Anda di halaman 1dari 62

KATA PENGANTAR

Pada dasarnya setiap manusia dalam aktifitasnya baik yang bersifat duniawi
maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia peroleh
selepas aktifitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut pandang manusia itu
sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka tidak jarang dan sangat
tidak menutup kemungkinan sekali proses untuk menuju pada tujuan maqosyidnya pun
berwarna-warni.
Salah satu contoh dalam aktifitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia sendiri
yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenenuhan hak pribadi dan
mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun masyarakat umum.
Akan tetapi Islam sebuah agama yang rahmatan lil-alamin mengatur seluruh tatanan
kehidupan manusia, sehingga norma-norma yang diberlakukan islam dapat memberikan
solusi sebuah keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada
aktifitasnya itu, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.
Maka tidak jarang diantara kita yang acap kali menemukan ayat dalam kitab suci
Al-Qur'an yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam sanggat jelas sekali
menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi perdagangan dan bisnis yang
jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh penghasilan, menafkahi keluarga, dan
memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung.
Melihat pada bahasan singkat diatas penulis berminat untuk membahas lebih lanjut
tentang konsep transaksi syariah.1

MATERI I
MUDHARABAH

A. Pengertian, Sumber Hukum, Rukun, Jenis, dan Sifat Mudharabah


a. Pengertian Mudharabah
Secara etimologis, mudharabah berasal dari kata dharaba – yadhribu – dharban
yang artinya memukul. Dengan ditambahnya alif pada dho’, maka kata ini memiliki
konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para
fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya
dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan
dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan
penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan
yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal
memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari
labanya. Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama
memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya
sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan.
Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si
1
pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha/pengelola, untuk diniagakan
dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah
pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal. Para ulama
sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-
Sunnah, Ijma’ dan qiyas.2

b. Sumber Hukum
1) Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarkanlah kamu dimuka bumi
dan carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).”
(QS 2:198).
2) As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tanngguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3) Ijma
Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah,
perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
4) Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seorang untuk
mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin ada pula yang
kaya, disuatu sisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan
hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi
tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan
antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni
untuk kemashalatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

c. Rukun Mudharabah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul,
yakni lafad yang menunjukan ijab dan qobul dengan menggunakan mudharabah,
muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang
melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shiqad (ijab dan qabul),
sedanngkan ulama syafi’iyah lebih merici lagi menjadi lima rukun yaitu: modal,
pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad.

c. Jenis Mudharabah
Jenis Mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu: mudharabah
Muthalaqoh, Mudharabah Muqayyadah, dan Mudharabah Musytarakah.
1. Mudharabah Muthalaqoh adalah mudharabah di mana pemilik dananya
memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola
investasinya. Dan mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.

2
http://www.koperasisyariah.com/definisi-mudharabah/
2. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi,
cara, atau objek investasi atau sektor usaha.
3. Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana
menyerahkan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.

d. Sifat Mudharabah
Ulama fiqih sepakat bahwa akad dalam mudharabah sebelum dijalankan oleh
pekerja termaksud akad yang tidak lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja, diantara
ulama terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat termaksud akad yang lazim,
yakni dapat diwariskan seperti pendapat imam malik, sedangkan menurut ulama
syafi’iyah, malikiyah dan hanabilah akad tersebut tidak lazim, yakni tidak dapat
diwariskan.

B. Syarat Sah Mudharabah


1. Syarat Aqidani
Di syaratkan bagi orang yang melakukan akad, yakni pemilik modal dan
pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil sebab mudharib
mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil.
2. Syarat Modal
a. Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni
segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian
b. Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran
c. Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada tempat akad.
Juga dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada oranng lain,
seperti mengatakan:”Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal
usaha”
d. Modal harus diberikan kepada pengusaha, hal itu dimaksudkan agar
pengusaha dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut
sebagai amanah

3. Syarat-syarat Laba
a. Laba harus memiliki ukuran
Mudharabah yang dimaksudkan untuk mendapatkan laba, dengan
demikian pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5000,00
misalnya untuk dibagi diantara keduanya tanpa menyebutkan ukuran laba
yang diterimanya.
b. Laba harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum,
seperti kesepakatan diantara orang yang melangsungkan akad bahwa
setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedanngkan setengah lainnya
lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi tidak boleh menetapkan
jumlah tertentu bagi satu pihak lain, seperti menetapkan laba Rp.1000 bagi
pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.

C. Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah terbagi dua yaitu: Mudharabah Sahih dan Mudharabah Fasid
1) Hukum mudharabah fasid
Beberapa hal dalam mudharabah fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha antara lain:
a) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli,
menjual, atau mengambil barang
b) Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga
pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya
c) Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan
harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya

2) Hukum mudharabah shahih


Hukum mudharabah shahih yang tergolong shahih diantaranya:
 Tanggung jawab pengusaha
Apabila pengusaha berutang ia memiliki hak atas laba secara bersama-
sama dengan pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya
beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang
sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapat upah, jika harta rusak tanpa
disengaja ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut, dan
jika mengalami kerugian pun ditanggung oleh pengusaha saja

D. Perkara yang Membatalkan Mudharabah


1) Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan
untuk mengusahakan (tasharuf) dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat
pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui
pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika
pembatalan atau larangan.

2) Salah seorang Aqid Meninggal dunia


Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang akad
meninggal dunia, baik pemilik modal, maupun pengusaha. Sedangkan ulama
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya
salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli
warisnya, jika dapat dipercaya.
3) Salah seorang Aqid Gila
ahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan
keahlian dalam mudharabah.
4) Pemilik Modal Rusak
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam) atau terbunuh dalam keadaan
murtad, atau tergabung dengan musuh serta karena diputuskan oleh hakim atas
pemberontakan hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh
sama saja dengan mati.
5) Modal rusak ditangan Pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena
modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
Begitu pula nudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada
orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.3

E. Prinsip Pembagian Hasil Usaha Mudharabah

Dalam mudharah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan karena yang
dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk kerugian (loss). Sehingga untuk
pembahasan selanjutnya akan digunakan istilah prinsip bagi hasil seperti yang digunakan
dalam Undang-Undang No.10 tahun 1998, karena apabila usaha tersebut gagal kerugian
tidak dibagi diantara pemilik dana dan pengelola dana tetapi harus ditanggung sendiri
oleh pemilik dana.
Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan pengakuan
penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi
hasil atas realisasi penghasilan hasil usaha dari pengelola dana. Tidak diperkenankan
mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha. Jika mudharabah melebihi satu periode
pelaporan, penghasilan usaha diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai
nisbah yang disepakati.

MATERI II

3
Syafe’i, rachmad. 2002. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia. Hal 229-238.
MUSYARAKAH

A. KARAKTERISTIK
1. Musyarakah hampir sama dengan Mudharabah.
2. Musyarakah adalah akad kerjasama diantara para pemilik modal, yang
mencampurkan modal mereka untuk tujuan mencari keuntungan.
3. Di dalam Musyarakah terdapat “Mitra (Pengusaha/calon pengusaha) &
Pemilik dana (Bank)”.
4. Pembiayaan Musyarakah berupa ; Kas, setara kas, aset nonkas, aktiva tidak
berwujud (lisensi & hak paten).
5. Sifat Musyarakah permanen/menurun.
a. Musyarakah Permanen = Bagian modal setiap mitra ditentukan sesuai
akad dan jumlahnya tetap, hingga akhir masa akad.
b. Musyarakah Menurun (Musyarakah Mutanaqisha) = Bagian modal
pemilik dana/bank akan dialihkan secara bertahap kepada mitra. Sehingga
bagian modal pemilik dana/bank akan menurun & pada akhir masa akad,
mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut.
6. Laba Musyarakah dibagi diantara para mitra secara Proporsional (sesuai
dengan modal yang disetorkan/sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
semua mitra).
7. Rugi Musyarakah dibagi diantara para mitra secara Proporsional (sesuai
dengan modal yang disetorkan.
8. Karena setiap mitra tidak dapat menjamin dana mitra lainnya, maka setiap
mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian
atau kesalahan yang disengaja. Beberapa hal yang menunjukkan adanya
kesalahan yang disengaja adalah:
a. Pelanggaran terhadap akad, antara lain, penyalahgunaan dana investasi,
manipulasi biaya dan pendapatan operasional.
b. Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
9. Jika tidak terdapat kesepakatan antara pihak yang bersengketa maka
kesalahan yang disengaja harus dibuktikan berdasarkan keputusan institusi
yang berwenang (seperti : Lembaga Pengadilan atau Lembaga Arbritase
Syariah)
10. Jika salah satu mitra memberikan kontribusi atau nilai lebih dari mitra
lainnya dalam akad musyarakah maka mitra tersebut dapat memperoleh
keuntungan lebih besar untuk dirinya. Bentuk keuntungan lebih tersebut
dapat berupa pemberian porsi keuntungan yang lebih besar dari porsi
dananya atau bentuk tambahan keuntungan lainnnya.
11. Kaitannya dengan bagi hasil, porsi jumlah bagi hasil untuk para mitra
ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil usaha yang
diperoleh selama periode akad, bukan dari jumlah investasi yang
disalurkan.
12. Untuk mengetahui bagi hasil yang dibagihasilkan antar mitra, Pengelola
musyarakah mengadministrasikan transaksi usaha yang terkait dengan
investasi musyarakah yang dikelola dalam catatan akuntansi tersendiri.
B. PENGAKUAN & PENGUKURAN MUSYARAKAH
Pengakuan dan pengukuran musyarakah telah diatur oleh PSAK 106
(2007) sebagai penyempurna PSAK 59 (2002). Berikut ini penjelasan
selengkapnya.
Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan sebagai
dasar penentuan bagi hasil, maka mitra aktif atau pihak yang mengelola usaha
musyarakah harus membuat catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha
musyarakah tersebut. (paragraf 13 PSAK 106, 2007). Untuk memperjelas
ketentuan ini, dimisalkan sebagai berikut :
 PT ABC akan membuka usaha baru yaitu jasa air isi ulang. Untuk
pendirian unit usaha baru ini perusahaan ini meminta pembiayaan ke
Bank Syariah dengan akad musyarakah. Modal pendirian usaha air isi
ulang misalnya, Rp 100.000.000, perusahaan ini menyertakan modal Rp
30.000.000, dan modal dari Bank Syariah Rp 70.000.000, kesepakatan
pembagian hasil usaha berdasarkan nisbah misalnya, mitra : bank = 40 :
60. Dan bila rugi, pembagian rugi berdasarkan porsi modal masing-
masing, yaitu 30 : 70. Catatan akuntansi yang harus dibuat oleh PT
ABC tersebut adalah hanya yang berasal dari usaha air isi ulang saja,
tidak termasuk hasil dari usaha sembako tersebut. Dengan demikian,
laporan laba rugi yang akan digunakan dasar bagi hasil adalah laba rugi
dari usaha air isi ulang saja, tidak termasuk dari laba rugi usaha
sembako.

C. AKUNTANSI UNTUK MITRA AKTIF


Mitra Aktif adalah mitra yang mengelola usaha musyarakah, baik
mengelola sendiri atau menunjuk pihak lain atas nama mitra tersebut.
1. Pada saat akad
Akuntansi musyarakah untuk mitra aktif pada saat akad telah diatur
dalam PSAK 106 (2007). Berikut penjelasan selengkapnya dan bagaimana
mitra aktif mencatat dalam pembukuannya.
a) Investasi musyarakah diakui pada saat penyerahan kas atau aset nonkas
untuk usaha musyarakah.
b) Pengukuran investasi musyarakah adalah sebagai berikut :
1) Dalam bentuk kas dinilai sebesar jumlah yang diserahkan.
2) Dalam bentuk aset nonkas dinilai sebesar nilai wajar, dan jika
terdapat selisih antara nilai wajar dan nilai buku aset nonkas, maka
selisih tersebut diakui sebagai selisih penilaian aset musyarakah
dalam ekuitas. Selisih penilaian aset musyarakah tersebut
diamortisasi selama masa akad musyarakah. (Paragraf 14-15 PSAK
106, 2007).
c) Aset nonkas musyarakah yang telah dinilai sebesar nilai wajar
disusutkan dengan jumlah penyusutan yang mencerminkan :
1) Penyusutan yang dihitung dengan model biaya historis, ditambah
dengan
2) Penyusutan atas kenaikan nilai aset karena penilaian kembali saat
penyerahan nonkas untuk usaha musayarakah.
d) Jika proses penilaian pada nilai wajar menghasilkan penurunan nilai
aset, maka penurunan nilai ini langsung diakui sebagai kerugian. Aset
nonkas musyarakah yang telah dinilai sebesar nilai wajar disusutkan
berdasarkan nilai wajar yang baru.
e) Biaya yang terjadi akibat akad musyarakah (misalnya, biaya studi
kelayakan tidak dapat diakui sebagai bagian investasi musyarakah
kecuali ada persetujuan dari seluruh mitra musyarakah).
f) Penerimaan dana musyarakah dari mitra pasif (misalnya, Bank
Syariah) diakui sebagai investasi musyarakah dan di sisi lain sebagai
dana syirkah temporer sebesar :
1) Dana dalam bentuk kas dinilai sebesar jumlah yang diterima, dan
2) Dana dalam bentuk aset nonkas dinilai sebesar nilai wajar dan
disusutkan selama masa akad atau selama umur ekonomis jika aset
tersebut tidak akan dikembalikan kepada mitra pasif.
Contoh :
 1 Maret 2011, Bank Syariah menandatangani akad
musyarakah dengan PT. Maju untuk mencampurkan modalnya
dalam usaha garmen. Bank Syariah menyerahkan kas Rp
20.000.000 dan mesin produksi sebanyak 10 unit. Nilai buku
mesin Rp 9.000.000 per unit, sedangkan menurut penilaian yang
wajar mesin tersebut dinilai sebesar Rp 10.000.000. PT. Maju
menyerah keahlian dan dana kas Rp 200.000.000. Pembagian
hasil didasarkan pada perbandingan/ nisbah Bank dan PT. Maju
40 : 60 atas dasar laba kotor. Sedangkan untuk kerugian
berdasarkan setoran modal. Mitra Aktif PT. Maju akan mengakui
dan mengukur investasi musyarakah sebagai berikut :
Jurnal untuk Mitra Aktif :

