Anda di halaman 1dari 3

D.

KEDUDUKAN MUDHARABAH
1.Pengelola modal mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka
pengelolamodal berstatus wakil pemilik barang tersebut sedangkan modal
sebagaiwikalah’alaih(objek wakalah).
2. Harta ditasharrufkan oleh pengelola, harta itu dibawah penguasaanya, dan ia
sebagaititipan. Jika harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, maka si pengelola
tidakwajib mengantinya. Bila kerusakan timbul karena kelalain pengelola, maka ia
wajibmenanggungnya.
3. Keuntungan (laba) yang diperoleh menjadi milik si pemodal dan si pengelola
dandibagi berdasarkan persentase yang disepakati. Menambahkan (Nasrun Haroen,
2000:180) jika kerjasama itu tidak mendapatkan untung (rugi), maka pemilik modal
tidakmendapatkan apa-apa.
4. Pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yangdikeluarkanm
makamudharabah itu dianggap sebagaiijarah(upah-mengupah).
5. Bila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang
telahdisepakati, maka terjadi kecacatan yang dinamakan denganghasab.(Hendi Suhendi,2007:
141)
REFERENSI
Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007

APLIKASI AKAD MUDHARABAH


1. Pembiayaan Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum
ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran
dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual.
Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas,
harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka
bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai
atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari
nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya
disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Adapun dalam hal bank
menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak
dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam
pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank
untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan. Ketentuan umum
pembiayaan salam dalah sebagai berikut:
a. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti
jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga
harum manis kualitas A dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua
bulan mendatang.
b. Apabila hasil produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad,
maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai
pesanan.
c. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya
sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad
salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk
atau rekanan. Mekanisme ini disebut paralel salam.
2. Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’
pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim
istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur
dan konstruksi. Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai
menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui
fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua
belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen,
tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap,
sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti
spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran
untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga
berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha
adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai
dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal,
pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi
ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank.
Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk
segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih
bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah
mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam
praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian
dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema
pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut disewakan
skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih
harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa/ijarah
(Antonio, 2010: 164).
REFERENSI
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2010‘
A�bidī�n, Ibn. Hāsyiyah Radd al-Muhtār, Juz V, Cet. II. Mesir: Mustafā al-
Bābiy alHalabiy, 1966.
Bakry, Abd Bin Nuh dan Oemar.Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya, 2001
Barury, Muhammad Amin. Bay’ al-Wafa’, Libanon: Daarun Nawadir, 2012
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, t.t
.

Haidar, Ali. Durār al-Hukkām Syarh Majallah al-Ahkām, Juz I, Beirut: Dār

alKutub alIlmiyyah, t.t


Hasan, Alāuddī�n Abi. Mu’īn al-Hukkām
alKhafif, Ali. Ahkam al-Muamalat al-Syar’iyah
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Sabiq,Sayyid Fiqh as-
Sunnah, Jil.III, Beirut: Dār alFikr, 1983
Syafri, Sofyan. Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara,2004.
Utsaimin, Syaikh. Fikih Mudayanah. Rumah Penerbit AlManar.Qal’ahji, Muhammad Rawwas.
Mausu’ah al-Fiqh ‘Umar Ibn al-Khattab,t.p., 1981.
Zahrah, Muhammad Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyin, (Mesir: Dar alFikr al Arabi,tt)az-
Zarqa’, Mustafa Ahmad. Al-Uqud al-Musammah, Damaskus: Dar alKitab, 1968

Berakhirnya Akad Mudharabah


Akad mudharaba bisa saja berakhir dengan berbagai kejadian baik yang diharapkan maupun
tidak diharapkan. Sebenarnya lama kerja sama yang dibangun dalam akad ini tidak tentu dan
tidak memiliki batasan. Namun banyak pihak yang memilih menentukan jangka waktu yang
jelas agar usaha dan transaksi berjalan dengan jelas dan gamblang. Akad mudharabah bisa
berakhir jika :

 Salah satu pihak memutuskan untuk mengundurkan diri dari perjanjian, baik dengan
alasan diterima maupun tidak diterima. Karena akad ini haruslah terjadi dengan
kesediaan kedua belah pihak tanpa ada paksaan.
 Dalam hal mudharabah tersebut, dibatasi waktunya atau diberikan waktu jelasnya
 Jika salah satu pihak meninggal dunia atau mengalami hilang akal. Sehingga dianggap
sebagai hilangnya kesepakatan.
 Pengelola dan tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai
tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad tersebut.
 Modal yang dimiliki sudah habis atau tidak ada.

Berikut adalah beberapa penjelasan yang bisa anda jadikan sebagai pelajaran tentang
akuntansi syariah. Anda bisa mengambil kesimpulan tentang Akad Mudharabah yang akan
anda jadikan patokan dalam suatu usaha atau bisnis anda. Dengan adanya penjelasan seperti
ini sehingga sangat membantu anda untuk menguasainya.

https://dosenakuntansi.com/akad-mudharabah

Anda mungkin juga menyukai