Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi
maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh
selepas aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu
sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sangat
tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun
berwarna-warni.
Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri
yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan
mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum.
Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan
kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan
solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada
aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.
Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci
Al-Qur'an yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sanggat jelas sekali
menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang
jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan
memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung.
Melihat pada bahasan singkat diatas penulis berminat untuk membahas lebih lanjut
tentang konsep transaksi syariah.1
MATERI I
MUDHARABAH
b. Sumber Hukum
1) Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarkanlah kamu dimuka bumi
dan carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).”
(QS 2:198).
2) As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tanngguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3) Ijma
Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah,
perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
4) Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seorang untuk
mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin ada pula yang
kaya, disuatu sisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan
hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi
tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan
antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni
untuk kemashalatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
c. Rukun Mudharabah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul,
yakni lafad yang menunjukan ijab dan qobul dengan menggunakan mudharabah,
muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang
melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shiqad (ijab dan qabul),
sedanngkan ulama syafi’iyah lebih merici lagi menjadi lima rukun yaitu: modal,
pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad.
c. Jenis Mudharabah
Jenis Mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu: mudharabah
Muthalaqoh, Mudharabah Muqayyadah, dan Mudharabah Musytarakah.
1. Mudharabah Muthalaqoh adalah mudharabah di mana pemilik dananya
memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola
investasinya. Dan mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.
2
http://www.koperasisyariah.com/definisi-mudharabah/
2. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi,
cara, atau objek investasi atau sektor usaha.
3. Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana
menyerahkan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.
d. Sifat Mudharabah
Ulama fiqih sepakat bahwa akad dalam mudharabah sebelum dijalankan oleh
pekerja termaksud akad yang tidak lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja, diantara
ulama terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat termaksud akad yang lazim,
yakni dapat diwariskan seperti pendapat imam malik, sedangkan menurut ulama
syafi’iyah, malikiyah dan hanabilah akad tersebut tidak lazim, yakni tidak dapat
diwariskan.
3. Syarat-syarat Laba
a. Laba harus memiliki ukuran
Mudharabah yang dimaksudkan untuk mendapatkan laba, dengan
demikian pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5000,00
misalnya untuk dibagi diantara keduanya tanpa menyebutkan ukuran laba
yang diterimanya.
b. Laba harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum,
seperti kesepakatan diantara orang yang melangsungkan akad bahwa
setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedanngkan setengah lainnya
lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi tidak boleh menetapkan
jumlah tertentu bagi satu pihak lain, seperti menetapkan laba Rp.1000 bagi
pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.
C. Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi dua yaitu: Mudharabah Sahih dan Mudharabah Fasid
1) Hukum mudharabah fasid
Beberapa hal dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
a) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli,
menjual, atau mengambil barang
b) Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga
pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya
c) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan
harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya
Dalam mudharah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan karena yang
dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk kerugian (loss). Sehingga untuk
pembahasan selanjutnya akan digunakan istilah prinsip bagi hasil seperti yang digunakan
dalam Undang-Undang No.10 tahun 1998, karena apabila usaha tersebut gagal kerugian
tidak dibagi diantara pemilik dana dan pengelola dana tetapi harus ditanggung sendiri
oleh pemilik dana.
Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan
penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi
hasil atas realisasi penghasilan hasil usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan
mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha. Jika mudharabah melebihi satu periode
pelaporan, penghasilan usaha diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai
nisbah yang disepakati.
MATERI II
3
Syafe’i, rachmad. 2002. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia. Hal 229-238.
MUSYARAKAH
A. KARAKTERISTIK
1. Musyarakah hampir sama dengan Mudharabah.
2. Musyarakah adalah akad kerjasama diantara para pemilik modal, yang
mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan.
3. Di dalam Musyarakah terdapat “Mitra (Pengusaha/calon pengusaha) &
Pemilik dana (Bank)”.
4. Pembiayaan Musyarakah berupa ; Kas, setara kas, aset nonkas, aktiva tidak
berwujud (lisensi & hak paten).
5. Sifat Musyarakah permanen/menurun.
a. Musyarakah Permanen = Bagian modal setiap mitra ditentukan sesuai
akad dan jumlahnya tetap, hingga akhir masa akad.
b. Musyarakah Menurun (Musyarakah Mutanaqisha) = Bagian modal
pemilik dana/bank akan dialihkan secara bertahap kepada mitra. Sehingga
bagian modal pemilik dana/bank akan menurun & pada akhir masa akad,
mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut.
6. Laba Musyarakah dibagi diantara para mitra secara Proporsional (sesuai
dengan modal yang disetorkan/sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
semua mitra).
7. Rugi Musyarakah dibagi diantara para mitra secara Proporsional (sesuai
dengan modal yang disetorkan.
8. Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, maka setiap
mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian
atau kesalahan yang disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya
kesalahan yang disengaja adalah:
a. Pelanggaran terhadap akad, antara lain, penyalahgunaan dana investasi,
manipulasi biaya dan pendapatan operasional.
b. Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
9. Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa maka
kesalahan yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi
yang berwenang (seperti : Lembaga Pengadilan atau Lembaga Arbritase
Syariah)
10. Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra
lainnya dalam akad musyarakah maka mitra tersebut dapat memperoleh
keuntungan lebih besar untuk dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut
dapat berupa pemberian porsi keuntungan yang lebih besar dari porsi
dananya atau bentuk tambahan keuntungan lainnnya.
