melakukannya.

"Aku tidak tahu, Almanzo," kata Ayah. "Tetapi ia tahu. Itu permainannya.
Jangan sekali-kali mempertaruhkan uangmu pada permainan orang lain."

Mereka pergi ke kandang ternak. Di situ tanahnya sangat berdebu, bekas


diinjak-injak oleh orang dan anak-anak laki-laki. Di situ tidak begitu ribut.
Lama sekali Almanzo dan Ayah memandangi kuda Morgan cokelat dan berbintik-
bintik yang cantik, dengan kakinya yang ramping dan kecil. Kuda Morgan ini
mengibaskan kepalanya yang kecil dan mata mereka lembut serta bersinar-sinar.
Almanzo memandangi kuda ini dengan saksama dan tidak satu pun di antara kuda ini
yang lebih bagus daripada anak kuda ayah yang dijual pada musim gugur yang lalu.

Kemudian ia dan Ayah melihat kuda pacuan, dengan tubuh yang lebih panjang dan
ramping, serta leher yang kecil. Kuda pacuan selalu gelisah. Telinga mereka
menggeletar dan tampak putih matanya.

Lari mereka lebih cepat daripada kuda Morgan, tetapi tidak begitu mantap.

Sesudah itu mereka melihat kuda kelabu berbintik-bintik. Pangkal kakinya


bulat dan kuat, lehernya besar dan kakinya berat. Rambut yang panjang dan lebat
menyembunyikan kaki mereka yang besar. Kepala mereka juga besar, matanya lemah
lembut. Almanzo belum pernah melihat kuda seperti ini.

Ayah mengatakan bahwa ini kuda Belgia. Mereka datang dari negeri yang bernama
Belgia, di Eropa. Belgia terletak dekat Prancis, dan orang Prancis membawa kuda
seperti ini dengan kapal ke Kanada. Sekarang, kuda Belgia didatangkan dari Kanada
ke Amerika Serikat. Ayah sangat mengagumi kuda ini. Ia berkata, "Lihat ototnya yang
besar-besar! Mereka dapat menarik sebuah lumbung kalau ditambatkan ke lumbung."

Almanzo bertanya kepada ayahnya, "Apa gunanya kuda yang dapat menarik sebuah
lumbung? Kita tidak ingin menarik sebuah lumbung. Seekor kuda Morgan punya otot
yang cukup kuat untuk menarik gerobak dan ia juga cukup cepat untuk menarik
kereta."

"Kau benar, Nak!" kata Ayah. Ia melihat kuda yang besar-besar itu dengan rasa
penyesalan dan menggelengkan kepalanya. "Memang hanya pemborosan saja memberi makan
otot yang besar-besar itu, sedangkan kita tidak memerlukannya. Kau benar."

Almanzo merasa dirinya penting dan sudah dewasa, membicarakan soal kuda
dengan Ayah.

Di sebelah kandang kuda Belgia, orang banyak sekali mengerumuni kandang


sampai Ayah pun tidak dapat melihat apa yang ada di dalamnya. Almanzo meninggalkan
Ayah, dan berdesakan di antara kaki orang banyak sampai ia mencapai jeruji kandang.

Di dalam kandang ada dua ekor binatang berwarna hitam. Almanzo belum pernah
melihat binatang seperti itu. Binatang ini mirip kuda, tetapi bukan kuda. Ekor
mereka gundul, hanya ada sejumput rambut pada ujungnya. Surainya yang pendek dan
kaku tegak berdiri. Telinga mereka seperti telinga kelinci. Telinga yang panjang
ini tegak di atas muka yang panjang dan kurus. Waktu Almanzo melihat, salah seekor
binatang ini menunjukkan telinganya kepadanya dan menjulurkan lehernya.

Dekat sekali dengan mata Almanzo yang melotot, hidung binatang ini
dikernyitkan dan bibirnya ditarik ke belakang, menunjukkan gigi yang panjang dan
kuning. Almanzo tidak dapat bergerak. Perlahan-lahan binatang ini membuka mulutnya
yang panjang dan bertaring dan dari tenggorokannya keluar suara yang keras.

"Eeeeeeeee, aw! Heeeeee, Haw!"

Almanzo memekik, lalu berbalik dan menabrak-nabrak serta menyuruk-nyuruk


berusaha keluar dari kerumunan orang banyak, menghampiri Ayah. Tahu-tahu ia sudah
mendekati Ayah dan setiap orang menertawakannya. Hanya Ayah saja yang tidak
tertawa.

"Itu hanya kuda peranakan, Nak," kata Ayah. "Ini bagal yang pertama kali kau
lihat. Tetapi bukan hanya kau saja yang ketakutan," kata Ayah melihat berkeliling
kepada orang banyak.

Almanzo merasa lebih senang waktu ia melihat-lihat anak kuda. Di situ ada
kuda berumur dua tahun, kuda berumur setahun dan beberapa anak kuda kecil bersama
induknya. Almanzo melihat-lihat dengan saksama, dan akhirnya ia berkata, "Ayah, aku
ingin

"Apa, Nak?" tanya Ayah.

"Ayah, di sini tidak ada satu pun anak kuda yang sebagus si Starlight.
Dapatkah Ayah membawa Starlight ke Pekan Raya tahun depan?"

"Baiklah, baiklah," kata Ayah. "Akan kita pikirkan nanti kalau tahun depan
sudah datang." Kemudian mereka melihat-lihat sapi. Di situ ada sapi Guernsey dan
Jersey, yang datang dari pulau yang bernama Guernsey dan Jersey, dekat pantai
Prancis. Mereka melihat-lihat sapi Devon yang matanya bersinar-sinar dan sapi
Durham kelabu yang datang dari Inggris. Mereka melihat sapi muda dan anak sapi, dan
beberapa ekor lebih bagus daripada Star dan Bright. Mereka melihat-lihat sapi
jantan penarik bajak yang tegap dan kuat.

Selama itu, Almanzo memikirkan bahwa seandainya Ayah membawa si Starlight ke


Pekan Raya, mungkin dapat dipastikan si Starlight akan mendapat hadiah.

Kemudian mereka melihat-lihat babi Chester Putih yang besar dan babi
Berkshire Hitam yang lebih kecil tetapi lebih halus. Babi milik Almanzo yang
bernama Lucy adalah seekor babi Chester Putih.

Namun, Almanzo memutuskan pada suatu hari kelak ia pun akan memiliki seekor
babi Berkshire. Mereka melihat-lihat biri-biri Merino, seperti milik Ayah, dengan
kulitnya yang berlipat-lipat dan bulu pendek yang bagus. Mereka juga melihat-lihat
biri-biri Cotswold yang lebih besar, yang bulunya lebih panjang, tetapi kasar. Ayah
sudah cukup puas memiliki biri-biri Merino. Ia lebih suka mendapatkan wol yang
tidak begitu banyak, tetapi mutunya lebih bagus untuk ditenun oleh Ibu.

Pada waktu itu sudah tengah hari, dan Almanzo belum melihat buah labunya.
Tetapi ia sudah lapar, jadi mereka pergi untuk makan.

Ruang makan gereja sudah penuh orang. Tiap tempat di sekeliling meja panjang
sudah diambil orang, dan Eliza Jane bersama Alice memang sibuk dengan anak-anak
perempuan lainnya membawa piring penuh makanan dari dapur. Semua bau makanan yang
lezat membuat air liur Almanzo keluar.

Ayah pergi ke dapur, demikian pula Almanzo. Di situ penuh wanita, yang dengan
tergesa-gesa mengiris-iris ham rebus dan daging sapi panggang, mengiris-iris ayam
panggang dan menyiapkan hidangan sayuran. Ibu membuka oven di atas tungku yang
besar dan mengeluarkan kalkun dan itik panggang.

Ada tiga buah tong berdiri dekat dinding dan pipa besi yang panjang masuk ke
tong dari sebuah bejana berisi air mendidih di atas tungku. Uap mengepul dari
setiap celah pada tong. Ayah membuka tutup sebuah tong dan uap yang bergumpal-
gumpal keluar. Almanzo melihat ke dalam tong. Ternyata, tong penuh dengan kentang
yang berasap-asap, dengan kulitnya yang cokelat dan bersih. Kulit kentang pecah
waktu terkena udara dan bergulung untuk menunjukkan isinya yang lunak dan lezat.

Di sekeliling Almanzo terdapat berbagai jenis kue dan ia begitu lapar


sehingga rasanya dapat menghabiskannya semua. Tetapi ia sama sekali tidak berani
menyentuh kue.
Akhirnya, ia dan Ayah mendapat tempat pada meja panjang di ruang makan.
Setiap orang bergembira bercakap-cakap dan tertawa-tawa, tetapi Almanzo asyik
makan. Ia makan ham, ayam dan kalkun, serta masakan lainnya. Ia makan kentang dan
kuah, kacang panggang dan kacang rebus dengan bawang, roti putih, acar, dan asinan.
Kemudian ia menghela napas panjang dan makan kue.

Waktu mulai makan kue, ia menyesal karena sudah makan berbagai masakan.
Tetapi ia dapat memakan beberapa jenis kue, masing-masing sepotong. Ia mencoba
memakan sepotong kue daging, tetapi tidak dapat menghabiskannya. Perutnya sudah
tidak dapat diisi lagi. Di situ ada kue buah arbei, kue krim, kue cuka dan kue
kismis, tetapi ia sudah tidak dapat makan lebih banyak lagi.

Ia merasa senang sekali waktu duduk bersama Ayah di panggung besar. Mereka
melihat kuda yang berlari pulang pergi di lintasan di bawah mereka, melakukan
pemanasan untuk pacuan.

Debu beterbangan dalam sinar matahari di belakang kereta kecil beroda dua
yang ringan.

Royal duduk bersama anak-anak besar, di tepi lintasan pacuan, dengan orang-
orang yang bertaruh pada pacuan.

Ayah mengatakan bahwa tidak ada salahnya bertaruh pada pacuan kalau
menghendakinya.

"Kau memiliki kesempatan menjalankan uangmu," kata Ayah. "Tetapi Ayah lebih
suka mendapatkan sesuatu yang lebih pasti untuk uang Ayah."

Panggung besar sudah penuh sampai orang berdesakan di tempat duduk yang
bertingkat-tingkat. Kereta kecil yang ringan dijajarkan dan kuda penariknya
mengibas-ngibaskan kepala dan menggaruk tanah, sudah tidak sabar ingin mulai
berpacu. Almanzo tidak sabar sampai hampir-hampir tidak dapat duduk tenang. Ia
memilih kuda yang menurut pikirannya akan menang, seekor kuda pacuan cokelat yang
ramping.

Seseorang berseru. Seketika semua kuda lari sepanjang lintasan, dan orang
banyak berseru-seru gegap-gempita. Kemudian, tiba-tiba semua orang terdiam,
keheranan. Seorang Indian berlari sepanjang lintasan di belakang kereta. Ia lari
sama cepatnya dengan kuda pacuan.

Semua orang mulai berteriak-teriak. "Ia tidak akan berhasil!"

"Dua dolar kalau ia dapat menyusul!"

"Kuda merah! Kuda merah! Ayo, maju terus, maju terus!"

"Tiga dolar untuk orang Indian!"

"Lihat kuda cokelat Itu!"

Debu beterbangan makin tebal di lintasan.

Kuda itu lari cepat sekali, sampai kelihatan seakan melayang di atas tanah.
Orang banyak berdiri di atas bangku, berteriak-teriak. Almanzo juga ikut berteriak-
teriak. Di lintasan di bawahnya kuda berpacu dengan bunyi langkah yang menderu.
"Maju terus! Maju terus! Kuda merah! Kuda merah!"

Kuda pacuan ini lari begitu cepatnya sehingga hampir-hampir tidak dapat
dilihat. Di belakang mereka menyusul orang Indian, lari dengan enaknya. Di muka
panggung besar ia melompat tinggi-tinggi ke udara, melakukan salto dan berdiri
sambil menghormat kepada orang banyak dengan tangan kanannya.

Panggung besar bergetar dengan suara teriakan dan hentakan kaki. Bahkan Ayah
ikut berseru, "Hore! Hore!"

Orang Indian ini berlari satu setengah kilometer dalam waktu dua menit empat
puluh detik, sama cepatnya dengan kuda yang menang. Ia bahkan tidak terengah-engah.
Sekali lagi ia menghormat kepada orang banyak yang bersorak-sorak dan berjalan
keluar dari lintasan.

Ternyata, kuda merah yang menang.

Sesudah itu, masih ada lagi beberapa pacuan, tetapi segera waktu menunjukkan
pukul tiga, waktu untuk pulang. Hari itu pulang ke rumah berkereta sangat
menyenangkan, sebab banyak yang dapat dibicarakan. Royal berhasil melemparkan
gelang pada salah sebuah batangan gula-gula yang bergaris-garis hitam dan putih dan
ia memenangkannya. Alice membelanjakan lima sen untuk membeli permen. Ia mematahkan
gula-gula yang bergaris-garis menjadi dua, dan mereka masing-masing mendapat
sepotong untuk dihisap perlahan-lahan.

Rasanya aneh sekali berada di rumah cukup lama hanya untuk melakukan
pekerjaan harian dan tidur. Pagi-pagi benar keesokan harinya mereka sudah pergi
berkereta lagi. Pekan Raya masih berlangsung selama dua hari.

Pagi itu, Almanzo dan Ayah cepat-cepat pergi melintasi tempat pameran sayuran
dan biji-bijian. Almanzo segera melihat buah labunya. Buah labu ini berkilap,
tampak keemasan di antara labu lainnya yang lebih suram. Dan labu Almanzo adalah
yang paling besar di antara semua labu lainnya.

"Jangan terlalu yakin akan mendapat hadiah, Nak," kata Ayah. "Bukan hanya
ukurannya saja yang dinilai, tetapi juga mutunya."

Almanzo mencoba tidak terlalu memikirkan hadiah. Ia pergi meninggalkan tempat


pameran labu bersama Ayah, walaupun sekali-sekali masih menoleh kepada labunya. Ia
melihat kentang, bit, lobak, dan bawang yang bagus-bagus. Dengan jarinya, ia
memeriksa bulir-bulir gandum, terigu, kacang kedele, biji kacang panjang, dan
kacang berbintik-bintik. Ia melihat-lihat jagung putih, jagung hijau, serta jagung
merah putih dan biru. Ayah menunjukkan betapa rapatnya biji pada jagung yang
terbaik, sampai menutupi ujungnya.

Orang berjalan hilir-mudik, melihat-lihat. Selalu ada orang yang datang untuk
melihat labu dan Almanzo berharap mereka tahu bahwa labu yang terbesar adalah
miliknya.

Sesudah makan, ia tergesa-gesa kembali untuk menyaksikan penilaian. Kini


kerumunan orang makin banyak, dan kadang-kadang ia meninggalkan Ayah, berdesak-
desakan di antara orang banyak untuk melihat apa yang dilakukan oleh para juri.
Tiga orang juri yang melakukan penilaian memakai lencana pada jas mereka. Mereka
tampak khidmat dan berbicara satu sama lain dengan suara rendah supaya tidak
kedengaran apa yang mereka katakan.

Mereka menimbang-nimbang biji-bijian dengan tangannya, dan memeriksanya


dengan saksama. Mereka mengunyah sedikit gandum dan terigu, untuk mengetahui
rasanya. Mereka membuka biji kacang panjang dan kacang tanah dan mereka mengupas
beberapa buah jagung dan mengukur panjangnya. Dengan pisau lipat mereka memotong
kentang menjadi dua dan mengiris bawang. Mereka menyayat-nyayat kentang menjadi
tipis-tipis dan memegangi sayatan ini ke cahaya matahari. Bagian kentang yang baik
adalah yang terdekat dengan kulitnya dan orang dapat melihat setebal apa bagian
yang terbaik kalau mendekatkan sayatan yang tipis ke cahaya matahari dan melihat
melaluinya.

Kerumunan orang yang paling banyak berdesakan di sekeliling meja tempat para
juri dan melihat tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Semua terdiam waktu akhirnya
seorang juri yang jangkung dan kurus serta berjanggut mengeluarkan pita merah dan
pita biru dari sakunya. Pita merah adalah hadiah kedua dan pita biru adalah hadiah
pertama. Juri memasangkan pita pada sayuran yang mendapat kemenangan dan orang
banyak menghela napas panjang.

Kemudian, semua orang berbicara bersama-sama. Almanzo melihat semua orang


yang tidak mendapat hadiah, dan orang yang mendapat hadiah kedua, semua memberi
selamat kepada pemenang pertama. Seandainya buah labunya tidak mendapat hadiah, ia
pun akan berbuat begitu. Ia tidak ingin berbuat begitu, tetapi ia merasa bahwa ia
harus melakukannya.

Akhirnya, para juri mendekati bagian labu. Almanzo berusaha agar kelihatan
seakan-akan tidak peduli, tetapi badannya terasa panas dingin.

Juri menunggu sampai Pak Paddock membawakan sebilah pisau jagal yang besar
dan tajam. Juri yang badannya paling besar menerima pisau, dan menikamkannya dengan
sekuat tenaga pada sebuah labu. Ia menekan tangkainya kuat-kuat ke bawah, dan
mengeluarkan seiris besar. Ia mengangkat irisan ini, dan semua juri melihat kepada
daging labu yang tebal dan kuning. Mereka memperhatikan tebalnya kulit yang keras,
dan lubang kosong di tengah yang berisi biji. Mereka membuat irisan kecil-kecil,
dan mencicipinya.

Kemudian juri yang berbadan besar mengiris labu lainnya. Ia mulai dengan yang
paling kecil. Orang banyak sangat rapat mendesak Almanzo. Ia sampai terpaksa harus
membuka mulurnya untuk bernapas.

Akhirnya, juri membuka buah labu Almanzo yang besar. Almanzo merasa pusing.
Bagian dalam labunya punya lubang kosong yang besar, tetapi labunya memang besar.
Bijinya banyak sekali. Dagingnya agak lebih pucat daripada labu lainnya. Almanzo
tidak tahu apakah itu membuat perbedaan atau tidak. Para juri mencicipinya. Ia
tidak mengetahui dari muka mereka bagaimana rasanya.

