Anda di halaman 1dari 7

LTM MPKT A

ETIKA

Disusun oleh:

Rizqy Agusta Primananda


1606909271
Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
ETIKA

Etika tampaknya bukan istilah yang asing dalam kehidupan keseharian. Namun,
pemahaman atasnya seringkali terbilang kabur atau kurang jelas. Etika kadang dianggap
serupa dengan etiket. Moral pun turut dinilai sebagai etika. Bahkan, istilah kode etik yang
banyak digaungkan para anggota dewan, dan pekerja di instansi tertentu banyak
menyamakannya dengan etika. Begitupun dengan nilai dan norma yang masih dianggap sama
pengertiannya dengan etika. Pertanyaan selanjutnya tentu, apa itu etika? Sebelum
menerangkan definisi atau pengertian lengkapnya, mari sepakat etika bukan etiket, kode etik,
moral, nilai, dan norma. Bahkan, etis dalam pengertian umum pun cenderung tertuju pada
etiket, dibanding etika. Misalnya saja, suatu waktu seorang artis berlaku yang tidak sesuai
tata krama, lalu ada komentar, dia tidak etis! Ungkapan etis itu lebih merujuk pada etiket,
daripada etika yang akan dibahas dalam tulisan ini. Jika sudah sepakat, tampaknya perlu
diperjelas pengertian dari etiket, kode etik, nilai, norma, dan moral. Pertama, etiket
merupakan serapan dari bahasa Perancis dan Inggris, etiquette, yaitu ketentuan yang
mengatur sikap sopan dan santun. Aturan itu disepakati sekelompok masyarakat, dibuat untuk
mengatur tingkah laku individu dalam relasi dengan sesamanya dalam kehidupan keseharian.
Dalam kalimat lain, etiket merupakan seperangkat aturan yang menunjukkan perilaku yang
disepakati masyarakat.