1 Maret Investasi musyarakah- Kas 400.000.000


2009 Investasi musyarakah-Aset nonkas 100.000.000
Dana Syirkah Temporer 300.000.000
Kas 200.000.000

2. Selama akad
a. Bagian mitra aktif atas investasi musyarakah dengan pengambilan
dana mitra pasif di akhir akad dinilai sebesar :
a) Jumlah kas yang diserahkan untuk usaha musyarakah pada awal
akad dikurangi dengan kerugian (jika ada); atau
b) Nilai ajar asset musyarakah nonkas pada saat penyerahan untuk
usaha musyarakah setelah dikurangi penyusutan dan kerugian (jika
ada).
b. Bagian mitra aktif atas investasi musyarakah menurun (dengan
pengembalian dana mitra pasif secara bertahap) di nilai sebesar
jumlah kas atau nilai wajar asset nonkas yang diserahkan untuk usaha
musyarakah pada awal akad ditambah dengan jumlah dana syirkah
temporer yang tidak dikembalikan kepada mitra pasif dan dikurangi
kerugian (jika ada).
3. Akhir akad
Pada saat akhir akad diakhiri, investasi musyarakah yang belum
dikembalikan kepada mitra pasif diakui sebagai kewajiban.
Jurnal yang dibuat :
Debit : Dana syirkah temporer xxx
Kredit : Utang kepada mitra pasif (bank syariah) xxx
4. Pengakuan Hasil Usaha
Pengakuan hasil usaha musyarakah baik yang menguntungkan maupun yang
merugikan telah diatur PSAK 106 (2007) sebagai berikut :
a. Pendapatan usaha musyarakah yang menjadi hak mitra aktif diakui
sebesar haknya sesuai dengan kesepakatan atas pendapatan usaha
musyarakah. Sedangkan pendapatan usaha untuk mitra pasif diakui
sebagai hak pihak mitra pasif atas bagi hasil dan kewajiban.
b. Kerugian investasi musyarakah diakui sesuai dengan porsi dana masing-
masing mitra dan mengurangi nilai asset musyarakah.
c. Jika kerugian akibat kelalaian atau kesalahan mitra aktif atau
pengelola usaha, maka kerugian tersebut ditanggung oleh mitra pasif
atau pengelola usaha musyarakah.
d. Pengakuan pendapatan usaha musyarakah dalam praktek dapat diketahui
berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi pendapatan usaha dari
catatan akuntansi mitra aktif atau pengelola usaha yang dilakukan secara
terpisah.
Berikut ini diberikan ilustrasi bagi hasil usaha.
Dibawah ini laporan laba rugi mitra aktif PT MAJU pada tahun 2011.
Penjualan Rp.500jt
Harga pokok penjualan Rp.200jt
Laba kotor Rp.300jt
Biaya operasi Rp.150jt
Laba operasi Rp.150jt
Laba dibagi berdasar nisbah Bank : PT MAJU = 40 : 60 atas dasar laba
kotor.
Perhitungan bagi hasil :
Bank Syariah : 40% x Rp 300jt = Rp 120jt
PT MAJU : 60% x Rp 300jt = Rp180jt
Misalnya rugi Rp 20jt ,maka rugi dibagi berdasarkan setoran modal, missal
60 : 40, maka pembagian rugi adalah :
Bank Syariah : 60% x Rp 20jt = Rp 12jt
PT MAJU : 40% x Rp 20jt = Rp 8jt
Jurnal yang harus dibuat oleh mitra aktif PT MAJU :
BILA LABA :
Debit : Bagi hasil musyarakah Rp 120jt
Kredit : Utang bagi hasil musyarakah Rp 120jt
BILA RUGI :
Untuk Bank Syariah :
Debit : Kerugian musyarakah Rp 12jt
Kredit : Investasi musayarakah Rp 12jt
Untuk Mitra Aktif :
Debit : Dana Syariah dan Temporer Rp 8jt
Kredit : Transaksi Musyarakah Rp 8jt

D. AKUNTANSI UNTUK MITRA PASIF


Mitra pasif adalah mitra yang tidak ikut mengelola usaha musyarakah.
1. Pada Saat Akad
PSAK 106 (2007) telah mengatur perlakuan akuntansi musyarakah
untuk mitra pasif, misalnya bank syariah, sebagai berikut :
a) Investasi musyarakah diakui pada saat pembayaran kas atau
penyerahan asset non kas kepada mitra aktif.
b) Pengukuran investasi Musyarakah :
1) Dalam bentuk kas dinilai sebesar jumlah yang dibayarkan ; dan
2) Dalam bentuk asset non kas dinilai sebesar nilai wajar dan jika
terdapat selisih antara nilai wajar dan nilai tercatat asset non kas,
maka selisih tersebut diakui sebagai :
i) Keuntungan tangguhan dan diamortisasi selama masa
akad atau
ii) Kerugian pada saat terjadinya.
c) Investasi musyarakah non kas yang diukur dengan nilai wajar asset
yang diserahkan akan berkurang nilainya sebesar baban penyusutan
atas asset yang diserahkan ,dikurangi dengan amortisasi keuntungan
tangguhan (jika ada).
d) Biaya yang terjadi akibat akad musyarakah (misalnya, biaya studi
kelayakan) tidak dapat diakui sebagai bagian investasi musyarakah
kecuali ada persetujuan dari seluruh mitra.
Contoh:
 1 Maret 2011,bank syariah menandatangani akad musyarakah
dengan PT. Maju untuk mencampurkan modalnya dalam usaha
garmen.Bank syariah menyerahkan kas Rp 200.000.000,00 dan
mesin produksi sebanyak 10 unit. Nilai buku mesin Rp 900.000,00
per unit,sedangkan menurut penilaian yang wajar mesin tersebut
dinilai sebesar Rp 10.000.000,00 PT Maju menyerahkan keahlian
dan dana kas Rp 200.000.000,00,- pembagian hasil didasarkan pada
perbandingan nisbah : bank dan PT Maju = 40 : 60 atas dasar laba
kotor sedangkan untuk kerugian berdasarkan setoran modal. Mitra
pasif bank syariah akan mengakui dan mengukur investasi
musyarakah sebagai berikut.
Jurnal untuk Mitra Pasif:

1 Maret Investasi musyarakah- Kas 200.000.000


2009 Investasi musyarakah-aset nonkas 100.000.000
mesin
Keuntungan tangguhan-Selisih penilaian
asset nonkas musyarakah 10.000.000
Aset nonkas-Mesin 90.000.000
Kas 200.000.000
2. Selama Akad
Selama akad investasi musyarokah menurun diukur dan dinilai sesuai
dengan PSAK 106(2007) sebagai berikut:
a) Bagian Mitra pasif atas investasi musyarakah dengan pengembalian
dana
mitra pasif diakhir akad di nilai sebesar :
1) Jumlah kas yang dibayarkan untuk usaha musyarakah pada awal
akad dikurangi dengan kerugian (jika ada) atau
2) Nilai wajar asset musyarakah non kas pada saat penyerahan untuk
usaha musyarakah setelah dikurangi penyusutan dan kerugian (jika
ada).
b) Bagian mitra pasif atas investasi musyarakah menurun (dengan
pengembalian dana mitra pasif secara bertahap) dinilai sebesar jumlah
kas yang dibayarkan untuk usaha musayarakah pada awal akad
dikurangi jumlah pengembalian dari mitra aktif dan kerugian(jika ada).
Contoh:
Bila selama tahun 2011 PT MAJU membayar angsuran dana mitra pasif
bank syariah secara tunai Rp 50 juta,- dan bank syariah telah
menyusutkan asset nonkas di investasi musyarakah Rp 20 juta
setahun,maka pencatatan dan penilaiaannya sebagai berikut: BANK
SYARIAH

31 Des Kas 50.000.000


2011 Penyusutan-Investasi Musyarakah Aset non kas 20.000.000
Investasi musyarakah - kas 50.000.000
Akumulasi penyusutan-Investasi musyarakah
asset non kas 20.000.000
Penilaian dan penyajian dineraca per 31 Desember 2011 bank syariah sebagai
berikut:
BANK SYARIAH ABC
NERACA
PER 31 DESEMBER 2011

Investasi musyarakah-kas Rp 150.000.000


Investasi musyarakah-aset non
kas Rp 100.000.000
Keuntungan Tangguhan (Rp 8.000.000)
Akumulasi penyusutan (Rp 20.000.000)
Nilai Buku Rp 72.000.000

3. Akhir Akad
Pada akhir akad, investasi musyarakah diakui sesuai dengan PSAK
106(2007) sebagai berikut:
Pada saat akad diakhiri, Investasi musyarakah yang belum dikembalikan
oleh mitra aktif diakui sebagai piutang.
Jurnal yang dibuat oleh mitra pasif bank syariah adalah:

Debit : Piutang-PT MAJU Rp xxx


Debit : Akumulasi penyusutan –Investasi Musyarakah
asset nonkas Rp xxx
Kredit : Investasi musyrakah-aset non kas Rp xxx

4. Pengakuan Hasil usaha


Pendapatan usaha investasi musyarakah diakui sebesar bagian mitra pasif
sesuai kesepakatan. Sedangkan kerugian investasi musyarakah diakui sesuai
dengan porsi dana.
Berikut ini diberikan ilustasi bagi hasil usaha.
Dibawah ini laporan laba rugi mitra aktif PT MAJU pada tahun 2011.
Penjualan Rp 500 Juta
Harga Pokok penjualan Rp 200 Juta
Laba Kotor Rp 300 Juta
Biay Operasi Rp 150 Juta
Laba Operasi Rp 150 Juta
Laba dibagi bardasarkan nisbah Bank : PT Maju = 40 : 60 atas dasar laba
kotor.
Perhitungan bagi hasil:
Bank Syariah : 40% x Rp 300 juta, = Rp 120 Juta
PT MAJU : 60% x Rp 300 Juta = Rp 180 Juta
Misalnya Rugi Rp 20 Juta- maka rugi dibagi berdasarkan setoran modal,
misal
60 : 40 maka pembagian rugi adalah:
Bank Syariah : 60% x Rp 20 juta, = Rp 12 Juta
PT MAJU : 40% x Rp 20 Juta = Rp 8 Juta
Jurnal yang harus dibuat oleh mitra pasif BANK SYARIAH :
BILA LABA : Adjustment per 31 Desember 2008:
Debit : Piutang bagi hasil musyarakah Rp 120jt
Kredit: Pendapatan bagi hasil musyarakah Rp 120jt
BILA RUGI:
Debit : Kerugian Musyarakah Rp 12jt
Kredit : Investasi Musyarakah Rp 12jt
E. PENYAJIAN
Pada akhir periode, investasi musyarakah disajikan dalam laporan keuangan
sesuai yang diatur oleh PSAK 106 (2007) sebagai berikut:
1. Mitra Aktif menyajikan hal-hal sebagi berikut yang terkait dengan usaha
musyarakah dalam laporan keuangan:
a) Kas atau ase t nonkas yang disisihkan oleh mitra aktif dan yang diterima
dari mitra pasif disajikan sebagai investasi musyarakah.
b) Asset musyarakah yang diterima dari mitra pasif disajikan sebagai unsure
dana syirkah temporer untuk;
c) Selisih penilaian asset musyarakah, bila ada, disajikan dalam unsur
ekuitas.

Berikut format Investasi musyarakah dineraca pengelola aktif per 31


Desember:
PT MAJU
NERACA
PER 31 DESEMBER 20xx
---- Dana Syirkah Temporer Rp xxxx
Investasi musyarakah-kas Rp xxxxx Ekuitas :
Investasi musyarakah-aset nonkas Rp xxxxx Modal disetor Rp xxxx
Akumulasi penyusutan (Rp xxxxx) Saldo laba Rp xxxx
Nilai Buku Rp xxxxxx Selisih penilaian
Aset non kas musyarakah Rp xxxx

2. Mitra pasif menyajikan hal-hal sebagai berikut yang terkait dengan usaha
musyarakah dalam laporan keuangan.
a) Kas atau asset non kas yang diserahkan kepada mitra aktif disajikan
sebagai investasi musyarakah.
b) Keuntungan tangguhan dari selisih penilaian asset non kas yang
diserahkan pada nilai wajar yang disajikan sebagai pos lawan (contra
account) dari investasi musyarakah.
Berikut format Investasi musyarakah di neraca pengelola pasif
per 31 Desember 20xx
BANK SYARIAH ABC
NERACA
PER 31 DESEMBER 2011

Investasi musyarakah-kas Rp xxxx


Investasi musyarakah-aset
non kas Rp xxxx
Keuntungan Tangguhan (Rp xxxx)
Akumulasi penyusutan (Rp xxxx)
Nilai Buku Rp xxxxx

F. PERBEDAAN AKUNTANSI MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH


NO Perbedaan Musyarakah Mudharabah
1. Modal Untuk pembiayaan musyarakah, Pada pembiayaan mudharabah,
baik pengelola dana dan pemilik pihak bank sebagai pemilik dana
dana sama-sama dapat yang hanya dapat berkontribusi
berkontribusi dalam dalam menyediakan dana,
menyediakan modal. sedangkan pihak pengelola dana
dalam hal ini dapat menyediakan
skill dalam proses bisnisnya.
2. Pembagian Pada pembiayaan musyarakah, Pada pembiayaan mudharabah,
Kerugian kerugian harus dibagi antara para penyedia dana menanggung
mitra secara proporsional semua kerugian, dan pengelola
menurut dana masing-masing tidak boleh menanggung
dalam modal. kerugian apapun kecuali
diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan
3. Kegiatan Partisipasi para mitra dalam Dalam pembiayaan
Usaha pekerjaan merupakan dasar mudharabah, kegiatan usaha
pelaksanaan musyarakah, akan adalah hak ekslusif pengelola
tetapi kesamaan porsi kerja dana, tanpa campur tangan
bukanlah merupakan syarat. penyedia dana, tetapi ia
Seorang mitra dapat mempunyai hak untuk
melaksanakan kerja lebih melakukan pengawasan,
banyak dari yang lainnya, dan penyedia dana juga tidak boleh
dalam hal ini ia boleh menuntut mempersempit tindakan
bagian keuntungan tambahan pengelola sedemikian rupa yang
bagi dirinya dapat menghalangi tercapainya
tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.