11. Kaitannya dengan bagi hasil, porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra
ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha yang
diperoleh selama periode akad, bukan dari jumlah investasi yang
disalurkan.
12. Untuk mengetahui bagi hasil yang dibagihasilkan antar mitra, Pengelola
musyarakah mengadministrasikan transaksi usaha yang terkait dengan
investasi musyarakah yang dikelola dalam catatan akuntansi tersendiri.
B. PENGAKUAN & PENGUKURAN MUSYARAKAH
Pengakuan dan pengukuran musyarakah telah diatur oleh PSAK 106
(2007) sebagai penyempurna PSAK 59 (2002). Berikut ini penjelasan
selengkapnya.
Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan sebagai
dasar penentuan bagi hasil, maka mitra aktif atau pihak yang mengelola usaha
musyarakah harus membuat catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha
musyarakah tersebut. (paragraf 13 PSAK 106, 2007). Untuk memperjelas
ketentuan ini, dimisalkan sebagai berikut :
PT ABC akan membuka usaha baru yaitu jasa air isi ulang. Untuk
pendirian unit usaha baru ini perusahaan ini meminta pembiayaan ke
Bank Syariah dengan akad musyarakah. Modal pendirian usaha air isi
ulang misalnya, Rp 100.000.000, perusahaan ini menyertakan modal Rp
30.000.000, dan modal dari Bank Syariah Rp 70.000.000, kesepakatan
pembagian hasil usaha berdasarkan nisbah misalnya, mitra : bank = 40 :
60. Dan bila rugi, pembagian rugi berdasarkan porsi modal masing-
masing, yaitu 30 : 70. Catatan akuntansi yang harus dibuat oleh PT
ABC tersebut adalah hanya yang berasal dari usaha air isi ulang saja,
tidak termasuk hasil dari usaha sembako tersebut. Dengan demikian,
laporan laba rugi yang akan digunakan dasar bagi hasil adalah laba rugi
dari usaha air isi ulang saja, tidak termasuk dari laba rugi usaha
sembako.
2. Selama akad
a. Bagian mitra aktif atas investasi musyarakah dengan pengambilan
dana mitra pasif di akhir akad dinilai sebesar :
a) Jumlah kas yang diserahkan untuk usaha musyarakah pada awal
akad dikurangi dengan kerugian (jika ada); atau
b) Nilai ajar asset musyarakah nonkas pada saat penyerahan untuk
usaha musyarakah setelah dikurangi penyusutan dan kerugian (jika
ada).
b. Bagian mitra aktif atas investasi musyarakah menurun (dengan
pengembalian dana mitra pasif secara bertahap) di nilai sebesar
jumlah kas atau nilai wajar asset nonkas yang diserahkan untuk usaha
musyarakah pada awal akad ditambah dengan jumlah dana syirkah
temporer yang tidak dikembalikan kepada mitra pasif dan dikurangi
kerugian (jika ada).
3. Akhir akad
Pada saat akhir akad diakhiri, investasi musyarakah yang belum
dikembalikan kepada mitra pasif diakui sebagai kewajiban.
Jurnal yang dibuat :
Debit : Dana syirkah temporer xxx
Kredit : Utang kepada mitra pasif (bank syariah) xxx
4. Pengakuan Hasil Usaha
Pengakuan hasil usaha musyarakah baik yang menguntungkan maupun yang
merugikan telah diatur PSAK 106 (2007) sebagai berikut :
a. Pendapatan usaha musyarakah yang menjadi hak mitra aktif diakui
sebesar haknya sesuai dengan kesepakatan atas pendapatan usaha
musyarakah. Sedangkan pendapatan usaha untuk mitra pasif diakui
sebagai hak pihak mitra pasif atas bagi hasil dan kewajiban.
b. Kerugian investasi musyarakah diakui sesuai dengan porsi dana masing-
masing mitra dan mengurangi nilai asset musyarakah.
c. Jika kerugian akibat kelalaian atau kesalahan mitra aktif atau
pengelola usaha, maka kerugian tersebut ditanggung oleh mitra pasif
atau pengelola usaha musyarakah.
d. Pengakuan pendapatan usaha musyarakah dalam praktek dapat diketahui
berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi pendapatan usaha dari
catatan akuntansi mitra aktif atau pengelola usaha yang dilakukan secara
terpisah.
Berikut ini diberikan ilustrasi bagi hasil usaha.
Dibawah ini laporan laba rugi mitra aktif PT MAJU pada tahun 2011.
Penjualan Rp.500jt
Harga pokok penjualan Rp.200jt
Laba kotor Rp.300jt
Biaya operasi Rp.150jt
Laba operasi Rp.150jt
Laba dibagi berdasar nisbah Bank : PT MAJU = 40 : 60 atas dasar laba
kotor.
