Anda di halaman 1dari 4

KAJIAN HUKUM ISLAM MENGENAI KEBERADAAN PEREMPUAN

DALAM JALUR POLITIK

1. Pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan,


karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan ().
Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-
Baqarah/2:288). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu
orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).

QS. Al-Nisa’/4:34

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka dari itu, wanita yang
salihah ialah yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’alaagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan
jauhilah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Jika mereka
menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”
2. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan
suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang
menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR.
Muslim).

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, telah berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan
urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”

3. Sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah


pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila
menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik
dari perempuan (Tafsir Ibnu Kasîr 1). Keutamaan laki-laki atas perempuan
bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah
(usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki atas perempuan dalam empat hal:
kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql), kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr),
keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik
(mawazidu al-quwah). Oleh karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan
(imâmah), kekuasaan (wilayah), persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan
laki-laki (Sofwatul Tafâsîr 1).

4. Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala negara adalah lakilaki,
demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk
dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala
negara.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin
daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama.
Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai
kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian,
ataukah fatwa.

Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak
berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab,
bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun
terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah
kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita
menjadi pemimpin.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa


dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan
memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam
wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.

Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam


permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin
daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan
semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan
melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang
beliau sampaikan;

“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.

Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk


menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang
jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya
legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’,
yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
Sementara itu dalam pandangan Syekh Imam Al-Mawardi menyebutkan Tidak
dibolehkan bagi seorang wanita untuk menduduki jabatan tersebut, berdasarkan
sabda baginda Rasulullah Saw dengan bunyi: “Tidak akan beruntung suatu kaum,
yang menyandarkan urusannya kepada wanita.”Beliau menyebutkan karena di
dalamnya akan dituntut sebuah pendapat dan kekuatan tekad yang dalam hal ini
kaum perempuan lemah, di samping hal ini akan membuatnya harus tampil untuk
langsung mengatasi sebuah masalah yang boleh jadi merupakan perkara
terlarang.” (Al-Ahkam As-Sulthaniah, hal. 46)
Pernyataan yang hampir sama di sebutkan dalam perspektif Imam Al Baghawiy
sebagaimana di sebutkan dalam karya beliau mengatakan: ”Para ulama sepakat
bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena
pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah
menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa
menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan
berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, tidak mampu menyelesaikan
setiap urusan karena mereka kurang (akal dan agamanya). Kepemimpinan dan
masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgent.
Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki
kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum laki-laki-lah yang pantas
menyelesaikannya. (Syekh Al-Imam Al-Bughawy, Kitab Syarhus Sunnah :X: 77)
Dalam pandangan Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa seorang perempuan
tidak berhak menduduki kepemimpinan dan tidak boleh bagi masyarakat untuk
mengangkatnya karena mereka harus menghindara segala sesuatu yang dapat
menyebabkan mereka tidak beruntung. Beliau berpijak dengan dalil sebuah hadist
dari Abu Bakrah ra, dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
mendengar bahwa penduduk Persia mengangkat puteri Kisra sebagai rajanya,
beliau bersabda: “Tidak adakan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh
seorang wanita.” (HR. Bukhari). (Imam Asy-Syaukani, Kitab Nailul Authar: VIII:
305).
Dalam kitab Fatawa Al-Azhar di jelaskan wanita tidak boleh jadi pemimpin hanya
Imam Abu Hanifah saja yang membolehkannya. Dalam kitab tersebut di
simpulkan bahwa perempuan menjadi pemimpin ada tiga pendapat: pertama,
menurut jumhur ulama dan berdasarkan pendapat Imam mazhab yang tiga (Imam
Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi’i), Kedua. Berdasarkan Syekh Ibnu Narir
At-thabari boleh dengan mutlaq pada semua perkara. Ketiga, berdasarkan
pendapat Abu Hanifah boleh pada penyaksiannya saja diselain hukum narapidana
atau jinayat. ( Kitab Fatawa Al-Azhar: X:15.[]

Anda mungkin juga menyukai