Kemudian mereka bercakap-cakap satu sama lain, lama sekali. Almanzo tidak
dapat mendengar apa yang mereka katakan. Juri yang tinggi dan kurus menggelengkan
kepala dan menarik-narik jambangnya. Ia memotong sesayat tipis dari labu yang
paling kuning dan sesayat tipis dari labu Almanzo, dan mencicipi kedua irisan ini.
Ia memberikannya kepada juri yang tinggi besar, dan ia mencicipinya. Juri yang
gemuk mengatakan sesuatu, dan mereka semua tersenyum.

Pak Paddock membungkuk di atas meja dan berkata, "Selamat siang, Wilder.
Rupanya kau dan anakmu sedang melihat-lihat. Kau senang, Almanzo?"

Almanzo hampir-hampir tidak dapat berbicara. Tetapi ia mengatakan, "Ya, Pak."

Juri yang tinggi mengeluarkan pita merah dan pita biru dari sakunya. Juri
yang gemuk memegang lengan bajunya, dan semua juri berunding sambil berbisik-bisik
lagi.

Juri yang tinggi memutar tubuhnya perlahan-lahan. Perlahan-lahan ia mengambil


jarum pentul dari kelepak jasnya dan menusukkannya pada pita biru. Ia tidak dekat
sekali dengan labu Almanzo yang besar. Ia tidak cukup dekat untuk mencapainya. Ia
mengangkat pita biru, di atas labu lainnya. Ia mencondongkan badan dan mengulurkan
lengannya perlahan-lahan, lalu ditusukannya jarum pentul ke labu Almanzo.
Tangan ayah menepuk bahu Almanzo. Seketika napas Almanzo terasa sesak dan
sekujur badannya merinding. Pak Paddock menjabat tangannya. Semua juri tersenyum.

Orang banyak berkata, "Wah, wah, Pak Wilder, anakmu mendapat hadiah pertama!"

Pak Web berkata, "Labumu bagus sekali, Almanzo. Belum pernah aku melihat yang
lebih bagus lagi."

Pak Paddock berkata, "Aku belum pernah melihat labu yang lebih besar lagi.
Bagaimana kau memelihara labu begitu besar, Almanzo?"

Tiba-tiba semuanya terasa sangat besar dan terdiam. Almanzo merasa tubuhnya
dingin, kecil sekali dan ketakutan. Sebelumnya, ia tidak berpikir, bahwa mungkin
tidak jujur mendapatkan hadiah untuk labu yang diberi makan susu. Mungkin hadiah
disediakan bagi labu yang dipelihara dengan cara biasa. Mungkin, kalau ia
menceritakan, mereka akan mencabut kembali hadiahnya. Mungkin mereka akan berpikir
bahwa ia mencoba menipu.

Almanzo melihat kepada Ayah, tetapi air muka Ayah tidak menunjukkan kepadanya
apa yang harus dilakukan.

"Aku... aku hanya aku hanya sering menyianginya dan..." katanya. Kemudian ia
sadar bahwa ia sedang berdusta. Ayah mendengar ia sedang berdusta. Ia menengadah
kepada Pak Paddock dan berkata, "Aku memberinya makan susu. Ini labu yang
dipelihara dengan diberi makan susu. Apakah... apakah itu boleh?"

"Ya, itu boleh," jawab Pak Paddock.

Ayah tertawa. "Selalu ada penipuan dalam semua usaha kecuali usaha kita,
Paddock. Dan mungkin ada juga satu dua trik dalam berladang dan membuat gerobak,
eh?" Kemudian Almanzo sadar bahwa selama itu ia tolol sekali. Ayah mengetahui semua
tentang labu dan Ayah tidak mau menipu.

Setelah itu ia berjalan-jalan bersama Ayah di tengah orang banyak. Mereka


melihat kuda lagi dan anak kuda yang memenangkan hadiah pertama tidak sebagus
Starlight. Almanzo berharap semoga ayah akan membawa Starlight ke Pekan Raya tahun
depan. Kemudian mereka menonton balap lari, perlombaan melompat, dan perlombaan
melempar. Anak-anak dari kota Malone ikut bertanding, tetapi hampir setiap kali
selalu anak tani yang menang. Selama itu Almanzo selalu teringat kepada labunya
yang mendapat hadiah dan ia merasa senang sekali.

Waktu pulang ke rumah pada malam itu, mereka semua merasa gembira. Bordiran
wol Alice memenangkan hadiah pertama. Eliza Jane mendapatkan pita merah dan Alice
mendapat pita biru untuk selai yang mereka perlombakan. Ayah mengatakan bahwa hari
itu keluarga Wilder patut dibanggakan.

Pekan Raya masih berlangsung sehari lagi, tetapi rasanya mereka sudah terlalu
banyak bersenang-senang. Almanzo sudah merasa bosan bersenang-senang. Tiga hari
bersenang-senang rasanya terlalu banyak. Rasanya tidak pada tempatnya mengenakan
pakaian bagus lagi dan meninggalkan ladang. Ia merasa kurang senang, seperti pada
waktu membersihkan rumah. Ia merasa gembira setelah Pekan Raya berakhir dan segala-
galanya berlangsung seperti sediakala.

MUSIM GUGUR TIBA


"DI utara, angin mulai bertiup," kata Ayah waktu makan pagi. "Awan mulai
datang bergulung-gulung. Sebaiknya kita mengumpulkan buah kenari sebelum salju
mulai turun."

Pohon kenari tumbuh di tempat penimbunan kayu, jauhnya tiga kilometer dari
jalan besar, tetapi hanya 800 meter di seberang ladang. Pak Webb seorang tetangga
yang baik, dan mengizinkan Ayah berkereta melalui tanahnya.

Almanzo dan Royal mengenakan topi dan jaket yang hangat, Alice mengenakan
mantel dan topi. Mereka pergi naik gerobak bersama Ayah untuk mengumpulkan buah
kenari.

Waktu mereka sampai ke pagar batu, Almanzo membantu untuk membongkarnya


supaya gerobak dapat lewat. Kini, padang rumput tampak kosong. Semua ternak ada di
dalam kandang masing-masing yang hangat, sehingga mereka dapat membiarkan pagar
tetap terbuka sampai perjalanan yang terakhir pulang ke rumah.

Di rumpun pohon kenari, semua daun yang kuning sudah gugur. Daun-daun kering
tertumpuk tebal sekali di tanah di bawah pohon kenari yang kini cabang dan
rantingnya sudah gundul. Buah kenari berjatuhan setelah rantingnya gugur dan
bertebaran di atas tumpukan daun. Ayah dan Royal mengangkat daun yang gugur dengan
garpu rumput, dan memasukkannya ke dalam gerobak bersama buahnya. Alice dan Almanzo
berlari-lari hilir-mudik dalam gerobak, menginjak-injak daun supaya padat dan dapat
dimuati lebih banyak lagi.

Setelah gerobak penuh, Royal dan Ayah pergi ke bangsal. Namun, Almanzo dan
Alice tetap tinggal di situ untuk bermain sampai gerobak kembali.

Angin dingin bertiup dan cahaya matahari remang-remang. Tupai melompat-lompat


berkelebat di mana-mana, mengumpulkan buah kenari untuk persediaan musim dingin.
Tinggi di langit itik liar terbang sambil berbunyi berkaok-kaok, bergegas menuju ke
selatan. Ini hari yang indah untuk bermain-main Indian, di antara pepohonan.

Setelah Almanzo bosan bermain Indian, ia dan Alice duduk di atas sebatang
kayu tumbang dan memecahkan buah kenari dengan giginya. Buah kenari berbentuk segi
tiga, cokelat berkilap dan kecil. Namun, di dalamnya penuh dengan daging yang
gurih. Rasa buah kenari sangat enak sehingga tidak ada orang yang merasa bosan
memakannya. Paling tidak, Almanzo belum bosan memakannya sebelum gerobak kembali.

Kemudian ia dan Alice menginjak-injak daun lagi, sementara garpu rumput sibuk
membuat tanah yang gundul makin luas.

Mereka mengumpulkan buah kenari hampir seharian penuh. Pada senja hari yang
dingin, Almanzo membantu memasang kembali pagar batu di belakang muatan kenari yang
terakhir. Semua buah kenari di dalam daunnya menjadi tumpukan tinggi di lantai
bangsal selatan, dekat mesin pengipas gandum.

Malam itu Ayah mengatakan bahwa musim panas Indian sudah berakhir.

"Nanti malam salju akan turun," katanya. Memang benar! Waktu Almanzo bangun
tidur keesokan harinya cahaya matahari sudah dipantulkan oleh salju. Dari jendela
ia melihat tanah dan atap bangsal putih oleh salju.

Ayah senang. Kini salju yang lunak dalamnya 15 sentimeter, tetapi tanah belum
lagi membeku.
"Pupuk untuk orang miskin," begitulah Ayah menyebut salju seperti ini, dan ia
mengajak Royal j membajak salju di ladang. Salju membawa sesuatu 1 dari udara ke
dalam tanah, yang akan menyebabkan tanaman tumbuh subur.

Sementara itu, Almanzo membantu Ayah mengencangkan jendela kayu bangsal, dan
memaku setiap papan yang terlepas karena kena sinar matahari dan hujan di musim
panas. Mereka melapisi dinding bangsal dengan jerami dari kandang, dan melapisi
dinding rumah dengan jerami yang bersih. Mereka meletakkan batu pada jerami untuk
menahannya dari tiupan angin serta memasang pintu dan jendela penahan badai di
rumah, tepat pada waktunya. Minggu itu berakhir dengan badai salju pertama yang
keras.

Kini, cuaca dingin yang menggigit akan terus berlangsung, dan sekarang sudah
tiba waktunya untuk menyembelih binatang.

Pada waktu fajar yang dingin, sebelum makan pagi, Almanzo membantu Royal
memasangkan i kuali besi yang besar dekat bangsal. Mereka meletakkannya di atas
batu, mengisinya dengan air dan menyalakan api unggun di bawahnya. Kuali ini dapat
menampung tiga tong air.

Sebelum mereka selesai, Lazy John dan French Joe sudah datang, dan mereka
hanya punya waktu sedikit sekali untuk makan pagi. Hari itu, lima ekor babi dan
seekor sapi muda akan disembelih.

Segera setelah seekor dipotong, Ayah bersama Joe dan John memasukkan binatang
ini ke dalam air mendidih di kuali, mengangkatnya dan meletakkannya di atas papan.
Dengan pisau jagal, mereka mencukur semua bulunya. Lalu binatang ini digantung
dengan mengikat kaki belakangnya pada pohon, mengeluarkan semua isi perutnya ke
sebuah bak.

Almanzo dan Royal membawa bak ini ke dapur. Ibu dan anak-anak perempuan
mencuci jantung dan hati, dan memotong semua lemak dari jeroan babi, untuk dibuat
minyak goreng.

Ayah dan Joe menguliti sapi muda dengan hati-hati. Kulitnya terlepas secara
utuh. Tiap tahun Ayah menyembelih seekor sapi muda dan menyimpan kulitnya untuk
dibuat sepatu.

Sepanjang siang, orang-orang dewasa memotongi daging. Almanzo dan Royal


segera menyimpannya. Potongan lemak babi digarami, disimpan dalam tong di ruang
bawah tanah. Daging ham dan daging bahu dimasukkan dengan hati-hati ke dalam tong
untuk dibuat acar, yang dibumbui oleh Ibu dengan garam, gula mapel, sendawa, dan
air yang direbus bersama-sama. Acar daging babi baunya tajam dan menyebabkan orang
ingin bersin.

Iga, tulang punggung, jantung, hati, lidah dan bar semua daging sosis
disimpan di para-para gudang kayu. Ayah dan Joe juga menggantungkan paha sapi di
situ. Daging ini akan membeku di para-para dan akan tetap membeku sepanjang musim
dingin.

Malam itu mereka selesai menjagal binatang. French Joe dan Lazy John pulang
ke rumah sambil bersiul-siul, membawa daging segar sebagai upah untuk kerja mereka.
Ibu memanggang iga untuk makan malam. Almanzo suka sekali menggigiti daging dari
tulang yang panjang melengkung dan pipih. Ia juga menyukai gulai babi yang berkuah
cokelat, yang dimakan dengan kentang tumbuk.

Selama seminggu berikutnya, Ibu dan anak-anak perempuan kerja keras, dan Ibu
selalu menyuruh Almanzo membantu di dapur. Mereka memotong-motong lemak babi dan
mendidihkannya dalam panci besar di atas tungku. Setelah ini selesai dilakukan, Ibu
menyaring minyak yang panas dengan kain putih dan memasukkannya ke dalam guci batu.

Ampas lemak yang cokelat tertinggal di dalam kain setelah Ibu memerasnya, dan
Almanzo mengambil satu dua buah serta memakannya kapan saja ia punya kesempatan.
Ibu mengatakan bahwa terlalu banyak makan lemak kurang baik baginya. Ia menyimpan
ampas lemak ini untuk membumbui roti jagung.

Kemudian Ibu membuat acar daging. Ia merebus enam buah kepala sampai
dagingnya terlepas dari tulang. Ia mencincang daging ini, membumbuinya, dan
mencampurnya dengan cairan dari minuman beralkohol, lalu menuangkannya ke dalam
panci. Setelah dingin, rupanya seperti agar-agar, sebab zat perekat keluar dari
tulang.

Ibu juga membuat daging cincang. Ia merebus daging sapi dan babi terbaik dan
mencincangnya sampai halus, lalu dicampur dengan kismis dan bumbu, gula dan cuka,
buah apel cincang dan brendi. Ibu membuat daging cincang sampai dua tong penuh.
Baunya sangat sedap, dan Ibu mengizinkan Almanzo makan sisa yang tertinggal dalam
mangkuk pencampur.

Selama itu Almanzo sedang menggiling daging sosis. Ia menggiling ribuan


potongan daging dengan mesin penggiling selama berjam-jam. Ia merasa gembira
setelah ini selesai. Ibu membumbui daging dan membuatnya menjadi gumpalan-gumpalan
besar, Almanzo membawa semua gumpalan daging ini ke para-para gudang kayu dan
menyusunnya di atas kain yang bersih. Daging ini akan disimpan di sini, membeku
sepanjang musim dingin. Setiap pagi Ibu akan mengambil segumpal dan dijadikannya
menjadi gumpalan-gumpalan kecil dan digoreng untuk makan pagi.

Akhir penjagalan adalah membuat lilin.

Ibu membersihkan panci minyak babi besar dan mengisinya dengan potongan-
potongan lemak sapi.

Lemak sapi tidak bisa dijadikan minyak goreng. Lemak ini meleleh menjadi
lilin cair. Sementara lemak meleleh Almanzo membantu mengikat cetakan lilin.

Cetakan lilin adalah dua deret tabung timah, dijadikan satu dan didirikan
berderet-deret pada kuda-kuda berkaki enam. Ada dua belas tabung dalam satu
cetakan. Tabung ini terbuka pada bagian atasnya tapi meruncing pada dasarnya, dan
setiap ujung punya sebuah lubang kecil.

Ibu memotong sumbu lilin untuk setiap tabung. Ia melipat sumbu ini menjadi
dua pada sebatang bilah kecil dan memilinnya menjadi seutas tali. Ia menjilat ibu
jari dan telunjuknya, dan memilin ujung tali sehingga menjadi tajam. Setelah keenam
tali terpasang pada bilah, ia memasukkannya ke dalam enam tabung, dan bilah ini
terletak pada bagian atas tabung. Ujung tali masuk ke lubang kecil pada ujung
tabung, dan Almanzo menarik setiap tali sampai kencang, dan menahannya dengan
menikamkan ujung tabung pada sebuah kentang mentah.

Setelah setiap tabung punya sumbu, terentang kencang dari atas ke bawah pada
tengahnya, Ibu dengan hati-hati menuangkan lilin panas. Ia mengisi setiap tabung
sampai penuh. Kemudian Almanzo meletakkan cetakan di luar supaya dingin.

Setelah lilin menjadi keras, ia membawa cetakan masuk. Ia mencabut


kentangnya. Ibu memasukkan seluruh cetakan cepat-cepat ke dalam air mendidih, dan
mengangkat bilahnya. Enam batang lilin terangkat pada setiap bilah.

Kemudian Almanzo memotong lilin dari bilahnya. Ia memotong ujung sumbu pada
ujung yang rata, dan meninggalkan sumbu secukupnya untuk dinyalakan pada setiap
ujung yang runcing. Lalu disusunnya lilin yang halus lurus dan putih ini. Sepanjang
hari Almanzo membantu Ibu membuat lilin. Malam itu, mereka membuat lilin cukup
banyak untuk persediaan sampai mereka menyembelih binatang lagi tahun depan.

TUKANG SEPATU

IBU khawatir dan merasa kesal karena tukang sepatu belum juga datang. Mokasin
Almanzo sudah robek-robek, dan sepatu bot Royal dari tahun yang lalu sudah terlalu
sempit. Ia membuat robekan di sekelilingnya, supaya kakinya dapat masuk. Kakinya
sakit karena dingin, tetapi tidak ada yang dapat dilakukan sebelum tukang sepatu
datang.

Tidak lama lagi Royal, Eliza Jane, dan Alice harus pergi ke Akademi, padahal
mereka tidak punya sepatu. Dan tukang sepatu masih juga belum datang.

Dengan gunting Ibu memotong kain wol kelabu yang ditenunnya. Ia memotong,
mengepas, dan menjahit, dan membuatkan setelan yang indah bagi Royal, dengan mantel
luar yang serasi. Ibu membuatkannya sebuah topi dengan kelepak yang dapat
dikancingkan seperti topi yang dibeli di toko.

Untuk Eliza Jane, ia membuatkan gaun wol baru yang berwarna merah, dan ia
membuatkan Alice gaun baru berwarna biru. Anak-anak perempuan merobek jahitan rok
dan topi mereka yang lama, mencuci dan menyeterikanya, kemudian menjahitnya lagi
dengan bagian yang di dalam dibalik keluar, supaya kelihatan seperti pakaian baru.