Jadi, pada intinya Akad Musyarakah adalah akad kerjasama yang


didasarkan atas bagi hasil. Berbeda dengan Akad Mudharabah di mana pemilik
dana menyerahkan modal sebesar 100%, dan pengelola dana berkontribusi dalam
kerja.
Dalam Akad Musyarakah, para mitra berkontribusi dalam modal maupun
kerja. Keuntungan dari usaha syariah akan dibagikan kepada para mitra sesuai
dengan nisbah yang disepakati para mitra ketika akad, sedangkan kerugian akan
ditanggung para mitra sesuai dengan proporsi modal. Para mitra melakukan akad
musyarakah dilandasi dengan keinginan kuat untuk meningkatkan harta kekayaan
yang dimilikinya melalui kerjasama diantara mereka.

MATERI III
JUAL BELI
A. Latar Belakang
Kita telah mengetahui dua kaidah hukum asal dalam syari’ah. Dalam ibadah,
kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada
ketentuannya berdasarkan al-qur’an dan al-hadist. Sedangkan dalam urusan
muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Ini berarti
ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum
islam, maka transaksi tersebut di anggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi
dari dalil Al-quran dan hadist yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Dengan demikian, dalam bidang mu’amalah, semua transaksi dibolehkan
kecuali yang diharamkan. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini
menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik
untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada
umumnya dan di Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada
aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam
dunia bisnis. Padahal secara tegas Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa
perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan
keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis nampaknya
merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus dipahami,
bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut
ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam memberikan
kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang (haram).
A. Praktik Bisnis yang Dilarang
Dalam Syariah, Nabi telah melarang kita dari beberapa jenis usaha tertentu
karena di dalamnya mengandung dosa dan apa yang di dalamnya terdapat bahaya
bagi manusia dan mengambil harta secara tidak adil. Beberapa jenis transaksi yang
dilarang adalah :
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal.
3. Persaingan yang tidak fair
4. Pemalsuan dan penipuan

B. Macam-Macam Jual Beli Yang Di Larang


Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor
sebagai berikut;
1. Haram zatnya (haram li-dzatihi)
2. Haram selain zatnya (haram li-ghairihi)
3. Tidak sah (lengkap) akadnya

1. Haram Zatnya
Transaksi di larang karena objek (barang atau jasa) yang di transaksikan juga
dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi,
transaksi jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya sah.
Contohnya, bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman
keras kepada bank dengan menggunakan akad murabahah, maka walaupun akadnya
sah tetapi transaksi ini haram karena objek transaksinya haram.
2. Haram Selain Zatnya
a. Melanggar Prinsip “An Taradin Minkum” Tadlis (penipuan)
Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara
kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang
sama sehingga tidak ada pihak yang merasa di curigai (ditipu) karena terdapat
kondisi di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
lain. Tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: 1) Kuantitas 2)
Kualitas 3) Harga dan 4) Waktu penyerahan.
b. Melanggar prinsip ‘la tazhlimuna wa la tuzhlamun’
Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar adalah prinsip la tazhlimuna wa la
tuzlamun, yakni jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-praktik yang
melanggar prinsip ini di antaranya:
a) Taghrir (gharar)
Gharar atau disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi ketidakpastian
dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis, yang terjadi adalah pihak
A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik
pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu
yang ditransaksikan. Gharar ini terjadi bila kita memperlakukan sesuatu yang
seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti.
b) Rekayasa pasar dalam supply (ikhtikar)
Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen/penjual
mengambil keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk
yang di jualnya naik. Hal ini adalah istilah fiqih disebut ikhtikar.
Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen / penjual lain
masuk pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itu,
biasanya orang menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan, padahal
tidak selalu seorang monopolis melakukan ikhtikar.
BULOG juga melakukan penimbunan, tetapi justru untuk menjaga
kestabilan harga dan pasokan. Demikian pula dengan Negara apabila memonopoli
sektor industri yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, bukan
dikategorikan sebagai ikhtikar. Agama melarang kita menimbun barang saat
orang membutuhkan. Namun praktek bisnis ini justru sering terjadi di negeri kita
sendiri. Di saat orang kesulitan bahan bakar gas misalnya, ternyata di pihak lain
ada yang menimbun. Tujuannya hanya untuk mendapatkan harga jual yang lebih
tinggi ketika produk sudah langka di pasaran. Padalah rasul telah bersabda,
”Tidak ada yang menimbun barang ketika dibutuhkan kecuali orang yang
berdosa” (HR Muslim).
Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi;
1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau
mengenakan entri-barriers
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya
kelangkaan.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 & 2 dilakukan.

c) Rekayasa pasar dalam demand (bai’ najasy)


Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen (pembeli)
menciptakan permintaan palsu, seolah olah ada banyak permintaan terhadap suatu
produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi misalnya, dalam
bursa saham, bursa valas, dan lain-lain. Cara yang di tempuh bias bermacam-
macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-
benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentiment pasar untuk ramai-
ramai membeli saham (mata uang) tertentu. Bila harga sudah naik sampai level
yang di inginkan maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung
dengan melepas kembali saham (mata uang) yang sudah dibeli, sehingga ia akan
mendapatkan untung besar. Rekayasa demand ini dalam istilah fiqihnya disebut
dengan bai’ najasy.
d) Riba
Riba berarti menukarkan suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian.
Allah sendiri telah menjelaskan dalam al Quran Surat Al Baqarah ayat 275 :

Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya..” (QS Al- Baqarah : 275)
Wahai Saudaraku! Tidak ada keraguan bahwa perdagangan dan jual beli adalah
dua hal yang dibutuhkan dan diperlukan. Hal ini karena Allah telah memerintahkan
kita untuk mencari rezeki dan untuk makan dan minum bagi diri kita menurut cara
yang secara umum dibenarkan. Dalam ilmu fiqih, dikenal 3 jenis riba, yaitu:
1. Riba fadl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang yang sejenis, tapi tidak
memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya, dan sama waktu
penyerahan barangnya. Pertukaran seperti itu mengandung unsur ketidakjelasan
nilai barang pada masing-masing pihak. Akibatnya, bisa
mendorong orang berbuat zalim.
2. Riba nasi’ah atau riba yang muncul akibat utang piutang yang tidak memenuhi
kriteria. Keuntungan muncul tanpa adanya risiko dan hasil usaha muncul tanpa
adanya biaya. Padahal, dalam dunia bisnis kemungkinan untung dan rugi selalu
ada. Memastikan sesuatu di luar wewenang sifatnya zalim.
3. Riba jahiliyah atau utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman, karena
peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai waktu yang ditentukan.
e) Maysir (penjudian)
Secara sederhana, yang dimaksud dengan maysir atau penjudian adalah
suatu pemainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban
pihak yang lain akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau pertandingan,
baik yang berbentuk game of chance, game of skill ataupun natural events, harus
menghindari terjadinya zero sum game, yakni kondisi yang menempatkan salah
satu atau beberapa pemain harus menanggung beban pemain.
Allah SWT. telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan
aktivitas ekonomi yang mengandung unsur maysir (penjudian). Allah swt
berfirman:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,


berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS Al-Maidah: 90).
f) Risywah (suap menyuap)
Yang di maksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada
pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suatu perbuatan baru
dapat dikatakan sebagai tindakan risywah (suap-menyuap) jika dilakukan kedua
belah pihak sukarela. Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak
lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya,
peristiwa tersebut bukan termasuk kategori risywah, melainkan tindakan
pemerasan.
Allah swt telah menyinggung praktik suap-menyuap pada sejumlah ayat al-
quran. Diantara firman Allah SWT :

Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang


lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
(QS Al-Baqarah: 188).
3. Tidak sah (lengkap) akadnya
Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haramli dzatihi maupun haram
li ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi
tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu
transaksi dapat dikatakan tidak sah dan atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah
satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini:
1. Rukun dan syarat tidak dipenuhi
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary
condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli,
maka jual-beli tidak aka ada. Pada umumnya, rukun dalam muamalah
iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3 yaitu: Pelaku, Objek, Ijab-
kabul.
Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual-beli), penyewa-
pemberi sewa (dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah
(dalam akad upah-mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku maka tidak ada
transaksi. Objek transaksi dari semua akad diatas dapat berupa barang atau jasa.
Contohnya dalam akad jualbeli mobil, maka objek transaksinya adalah mobil.
Dalam akad menyewa rumah, maka objek transaksianya adalah rumah, demikian
seterusnya. Tanpa objek transaksi, mustahil transaksi akan tercipta.
Selanjutnya, faktor lainnya yang mutlak harus ada supaya transaksi dapat
tercipta adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
Dalam terminologi fiqih, kesepakatan bersama ini disebut ijab-kabul. Tanpa ijab-
kabul, mustahil pula transaksi akan terjadi. Dalam kaitannya dengan kesepakatan
ini, maka akad dapat menjadi batal bila terdapat :
1. Kesalahan/kekeliruan ojek
2. Paksaan (ikrah)
3. Penipuan (tadlis)
Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah (lengkap)
adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Syarat
bukan rukun, jadi tidak boleh dicampur adukkan. Di lain pihak, keberadaan syarat
tidak boleh:
1. Menghalalkan yang haram
2. Mengharamkan yang halal
3. Menggugurkan rukun
4. Bertentangan dengan rukun atau
5. Mencegah berlakunya rukun.
2. Ta’alluq
Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan,
maka berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2.
3. Two in one
Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad
sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang
harus digunakan (berlaku). Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan
shafqatin fi al-shafqah
MATERI IV
IJARAH

1. Definisi Ijarah
Menurut pendapat Maliki,Syafi’I dan Hambali Menyewakan barang
hukumnya di perbolehkan oleh semua ulama,Dan akadnya harus di kerjakan oleh
kedua belah pihak. setelah akadnya sah maka salah satunya tidak boleh
membatalkanya, meskipun karena suatu uzur ,(halangan). kecuali terdapat sesuatu
yang mengharuskan akad menjadi batal, seperti terdapat cacat pada barang atau
yang di sewakan. Misalnya seseorang yang menyewa rumah, lalu di dapati bahwa
rumah tersebut sudah tidak layak, atau yang menyewakan mendapati cacat pada
uang sewaan. Jika demikian, yang menyewakan boleh memilih (khiyar) antara di
teruskan atau tidak di persewakan.
Hanafi dan para pengikutnya menyatakan bahwa penyewaan boleh di
batalkan karena adanya suatu uzur yang terjadi,walaupun dari pihak pihak
penyewa. Seperti, ia akan menyewa suatu warung atau kios untuk berdagang, lalu
hartanya terbakar atau tercuri atau di rampas orang, atau bangkrut ia boleh
membatalkan penyewaannya.
Menurut pendapat mazhab Syafi’iyah dan al-Hambaliah apabila
sesorang menyewa binatang atau rumah, atau warung atau kios untuk suatu
waktu yang telah di tentukan dengan uang sewa yang telah di tentukan juga,
tetapi keduanya tidak mensyaratkan untuk segera membayar sewa dan tidak di
tentukan juga penetapan bayaran uang sewa tersebut, yang menyewakan berhak
menerima uang sewa dengan semata mata terjadinya akad.dan apabila yang di
sewakan telah di serahkan kepada penyewa, berhaklah yang menyewakan
menerima semua uang sewanya,sebab ia telah memiliki manfaat dengan
terjadinya akad penyewaan.dan uang sewa harus di serahkan kepada yang
menyewakan.
Apabila seseorang menyewakan suatu benda (barang) dalam masa waktu
yang telah di tentukan, kemudian di jualnya kepada orang lain, penjualannya
tidak sah. Menurut Hanafi, tidak boleh menjualnya, dan bagi orang yang
menyewa boleh memilih, antara membolehkan penjualan, membatalkan
penyewaan atau menolak penjualan dan meneruskan
penyewaan. Menurut pengarang al-ifsah, imam Hurairah: tidak boleh di jual
barang sewaan itu, kecuali dengan kerelaan orang yang menyewanya, atau orang
yang menyewakan itu mempunyai utang, lalu dipenjarakan oleh hakim atas sebab
utangnya, kemudian hakim menjual barang tersebut untuk membayar utangnya.
Menurut pendapat Maliki,tidak diperbolehkan menyewakan tanah
dengan menerima hasil tumbuh-tumbuhan yang di peroleh dari tanah tersebut
sebagai sewanya, demikian pula dengan makanan, seperti ikan madu, gula dan
lain-lain dari jenis makanan1
Ijarah secara etimologi adalah masdar dari kata (ajara-yariju), yaitu upah
yang diberikan sebagai kompensansi sebuah pekerjaan. Al-ajru berarti upah atau
imbalan untuk sebuah pekerjaan. Al-ajru makna dasarnya adalah pengganti, baik
yang bersifat materi maupun immateri.2
Al-Syarbini mendefinisikan ijarah sebagai berikut:
“akad untuk menukar manfaat suatu barang dengan sesuaru, dimana manfaat
tersebut merupakan manfaat yang halal dan di perbolehkan oleh syara”3
Pernyataan di atas intinya memberikan pemahaman bahwa ijarah adalah
akad untuk memberikan pengganti atau kompensasi atas pengguna manfaat suatu
barang. Ijarah merupakan akad kompensasi terhadap suatu manfaat barang atau
jasa yang halal dan jelas. 4 Sementara itu, kompilasi hukum Ekonomi Syariah
(KHES) pasal 20 mendefinisikan “ijarah adalah sewa dalam jangka waktu
tertentu dengan pembayaran” 5

Akad ijarah mewajibkan pemberi sewa untuk menyediakan aset yang


dapat digunakan atau dapat di ambil manfaat darinya selama periode akad dan
memberikan hak kepada pemberi sewa untuk menerima upah
1
Syaikh al-‘Allamah Muhamad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,

