Anda di halaman 1dari 11

MUSYARAKAH, MUDHARABAH, MUZARA’AH, MUKHOROBAH.

(Ahmad Nizar, Ahmad Sufyan Ats Tsauri, Siska Nur Fadila)

ABSTRAC :

Musyârakah merupakan salah satu model profit and lost-sharing (PLS) yang kehadirannya dalam bank
syari‘ah paralel dengan Islam. Musyârakah dalam praktik perbankan syariah tidak dikonstruk melalui
fikih an sich, tetapi telah diadaptasikan dengan situasi dan kondisi riil yang didasarkan pada fikih lokal
kekinian, KHI atau fatwa MUI. Dalam fikih klasik, ulama sepakat bahwa jaminan, misalnya, tidak perlu
mewujud dalam kontrak musyârakah, karena mitra adalah orang yang dipercaya, dan atas dasar
“kepercayaan” ini, maka mitra yang satu tidak dapat menuntut jaminan dari mitra yang lain. Namun
fikih lokal memberikan kelonggaran kepada bank syariah mensyaratkan mitranya untuk memberikan
jaminan guna mereduksi risiko dalam pembiayaan musyârakah. Al-Muzara’ah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang Dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan Biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara Al-
Mukhabarah Adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
Sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya Pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakannya.

KATA KUNCI: Musyarakah, Mudharabah, Muzaraah, Mukhorobah

MUDLORABAH

1. Pengertian
Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan
usaha. Mudharabah merupakan bahasa Irak sedangkan bahasa penduduk Hijaz menyebut dengan
istilah qiradh. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak pihak pertama bertindak
sebagai pemilik dana atau (shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai
pengelola usaha (mudharib). Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian maka kerugian itu
ditanggung oleh pemilik modal sepanjang kerugian itu bukan kelalaian mudharib. Namun, jika
kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.1
1 Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 141
Istilah mudharabah dengan pengertian bepergian untuk berdagang digunakan oleh ahli penduduk
Irak. Sedangkan ahli penduduk Hijaz menggunakan istilah qiradh, yang diambil dari kata qardh
yang artinya memotong titik dinamakan demikian, karena pemilik modal memotong sebagian dari
hartanya untuk diperdagangkan oleh Amil dan memotong sebagian dari keuntungannya.
Kesimpulannya mudlorabah adalah kerjasama antara modal dengan tenaga atau keahlian. Dengan
demikian, dalam mudharabah ada unsur syirkah atau kerjasama, hanya saja bukan kerjasama antara
harta dengan harta atau tenaga dengan tenaga, melainkan antara harta dengan tenaga. 2
2. Dasar hukum
Kerjasama dalam permodalan atau mudharabah di syariat kan oleh firman Allah, hadits, ijma para
sahabat dan para imam. Mudharabah diberlakukan pada zaman Rasulullah saw. dan beliau
merestuinya. Allah berfirman dalam Quran surat Muzammil ayat 20 yang artinya
"Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah" (QS. Muzammil:
20)
Hadis Nabi Muhammad SAW: "Abbas bin Abdul Muthalib menyerahkan harta sebagai mudharabah,
ia mengisyaratkan mudharabah nya agar tidak mengarungi lautan dan dan menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar ia harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah SAW beliau membenarkannya."
Dalam mudharabah, pemilik dana dianalogikan dengan pemilik kebun. Sementara pemelihara kebun
dianalogikan dengan pengusaha. Mengingat dasar musaqoh itu sah dan tegas diambil dari sunnah
Rasulullah SAW. Maka metodologi qiyas dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkan
mudharabah.3

3. Rukun
Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga, yaitu
a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (Amil/mudharib)
b. Ma'qud 'alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan
c. Shigat, yaitu ijab qobul
Lafadz yang digunakan untuk ijab adalah sebagai contoh, pemilik modal mengatakan: "ambilah
model ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang diperoleh dibagi di antara
kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat, atau sepertiga.
Adapun lafadz qobul yang digunakan oleh Amin mudharib atau pengelola adalah saya ambil
atau saya terima atau saya setuju dan semacamnya, Apabila ijab dan Qabul telah terpenuhi maka
akad mudharabah telah sah.
4. Syarat