Perhitungan bagi hasil :
Bank Syariah : 40% x Rp 300jt = Rp 120jt
PT MAJU : 60% x Rp 300jt = Rp180jt
Misalnya rugi Rp 20jt ,maka rugi dibagi berdasarkan setoran modal, missal
60 : 40, maka pembagian rugi adalah :
Bank Syariah : 60% x Rp 20jt = Rp 12jt
PT MAJU : 40% x Rp 20jt = Rp 8jt
Jurnal yang harus dibuat oleh mitra aktif PT MAJU :
BILA LABA :
Debit : Bagi hasil musyarakah Rp 120jt
Kredit : Utang bagi hasil musyarakah Rp 120jt
BILA RUGI :
Untuk Bank Syariah :
Debit : Kerugian musyarakah Rp 12jt
Kredit : Investasi musayarakah Rp 12jt
Untuk Mitra Aktif :
Debit : Dana Syariah dan Temporer Rp 8jt
Kredit : Transaksi Musyarakah Rp 8jt
3. Akhir Akad
Pada akhir akad, investasi musyarakah diakui sesuai dengan PSAK
106(2007) sebagai berikut:
Pada saat akad diakhiri, Investasi musyarakah yang belum dikembalikan
oleh mitra aktif diakui sebagai piutang.
Jurnal yang dibuat oleh mitra pasif bank syariah adalah:
2. Mitra pasif menyajikan hal-hal sebagai berikut yang terkait dengan usaha
musyarakah dalam laporan keuangan.
a) Kas atau asset non kas yang diserahkan kepada mitra aktif disajikan
sebagai investasi musyarakah.
b) Keuntungan tangguhan dari selisih penilaian asset non kas yang
diserahkan pada nilai wajar yang disajikan sebagai pos lawan (contra
account) dari investasi musyarakah.
Berikut format Investasi musyarakah di neraca pengelola pasif
per 31 Desember 20xx
BANK SYARIAH ABC
NERACA
PER 31 DESEMBER 2011
MATERI III
JUAL BELI
A. Latar Belakang
Kita telah mengetahui dua kaidah hukum asal dalam syari’ah. Dalam ibadah,
kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada
ketentuannya berdasarkan al-qur’an dan al-hadist. Sedangkan dalam urusan
muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Ini berarti
ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum
islam, maka transaksi tersebut di anggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi
dari dalil Al-quran dan hadist yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Dengan demikian, dalam bidang mu’amalah, semua transaksi dibolehkan
kecuali yang diharamkan. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini
menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik
untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada
umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada
aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam
dunia bisnis. Padahal secara tegas Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa
perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan
keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya
merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami,
bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut
ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam memberikan
kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram).
A. Praktik Bisnis yang Dilarang
Dalam Syariah, Nabi telah melarang kita dari beberapa jenis usaha tertentu
karena di dalamnya mengandung dosa dan apa yang di dalamnya terdapat bahaya
bagi manusia dan mengambil harta secara tidak adil. Beberapa jenis transaksi yang
dilarang adalah :
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal.
3. Persaingan yang tidak fair
4. Pemalsuan dan penipuan
1. Haram Zatnya
Transaksi di larang karena objek (barang atau jasa) yang di transaksikan juga
dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi,
transaksi jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya sah.
Contohnya, bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman
keras kepada bank dengan menggunakan akad murabahah, maka walaupun akadnya
sah tetapi transaksi ini haram karena objek transaksinya haram.
2. Haram Selain Zatnya
a. Melanggar Prinsip “An Taradin Minkum” Tadlis (penipuan)
Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara
kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang
sama sehingga tidak ada pihak yang merasa di curigai (ditipu) karena terdapat
kondisi di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
lain. Tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: 1) Kuantitas 2)
Kualitas 3) Harga dan 4) Waktu penyerahan.
b. Melanggar prinsip ‘la tazhlimuna wa la tuzhlamun’
Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar adalah prinsip la tazhlimuna wa la
tuzlamun, yakni jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-praktik yang
melanggar prinsip ini di antaranya:
a) Taghrir (gharar)
Gharar atau disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi ketidakpastian
dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis, yang terjadi adalah pihak
A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik
pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu
yang ditransaksikan. Gharar ini terjadi bila kita memperlakukan sesuatu yang
seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti.
b) Rekayasa pasar dalam supply (ikhtikar)
Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen/penjual
mengambil keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk
yang di jualnya naik. Hal ini adalah istilah fiqih disebut ikhtikar.
Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen / penjual lain
masuk pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itu,
biasanya orang menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan, padahal
tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar.
BULOG juga melakukan penimbunan, tetapi justru untuk menjaga
kestabilan harga dan pasokan. Demikian pula dengan Negara apabila memonopoli
sektor industri yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, bukan
dikategorikan sebagai ikhtikar. Agama melarang kita menimbun barang saat
orang membutuhkan. Namun praktek bisnis ini justru sering terjadi di negeri kita
sendiri. Di saat orang kesulitan bahan bakar gas misalnya, ternyata di pihak lain
ada yang menimbun. Tujuannya hanya untuk mendapatkan harga jual yang lebih
tinggi ketika produk sudah langka di pasaran. Padalah rasul telah bersabda,
”Tidak ada yang menimbun barang ketika dibutuhkan kecuali orang yang
berdosa” (HR Muslim).
Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi;
1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau
mengenakan entri-barriers
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya
kelangkaan.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 & 2 dilakukan.
