Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

ULUMUL HADIS
“SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS”
Dosen Pengampu: H. Miskari, Lc, M. HI

DISUSUN OLEH:

Juriana (11823034)

Septia Amelia (11823008)

Rosmawati Dea (11823004)

PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt. atas berkat dan rahmatNya sehingga

kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan Hadis” ini. Penulisan

makalah ini bertujuan agar kita sebagai umat islam lebih mengetahui tentang sejarah perkembang

hadist yang berkaitan dengan ilmu ulumul hadis tersebut. Kami berharap isi makalah ini

memiliki manfaat bagi yang membacanya.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Dan

kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak

kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar

makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata kami ucapkan terimakasih, semoga makalah kami

ini bermanfaat bagi semua pembacanya.

Pontianak, 12 maret 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................. 1

C. Tujuan................................................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Hadis Prakodifikasi: Hadis Pada Periode Rasul, Sahabat dan Tabi’in................ 2

B. Masa Pengumpulan Dan Kodifikasi Hadist...................................................................... 10

C. Masa Pentashihan Dan Penyususnan Kaidah-Kaidahnya ................................................ 16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................................ 20

B. Saran ................................................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hakekat hidup manusia didunia adalah sebagai makhluk yang mempunyai fitrah agama.
Fungsinya untuk memahami nilai-nilai kebenaran dan kecusian yang bersumber dari al-
Ouran dan Hadits, dan fitrah agama itu merupakan pedoman hidup didunia. Perkembangan
fitrah agama saat ini dilihat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberikan
dukungan moral yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu agama,contohnya dengan
berdirinya masjid-masjid yang megah,alat telekomunikasi, pondok pesantren yang sudah
modern dari segi peralatannya, dan masih banyak lagi contoh yang lain yang sudah sangat
jelas berguna sebagai pedoman dan tuntunan dalam mengarungi kehidupan didunia yang fana
ini. Hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, merupakan
pedoman dan tutunan bagi umat islam dalam melakuakan seluruh aktivitasnya, baik masalah
ibadah, bedi praktik, sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya, Hadits
merupakan sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW, dalam kehidupan sehari-hari, yang
tidak terlepas dari tuntunan Allah SWT yang dijelaskan dalam al-Quran, sudah sepantasnya
dijadikan suri tauladan bagi umat manusia..
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hadits pada Masa Nabi?
2. Bagaimana Hadits pada Masa Sahabat?
3. Bagaimana Hadits pada Masa Tabi’in?
4. Bagaimana pengumpulan dan kodifikasi hadist ?
5. Bagaimana pentashihan dan penyusunan kaidah-kaidahnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hadits pada Masa Nabi
2. Untuk mengetahui Hadits pada Masa Sahabat
3. Untuk Mengetahui Hadits pada Masa Tabi'
4. Untuk mengetahui pengumpulan dan kodifikasi hadist
5. Untuk mengetahui pentashihan dan penyusunan kaidah-kaidahnya
BAB II
PEMBAHASAN

1.Sejarah Hadis Prakodifikasi: Hadis Pada Periode Rasul, Sahabat, dan Tabi’in

A. Pengertian Hadits
Menurut Bahasa (lughat)
a. Jadid : yang baru
b. Qarib :yang dekat, yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan Haditsul ahdi bil-islam :
orang yang baru memeluk agama islam: orang yang baru memeluk agama islam.
c. Khabar : warta/ berita : sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang ke
seseorang.

Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat bahwa “ Hadits itu melengkapi sabda Nabi,
perbuatan Beliau dan taqrir Beliau; melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir
sahabat,sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan taqrir tabi’in1.

