II
HARI TADI tercatat dua puluh satu siswa mendaftar
jadi angkatan baru, sekaligus kelas baru buat sekolah
itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu
silih, dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki
bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski
sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.
Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka
nampak memandangi seusuatu yang mungkin aneh
baginya. Teman-teman lain menghadapai sebuah tiang
dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-
nyanyi. Dari sini, Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu
betul, mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala
suku Lat.
“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”
“He-eh...,” yang satu mengangguk. Ia menatap
teman-temannya yang menyanyi-nyanyi bersama itu,
dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang
ada di dekat jalan depan sekolah itu.
“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa Ade bisa marah.”
Mereka kemudian berlari menjauh, menurun di
bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang
bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan
juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu
minibus berlalu dengan muatan penuh.
Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi
rumah anak-anak itu dan memberikan semacam pen-
jelasan.
Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah
III
PERISTIWA DUA tahun silam terngiang makin dalam,
di meja kelas, ketika kini dia menghadapi pesan pendek
berisi keluhan dari sejumlah kawan di Jogja yang belum
juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia
I
Saat kau menyaksikan algojo kekar mengacung rotan,
setelah hakim mengetuk jumlah cambukan, dan
temanmu—dengan sebebat kain putih, mungkin
bertanda suci atau penyucian, di pinggangnya, sebagai
cawat—berjalan menuju tiang pasungan dengan gigi
gemeletuk, gemetar, pucat, namun terlihat pasrah, kau
jadi ingat suatu hari di desa, di Pantai Selatan yang
nelangsa.
Ketika itu, ibu telah ambil ancang untuk menghajar
tubuhmu dengan ranting. Ibu membawa ranting pohon
jarak kering; kulitnya telah mlocoh; urat-urat kayunya
melintir seperti bisep seorang petinju. Kau memejam,
tahu akan ada perih, darah, lecet, dan kemudian sunyi.
Dan entah bagaimana, kau terlihat terbiasa.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah baik kamu
kulahirkan ke dunia! Masih saja....”
III
Dia telah membuat kecerobohan paling memalukan
dengan menjual tembakaunya pada sembarangan napi.
Kau padahal sudah curiga.
IV
Jalanan basah, tanah-tanah lengket, paman yang
dikutuki keluarga, karena ia bertato, membawamu ke
pabrik pupuk.
Kalian berjalan 2o kilometer, melewati tiga jem-
batan, dan satu rel kereta api. Di pos pabrik pupuk
paman membelikan nasi bungkus. Kau dengar suara
laut yang mendengkur, kapal-kapal berbagi peluit, truk-
truk besar melenguh, dan lagu dangdut dari radio yang
digantungkan pada dinding.
Tak kurang dari sebulan kau berada di sana. Tak ada
yang mencarimu. Tak ada.
Kau hanyalah manusia asing yang dilahirkan dari
pohon pisang di tepi sungai sebelum banjir menerjang
dan menggelandang ibumu ke laut buat ditenggelam-
kan selama-lamanya. Paman mengajarimu menjadi kuli
panggul pupuk, menguji kekuatan tulang punggung,
otot tangan, dan menicipi perpaduan urea dengan lecet
pada kulit sekitar pundakmu yang baru saja berusia 14
tahun. Seperti semua kuli, kau pun mencoba mengerti;
jangan berharap pada siapapun.
Setahun kemudian, kau diberi kesempatan menjadi
kernek truk pendamping menggantikan kernek lain
yang meninggal dunia karena dibunuh saat malam
lebaran.
Truk adalah kendaraan agung yang selalu bergan-
deng mesra, yang mengirim pupuk dari satu kota ke
kota lain, melintasi pantura, membuatmu mengetahui
sisi lain dari kehidupan para sopir.
V
Kalian berbaris. Seseorang memimpin. Kepala sipir tiba.
Kalian menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat pada
bendera di sudut ruang apel pagi.
Dia bicara bahwa Indonesia baru saja mentranfser
biaya hidup tahanan, meskipun hanya sedikit, 1/3 dari
yang seharusnya, namun cukup kiranya untuk mem-
buat kalian pagi itu makan nasi dengan telor rempah
dan teh tarik.
Dan hari-hari berikutnya sama seperti dalam jadwal
ransum; Selasa dengan bubur, Rabu dengan kentang,
Kamis dengan kuah sup, Jumat dengan nasi, Sabtu den-
gan kentang lagi, Minggu dengan ubi, dan Senin dengan
roti gandum. Setelah selesai kerja seperti biasanya,
merawat tanaman, sayuran, ternak dan ini-itu, kau di-
minta mengambil biskuit dalam gudang. Sikapmu yang
baik dan jujur, membuat sipir tertarik. Ini kesempatan
baik. Kau akan selalu memakai sepatu but panjang,
dan dengan jeli menyisipkan gula, susu, atau kopi ke
dalamnya. Tentu dengan memperhatikan sipir jaga
VI
Tak sampai cambuk. Hanya sejumlah pukulan yang
membuat memar. Dan, setelah itu, seperti yang anggota
sel blok kalian inginkan, kepala dapur diganti.
