Anda di halaman 1dari 9

14 Jenis Muamalah, Contoh dan Dalilnya

April 28, 2016 di post oleh Riyanlatifatul.blogspot.com


        

      

Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan sempurna, salah satunya tentang
muamalah. Pada pembahasan kali ini saya akan menyampaikan jenis-jenis muamalah, contoh beserta
dalilnya. Pembahasan yang saya buat ini sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Agama di BSI
Semester 2. Semoga bermanfaat..

   1. SALAM
Salam (salaf) adalah jual beli barang yang ditunda dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang
didahulukan, sedangkan barangnya masih ghaib (belum ada) sehingga disebut juga sebagai bai’ul
mahaawij. Pembeli disebut musallim, penjual disebut musallam ilaih, barang yang dijual disebut
musallam fiih, sedangkan uangnya disebut ra’su maalis salam.Jual beli ini diperbolehkan dan sesuai
syari’at. Sebagaimana boleh ditunda pembayaran dalam jual beli, maka boleh juga ditunda barangnya
dalam salam ini. Dalam salam harus ditentukan waktu barang diberikan namun tidak disyari’atkan
barang yang disalam sudah dimiliki oleh penjual. Hikmah dari salam ini adalah melapangkan dan
memberi kemudahan kepada manusia.
Contoh Salam :
Seseorang yang membeli buah duku kepad petani. Orang tersebut membayar terlebih dahulu kepada
petani untuk keperluan perawatan, dll. Lalu pembeli akan mendapatkan buah duku itu setelah petani
panen, sesuai jumlah yang telah ditentukan.

Dalil tentang Salam :


QS Al-Baqarah:282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. “
Hadist oleh Abdullah bin Abbas
“Saya bersaksi bahwa jual-beli as salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan
dan diizinkan oleh Allah dalam Al-Qur’an”. Lalu beliau membacakan surat Al-Baqarah ayat 282
tersebut.

2.      MUSAQOH
Al musaqoh berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat
membutuhkan saqi (penyiraman) dari sumur-sumur, sehingga diberi nama musaqah
(penyiraman/pengairan). Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang
menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon matang dia akan diberi imbalan buah
dalam jumlah tertentu.Biaya dalam perawatan dibagi dua, sedangkan hasilnya dibagi berdasarkan
kesepakatan atau  ditambahkan pada saat panen. Masa kerja pekerja juga harus ditentukan pada saat
akad. Musaqoh ini memberikan manfaat diantaranya menciptakan hubungan saling memberi manfaat
dan menghilangkan kemiskinan.
Contoh Musaqoh :
Seorang pemilik tanah menyerahkan pohon baik yang sudah ditanam atau belum dengan sebidah
tanah tertentu kepada seorang yang akan menanam, merawat, menyiram dan sebagainya hingga
pohon itu berbuah. Lalu pekerja itu akan mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang
dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemilik tanah.
Dalil tentang Musaqoh :
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau
buah-buahan hasil garapan lahan tersebut”. (HR Bukhari dan Muslim)

3.      MUZARO’AH
Menurut bahasa al-muzara’ah memiliki dua arti : tharh al-zur’ah atau melemparkan tanaman (makna
majas) dan al-hadzar atau modal (makna hakiki). Muzaro’ah ialah mengerjakan tanah orang lain seperti
sawah atau ladang, dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, seperempat), sedangkan
biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung oleh pemilik tanah. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa
muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal
dari pemilik tanah.Muzara’ah sempat dilarang pada zaman Rasulullah karena sering kali terjadi pihak
yang dirugikan. Hal ini terjadi karena bagian panen disyaratkan berdasarkan luas tanahnya.
Contoh Muzaro’ah :
Seorang PNS memiliki sebidang tanah yang tidak digunakan. Lalu ia menyerahkan tanah  tersebut
beserta modal pengolahan kepada seseorang. Hasil akan dibagi 1/3 untuk penggarap dari total hasil
panen.
Dalil tentang Muzaro’ah :
Dari Abu Hurairah ra, berkata : “Bersabda Rasulullah S.A.W , barang siapa  yang memiliki tanah maka
hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan
saja tanah itu.” (HR Muslim)
“Barang siapa  yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah menyuruh 
saudaranya untuk menanaminya.” (HR Bukhari)