2 Drs. H. Ahmad Wardi muslich, "fiqh muamalat" Vol. 3 (September:2015) hlm. 366-367

3 Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 141
Untuk mencapai mudharabah yang sah maka harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan
aqid, modal, dan keuntungan.
a. Syarat yang berkaitan dengan 'Aqid
Aqid baik pemilik modal maupun pengelola harus orang yang memiliki kecakapan untuk
memberikan kuasa dan melaksanakan wakalah. Hal itu dikarenakan mudharib melakukan
tasarruf atas perintah pemilik modal, dan dan ini mengandung arti pemberian kuasa. Akan tetapi,
tidak disyaratkan aqid harus muslim. Oleh karena itu, mudharabah tidak sah dilakukan oleh anak
yang masih dibawa umur, orang gila, atau orang yang dipaksa.
b. Syarat yang berkaitan dengan modal
1. Modal harus berupa uang tunai, seperti Dinar, dirham, rupiah, atau dolar sebagainya.
2. Modal harus jelas dan diketahui ukurannya, apabila modal tidak jelas maka mudharabah
tidak sah.
3. Model harus ada dan tidak boleh berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di majelis akad.
4. Modal harus diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Hal
ini dikarenakan model tersebut merupakan amanah yang berada di tangan pengelola.
c. Syarat yang berkaitan dengan keuntungan
1. Keuntungan harus diketahui kadarnya. Tujuan diadakannya akad mudharabah adalah untuk
memperoleh keuntungan. Apabila keuntungannya tidak jelas maka akibatnya akad
mudharabah bisa menjadi fasid.
2. Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan pembagian secara
nisbah atau prosentase.4
5. Dampak sosial ekonomi mudlorabah
a. Mendapatkan pahala besar dari Allah, karena ia adalah penyebab lenyapnya kemiskinan dari
orang-orang miskin. Karena, kalau tanpa dia orang-orang miskin tersebut akan tetap dalam
kemiskinan. Tetapi, orang miskin tersebut harus pandai bekerja agar keduanya saling bisa tukar
menukar kepentingan.
b. Berkembangnya harta dan semakin banyaknya kekayaan akibat dari pengembangan bisnis yang
dilakukan sesuai bidangnya masing-masing.5

MUZARA'AH
1. Pengertian
Sistem kerjasama dalam pertanian atau muzara'ah. Pertanian dalam bahasa Arab disebut muzara'ah.
Menurut Hanafiah, muzara'ah adalah akad untuk bercocok tanam pada sebagian yang keluar dari

4 Drs. H. Ahmad Wardi muslich, "fiqh muamalat" Vol. 3 (September:2015) hlm. 371 dan 373-376

5 Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 149
bumi. Menurut hanabilah, muzara'ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya
untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
2. Dasar hukum
Dasar hukum yang digunakan oleh ulama dalam menetapkan hukum muzara'ah adalah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., "sesungguhnya nabi Muhammad
SAW. Tidak mengharamkan bermusyawarah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain. Dalam redaksi lain,"barang siapa apa yang memiliki tanah maka
hendaklah ditanami nya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh
ditahan saja tanah itu".6
3. Rukun
a. Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap,
b. Ma'qud 'alaih atau objek akad, yaitu memanfaatkan tanah dan pekerjaan penggarap, dan
c. Ijab dan qobul
4. Syarat
a. Menurut malikiyah
1. Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu
dengan menjadikan tanah sebagai imbalan bibit atau benih.
2. Kedua belah pihak yang berserikat, yaitu pemilik dan penggarap harus mempunyai hak yang
sama dalam keuntungan sesuai dengan modal yang dikeluarkan.
3. Bibit yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak harus sama jenisnya.
b. Menurut Syafi'iyah
Ulama Syafi'iyah tidak mensyaratkan dalam muzara'ah persamaan hasil yang diperoleh antara

pemilik tanah dan pengelola atau penggarap. Menurut mereka muzara'ah adalah penggarapan tanah dengan
imbalan hasil yang keluar dari padanya sedangkan titik atau benihnya dari pemilik tanah. 7

5. Hikmah muzara'ah
Muzara'ah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa
memanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak
diproduksi kan karena tidak ada yang mengelolahnya. Terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal
lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah, yaitu konsep bekerja sama dalam upaya
menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling
menguntungkan.8

6 Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 161-162

7 Drs. H. Ahmad Wardi muslich, "fiqh muamalat" Vol. 3 (September:2015) hlm. 398-399

8 Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 164
Mukharabah

Pengertian Mukhabarah

Mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang
yang mengerjakan. Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut
karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’i berdasarkan
dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya, Qadhi
Abu Thayyib, Imam Jauhari, al-Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi keuntungan: usaha mengerjakan
tanah (orang lain) yang hasinya dibagi.