Ketentuan itu dilakukan dalam kehidupan keseharian, mulai dari menulis status di
sosial media seperti twitter, atau saat melansir foto di instagram, tentu pada saat menulis surat
elektronik/email. Etiket juga ditemukan pada table manner, yaitu tata cara makan dan
minum saat perjamuan. Pengetahuan mengenai etiket dapat diturunkan melalui kebiasaan,
tradisi, dan pendidikan. Artinya, etiket dalam satu komunitas tertentu dapat berbeda dengan
kelompok masyarakat lain. Dengan demikian, etiket sebagai perangkat aturan ditentukan oleh
kesepakatan masyarakatnya. Sementara itu, bagaimana dengan kode etik? Ungkapan
pelanggaran kode etik sering ditemui dalam pemberitaan media, misalnya saja saat ada
pejabat negara yang menerima gratifikasi. Pengertian kode etik sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan etiket. Namun, cakupan kode etik lebih khusus ke komunitas profesional
tertentu, misalnya saja lembaga, instansi pemerintah, perusahaan, universitas, sekolah, dan
tempat lain yang memperkerjakan para tenaga ahli dan profesional. Kode etik atau code of
conduct (CoC) merupakan pedoman menjaga prinsip profesionalitas dalam bekerja. Artinya,
kode etik itu tidak hanya menjadi acuan dalam mengerjakan tugas sesuai standar yang
ditetapkan, tetapi turut mengatur sikap saat berelasi dengan sesama pekerja juga pihak lain
yang terkait. Misalnya saja, kode etik jurnalistik mengharuskan para pewarta berita untuk
independen, berimbang, dan memiliki itikad baik dalam menuliskan berita. Seorang jurnalis
juga harus menerapkan sikap profesional dalam tugas jurnalistiknya. Sikap profesional itu
diantaranya: 1. Menunjukkan identitas ke narasumber; 2. Menghormati hak privasi; 3. Tidak
menyuap; 3. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; 4. Tidak merekayasa
berita, tidak melakukan plagiat; 5. Menghormati pengalaman traumatik narasumber.
Perlu dipahami, kode etik tidak berlaku umum atau universal. Namun, pedoman itu
bergantung pada jenis profesi dan bidang pekerjaannya. Tentunya, kode etik seorang jurnalis
berbeda dengan pedoman yang mesti ditaati dosen dan mahasiswa di lingkungan universitas.
Contohnya saja, kode etik dosen Universitas Indonesia disusun mencakup empat bidang,
yaitu terkait profesionalisme, universitas, mahasiswa, dan masyarakat. Kode etik dosen
terkait profesionalisme, diantaranya, jujur, disiplin, objektif dan adil saat menjaga hubungan
profesional, apresiatif terhadap kolega, jujur, dan tidak melakukan plagiat. Sementara itu,
kode etik dosen terkait mahasiswa, yaitu menghargai mahasiswa secara personal dan mitra
intelektual (Pedoman Mutu Akademik Universitas Indonesia, 2007). Pelanggaran kode etik,
dengan begitu, tidak melibatkan hukum negara, atau sanksi sosial dari seluruh
masyarakat.
Sanksi pelanggaran kode etik diberikan pihak lembaga atau instansi tempat bekerja tersebut,
biasanya melalui sidang dan putusan dari Dewan Kehormatan (DK) lembaga.
Konsep lain yang pemahamannya sering disamakan dengan etika adalah nilai dan
norma. Kedua konsep itu sebenarnya juga sering dipergunakan dalam pengertian yang
dianggap serupa. Namun, nilai dan norma merupakan konsep yang memiliki pengertian
berbeda. Nilai atau value merupakan standar universal dalam bersikap dan bertindak.
Maksudnya, nilai tidak dibatasi oleh batas geografis, atau komunitas tertentu. Nilai juga tidak
dibatasi oleh waktu. Nilai dari masa Yunani Kuno, hingga Abad Kontemporer dipahami
dalam pengertian yang sama. Contoh nilai diantaranya, keadilan, kejujuran, kebaikan,
kebenaran, keindahan, kebebasan, dan kepedulian. Sisi lain, norma atau norms merupakan
arahan (guidelines) bertindak yang disepakati oleh komunitas tertentu. Dengan begitu, norma
berbeda dengan nilai. Norma tidak bernilai universal, melainkan partikular. Norma
bergantung pada konteks waktu, sejarah, tradisi, kebudayaan, wilayah geografis dari
komunitas tertentu. Norma memberi panduan bagaimana individu bertindak, yaitu apa yang
harus dilakukan dan tidak. Norma memang terhubung dengan nilai, misalnya saja, larangan
tidak boleh mencontek. Nilai yang terkandung dalam norma itu misalnya, kejujuran,
kebenaran, dan keadilan. Sekilas, norma tampak serupa dengan etiket. Namun, keduanya
berbeda terutama dalam cakupan aturannya. Etiket mengarahkan agar individu bersikap
sopan dan santun. Sementara itu, norma tidak sebatas mengatur cara
bersikap, tetapi lebih jauh ke pedoman bertindak. Konsep terakhir yang sering disamakan
pengertiannya dengan etika adalah moral. Dalam konteks ini, moral memang terkait erat
dengan etika. Walau, moral bukan etika. Moral merupakan panduan yang mengarahkan
individu memutuskan mana tindakan baik dan buruk.Tentunya, putusan baik dan buruk itu
dilandasi beragam faktor dan sumber. Ada yang mendasari moral pada teks suci agama, nilai,
atau norma yang berkembang di masyarakat. Dalam moralitas, sering ditemui istilah immoral
dan amoral. Keduanya punya pengertian berbeda. Individu yang bertindak tidak sesuai
dengan aturan moral disebut immoral, tetapi perbuatan seseorang yang tidak memuat dimensi
moralitas disebut amoral.