Pada waktu malam, jarum rajut ibu bekerja dengan cepat, membuat kaus kaki
baru untuk mereka semua. Ia merajut begitu cepatnya sehingga jarum rajut menjadi
panas karena saling bergesek. Namun mereka tidak dapat memiliki sepatu baru,
kecuali kalau tukang sepatu datang pada wakktunya.

Namun ia belum juga datang. Gaun anak-anak perempuan menyembunyikan sepatu


mereka yang lama. Namun, Royal terpaksa pergi ke Akademi dengan setelan yang bagus
dan sepatu lama yang dirobek di sekelilingnya sehingga kaus kaki putihnya
kelihatan. Namun itu tak dapat dihindarkan lagi.

Pagi yang terakhir pun tiba. Ayah dan Almanzo melakukan pekerjaan harian.
Setiap jendela di rumah memancarkan cahaya lilin, dan di kandang Almanzo merasa
kehilangan Royal.

Royal dan anak-anak perempuan sudah mengenakan pakaian yang bagus pada waktu
makan pagi. Tidak ada yang dapat makan banyak-banyak. Ayah pergi memasang kuda pada
kereta, dan Almanzo membawakan tas mereka ke bawah. Almanzo lebih suka seandainya
Alice tidak pergi.

Suara giring-giring kecil kereta salju berdenting bergemerincing sampai ke


pintu, dan Ibu tertawa sambil menyeka matanya dengan celemek. Mereka semua ke luar
menghampiri kereta salju. Kuda menggaruk-garuk tanah dan menggerincingkan giring-
giring. Alice menghamparkan selimut di atas gaunnya yang menggembung, dan Ayah
menyuruh kuda mulai berjalan. Kereta salju meluncur dan membelok ke jalan besar.
Muka Alice yang tertutup selendang hitam menoleh ke belakang dan ia berseru,
"Selamat tinggal! Selamat tinggal!"
Almanzo tidak begitu menyukai hari itu. Segala-galanya terasa terlalu besar,
sunyi dan kosong. Ia makan siang sendirian bersama Ayah dan Ibu. Waktu untuk
melakukan pekerjaan harian lebih awal, karena Royal tidak ada. Almanzo tidak senang
masuk ke rumah dan tidak melihat Alice. Ia bahkan juga merindukan Eliza Jane.

Setelah pergi ke tempat tidur, ia berbaring dengan mata terbuka lebar dan
membayangkan apa gerangan yang mereka lakukan, sejauh delapan kilometer dari rumah.

Keesokan harinya, tukang sepatu datang! Ibu pergi ke pintu dan berkata
kepadanya, "Wah, bagus betul sekarang baru datang! Terlambat tiga minggu, dan anak-
anakku tidak punya sepatu lagi!"

Namun tukang sepatu ini seorang yang baik sehingga Ibu tidak dapat marah
lama-lama. Ini bukan kesalahannya. Ia tertahan selama tiga minggu di sebuah rumah,
membuatkan sepatu untuk pesta perkawinan.

Tukang sepatu itu seorang laki-laki yang gemuk dan periang. Pipi dan perutnya
akan berguncang-guncang kalau ia tertawa. Ia meletakkan bangku tukang sepatunya di
ruang makan dekat jendela, dan membuka peti perkakasnya. Ibu sudah tertawa
mendengar leluconnya. Ayah mengambil kulit dari tahun yang lalu yang sudah disamak,
dan ia dengan tukang sepatu merundingkan pembuatan sepatu sepanjang pagi.

Waktu makan siang berjalan dengan menyenangkan. Tukang sepatu menceritakan


semua berita. Ia memuji masakan Ibu, dan menceritakan lelucon sampai Ayah tertawa
tergelak-gelak dan Ibu menyeka matanya. Kemudian, tukang sepatu bertanya kepada
Ayah apa yang harus dibuatnya dulu, dan Ayah menjawab, "Kurasa sebaiknya kau mulai
dengan sepatu bot untuk Almanzo." Almanzo hampir-hampir tidak dapat memercayai
pendengarannya. Sudah lama, ia ingin punya sepatu bot. Ia mengira bahwa ia harus
memakai mokasin terus sampai pertumbuhan kakinya tidak pesat lagi.

"Kau terlalu memanjakan anak itu, James," kata Ibu.

"Sekarang ia sudah cukup besar untuk memakai sepatu bot," sela Ayah.

Almanzo hampir-hampir tidak sabar sampai tukang sepatu mulai membuat sepatu
botnya.

Mula-mula tukang sepatu melihat-lihat semua kayu yang ada di gudang kayu. Ia
menginginkan sepotong kayu mapel, sudah kering dan punya serat yang lurus dan
bagus. Setelah menemukannya, ia mengambil gergajinya yang kecil, dan menggergaji
dua helai papan tipis. Yang satu tebalnya tepat dua setengah sentimeter. Satunya
setebal sekitar satu sentimeter. Ia mengukur, kemudian menggergaji sudut-sudutnya.

Ia membawa papan kayu ini ke bangku tukang sepatunya. Lalu ia duduk, dan
membuka peti perkakas. Peti ini terbagi menjadi kotak-kotak kecil, dan segala jenis
perkakas tukang sepatu terletak dengan rapi di dalamnya.

Tukang sepatu meletakkan papan kayu mapel yang lebih tebal di atas bangku di
depannya. Ia mengambil sebilah pisau yang panjang dan tajam, dan memotong bagian
atas papan ini menjadi bergerigi. Kemudian, ia membalik papan dan membuat gerigi
pula yang berujung runcing.

Ia meletakkan ujung pisau yang lurus dan tipis pada alur di antara dua
gerigi, dan hati-hati mengetuk dengan palu. Kayu terbelah, menjadi bilah tipis
memanjang. Ia memindahkan pisaunya, mengetuknya, sampai kayu terpotong menjadi
bilah-bilah kecil. Kayu ini dijadikannya paku-paku kayu untuk dibuat paku sepatu.
Setiap paku panjangnya dua setengah sentimeter, dan ujungnya runcing.
Papan kayu mapel yang lebih tipis juga dibuatnya menjadi paku kayu, dan paku
ini panjangnya sekitar satu sentimeter.

Sekarang tukang sepatu sudah siap mengukur kaki Almanzo supaya sepatu botnya
nanti pas dipakai.

Almanzo melepaskan mokasin dan kaus kakinya, lalu ia berdiri di atas sehelai
kertas sementara tukang sepatu dengan hati-hati membuat garis di sekeliling kakinya
dengan potlot besar. Kemudian, mkang sepatu mengukur kaki Almanzo ke segala arah,
dan mencatat ukurannya.

Sekarang ia tidak memerlukan Almanzo lagi, sehingga Almanzo membantu Ayah


mengupas jagung. Ia punya alat pengupas jagung yang kecil, seperti alat pengupas
milik Ayah yang lebih besar. Ia mengancingkan ikatan, pada kaus tangan kanannya,
dan alat pengupas yang terbuat dari kayu dan runcing menunjuk ke depan seperti ibu
jari kedua, di antara ibu jari dan telunjuk.

Ia dan Ayah duduk di atas bangku pemerah susu di halaman bangsal dekat
ikatan-ikatan batang jagung. Ia mencabut setongkol jagung dari batangnya. Mereka
memegang ujung kulit yang kering di antara ibu jari dan alat pengupas, lalu kulit
jagung ini dikupas. Ia melemparkan tongkol jagung yang tidak berkulit ke keranjang.

Batang dan daun jagung yang panjang-panjang dan kering mereka tumpuk. Anak-
anak sapi akan memakan daun jagung ini.

Setelah selesai mengupas semua jagung yang dapat diraih, mereka memajukan
bangku masing-masing dan meraih jagung yang tersembunyi di dalam ikatan. Kulit dan
batang jagung tertumpuk makin tinggi di belakang mereka. Ayah mengosongkan
keranjang yang penuh ke dalam tempat jagung, dan tempat jagung pun makin penuh.

Di halaman bangsal, udara tidak terlalu dingin. Bangsal yang besar-besar


menahan angin dingin, dan salju kering terguncang jatuh dari batang-batang jagung.
Kaki Almanzo terasa sakit. Namun ia memikirkan sepatu bornya yang baru. Ia hampir-
hampir tidak sabar menunggu sampai waktu makan malam tiba untuk melihat apa yang
dilakukan oleh tukang sepatu.

Hari itu tukang sepatu sudah meraut dua buah cetakan kayu, yang ukurannya
tepat sama dengan kaki Almanzo. Cetakan ini dipasangkan pada pancang di atas bangku
terbalik, dan cetakan ini dapat dilepaskan menjadi dua bagian.

Keesokan paginya, tukang sepatu memotong sol sepatu dari kulit mentah yang
tebal, dan bagian dalamnya terbuat dari kulit yang lebih tipis. Ia memotong bagian
atas kulit yang lembut. Kemudian, ia menggosok benangnya dengan lilin.

Dengan tangan kanannya, ia menarik seutas benang linen panjang pada segumpal
lilin hitam pada tangan kirinya. Kemudian ia menggulung benang di bawah telapak
tangan kanannya, pada bagian depan celemek kulit yang dipakainya. Lalu ia menarik
dan menggulung lagi. Lilin mengeluarkan bunyi bergerit, dan tangan tukang sepatu
terus bergerak, sampai benang berwarna hitam berkilap dan kaku oleh lilin.

Kemudian ia meletakkan bulu babi yang sudah kaku ke ujung benang, dan terus
menyapukan lilin dan menggulung, menyapukan lilin dan menggulung, sampai bulu babi
terekat oleh lilin pada benang.

Akhirnya, ia siap untuk menjahit. Ia meletakkan bagian atas sebuah sepatu


menjadi satu, dan menjepitnya. Isinya tegak berdiri, sama dan kuat. Kemudian,
tukang sepatu membuat lubang pada kulit. Ia memasukkan dua batang bulu babi melalui
lubang, satu dari setiap sisi, dan dengan tangannya yang kuat ia menarik benang
erat-erat. Ia membuat lubang berikutnya, memasukkan dua batang bulu ke dalam
lubang, kemudian menariknya sampai benang yang sudah diberi lilin terbenam ke dalam
kulit. Satu jahitan sudah dilakukan.

"Itu baru namanya jahitan!" katanya. "Kakimu tidak akan basah di dalam sepatu
buatanku, walaupun kau menyeberangi sungai. Aku belum pernah membuat jahitan sepatu
yang tidak dapat menahan air."

Ia terus menjahit bagian atas sepatu. Setelah selesai, ia merendam solnya


dalam air semalaman.

Pagi berikutnya, ia memasang salah satu cetakan pada pancang, dengan sol di
atas. Ia meletakkan kulit lapisan dalam pada cetakan ini. Ia menarik bagian atas
sepatu di atas lapisan ini, melipat tepinya di atas sol bagian dalam. Kemudian, ia
meletakkan sol yang tebal di atasnya, dan akhirnya sepatu bot ini pun jadi.

Tukang sepatu membuat lubang berkeliling tepi sol sepatu. Ke dalam setiap
lubang ia memasukkan sebuah paku kayu mapel yang pendek. Ia membuat tumit sepatu
dari kulit tebal, dan memakunya dengan paku kayu mapel yang panjang. Sepatu bot pun
sudah jadi.

Sol sepatu yang lembap harus dikeringkan sepanjang malam. Paginya, tukang
sepatu mengeluarkan cetakan, dan dengan ampelas ia menggosok ujung paku yang ada di
dalam.

Almanzo memakai sepatu botnya. Sepatu ini pas benar, dan tumitnya berdebum-
debum di lantai dapur.

Pada hari Sabtu pagi, Ayah naik kereta ke Malone untuk membawa pulang Alice,
Royal dan Eliza Jane, untuk diukur kakinya karena akan dibuatkan sepatu baru. Ibu
membuat masakan yang enak-enak untuk makan siang bagi mereka, dan Almanzo berdiri
menunggu di pintu gerbang, menunggu untuk melihat Alice lagi.

Alice sama sekali tidak berubah. Bahkan waktu terjun dari kereta dia berseru,
"Oh, Almanzo! Kau memakai sepatu bot baru!" Ia belajar untuk menjadi wanita baik-
baik. Ia menceritakan kepada Almanzo tentang pelajarannya di bidang musik dan
tingkah laku yang baik. Namun, ia gembira berada di rumah lagi.

Eliza Jane lebih suka memerintah daripada biasanya. Ia mengatakan bahwa


sepatu bot Almanzo membuat suara yang terlalu ribut. Ia bahkan mengatakan kepada
Ibu bahwa ia kurang senang karena ayah minum teh dari cawan.

"Ya, ampun! Di mana lagi Ayah dapat mendinginkan teh?" tanya Ibu.

"Sekarang sudah dianggap tidak pantas lagi minum teh dari cawan," kata Eliza
Jane. "Orang yang sopan minum teh dari cangkir."

"Eliza Jane!" Alice berseru. "Kau harus malu! Kurasa Ayah sama sopannya
dengan siapa saja!"

Ibu benar-benar berhenti bekerja. Ia mengeluarkan tangannya dari tempat cuci


piring dan membalikkan badan untuk menghadapi Eliza Jane.

"Nona," katanya, "kalau kau akan memamerkan pendidikanmu, coba katakan


kepadaku dari mana asalnya cawan."

Eliza Jane membuka mulurnya, kemudian menutupnya lagi, dan air mukanya
kelihatan seperti orang tolol.

"Cawan datang dari negeri Cina," kata Ibu. "Pelaut bangsa Belanda membawanya
dari Cina, dua ratus tahun yang lalu. Mereka adalah pelaut pertama yang berlayar
mengelilingi Tanjung Harapan dan menemukan Cina. Sebelumnya, orang minum dari
cangkir. Mereka belum lagi mengenal cawan. Sejak mereka mengenal cawan, mereka
minum dari cawan. Kurasa apa yang dilakukan orang selama dun ratus tahun dapat
dilakukan seterusnya. Kita tidak perlu berubah, hanya karena gagasan baru yang kau
dapat di Akademi Malone."

Ini menyebabkan Eliza Jane tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Royal tidak banyak berbicara. Ia mengenakan pakaiannya yang sudah tua dan
ikut bekerja, tetapi kelihatan bahwa ia seperti tidak begitu tertarik lagi.

Malam itu, di tempat tidur ia mengatakan kepada Almanzo bahwa ia ingin


menjadi pemilik toko.

"Kau akan menjadi orang yang lebih tolol daripada aku, kalau kau menghabiskan
seluruh waktumu di pertanian," katanya.

"Aku menyukai kuda," kata Almanzo.

"Huh! Pemilik toko juga punya kuda," jawab Royal. "Mereka berpakaian bagus
setiap hari, dan selalu bersih. Mereka pergi ke mana-mana naik kereta yang ditarik
dua ekor kuda. Orang di kota banyak yang punya kusir untuk menjalankan keretanya."

Almanzo tidak mengatakan apa pun, tetapi ia tidak ingin punya kusir. Ia ingin
melatih anak kuda, dan ingin menjalankan keretanya sendiri.

Keesokan harinya, mereka semua pergi ke gereja bersama-sama. Mereka


meninggalkan Royal dan Eliza Jane dan Alice di Akademi. Hanya tukang sepatu yang
kembali ke pertanian. Tiap hari ia bersiul sambil bekerja di bangkunya di ruang
makan, sampai semua sepatu dan sepatu bot selesai dibuatnya. Ia tinggal di situ
selama dua minggu. Setelah ia memuat bangku dan alat-alatnya ke dalam kereta dan
pergi ke langganan berikutnya, rumah terasa kosong dan sunyi kembali.

Malam itu Ayah berkata kepada Almanzo, "Nah, Nak! Sekarang jagung sudah
selesai dikupas. Bagaimana kalau kita membuat kereta salju untuk Star dan Bright,
besok pagi?"

"Oh, Ayah!" kata Almanzo. "Apakah Ayah akan mengizinkanku mengangkut kayu
dari penimbunan kayu pada musim dingin ini?"

Mata Ayah bersinar-sinar. "Untuk apa lagi kau dibuatkan kereta salju?" ia
bertanya.

KERETA SALJU

KEESOKAN harinya salju turun waktu Almanzo naik kereta bersama Ayah ke tempat
penimbunan kayu. Gumpalan-gumpalan salju yang besar seperti bulu menyelimuti
segala-galanya. Kalau kita sendirian, menahan napas dan mendengarkan, kita dapat
mendengar suara lembut salju yang jatuh ke tanah.

Ayah dan Almanzo berjalan dalam hujan salju di hutan, mencari batang pohon
eik yang kecil dan lurus. Setelah mereka menemukan yang dicari, Ayah memotong
batang kayu eik ini. Ia memangkas semua cabangnya, dan Almanzo menyusunnya dengan
rapi. Kemudian mereka memuat batang-batang kayu kecil di atas kereta salju.

Setelah itu mereka mencari dua batang pohon kecil yang bengkok untuk
dijadikan peluncur yang melengkung. Kayu ini besarnya harus 13 sentimeter dan
panjangnya 1,8 meter sebelum mulai melengkung. Sulit benar menemukannya. Di hutan
tidak ada dua batang pohon yang sama benar.

"Kau tidak akan menemukan dua batang kayu yang sama di seluruh dunia, Nak,"
kata Ayah. "Bahkan dua batang rumput tidak ada yang sama. Segala-galanya berbeda
dari lainnya, kalau kau memperhatikan benar-benar."

Mereka mengambil dua batang pohon yang hampir sama. Ayah menebangnya dan
Almanzo membantu memuatnya ke kereta salju. Setelah itu, mereka pulang berkereta
pada waktunya untuk makan siang.

Siang itu Ayah dan Almanzo membuat kereta salju kecil, di lantai bangsal
besar.

Mula-mula Ayah menyerut bagian bawah peluncur sampai rata dan halus, bagian
depannya melengkung ke atas. Tepat di belakang lengkungan ia membuat bagian yang
rata di atasnya, dan meratakan bagian yang dekat ujung belakangnya. Kemudian ia
menghaluskan dua batang kayu untuk dijadikan palang.