4.      MUKHOBAROH
Mukhobaroh ialah mengerjakan tanah orang lain seperti sawah atau ladang, dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga, seperempat), sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
oleh orang yang mengerjakannya. Baik Muzara’ah maupun mukhobaroh menguntungkan kedua belah
pihak karena pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan taraf
hidupnya.
Contoh Mukhobaroh :
Seseorang yang memiliki tanah yang tidak digarap menyerahkan tanah tersebut kepada saudaranya
yang tidak bekerja. Saudaranya itu menyiapkan sendiri segala keperluan untuk mengolah tanah. Pada
masa panen hasilnya dibagi sesuai perjanjian.
Dalil tentang Mukhobaroh :
QS Al-Muzammil : 20
“ .... dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah “
Pada intinya Muzara’ah maupun Mukhobaroh memiliki dasar hukum yang sama. Perbedaanya hanya
pada siapa yang menyiapkan modal. Pada Surat Al-Muzammil tersebut diketahui bahwa Allah
memberikan kebebasan dan keleluasan kepada siapa saja untuk mencari rahmat-Nya di bumi ini agar
bisa tetap bertahan hidup.

5.      JI’ALAH
Ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu membei upah kepada orang lain yang
dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur
sampai memancarkan air, atau seseorang yang menang dalam sebuah kompetisi. Ada dua orang yang
berakad dalam ji’alah : Ja’il yaitu orang yang mengadakan sayembara (disyaratkan baligh, berakal,
cerdas) dan ‘Amil yaitu orang yang melakukan sayembara (tidak disyaratkan)
Contoh Ji’alah :
Seorang pengusaha kehilangan koper yang berisi berkas penting ketika ia berada di stasiun kereta.
Kemungkinan ia kelupaan menaruh koper karena terburu-buru. Kemudia ia mengumumkan siapa saja
yang menemukan koper tersebut akan diberikan hadiah tertentu.
Dalil tentang Ji’alah :
QS Yusuf ayat 72
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
HR Bukhari : “Sabda Nabi SAW kepada para sahabat yang mendapatkan jialah berupa sekawanan
kambing karena mengobati orang yang tersengat, “Ambilah ju’alah (upah) dan berikan aku satu bagian
bersama kalian”.

6.      UTANG PIUTANG
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Utang
piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam
dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Hukum utang
piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan memberikan pinjaman kepada yang
membutuhkan sangat dianjurkan karena didalamnya terdapat pahala yang besar. Meskipun
diperbolehkan berhutang, Islam menganjurkan umatnya untuk menghindari utang semaksimal mungkin
jika mampu untuk membeli secara tunai.
Contoh Utang Piutang :
A sangat membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Kebetulan B memiliki uang yang tidak
sedang digunakan sebesar Rp 2.000.000,-. Maka A meminjam uang tersebut dan akan
mengembalikan dengan jumlah yang sama satu bulan kemudian sesuai perjanjian.
Dalil tentang Utang Piutang :
QS Al-Baqarah : 245
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Dari dalil diatas jelas bahwa Allah menganjurkan manusia untuk menafkahkan rezekinya dalam bentuk
pijaman untuk keperluan yang baik. Allah-pun berjanji akan melipatgandakan rezeki jika manusia
secara ikhlas mau tolong menolong.

7.      WADI’AH
Dalam bidah ekonomi syari’ah, Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan
setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a,
yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut
wadi’ah, karena ia meninggalkannya kepada seseorang yang sanggup menjaga.Dalam Wadi’ah ada
rukun-rukunnya : Muwaddi’ atau orang yang menitipkan barang, Wadii’ atau orang yang dititipi barang,
Wadi’ah atau barang yang dititipkan, dan Shighot atau ijab dan qobul. Apabila Wadii’  meminta suatu
biaya maka akadnya berubah menjadi akad sewa atau ijaroh.
Contoh Wadi’ah :
A menitipkan motornya di rumah B karena ia harus pergi ke suatu tempat dengan berjalan kaki dan
tidak mungkin dapat menggunakan motornya. B diperkenankan oleh A untuk menggunakan motor itu
apabila B memerlukan. Namun pada saat A mengambil motornya, motor itu haruslah utuh dan
diberikan pada saat A mengambilnya.
Dalil tentang Wadi’ah :
QS An-Nisaa : 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”
QS Al-Baqarah : 283
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”
HR Abu Dawud dan Timidzi
“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati terhadap
orang yang telah mengkhianatimu”