(Bandung:Hasyimi, 2012), Hal.280-284


2
menurut Muhammad bin al-mukhtar Syanqiti, ayarh Zad al-Muataqna’ li al-syanqti, (Digital
Library, al-Makhtabah al-Syamsilah al-Isdar al-Sani,2005), IX/61.sebagaimna di kutip oleh
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2016),
Hal.101
3
Menurut Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Mukhtaj ila Ma’rifah al-Alfaz,
(Digital Library, al-Makhtabah al-Syamilah al-Isdar al-sani, 2005), IX/363. Sebagaimana di
kutip oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,….. Hal. 101
4
menurut Muhammad bin al-mukhtar Syanqiti, Syarh Zad,…. IX/61.sebagaimna di kutip
oleh Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,…. Hal.102
sewa.apabila terjadi kerusakan yang mengakibatkan penurunan nilai kegunaan
dari aset yang disewakan dan bukan disebabkan kelalaiian penyewa, pemberi
sewa berkewajiban menanggung biaya pemeliharaanyavselama periode akad atau
menggantinya dengan aset sejenis. Pemberi sewa berkewajiban untuk
menyiapkan aset yang disewakan dalam kondisi yang dapat diambil manfaatnya.
Akad ijarah hendaknya memuat aturan tentang jangka waktu akad,
besarnya sewa atau upah,cara pembayaran sewa tersebut. Begitu kontrak di
setujui maka ia bersifat mengikat kedua belah pihak dan apabila ada perubahan
pada isi kontrak harus di sepakati keduanya.setelah akad di tanda tangani pemberi
sewa, tidak dapat menyewakan asset yang telah di sewakanya kepada pihak lain
untuk periode akad yang sama. Perjanjian mulai efektif ketika penyewa dapat
menggunakan aset yang di sewanya bukan saat penandatanganan kontrak,
sebaliknya pada saat itu pemberi sewa berhak menerima pembayaran sewa atau
upah.6
Dari beberapa terminologi tersebut diatas,dapat dipahami bahwa:
1) Akad ijarah adalah akad atau transaksi pemindahan hak guna atas suatu barang
atau jasa ketrampilan tertentu melalui pembayaran upah (sewa) secara
proporsional;
2) Akad ijarah tidak berakibat pada pemindahan kepemilikan atasbarang tertentu
atau jasa ketrampilan tertentu;
3) Akad ijarah ditentukan untuk masa tertentu dan tujuan tertentu dari barang
atau jasa yang disewa.
Seseorang yang menyewakan pohon kepada orang lain dengan tujuan
untuk memanfaatkan buahnya, maka tidak sah hukumnya, karena buah bukan
manfaat dari suatu pohon tersebut. Demikian pula halnya bila seseorang
menyewakan (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat
ditakar dan ditimbang, karena jenisjenis barang tersebut tidak dapat
dimanfaatkan, kecuali dengan menggunakan barang itu sendiri. Manfaat
terkadang berbentuk manfaat barang, seperti rumah untuk ditempati atau mobil
untuk dikendarai, bisa juga berbentuk karya, seperti karya seorang arsitek
taman,pekerja bangunan, tukang mebel,

6
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi di Indonesia,(Jakarta:Salemba Empat,2008), Hal.208-209
tukang jahit, tukang binatu dan lain semisalnya. Orang yang menyewakan
manfaat disebut muajjir (orang yang meyewakan), orang yang menyewa disebut
musta’jir (orang yang menyewa). Adapun sesuatu yang diakadkan untuk diambil
manfaatnya adalah ma’jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai
imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah(upah)
Manakala akad sewa menyewa telah berlangsung, maka penyewa sudah
berhak untuk mengambil manfaat. Orang yang menyewakan berhak pula untuk
mengambil upah,karena akad ini adalah akad mu’awadhah (penggantian)7
A. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpimdahan manfaat (hak guna), bukan
perpindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja
dengan prinsip jual beli, tapi perbedaaya terletak pada objek transaksi nya. Bila
pada jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya adalah
barang maupun jasa.
Pada dasarnya, ijarah di definisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. 8 menurut fatwa dewan syariah
Nasional, ijarah adalah akad pemidahan hak guna manfaat atas suatu barang atau
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tnpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 9dengan demikian, dalam akad ijarah
tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari
yang menyewakan kepada penyewa.
B. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat- syarat
akad atau menurut kelaziman penggunanya. Penyewa juga wajib menjaga barang
yang di sewakan agar tetap utuh.bagaimana dengan perawatan barang yang
disewa? Secara prinsip tidak boleh dinyatakan

7
Sayyidas-Sabiq,Fiqh al-Sunnah,(Beirut: Dar al-Fikr,1995), Jilid 3,Hal.114
8
Adiwarman A. Karim, BANK ISLAM Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2004), Hal.137-138.
9
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No.9/DSN-MUI/IV/2000 Tentang pembiayaan
ijarah.lihat dalam himpunan fatwa dewan syariah nasional untuk lembaga keuangan syariah, edisi
pertama, 2001, DSN-MUI, BI, hlm. 55. Sebagaimana di kutip oleh Adiwarman A. Karim, BANK
ISLAM Analisi Fiqih dan Keuangan,….. Hal.138
dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas perawatan karena ini berarti
penyewa bertangung jawab atas perawatan dan karna ini juga berati penyewa
bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (ghara) . oleh karena itu, ulama
berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, iya berhak
mendapatkan upah dan biaya yang wajar untuk pekerjaan itu. Bila penyewa
melakukan perawatan atas kehendaknya sendiri, ini dia nggap sebagai hadiah dari
penyewa dan ia tidak dapat meinta pembayar apapun.
C. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewanya, dapat saja harga
sewanya berubah. Bahkan yang menyewa dapat saja meminta harga dua kali lipat
dari sebelumnya. Sebaliknya, si penyewa dapat menawar setengah harga dari
harga sewa sebelumnya, semuanya tergantung kesepakatan diantara kedua belah
pihak. Namun dalam periode pertama yang telah di sepakati harga sewanya,
itulah kesepakatanya. Mayoritas ulama mengatakan, “syarat-syarat yang berlaku
bagi harga jual berlaku juga bagi harga sewa. 10
2. Dasar Hukum Ijarah
Hukum ijarah adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah
termasuk jual beli pertukaran hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah di anggap rusak, menurut ulama hanafiyah, jika
penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang
bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan
tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa
tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan
semestinya11
Akad ijarah ada dua macam, yaitu ijarah atau sewa barang dan sewa tenaga
atau jasa (pengupahan). Sewa barang pada dasarnya adalah jual

10
Adiwarman A. Karim, FIKIH EKONOMI KEUANGAN ISLAM, (Jakarta:PT DARUL
HAQ, 2001), Hal.139
11
Rachmat Syafe’I,Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) hal.131
beli manfaat barang yang di sewakan, sementara sewa jasa atau tenaga adalah jual
beli atas jasa atau tenaga yang di sewakan tersebut. Keduanya boleh dilakukan
bila memenuhi syarat ijarah12
1. Hukum Sewa-Menyewa
Dibolehkan ijarah atas mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi
dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a. Ketetapan hukum akad dalam ijarah
Menurut ulama hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan
yang sifatnya mubah. Menurut ulama malikiyah, hukum ijarah sesuai
dengan keberadaan manfaat. Ulama hanabilah dan syafi’iyah berpendapat
bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya,dan hukum tersebut
menjadikan masa sewa, seperti benda yang tampak.
b. Cara memenfaatkan barang sewaan
1. Sewa rumah
Jika seseorang menyewa rumah, di perbolehkan untuk
memanfaatkannya sesuai kemauaannya, baik di manfaatkan sendiri atau
orang lain, bahkan boleh di sewakan lagi atau di pinjamkan oleh orang
lain.
2. Sewa tanah
Sewa tanah di haruskan menjelaskan tanaman apa yang akan di
tanam atau bangunan apa yang akan di dirikan di atasnya. Jika tidak di
jelaskan ijarah di pandang rusak.
3. Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya
harus di jelaskan hal berikut,yaitu waktu dan tempat.juga harus di
jelaskan barang atau benda apa yang akan di bawa/di angkut.
c. Perbaikan barang sewaan
Menurut ulama hanafiyah, jika barang yang di sewakan rusak, contohnya
seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain lain, pemiliknya lah yang
berkewajiban memperbaikinya.namun, apabila
12
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,.........Hal.102
penyewa bersedia memperbaikinya, maka ia tidak di berikan upah sebab
dianggap sukarela.
2. Hukum upah-mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala-al-a’mal,yakni jual beli jasa, biasanya
berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah dan
lain lain. Ijara al-a’mal terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang
yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang salah
memberinya upah.
b. Ijarah musytarik
Yaitu ijarah yang di lakukan bersama-sama atau melalui kerjasama.
Hukumnya di bolehkan bekerjasama dengan orang lain. 13
Akad sewa menyewa ini disyariatkan berdasarkan Alqur’an,al- Sunnah
dan alIjma’.
Berikut ini Beberapa Firman Allah sebagaimana yang terdapat dalam al- Qur’an
mengenai ijarah:
“apakah mereka yang membagi-bagi beberapa rahmat tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat,agar sebgian dari mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan rahmat
tuhanmu lebh baik dari pada apa yang mereka kumpulkan” (Q.S. Az-Zukruf:32)

“Salah seorang dari kedua wanita itu berakata: wahai ayahku ambilah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita). Sesungguhnya orang yang paling baik
bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat di percaya”(Q.S.

Al-Qasas:26)14

“dan jika kamu ingin anakmu di susuhkan orang lain,maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberi memberikan pembayarn yang patut.

13
Rachmat Syafe’I,Fiqih Muamalah,………hal.131-134
14
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi di Indonesia,…….Hal.211
Bertkwalah kamu kepada allah dan ketahuilah bahwa allah maha melihat apa
yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Baqarah:233).15

“tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu,maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik dan jika kamu
menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”. (Q.S. Al- Talaq: At-Talaq: 6)

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang perintah memberi upah bagi para ibu
yang telah diceraikan suaminya kemudian menyusui anak dari hasil perkawinan
sebelumnya. Tradisi bangsa Arab pada zaman dahulu adalah menyusukan
anaknya kepada orang lain, dari sini muncul istilah saudara satu susuan atau ibu
susu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang disusukan kepada Halimah al-
Sa’diyah.
Ada Beberapa legalitas dari as-sunnah yang menyatakan di syariatkanya
Ijarah:

 Hadis riwayat dari adullah bin umar:


“dari Abdullah bin umar berkata, rasullulah SAW bersabda: berikanlah
upah orang yang bekerja sebelum keringatnya mengering”

 Hadis riwayat abu Hurairah:


“Allah subhanahu wa ta’ala : Tiga golongan manusia yang menjadi
musuhku dihari kiamat nanti, yaitu seseorang yang memberi kemudian ia
menghianatinya dan seseorang yang menjual sesuatu tetapi ia memakan
harganya dan seseorang yang menyewa seseorang untuk dipekerjakan,
ia memanfaatkannya tetapi belum membayar upahnya.”

15
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,……. Hal.103
Hadis di atas menjelaskan betapa Rasulullah menghargai seseorang
yang telah memberikan tenaganya untuk dimanfaatkan oleh orang lain,
sehingga beliau mengecam orang yang memanfaatkan tenaga pekerja
dan tidak memberinya upah, dengan ancaman menjadi salah satu musuh
Rasulullah SAW di hari akhir kelak.
Fuqaha mengutip hadis Rasulullah SAW yang lain sebagai berikut:
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu kami menyewa tanah
dengan jalan membayar dengan tanaman yang tumbuh, lalu Rasulullah
SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar
membayarnya uang emas atau uang perak”.

Ayat Alqur’an dan hadis tersebut di atas menjadi landasan konsensus


fuqaha tentang kebolehan akad ijarah dan tak seorang ulama pun yang
meniadakan kebolehannya. Ijarah disyariatkan berdasarkan hajat umat
manusia, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, baik
kebutuhan pokok atau kebutuhan bukan pokok lainnya yang menunjang
keberlangsungan hidup umat manusia.16

16
Nur Amalia, Laili.“Tinjauan Ekonoi Islam Terhadap Penerapan Akad Ijarah Pada Bisnis Jasa
Laundry”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No.2.2015. Hal.171

MATERI V

FIQH MUAMALAH Page 29


ARIYAH
A.     Definisi Ariyah
Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab  (ُ‫اريَة‬ ِ ‫ ) ْال َع‬diambil dari
kata (‫ )عار‬yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari
kata (‫اور‬aaa‫ )التع‬yang artinya sama dengan (‫اوب‬aaa‫اول او التن‬aaa‫ )التن‬artinya saling tukar
menukar,yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat
dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal
kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar
zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan dalam definisi oleh para
Ulama’ sebagai berikut :4
a.      Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah

            “pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”

b.      Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah

            “pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”

   Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan  adanya perbedaan dalam akibat


hukum selanjutnya,pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada
peminjam,sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain atau
pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda,sedangkan pengertian yang kedua
menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja,sehingga peminjam
dilarang meminjamkan terhadap orang lain.

Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk
diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil
keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.

Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak


mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan kekuasaan
langsung pada pemiliknya

Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai


ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula.

B.      Landasan Hukum Syara’


Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh (mandub). Dalam
praktik  Ariyah pun mendapatkan pengakuan dari syariah.5
Al Qur’an

4
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta: Liberty,2004)
5
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)

FIQH MUAMALAH Page 30


Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-
menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah
ayat kedua allah berfirman :

Yang Artinya :

“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

Dalam surat al-Nisa’ ayat 58 Allah berfirman :


Yang Artinya:

“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan amanah kepada yang


berhak menerimannya.”

Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau menunda


waktu pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat maksiat kepada pihak
yang sudah menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan merupakan suatu tindakan
terpuji, sebab selain ia tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak
peminjam itu sudah menzalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa ia
telah melanggar amanah dan melakukan suatu yang dilarang agama.
Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang
mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.
       Al-Hadits
Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara lain :
َ ‫ قَا َل َما ِمن ُمسلِ ٍم يُ ْق ِرضُ ُمسلِ ًما قَرضًا َم َّرتَي ِن اِاَّل َكانَ َك‬: ‫عَن اَبِي َمسعُو ٍد اَنَ النَّبِي ص ل‬
ً‫ص َدقَتِهَا َم َّرة‬

Artinya :

” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada seorang
muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti
shodaqoh.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:


ِ ‫َار ٌم َوالدَّينُ َمق‬
‫ض ٌي‬ ِ ‫اَ ْل َع‬
ِ ‫اريَةُ ُمؤَ َّداةٌ َوال َّز ِعي ُم غ‬

Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus
membayar dan hutang itu wajib dibayar.”

            Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam
beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya
kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab
Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian ,
maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)

FIQH MUAMALAH Page 31


C.   Rukun Dan Syarat Ariyah

1.        Rukun Ariyah


Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah. Menurut
Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni ucapan ijab dan
qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.6
Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat,
yaitu : mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang dipinjamkan),
sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik
dengan ucapan maupun perbuatan.
2.        Syarat ariyah
Ulama Fuqoha mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a.    Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan
ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang
dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang
bodoh dan juga bangkrut.7
b.    Pemegang barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang
barang adalah peminjam, digunakan sesuai manfaatnya, tetapi tidak dimiliki zatnya,
hukumnya pun dalam syara’ seperti halnya dalam hibah.
c.    Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat
dimanfaatkan akad tidak sah.
                 Para Ulama telah menetapkan ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang yang
dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjam sebidang lahan
tanah, pakaian, hewan ternak. Dalam musta’ar tidak diperbolehkan meminjamkan
barang yang satu kali guna atau mudah habis zatnya, misalnya makanan.
                 Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan
meminjamkan  Al Qur’an dan yang berkaitan dengan Al Qur’an kepada orang kafir.
Serta dilarang pula untuk meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.

 Shighat

Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam meminjam


tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat bahwa perjanjian pinjam
meminjam tersebut sah walaupun tidak dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan
kejelasan akad haruslah menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.

6
Sulaiman Rashd, Fiqh Islam,(Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)
7
Ibid

FIQH MUAMALAH Page 32


C.      Ketetapan Hukum Akad Ariyah
a.      Dasar Hukum Ariyah
Dari suatu kebiasaan, ariyah dapat diartikan dalam dua macam:8
1.      Secara Hakikat

Pinjam-meminjam atau Ariyah adalah suatu kegiatan muamalah yang mengambil


manfaat dari suatu barang tanpa memiliki zatnya. Menurut ulama’ Malikiyah dan
Hanafiyah, hukumnya adalah bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau
peminjaman memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.

Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ariyah adalah suatu
kebolehan untuk mengambil manfaat dari benda.  Dari penjelasan kedua berbeda
maksud dan tujuan dari keduanya. Utnuk pendapat yang pertama, dalam ariyah boleh
hukumnya memaksimalkan manfaat dari musta’ar (barang yang dipinjam, dan juga
dapat dipinjamkan kepada orang lain, akan tetapi untuk pendapat yang kedua hanya
dapat menggunakan manfaat dari musta’ar tanpa dipinjamkan kepada orang lain.

Dalam Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam
beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya
kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab
Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian ,
maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)

Yang arti penjelasan dari hadist ini adanya unsur kerelaan antara Mustair dan Muir atas
musta’ar, sehingga ada keridhaan jika barang yang di pinjam mengalami suatu
kecacatan.

Dari golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak
kepemilikan sebagaimana dengan gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam
hanya berhak memanfaatkannya saja, dan tidak bisa untuk memiliki bendanya. Adapun
menurut golongan pertama gadai adalah akad yang lazim atau resmi akan tetapi ariyah
adalah akad tabarru’ ( tolong menolong).

2.      Secara Majazi


Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam antara benda-benda yang takaran,
timbangan, hitungan dan lain-lain. Misalnya telur, uang, dan segala sesuatu yang bisa
dihitung. Dalam hal tersebut dalam pengembaliannnya harus serupa dan senilai dengan
benda yang dipinjam. Dengan demikian dapat disebut dengan ariyah secara majazi ,
sebab tidak dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.9
8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta : Gaya Media Pratama,2000)
9
Ibid

FIQH MUAMALAH Page 33


b.      Hak Menggunakan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur  Ulama’ selain Hanafiyah berpendapat, bahwa musta’ar dapat mengambil
manfaat barang sesuai dengan izin dari pemberi pinjaman (muir).  Adapun ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung
pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara terikat atau secara mutlak.
1.      Ariyah Mutlak
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan persyaratan
apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan
untuk orang lain, atau tidak dijelaskan penggunaannya.

2.      Ariyah Muqayyad


Adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya,
baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, mustair harus sebisa
mungkin untuk menjaga batasan tersebut.batasan tersebut melingkupi,
a). batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
b). pembatasan waktu dan tempat
c). pembatasan ukuran berat dan jenis

D.     Ihwal Ariyah, Tanggungan, dan Amanat


Ulama hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman iu merupakam amanat
bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menaggung
barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti itu juga dalam sewa menyewa atau barang
titipan, kecuali kerusakan tersebut akibat disengaja atau kelalaian. Hal ini karena
tanggunagn tidak dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu peminjapun
dikategorikan sebagai orang yangmenjaga milik orang.10
Dalam kalangan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus
menanggung barang yang tidak ada adanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti
baju. Muir tidak perlu menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan seperti
hewan atau barang yang jelasdalam hal kerusakannya.
Sedangkan dari para kalangan Syafi’iyah, peminjam menaggung  harga barang
bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai izin yang diberikan
pemilik walaupun tanpa disengaja. Yhadist tersebut sesuai hadist tentang sofwan yang
telah dibahas sebelumnya. Adapun barang tersebut digunakan sesuai dengan izin
pemilik, peminjam tidak menanggungnya  ketika terjadi kerusakan.
Sedangkan ulama hanabilahberpendapat bahwa peminjam menanggung
kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik sengaja maupun tidak. Golongan ini
mendasarkan pendapat mereka pada hadis  dari Shafwan bin umayyah.
Ulama hanabilah pun mendasarkan pendapat dengan Hadist Rasulullah SAW:

“Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya
sehingga dipenuhi.” ( HR Ahmad )

10
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bandung : Pustaka Setia, 2008)

FIQH MUAMALAH Page 34


            Barang pinjaman adalah harta orang lain yang diambil manfaatnya. Ulama
hambaliyah menyatakan, jika barang-barang dipinjam adalah benda-benda wakaf,
seperti kitab-kitab ilmiah, dan suatu saat rusak, maka yang meminjamnya tidak
menanggung kerusakannya dikarenakan barang tersebut untuk maslahat.

Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang menurut ulama
Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah ketanggungan karena diantara
keduannya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada
penitipan barang yaitu dengan sebab-sebab:

a.      Menghilangkan barang


b.      Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
c.       Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratan
d.      Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya
Sedangkan untuk biaya  pengembalian barang pinjaman itu ditanggung oleh peminjam,
sebab pengembaliannya barang merupakan kewajiban peminjam yang telah mengambil
manfaatnya.

E.      Gugurnya Ariyah


Gugurnya atau hilangnya akad ariyah ada beberapa hal, yakni:11
a.      Meninggal dunia di salah satu pihak, atau keduanya.
Jika salah satu dari mustair atau muir yang meninggal dunia maka putus sudah, atau
hilang sudah aakad ariyahnyam secara pasti pihak pemilik ataupun peminjam dapat
segera mengembalikan.
b.      Gila dari salah satu pihak
Dalam syariat Islam orang fila tidak dapat dihukumi apapun, karena gila pun data
dikatakan kehilangan akal sadarnya. Sehingga dalam berakad pun tidak dapat diterima.
c.       Adanya permasalahan dalam pengembalian
Terkadang dalam pengembalian barang pinjaman sering terjadinya cacat, atauwaktu
pengembalian yang melebihi batas waktu yang ditentukan. Sehingga sering sekali
timbul suatu sengketa dari pihak mustair dan muir, jika hal tersebut terjadi maka yang di
tangguhkan adalah sumpah dari kedua pihak.

11
Afzahlur Rahman, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Dani Bhakti,1996)

FIQH MUAMALAH Page 35


MATERI VI
HIWALAH
A. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil,
artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri,12
berpenapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :
‫اَلنَّ ْق ُل ِم ْن َم َح ٍّل إِلَى َم َح ِّل‬
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,13 para ulam berbea-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :
1.Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
‫نَ ْق ُل ْال ُمطَالَبَ ِة ِم ْن ِذ َّم ِة ْال َم ْديُوْ ِن إِلَى ِذ َّم ِة ْال ُم ْلتَ َز ِم‬
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain
yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
2. Al Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
ialah:
‫نَ ْق ُل ال َّد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ٍة إِلَى ِذ َّم ٍة‬
“Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab
orang lain.”
3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
ialah :
‫ال َد ْي ٍن ِم ْن ِذ َّم ٍة إِلَى ِذ َّم ٍة‬ َ َ‫ضى اِ ْنتِق‬ ِ َ‫َع ْف ٌد يَ ْقت‬
“Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari seseorang kepada yang
lain.”14
4. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :
‫ق ِم ْن ِذ َّم ِة ْال ُم ِحي ِْل إِلَى ِذ َّم ِة ْال ُم َحا ِل َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫نَ ْق ُل ْال َح‬
“Pemindahan kewaikban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang
menerima pemindahan. ”15
5.Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah :
‫اِ ْنتِقَا ُل ال َّد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ٍة إِلَى ِذ َّم ٍة‬
“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”16

B. Landasan Hukum Hiwalah


1. Al-Qur’an

“Hai
orang-
12
Lihat,al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hal. 210.
13
Ibid.
14
Lihat,Qulyubi wa Umaira, Dar al-Ihya- al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth. 318.
15
Lihat, al-Bajuri, Usaha Keluarga, Semaran g. Tth. Hal. 376.
16
Lihat, Kifayah al-Akhyar, hal. 274.

FIQH MUAMALAH Page 36


orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah17tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”
2. Hadits
ْ ‫ َم‬: ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم‬
‫ط ُل ال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم فَإِ َذا‬ َ ِ ‫ي هّللا َع ْنهَ اَ َّن َرسُوْ َل هّللا‬ ِ ‫ع َْن اَبِ ْي هُ َري َْرةَ َر‬
aَ ‫ض‬
‫أَ ْتبَ َع أَ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِي ٍء فَ ْليَتَّبِ ْع‬
"Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar itu
suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu hutangnya
dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima”.18
3. Ijma’

Kesepakatan ulama (ijma’) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan

C. Rukun dan Syarat Hiwalah


Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan kabul yang
dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-
syarat hiwalah hiwalah menurut Hanafiyah ialah :
1. Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal, maka batal
hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang berakal, maka
batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3. Orang yang dihiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan
disyaratkan juga ia meridhainya.
4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.19
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
1. Muhil, yaitu oran yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang
kepada muhil.
3. Muhal ‘alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
5. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: “aku hiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabul dari muhtal dengan kata-
katanya : “aku terima hiwalah engkau.”20

D. Beban Muhil Setelah Hiwalah


Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur.
Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau
meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah
pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih
orang kafir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal
boleh kembali lagi kepada muhil.Menurut Imam Malik, orang yang
menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami

17
Bermu’amalh ialah seperti jual beli, hutang-piutang, sewa-menyewa dan lain sebagainya.
18
HR.Bukhari Muslim.
19
Liahat, Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1969 hal. 212-213.
20
Ahmad Idris dalam, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986. Hal. 57-58.

FIQH MUAMALAH Page 37


kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’
alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang
mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.21

E. Hiwalah dalam Perbankan Syariah


Al-Hiwalah, yaitu jasa pengalihan tanggung jawab pembayaran utang dari
seseorang yang berutang kepada orang lain. 22 Contoh : Tuan A karena transaksi
perdagangan berutang kepada Tuan C. Tuan A mempunyai simpanan di Bank, maka
atas permintaan tuan A, bank dapat melakukan pemindahbukuan dana pada rekening
tuan A untuk keuntungan rekening C. Atas jasa pengalihan utang ini bank
memperoleh fee.

Muhal ‘Alaih
(Factor/Bank)

2. invoice 5. Bayar

3. Bayar 4. Tagih

Muhal Muhil
(Penyuplai) (Pembeli)
1. Suplai Barang

Ketentuan umum al-hiwalah ini diatur dalam Fatwa DSN No. 12/DSN-
MUI/IV/2000, dengan isi ketentuannya sebagai berikut :
1) Rukun hiwalah adalah muhil yaitu orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang kepada muhal, muhal atau muhtal adalah orang yang berpiutang
kepada muhil, muhal ‘alaih yaitu orang yang berutang kepada muhil dan wajib
membayar utang kepada muhtal, dan sighat (ijab kabul).
2) Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-
cara komunikasi modern.
4) Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal
‘alaih.
5) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan kdlam akad secara tegas.
6) Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalahmuhal
dan muhal ‘alaih dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

21
Lihat, Syyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 44.
22
Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Prenada Media : Jakarta). 2005. Hal.
164.

FIQH MUAMALAH Page 38


MATERI VII
AL-WAKALAH

A. Pengertian dan Hukum Wakalah


Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian madat.
Wakalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut. 23

Malikiyyah berpendapat bahwa wakalah adalah :

َ َ‫ق لَهُ يَت‬


‫ص َّر فِي ِه‬ ِ ‫ص َغ ْي َره‬
ّ ‫فى َح‬ ٌ ‫ض ْيم) ش َْخ‬
ِ ُ‫اَنْ يَنِ ْيب (ي‬
Artinya:

Seseoarang menggantikan (menepati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang
mengelola pada posisi itu.

Hanafiyyah berpendapat bahwa wakalah adalah :

‫ق‬ َ َ‫ه ِفى ت‬aِ ‫س‬


ٍ ‫ص َّر‬ ْ َ‫ص َغ ْي َرهُ َمقَا َم ن‬
ِ ‫ض‬ ٌ ‫ضي َم ش َْخ‬
ِ ُ‫اَنْ ي‬
Artinya:

Seseorang menempati diri orang lain dalam tasarruf (pengelolaan).

Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunah 13 mendefinisikan al-wakalah sebagai pelimpahan
kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat didiwakilkan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud


dengan al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan
sesuatu dalam hal-hal yang  dapat diwakilkan. Jumhur ulama sepakat membolehkan al-
wakalah, bahkan mensunnahkannya karena kegiatan ini termasuk jenis ta’awun (tolong
menolong) atas dasar kebaikan dan takwa, yang oleh al-Qur’an diserukan dan disunnahkan
oleh Rasulullah SAW.

Pada dasarnya wakalah bersifat mubah, tetapi akan menjadi haram jika urusan yang
diwakilkan adalah hal-hal yang bertentangan dengan syariah, menjadi wajib jika
menyangkut hal yang darurat menurut Islam, dan menjadi makruh jika menyangkut hal-hal
yang makruh, jadi masalah yang diwakilkan sangat penting.

Dalam fiqih berdasarkan ruang lingkupnya wakalah dibedakan menjadi tiga macam:
Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk
segala urusan. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas
namanya dalam urusan-urusan tertentu. Wakalah al amah, perwakilan yang lebih luas dari
al-muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al-mutlaqah.
23
Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 57-58.

FIQH MUAMALAH Page 39


B. Landasan Hukum Wakalah
Islam membolehkan adanya perwakilan (wakalah) dengan melihat kepada ayat-ayat Al-
Qur’an atau  Hadist yang menunjukan adanya perwakilan di dalam Islam. 24

1. Al-Qur’an

……‫َوا ْل َعا ِملِينَ َعلَ ْي َها‬


 “…pengurus-pengurus zakat…” (QS. At-Taubah [9]: 60)

َ ‫ة فَ ْليَ ْنظُ ْر أَيُّ َها أَ ْز َكى‬aِ َ‫فَا ْب َعثُوا أَ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم َه ِذ ِه إِلَى ا ْل َم ِدين‬
……‫ط َعا ًما‬
“…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu…” (QS. Al-Kahfi [18]: 19)

‫ض إِنِّي َحفِيظٌ َعلِي ٌم‬ ْ ‫قَا َل‬


ْ ‫اج َع ْلنِي َعلَى َخزَائِ ِن‬
ِ ‫األر‬
Berkata Yusuf “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (QS. Yusuf [12]: 55).

‫س أَنْ ت َْح ُك ُموا بِا ْل َعد ِْل‬ ِ ‫إنَّ هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَنْ تُؤَ دُّوا األ َمانَا‬
ِ ‫ت إِلَى أَ ْهلِ َها َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا‬
             a‫صي ًرا‬ َ َ‫إِنَّ هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه إِنَّ هَّللا َ َكان‬
ِ َ‫س ِمي ًعا ب‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” (QS. al-Nisa’ [4]: 58).

‫الحا‬
ً ‫ص‬ ْ ِ‫ق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوا َح َك ًما ِمنْ أَ ْهلِ ِه َو َح َك ًما ِمنْ أَ ْهلِ َها إِنْ يُ ِريدَا إ‬
َ ‫شقَا‬ِ ‫َوإِنْ ِخ ْفتُ ْم‬
ِ ِّ‫يُ َوف‬
‫ق هَّللا ُ بَ ْينَ ُه َما إِنَّ هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما َخبِي ًرا‬
“Dan jika kalian khawatirkan terjadi persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika
kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. An-
Nisa’ [4]: 35).

2. As-Sunnah

Rasullulah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya dan
banyak hadist yang menunjukan dibolehkannya praktek wakalah. Hadist tersebut
diantaranya:

24
Ibid., 59.

FIQH MUAMALAH Page 40


َ ‫سلَّ َم بَ َع‬
َ‫ث اَبَا َرافِ ٍع َم ْولَهُ َو َر ُجالً ِمن‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫اَنَّ النَّبِ َّي‬, ‫سا ٍر‬ َ َ‫سلَ ْي َمانَ بْنَ ي‬ ُ ْ‫َوعَن‬
‫ َو ُه َو بِا ْل َم ِد ْينَ ِة قَ ْب َل اَنْ يَ ْخ ُر َج‬,‫ث‬ َ َ َ ‫األَ ْن‬
ِ ‫ بِ ْنتَ ا ْل َحا ِر‬a‫ فزَ َّو َجاهُ َم ْي ُم ْونَة‬,‫صا ِر‬
Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi saw, mengutus Abu Rafi’, hamba yang
pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu menikahkan
Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (nabi saw) di Madinah sebelum
keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah). (HR Maliki dalam Muwaththa’)

ُ ‫ا أُنَ ْي‬aaَ‫ ُد ي‬a‫ َوا ْغ‬:‫ا َل‬aaَ‫لَّ َم ق‬a‫س‬


َ aَ‫إ ِ ِن ا ْعت‬aَ‫ َذا ف‬a‫ َرأَ ِة َه‬a‫س إِلَى ا ْم‬
ْ‫رفَت‬a َ ‫ ِه َو‬a‫صلَى هللاُ َعلَ ْي‬
َ ‫َن النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ع‬
ْ َ‫ف‬
‫ار ُج ْم َها‬
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda kepada Unais, “Pergilah hai Unais,
kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui perbuatannya, rajamlah dia.” (HR Bukhari)

ْ َ‫سلَّ َم أَ ْعطَاهُ ِد ْينَا ًرا لِي‬


َ ‫شتَ ِر‬
‫ي‬ َ ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫لج ْع ِد ْالبَا ِرقِ ْي أَنَّ النَّبِ َّي‬
َ ‫عَنْ ع ُْر َوةَ ْب ِن اَبِ ْي ْا‬
ُ‫ فَ َدعَالَه‬،‫ فَبَا َع إِ ْحدَا ُه َما بِ ِد ْينَا ٍر َو َجا َءهُ بِ ِد ْينَا ٍر َو شَا ٍة‬,‫شتَ َرى لَهُ بِ ِه شَاتَ ْي ِن‬ ْ ‫ فَا‬،ً‫بِ ِه لَهُ شَاة‬
.‫اب لَ َربِ َح فِ ْي ِه‬
َ ‫شت ََرى التُّ َر‬ ْ ‫ َو َكانَ لَ ِوا‬،‫بِا ْلبَ َر َك ِة فِ ْي بَ ْي ِع ِه‬
Dari ‘Urwah  bin Abil Ja’d Al-Bariqie: Bahwa Nabi saw (pernah) memberikan uang
satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan uang
tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu
dinar. Ia pulang membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi s.a.w. mendoakannya
dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli tanah pun, ia pasti
beruntung.” (H.R. Bukhari

Wakalah juga sebagai bentuk tolong menolong yang diridhai Allah, ini berdasarkan
pada sabda Rasulullah SAW yang artinya:

‫َوهللاُ فِى ع َْو ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْب ُد فِى ع َْو ِن أَ ِخ ْي ِه‬
“ Dan Allah (akan) menolong hambaNya selama hamba-hambanNya mau menolong
saudara-saudaranya”.

3. Ijma

Ulama telah sepakat (ijma’) untuk memperbolehkan muslim melakukan akad/perjanjian


wakalah, karena termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa,
yang sangat dianjurkan Al-Qur’an dan Rasullah SAW.

“(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain), maka hal
itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan kepada wakil; oleh
karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada orang lain). 

C. Rukun dan Syarat Wakalah


Al wakalah termasuk akad, seperti umumnya akad lainnya wakalah akan sah dan
mempunyai  akibat hukum jika memenuhi rukun dan syaratnya.

FIQH MUAMALAH Page 41


Rukun dan Syarat Wakalah:25

1. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syarat-syarat muwakkil:

o Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika
yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah
tersebut batal.
o Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan
tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak,
memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan, maka  tindakan
tersebut batal.

2. Wakil atau yang mewakili, syarat-syarat wakil:

o Cakap hukum, berakal

o Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya

o Wakil adalah orang yang diberi amanat.

3. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang 


diwakilkan:

o Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, maka batal


mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti “ Aku jadikan engkau
sebagai wakilku untuk mewakilkan salah seorang anakku”
o Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam

4. Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus bisa
dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa
diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah. Orang yang mewakilkan
(muwakkil), syarat-syarat muwakkil:26

o Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika
yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah
tersebut batal.
o Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. Jika tindakan
tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti thalak,
25
M. Noor Harisudin, Fiqih Muamalah 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), 69.
26
Ibid,. 70.

FIQH MUAMALAH Page 42


memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan, maka  tindakan
tersebut batal.

5. Wakil atau yang mewakili, syarat-syarat wakil:

o Cakap hukum, berakal

o Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya

o Wakil adalah orang yang diberi amanat.

6. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang  diwakilkan:

o Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, maka batal


mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti “ Aku jadikan engkau
sebagai wakilku untuk mewakilkan salah seorang anakku”
o Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam

o Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa


harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-
hal yang tidak bisa diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah.

D. Macam-macam Wakalah
Wakalah terbagi menjadi, muthlaq dan muqayyad.

a. Wakalah muqayyad adalah wakalah dimana muwakil membatasi tindakan wakil


dan menentukan cara melaksanakan tindakan tersebut. Misalnya, “Aku wakilkan
padamu untuk menjual rumahku ini dengan harga sekian”.
b. Wakalah muthlaq adalah wakalah yang terbebas dari setiap batasan. Misalnya,
“Aku wakilkan padamu untuk menjual rumahku”. Maka wakil dapat menjualnya
dengan harga layak dan tidak terbatas dengan harga tertentu.

E. Berakhirnya Akad Wakalah


Akad perwakilan berakhir dengan hal – hal berikut ini : 27

a. Kematian atau kegilaan salah satu dari dua orang yang berakad. Diantara syarat
– syarat perwakilan adalah kehidupan dan keberadaan akal. Apabila terjadi
kematian atau kegilaan maka perwakilan telah kehilangan sesuatu yang
menentukan kesahannya.
b. Diselesaikan pekerjaan yang dituju dalam perwakilan. Apabila pekerjaan yang
dituju telah selesai maka perwakilan tidak lagi berarti.
c. Pemecatan wakil oleh muwakil, meskipun wakil tidak mengetahuinya.
Sementara menurut madzhab Hanafi, wakil harus mengetahui pemecatan.

27
Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah (Jakarta: Erlangga, 1969), 215.

FIQH MUAMALAH Page 43


MATERI VIII
WADI’AH

A. Pengertian Wadi’ah
Al-wadi’ah atau barang titipan secara etimologi ialah sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya supaya dijaganya (Ma Wudi’a ‘inda ghair malikihi
layahfadzahu)28, berarti bahwa al-wadi’ah adalah memberikan. Makna yang kedua dari
segi bahasa ialah menerima. Secara etimologi al-wadi’ah sendiri banyak didefinisikan
oleh para ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Malikiyah al-wadi’ah memiliki dua arti, arti pertama ialah:
‫ارةٌ ع َْن تَوْ ِكي ِْل َعلَي ُم َج َّر ِد ِح ْف ِظ ْال َما ِل‬
َ َ‫ِعب‬
“Ibarah perwakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarrad”
2. Menurut Syafi’iyah yang dimaksud dengan al-wadi’ah ialah :
ِ ‫ضى لِ ِح ْف ِظ ال َش ْي ِء ْال ُموْ د‬
‫َع‬ َ َ‫اَ ْل َع ْق ُد ْال ُم ْفت‬
“Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan”
3. Menurut Hasbi Ash-Shidiqie al-wadi’ah ialah akad yang intinya minta
pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip.
4. Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan
(diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Selain dari pendapat-pendapat ulama tersebut, terdapat beberapa definisi lain. Di
antaranya, yaitu:
1. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah

28
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. (Jakarta:Raja Grafindo, 2013), hlm.179.

FIQH MUAMALAH Page 44


al-wadi’ah diartikan sebagai penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan
pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam pasal 763 yang dimaksud
dengan barang titipan (wadi’ah) adalah barang yang diserahkan kepada orang
tertentu agar menyimpannya dengan baik dan aman.29
3. Menurut Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
bab 1, pasal 1 ayat (5): Wadi’ah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik
dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana
tersebut‛.30
Setelah diketahui definisi-definisi al-wadi’ah yang telah dijelaskan, maka dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wadi’ah adalah penitipan,
yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya
secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda
titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima
titipan tidak wajib menggantikannya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh
kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya.
Bank Islam seperti halnya bank konvensional, juga dapat memberikan jasa rekening
giro kepada nasabahnya. Hal itu dilakukan dengan memberikan jasa yang disebut
wadi’ah. Dalam bahasa Indonesia berarti titipan. Akad wadi’ah merupakan suatu akad
yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia.31

B. Dasar Hukum Wadi’ah


Beberapa dasar hukum yang melandasi wadi’ah, di antaranya:
1. Al-Quran
a. Q.S. An-Nisa Ayat 58

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa barang titipan harus
dikembalikan kepada pemiliknya disaat pemilik harta titipan memintanya dan
penerima titipan wajib mengembalikan amanat tersebut tepat waktu sesuai

29
A. Djazuli, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam. (Bandung:Kiblat Press, 2002), hlm.167.
30
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/7/Pbi/2004, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, dalam http://www.bi.go.id/id/peraturan/arsip-peraturan/Moneter2004/PBI-
67-04.pdf, diakses pada 16 Februari 2016.
31
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), hlm. 55

FIQH MUAMALAH Page 45


dengan kesepakan oleh keduanya. Penerima titipan juga wajib
mengembalikannya secara jujur, artinya tidak menipu dan menyembunyikan
rahasia dari pemilik titipan tersebut. Menurut para mufasir, ayat tersebut turun
karena berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah
(seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah
b. Q.S. al-Baqarah ayat 283

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan apabila dalam melakukan
akad wadi’ah haruslah saling mempercayai dan berbaik sangka pada masing-
masing pihak, yaitu tidak adanya pengkhianatan atau mengingkari hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya. Penerima titipan juga harus dapat menunaikan amanat
yang diberikan penitip harta kepadanya sebaik mungkin. Penerima titipan harus
dapat mempercayai dirinya sendiri bahwa ia sanggup menjaga harta titipan yang
diserahkan kepadanya tersebut, karena makruh hukumnya terhadap orang yang
dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya sendiri bahwa ia dapat
menjaganya. Selain itu apabila seseorang tersebut tidak kuasa atau tidak
sanggup untuk menjaga harta titipan sebagaimana mestinya hukumnya haram,
karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya
barang yang dititipkan tersebut.
2. Hadist
a. Hadist yang menjadi landasan wadi’ah, yaitu:

FIQH MUAMALAH Page 46


“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan
janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa' 5/381).
Berdasarkan hadis tersebut dapat disimpulkan orang yang merasa mampu
dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai
ibadah juga mendapat pahala, di samping mempunyai nilai sosial yang tinggi.
b. Hadits yang diriwayatkan dari Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari
kakeknya, bahwa Nabi saw, bersabda:

“Barang Siapa yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin’’. (Ibnu Majah:


Jilid 2: 353)
Hadits ini mene rangkan bahwa orang yang menerima titipan tidak
berkewajiban menjamin kecuali apabila dia tidak melakukan kewajiban
sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang titipan.
Ibnu Umar berkata bahwasanya Rasulullah telah bersabda, “Tiada
kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi
yang tidak bersuci”. (HR. Thabrani)32

3. Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus)
terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat,
seperti dikutip oleh Az-Zuhayly dalam Fiqh al-Islam wa Adillatul dari Kitab al-
Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.33
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah),
artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada
aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang
bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas
kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadis, ‚Jaminan
pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan
(pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.‛
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
a. Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang giro berdasarkan prinsip
wadi’ah, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bersifat titipan
2) Titipan bisa diambil kapan saja (on call)
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

32
M. Nur Rianto al Arif, Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 37
33
Karnaen A. Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam.
(Yogyakarta:Bhakti Wakaf, 1992), hlm.17-19.