Ia memotong kayu selebar 25 sentimeter dan setinggi 8 sentimeter, dan


menggergaji sepanjang 120 sentimeter. Kayu ini harus berdiri pada sisinya. Ia
menghaluskan sudut-sudutnya, untuk dipasangkan pada tempat yang rata di atas
peluncur. Kemudian ia menghaluskan lengkungan pada sisi bawahnya, supaya dapat
meluncur di atas salju yang tinggi di tengah jalan.

Ia meletakkan kayu peluncur bersisian, berjarak satu meter, dan memasangkan


kayu palang pada peluncur ini. Namun ia belum lagi memakunya.

Ia menghaluskan dua lembar papan, sepanjang 1,8 meter dan rata pada kedua
belah sisinya. Ia meletakkannya di atas kayu palang, di atas peluncur.

Kemudian, dengan bor ia membuat lubang melalui papan, terus menembus kayu
palang, sampai ke peluncur. Ia membuat lubang dekat kayu J palang, bor membuat
lubang pada sisi kayu palang. Pada sisi sebelah kayu palang, ia membuat lubang
lainnya seperti yang pertama.

Ke dalam lubang ini, ia memasukkan paku kayu yang kuat. Paku kayu ini masuk
menembus papan sampai ke peluncur, dan memasang erat kedua sisi kayu palang. Dua
paku memasangkan papan dengan kayu palang dan peluncur kuat-kuat, pada sudut kereta
salju.

Pada tiga sudut lainnya ia membuat lubang, dan Almanzo memalu pakunya. Jadi,
selesailah kerangka kereta salju kecil.

Kini Ayah membuat lubang melintang pada tiap peluncur, dekat dengan kayu
palang depan. Ia menghaluskan batang kayu yang kecil dari kulitnya, dan
meruncingkan ujungnya sehingga akan masuk ke lubang.

Almanzo dan Ayah menarik ujung yang melengkung pada kayu peluncur saling
berjauhan, dan Ayah memasukkan ujung batang kayu ini ke dalam lubang. Waktu Almanzo
dan Ayah melepaskannya, kedua peluncur memegang batang kayu ini erat-erat di
antaranya.
Kemudian Ayah membuat dua lubang lagi pada batang kayu ini, dekat kayu
peluncur. Ini adalah tempat untuk memasangkan kayu penarik.

Untuk kayu penarik ini dipakai cabang pohon elm, karena kayu elm lebih kuat
dan lebih lentur daripada kayu eik. Cabang kayu ini panjangnya tiga meter dari
pangkal sampai ke ujungnya. Ayah memasukkan sebentuk gelang besi dari ujungnya dan
memalunya ke bawah sampai terpasang erat, 76 sentimeter panjangnya dari pangkal
kayu. Ia membelah pangkal kayu ini menjadi dua, sampai ke gelang besi, yang
menahannya dari belahan lebih jauh lagi.

Ia menajamkan ujung yang terbelah menariknya sampai terbuka, kemudian


memasukkannya ke dalam lubang pada kayu palang di muka peluncur. Kemudian ia
membuat lubang menembus kayu palang ini ke kedua ujung kayu penarik, dan memasukkan
paku ke dalam lubang.

Dekat ujung kayu penarik, ia memasukkan sebuah pancang besi ke bawah. Pancang
besi ini menyembul di bawah kayu penarik. Ujung kayu penarik akan masuk ke gelang
besi pada bagian bawah kuk. Jadi, kalau sapi mundur, gelang besi akan mendorong
pancang, dan kayu penarik yang kaku akan mendorong kereta salju ke belakang.

Kini, kereta salju sudah jadi. Waktu untuk melakukan pekerjaan harian hampir
tiba, tetapi Almanzo tidak ingin meninggalkan kereta salju kecilnya sampai rak
kayunya dibuat. Jadi, Ayah cepat-cepat membuat lubang ke bawah menembus ujung papan
sampai ke kayu palang, dan ke dalam lubang ini Almanzo memasukkan sebatang kayu
kecil yang panjangnya sekitar satu meter. Kayu yang panjang ini berdiri pada sudut-
sudut kereta salju. Ini akan menahan kayu kalau ia mengangkut kayu dari tempat
penimbunan.

Badai salju makin meningkat. Salju yang turun berputar-putar dan angin
berembus dengan suara yang memilukan waktu Almanzo dan Ayah membawa ember susu yang
penuh ke rumah malam itu.

Almanzo menginginkan lapisan salju yang tebal, supaya ia dapat mulai


mengangkut kayu dengan kereta saljunya yang baru. Namun Ayah mendengarkan suara
badai, dan mengatakan bahwa mereka tidak dapat bekerja di luar rumah keesokan
harinya. Mereka harus tinggal di tempat yang terlindung. Jadi, sebaiknya mereka
mulai saja dengan menggebuk gandum.

MENGGEBUK GANDUM

ANGIN meraung-raung dan salju beterbangan berpusar-pusar, dan bunyi yang


memilukan datang dari pohon-pohon sedar. Cabang-cabang pohon apel yang meranggas
gemeretak seperti tulang.

Di luar seluruhnya gelap, ribut, dan menakutkan. Namun di bangsal yang kokoh
dan kuat tidak ada suara apa pun. Badai yang meraung-raung menghantamnya, tetapi
bangsal tetap tegak berdiri tidak terganggu. Bangsal ini tetap menjaga
kehangatannya sendiri di dalamnya.

Waktu Almanzo mengancingkan pintu di belakangnya, suara badai yang ribut


tidak terdengar begitu keras lagi, yang terasa hanya kesunyian yang hangat dalam
bangsal. Suasana terasa sunyi. Kuda menolehkan kepalanya di dalam kandang masing-
masing dan meringkik perlahan. Anak-anak kuda mengibaskan kepalanya dan menggaruk-
garuk dengan kakinya. Sapi berdiri berderet, dengan tenang mengibas-ibaskan ekornya
yang berjambul. Terdengar mereka sedang asyik mengunyah makanan.

Almanzo mengelus-elus hidung kuda yang lunak, dan memandangi anak kuda yang
matanya bersinar-sinar dengan keinginan terpendam. Kemudian ia pergi ke gudang
perkakas tempat Ayah sedang memperbaiki alat penggebuk. Alat penggebuk ini terlepas
dari tangkainya, dan Ayah sedang memperbaikinya. Alat penggebuk adalah sebatang
tongkat kayu besi, panjangnya hampir satu meter dan besarnya sama dengan tangkai
sapu. Pada satu sudut tongkat ini berlubang. Tangkainya sepanjang satu setengah
meter, dan satu ujungnya merupakan bonggol yang bulat.

Ayah memasangkan seutas tali dari kulit mentah melalui lubang pada alat
penggebuk, lalu membuat simpul pada ujung tali untuk membuat jerat. Ia mengambil
tali kulit mentah seutas lagi dan membuat robekan pada tiap-tiap ujungnya. Ia
memasukkannya melalui jerat tali pada alat penggebuk, kemudian memasukkan robekan
melalui ujung tangkai alat penggebuk yang berbonggol.

Alat penggebuk dengan tangkainya dihubungkan oleh dua utas tali kulit, dan
alat penggebuk dapat berayun dengan mudah ke segala arah.

Alat penggebuk milik Almanzo persis sama seperti kepunyaan Ayah, tetapi milik
Almanzo masih baru dan tidak perlu diperbaiki. Setelah alat penggebuk Ayah siap
digunakan, mereka pergi ke lantai bangsal selatan.

Di sana masih tercium samar-samar bau semangka, walaupun ternak sudah


menghabiskannya. Bau kayu datang dari tumpukan daun kenari, dan bau jerami yang
kering datang dari ikatan gandum. Di luar angin berhembus dan salju terus
beterbangan, tetapi di lantai bangsal selatan tetap hangat dan sunyi.

Ayah dan Almanzo membuka ikatan beberapa gulung gandum dan menebarkannya di
atas lantai kayu yang bersih.

Almanzo bertanya kepada Ayah mengapa ia tidak memakai mesin penggebuk. Tiga
orang laki-laki mendatangkan mesin ini ke daerah mereka pada musim gugur yang lalu,
dan Ayah juga sudah pergi melihatnya. Mesin ini dapat menggebuk hasil panenan
seorang petani dalam waktu beberapa hari saja.

"Itu cara orang yang malas untuk menggebuk gandum," kata Ayah. Tergesa-gesa
menyebabkan pemborosan, tetapi orang yang malas lebih suka pekerjaannya lekas
selesai daripada melakukannya sendiri. Mesin itu mengunyah jerami sampai habis
sehingga tidak dapat lagi dijadikan makanan ternak, dan menyebarkan gandum sehingga
terbuang sia-sia.

"Yang dihematkan oleh mesin ini hanya waktu, Nak. Dan apa gunanya waktu kalau
tidak ada apa pun yang harus dilakukan? Kau ingin duduk berpangku tangan, sepanjang
musim dingin yang penuh badai salju ini?"

"Tidak!" kata Almanzo. Ia sudah cukup berpangku tangan, setiap hari Minggu.

Mereka menebarkan gandum setebal lima atau tujuh sentimeter di atas lantai.
Kemudian mereka saling berhadapan, dan memegang tangkai alat penggebuk masing-
masing dengan dua tangan. Mereka mengayunkan alat penggebuk di atas kepala, dan
memukulkannya ke gandum.

Alat penggebuk Ayah memukul, kemudian alat penggebuk Almanzo. Kemudian Ayah,
lalu Almanzo lagi. Buk! Buk! Buk! Buk! Rasanya seperti sedang berbaris mengikuti
irama musik pada Perayaan Hari Kemerdekaan. Rasanya seperti memukul genderang. Buk!
Buk! Buk! Buk! Buk!
Biji gandum terkelupas dari kulitnya dan menggelinding di antara jerami. Bau
yang enak dan samar-samar datang dari jerami yang dipukuli, seperti bau ladang
gandum masak yang disinari matahari.

Sebelum Almanzo lelah mengayunkan alat penggebuk, waktunya sudah tiba untuk
menggunakan garpu rumput. Ia mengangkat jerami perlahan, menggoyangkannya, kemudian
menyingkirkannya ke samping. Biji gandum yang cokelat bertebaran di lantai. Almanzo
dan Ayah menebarkan gandum lebih banyak lagi di atasnya, kemudian mengambil alat
penggebuk lagi. Setelah biji yang terkelupas menumpuk cukup banyak di lantai,
Almanzo mengoreknya ke samping dengan alat pengorek yang terbuat dari kayu.

Sepanjang hari itu, tumpukan gandum makin tinggi. Sebelum waktu untuk
melakukan pekerjaan harian, Almanzo menyapu lantai di muka mesin pengisap. Kemudian
Ayah menyekop biji gandum ke dalam alat penampi, sementara Almanzo menjalankan
mesin pengipas.

Kipas berdesir di dalam mesin, sekam beterbangan keluar dari bagian depannya,
dan biji gandum yang bersih mengalir keluar dan sisinya dan turun menjadi tumpukan
yang makin tinggi di lantai. Almanzo memasukkan segenggam gandum ke mulurnya.
Gandum ini terasa manis jika dikunyah, dan lama sekali baru habis.

Ia mengunyah sambil memegangi karung gandum, dan Ayah memasukkan gandum ke


dalamnya. Ayah mendirikan karung yang sudah penuh berderet-deret dekat dinding.
Pekerjaan sehari yang memuaskan sudah selesai dilakukan.

"Bagaimana kalau kita memasukkan buah kenari sedikit?" tanya Ayah. Jadi,
mereka mengangkat daun kenari dengan garpu rumput ke dalam alat penampi, dan kini
kipas yang mendesir meniup daun kenari, dan buah kenari yang cokelat mengalir
keluar. Almanzo mengumpulkan buah kenari, untuk dimakan malam itu, dekat tungku
pemanas.

Kemudian, sambil bersiul-siul ia pergi untuk melakukan pekerjaan harian.

Sepanjang musim dingin, setiap ada badai salju, mereka selalu menggebuk
gandum. Setelah gandum selesai digebuk, mereka juga menggebuk kacang hijau dan
kedele. Cukup banyak gandum yang akan dipakai untuk makanan ternak, dan cukup
banyak gandum yang akan dibawa ke penggilingan dibuat tepung. Almanzo sudah
menggaru ladang, ia sudah membantu di waktu panen, dan kini ia menggebuk gandum.

Ia membantu memberi makan sapi yang sabar, kuda yang meringkik-ringkik senang
di balik jeruji kandangnya, biri-biri yang mengembik-embik kelaparan, dan babi yang
menggeruh. Dalam hati ia ingin berkata kepada semua binatang peliharaannya, "Kalian
boleh percaya kepadaku. Aku sudah cukup besar untuk mengurus kalian semua."

Kemudian ia menutup pintu di belakangnya, meninggalkan mereka semua yang


sudah kenyang makan, hangat, dan senang untuk malam itu. Kemudian ia pergi menembus
badai salju menuju ke hidangan makan malam yang sudah menunggu di dapur.

HARI NATAL

LAMA sekali rasanya menunggu hari Natal tiba. Pada hari Natal, Paman Andrew
dan Bibi Delia, Paman Wesley dan Bibi Lindy, serta semua saudara sepupu akan datang
untuk makan siang. Makan siang yang akan dihidangkan adalah yang paling mewah
selama setahun. Anak yang baik mungkin akan mendapatkan sesuatu dalam kaus kakinya.
Anak yang nakal tidak menemukan apa-apa, kecuali cambuk di dalam kaus kakinya pada
pagi hari Natal. Almanzo berusaha menjadi anak yang baik sekian lamanya sehingga ia
hampir-hampir tidak sabar menunggu datangnya hari Natal.

Akhirnya, Natal tinggal sehari lagi. Alice, Royal dan Eliza Jane sudah pulang
ke rumah. Anak-anak perempuan membersihkan seluruh rumah, dan Ibu memanggang roti.
Royal dapat membantu Ayah menggebuk di bangsal, tetapi Almanzo harus membantu di
dalam rumah. Ia teringat pada cambuk, dan berusaha menjadi anak yang rajin bekerja
dan periang.

Almanzo harus menggosok pisau dan garpu baja, juga perabotan perak, sampai
mengilap. Karena itu ia harus memakai celemek di lehernya. Ia mengambil bata
penggosok dan mengorek debu merah sedikit, lalu dengan kain basah ia menggosokkan
debu ini ke atas dan ke bawah pada pisau dan garpu.

Dapur penuh dengan bau yang lezat. Roti yang baru dipanggang sedang
didinginkan, berbagai jenis kue, termasuk kue daging dan kue labu, memenuhi rak-rak
lemari makan, dan berbagai buah arbei menggelegak di atas tungku. Ibu sedang
membuat bumbu untuk dimasukkan ke dalam daging angsa.

Di luar, matahari menyinari salju. Kerucut salju berkilap bergantungan


sepanjang cucuran atap. Dari jauh samar-samar terdengar suara denting giring-giring
kecil kereta salju, dan dari bangsal terdengar suara buk-buk yang menyenangkan,
bunyi alat penggebuk. Namun, setelah semua garpu dan pisau baja selesai digosok,
Almanzo dengan senang hati mulai menggosok perabotan perak.

Kemudian ia harus lari ke loteng untuk mengambil bumbu. Ia lari turun ke


ruang bawah tanah untuk mengambil apel, lalu ke atas lagi untuk mengambil bawang.
Setelah mengisi kotak kayu, ia tergesa-gesa mengambil air dari pompa dalam hawa
dingin. Ia mengira mungkin tugasnya sudah selesai, dan dapat beristirahat selama
satu menit.

Tetapi tidak. Ia masih harus menggosok tungku pemanas pada sisi yang ada di
ruang makan.

"Kau mengerjakan sisi yang di ruang tamu sendiri, Eliza Jane," kata Ibu.
"Jangan-jangan Almanzo akan menumpahkan semirnya."

Almanzo merasa seakan perutnya dicubit. Ia tahu apa yang akan terjadi
seandainya Ibu mengetahui tentang bercak hitam yang tersembunyi di dinding ruang
tamu. Ia tidak ingin mendapat cambuk pada pagi hari Natal, tetapi ia lebih suka
mendapatkan cambuk dalam kaus kakinya daripada kalau ayah membawanya ke gudang
kayu.

Malam itu setiap orang kelelahan, dan rumah begitu bersih dan rapi sehingga
tidak ada yang berani menyentuh suatu apa pun. Sesudah makan malam, Ibu memasukkan
masakan angsa dan babi kecil ke dalam oven pemanas untuk dipanggang perlahan-lahan
sepanjang malam. Ayah mengatur katupnya dan memutar jam. Almanzo dan Royal
menggantungkan kaus kaki bersih di belakang kursi, dan Alice dengan Eliza Jane
menggantung kaus kaki panjang di belakang kursi lainnya.

Kemudian mereka semua mengambil lilin dan pergi ke tempat tidur masing-
masing.

Malam masih gelap saat Almanzo terbangun. Ia merasa tidak sabar lagi, dan
kemudian teringat bahwa itu adalah pagi hari Natal. Ia membuka selimut dan melompat
sehingga menginjak sesuatu yang hidup dan bergerak. Ternyata, yang terinjak olehnya
adalah Royal. Ia sudah lupa bahwa Royal di rumah, tapi ia melangkahinya dan
berteriak, "Hari Natal! Hari Natal! Selamat Hari Natal!"

Ia memakai celananya. Royal terjun dari tempat tidur dan menyalakan lilin.
Almanzo mengambil lilin dan Royal berteriak, "Hai! Tinggalkan itu! Mana celanaku?"

Namun, Almanzo sudah lari ke bawah. Alice dan Eliza Jane juga lari dari kamar
mereka, tetapi Almanzo mengalahkan mereka. Ia melihat kaus kakinya tergantung
lemas. Diletakkannya lilin, dan ia meraih kaus kakinya. Yang pertama dikeluarkan
dari dalamnya adalah sebuah topi, topi yang dibeli di toko!

Kain yang berlipat-lipat adalah tenunan mesin. Demikian pula garis tepinya.
Bahkan jahitannya adalah jahitan mesin. Penutup telinganya dapat dikancingkan di
atas topi.