Contoh terkait moral, membunuh itu salah, sementara memberi makan orang
kelaparan itu baik. Pembenaran atau justifikasi terhadap putusan baik dan buruk itu dapat
melihat pada konsep nilai atau dari aturan agama. Maksudnya, pembunuhan itu buruk karena
melanggar nilai kebebasan dan kehidupan dari individu lain. Begitupun halnya dengan
memberi makan ke orang kelaparan dianggap baik karena sesuai dengan nilai kebaikan.
Justifikasi moral juga dapat diberikan teks suci dari agama. Misalnya, membunuh itu buruk
karena dalam aturan agama pembunuhan itu dilarang. Moralitas berhenti pada satu putusan
baik dan buruk. Kebenarannya dianggap final dan tidak dapat diperdebatkan.
Persoalannya kemudian, seseorang banyak dihadapkan pada putusan yang tidak mudah
ditentukan baik dan buruknya. Dunia keseharian yang dijalani tiap orang seringkali tidak
bernilai hitam atau putih, benar atau salah. Ada semacam keraguan dalam menentukan
apakah suatu tindakan itu baik atau buruk. Kondisi semacam itu yang dinamakan sebagai
dilema moral (moral dilemma), yaitu kondisi dilematis dalam menentukan putusan moral.
Dalam kebuntuan itu, etika hadir sebagai alat atau perangkat memahami, mengkaji,
atau menganalisa suatu putusan moral. Etika berupaya membantu seseorang memahami
alasan, sumber, justifikasi, akar, dan status dari suatu putusan moral. Dengan demikian, etika
sering disebut sebagai filsafat moral. Dalam konteks ini, sederhananya, filsafat adalah
aktivitas atau perangkat untuk mengkaji secara analitis, radikal, dan komprehensif suatu
fenomena.
Etika disebut sebagai filsafat moral karena objek kajiannya adalah moralitas, misalnya
saja mengapa suatu putusan dianggap baik atau buruk? Apa pembenaran atau justifikasinya?
Bagaimana seseorang memahami nilai baik dan buruk tersebut?
Beranjak dari ulasan tersebut, tulisan selanjutnya akan membahas etika lebih
mandalam. Ada tiga bagian utama dalam tulisan ini. Bagian pertama akan mengulas definisi
etika, penempatannya dalam filsafat, dan ruang lingkupnya. Bagian kedua akan memetakan
sejarah pemikiran dari etika. Bagian ketiga memuat dua aliran etika yang cukup dominan,
yaitu Deontologi dan Utilitarian, serta bagaimana keduanya mengatasi dilema moral dalam
menentukan suatu tindakan.

Definisi dan Ruang Lingkup Etika


Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebelumnya, filsafat memiliki tiga sistematika
ataupembagian pemikiran, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Sederhananya,
ontologi berbicara mengenai status keberadaan suatu fenomena (the existence of being),
sementara epistemologi mempersoalkan pengetahuan (knowledge), ilmu pengetahuan
(science), kebenaran (truth), dan pembenarannya (justification). Sistematika terakhir adalah
aksiologi, yaitu bagian dari filsafat yang mempersoalkan nilai. Aksiologi terdiri atas dua
kajian, yaitu estetika dan etika. Kedunya mempersoalkan nilai, tetapi estetika fokus pada satu
nilai tertentu, yaitu keindahan (beauty). Dengan begitu, pembahasan dalam estetika terkait
dengan seni, karya seni, dan putusan estetis (asthetical judgment). Estetika tidak membahas
mengenai nilai terkait tindakan atau perbuatan seseorang. Problem nilai dalam tindakan itu
yang menjadi ranah etika. Istilah etika sendiri berakar dari kata bahasa Yunani, ethikos
dan (h) thiktekhn), berarti ilmu mengenai moralitas (science of morality). Sebagai bagian
dari filsafat, etika hadir dengan mengajukan pertanyaan mengenai moralitas. Pertanyaan itu
diantaranya, bagaimana seharusnya seseorang menjalani kehidupannya?; tindakan mana
yang baik dan buruk dalam situasi dan kondisi tertentu?; bagaimana seseorang dapat
memahami suatu tindakan itu baik dan buruk?; apa yang dimaksud dengan kebaikan?;
mengapa seseorang harus berlaku baik? Pertanyaan semacam itu yang berusaha dijawab
sejumlah pemikiran dalam etika. Singkatnya, etika merupakan bagian dari penyelidikan
filsafat (philosophical inquiry), yaitu kapasitas untuk berpikir kritis, radikal atau mendalam,
dan analitis mengenai putusan moral dan nilai dari tindakan individu.
Pembahasan mengenai etika sendiri sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
metaetika, etika normatif, dan etika terapan. Metaetika merupakan bagian yang melacak
asumsi dasar dari suatu pemikiran etika, konsep etika, dan justifikasi dari konsep tersebut.