8.      LAQITHOH
Laqithoh adalah seorang anak manusia yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya. Hukumnya
wajib bagi siapa saja untuk memungutnya, hal ini karena tolong menolong dalam kebajikan dan
menyelamatnya jiwa manusia adalah wajib, sedangkan menelantarkannya adalah dosa dan
pelanggaran.Anak manusia yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya maka dianggap muslim jika
ditemukan di tempat yang mayoritas penduduknya adalah muslimin, serta dianggap merdeka (bukan
budak). Nafkah anak tersebut diambil dari harta yang ada pada diri anak tersebut, atau ditanggung
baitul mal, atau ditanggung kaum muslimin secara gotong royong.
Contoh Laqithoh :
Seorang anak ditemukan berada di pasar. Dimungkinkan anak tersebut sengaja ditinggal orang tua
atau walinya di pasar tersebut. Maka anak tersebut wajib untuk dipungut oleh siapapun dengan
nafkahnya berasal dari baitul mal.
Dalil tentang Laqithoh :
QS Al-Maidah : 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
9.      LOQOTHOH
Luqothoh artinya suatu benda yang ditemukan dan tidak diketahui pemiliknya dikhawatirkan rusak atau
musnah jika tidak dipungut. Secara umum hukum memungut barang temuan hukumnya halal/boleh,
kecuali barang-barang khusus yang dilarang memungutnya (seperti binatang onta).  Walaupun
hukumnya boleh, luqothoh akan menjadi haram apabila yang memungut barang tersebut mengetahui
bahwa dirinya tidak memiliki sifat amanah yang mana jika ia memungutnya ia akan berkhianat,
menyembunyikannya atau dia tidak mampu mengumumkannya.
Macam-macam Luqothoh :
      1.      Luqothoh berupa barang yang tidak berharga (sebutir kurma, secarik kain, pena, sepotong kue, dll)
maka boleh bagi siapapun untuk memungutnya dan memanfaatkannya secara langsung     
      2.      Luqothoh berupa sesuatu yang berharga (emas, perak, uang, dll) maka wajib bagi yang
memungutnya untuk mengumumkan selama satu tahun penuh. Jika pemiliknya datang maka barang
tersebut harus diserahkan, namun jika setelah satu tahun pemiliknya tidak datang maka barang
tersebut dapat dimanfaatkan.
      3.      Luqothoh berupa kambing dan semisalnya maka boleh dipungut dan dimanfaatkan secara
langsung
      4.      Luqothoh berupa onta, sapi, kijang, kuda, burung yang halal maka haram memungutnya karena
binatang-binatang tersebut dapat hidup tanpa dipelihara dan bisa melindungi dirinya dari binatang buas
      5.      Luqothoh tanah haram/suci maka hukum memungutnya adalah haram.
      6.      Luqothoh berupa anak manusia hukumnya wajib untuk memungutnya, disebut juga Laqithoh
Contoh Luqothoh :
Seorang tukang becak menemukan sebuah dompet di dekat ia memarkirkan becaknya. Sayangnya di
dompet itu tidak ada identitas siapa pemiliknya. Padahal dalam dompet itu berisi uang tunai dan
beberapa cincin emas. Khawatir dompet itu ditemukan oleh orang yang tidak amanah maka tukang
becak itu memungutnya dan menyimpannya hingga pemiliknya mencarinya.
Dalil tentang Luqothoh :
Dari Zaid bin Kholid al-Juhani : “Datang seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang hukum
luqothoh, lalu beliau menjawab, “Kenalilah wadah/tutupnya, dan pengikatnya, lalu umumkan satu
tahun, jika datang pemiliknya maka serahkan, tetapi jka tidak terserah engkau dengan barang itu”. Lalu
dia bertanya, “bagaimana dengan barang temuan berupa kambing?”, beliau menjawab “Kambing
untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala/anjing.””

10.  QIROD
Qirod adalah kerja sama dalam bentuk pinjaman modal tanpa bunga dengan perjanjian bagi hasil.
Biasanya qirad dilakukan oleh pemilik modal (baik perorangan maupun lembaga) dengan orang lain
yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk menjalankan suatu usaha. Besarnya hasil yang dibagi
tergantung kesepakatan, yang terpenting tidak merugikan salah satu pihak.Hukum qirod adalah
mubah, karena Rasulullah sendiri pernah mengadakan qirod dengan Siti Khadijah sebelum mereka
menikah. Namun meski demikian qirod akan menjadi haram apabila diketahui usaha yang akan
dijalankan bukan berada di jalan Allah. Sedangkan pahala Qirad adalah 18 kali lipat, lebih utama dari
sedekah yang pahalanya 10 kali lipat.
Contoh Qirod :
Bu Marni memiliki usaha warung ayam goreng. Ia ingin meningkatkan usahanya namun terbatas pada
modal. Lalu ia meminjam uang di KMKP (Kredit Modal Karya Permanen).
Dalil tentang Qirod :
QS Al-Hadiid : 11
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-
gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”
HR. Ibnu Majah
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang
meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.”