Mukhabarah sebagai bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana
pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik
tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya
dari pemilik tanah.9

Dasar Hukum Mukhabarah

Mukhabarah adalah salah satu bentuk ta'awun antar petani dan pemilik sawah dan saling menguntungkan antara
kedua belah pihak. Seringkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan,
dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyari'atkan
mukhabarah sebagai jalan tengah bagi keduanya. Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi
di tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu 'abbas menceritakan bahwa Rasululah Saw
bekerjasama (mukhabarah) dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-
buahan. Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin
yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau
seperempat. Para sahabat yang tercatat melakukan mukhabarah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin
Malik, Abdullah bin Mas'ud dan yang lainnya.

Syarat dan Rukun Mukhabarah

1. Syarat mukhabarah

Syarat-syarat Mukhabarah meliputi syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaku (aqid), tanaman yang ditanam,
hasil tanaman, tanah yang ditanam, dan masa penanaman.

a) Syarat aqid (pelaku)

Secara umum ada dua syarat yang diberlakukan untuk aqid yaitu: 1) Aqid harus berakal (mumayyiz). Dengan
demikian, tidak sah akad yang dilakukan oleh orang yang gila, atau anak yang belum mumayyiz, karena akal
9 A. Rio Makkulau Wahyu, “sistem Penggarapan Lahan Pertanian Masyarakat:Perspektif Ekonomi Islam”,

https://www.ejournal.staialazhar.ac.id/index.php/ajie/article/download/9/6”, Januari 2019, diakses tanggal 8 Mei 2022.


merupakan syarat kecakapan (ahliyah) untuk melakukan tasarruf. Adapun baligh tidak menjadi syarat
dibolehkannya Mukhabarah.

2) Aqid tidak murtad, menurut pendapat Imam Abu Hanifah, dalam buku berbagai macam transaksi dalam
Islam karanganAli Hasan, hal tersebut dikarenakan menurut Imam Abu Hanifah, tasarruf orang yang murtad
hukumnya ditangguhkan (mauqud) sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, akad
Mukhabarah dari orang yang murtad hukumnya dibolehkan.

b) Syarat tanaman

Syarat yang berlaku untuk tanaman adalah harus jelas dan menghasilkan. Dalam hal ini harus dijelaskan apa
yang akan ditanam. Namun dilihat dari segi istihsan, menjelaskan sesuatu yang akan ditanam tidak menjadi
syarat Mukhabarah karena apa yang akan ditanam diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.

c) Syarat hasil tanaman

1. Hasil tanaman harus dijelaskan (persentasenya) dalam perjanjian.

2. Hasil tanaman harus dimiliki bersama oleh para yang melakukan akad. Apabila

disyaratkan hasilnya untuk salah satu pihak maka menjadi batal.

3. Pembagian hasil tanaman harus ditentukan kadarnya (nisbah-nya), seperti

separuh, sepertiga, seperempat, dan sebagainya.

4. Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi di antara orang-orang yang

melakukan akad.

d) Syarat tanah yang akan ditanami

1. Tanah harus layak untuk ditanami, menurut adat kebiasaan dikalangan petani,

dalam artian bisa diolah dan menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak cocok

ditanami pada daerah tertentu.

2. Tanah yang akan digarap harus diketahui dengan jelas, supaya tidak menimbulkan

perselisihan antara para pihak yang melakukan akad.

3. Tanah tersebut harus diserahkan sepenuhnya kepada penggarap, sehingga ia

mempunyai kebebasan untuk menggarapnya dan pemilik lahan tidak boleh ikut

campur tangan untuk mengelolahnya.

e) Syarat objek akad

Objek akad dalam Mukhabarah harus sesuai dengan tujuan dilaksanakannya


akad, baik menurut syara’ maupun urf (adat)

f) Syarat masa Mukhabarah

Masa berlakunya akad Mukhabarah harus jelas dan ditentukan atau diketahui, misalnya satu tahun atau dua
tahun.Apabila masanya tidak ditentukan (tidak jelas)

maka akad Mukhabarah tidak sah.

Adapun Rukun Mukhabarah Menurut jumhur ulama ada empat, diantaranya adalah:

1) Pemilik tanah, yaitu orang yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki kemampuan atau kesempatan dalam
mengelola lahannya.

2) Petani penggarap, yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola lahan dan kesempatan tetapi
tidak memiliki lahan.

3) Objek Mukhabarah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja pengelola.