1. Definisi Ijarah
Menurut pendapat Maliki,Syafi’I dan Hambali Menyewakan barang
hukumnya di perbolehkan oleh semua ulama,Dan akadnya harus di kerjakan oleh
kedua belah pihak. setelah akadnya sah maka salah satunya tidak boleh
membatalkanya, meskipun karena suatu uzur ,(halangan). kecuali terdapat sesuatu
yang mengharuskan akad menjadi batal, seperti terdapat cacat pada barang atau
yang di sewakan. Misalnya seseorang yang menyewa rumah, lalu di dapati bahwa
rumah tersebut sudah tidak layak, atau yang menyewakan mendapati cacat pada
uang sewaan. Jika demikian, yang menyewakan boleh memilih (khiyar) antara di
teruskan atau tidak di persewakan.
Hanafi dan para pengikutnya menyatakan bahwa penyewaan boleh di
batalkan karena adanya suatu uzur yang terjadi,walaupun dari pihak pihak
penyewa. Seperti, ia akan menyewa suatu warung atau kios untuk berdagang, lalu
hartanya terbakar atau tercuri atau di rampas orang, atau bangkrut ia boleh
membatalkan penyewaannya.
Menurut pendapat mazhab Syafi’iyah dan al-Hambaliah apabila
sesorang menyewa binatang atau rumah, atau warung atau kios untuk suatu
waktu yang telah di tentukan dengan uang sewa yang telah di tentukan juga,
tetapi keduanya tidak mensyaratkan untuk segera membayar sewa dan tidak di
tentukan juga penetapan bayaran uang sewa tersebut, yang menyewakan berhak
menerima uang sewa dengan semata mata terjadinya akad.dan apabila yang di
sewakan telah di serahkan kepada penyewa, berhaklah yang menyewakan
menerima semua uang sewanya,sebab ia telah memiliki manfaat dengan
terjadinya akad penyewaan.dan uang sewa harus di serahkan kepada yang
menyewakan.
Apabila seseorang menyewakan suatu benda (barang) dalam masa waktu
yang telah di tentukan, kemudian di jualnya kepada orang lain, penjualannya
tidak sah. Menurut Hanafi, tidak boleh menjualnya, dan bagi orang yang
menyewa boleh memilih, antara membolehkan penjualan, membatalkan
penyewaan atau menolak penjualan dan meneruskan
penyewaan. Menurut pengarang al-ifsah, imam Hurairah: tidak boleh di jual
barang sewaan itu, kecuali dengan kerelaan orang yang menyewanya, atau orang
yang menyewakan itu mempunyai utang, lalu dipenjarakan oleh hakim atas sebab
utangnya, kemudian hakim menjual barang tersebut untuk membayar utangnya.
Menurut pendapat Maliki,tidak diperbolehkan menyewakan tanah
dengan menerima hasil tumbuh-tumbuhan yang di peroleh dari tanah tersebut
sebagai sewanya, demikian pula dengan makanan, seperti ikan madu, gula dan
lain-lain dari jenis makanan1
Ijarah secara etimologi adalah masdar dari kata (ajara-yariju), yaitu upah
yang diberikan sebagai kompensansi sebuah pekerjaan. Al-ajru berarti upah atau
imbalan untuk sebuah pekerjaan. Al-ajru makna dasarnya adalah pengganti, baik
yang bersifat materi maupun immateri.2
Al-Syarbini mendefinisikan ijarah sebagai berikut:
“akad untuk menukar manfaat suatu barang dengan sesuaru, dimana manfaat
tersebut merupakan manfaat yang halal dan di perbolehkan oleh syara”3
Pernyataan di atas intinya memberikan pemahaman bahwa ijarah adalah
akad untuk memberikan pengganti atau kompensasi atas pengguna manfaat suatu
barang. Ijarah merupakan akad kompensasi terhadap suatu manfaat barang atau
jasa yang halal dan jelas. 4 Sementara itu, kompilasi hukum Ekonomi Syariah
(KHES) pasal 20 mendefinisikan “ijarah adalah sewa dalam jangka waktu
tertentu dengan pembayaran” 5
6
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi di Indonesia,(Jakarta:Salemba Empat,2008), Hal.208-209
tukang jahit, tukang binatu dan lain semisalnya. Orang yang menyewakan
manfaat disebut muajjir (orang yang meyewakan), orang yang menyewa disebut
musta’jir (orang yang menyewa). Adapun sesuatu yang diakadkan untuk diambil
manfaatnya adalah ma’jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai
imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah(upah)
Manakala akad sewa menyewa telah berlangsung, maka penyewa sudah
berhak untuk mengambil manfaat. Orang yang menyewakan berhak pula untuk
mengambil upah,karena akad ini adalah akad mu’awadhah (penggantian)7
A. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpimdahan manfaat (hak guna), bukan
perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja
dengan prinsip jual beli, tapi perbedaaya terletak pada objek transaksi nya. Bila
pada jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya adalah
barang maupun jasa.
Pada dasarnya, ijarah di definisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. 8 menurut fatwa dewan syariah
Nasional, ijarah adalah akad pemidahan hak guna manfaat atas suatu barang atau
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tnpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 9dengan demikian, dalam akad ijarah
tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari
yang menyewakan kepada penyewa.
B. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat- syarat
akad atau menurut kelaziman penggunanya. Penyewa juga wajib menjaga barang
yang di sewakan agar tetap utuh.bagaimana dengan perawatan barang yang
disewa? Secara prinsip tidak boleh dinyatakan
7
Sayyidas-Sabiq,Fiqh al-Sunnah,(Beirut: Dar al-Fikr,1995), Jilid 3,Hal.114
8
Adiwarman A. Karim, BANK ISLAM Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2004), Hal.137-138.
9
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No.9/DSN-MUI/IV/2000 Tentang pembiayaan
ijarah.lihat dalam himpunan fatwa dewan syariah nasional untuk lembaga keuangan syariah, edisi
pertama, 2001, DSN-MUI, BI, hlm. 55. Sebagaimana di kutip oleh Adiwarman A. Karim, BANK
ISLAM Analisi Fiqih dan Keuangan,….. Hal.138
dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas perawatan karena ini berarti
penyewa bertangung jawab atas perawatan dan karna ini juga berati penyewa
bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (ghara) . oleh karena itu, ulama
berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, iya berhak
mendapatkan upah dan biaya yang wajar untuk pekerjaan itu. Bila penyewa
melakukan perawatan atas kehendaknya sendiri, ini dia nggap sebagai hadiah dari
penyewa dan ia tidak dapat meinta pembayar apapun.
C. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewanya, dapat saja harga
sewanya berubah. Bahkan yang menyewa dapat saja meminta harga dua kali lipat
dari sebelumnya. Sebaliknya, si penyewa dapat menawar setengah harga dari
harga sewa sebelumnya, semuanya tergantung kesepakatan diantara kedua belah
pihak. Namun dalam periode pertama yang telah di sepakati harga sewanya,
itulah kesepakatanya. Mayoritas ulama mengatakan, “syarat-syarat yang berlaku
bagi harga jual berlaku juga bagi harga sewa. 10
2. Dasar Hukum Ijarah
Hukum ijarah adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah
termasuk jual beli pertukaran hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah di anggap rusak, menurut ulama hanafiyah, jika
penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang
bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan
tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa
tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan
semestinya11
Akad ijarah ada dua macam, yaitu ijarah atau sewa barang dan sewa tenaga
atau jasa (pengupahan). Sewa barang pada dasarnya adalah jual
10
Adiwarman A. Karim, FIKIH EKONOMI KEUANGAN ISLAM, (Jakarta:PT DARUL
HAQ, 2001), Hal.139
11
Rachmat Syafe’I,Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) hal.131
beli manfaat barang yang di sewakan, sementara sewa jasa atau tenaga adalah jual
beli atas jasa atau tenaga yang di sewakan tersebut. Keduanya boleh dilakukan
bila memenuhi syarat ijarah12
1. Hukum Sewa-Menyewa
Dibolehkan ijarah atas mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi
dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a. Ketetapan hukum akad dalam ijarah
Menurut ulama hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan
yang sifatnya mubah. Menurut ulama malikiyah, hukum ijarah sesuai
dengan keberadaan manfaat. Ulama hanabilah dan syafi’iyah berpendapat
bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya,dan hukum tersebut
menjadikan masa sewa, seperti benda yang tampak.
b. Cara memenfaatkan barang sewaan
1. Sewa rumah
Jika seseorang menyewa rumah, di perbolehkan untuk
memanfaatkannya sesuai kemauaannya, baik di manfaatkan sendiri atau
orang lain, bahkan boleh di sewakan lagi atau di pinjamkan oleh orang
lain.
2. Sewa tanah
Sewa tanah di haruskan menjelaskan tanaman apa yang akan di
tanam atau bangunan apa yang akan di dirikan di atasnya. Jika tidak di
jelaskan ijarah di pandang rusak.
3. Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya
harus di jelaskan hal berikut,yaitu waktu dan tempat.juga harus di
jelaskan barang atau benda apa yang akan di bawa/di angkut.
c. Perbaikan barang sewaan
Menurut ulama hanafiyah, jika barang yang di sewakan rusak, contohnya
seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain lain, pemiliknya lah yang
berkewajiban memperbaikinya.namun, apabila
12
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,.........Hal.102
penyewa bersedia memperbaikinya, maka ia tidak di berikan upah sebab
dianggap sukarela.
2. Hukum upah-mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala-al-a’mal,yakni jual beli jasa, biasanya
berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah dan
lain lain. Ijara al-a’mal terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang
yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang salah
memberinya upah.
b. Ijarah musytarik
Yaitu ijarah yang di lakukan bersama-sama atau melalui kerjasama.
Hukumnya di bolehkan bekerjasama dengan orang lain. 13
Akad sewa menyewa ini disyariatkan berdasarkan Alqur’an,al- Sunnah
dan alIjma’.
Berikut ini Beberapa Firman Allah sebagaimana yang terdapat dalam al- Qur’an
mengenai ijarah:
“apakah mereka yang membagi-bagi beberapa rahmat tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat,agar sebgian dari mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan rahmat
tuhanmu lebh baik dari pada apa yang mereka kumpulkan” (Q.S. Az-Zukruf:32)
“Salah seorang dari kedua wanita itu berakata: wahai ayahku ambilah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita). Sesungguhnya orang yang paling baik
bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat di percaya”(Q.S.