FIQH MUAMALAH Page 47


b. Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan berdasarkan
prinsip wadi’ah, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bersifat simpanan
2) Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan
kesepakatan
3) Tidak ada imbalan yang diisyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank

C. Hukum Menerima Wadi’ah


Terdapat empat hukum wadi’ah, yaitu sunnah, makruh, wajib dan haram. Hal ini
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Penjelasan masing-masing hukum adalah sebagai
berikut.
1. Sunnah
Dihukumkan sebagai sunnat, karena wadi’ah sebagai salah satu akad dalam
rangka tolong-menolong sesama insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam.
Dari alasan tersebut di atas, wadi’ah (barang titipan) adalah amanat dan
disunnahkan menerimanya bagi orang yang bisa memenuhi kewajiban terhadap
titipan tersebut, yaitu memelihara dan mengembalikan titipan apabila pemiliknya
meminta kembali barangnya. Akan tetapi hukum sunah tersebut akan berubah
menjadi wajib terutama dalam hal-hal penitipan barang yang disebabkan karena
keadaan terpaksa, misalnya: banjir, kebakaran, perampokan, kecelakaan lalu lintas
dan peristiwa peristiwa lainnya yang tidak diduga sebelumnya.
2. Makruh
Dihukumkan sebagai makruh yaitu dalam hal si penerima titipan mempunyai
keyakinan bahwa sebenarnya dia dapat menjaga barang titipan itu sebagaimana
mestinya, akan tetapi dia sangsi dengan adanya barang titipan itu dalam
penjagaannya akan mengakibatkan dia tidak berlaku amanah atau khianat.
3. Wajib
Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang
lain tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda
tersebut.
4. Haram
Dihukumkan menjadi haram, apabila orang yang menerima barang titipan
tidak mampu memeliharanya. Sebagian ulama’ ada yang berpendapat tentang
wajibnya menerima barang titipan jika pemilik barang itu tidak mendapatkan
orang yang bisa dititipi. Ulama’ tersebut juga berpendapat bahwa orang yang
dititipi itu tidak menerima upah atas pemeliharaannya, sedangkan kebutuhan-
kebutuhan yang terkait dengan barang seperti tempat tinggal atau biaya,
menjadi tanggungan pemiliknya.
Sedangkan dalam menanggung risiko barang titipan, orang yang
menerimanya tidak wajib menanggungnya, kecuali karena kelengahan.

FIQH MUAMALAH Page 48


D. Rukun Wadi’ah
Rukun merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan, jika rukun
tersebut tidak ada salah satu, maka akad wadi’ah tidak sah. Wadi’ah mempunyai tiga
rukun yang harus dilaksanakan. Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi
dengan prinsip wadi’ah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
1. Orang yang menitipkan barang (muwadi’)
2. Orang yang dititipi barang (wadi’)
3. Barang yang dititipkan (wadi’ah)
4. Ijab qabul (sighat)
Menurut ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wadi’ah hanya satu, yaitu
ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat bukan rukun.

E. Syarat Wadi’ah
Sahnya perjanjian wadi’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang yang melakukan akad sudah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak
secara hukum), karena akad wadi’ah, merupakan akad yang banyak
mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil sekalipun telah berakal,
akan tetapi tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah, baik sebagai orang yang
menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima titipan barang.
Disamping itu, jumhur ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus
cerdas. Sekalipun telah berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas, hukum
wadi’ah -nya tidak sah.
2. Barang titipan itu harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai. maksudnya,
barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk
dipelihara.
3. Bagi penerima titipan harus menjaga barang titipan tersebut dengan baik dan
memelihara barang titipan tersebut di tempat yang aman sebagaimana kebiasaan
yang lazim berlaku pada orang banyak berupa pemeliharaan.

F. Sifat Akad Wadi’ah


Ulama fikih sepakat bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat bagi kedua belah pihak
yang berakad. Apabila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini
memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab
memelihara barang titipan tersebut.
Ulama fikih juga sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanah, bukan daman
(ganti rugi), sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak
menjadi tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakan itu dilakukan secara
sengaja oleh orang yang dititipi.
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah disyaratkan orang yang dititipi
dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan maka akadnya batal.
Karena pada prinsipnya penerima titipan (wadi’) tidaklah dibebani pertanggungan
akibat kerusakan barang titipan, karena pada dasarnya barang itu bukan sebagai
pinjaman dan bukan pula atas permintaannya, melainkan semata-mata menolong
penitip untuk menjaga barangnya. Akibat lain dari sifat amanah akad wadi’ah ini
adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan tersebut.

FIQH MUAMALAH Page 49


Oleh karena itu wadi’ berhak menolak menerima titipan atau membatalkan akad
wadi’ah. Namun apabila wadi’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya
administrasi misalnya, maka akad wadi’ah ini berubah menjadi akad sewa (ijarah) dan
mengandung unsur kedzaliman. Artinya wadi’ harus menjaga dan bertanggung jawab
terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadi’ tidak boleh membatalkan akad ini
secara sepihak karena sudah dibayar.

G. Jenis–jenis Wadi’ah
Dalam praktik di dunia perbankan, modal penitipan (wadi’ah) ini sudah lama
dijalankan, termasuk diperbankan syari’ah. Transaksi wadi’ah dapat terjadi pada giro
dan/atau tabungan. Hanya dalam perbankan syari’ah akad wadi’ah masih digolongkan
menjadi dua bagian, yakni wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
1. Wadi’ah Yad Amanah
Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang
bukan di akibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
2. Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadiah yad dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan
barang/uang dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan. Hal seperti ini digunakan oleh perbankan Syariah dalam giro
dan tabungan.
Dalam wadi’ah amanah34, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan
oleh pihak yang yang dititipkan dengan alasan apapun juga. Akan tetapi pihak yang
dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak yang menitipkan sebagai
kontraprestasi atas penjagaan barang yang dititipkan. Pada wadi’ah yad dhamanah35
pihak yang dititipkan (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia
boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Dan pihak bank boleh memberikan sedikit
keuntungan yang didapat kepada nasabahnya dengan besaran berdasarkan
kebijaksanaan pihak bank.

H. Penerapan Wadi’ah di Perbankan Syari’ah


Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan
prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk
tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah
yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan
dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang
sifatnya bertentangan namun dipaksakan.36
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah37, karena di dalam
praktiknya baik produk Giro Wadi’ah ataupun Tabungan Wadi’ah, bank meminta pihak
penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola
34
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.
85.
35
Ibid, hlm. 87.
36
Dr. Sutan Remi Sjahdeini. Perbankan Islam. Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 2007), hlm. 56.
37
M. Nur Rianto Al Arif. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. (Bandung:Alfabeta, 2010), hlm.36.

FIQH MUAMALAH Page 50


titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil  yang diperoleh dari
pemanfaatan titipan nasabah, dengan kata lain bank tidak dikenai tanggung jawab
(kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadi’ah, pemanfaatan suatu titipan dalam
bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh
pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian
dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar
prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadiah dan qard,
namun lebih layak berlandaskan qard.
Jika kita cermati lebih lanjut, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah yang
ada di perbankan syariah bukanlah wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih.
Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum
dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai
proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala risiko yang terjadi pada dananya.
Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya

MATERI IX
AR-RAHN (GADAI)

A. Pengertian dan Dasar Hukum Ar-Rahn (Gadai)


Menurut bahasa, ( al-rahn ) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau
terjerat.
Adapun secara termologi para ulama fiqh mendefisinikan secara berikut :
1. Menurut Sayyid Sabiq, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga menurut
pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2. Menurut Muhammad rawwas Qal’ahji penyusun buku Ensiklopedia Fiqih
Umar bin Khattab r.a, berpendapat bahwa ar-rahn adalah menguatkan utang
dengan jaminan utang.
3. Menurut Masjfiq Zuhdi ar-rahn adalah perjanjian atau akad pinjam
meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4. Menurut Nasrun Haroen, ar-rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai
jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran
hak (piutang), baik keseluruhannya ataupun sebagian.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa ar-rahn adalah menjadikan
barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut
berkaitan erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya. Sebenarnya
pemberiaan utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong
orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam
keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang memberikan
suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh orang yang berutang. Untuk
maksud itu pemilih uang boleh meminta jaminan dalam bentuk barang berharga.

FIQH MUAMALAH Page 51


Hukum meminta jaminan itu adalah mubah berdasarkan petunjuk Allah
dalam Al-qur’an sebagai berikut:

“Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan utang, maka
hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu” (Al-Baqarah: 283)

Para ulama sepakat bahwa ar-rahn dibolehkan tetapi tidak diwajibkan, sebab
gadai bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling memercayai.
Firman Allah Farihaanun Maqbuudhuh pada ayat di atas adalah irsyad (anjuran
baik) saja kepada orang yang beriman, sebab pada lanjutan ayat tersebut
dinyatakan “akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (untungnya)”. (QS. Al-
Baqarah: 283)

B. Rukun dan Syarat- Syarat Gadai


Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn. Menurut
Jumhur Ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu:
1. Orang yang berakad (ar-rahn dan al-murtahin)
2. Sighat (lafadz ijab dan qabul)
3. Utang (al-marhun bih)
4. Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun)
Adapun syarat-syarat ar-rahn para ulama fiqh menyusunnya sesuai dengan
rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat ar-rahn adalah sebagai
berikut:
1. Syarat yang terkait dengan orang berakad (ar-rahn dan al-murtahin) adalah
cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur
ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal.
2. Syarat yang terkait dengan sighat, ulama Hanafiyah berpendapat dalam akad
itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan pleh syarat tertentu.
3. Syarat yang berkaitan dengan utang (al-marhun bih) : (a) merupakan hak
yang wajib dikembalikan kepada yang memberi utang, (b) utang itu boleh
dilunasi dengan jaminan, dan (c) utang itu jelas dan tertentu.
4. Syarat yang berkaitan dengan barang yang dijadikan jaminan (al-marhun),
menurut ulama fiqh syarat-syaratnya adalah sebagai berikut: (a) barang
jaminan boleh dijualdan nilainya seimbang dengan utang, (b) berharga dan
boleh dimanfaatkan, (c) jelas dan tertentu, (d) milih sah orang yang berutang,
(e) tidak terkait dengan hak orang lain, (f) merupakan harta utuh dan, (g)
boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.

FIQH MUAMALAH Page 52


C. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Pemanfaatan barang gadai oleh ar-rahn :
Diantara para ulama terdapat dua pendapat, Jumhur Ulama selain Syafi’iyah
melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadi tau jaminan, sedangkan
ulama
Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudaratkan al-murtahim.
Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahim tidak boleh
memanfaatkan barang gadai. Kecuali bila al-rahin tidak mau membiayai barang
gadai tersebut. Dalam hal ini al-murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika
berupa kendaraan atau hewan seperti dibolehkan untuk mengendarainya atau
mengambil susunya sekedar pengganti pembiayaan.

D. Risiko Kerusakan Marhun


Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib
menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena
disia-siakan, misalnya murtahin bermain-main dengan api lalu terbakar barang gadaian itu,
atau gudang tak dikunci lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin
diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau
kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.

Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung risiko kerusakan


marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian
(disia-siakan) maupun tidak. Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir. Perbedaan dua
pendapat tersebut ialah menurut Hanafi murtahin harus menanggung risiko kerusakan atau
kehilangan marhun yang dipegangnya, baik marhun hilang karena disia-siakan maupun
dengan sendirinya. Sedangkan menurut Syafi’iyah murtahin menanggung risiko kehilangan
atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.

E. Penyelesaian Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh
diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu
melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik
murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran
yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang
rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya, ada
kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih
besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak
rahin.

Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang
telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun,

FIQH MUAMALAH Page 53


pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku
pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya,
dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya
dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari
jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

MATERI X
MURABAHAH

2.1Murabahah
A. Pengertian Jual Beli Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk  mutual (bermakna: saling)
yang diambil dari bahasa Arab, yaitu ar-ribhu (‫)الر ْب ُح‬
ِ yang berarti kelebihan dan
tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan saling menambah
(menguntungkan). Murabahah menurut fiqh Islam adalah suatu bentuk jual beli
tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang
dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan
tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.
Jual-beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang
membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga
pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau
keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau
angsur. Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian
dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap
suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini
merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah
ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh.
B. Landasan Hukum Murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
a) Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli,
diantaranya adalah firman Allah:

FIQH MUAMALAH Page 54


ِّ ‫َوأَ َح َّل هللاُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
‫الربَا‬
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba"
(QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli
dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
Dan firman Allah:
ً‫يَااأَ ُّي َها الَّ ِذينَ َءا َمنُوا الَتَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِا ْلبَا ِط ِل إِالَّ أَنْ تَ ُكونَ تِ َجا َرة‬
‫ض ِّمن ُكم‬
ٍ ‫عَن ت ََرا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”
(QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
ْ َ‫اح أَن تَ ْبتَ ُغوا ف‬
‫ضالً ِّمن َّربِّ ُك ْم‬ ٌ َ‫س َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬
َ ‫لَ ْي‬
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Rabbmu” (QS.Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari
rezki melalui jual beli. 
b) Assunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'AlaihiWassallam: “Pendapatan yang
paling afdhal(utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli
yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
,‫ البَ ْي ُع إِل َى أَ َج ٍل‬:‫ث فِ ْي ِه َّن البَ َر َكة‬ َ َ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم ق‬
ٌ َ‫ ثَال‬:‫ال‬ َ ‫أَ َّن النَّبِي‬
َّ ‫صل‬
‫ ( َر َواهُ اب ُْن َما َجه‬.‫ت الَ لِ ْلبَي ِْع‬ِ ‫خَلطُ البُ ّر بِال َّش ِعي ِْر لِ ْلبَ ْي‬
ْ ‫ َو‬,‫ضة‬ َ ‫ار‬
َ َ ‫َوال ُمقـ‬
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan
pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain
dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
C. Rukun dan Syarat Murabahah
a. Rukun Murabahah
 Penjual (Bai’)
 Pembeli (Musytari’)
 Barang/Obyek (Mabi’)
 Harga (Tsaman)
 Ijab Qabul (Sighat)
b. Syarat Murabahah
 Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
 Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan;
 Kontrak harus bebas riba;
 Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas
barang sesudah pembelian;
 Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian.
2.2 Salam
A. Pengertian Salam

FIQH MUAMALAH Page 55


Secara bahasa as-salam  atauas-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis
para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas
dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan
kemudian hari”.
Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-
Mahawi’ij yang artinya “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang
yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua
belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.
Secara lebih rinci salam didefenisikan sebagai bentuk jual beli dengan
pembayaran di muka dan penyerahan barang di kemudian hari ( advance
payment atau forward buying atau future sales ) dengan harga spesifikasi,
jumlah kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas , serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian .
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus
diproduksi terlebih dahulu , seperti produk-produk pertanian dan produk-
produk fungible (barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat,
ukuran dan jumlahnya ) lainnya .
B. Landasan Hukum Salam
Al-Hadist
‫يب‬ُ a‫ص‬ ِ ُ‫( ُكنَّا ن‬: ‫ قَااَل‬-‫ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما‬ َ ‫ َو َع ْب ِد هَّللَا ِ ْب ِن أَبِي أَ ْوفَى‬،‫َوعَنْ َع ْب ِد اَل َّر ْح َم ِن ْب ِن أَ ْب َزى‬
ِ ‫ر‬-
ْ ُ‫ فَن‬,‫ ِام‬a ‫لش‬
‫لِفُ ُه ْم‬a ‫س‬ ِ aَ‫اطٌ ِمنْ أَ ْنب‬aaَ‫ول هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم َو َكانَ يَأْتِينَا أَ ْنب‬
َّ َ‫اط ا‬a ِ ‫س‬ ُ ‫اَ ْل َم َغانِ َم َم َع َر‬
‫انَ لَ ُه ْم‬aa‫ أَ َك‬:‫ َل‬a‫ قِي‬.‫ ّمًى‬a‫س‬َ ‫ ٍل ُم‬a‫ إِلَى أَ َج‬- ‫ت‬ ِ ‫ َّز ْي‬a‫ َوال‬:‫ َوفِي ِر َوايَ ٍة‬- ‫ب‬ ِ ‫فِي اَ ْل ِح ْنطَ ِة َوالش َِّعي ِر َوال َّزبِي‬
 ‫ي‬ ُّ ‫ َر َواهُ اَ ْلبُ َخا ِر‬ )‫سأَلُ ُه ْم عَنْ َذلِك‬ْ َ‫ َما ُكنَّا ن‬: ‫زَرعٌ? قَااَل‬ ْ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu
berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri
pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam
suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu.  Ada orang bertanya:
Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak
menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).
“Barang siapa melakukan salam, hendaknay ia melakukannya dengan takaran
yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
(HR. Bukhari Muslim)
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan
sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
Salam boleh diperbolehkan oleh rasulullah SAW. dengan beberapa syarat
yang harus dipenuhi. Tujuanutama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi
kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa
tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah
pelarangan riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk
keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk
pertaniannya dimuka .
Sama halnya dengan para pedagang arab yang biasa mengekspor barang ke
wilayah lain dan mengimpor barang lain untuk keperluan negerinya. Mereka

FIQH MUAMALAH Page 56


membutuhkan modal untuk menjalankan usaha perdagangan ekspor –impor itu
.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran
dimuka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli Karena pada umumnya harga
dengan akad salam lebih murah dari pada harga dengan akad tunai.
Transaksi salam sangat popular pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150
AH/ 699-767 AD) Imam Abu Hanifah meragukan keabsahan kontrak tersebut
yang mengarah kepada perselisihan .
C. Rukun dari akad salam
yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1. Pelaku akad, yaitu muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan
memesan barang, dan muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok
atau memproduksi barang pesanan .
2. Objek akad, yaitu barang atau hasil produksi (muslam fiih) dengan
spesifikasinya dan harga (tsaman) dan
3. Shighah, yaitu ijab qabul
Diperbolehkannya salam sebagai salah satu bentuk jual beli merupakan
pengecualian dari jual beli secara umum yang melarang jual beli forward
sehingga kontrak salam memiliki syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi,
antara lain sebagai berikut :
a. Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam
ditandatangani. Hal ini diperlukan karena jika pembayaran belum penuh ,
maka akan terjadi penjualan utang dengan utang yang secara eksplisit
dilarang .
Selain itu hikmah dari salam adalah untuk memenuhi kebutuhan segera
dari penjual . jika harga tidak dibayar penuh oleh pembeli , tujuan dasar
dari transaksi ini tidak akan terpenuhi.
b. Salam hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan
kuantitasnya dapat ditentukan dengan tepat (fungible goods atau dhawat
al-amthal). Komoditas yang tidak dapat ditentukan kuantitas dan
kualitasnya (termasuk dalam kelompok non-fungible goods atau dhawat
al-qeemah). Tidak dapat dijual menggunakan akad salam . contoh : batu
mulia tidak boleh di perjual belikan dengan akad salam karena setiap batu
mulia pada umumnya berbeda dengan lainnya dalam kualitas atau dalam
ukuran atau dalam berat, dan spesifikasi tepat umumnya sulit di tentukan .
c. Salam tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau produk
dari lahan pertanian atau peternakan tertentu .
d. Kualitas dari komoditas yang akan dijual dengan akad salam perlu
mempunyai spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat
menimbulkan perselisihan.
e. Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam
kontrak .

FIQH MUAMALAH Page 57


f. Salam tidak dapat dilakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan
langsung.

 Syarat-syarat lain yang menjadi titik perbedaan antarmazhab yaitu :


1. Menurut Mazhab Hanafi , komoditas yang akan dijual dengan
akad salam tetap tersedia di pasar semenjak akad efektif sampai
saat penyerahan.
2. Menurut Mazhab Hanafi dan Hambali , waktu penyerahan
minimal satu bulan dari tanggal efektif . jika waktu penyerahan
ditetapkan kurang dari satu bulan, maka akad salam tidak sah .
mereka beraguman salam diperbolehkan untuk memenuhi
kebutuhan petani dan pedagang kecil sehingga kepada mereka
seharusnya diberi kesempatan yang cukup untuk mendapatkan
komoditas yang dimaksud. Imam malik mendukung pendapat
bahwa harus ada jangka waktu minimum tertentu dalam akad
salam. Pendapat ini ditentang oleh beberapa ahli hokum fiqih
yang lain , seperti imam syafi’I dan beberapa ulama hanafi.
Mereka mengatakan bahwa rasulullah SAW. Tidak menetapkan
periode minimum sebagai syarat sahnya akad salam .
Para ahli hokum islam menetapkan periode yang berbeda – beda
dari satu hari sampai satu bulan . jelas bahwa mereka melakukan
itu atas dasar kemanfaatan dan perhatian terhadap kepentingan
pedagang kecil , namun kemanfaatan ini dapat berbeda dari
waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain.

 Syarat-syarat salam pararel yang harus dipenuhi , antara lain


( Usmani 1999 ) sebagai berikut :
a. Pada salam pararel , bank masuk ke dalam dua akad yang berbeda
pada salam pertama bank bertindak sebgai pembeli dan pada
salam kedua bank bertindak sebagai penjual . setiap kontrak
saham ini harus independen satu sama lain . keduanya tidak boleh
terikat satu sama lain sehingga hak dan kewajiban kontrak yang
satu tergantung kepada hak dan kewajiban kontrak pararelnya.
Setiap kontrak harus memiliki kekuatan dan keberhasilannya
harus tidak tergantung pada yang lain.
b. Salam pararel hanya boleh dilakukan dengan pihak ketiga.
Penjualpada saham pertama tidak boleh menjadi pembeli pada
salam pararel karena hal ini akan menjadi kontrak pembelian
kembali yang dilarang oleh syariah

2.3 Ishtihna’
A. Pengertian Istishna
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen /
pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk
membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana

FIQH MUAMALAH Page 58


bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen
sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga
berlaku pada bai’ al-istishna’.Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk
akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa
pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan
dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan.
Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena
alasan-alasan berikut ini :
a. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas
dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal
demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau
konsensus umum.
b. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan
terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama.
c. Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan
masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang
yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk
melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk
mereka.
d. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai
kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash
atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’
adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual
beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat
penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis
dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman
spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang
tersebut.
A. Dasar Hukum Istishna
Hukum transaksi bai’ istishna’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a)      Al-Qur’an
‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ با‬
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al
Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal
setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat dan shahih.
b)      Al-hadits
‫ب إِلَى ْال َع َج ِم‬
َ ُ‫أ َ َرا َد أَ ْن يَ ْكت‬aaَ‫ى هَّللا ِ ص َكان‬
َّ ِ‫ه أَ َّن نَب‬a‫ي هللا عن‬a‫س رض‬ ٍ َ‫أَن‬aa‫َع ْن‬
ْ َ‫ ف‬.‫اتِ ٌم‬aa‫ ِه َخ‬a ‫ا َعلَ ْي‬aaً‫ون إِالَّ ِكتَاب‬a
‫ا‬aa‫طَنَ َع َخاتَ ًم‬a ‫اص‬ َ aُ‫هُ إِ َّن ْال َع َج َم الَيَ ْقبَل‬a َ‫ل ل‬aَ a‫فَقِي‬
‫ رواه مسلم‬.‫ض ِه فِى يَ ِد ِه‬ ِ ‫ َكأَنِّى أَ ْنظُ ُر إِلَى بَيَا‬:‫ال‬ َ َ‫ق‬.‫ض ٍة‬ َّ ِ‫ِم ْنف‬

FIQH MUAMALAH Page 59


Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-
Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim)

B. Rukun dan Syarat istishna


Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu
benar-benar terjadi yaitu, kedua-belah pihak, barang yang diakadkan dan
shighah (ijab qabul).
1. Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan
dengan mustashni' (‫نع‬aa‫ )المستص‬sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua
adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan
barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (‫)الصانع‬.
2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (‫ )المحل‬adalah rukun
yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini
semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan.
Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan
atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak
kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini,
yang disepakati adalah jasa bukan barang.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri.Ijab adalah lafadz dari pihak
pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu
untuknya dengan imbalan tertentu.Dan qabul adalah jawaban dari pihak
yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan
haknya itu.
C. Syarat pada akad istishna
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad
istishna' yang dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki beberapa
persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
 Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad
dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya
persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo
penyerahan barang yang dipesan.
 Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu
penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi
akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad
salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad
bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak
mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya
berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat

FIQH MUAMALAH Page 60


sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan,
karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum
syari'at.
 Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan
akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar
dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad
istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah
berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada
barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema
akad istishna'.Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum
asal.Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad
istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa
tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat
islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As
Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk
membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat
biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
D. Penetapan waktu penyerahan istishna
Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang berhubungan dengan
penetapan tanggal penyerahan mashnu;
 Imam Abu Hanifa menolak penetapan tanggal pada masa yang akan
datang untuk penyerahan mashnu' Jika suatu tanggal ditetapkan, maka
kontrak berubah menjadi bai' as salam karena ini merupakan ciri dari akad
yang mengikat seperti bai'as salam bukan ciri bai' al istishna’ yang terbuka
atas pilihan-pilihan.
 Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan Asy Syaibani, dua murid dan
sahabat Abu Hanifa menerima syarat penetapan tanggal pada masa yang
akan datang Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan istishna'
dengan cara seperti itu.
 Tetapi Abu Hasnifa dan kedua sahabatnya bersepakat jika tanggal
penyerahan dalam suatu akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai dengan
apa yang lazimnya dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut
berubah menjadi akad bai as salam.
E. Konsekuensi akad istishna
 Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad
istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian,
sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri
akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada
orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
 Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda
pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah
satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo
penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai
dengan pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan
diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual
hasil produksinya kepada orang lain.

FIQH MUAMALAH Page 61


F. Penghentian kontrak istishna
Kontrak ba'i al istishna' bisa dihentikan berdasarkan kondisi- kondisi berikut
ini:
1. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3. Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal
untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan
masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

FIQH MUAMALAH Page 62

Anda mungkin juga menyukai