B. Sejarah Perkembangan Hadits


a. Hadits Pada Masa Rasulullah.
Nabi Muhammad SAW, adalah contoh yang baik (uswat hasana) baginumat Islam. Gerak –
gerik Nabi selain berisi hikmah yang dalam, juga menjadi daya rekat yang cukup memikat bagi
manusia yang melihat. Dia adalah sosok manusia sempurna dengan jiwa penuh cinta dan kasih
sayang. Ia telah menunjukan tingginya nilai kejuangan bagi penegakkan prinsip-prinsip islam
dan kemanusian. Oleh karena itu, seluruh perilaku Nabi telah menjadi tumpuan dan pusat
perhatian setiap sahabatNya.
Diantara sahabat ada yang secara langsung menerima hadits nabi yakni mendengar sendiri dari
Nabi baik dimajelis maupun ditempat lainnya. Baik Nabi menjelaskan tentang suatu persoalan
atau jawaban dari pertannyaan sahabat secara tidak langsung, yakni mendengar dari sahabat
bertemu dengan Nabi.2
1
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV . (Semarang : PT.PUSAKA RIZKI
PUTRA,1999) hal.1-4
2
TM. Hasbi Ashidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.II ( Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hal. 153
Di masa Nabi Muhammad hidup, model transmisi hadits dilakukan dari mulut kemulut.
Tradisi penulisan terhadap sabda Nabi masih jauh dari harapan. Tidak ditulisnya hadits diera
pertama ini di belakang hari telah menimbulkan masalah besar khususnya berkaitan dengan
otentsitas sebuah hadits sebagai hujjat syari’ah. Perhatian terhadap hadits dari kalangan sahabat
masih sangat kecil. Kondisi ini terjadi akibat munculnya empat presepsi terhadap tasyri Islam.
Emapat presepsi itu adalah3: 1. Al-Qur’an sendiri belum menjadi rujukan final karena masih
berada dalam proses nuzul (turun); 2. Jika pun ada persoalan yang secara jelas tidak terangkum
dalam Al-Qur’an, parasahabat dapat langsunga bertanya kepada Nabi sebagai sumber rujukan
kebenaran: 3. Dikalangan sahabat Nabi masih jarang orang yang memilik kemampuan menulis.
Oleh karena itu wajar kalau kemudian konsrentasi sahabat tercurah penuh kepada Al-Qur’an dan
menyampingkan perhatian mereka terhadap hadits. Nabi sendiri melarang sahabatNya untuk
menuliskan dan mendokumentasi-kan sabda-sabdaNya.

Sebelum Rasulullah melarang sahabatNya menuliskan Hadits ada usaha para sahabat menulis
hadits dimasa Nabi Muhammad SAW. Riwayat-riwayat yang benar ada menceritakan bahwa
sebagian sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan
didalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasulullah SAW. Seperti Shahifah
Abdullah ibn Amer ibn ‘Ash, yang dinamai “ Ash Shadiqah” 4

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqy yang artinya; dari Abu Hurairah “ Taka da seorang
dari sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui hadits dari pada ku, selain Abdullah ibn
Amir bin ‘Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”.

Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah itu,
merka berkata kepada Abdullah , “Anda selalu menulis apa yang anda dengar dari Nabi, pada hal
beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak
dijadiakan syari’at umum”. Mendengar itu Abdullah peri bertanya kepada Nabi, apakah boleh
dia menulis hadits-hadits yang didengarnya dari Nabi. Nabi menjawab: artinya: “Tulislah apa
yang anda dengar daripadaku, demi Tuhan yang jiwaku ditanganNya , tidak keluar dari
mulutku, selain kebenaran” 5

3
Subhi Al Sholeh, Ulumu al-Hadits wa al Musthalahuhu, Cet XVII ( Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1988), hal .3.
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV . (Semarang : PT.PUSAKA RIZKI
PUTRA,1999) hal.35.
5
Fat-hul Bari I : 168
Pembatalan larangan menulis Hadits . kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis
hadits yang dinashkan oleh hadits Abu Sa’id dimaksudkan dengan izin yang dating sesudahnya.
Sebagian ualam yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka
yang dikhawatirkan akan mencapurkan hadits dengan Al-Qur’an. Izin hanya diberikan kepada
mereka yang tidak dikhawatirkan mencapuradukkan hadits dengan Al- Qur’an itu. Tegasnya,
mereka berpendapat bahwa taka da pertentang antara larangan dan keizinan, apabila kita
fahamkan, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Qur’an dan keizinan
itu diberikan kepada mereka yang hanya , menulis Sunnah untuk diri sendiri. Memang kita dapat
menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan kepada umum, sedangakan keizinan hanya untuk
beberapa orang tertentu. Riwayat Abdullah ibn ‘Amir ,emguatkan pendapat ini. Dan dikuatkan
pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi,oleh riwayat Al Bukhari yang meriwayatkan
bahwa diketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi
pegangan umat. Dan dapat pula dipahamkan, bahwa sesuadah Al-Quran dibukukan, ditulis
dengan sempurna dan telah pula lengkap turunnya barulah dikeluarkan izin menulis hadits.6