Sederhananya, metaetika mengkaji teori yang ada di dalam etika. Wilayah kedua adalah etika
normatif. Etika normatif adalah bagian berisi teori mengenai justifikasi atau pembenaran dari
suatu putusan moral. Umumnya, teori dalam etika normatif akan menjelaskan suatu putusan
moral itu berlandaskan pada kewajiban yang harus dipatuhi atau konsekuensi dari suatu
tindakan. Terakhir, etika terapan mempersoalkan sejumlah isu kontroversial yang
membutuhkan analisis mendalam menggunakan perangkat teori etika. Isu kontroversial dan
dilematis itu misalnya saja, aborsi, pengayaan nuklir, hukuman mati, atau hak animal dan
lingkungan. Dalam pembahasannya, etika terapan menunjukkan bagaimana penggunaan
suatu teori etis sifatnya kasuistik, atau bergantung pada kasus tertentu yang dihadapi.
Peter Singer (1946) dalam bukunya Practical Ethics menjelaskan urgensi etika terletak
pada kompleksitas dalam kehidupan keseharian (Singer, 2011). Maksudnya, seseorang
terbiasa dihadapkan pada situasi yang tidak lantas mudah menentukan, bahkan membedakan
mana tindakan yang baik dan buruk. Misalnya saja, mencuri itu buruk. Namun, bagaimana
dengan mencuri dari seorang koruptor? atau mencuri dari seorang pencuri? Contoh lain,
membunuh itu buruk. Akan tetapi, persoalannya bagaimana saat pembunuhan itu dilakukan
untuk mempertahankan hidup diri sendiri (selfdefense)? Sama halnya dengan kasus,
berbohong itu buruk! Namun, bagaimana jika situasinya, seseorang itu berbohong agar
tidak dibunuh. Tentu ragam posisi dilematis itu yang menjadi urgensi atau dorongan etika
dibutuhkan untuk mengkaji suatu putusan moral.

Sejarah Pemikiran Etika


Sebagai bagian dari filsafat, pembahasan mengenai pemikiran etika dapat pula dirujuk
dari sejarahnya. Pembahasan mengenai etika telah dimulai dari masa Yunani Kuno dan
berkembang hingga era kontemporer atau saat ini. Bagian ini akan membahas kajian etika
pada
triadik SokratikPlatoAristoteles dan pemikir masa Helenistik lainnya, yaitu Epikurus, Kaum
Stoa, dan Diogenes dari kaum Sinis (Cynics). Pembahasan awal mengenai etika dimulai dari
sejumlah konsep kunci, yaitu virtue atau arte, dan happiness atau eudaimonia. Kedua
konsep
itu berusaha menunjukkan alasan seseorang mesti berbuat baik. Pengertian virtue secara
literal
adalah keutamaan.