Al-Qasas:26)14
“dan jika kamu ingin anakmu di susuhkan orang lain,maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberi memberikan pembayarn yang patut.
13
Rachmat Syafe’I,Fiqih Muamalah,………hal.131-134
14
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi di Indonesia,…….Hal.211
Bertkwalah kamu kepada allah dan ketahuilah bahwa allah maha melihat apa
yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Baqarah:233).15
Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang perintah memberi upah bagi para ibu
yang telah diceraikan suaminya kemudian menyusui anak dari hasil perkawinan
sebelumnya. Tradisi bangsa Arab pada zaman dahulu adalah menyusukan
anaknya kepada orang lain, dari sini muncul istilah saudara satu susuan atau ibu
susu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang disusukan kepada Halimah al-
Sa’diyah.
Ada Beberapa legalitas dari as-sunnah yang menyatakan di syariatkanya
Ijarah:
15
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,……. Hal.103
Hadis di atas menjelaskan betapa Rasulullah menghargai seseorang
yang telah memberikan tenaganya untuk dimanfaatkan oleh orang lain,
sehingga beliau mengecam orang yang memanfaatkan tenaga pekerja
dan tidak memberinya upah, dengan ancaman menjadi salah satu musuh
Rasulullah SAW di hari akhir kelak.
Fuqaha mengutip hadis Rasulullah SAW yang lain sebagai berikut:
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu kami menyewa tanah
dengan jalan membayar dengan tanaman yang tumbuh, lalu Rasulullah
SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar
membayarnya uang emas atau uang perak”.
16
Nur Amalia, Laili.“Tinjauan Ekonoi Islam Terhadap Penerapan Akad Ijarah Pada Bisnis Jasa
Laundry”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No.2.2015. Hal.171
MATERI V
Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk
diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil
keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.
4
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta: Liberty,2004)
5
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)
Yang Artinya :
“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Artinya :
” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada seorang
muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti
shodaqoh.”
Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus
membayar dan hutang itu wajib dibayar.”
“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam
beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya
kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab
Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian ,
maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)
Shighat
6
Sulaiman Rashd, Fiqh Islam,(Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)
7
Ibid
Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ariyah adalah suatu
kebolehan untuk mengambil manfaat dari benda. Dari penjelasan kedua berbeda
maksud dan tujuan dari keduanya. Utnuk pendapat yang pertama, dalam ariyah boleh
hukumnya memaksimalkan manfaat dari musta’ar (barang yang dipinjam, dan juga
dapat dipinjamkan kepada orang lain, akan tetapi untuk pendapat yang kedua hanya
dapat menggunakan manfaat dari musta’ar tanpa dipinjamkan kepada orang lain.
“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam
beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya
kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab
Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian ,
maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)
Yang arti penjelasan dari hadist ini adanya unsur kerelaan antara Mustair dan Muir atas
musta’ar, sehingga ada keridhaan jika barang yang di pinjam mengalami suatu
kecacatan.
Dari golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak
kepemilikan sebagaimana dengan gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam
hanya berhak memanfaatkannya saja, dan tidak bisa untuk memiliki bendanya. Adapun
menurut golongan pertama gadai adalah akad yang lazim atau resmi akan tetapi ariyah
adalah akad tabarru’ ( tolong menolong).
“Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya
sehingga dipenuhi.” ( HR Ahmad )
10
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bandung : Pustaka Setia, 2008)
Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang menurut ulama
Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah ketanggungan karena diantara
keduannya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada
penitipan barang yaitu dengan sebab-sebab:
11
Afzahlur Rahman, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Dani Bhakti,1996)
“Hai
orang-
12
Lihat,al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hal. 210.
13
Ibid.
14
Lihat,Qulyubi wa Umaira, Dar al-Ihya- al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth. 318.
15
Lihat, al-Bajuri, Usaha Keluarga, Semaran g. Tth. Hal. 376.
16
Lihat, Kifayah al-Akhyar, hal. 274.
17
Bermu’amalh ialah seperti jual beli, hutang-piutang, sewa-menyewa dan lain sebagainya.
18
HR.Bukhari Muslim.
19
Liahat, Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1969 hal. 212-213.
20
Ahmad Idris dalam, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986. Hal. 57-58.
Muhal ‘Alaih
(Factor/Bank)
2. invoice 5. Bayar
3. Bayar 4. Tagih
Muhal Muhil
(Penyuplai) (Pembeli)
1. Suplai Barang
Ketentuan umum al-hiwalah ini diatur dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-
MUI/IV/2000, dengan isi ketentuannya sebagai berikut :
1) Rukun hiwalah adalah muhil yaitu orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang kepada muhal, muhal atau muhtal adalah orang yang berpiutang
kepada muhil, muhal ‘alaih yaitu orang yang berutang kepada muhil dan wajib
membayar utang kepada muhtal, dan sighat (ijab kabul).
2) Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-
cara komunikasi modern.
4) Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal
‘alaih.
5) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan kdlam akad secara tegas.
6) Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalahmuhal
dan muhal ‘alaih dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
21
Lihat, Syyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 44.
22
Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Prenada Media : Jakarta). 2005. Hal.
164.
Seseoarang menggantikan (menepati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang
mengelola pada posisi itu.
Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunah 13 mendefinisikan al-wakalah sebagai pelimpahan
kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat didiwakilkan.
Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang
diwakilkan adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika
menyangkut hal yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika menyangkut hal-hal
yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting.
Dalam fiqih berdasarkan ruang lingkupnya wakalah dibedakan menjadi tiga macam:
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk
segala urusan. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas
namanya dalam urusan-urusan tertentu. Wakalah al amah, perwakilan yang lebih luas dari
al-muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al-mutlaqah.
23
Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 57-58.
1. Al-Qur’an
َ ة فَ ْليَ ْنظُ ْر أَيُّ َها أَ ْز َكىaِ َفَا ْب َعثُوا أَ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم َه ِذ ِه إِلَى ا ْل َم ِدين
……ط َعا ًما
“…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu…” (QS. Al-Kahfi [18]: 19)
س أَنْ ت َْح ُك ُموا بِا ْل َعد ِْل ِ إنَّ هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَنْ تُؤَ دُّوا األ َمانَا
ِ ت إِلَى أَ ْهلِ َها َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا
aصي ًرا َ َإِنَّ هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه إِنَّ هَّللا َ َكان
ِ َس ِمي ًعا ب
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).
الحا
ً ص ْ ِق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِمنْ أَ ْهلِ ِه َو َح َك ًما ِمنْ أَ ْهلِ َها إِنْ يُ ِريدَا إ
َ شقَاِ َوإِنْ ِخ ْفتُ ْم
ِ ِّيُ َوف
ق هَّللا ُ بَ ْينَ ُه َما إِنَّ هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما َخبِي ًرا
“Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika
kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An-
Nisa’ [4]: 35).
2. As-Sunnah
Rasullulah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya dan
banyak hadist yang menunjukan dibolehkannya praktek wakalah. Hadist tersebut
diantaranya:
24
Ibid., 59.
Wakalah juga sebagai bentuk tolong menolong yang diridhai Allah, ini berdasarkan
pada sabda Rasulullah SAW yang artinya:
َوهللاُ فِى ع َْو ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْب ُد فِى ع َْو ِن أَ ِخ ْي ِه
“ Dan Allah (akan) menolong hambaNya selama hamba-hambanNya mau menolong
saudara-saudaranya”.
3. Ijma
“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain), maka hal
itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan kepada wakil; oleh
karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada orang lain).
o Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika
yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah
tersebut batal.
o Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan
tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak,
memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan, maka tindakan
tersebut batal.
4. Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus bisa
dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa
diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah. Orang yang mewakilkan
(muwakkil), syarat-syarat muwakkil:26
o Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika
yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah
tersebut batal.
o Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan
tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak,
25
M. Noor Harisudin, Fiqih Muamalah 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), 69.
26
Ibid,. 70.
D. Macam-macam Wakalah
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.
a. Kematian atau kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad. Diantara syarat
– syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan akal. Apabila terjadi
kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan sesuatu yang
menentukan kesahannya.
b. Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang
dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti.
c. Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahuinya.
Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan.
27
Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah (Jakarta: Erlangga, 1969), 215.
A. Pengertian Wadi’ah
Al-wadi’ah atau barang titipan secara etimologi ialah sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya supaya dijaganya (Ma Wudi’a ‘inda ghair malikihi
layahfadzahu)28, berarti bahwa al-wadi’ah adalah memberikan. Makna yang kedua dari
segi bahasa ialah menerima. Secara etimologi al-wadi’ah sendiri banyak didefinisikan
oleh para ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Malikiyah al-wadi’ah memiliki dua arti, arti pertama ialah:
ارةٌ ع َْن تَوْ ِكي ِْل َعلَي ُم َج َّر ِد ِح ْف ِظ ْال َما ِل
َ َِعب
“Ibarah perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarrad”
2. Menurut Syafi’iyah yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah :
ِ ضى لِ ِح ْف ِظ ال َش ْي ِء ْال ُموْ د
َع َ َاَ ْل َع ْق ُد ْال ُم ْفت
“Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”
3. Menurut Hasbi Ash-Shidiqie al-wadi’ah ialah akad yang intinya minta
pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip.
4. Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan
(diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Selain dari pendapat-pendapat ulama tersebut, terdapat beberapa definisi lain. Di
antaranya, yaitu:
1. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
28
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. (Jakarta:Raja Grafindo, 2013), hlm.179.
29
A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam. (Bandung:Kiblat Press, 2002), hlm.167.
30
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/7/Pbi/2004, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, dalam http://www.bi.go.id/id/peraturan/arsip-peraturan/Moneter2004/PBI-
67-04.pdf, diakses pada 16 Februari 2016.