Dan itu adalah dirimu. Kau berhak mengelola semua
makanan untuk konsumsi napi dan artinya kau tidak
akan kelaparan lagi sebab bisa cumal-cumil. Kelaparan
yang membuatmu harus pergi dua tahun silam men-
inggalkan istri. Istri yang tak tahan melihat sofa baru,
tivi baru, motor baru, dan apa-apa yang baru milik
tetangga. Kau pun mendaftar sebagaimana dua orang
lain dari desamu. Ketika ditanya kenapa tidak jadi sopir
truk gandengan lagi, kau menjawab perempuan mudah
kesepian dan curiga, seperti mata-mata. Dan kau pergi
jadi TKI untuk mendapatkan modal usaha. Kau tidak
sendirian. Ada Rinto Jumadilakir. Kau tidak tahu dimana
si Karso. Berbulan-bulan kerjamu membalak hutan
dalam komando Taiko.
Di tempatmu, di daerah yang tak terindentifikasi
lagi, tertampung orang-orang dari segenap tempat.
Saling berbagi hidup, babi, dan kangkung yang tumbuh
di rawa-rawa, sebelum suatu hari yang tak terduga ter-
jadi dengan setiba-tiba kematian. Hari yang membuat
pembukaan untuk membawamu ke penjara.
“Ada napi baru,” kata Alex padamu sambil terseny-
VII
Seandainya bukan di tengah hutan, tentu telah muncul
di berita televisi pada pukul 6 pagi, atau di koran-koran
kriminal halaman depan; sebuah gambar dari temanmu,
Fajar Sutarno, si Duda paling murung itu, dengan luka
remak di kepala akibat pukulan benda tumpul yang kau
tahu persis adalah besi ungkit milik Kiman.
Darah mengumalkan rambut hitamnya jadi hijau-
hitam. Ada yang mengental, mengantri di lubang tel-
inga kirinya, seolah masih ingin kembali pada jantung.
Yang sayangnya, setengah jam lalu jantung itu telah
menghentikan diri dari denyut-denyut yang tak terukur
seismograf.
Di perutnya ada sisa pembedahan dengan teknik
berantakan, seperti cara seorang istri yang baru belajar
VIII
Itulah kalimat terkahir yang kau dengar enam jam
sebelum suara minta tolong yang samar dan kau berlari
lalu melihat Kiman menghancurkan tubuh si Duda di
kamar mandi.
Dan kalian tak ingin jadi tersangka atau terlibat
urusan hukum yang memang tak pernah mengun-
tungkan.
“Di mana teman-teman kita sekarang, Rinto?” kini,
kau coba ajak Rinto bercakap-cakap. Seminggu lagi,
IX
Kau coba tidur tanpa tahu, barangkali, ketika kau
terbangun, ada lagi algojo yang tengah siap dengan
rotan sebab, si Beju dari Vietnam, atau mungkin si
Nadim dari Thailand, telah berbuat kesalahan lagi dengan
menyobek spons kasur tidur buat membersihkan hajat.
Air di sel sering habis hingga toilet portabel adalah
masalah lain.
Dan, seperti yang pernah terjadi, seorang sipir
akan membentak-bentak dengan gaya seekor hewan
I
PAGI INI KARTA LAPAN melihat dunia berisi tikus-
tikus menggairahkan berbalut abu-abu, matanya
menyalakan roh yang lain, dan dia berjalan sangat
malas menggunakan kedua telapak tangan dan lututnya
secara bergantian hingga kuku jemarinya disusupi pasir
hitam, dan orang-orang jadi mengerti: kutukan itu
melanda lagi di desa ini. Desa Palatar yang sunyi: yang
tak dilintasi gugupnya lars sepatu jaman.
Ibunya hilang muka dan menangis-nangiskan diri,
“Percayalah, Karta bukan anak yang tidak hormat pada
leluhur. Ini hanya semacam kecelakaan kecil,” nada
suaranya mencekam.
Orang-orang mengadu gunjing di halaman dengan
menginjak-injak bayangan satu sama lain, bayangan
yang menatap mereka dengan kosong dan hambar.
Kemudian mereka bubar satu persatu membawa per-
V
GENJIK MAU teriak dan berlari ketakutan. Karta
mencengkram pundak dan membungkam mulut Gen-
jik, “Stt... jangan bikin gaduh.” Genjik semakin meng-
gigil, merapat ke dinding, dan tak percaya Karta telah
tampil dengan berdiri dan berbicara.
“Argh, jangan bodoh begitu! Ini permainan, per-
mainan yang harus segera selesai,” Karta menjelaskan
dengan berbisik, bahwa upacara itu tak boleh terjadi, “aku
tak mau seluruh tubuhku memar.” Genjik menampik
dengan gemetar yang masih, dan, mengatakan bahwa
itu akan menyembuhkannya dari kutukan roh leluhur.