b. Hadits Pada Masa Sahabat


Dimaksudkan dengan masa sahabat dalam tulisan ini adalah masa al-Khulafa al-Rasyiddin
atau khalifah yang empat. Sehingga kebijakan-kebijakan tentang hadits akan dilihat dari sana.
Sampai dengan masa al-Khulafa al-Rasyidin, keadaan hadits tidak banyak berubah. Malah pada
periode ini, oleh sebagian besar ahli disebut sebagai periode yang amat ketat dan periwayatannya
dan penulisan hadits. Keadaan demikian merupakan kepanjangan pendapat umum tentang
pelanggaran penulisan pada masa Nabi. Disamping itu memang kondisi social budaya belum
banyak berubah diMadinah sebagai kota dibangunnya hadits Nabi.7

Periode kedua sejarah perkembangan hadits  adalah masa sahabat, khususnya adalah Khulafa
al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin dengan masa sahabat besar. Periode ini juga
dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi hadits
dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena para sahabat pada masa ini lebih
mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya
periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati

6
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV . (Semarang : PT.PUSAKA RIZKI
PUTRA,1999) hal.39.
7
TM. Hasbi Ashidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.II ( Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hal. 67
- hati dan membatasi dalam meriwayatkan hadits. Kehati - hatian dan usaha membatasi
periwayatan dan penulisan hadits yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka
khawatir terjadinya kekeliruan dan kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah
sumber ajaran setelah Al-Qur’an.8 Keberadaan hadits  yang demikian harus dijaga
keautentikannya sebagaimana penjagaan terhadap Al-Qur’an.  Oleh karena itu, para sahabat
khususnya Khulafa al-Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu
Ubaidah berusaha keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan
periwayatan hadis pada masa sahabat.

1.      Abu Bakar al-Shiddiq

      Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama menunjukkan perhatiannya dalam memelihara
Hadis. Menurut Al-Dzahabi, Abu Bakar adalah sahabat yang pertama kali menerima Hadis
dengan hati-hati, Misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek
datang kepadanya mengatakan “Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak
laki-laki saya .”  kata Abu Bakar, “ Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-qur’an
maupun dari Rasul.” Lebih lanjut khalifah berkata, “ siapa diantara kalian yang mendengar
ketentuan itu dari Rasul?” maka tampillah Muhammad bin Maslamah sebagai saksi bahwa
seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian seperenam (1/6) harta peninggalan cucu
dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar memberikan bagian tersebut.9

      Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati - hati.
Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748H/1347M),  sahabat Nabi yang
pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu
Bakar al-Shiddiq. Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan
tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah membakar
catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut lebih dilatarbelakangi
oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadits Sehingga, tidak
mengherankan jika jumlah hadits yang diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat
dari intensitasnya bersama Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama
Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat. Selain sebab -
8
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Ponorogo:STAIN Po Press,2010), ha. 71
9
DR.Muh.Zuhri, Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya,1997) hal. 38
sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang menyebabkan sahabat Abu
Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu;

1. Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah;


2. Kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya; dan
3. Jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.

Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits pada masa
Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat
Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa
pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintah setelah
meninggalnya  Rasulullah SAW baik yang datang dari dalam (intern) maupun dari luar
(ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan
baik.