Almanzo memekik. Ia bahkan tidak mengharapkan akan mendapat topi seperti itu.
Ia memandanginya, luar dalam. Ia meraba-raba kainnya dan garis tepinya yang halus.
Ia memakai topi pada kepalanya. Topi ini masih agak terlalu besar, sebab ia masih
terus tumbuh. Jadi, ia dapat memakainya cukup lama.

Eliza Jane dan Alice memasukkan tangan ke dalam kaus kaki panjangnya dan
berteriak, sementara Royal mendapat selendang sutera. Almanzo memasukkan tangannya
ke dalam kaus kaki lagi, dan mengeluarkan permen seharga lima sen. Ia menggigit
salah satu ujungnya. Bagian luarnya meleleh seperti gula mapel, tetapi di dalamnya
keras dan dapat diisap selama berjam-jam.

Kemudian ia mengeluarkan sepasang sarung tangan. Ibu merajut pergelangan


tangan dan bagian belakangnya dengan pola yang bagus. Ia mengeluarkan sebuah jeruk,
dan juga mengeluarkan sebungkus kecil buah ara kering. Ia mengira hanya itulah yang
didapatnya. Ia berpendapat bahwa tidak ada anak yang mendapat hadiah Natal lebih
banyak lagi.

Namun, pada ujung kaus kaki masih ada suatu benda lagi. Benda ini kecil,
tipis, dan keras. Almanzo tidak dapat membayangkan itu benda apa. Ia
mengeluarkannya, dan ternyata itu adalah sebuah pisau lipat. Di dalamnya berisi
empat bilah pisau.

Almanzo bersorak-sorai. Ia mengeluarkan semua pisaunya, tajam dan berkilap,


dan berseru, "Alice, lihat! Lihat, Royal! Lihat, lihat pisau lipatku! Lihat
topiku!"

Suara Ayah keluar dari kamar tidur yang gelap dan berkata, "Lihat jam."

Mereka saling berpandangan. Kemudian Royal mengangkat lilin dan mereka


melihat ke lonceng yang tinggi. Jarumnya menunjukkan waktu pukul setengah empat
pagi.

Bahkan Eliza Jane tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka sudah
membangunkan Ayah dan Ibu, satu setengah jam sebelum waktunya untuk bangun tidur.

"Pukul berapa sekarang?" tanya Ayah.

Almanzo menatap Royal. Royal dan Almanzo memandangi Eliza Jane. Eliza Jane
menelan ludah lalu membuka mulut, tetapi Alice berkata, "Selamat Hari Natal, Ayah!
Selamat Hari Natal, Ibu! Sekarang... sekarang pukul empat kurang tiga puluh menit,
Ayah."

Lonceng berbunyi, "Tik, tok! Tik, tok! Tik, tok!" Kemudian Ayah tertawa.
Royal mengangkat penutup tungku pemanas, dan Eliza Jane mengorek api di dapur
dan menjerangkan ketel. Rumah terasa hangat dan menyenangkan waktu Ayah dan Ibu
bangun, dan mereka memiliki keuntungan waktu satu jam. Mereka punya waktu untuk
menikmati hadiah.

Alice mendapat bandul kalung emas, dan Eliza Jane mendapat sepasang anting-anting.
Ibu sudah merajut baju renda dan kaus tangan renda hitam untuk mereka berdua. Royal
mendapat selendang sutera dan sebuah dompet kulit yang bagus. Tetapi Almanzo
berpikir bahwa ia mendapat hadiah yang paling baik di antara mereka semua. Hari
Natal ini sungguh sangat menyenangkan.

Kemudian, Ibu mulai sibuk menyiapkan segala sesuatu, dan menyuruh yang lain
juga ikut membantu. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan, susu yang harus
disaring, sarapan yang harus dimakan, sayuran yang harus dikupas, dan rumah harus
dibereskan. Selain itu, setiap orang harus sudah berpakaian rapi sebelum tamu
datang.

Matahari pun tampaknya tergesa-gesa naik ke langit. Ibu sibuk mondar-mandir,


sambil terus berbicara. "Almanzo, cuci telingamu! Ya ampun, Royal, jangan berdiri
dengan kaki telanjang! Eliza Jane, ingat kau mengupas kentang, bukan mengirisnya!
Dan jangan meninggalkan begitu banyak mata sehingga kentangnya dapat melihat dan
terjun dari panci. Hitung perabotan peraknya, Alice, dan aturlah bersama dengan
pisau dan garpu baja. Taplak meja putih yang paling baik ada di rak paling bawah.
Ya ampun, lihat hari sudah siang!"

Giring-giring kecil pada kereta salju bergemerincing di jalan. Ibu menutup


oven dan lari untuk mengganti celemek serta memasangkan bros. Alice lari ke bawah
dan Eliza Jane lari ke atas, keduanya menyuruh Almanzo memanggil Ibu untuk
meluruskan leher kemejanya. Ayah memanggil Ibu untuk melipatkan dasinya. Kemudian,
kereta salju Paman Wesley berhenti dengan gemerincing giring-giring yang terakhir.

Almanzo lari ke luar, berseru-seru. Ayah dan Ibu ke luar di belakang mereka,
dengan tenang seakan-akan mereka tidak pernah tergesa-gesa selama hidupnya. Frank
bersama Fred, Abner, dan Mary turun dari kereta salju, semuanya berpakaian bagus.
Dan sebelum Bibi Lindy memberikan bayinya kepada Ibu, kereta salju Paman Andrew
sudah datang. Halaman penuh dengan anak-anak laki-laki dan rumah penuh dengan gaun
yang menggembung. Kedua paman Almanzo menghentak-hentakkan salju dari sepatu bot
masing-masing dan membuka selendang penutup telinga dan hidung mereka.

Royal dan saudara sepupunya James menjalankan kereta salju masuk ke gudang
kereta. Mereka melepaskan kuda dan memasukkannya ke dalam kandang, lalu menggosok
badannya sampai ke kakinya yang bersalju.

Almanzo memakai topi yang dibeli di toko, dan menunjukkan pisau lipatnya
kepada semua saudara sepupunya. Topi Frank kini sudah tua. Ia juga punya pisau
lipat, tetapi isinya hanya tiga bilah.

Kemudian Almanzo menunjukkan Star dan Bright dan kereta salju kecil kepada
semua saudara sepupunya. Ia mengizinkan mereka menggaruk-garuk punggung Lucy yang
gemuk dan putih dengan tongkol jagung. Ia mengatakan bahwa mereka boleh melihat-
lihat Starlight kalau mereka tidak ribut dan tidak menakut-nakutinya.

Anak kuda yang cantik ini menggerakkan ekornya, dan melangkah ke arah mereka.
Kemudian ia mengibaskan kepalanya dan mundur dari tangan Frank yang dijulurkan
melalui jeruji.

"Jangan kauganggu dia!" kata Almanzo.


"Aku berani bertaruh kau tidak berani masuk dan naik ke punggungnya," kata
Frank.

"Aku berani, tetapi aku tidak akan sebodoh itu," kata Almanzo kepadanya. "Aku
tahu bahwa aku tidak boleh merusak anak kuda yang sebaik itu."

"Bagaimana kau akan merusaknya?" kata Frank. "Yah, kau takut ia akan
menyakitimu! Kau takut kepada anak kuda yang sekecil itu!"

"Aku tidak takut," kata Almanzo. "Tetapi Ayah tidak akan mengizinkan."

"Kurasa aku akan melakukannya kalau aku ingin, kalau aku dirimu. Kurasa
Ayahmu takkan tahu," kata Frank.

Almanzo tidak menjawab, dan Frank naik ke jeruji kandang.

"Lekas kau turun dari situ." kata Almanzo, dan ia memegang kaki Frank. "Kau
tidak boleh menakut-nakuti anak kuda itu!"

"Aku akan menakut-nakutinya kalau aku mau," kata Frank, menyepak. Almanzo
tetap memegangi kakinya. Starlight berlari-lari mengelilingi kandang, dan Almanzo
ingin berteriak memanggil Royal. Tetapi ia tahu bahwa itu akan membuat Starlight
semakin ketakutan.

Ia mengatupkan gigi dan menarik sekuat-kuatnya, dan Frank jatuh ke bawah. Semua
kuda terkejut, dan Starlight mengangkat kaki depannya dan menyepak tempat makanan.

"Kutonjok kau karena berani menarikku," kata Frank, sambil bangkit berdiri.

"Coba kalau kau mau menonjokku!" kata Almanzo.

Royal lari cepat-cepat dari bangsal selatan. Ia memegang bahu Almanzo dan
Frank dan mendorong mereka keluar. Fred, Abner, dan John diam-diam mengikut di
belakang mereka, dan lutut Almanzo terasa lemas. Ia takut jangan-jangan Royal
mengadu kepada Ayah.

"Awas kalau kulihat kalian mengganggu anak kuda sekali lagi," kata Royal.
"Kalian akan kuadukan kepada Ayah dan Paman Wesley. Kalian pasti akan dicambuk
sampai punggung kalian berbilur-bilur."

Royal mengguncang Almanzo keras-keras sehingga ia tidak tahu apakah sekeras


itu juga Royal mengguncang Frank. Kemudian ia mengadu kepala mereka. Kepala Almanzo
berkunang-kunang.

"Biarlah itu sebagai pelajaran kalau kalian berkelahi. Pada hari Natal lagi!
Tidak tahu malu!" kata Royal.

"Aku hanya tidak ingin ia menakut-nakuti Starlight," kata Almanzo.

"Diam!" kata Royal. "Jangan mengoceh. Sekarang kalian harus berlaku sebaik-
baiknya, kalau tidak kalian akan menyesal. Cuci tangan kalian. Waktu makan sudah
tiba."

Mereka semua pergi ke dapur dan mencuci tangan masing-masing. Ibu dengan
kedua bibi dan anak-anak perempuan sedang menghidangkan makan siang. Meja makan
sudah diputar dan ditarik keluar sehingga panjangnya hampir sama dengan panjang
ruangan, dan di atasnya penuh dengan makanan enak.

Almanzo menundukkan kepala dan memejamkan mata erat-erat sementara Ayah


mengucapkan doa.

Doanya panjang, karena hari itu Hari Natal. Tetapi akhirnya Almanzo dapat
membuka matanya. Ia duduk diam-diam dan melihat ke meja.

Ia memandangi masakan babi kecil yang terletak di atas piring biru dengan
sebuah apel pada mulutnya.

Ia memandangi angsa panggang yang gemuk, kakinya mencuat ke atas kelihatannya


sangat merangsang selera. Bunyi pisau yang diasah oleh ayah pada batu asahan
membuat ia semakin merasa lapar.

Ia memandangi mangkuk besar berisi selai buah arbei, dan pada kentang tumbuk
yang menggunung dengan mentega yang meleleh dari puncaknya. Ia memandangi masakan
lobak, labu panggang, dan sayur-sayuran lainnya.

Ia menelan ludah dan mencoba tidak memandang lagi. Tetapi terlihat juga
olehnya kentang goreng dengan bawang, dan manisan wortel. Mau tidak mau juga
terlihat olehnya kue segitiga, yang menunggu dekat piringnya. Demikian pula
berbagai macam kue yang dihidangkan hari itu sebagai makanan pesta Hari Natal.

Ia menggosokkan tangannya di antara kedua lututnya. Ia harus duduk diam-diam


dan menunggu, tetapi perutnya sudah terasa sakit dan keroncongan.

Semua orang dewasa di ujung meja harus dilayani lebih dulu. Mereka
mengedarkan piring sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira. Daging babi yang
empuk diiris-iris dengan mudah memakai pisau Ayah yang tajam. Dada angsa diambil
sesayat demi sesayat sampai kelihatan tulangnya. Selai, kentang tumbuk, dan kuah
cokelat disendoki sampai habis.

Almanzo harus menunggu sampai yang terakhir sekali. Ia yang paling muda di
antara semua orang kecuali Abner dan si bayi, tetapi Abner adalah tamu.

Akhirnya, piring Almanzo terisi penuh. Makanan yang mulai masuk ke perutnya
membuatnya merasa senang. Perutnya semakin membesar, sementara ia terus makan. Ia
terus makan sampai tidak dapat makan apa-apa lagi, dan perutnya terasa kenyang
benar. Beberapa waktu lamanya ia menggigiti potongan kue buah yang kedua, kemudian
memasukkan potongan kue buah ini ke dalam sakunya dan pergi ke luar untuk bermain.

Royal dan James sedang memilih kawan, untuk main benteng salju. Royal memilih
Frank, dan James memilih Almanzo. Setelah semua terpilih, mereka semua segera
bekerja, menggelindingkan bola salju melalui lapisan salju yang tebal dekat
bangsal. Mereka menggelindingkan bola salju sampai bola hampir setinggi Almanzo.
Kemudian mereka menggelindingkannya ke dinding. Mereka membuat dinding salju di
antaranya, dan membuat benteng yang bagus.

Kemudian masing-masing pihak membuat bola salju kecil-kecil. Mereka meniup-


niup salju, dan meremasnya sampai keras. Mereka membuat berpuluh-puluh bola salju.
Setelah mereka siap untuk bertempur, Royal melemparkan sebatang tongkat ke udara
dan menangkapnya waktu sedang melayang turun. James memegang tongkat di atas tangan
Royal, kemudian Royal menangkapnya diatas tangan James dan seterusnya sampai ke
ujung tongkat. Tangan James yang memegang paling akhir, maka pihak James harus
mempertahankan benteng.

Alangkah ramainya perang bola salju ini! Almanzo merunduk dan mengelak sambil
berteriak-teriak, dan melemparkan bola salju secepat-cepatnya, sampai bola salju
habis dilemparkan. Royal menyerbu dinding benteng dengan pasukan musuh di
belakangnya, dan Almanzo bangkit berdiri serta menubruk Frank. Mereka jatuh
berguling-guling ke dalam salju, di luar dinding, dan mereka terus berguling-guling
sambil saling memukul sekeras-kerasnya.

Muka dan mulut Almanzo penuh salju, tetapi ia tetap memegangi Frank dan
memukulinya. Frank merobohkannya, tetapi Almanzo dapat meloloskan diri dari
tindihan badannya. Kepala Frank menghantam hidungnya, dan hidungnya mulai berdarah.
Almanzo tidak peduli. Ia menunggangi Frank, memukulinya keras-keras di dalam salju.
Ia terus-menerus berkata, "Bilang ampun! Bilang ampun!"

Frank menggeram dan menggeliat-geliat. Ia berusaha menggulingkan badannya,


tetapi Almanzo tetap menungganginya. Ia tidak dapat tetap menunggangi Frank dan
memukulinya, sehingga ia menindihnya dengan segenap berat badannya.

Ia menekan muka Frank semakin dalam ke salju. Frank berkata tergagap-gagap,


"Ampun!"

Almanzo bangun dan berlutut, dan ia melihat Ibu di ambang pintu rumah. Ibu
berseru, "Hei, anak-anak! Sekarang berhenti bermain. Sudah waktunya masuk dan
menghangatkan badan."

Tubuh mereka sudah hangat. Bahkan mereka kepanasan dan terengah-engah. Namun,
Ibu dan bibi berpendapat bahwa para saudara sepupu harus menghangatkan badan dulu
sebelum mereka pulang dalam hawa dingin. Mereka semua berjalan mengarungi lapisan
salju, dan Ibu mengangkat kedua tangannya sambil berseru, "Ya, ampun!"

Semua orang dewasa ada di ruang tamu. Namun anak-anak laki-laki harus tinggal
di ruang makan, supaya salju yang meleleh tidak mengotorkan permadani ruang tamu.
Mereka tidak dapat duduk, karena kursi penuh dengan selimut dan pelindung lutut,
yang sedang dihangatkan dekat tungku pemanas. Namun, mereka makan apel dan minum
sirop, sambil berdiri berkeliling. Almanzo dan Abner pergi ke lemari makan dan
mengambil sisa kue dari piring.

Kemudian, semua paman dan bibi serta para saudara sepupu perempuan mengenakan
mantel masing-masing. Mereka mendukung bayi yang sedang tidur dari kamar,
terbungkus dalam selendang. Kereta salju datang bergemerincing dari bangsal, dan
Ayah bersama Ibu membantu memasangkan selimut di atas pangkuan mereka. Semua orang
berseru, "Selamat jalan! Selamat jalan!"

Beberapa waktu lamanya giring-giring kecil terdengar bergemerincing seperti


suara musik, kemudian lenyap dari pendengaran. Hari Natal sudah berakhir.

MENGANGKUT KAYU

KETIKA pada bulan Januari sekolah dibuka seperti biasa, Almanzo tidak perlu
berangkat. Ia mengangkut kayu dari tempat penimbunan kayu.

Pada pagi hari yang dingin bersalju sebelum matahari terbit, Ayah memasang
lembu jantan besar ke kereta salju besar dan Almanzo memasangkan anak sapi ke
kereta saljunya. Sekarang, kuk kecil sudah tidak cukup lagi dipakai oleh Star dan
Bright, dan kuk yang lebih besar terlalu berat sehingga tidak dapat dipasang oleh
Almanzo sendirian. Pierre harus menolongnya mengangkat kuk ke atas leher Star, dan
Louis membantunya mendorong Bright ke bawah ujung satunya.
Kedua anak sapi tidak melakukan apa-apa sepanjang musim panas, hanya makan
dan berkeliaran di padang rumput. Sekarang mereka tidak suka bekerja. Mereka
menggeleng-gelengkan kepala, berontak, dan melangkah mundur. Sulit sekali
memasangkan gelang leher pada tempatnya dan memasangkan kancingnya.

Almanzo harus bersabar dan lemah lembut. Ia mengelus-elus kedua anak sapi
itu, sekalipun kadang-kadang ia ingin sekali memukuli mereka. Diberinya mereka
wortel, dan ia berbicara kepada mereka dengan lemah lembut. Namun sebelum ia dapat
memasangkan kuk dan memasang kedua anak sapi ini ke kereta salju, Ayah sudah
berangkat ke tempat penimbunan kayu.