4) Ijab dan Kabul.

Hikmah Mukhabarah

Hikmah Mukhabarah antara lain:

1. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
2. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
3. Tertanggulanginya kemiskinan.
4. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak
memiliki tanah garapan.

musyarakah
Pengertian musyarakah
Musyarakah atau sering disebut syarikah atau syirkah berasal dari kata ‫ َو َش َر َك ًة‬- ‫ ِش ْر كًا‬- ‫ َيْش َر ُك‬- ‫ َش َر َك‬yang
mempunyai arti: sekutu atau teman peseroan, perkumpulan, perserikatan. Syirkah dari segi etimologi
mempunyai arti: campur atau percampuran. Maksud dari percampuran disini adalah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya sulit untuk dibedakan lagi Definisi syirkah menurut mazhab Maliki adalah suatu izin ber-
tasharruf bagi masing-masing pihak yang bersertifikat. Menurut mazhab Hambali, syirkah adalah
persekutuan dalam hal hak dan tasharruf. Sedangkan menurut Syafi’i, syirkah adalah berlakunya hak
atas sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan Sayyid Sabiq mengatakan bahwa
syirkah adalah akad antara orang Arab yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. M. Ali Hasan
mengatakan bahwa syirkah adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang
atau badan hukum yang bekerja sama dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota atas dasar sukarela secara kekeluargaan Jadi, syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau
lebih dalam suatu usaha perjanjian guna melakukan usaha secara bersama-sama serta keuntungan dan
kerugian juga ditentukan sesuai dengan perjanjian.10

Dasar hukum musyarakah


Dasar hukum Musyarakah yaitu: pertama; Al-Quran. Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman dalam
surat Shaad ayat 24 yang artinya:
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dhalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan ama sholeh.”
T.M. Hasbi Ash Shidieqy menafsirkan bahwa kebanyakan orang yang bekerjasama itu selalu ingin
merugikan mitra usahanya, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amalan yang sholeh karena
merekalah yang tidak mau mendhalimi orang lain.
Kedua, adalah Hadis, dalam hadis dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang sedang
berserikat selama salah satu dari keduanya tidak khianat terhadap saudaranya (temannya). Apabila
diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka”(H.R Abu Dawud), Hadis ini
menerangkan bahwa jika dua orang bekerja sama dalam satu usaha, maka Allah ikut menemani dan
memberikan berkah-Nya, selama tidak ada teman yang mengkhianatinya. Koperasi akan jatuh nilainya
jika terjadi penyelewengan oleh pengurusnya. Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa dalam
berkoperasi masih banyak jalan dan cara yang memungkinkan untuk berkhianat terhadap sesama
anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau diangkat berkahnya oleh Allah SWT, maka kejujuran
harus diterapkan kembali. Dengan melihat hadis tersebut diketahui bahwa masalah serikat (koperasi)
sudah dikenal sejak sebelum Islam datang, dan dimuat dalam buku-buku ilmu fiqh Islam. Dimana
koperasi termasuk usaha ekonomi yang diperbolehkan dan termasuk salah satu cabang usaha.
Ketiga, Ijma’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip Muhammad Syafi’i Antonio
dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsesus
terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen
darinya.
Syarat dan rukun musyarakah
Adapun mengenai syarat-syarat syirkah menurut Idris Ahmad adalah:
1) mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang
akan mengendalikan harta serikat,
2) anggota serikat itu mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil dari yang lain,
3) mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing,baik berupa mata uang
maupun bentuk yang lain.

10 Mahmudatus Sa’diyah, “MUSYARAKAH DALAM FIQIH DAN

PERBANKAN SYARIAH”, https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/viewFile/727/pdf, diakses tanggal 8 Mei 2022.