Dilema Moral
Urgensi etika dimulai saat seseorang dihadapkan pada kondisi dilematis memutuskan
tindakannya dan menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Bagian ini merupakan
sejumlah dilema moral yang dapat ditemukan dalam kehidupan keseharian. Penyelesaian atas
dilema ini pun dapat bersandar pada sejumlah teori etika yang telah dipaparkan dalam ulasan
sebelumnya. Dilema moral yang dimaksud, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Dilema moral ini cukup terkenal, sering disebut a sinking boat dilemma. Anda
sedang berada di atas kapal berisi 20 orang. Kapal itu hanya punya satu sekoci yang
mampu mengangkut 15 orang. Artinya, lima orang harus tetap di kapal agar 15
orang itu tetap selamat. Namun artinya, lima orang itu harus dikorbankan dan mati
tenggelam. Dalam kondisi genting itu, para penumpang terpecahbelah, ada yang
merasa tidak boleh ada satu nyawa pun yang dikorbankan. Namun, pihak lainnya
berkeyakinan jumlah korban yang lebih sedikit setimpal dengan banyak pihak yang
selamat. Para penumpang di kapal itu terdiri atas banyak jenis orang, misalnya
akademisi, anak kecil, bayi, residivis, narapidana, penyandang difabilitas, pedagang,
ibu hamil, pelajar, pekerja bangunan, buruh, wartawan, nahkoda kapal, dan anak
buah kapal. Bagaimana anda membuat pilihan? Apakah memilih salah satu
kelompok penumpang tersebut atau diam tidak membuat pilihan?
2. Dilema ini dapat disebut sebagai robinhood dilemma. Sebut saja anda merupakan
saksi mata seorang pencuri di suatu bank. Namun, anda mengetahui pencuri itu dan
kehidupan lain yang ia jalani. Anda mengerti bahwa pencuri itu melakukan
kejahatannya demi membantu hidup para anak yatim piatu, para kaum fakir dan
miskin di pemukiman kumuh untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya, misalnya
makanan. Akan tetapi, apakah anda tetap memilih diam dan membiarkan pencuri itu
terus melakukan kejahatannya? Atau, anda dapat melapor dan berkata jujur ke
polisi sehingga uang masyarakat yang dicuri dapat dikembalikan?
3. Dilema ini terkait dengan seorang koruptor. Anda mengenal seorang teman yang
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Direktorat Pajak. Teman anda suatu
waktu mendirikan Mesjid dan Klinik yang memberi layanan kesehatan gratis. Anda
memahami fasilitas tersebut memiliki manfaat bagi orang banyak. Namun, suatu
ketika, anda mengetahui bahwa teman anda mendapat sogokan dari para
pengusaha pengemplang pajak. Apakah anda akan melapor ke instansinya dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau pihak kepolisian mengenai tindak korupsi
dari teman anda? Persoalannya jika anda melapor, seluruh fasilitas yang dibangun
dan berguna untuk masyarakat itu akan disita dan disegel sehingga tidak dapat
digunakan. Dengan begitu, apakah anda akan memilih diam?
4. Dilema ini mungkin sering ditemukan dalam keseharian. Anda tengah menjalani
ujian tertulis. Sebelum ujian anda telah belajar keras dan giat agar mampu
menjawab pertanyaan yang diberikan. Dalam proses ujian, anda mendapati
beberapa teman tengah mencontek dan bertukar jawaban. Beberapa teman lain
juga terlihat sedang mencari jawaban di telepon genggamnya. Pertanyaannya,
apakah anda akan diam dan mengabaikan itu semua? Pilihan lain, anda akan
menyelesaikan ujian dan melapor ke pengawas atau pengampu mata kuliah bahwa
beberapa teman anda tidak jujur dalam menjalani ujian? Namun, konsekuensi
pilihan kedua, anda akan dibenci sebagian besar teman, dianggap pengadu, dan
dikucilkan. Empat kasus ini merupakan contoh dilema moral yang tidak mudah ditentukan
nilai baik dan buruknya. Etika dalam mengatasi situasi itu tentu penting karena berfungsi
sebagai perangkat mencari pemecahan masalah.

Kesimpulan
Pemikiran mengenai etika terus berlanjut dan memiliki banyak percabangan hingga
saat ini. Nyaris di seluruh profesi dan disiplin keilmuan memiliki dimensi etika, misalnya saja
Etika Kedokteran, Etika Jurnalistik, juga Etika Dunia Virtual (Cyberethics). Percabangan
pemikiran etika itu terjadi karena kemajuan teknologi dan relasi antara manusia dan makhluk
hidup lain semakin kompleks. Satu hal yang dapat disadari dalam kajian etika, dunia yang
dihadapi tidak bersifat netral dan bebas nilai (value free). Segala sesuatu yang melibatkan
tindakkan memiliki dimensi nilai yang dapat dipertanyakan kondisi baik atau buruknya.

DAFTAR PUSTAKA
Aristotle. (2004). Nichomacean Ethics. Cambrigde: Cambrigde University Press.
Donald, P. (2006). Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of Philosophy Made
Lighter. New
York: MacGrawHill.
Hardiman, F. B. (2012). PemikiranPemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta:
Erlangga.
Palmer, D. (2006). Looking at Philosophy. New York: McGrawHill.

Anda mungkin juga menyukai