Almanzo segera menyusul. Kedua anak sapi menurut saat ia berseru "Hia!" dan
mereka membelok ke kiri atau ke kanan kalau ia melecutkan cambuk dan berteriak
"Haw!" atau "Gii!" Mereka melangkahkan kaki sepanjang jalan, naik turun bukit, dan
Almanzo naik di atas kereta salju bersama Pierre dan Louis di belakangnya.

Kini umur Almanzo sudah sepuluh tahun. Ia mengendalikan sapinya sendiri pada
kereta salju miliknya sendiri, dan pergi ke penimbunan kayu untuk mengangkut kayu.

Di hutan, salju menutupi pohon-pohonan yang tinggi. Cabang pohon pinus dan
sedar yang lebih rendah tertutup sama sekali oleh salju. Di situ tidak ada jalan.
Tidak ada tanda-tanda pada salju kecuali jejak burung dan jejak kaki samar-samar di
tempat kelinci melompat-lompat. Jauh di tengah hutan terdengar bunyi kapak menebang
kayu dengan suara berdentang.

Sapi jantan Ayah yang besar terus berjalan mengarungi salju, membuat jalan,
dan anak sapi milik Almanzo berusaha mengikuti mereka. Mereka semakin jauh masuk ke
hutan, sampai ke lapangan terbuka tempat French Joe dan Lazy John sedang menebang
pohon.

Batang-batang kayu berserakan, separuh terkubur dalam salju. John dan Joe
sudah menggergaji kayu dengan ukuran panjang empat setengah meter, dan beberapa
batang kayu bergaris menengah 60 sentimeter. Batang kayu yang besar-besar begitu
beratnya sehingga enam orang laki-laki tidak kuat mengangkatnya, tetapi Ayah harus
memuatnya ke atas kereta salju.

Ia menghentikan kereta salju di sisi sebatang kayu yang besar ini, lalu John
dan Joe datang untuk membantunya. Mereka menyiapkan tiga batang kayu yang kuat,
yang akan dipakai sebagai jembatan. Mereka memasukkannya ke bawah batang itu,
memiringkannya ke atas, ke kereta salju. Kemudian mereka mengambil galah pengait.
Galah pengait ujungnya tajam, dengan kait besi yang terayun-ayun di bawahnya.

John dan Joe berdiri dekat ujung sebatang kayu. Mereka mengaitkan galah
pengait pada batang kayu ini, dan waktu mereka mengangkat kayu jembatan ke atas,
pengait mencengkeram batang kayu dan menggelindingkannya sedikit. Kemudian Ayah
memegang bagian tengah batang kayu ini dengan galah pengait, menahannya supaya
tidak menggelinding kembali, sementara John dan Joe dengan cepat memindahkan
pengait ke bawah untuk ditancapkan lagi ke kayu.

Mereka menggelindingkan batang kayu ini sedikit lagi. Sekali lagi Ayah
menahannya, dan sekali lagi mereka menggelindingkannya.

Mereka menggelindingkan batang kayu sedikit demi sedikit, naik ke kayu


jembatan dan naik ke kereta salju.

Namun Almanzo tidak punya galah pengait, dan ia harus memuat kayunya ke atas
ke kereta salju. Ia menemukan tiga batang kayu yang lurus untuk digunakan sebagai
kayu jembatan. Kemudian, dengan batang kayu yang lebih pendek ia mulai memuat
beberapa batang kayu yang lebih kecil. Batang-batang kayu ini garis tengahnya 20
sentimeter dan panjangnya kira-kira tiga meter. Kayu ini agak bengkok dan sulit
dinaikkan ke kereta salju.

Almanzo menyuruh Pierre dan Louis bekerja dekat ujung sebatang kayu dan ia
berdiri di tengah, seperti Ayah. Mereka mendorong dan mengungkit, mengangkat batang
kayu dan terengah-engah, mendorong kayu naik ke jembatan. Ini sulit dilakukan,
karena kayu yang mereka pakai tidak punya pengait besi dan tidak dapat menahan
batang kayu.

Mereka berhasil memuat enam batang kayu. Kemudian mereka memuat kayu lebih
banyak lagi di atasnya, dan ini membuat kayu jembatan miring lebih terjal ke atas.
Kereta salju Ayah sudah penuh muatan, dan Almanzo bekerja tergesa-gesa. Ia
melecutkan cambuk menyuruh Star dan Bright berjalan cepat-cepat ke batang kayu yang
terdekat.

Sebuah ujung kayu ini lebih besar daripada ujung sananya, sehingga tidak
dapat menggelinding sejajar. Almanzo menyuruh Louis bekerja pada ujung yang kecil
dan menyuruhnya menggelindingkan kayu lebih cepat. Pierre dan Louis
menggelindingkan kayu beberapa sentimeter, kemudian Almanzo memasukkan batang kayu
pengungkit di bawahnya dan menahannya, sementara Pierre dan Louis menggelindingkan
kayu lagi. Mereka berhasil menaikkan batang kayu ini ke atas kayu jembatan yang
miring terjal.

Almanzo menahan kayu dengan sekuat tenaga. Kakinya menahan dengan kuda-kuda,
giginya dikatupkan, lehernya tegang dan matanya melotot, waktu tiba-tiba batang
kayu tergelincir ke bawah.

Kayu pengungkit terenggut dari tangannya dan menghantam kepalanya. Batang


kayu yang akan dimuat menjatuhinya. Ia berusaha menyingkir, tetapi kayu
menghantamnya, sampai ia jatuh ke salju.

Pierre dan Louis menjerit-jerit. Almanzo tidak dapat bangkit berdiri. Batang
kayu menindih tubuhnya. Ayah dan John mengangkatnya, dan Almanzo merangkak keluar.
Ia dapat bangkit berdiri di atas kedua kakinya.

"Sakit, Nak?" tanya Ayah kepadanya.

Almanzo khawatir sekali perutnya sakit. Ia dapat mengeluarkan suara, "Tidak,


Ayah."

Ayah memeriksa bahu dan lengannya. "Bagus, bagus, tidak ada tulang yang
patah!" kata Ayah dengan gembira.

"Untung salju begitu dalam," kata John. "Kalau tidak ia bisa luka parah."

"Kecelakaan selalu bisa terjadi, Nak," kata Ayah. "Lain kali kau harus lebih
berhati-hati. Laki-laki harus menjaga dirinya di penimbunan kayu."

Almanzo ingin berbaring. Kepala dan perutnya sakit, dan kaki kanannya terasa
sangat nyeri. Namun, ia membantu Pierre dan Louis membetulkan letak kayu, dan kali
ini ia tidak bekerja tergesa-gesa. Mereka berhasil menaikkan kayu ke atas kereta
salju, tetapi Ayah sudah berangkat mengangkut muatannya.

Kini Almanzo memutuskan untuk tidak memuat kayu lebih banyak lagi. Ia naik ke
atas kayu, melecutkan cambuk dan berseru, "Hia!"

Star dan Bright menarik, tetapi kereta salju tidak bergerak. Kemudian Star
mencoba menarik, dan tidak mau mencoba lagi. Bright mencoba, dan menghentikan
usahanya saat Star mencoba menarik lagi. Kedua sapi ini berhenti menarik,
kehilangan semangat.

"Hia! Hia!" Almanzo terus berseru-seru, sambil melecutkan cambuknya.

Star mencoba lagi, kemudian Bright, kemudian Star. Kereta salju tidak
bergerak. Star dan Bright berdiri diam-diam, mendenguskan napas dari hidungnya.
Almanzo ingin sekali menangis dan menyumpah-nyumpah. Ia berseru dengan nyaring,
"Hia! Hia!"

John dan Joe berhenti menggergaji, dan Joe berjalan menghampiri kereta salju.

"Muatannya terlalu berat," katanya. "Anak-anak, kalian harus turun dan


berjalan. Dan Almanzo, kau harus berbicara kepada sapimu dengan lemah lembut. Kalau
kau tidak hati-hati, sapi ini akan melawan perintahmu."

Almanzo turun. Ia mengelus-elus leher anak sapi ini, dan menggaruk-garuk


sekeliling tanduk mereka. Ia menarik kuk sedikit dan mengeluskan tangan di bawah
kuk, kemudian meletakkan kuk lagi di tempatnya dengan hati-hati. Selama itu ia
terus berbicara kepada kedua anak sapi.

Kemudian ia berdiri di sisi Star, melecutkan cambuk dan berseru, "Hia!"

Star dan Bright menghela bersama-sama, dan kereta salju bergerak. Almanzo
berjalan terus sampai ke rumah. Pierre dan Louis berjalan pada jejak yang halus di
belakang peluncur, tetapi Almanzo harus bersusah-payah mengarungi salju yang dalam
dan lunak di sisi Star.

Waktu ia sampai ke tumpukan kayu di rumah, Ayah mengatakan bahwa ia melakukan


pekerjaan yang baik untuk keluar dari hutan.

"Lain kali, Nak, kau harus tahu bahwa kau tidak boleh membawa muatan banyak-
banyak sebelum jalan diratakan," kata Ayah. "Kau akan merusak pasangan sapimu
sendiri kalau kau menyuruh mereka bekerja terlalu berat. Mereka akan berpikir bahwa
mereka tidak akan dapat menarik muatan, dan mereka tidak mau mencoba. Setelah itu,
mereka tidak ada gunanya lagi."

Almanzo tidak dapat makan di waktu makan siang. Ia merasa sakit, dan kakinya
nyeri. Ibu berpendapat mungkin ia harus berhenti bekerja, tetapi Almanzo tidak mau
berhenti bekerja hanya karena kecelakaan kecil saja.

Walaupun demikian, kerjanya sangat lambat. Sebelum sampai ke tempat


penebangan kayu, ia bertemu dengan Ayah yang kembali membawa muatan. Ia tahu bahwa
kereta salju yang kosong harus memberi jalan kepada kereta salju yang membawa
muatan. Jadi, ia melecutkan cambuknya dan berseru, "Gee!"

Star dan Bright membelok ke kanan. Dan sebelum Almanzo dapat berteriak,
mereka sudah terbenam dalam salju di parit. Mereka tidak tahu caranya membuat
jalan, seperti sapi yang sudah dewasa. Mereka mendengus, menggaruk-garukkan kaki
dan berusaha sekuat tenaga, dan kereta salju makin terbenam di bawah salju. Kedua
anak sapi ini mencoba berputar. Kuk yang terpilin hampir mencekik mereka.

Dengan susah payah Almanzo mengarungi salju, berusaha mencapai kepala anak
sapi. Ayah menoleh dan mengawasi, sambil ia lewat. Kemudian ia melihat ke muka lagi
dan terus menjalankan kereta salju menuju ke rumah.

Almanzo memegang kepala Star dan berbicara kepadanya dengan lemah-lembut.


Pierre dan Louis memegangi Bright, dan kedua anak sapi ini berhenti berontak. Hanya
kepala dan punggung mereka saja yang kelihatan di atas salju. Almanzo menyumpah,
"Sialan!"
Mereka harus menggali untuk mengeluarkan anak sapi dan kereta salju. Namun,
mereka tidak punya sekop. Mereka harus memindahkan salju dengan tangan dan kaki
mereka. Tetapi tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan.

Ini makan waktu lama sekali. Akan tetapi mereka menyepak dan mengorek salju
dari muka kereta salju dan anak sapi. Mereka menginjak-injak salju sampai keras dan
rata di muka peluncur. Almanzo kemudian meluruskan kayu penarik, rantai, dan kuk.

Ia harus duduk dan beristirahat selama satu menit. Tetapi ia bangkit berdiri,
mengelus-elus Star dan Bright dan berbicara kepada mereka untuk memberi semangat.
Ia merebut apel dari tangan Pierre, mematahkannya menjadi dua dan memberikannya
kepada kedua anak sapi. Setelah mereka menghabiskan apel, ia melecutkan cambuk dan
dengan gembira berseru, "Hia!"

Pierre dan Louis mendorong kereta salju dengan sekuat tenaga. Kereta salju
maju ke depan. Almanzo berseru dan melecutkan cambuk. Star dan Bright membungkukkan
punggung dan menghela. Mereka pun naik dan keluar dari parit, dan kereta salju ikut
tertarik.

Ini satu kesulitan yang diatasi sendiri oleh Almanzo.

Kini, jalan di hutan sudah cukup rata, dan kali ini Almanzo tidak memuat kayu
terlalu banyak di atas kereta saljunya. Jadi, ia dapat naik di atas muatan kayu
waktu pulang ke rumah, dengan Pierre dan Louis duduk di belakangnya.

Dalam perjalanan pulang, ia melihat Ayah datang, dan dalam hati ia berkata
bahwa kali ini Ayah yang harus menyimpang untuk memberinya jalan.

Star dan Bright berjalan dengan cepat dan kereta salju meluncur dengan
enaknya di atas jalan yang putih. Cambuk Almanzo melecut dengan keras dalam udara
dingin. Mereka makin dekat ke lembu jantan Ayah, dan Ayah yang naik di atas kereta
salju besar.

Kini, tentu saja sapi jantan yang besar harus memberi jalan kepada muatan
Almanzo. Namun, mungkin Star dan Bright masih ingat bahwa sebelumnya mereka yang
harus menyimpang. Atau mungkin mereka tahu bahwa mereka harus bersikap sopan kepada
lembu jantan yang lebih tua dan lebih besar. Tidak ada yang menyuruh mereka
membelok dari jalan, tetapi tiba-tiba mereka membelok.

Peluncur terperosok ke salju yang lunak. Kereta salju pun terbalik bersama
dengan muatannya, dan ketiga anak laki-laki di atasnya terlempar jatuh.

Almanzo terlempar ke udara dan jatuh dengan kepala lebih dulu ke salju.

Ia berkubang dalam salju, merangkak dan naik ke atas. Kereta saljunya berdiri
pada sisinya. Batang kayu berserakan dalam salju. Kedua anak sapi pun terkubur di
salju yang dalam. Sapi jantan Ayah yang besar dengan tenang terus berjalan.

Pierre dan Louis keluar dari salju, menyumpah-nyumpah dalam bahasa Prancis.
Ayah menghentikan sapinya dan turun dari kereta salju.

"Wah, Nak," katanya. "Rupanya kita bertemu lagi."

Almanzo dan Ayah memandangi kedua anak sapi itu. Bright terbaring di atas
Star. Kaki sapi, rantai, dan kayu penarik kereta campur aduk tidak karuan, dan kuk
terpasang di atas telinga Star. Kedua anak sapi berbaring tidak bergerak-gerak,
rupanya tidak berani mencoba bergerak. Ayah membantu melepaskan mereka sampai
mereka dapat berdiri. Mereka tidak ada yang luka.
Ayah membantu mendirikan kereta salju Almanzo di atas peluncurnya. Kemudian
mereka bersama-sama memuat kayu ke atas kereta salju kembali. Lalu Ayah berdiri
menjauh dan tidak mengatakan apa-apa sementara Almanzo memasangkan kuk pada Star
dan Bright, mengelus-elus dan memberi semangat kepada mereka, serta menyuruh mereka
menarik muatan sepanjang tepi parit dan selamat naik ke jalan.

"Begitulah caranya, Nak!" kata Ayah. "Turun lagi, naik lagi!"

Ayah meneruskan perjalanan ke hutan, dan Almanzo meneruskan perjalanan ke


tumpukan kayu di rumah.

Selama dua minggu, ia terus mengangkut kayu dari hutan. Ia belajar menjadi
pengemudi sapi dan pengangkut kayu yang baik. Tiap hari, sakit pada kakinya semakin
berkurang, dan akhirnya ia berjalan tidak pincang lagi.

Ia membantu Ayah mengangkut kayu banyak sekali, siap untuk digergaji dan
dibelah serta diserut di gudang kayu.

Kemudian, pada suatu malam Ayah mengatakan bahwa mereka sudah selesai
mengangkut persediaan kayu untuk setahun. Ibu mengatakan bahwa sudah waktunya bagi
Almanzo untuk pergi ke sekolah, kalau memang ia ingin bersekolah pada musim dingin
ini.

Almanzo mengatakan bahwa masih ada gandum yang harus digebuk, dan anak sapi
perlu dilatih. Ia bertanya, "Apa perlunya aku pergi ke sekolah? Aku sudah bisa
membaca, menulis, dan mengeja. Aku tidak ingin menjadi guru atau pemilik toko."

"Kau sudah dapat membaca, menulis, dan mengeja," kata Ayah perlahan. "Tetapi
apakah kau sudah pandai menghitung?"

"Sudah Ayah," jawab Almanzo. "Ya, aku sudah dapat menghitung sedikit."

"Seorang petani harus lebih pandai menghitung lebih dari itu, Nak. Sebaiknya
kau pergi ke sekolah." Almanzo tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu itu takkan
ada gunanya. Keesokan paginya, ia mengambil tempat makanan dan pergi bersekolah.

Tahun ini tempat duduknya mundur semakin jauh di tengah ruang kelas, dan ia
punya bangku untuk meletakkan buku dan batu tulis. Ia rajin sekali belajar
berhitung, sebab lebih cepat ia mempelajari semuanya, lebih cepat pula ia tidak
perlu bersekolah lagi.

DOMPET PAK THOMPSON

TAHUN itu Ayah punya rumput banyak sekali sehingga tidak dapat dihabiskan
oleh ternak. Jadi, ia memutuskan akan menjual sebagian rumput di kota. Ia pergi ke
hutan dan kembali membawa kayu ash yang lurus dan halus. Ia mengupas kulitnya, dan
kemudian dengan gada kayu memukuli batang kayu ini, membalik kayu dan memukulinya
sampai ia melunakkan lapisan kayu yang tumbuh pada musim panas yang lalu. Lapisan
kayu yang tipis terlepas yang tumbuh pada musim panas sebelumnya.

Kemudian, dengan pisau ia membuat potongan memanjang dari satu ujung ke ujung
kayu lainnya, kira-kira berjarak empat sentimeter. Lalu ia mengupas lapisan yang
tipis dan liat ini, yang lebarnya empat sentimeter. Ini adalah serat kayu ash.

Waktu Almanzo melihat serat kayu ini menumpuk di lantai bangsal besar, ia
menduga bahwa Ayah akan mengepres rumput, dan ia bertanya, "Ayah perlu bantuan?"