31
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), hlm. 55
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan apabila dalam melakukan
akad wadi’ah haruslah saling mempercayai dan berbaik sangka pada masing-
masing pihak, yaitu tidak adanya pengkhianatan atau mengingkari hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya. Penerima titipan juga harus dapat menunaikan amanat
yang diberikan penitip harta kepadanya sebaik mungkin. Penerima titipan harus
dapat mempercayai dirinya sendiri bahwa ia sanggup menjaga harta titipan yang
diserahkan kepadanya tersebut, karena makruh hukumnya terhadap orang yang
dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya sendiri bahwa ia dapat
menjaganya. Selain itu apabila seseorang tersebut tidak kuasa atau tidak
sanggup untuk menjaga harta titipan sebagaimana mestinya hukumnya haram,
karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya
barang yang dititipkan tersebut.
2. Hadist
a. Hadist yang menjadi landasan wadi’ah, yaitu:
3. Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus)
terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat,
seperti dikutip oleh Az-Zuhayly dalam Fiqh al-Islam wa Adillatul dari Kitab al-
Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.33
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah),
artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada
aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang
bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas
kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadis, ‚Jaminan
pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan
(pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.‛
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
a. Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang giro berdasarkan prinsip
wadi’ah, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bersifat titipan
2) Titipan bisa diambil kapan saja (on call)
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
32
M. Nur Rianto al Arif, Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 37
33
Karnaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam.
(Yogyakarta:Bhakti Wakaf, 1992), hlm.17-19.
E. Syarat Wadi’ah
Sahnya perjanjian wadi’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang yang melakukan akad sudah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak
secara hukum), karena akad wadi’ah, merupakan akad yang banyak
mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil sekalipun telah berakal,
akan tetapi tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah, baik sebagai orang yang
menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima titipan barang.
Disamping itu, jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus
cerdas. Sekalipun telah berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas, hukum
wadi’ah -nya tidak sah.
2. Barang titipan itu harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai. maksudnya,
barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk
dipelihara.
3. Bagi penerima titipan harus menjaga barang titipan tersebut dengan baik dan
memelihara barang titipan tersebut di tempat yang aman sebagaimana kebiasaan
yang lazim berlaku pada orang banyak berupa pemeliharaan.
G. Jenis–jenis Wadi’ah
Dalam praktik di dunia perbankan, modal penitipan (wadi’ah) ini sudah lama
dijalankan, termasuk diperbankan syari’ah. Transaksi wadi’ah dapat terjadi pada giro
dan/atau tabungan. Hanya dalam perbankan syari’ah akad wadi’ah masih digolongkan
menjadi dua bagian, yakni wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
1. Wadi’ah Yad Amanah
Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang
bukan di akibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
2. Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadiah yad dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan
barang/uang dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan. Hal seperti ini digunakan oleh perbankan Syariah dalam giro
dan tabungan.
Dalam wadi’ah amanah34, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan
oleh pihak yang yang dititipkan dengan alasan apapun juga. Akan tetapi pihak yang
dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak yang menitipkan sebagai
kontraprestasi atas penjagaan barang yang dititipkan. Pada wadi’ah yad dhamanah35
pihak yang dititipkan (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia
boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Dan pihak bank boleh memberikan sedikit
keuntungan yang didapat kepada nasabahnya dengan besaran berdasarkan
kebijaksanaan pihak bank.
MATERI IX
AR-RAHN (GADAI)
“Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka
hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu” (Al-Baqarah: 283)
Para ulama sepakat bahwa ar-rahn dibolehkan tetapi tidak diwajibkan, sebab
gadai bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling memercayai.
Firman Allah Farihaanun Maqbuudhuh pada ayat di atas adalah irsyad (anjuran
baik) saja kepada orang yang beriman, sebab pada lanjutan ayat tersebut
dinyatakan “akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (untungnya)”. (QS. Al-
Baqarah: 283)
E. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh
diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu
melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik
murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran
yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang
rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya, ada
kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih
besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak
rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang
telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun,
MATERI X
MURABAHAH
2.1Murabahah
A. Pengertian Jual Beli Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling)
yang diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu ()الر ْب ُح
ِ yang berarti kelebihan dan
tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah
(menguntungkan). Murabahah menurut fiqh Islam adalah suatu bentuk jual beli
tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang
dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan
tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.
Jual-beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau
keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau
angsur. Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian
dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap
suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini
merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah
ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh.
B. Landasan Hukum Murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
a) Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli,
diantaranya adalah firman Allah:
2.3 Ishtihna’
A. Pengertian Istishna
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen /
pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk
membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal
setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat dan shahih.
b) Al-hadits
ب إِلَى ْال َع َج ِم
َ ُأ َ َرا َد أَ ْن يَ ْكتaaَى هَّللا ِ ص َكان
َّ ِه أَ َّن نَبaي هللا عنaس رض ٍ َأَنaaَع ْن
ْ َ ف.اتِ ٌمaa ِه َخa ا َعلَ ْيaaًون إِالَّ ِكتَابa
اaaطَنَ َع َخاتَ ًمa اص َ aُهُ إِ َّن ْال َع َج َم الَيَ ْقبَلa َل لaَ aفَقِي
رواه مسلم.ض ِه فِى يَ ِد ِه ِ َكأَنِّى أَ ْنظُ ُر إِلَى بَيَا:ال َ َق.ض ٍة َّ ِِم ْنف