Para ulama memperselisihkan mengenai rukun syirkah, menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah ada
dua yaitu ijab dan qabul. Sebab ijab qabul (akad) yang menentukan adanya syirkah. Adapun mengenai
dua orang yang berakad dan harta berada di luar pembahasan akad seperti dalam akad jual beli (Al-
Jaziri, 1990: 71). Dan Jumhur ulama menyepakati bahwa akad merupakan salah satu hal yang harus
dilakukan dalam syirkah. Adapun rukun syirkah menurut para ulama meliputi;
1. Sighat (Ijab dan Qabul). Adapun syarat sah dan tidaknya akad syirkah tergantung pada sesuatu yang
di transaksikan dan juga kalimat akad hendaklah mengandung arti izin buat membelanjakan barang
syirkah dari peseronya.
2. Al-‘Aqidain (subjek perikatan). Syarat menjadi anggota perserikatan yaitu:
a. orang yang berakal,
b. baligh,
c. merdeka atau tidak dalam paksaan. Disyaratkan pula bahwa seorang mitra diharuskan
berkompeten dalam memberikan atau memberikan kekuasaan perwakilan,
dikarenakan dalam musyarakah mitra kerja juga berarti mewakilkan harta untuk
diusahakan
3. Mahallul Aqd (objek perikatan). Objek perikatan bisa dilihat meliputi modal maupun kerjanya.
Mengenai modal yang disertakan dalam suatu perserikatan hendaklah berupa: a) modal yang diberikan
harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama, b) modal yang dapat terdiri dari aset
perdagangan, c) modal yang disertakan oleh masing-masing pesero dijadikan satu, yaitu menjadi harta
perseroan, dan tidak dipersoalkan lagi dari mana asal-usul modal itu.
Tujuan dan manfaat musyarakah
Tujuan dari pada syirkah itu sendiri adalah memberi keuntungan kepada karyawannya, memberi
bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan ibadah, sekolah dan sebagainya.
Salah satu prinsip bagi hasil yang banyak dipakai dalam perbankan syariah adalah musyarakah. Dimana
musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank secara
bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank (Antonio, 2001:
129).
Adapun manfaat-manfaat yang muncul dari pembiayaan Musyarakah adalah meliputi:
1) lembaga keuangan akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha
nasabah meningkat,
2) pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah,
sehingga tidak memberatkan nasabah,
3) lembaga keuangan akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan
menguntungkan,
4) prinsip bagi hasil dalam musyarakah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana
bank akan menagih pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
PENUTUP

Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini
lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah
merupakan bahasa Irak sedangkan bahasa penduduk Hijaz menyebut dengan istilah qiradh. Mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana atau (shahibul mal) yang
menyediakan seluruh modal dan pihak kedua sebagai pengelola usaha (mudharib)

Pertanian dalam bahasa Arab disebut muzara'ah. Menurut Hanafiah, muzara'ah adalah akad untuk
bercocok tanam pada sebagian yang keluar dari bumi. Menurut hanabilah, muzara'ah adalah pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.

Dasar hukum yang digunakan oleh ulama dalam menetapkan hukum muzara'ah adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a., "sesungguhnya nabi Muhammad SAW. Tidak
mengharamkan bermusyawarah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang
lain. Dalam redaksi lain,"barang siapa apa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami nya atau diberikan
faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu".

Mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang
yang mengerjakan. Mukhabarah adalah salah satu bentuk ta'awun antar petani dan pemilik sawah dan saling
menguntungkan antara kedua belah pihak.

Musyarakah atau sering disebut syarikah atau syirkah berasal dari kata ‫ َو َش َر َك ًة‬- ‫ ِش ْر كًا‬- ‫ َيْش َر ُك‬- ‫ َش َر َك‬yang
mempunyai arti: sekutu atau teman peseroan, perkumpulan, perserikatan. Syirkah dari segi etimologi
mempunyai arti: campur atau percampuran. Maksud dari percampuran disini adalah seseorang mencampurkan
hartanya dengan harta orang lain sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya sulit untuk
dibedakan lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 141

Drs. H. Ahmad Wardi muslich, "fiqh muamalat" Vol. 3 (September:2015) hlm. 366-367

Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 141

Drs. H. Ahmad Wardi muslich, "fiqh muamalat" Vol. 3 (September:2015) hlm. 371 dan 373-376

Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 149

Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 161-162

Drs. H. Ahmad Wardi muslich, "fiqh muamalat" Vol. 3 (September:2015) hlm. 398-399

Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA., M.Si. "fiqih muamalah klasik dan kontemporer" Vol. 1 (April:2012) hlm. 164

Rio Makkulau Wahyu, “sistem Penggarapan Lahan Pertanian Masyarakat:Perspektif Ekonomi Islam”,

https://www.ejournal.staialazhar.ac.id/index.php/ajie/article/download/9/6”, Januari 2019, diakses tanggal 8 Mei 2022.

Mahmudatus Sa’diyah, “MUSYARAKAH DALAM FIQIH DAN

PERBANKAN SYARIAH”, https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/viewFile/727/pdf, diakses tanggal 8 Mei 2022.

Anda mungkin juga menyukai