Mata Ayah bersinar-sinar. "Ya, Nak," katanya. "Hari ini kau tidak perlu
berangkat sekolah. Sudah waktunya kau belajar mengikat rumput sesudah dipres."

Pagi-pagi keesokan harinya Pak Weed, pengepres rumput, datang dengan mesin
pres. Almanzo membantu memasang mesin ini di lantai bangsal besar. Mesin ini
merupakan sebuah peti kayu yang kuat, ukuran panjang dan lebarnya sama dengan satu
bal rumput, tetapi tingginya tiga meter. Penutupnya dapat dipasang dengan erat,
tetapi dasarnya dapat naik turun. Dua batang pengungkit besi terpasang dengan
engsel pada bagian bawahnya, dan pada ujung pengungkit ini ada roda kecil di atas
rel besi yang keluar dari setiap ujung peti.

Rel ini seperti rel kereta api kecil, dan mesin pres ini disebut mesin pres
kereta api. Ini adalah mesin yang baru dan bagus untuk mengepres rumput.

Di halaman bangsal, Ayah dan Pak Weed sudah memasang kerekan, dengan tali
yang panjang. Seutas tali dari kerekan ini masuk melalui gelang di bawah mesin pres
rumput, dan diikatkan ke tali lainnya yang dihubungkan ke roda di ujung batang
pengungkit.

Setelah semuanya siap, Almanzo memasangkan Bess pada tali penarik. Ayah
memasukkan rumput ke dalam peti, dan Pak Weed berdiri dalam peti untuk menginjak-
injak rumput, sampai peti tidak dapat memuat rumput lebih banyak lagi. Kemudian ia
memasang tutup peti, dan Ayah berseru, "Siap, Almanzo!"

Almanzo memukul Bess dengan tali dan berseru, "Ayo jalan, Bess!"

Bess mulai berjalan mengelilingi kerekan, dan kerekan mulai menggulung tali.
Tali menarik ujung batang pengungkit ke arah alat pres, dan ujung batang pengungkit
yang di dalam mendorong dasar alat pres ke atas. Dasar alat pres ini perlahan-lahan
naik, mengepres rumput. Tali dan peti berbunyi bergerit-gerit, sampai rumput dipres
begitu padatnya dan tidak dapat dipres lebih padat lagi. Kemudian Ayah berseru,
"Hup!" Dan, Almanzo juga berseru, "Hup, Bess!"

Ayah naik ke mesin pres dan memasangkan tali serat kayu melalui celah sempit
pada peti. Ia menarik tali erat-erat pada rumput yang sudah dipres, ini, lalu
membuat simpul yang kuat.

Pak Weed melepaskan tutup peti, lalu mengeluarkan satu bal rumput, yang
menggembung di antara ikatan tali serat kayu yang erat. Berat satu bal rumput ini
125 kilogram, tetapi Ayah mengangkatnya dengan mudah.

Kemudian, Ayah dan Pak Weed memasang mesin pres kembali, Almanzo membuka
gulungan tali dari kerekan, dan mereka memulai lagi membuat satu bal rumput.
Sepanjang hari mereka bekerja, dan malam itu Ayah mengatakan bahwa mereka sudah
cukup banyak mengepres rumput.

Almanzo duduk di meja makan, berharap bahwa ia tidak perlu kembali ke


sekolah. Pikirannya sibuk menghitung, dan ia berpikir begitu keras sehingga tanpa
disadarinya kata-kata keluar dari mulutnya.

"Tiga puluh bal sekali muat, dengan harga dua dolar satu bal," katanya. "Itu
berarti enam puluh dolar sekali mu..."
Ia berhenti berbicara, ketakutan. Ia tahu benar bahwa ia tidak boleh
berbicara di meja makan, kalau ia tidak diajak bicara.

"Ya ampun, dengar kata anak itu!" kata Ibu.

"Bagus, Nak!" kata Ayah. "Rupanya kau belajar untuk suatu tujuan."

Ia minum teh dari cawan, meletakkannya, dan menatap Almanzo lagi. "Belajar
paling baik kalau dipraktikkan. Bagaimana kalau kau ikut ke kota bersama Ayah besok
pagi, dan menjual segerobak rumput?"

"Oh, Ya! Aku senang sekali, Ayah!" Almanzo hampir berteriak.

Keesokan harinya ia tidak perlu pergi ke sekolah. Ia naik ke atas muatan


rumput, dan berbaring menelungkup di situ sambil menendang-nendangkan kakinya. Topi
Ayah jauh di bawahnya, dan di bawahnya lagi tampak punggung kuda yang gemuk.
Tempatnya tinggi sekali seakan-akan ia berada di atas pohon.

Muatan rumput bergoyang-goyang sedikit. Gerobak berbunyi bergerit-gerit, dan


kaki kuda berdebum-debum di salju yang keras. Udara jernih dan dingin, langit
sangat biru, dan ladang yang tertutup salju berkilap-kilap.

Tepat di seberang jembatan yang terentang di Sungai Trout, Almanzo melihat


sebuah benda hitam tergeletak di pinggir jalan. Waktu gerobak lewat, ia
mencondongkan badan dari tepi muatan rumput dan melihat bahwa benda ini adalah
sebuah dompet. Ia berseru, dan Ayah menghentikan kuda supaya ia dapat turun dan
mengambil dompet ini. Dompet ini berwarna hitam dan tebal sekali. Almanzo memanjat
kembali ke atas muatan rumput, dan kuda meneruskan perjalanan. Ia melihat ke
dompet. Ia membukanya, dan dompet ini penuh uang. Tidak ada suatu apa pun yang
menunjukkan siapa pemiliknya.

Ia memberikan dompet kepada Ayah, dan Ayah memberikan kendali kepadanya.


Pasangan kuda tampak sangat jauh di bawah, kendali terulur miring ke bawah, dan
Almanzo merasa dirinya sangat kecil. Tetapi ia suka sekali mengendalikan kuda. Ia
memegang kendali dengan hati-hati dan kuda terus berjalan dengan lancar. Ayah
memandangi dompet dan uang yang ada di dalamnya.

"Dalam dompet ini ada uang sebanyak seribu lima ratus dolar," kata Ayah.
"Siapa kira-kira pemiliknya? Ia pasti orang yang takut kepada bank, kalau tidak ia
tidak mungkin membawa-bawa uang sebanyak ini. Kau dapat melihat lembaran uang yang
kusut ini, rupanya sudah lama ia membawa-bawanya. Ini lembaran uang besar, dan
dilipat bersama-sama. Rupanya, ia mendapatkannya sekaligus. Coba kira-kira siapa
orang yang selalu curiga, dan pelit, dan baru-baru ini menjual sesuatu yang
berharga?"

Almanzo tidak tahu, tetapi ayah juga tidak mengharapkan jawaban. Kuda
berjalan melalui tikungan sama baiknya seperti kalau Ayah yang mengendalikan

"Thompson!" seru Ayah. "Pada musim, gugur yang lalu ia menjual tanah. Ia
takut kepada bank, dan ia selalu curiga. Ia juga begitu pelit sehingga mau
menguliti kutu untuk mendapatkan kulit dan lemaknya. Pasti Thompson orangnya!"

Ia memasukkan dompet ke dalam sakunya dan mengambil kendali dari tangan


Almanzo. "Akan kita lihat apakah kita dapat menemukannya di kota," katanya.

Mula-mula Ayah menjalankan gerobak ke kandang kuda yang berjual beli rumput.
Pemilik kandang keluar, dan Ayah membiarkan Almanzo menjual rumput. Ia berdiri di
belakang Almanzo dan tidak berkata apa-apa, sementara Almanzo menunjukkan kepada
pemilik kandang bahwa rumputnya bagus sekali, bersih, dan subur, dan setiap bal
padat dan seluruhnya berisi rumput.

"Berapa kau akan menjualnya?" tanya pemilik kandang.

"Dua seperempat dolar satu bal," kata Almanzo.

"Aku tidak akan membeli semahal itu," kata pemilik kandang. "Harganya tidak
pantas."

"Berapa harga yang pantas?" tanya Almanzo.

"Tidak di atas dua dolar," kata pemilik kandang.

"Baiklah, aku mau menerima harga dua dolar," kata Almanzo cepat-cepat.

Pemilik kandang memandang Ayah, dan kemudian mendorong topinya ke belakang.


Kepada Almanzo ia bertanya mengapa ia menghargai rumputnya dua seperempat dolar.

"Kita sudah setuju dengan harga dua dolar, bukan?" tanya Almanzo.

Pemilik kandang membenarkan. "Nah," kata Almanzo, "Aku minta dua seperempat
dolar sebab kalau aku minta dua dolar, pasti hanya akan ditawar satu dolar tujuh
puluh lima sen."

Pemilik kandang tertawa, dan berkata kepada Ayah, "Anakmu betul-betul


cerdik."

"Waktu akan membuktikan," kata Ayah. "Banyak permulaan yang baik mendapat
akhir yang buruk. Masih harus dilihat bagaimana jadinya kelak pada jangka waktu
yang lama."

Ayah tidak mau menerima uang hasil penjualan rumput. Ia membiarkan Almanzo
menerimanya, dan menghitungnya untuk meyakinkan bahwa jumlahnya betul enam puluh
dolar.

Kemudian, mereka pergi ke toko Pak Case. Toko ini selalu penuh, tetapi Ayah
tetap berbelanja di situ, sebab Pak Case menjual barangnya lebih murah daripada
saudagar yang lain.

Pak Case berkata, "Aku lebih suka mendapat untung lima sen tetapi sering,
daripada lima puluh sen tetapi jarang sekali."

Almanzo berdiri di tengah orang banyak bersama Ayah, sementara menunggu Pak
Case melayani orang yang datang lebih dulu. Pak Case selalu sopan dan ramah kepada
setiap orang. Memang harus demikian, sebab setiap orang yang datang ke tokonya
adalah pembeli. Ayah juga sopan kepada setiap orang, tetapi ia tidak selalu ramah
kepada siapa saja.

Sejurus kemudian Ayah memberikan dompet kepada Almanzo dan menyuruhnya


mencari Pak Thompson. Ayah harus tetap tinggal di toko untuk menunggu gilirannya.
Ia tidak dapat membuang-buang waktu kalau mereka ingin pulang sebelum waktu
bekerja.

Tidak ada anak-anak lainnya di jalan. Mereka semua ada di sekolah. Almanzo
suka sekali berjalan di tengah jalan, membawa uang sebanyak itu, dan ia berpikir
alangkah gembiranya Pak Thompson kalau melihat dompetnya kembali.

Ia mencari ke semua toko, ke kedai tukang cukur, dan ke bank. Kemudian ia


melihat pasangan kuda Pak Thompson berdiri di tepi jalan, di muka bengkel gerobak
Pak Paddock. Ia membuka pintu bangunan yang rendah dan panjang ini, lalu masuk.

Pak Paddock dan Pak Thompson sedang berdiri dekat tungku yang bulat
memandangi sepotong kayu hikori sambil bercakap-cakap membicarakannya. Almanzo
menunggu, sebab ia tidak dapat menyela pembicaraan mereka.

Di dalam bengkel hangat, dan di situ tercium bau rautan kayu, kulit, dan cat.
Di seberang tungku pemanas dua orang pekerja sedang membuat gerobak, dan lainnya
sedang mengecat jari-jari roda kereta yang baru. Gerobak ini berkilap dan bercat
hitam. Rautan kayu yang panjang bergelung bertumpuk-tumpuk di lantai, dan seluruh
tempat ini menyenangkan seperti lumbung dalam musim penghujan. Para pekerja
bersiul-siul sambil mengukur dan membuat tanda, menggergaji dan menyerut kayu yang
baunya enak.

Pak Thompson sedang menawar harga sebuah gerobak baru. Almanzo berpendapat
bahwa Pak Paddock tidak menyukai Pak Thompson, tetapi ia sedang berusaha menjual
gerobak. Ia menghitung biaya dengan potlot tukang kayu yang besar, dan dengan halus
sedang berusaha membujuk Pak Thompson.

"Kau tahu, aku tidak dapat menurunkan harga lagi dan membayar pekerjaku,"
katanya. "Aku sudah berusaha dengan sebaik-baiknya untukmu. Kujamin kami akan
membuat gerobak yang memuaskan bagimu. Kalau tidak, kau tidak perlu membelinya."

"Baiklah, mungkin aku akan kembali lagi ke sini, kalau aku tidak bisa
mendapatkan yang lebih baik di tempat lain," kata Pak Thompson, dengan sikap
curiga.

"Aku gembira melayanimu kapan saja," kata Pak Paddock. Kemudian ia melihat
Almanzo, dan menanyakan keadaan babi yang dipeliharanya. Almanzo menyukai Pak
Paddock yang gendut dan periang ini. Ia selalu menanyakan tentang Lucy. "Sekarang
beratnya sekitar tujuh puluh lima kilogram," kata Almanzo kepadanya.

Kemudian ia menoleh kepada Pak Thompson dan bertanya, "Apakah Bapak


kehilangan dompet?"

Pak Thompson terlonjak. Ia menepukkan tangan ke sakunya, dan benar-benar


memekik.

"Ya, betul! Dan isinya seribu lima ratus dolar. Bagaimana? Bagaimana kau tahu
tentang itu?" "Apakah ini dompetnya?" tanya Almanzo. "Ya, ya, ya, betul!" kata Pak
Thompson, merenggut dompet itu. Dengan tergesa-gesa ia membukanya dan menghitung
uang di dalamnya.

Ia menghitung uangnya dua kali, dan rupanya tampak persis seperti orang yang
menguliti kutu untuk mendapatkan kulit dan lemaknya.

Kemudian ia menghela napas panjang karena merasa lega dan berkata, "Rupanya
anak keparat ini tidak mencuri uangku."

Muka Almanzo panas seperti api karena berangnya. Ingin sekali ia memukul Pak
Thompson.

Pak Thompson memasukkan tangannya yang kurus ke dalam saku celana dan
mencari-cari. Ia mengeluarkan sesuatu.

"Ini," katanya, meletakkannya ke tangan Almanzo. Ternyata yang diberikan


adalah sekeping uang lima sen. Almanzo marah sekali sehingga pandangannya gelap. Ia
sangat membenci Pak Thompson. Ingin sekali ia menyakitinya. Pak Thompson
menyebutnya anak keparat, dan ini sama saja dengan menyebutnya seorang pencuri.
Almanzo tidak butuh uang lima sennya yang karatan. Tiba-tiba terpikir olehnya apa
yang harus dikatakan.

"Ini," katanya, memberikan uang lima sen kembali kepadanya. "Simpan saja uang
lima sen Anda. Aku tidak punya kembalian."

Muka Pak Thompson yang ciut dan licik menjadi merah padam. Salah seorang
pekerja tertawa pendek, mencemoohkan. Namun, Pak Paddock melangkah menghampiri Pak
Thompson. Ia tampak marah sekali.

"Jangan sekali-kali kau menyebut anak ini pencuri, Thompson!" katanya. "Ia
juga bukan pengemis! Begitukah kau memperlakukan dirinya? Ia mengembalikan uangmu
sebanyak seribu lima ratus dolar! Sebaliknya, kau menyebutnya seorang pencuri dan
memberinya uang lima sen, begitu bukan?"

Pak Thompson melangkah mundur, tetapi Pak Paddock terus maju mendesaknya. Pak
Paddock mengacungkan tinjunya di bawah hidung Pak Thompson.

"Kau orang yang sangat kikir!" kata Pak Paddock. "Kau tidak boleh begitu!
Tidak boleh begitu di tempatku! Di sini setiap orang jujur dan terhormat, sedangkan
kau diupah satu sen pun aku.... tidak! Beri dia seratus dolar dari uangmu, lekas!
Tidak, dua ratus! Dua ratus dolar, aku bilang, kalau tidak kau tanggung akibatnya!"

Pak Thompson mencoba mengatakan sesuatu, demikian pula Almanzo. Namun Pak
Paddock mengepalkan tinjunya dan otot pada lengannya menggembung. "Dua ratus!"
serunya. "Serahkan, lekas! Kalau tidak aku akan memaksamu!"

Pak Thompson mengerutkan tubuhnya sambil memandangi Pak Paddock. Lalu ia


menjilat ibu jarinya dan cepat-cepat menghitung beberapa lembar uang. Diulurkannya
uang kepada Almanzo.

Almanzo berkata, "Pak Paddock..."

"Sekarang keluar dari sini, kalau kau ingin selamat! Keluar!" kata Pak
Paddock. Sebelum Almanzo dapat mengejapkan mata ia menyadari dirinya berdiri dengan
uang di tangannya, dan Pak Thompson membanting pintu di belakangnya.

Almanzo begitu gugup sehingga bicaranya terbata-bata. Ia berkata bahwa pasti


Ayah tidak menyukai peristiwa ini. Almanzo merasa tidak pada tempatnya menerima
uang itu, walaupun dalam hati ia ingin memilikinya. Pak Paddock mengatakan bahwa ia
akan berbicara kepada Ayah. Ia membuka gulungan lengan kemejanya, memakai jas dan
bertanya, "Di mana dia?"

Almanzo hampir berlari, supaya tidak jauh tertinggal oleh langkah-langkah Pak
Paddock yang panjang. Uang digenggamnya erat-erat dengan tangannya. Ayah sedang
memasukkan bungkusan belanjaan ke gerobak, dan Pak Paddock menceritakan kepadanya
apa yang terjadi.

"Diupah satu sen pun aku mau menghancurkan mukanya yang licik," kata Pak
Paddock. "Namun, segera terpikir olehku bahwa memberikan uang adalah yang paling
menyakitkan baginya. Dan kupikir anak ini pantas menerimanya."

"Aku tidak berpendapat orang pantas menerima sesuatu hanya karena sekadar
berwatak jujur." Ayah menyanggah. "Walaupun demikian, aku menghargai semangat yang
kautunjukkan, Paddock."

"Aku tidak mengatakan ia pantas menerima lebih dari rasa terima kasih yang
tulus karena mengembalikan uang Thompson," kata Pak Paddock. "Namun sudah
keterlaluan kalau kebaikannya dibalas dengan penghinaan. Aku bilang Almanzo pantas
menerima uang dua ratus dolar itu."