11.  SERIKAT ‘INAN
Serikat ‘inan (syirkah inan) adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Hukum serikat ini adalah boleh. Dalam syirkah ini disyaratkan
modalnya berupa uang, apabila barang tidak boleh dijadikan modal kecuali dihitung nilainya pada saat
akad. Keuntungannya didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugiannya tergantung porsi
modalnya masing-masing pihak.
Contoh Serikat ‘Inan :
A dan B insinyur teknik sipil. Mereka sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan
menjual rumah. Keduanya memberikan konstribusi modal sebesar masing-masing 500 juta dan
keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalil tentang Syirkah ‘Anin :
HR. Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman : “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama
salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari
keduanya”

12.  HIWALAH
Pengertian hiwalah dari segi etimologi berarti al-itiqol dan at-tahwil yang berarti memidahkan dan
mengoper. Sedangkah secara terminologi, hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar hutang
dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih).
Ijab hiwalah diucapkan oleh Muhil sedangkan qabulnya diucapkan oleh muhal dan muhal ‘alaih.
Dengan adanya hiwalah diharapkan utang piutang dapat diselesaikan dengan cepat dan saling tolong
menolong antara orang yang membutuhkan.
Contoh Hiwalah :
A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkah B masih memiliki piutang pada C
(muhal’alaih). Ketika B tidak mampu membayar utangnya kepada A, ia lalu mengalihkan utang tersebut
kepada C. Dengan demikian C yang harus membayar hutang kepada A, sedangnya utang C kepada B
dianggap selesai.
Dalil tentang Hiwalah :
HR. Ahmad dan Abi Syaibah
“Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu
membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan
penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima””
QS Al-Maidah : 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

13.  JAMINAN
Secara syar’i ar-rahn / agunan / jaminan adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar
bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika ia gagal (berhalangan)
menunaikannya. Hukum ar-rahn diperbolehkan baik dalam keadaan safar maupun bermukim.
Dalam ar-rahn terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi :
      1.      Shighat (ijab dan qabul)
      2.      Al-‘aqidan, terdiri dari ar-rahin (pihak yang mengagunkan) dan al-murtahin (pihak yang menerima
agunan)
      3.      Al-ma’qud ‘alaih, yaitu al-marhun (barang yang diagunkan) dan al-marhun bih (utang)
      4.      Qabdh atau serah terima
Contoh Jaminan :
Seorang supir angkot memijam uang kepada lembaga peminjaman uang sebesar Rp 2.000.000,- untuk
memperbaiki kendaraannya yang rusak. Sebagai jaminan ia menyerahkan sebuah set perhiasan emas
milik istrinya. Uang tersebut harus dikembalikan dalam jangka waktu 1 tahun, jika tidak juga dilunasi
maka agunan tersebut akan menjadi milik lembaga peminjaman uang tersebut.
Dalil tentang Ar-rahn :
QS Al-Baqarah : 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
HR Bukhari dan Muslim
Aisyah ra. Menuturkan : “Rasulullah S.A.W pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo
(kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.”

14.  ‘ARIYAH
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas sesuatu yang
dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah “kebolehan memanfaatkan
benda yang sifatnya temporer (sementara waktu) tanpa memberikan suatu imbalan.”
‘ariyah atau i’arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan
berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘ariyah adalah sunnah, sedangkan menurut
al-Ruyani ‘ariyah hukumnya wajib.
Contoh ‘Ariyah :
Sanah akan membuat roti untuk acara syukuran di rumahnya. Namun pada saat itu ovennya rusak
sehingga ia harus meminjam oven milik tetangganya hingga roti-roti itu selesai dibuat.
Dalil tentang ‘Ariyah :
QS Al-Maidah : 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
HR. Abu Daud
“Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.”

Anda mungkin juga menyukai