"Yah, aku kini bisa mengerti," kata Ayah. Akhirnya ia memutuskan, "Baiklah,
Nak. Kau boleh memiliki uang itu."

Almanzo meratakan lembaran uang dan memandanginya. Dua ratus dolar. Sebanyak
itulah pembeli kuda membayar salah seekor kuda Ayah yang berumur empat tahun.

"Dan aku sangat berterima kasih kepadamu, Paddock, karena telah membela
anakku," kata Ayah.

"Aku tidak merasa rugi sekali-sekali kehilangan langganan, kalau alasannya


tepat," kata Pak Paddock. Kepada Almanzo ia bertanya, "Apa yang akan kaulakukan
dengan uang sebanyak itu?"

Almanzo menatap Ayah. "Boleh aku menyimpannya di bank?" ia bertanya.

"Memang itulah tempat untuk menyimpan uang," kata Ayah. "Wah, dua ratus
dolar! Umurku sudah dua kali umurmu waktu aku mulai memiliki uang sebanyak itu."

"Aku juga begitu. Ya, bahkan lebih tua lagi," kata Pak Paddock.

Ayah dan Almanzo pergi ke bank. Almanzo hanya dapat melihat melalui tubir
loket kepada kasir yang duduk di kursi tinggi dengan pena di belakang telinganya.
Kasir memanjangkan lehernya untuk menunduk ke bawah, menatap Almanzo dan bertanya
kepada Ayah, "Tidakkah lebih baik kalau saya memasukkan uang ini ke dalam rekening
Bapak?"

"Tidak," jawab Ayah. "Uang ini milik anak ini. Biarlah ia yang mengurusnya
sendiri. Sudah waktunya ia mulai belajar."

"Baik, Pak," kata kasir.

Almanzo harus menuliskan namanya dua kali. Kemudian dengan teliti kasir
menghitung uang, dan menuliskan nama Almanzo dalam sebuah buku kecil. Ia menuliskan
jumlah uang $200 dalam buku, lalu menyerahkan buku kepada Almanzo.

Almanzo keluar dari bank bersama Ayah, dan bertanya kepadanya, "Bagaimana
caranya mengeluarkan uang itu lagi?

"Kau tinggal memintanya, dan mereka akan memberikannya kepadamu. Tetapi kau
harus selalu ingat ini, Nak. Selama uang itu di bank, uang itu bekerja untukmu.
Setiap dolar di bank memberimu uang empat sen setahun. Itu lebih mudah daripada
kalau kau mencari uang dengan cara lain. Setiap kali kau ingin membelanjakan uang
lima sen, berhentilah dulu untuk berpikir seberapa beratnya pekerjaan yang harus
dilakukan untuk mendapatkan uang satu dolar."

"Ya, Ayah," kata Almanzo. Ia berpikir bahwa yang dimilikinya lebih dari cukup
untuk membeli seekor anak kuda. Ia dapat melatih anak kuda miliknya sendiri. Ia
dapat mengajarkan segala-galanya kepada kudanya. Ayah tidak akan mengizinkan ia
melatih salah seekor anak kudanya.

Namun ini belumlah akhir hari yang menyenangkan itu.

ANAK TANI
PAK Paddock menemui Almanzo dan Ayah di luar bank. Ia mengatakan kepada Ayah
bahwa ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Aku sudah lama bermaksud mengatakannya kepadamu," katanya. "Tentang anakmu


ini." Almanzo merasa keheranan. "Kau pernah memikirkan untuk menjadikan anakmu
seorang pembuat roda kereta?" tanya Pak Paddock.

"Ah, tidak," jawab Ayah perlahan. "Aku tidak dapat mengatakan pernah
memikirkannya."

"Nah, pikirkanlah sekarang," kata Pak Paddock. "Ini usaha yang sedang
berkembang, Wilder. Negeri ini sedang tumbuh, penduduknya terus meningkat, dan
orang harus memiliki gerobak dan kereta. Mereka harus melancong ke mana-mana.
Kereta api sama sekali tidak merugikan usaha kami. Langganan kami selalu bertambah.
Ini merupakan permulaan yang baik bagi anak muda yang cerdas." "Ya," kata Ayah.

"Aku tidak punya anak laki-laki, sedangkan kau punya dua orang," kata Pak
Paddock. "Kau harus memikirkan dengan segera tentang perlunya memberikan kesempatan
kepada Almanzo untuk memulai usaha demi hidupnya. Serahkan ia magang di tempatku,
dan aku akan memperlakukan anak ini sebaik-baiknya. Kalau nanti terbukti ia menjadi
seperti apa yang kuperkirakan, tidak ada alasan untuk tidak memegang usahaku, pada
waktunya. Ia bisa menjadi orang kaya, mungkin dengan seratus orang pekerja di bawah
perintahnya. Ini patut dipikirkan."

"Ya," kata Ayah. "Ya, ini patut dipikirkan. Aku sangat menghargai apa yang
kaukatakan, Paddock."

Dalam perjalanan pulang Ayah tidak mengatakan apa pun. Almanzo duduk di
sisinya di tempat duduk gerobak dan juga tidak mengucapkan sepatah kata. Begitu
banyak yang terjadi sehingga ia memikirkan semuanya sekaligus, campur aduk.

Ia memikirkan jari kasir yang berbekas tinta, mulut Pak Thompson yang
sudutnya melengkung ke bawah, tinju Pak Paddock yang dikepalkan, dan bengkel
pembuat gerobak yang sibuk, hangat, dan menyenangkan. Ia berpikir, seandainya jadi
magang di bengkel Pak Paddock, ia tidak perlu pergi sekolah.

Ia sering kali merasa iri kepada para pekerja Pak Paddock. Pekerjaan mereka
memesona. Rautan kayu yang tipis memanjang dan bergelung dari sisi papan yang
diserut rapi. Mereka mengelus-elus kayu tipis yang halus ini dengan jarinya.
Almanzo juga suka berbuat begitu. Ia pasti akan merasa senang melumaskan cat dengan
kuas cat yang lebar, dan akan senang sekali membuat garis lurus yang bagus dengan
kuas kecil yang runcing.

Setelah sebuah gerobak selesai dibuat, berkilap dengan catnya yang baru, atau
kalau sebuah gerobak sudah jadi, dibuat dari kayu hikori atau eik yang kuat, dengan
rodanya dicat merah dan kotaknya dicat hijau, dengan lukisan pada bagian
belakangnya, para pekerja merasa bangga. Mereka membuat gerobak yang sekuat kereta
salju Ayah, dan jauh lebih indah.

Kemudian Almanzo merasakan buku bank yang kecil dan kaku dalam sakunya, dan
ia memikirkan tentang anak kuda. Ia ingin punya anak kuda yang kakinya ramping,
dengan mata yang lebar dan lemah lembut seperti Starlight. Ia ingin mengajarkan
segala-galanya kepada anak kuda ini, seperti ia mengajar Star dan Bright.

Demikianlah Ayah dan Almanzo naik gerobak pulang bersama-sama, tanpa


mengucapkan sepatah kata pun. Udara dingin dan tidak berangin, dan semua pohon
tampak seperti garis hitam yang ditarik pada salju dan langit.

Waktu bekerja sudah tiba ketika mereka sampai ke rumah. Almanzo membantu
melakukan pekerjaan harian, tetapi ia menyempatkan diri melihat Starlight beberapa
waktu lamanya. Ia mengelus-elus hidung kuda yang lembut seperti beledu, lalu
mengelus-elus leher Starlight yang melengkung, di bawah surainya. Starlight
menjilat-jilat lengan bajunya.

"Nak, kau di mana?" seru Ayah, dan dengan rasa bersalah Almanzo lari untuk
memerah susu.

Pada waktu makan malam, Almanzo makan dengan tenang, sementara Ibu
membicarakan apa yang telah terjadi. Dia mengatakan bahwa selama hidupnya belum
pernah...! Ibu mengatakan bahwa ia sangat heran karena sulit sekali mengorek apa
yang telah terjadi pada Ayah. Ayah menjawab pertanyaan Ibu, tetapi seperti Almanzo,
ia juga asyik makan.

Akhirnya, Ibu bertanya kepadanya, "James, apa yang ada dalam pikiranmu?"

Setelah itu Ayah menceritakan kepada Ibu bahwa Pak Paddock ingin mengambil
Almanzo magang di bengkelnya.

Mata ibu yang cokelat terbelalak, dan pipinya memerah seperti warna gaun
wolnya. Ia meletakkan pisau dan garpu yang dipegangnya.

"Belum pernah aku mendengar yang semacam itu!" katanya. "Nah, lebih cepat Pak
Paddock mengeluarkan itu dari kepalanya, lebih baik! Kuharap kau juga tidak ragu-
ragu menyatakan apa yang kaupikirkan! Mengapa, ingin sekali aku tahu, Almanzo harus
tinggal di kota dan menuruti kemauan setiap orang yang datang kepadanya?"

"Usaha Paddock menghasilkan banyak uang," kata Ayah. "Kurasa, kalau semua
yang dikatakan orang benar, ia memasukkan uang lebih banyak ke bank daripada aku.
Ia berpendapat bahwa ini merupakan permulaan yang baik bagi anak ini."

"Baiklah!" Ibu menyela. Ia marah sekali, seperti induk ayam yang anaknya
diganggu. "Apa jadinya dunia ini, kalau setiap orang berpendapat bahwa melangkah
maju di dunia berarti meninggalkan pertanian dan pergi ke kota? Bagaimana Pak
Paddock akan menghasilkan uang, kalau tidak tergantung kepada kita? Kurasa kalau ia
tidak membuat gerobak untuk memenuhi pesanan petani, usahanya tidak akan bertahan
lama!"

"Itu memang benar," kata Ayah. "Tetapi..."

"Tidak ada tetapi dalam hal ini!" kata Ibu. "Aduh, kita sudah cukup mendapat
bencana melihat Royal pergi ke kota hanya untuk menjadi pemilik toko! Mungkin ia
akan menghasilkan banyak uang, tetapi ia tidak akan menjadi orang seperti dirimu.
Untuk mencari nafkah, sepanjang hari ia harus menyenangkan orang lain... ia tidak
akan bisa mengatakan bahwa ia masih memiliki dirinya sendiri."

Sejenak dalam hati Almanzo bertanya-tanya apakah Ibu akan menangis.

"Sudahlah, sudahlah," kata Ayah dengan sedih. "Jangan terlalu dipikirkan.


Mungkin ini semua akan mendatangkan akibat yang paling baik."

"Aku tidak ingin Almanzo juga mengikuti jejak kakaknya!" seru Ibu. "Aku tidak
mau, kau dengar?"

"Aku juga sependapat denganmu," kata Ayah. "Tetapi anak inilah yang harus
mengambil keputusan. Kita dapat menahan ia di sini, di pertanian, sampai umur dua
puluh satu tahun sesuai dengan hukum yang berlaku, tetapi takkan baik akibatnya
kalau ia ingin meninggalkan rumah ini. Tidak. Kalau Almanzo punya pikiran yang sama
dengan pikiran Royal, sebaiknya kita serahkan ia magang kepada Paddock sementara ia
masih muda."

Almanzo terus makan. Ia mendengarkan, tetapi ia asyik menikmati daging


panggang dan saus apel dalam mulutnya. Ia meneguk susu dingin lama-lama, kemudian
menghela napas dan memasukkan serbet makan makin dalam, dan tangannya meraih kue
labu.

Ia memotong ujung kue labu yang cokelat keemasan, warnanya lebih tua karena
bumbu dan gula. Kue ini meleleh pada lidahnya, terasa sangat lezat. "Ia masih
terlalu kecil untuk mengambil keputusan sendiri," sanggah Ibu.

Almanzo menggigit kuenya lagi. Ia tidak boleh berbicara sampai ia diajak


bicara, tetapi ia berpikir bahwa ia sudah cukup besar untuk menyadari bahwa ia
lebih suka menjadi seperti ayah daripada seperti orang lain. Ia bahkan tidak ingin
menjadi orang seperti Pak Paddock. Pak Paddock harus menyenangkan orang kikir
seperti Pak Thompson. Kalau tidak, ia gagal menjual sebuah gerobak. Sementara itu,
Ayah bebas dan merdeka. Kalau dengan caranya sendiri ia menyenangkan setiap orang,
ini hanyalah karena ia ingin berbuat begitu.

Tiba-tiba ia sadar bahwa Ayah berbicara kepadanya. Ia menelan kuenya begitu


saja sehingga hampir mencekik kerongkongannya. "Ya, Ayah," katanya.

Ayah tampak bersungguh-sungguh. "Nak," katanya, "kau mendengar apa yang


dikatakan Paddock tentang kau, untuk magang di bengkelnya?"

"Ya, Ayah,"

"Bagaimana pendapatmu tentang hal itu?" Almanzo belum tahu benar apa yang
harus dikatakan. Memang sudah semestinya kalau ia tidak dapat mengatakan apa-apa.
Ia harus melakukan apa yang dikatakan Ayah.

"Nah, Nak! Coba kaupikirkan hal itu," kata Ayah. "Aku ingin kau mengambil
keputusan sendiri. Dengan Paddock, hidupmu akan enak, dalam beberapa hal. Kau tidak
perlu keluar dalam segala macam cuaca. Pada malam musim dingin, kau boleh bergelung
dalam tempat tidur yang hangat dan tidak perlu mengkhawatirkan anak sapi yang akan
membeku. Hujan atau panas, angin atau salju, kau selalu terlindung. Kau selalu
tertutup dalam ruangan, di dalam dinding rumah. Demikian pula, kau memiliki banyak
makanan dan pakaian serta uang di bank."

"James!" kata Ibu.

"Itu kenyataan, dan kita harus jujur tentang hal itu," jawab Ayah. "Tetapi
juga ada segi lain, Almanzo. Di kota, kau harus selalu tergantung kepada orang
lain, Nak. Segala yang kaudapat, kau peroleh dari orang lain."

"Seorang petani hanya tergantung pada dirinya sendiri, pada tanah dan pada
cuaca. Kalau kau seorang petani, kau harus menanam apa yang akan kaumakan, kau
harus membuat apa yang akan kau pakai, dan kau akan menjaga tubuhmu supaya tetap
hangat dengan kayu yang diambil dari hutanmu sendiri. Kau harus bekerja keras.
Namun, kau bekerja sesuka hatimu dan tidak ada orang yang akan memerintahmu. Kau
bebas dan merdeka Nak, di pertanian."

Almanzo merasa gelisah. Ayah memandangnya dengan tajam. Demikian pula Ibu.
Almanzo tidak ingin hidup terkurung dalam rumah dan menyenangkan orang yang tidak
disukainya, dan tidak pernah memiliki kuda, sapi, dan ladang. Ia ingin menjadi
orang yang tepat seperti Ayah. Namun ia tidak ingin mengatakannya.

"Kau kuberi cukup waktu, Nak. Pikirkanlah masak-masak," kata Ayah. "Ambillah
keputusan apa yang kauinginkan."

"Ayah!" seru Almanzo.

"Ya, Nak?"

"Bolehkah... bolehkah aku mengatakan kepada Ayah apa yang kuinginkan?"

"Ya, Nak," kata Ayah membesarkan semangatnya.

"Aku ingin punya seekor anak kuda," kata Almanzo. "Boleh aku membeli anak
kuda sendiri dengan sebagian dari uang yang dua ratus dolar, dan Ayah akan
mengizinkan aku melatihnya?"

Perlahan-lahan janggut Ayah melebar dengan senyuman. Ia meletakkan serbet


makan dan menyandarkan diri di kursinya, memandangi Ibu. Kemudian, ia menoleh
kepada Almanzo dan berkata, "Nak, biarkan saja uangmu di bank."

Almanzo merasakan segala harapan lenyap di dalam dirinya. Kemudian, tiba-tiba


dunia terasa sangat indah dan bersinar-sinar, terasa sangat hangat, sebab Ayah
meneruskan, "Kalau anak kuda yang kauinginkan, kuberikan si Starlight kepadamu."

"Ayah!" Almanzo tergagap. "Untuk menjadi milikku sendiri?"

"Ya, Nak. Kau dapat melatihnya, mengendalikannya, dan setelah umurnya empat
tahun kau boleh menjual atau tetap memilikinya, sekehendak hatimu. Kita akan
menuntunnya keluar dengan tali, besok pagi-pagi sekali, dan kau boleh mulai
menjinakkannya."

LIMA GENERASI GADIS PIONIR

Martha Morse, nenek buyut Laura Lahir pada tahun 1782 dari sebuah keluarga
pemilik tanah yang kaya di Skotlandia. Sekalipun mengasihi keluarganya, Martha juga
ingin melihat dunia luar. Suatu hari, ia meninggalkan rumahnya untuk memulai hidup
baru di Amerika.

Charlotte Tucker, nenek Laura Lahir pada tahun 1809, Charlotte, anak
perempuan Martha, adalah seorang anak kota yang dibesarkan di dekat pelabuhan
Boston yang ramai. Ia memiliki semangat yang tinggi dan berkelana ke arah barat,
sebelum akhirnya menetap di Wisconsin.

Caroline Quiner, ibu Laura Lahir pada tahun 1839, Caroline, anak perempuan
Charlotte, melewatkan masa kecilnya di Wisconsin. Hari-harinya dipenuhi kesibukan
membantu ibunya di pertanian kecil milik mereka. Ia kemudian menjadi Ma Ingalls,
ibu Laura.
Laura Ingalls Lahir pada tahun 1867, Laura, anak perempuan Caroline,
melintasi wilayah baru di barat Amerika dengan gerobak kuda. Setelah dewasa, sadar
bahwa masa perintisan akan berakhir, ia kemudian menuliskan kisah masa kecilnya di
dalam seri buku-buku Rumah Kecil.

Rose Wilder, anak perempuan Laura Lahir pada tahun 1886, Rose, anak perempuan
Laura, pindah dari South Dakota ke Pegunungan Ozark di Missouri. Cerita mengenai
masa kecil ibunya dalam keluarga pionir membuatnya bercita-cita menjadi seorang
pionir dalam bidang lain juga.

Anda mungkin juga menyukai