2.      Umar ibn al-Khathab

      Sikap kehati-hatian juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Ia seperti halnya Abu Bakar,
suka meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Perlu pula dijelaskan
bahwa, pada masa Umar bin Khattab belum ada usaha secara resmi  untuk menghimpun hadis
dalam suatu kitab seperti Al-qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau
kekhususan mereka (umat islam) dalam mempelajari Al-qur’an. Alasan kedua, para sahabat
banyak menerima hadis dari Rasul SAW. sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan islam,
dengan kesibuknnya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi
seperti ini ada kesulitan untuk mengumpulkan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya,
bahwa soal pembukuan hadis, dikalangan para sahabat sendiri terjadi terjadi perselisihan
pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya. Abu Hurairah
seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadis, pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia
banyak meriwayatkan hadis dimasa Umar, lalu menjawab “ sekiranya aku meriwayatkan hadis
dimasa umar bin khattab seperti aku meriwayatkannya kepadamu, niscaya Umar akan
mencambukku dengan cambuknya.10

10
DR.Muh.Zuhri, Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya,1997) hal. 39
Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh sahabat Umar
bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati di dalam
meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan
oleh sahabat yang lainnya. Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu,
terutama masa khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bi al-Khathab naskah Al-Qur’an masih
sangat terbatas jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam.
Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa membedakan
antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga
dilarang, karena dari catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil,
demikian pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini
periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan tersebut
tetap memegang prinsip kehati-hatian.

3.      Utsman Ibn Affan

      Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang sama dengan
dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman Ibn Affan ini tidaklah
setegas yang dilakukan oleh Umar bin al-Khathab. Meskipun Utsman  melalui khutbahnya telah
menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits.  Namun pada
zaman ini, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan
dengan kegiatan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu
ternyata tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam
periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak sekeras
pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang mengakibatkan
bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.

4.      Ali bin Abi Thalib

      Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda dengan para
khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan
hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a tidak menerima hadits  sebelum
yang meriwayatkannya itu disumpah.11 Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar
dipercayainya,  Ali tidak meminta mereka untuk bersumpah.

Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat
mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru. Ali bin Abi
Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain
dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya
berkisar tentang:

1. Hukuman denda (diyat);


2. Pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir; dan
3. Larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang terbanyak bila
dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
c. Hadits masa Tabi;in

Tabi’i pada asalnya berarti pengikut. Dimaksudkan dalam ilmu hadits ialah “seluruh orang
Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepada sahabat, dan tidak bertemu dengan
Nabi dan tidak pula hidup semasa dengan Nabi”12

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang
dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengukuti jejak para sahabat sebagai guru –
guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para
sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usah
yang taelah dirintis oleh paara sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa
kekhalifahan Ustman para sahabat ahli hadiast menyebar keberapa wilayah kekuasaan Islam.
Kepeda merekalah para tabi’in mempelajari hadits.13

a.       Pusat – pusat Pembinaan Hadits

11
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV . (Semarang : PT.PUSAKA RIZKI
PUTRA,1999) hal.48

12
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV . (Semarang : PT.PUSAKA RIZKI
PUTRA,1999) hal.249-250.
13
. Suprata Munzier, Ilmu Hadits (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008) hal.85
      Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai tempat
tujuan para tabi’in dalam mencari hadits. Kota - kota tersebut ialah Madinah al-Munawarah,
Makkah al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Magrib dan Andalas, Yaman dan
Khurasan. Dari sejumlah para sahabat pembina hadits pada kota - kota tersebut, ada beberapa
orang yang tercatat meriwayatkan hadist cukup banyak, antara lain: Abu Hurairah, Abdullah bin
Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id al-
Khudzri.14

b. Tokoh – tokoh dalam Perkembangan Hadits Sahabat Kecil

Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut
dengan al-Mukhtsirun fi al-Hadits mereka adalah: Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364
hadits, Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits, Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau
2236 hadits, Aisyah(istri nabi) meriwayatkan 2210 hadits, Abdullah ibn Abbas meriwayatkan
1660 hadits, Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits, Abu Sa’id al-Khudzri meriwayatkan
1170 hadits. Sedangkan dari kalangan tabi’in besar, tokoh – tokoh periwayatan hadisat sangat
banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, diantaranya:15

1.      Madinah, Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam, Salim ibn Abdullah ibn
Umar dan Sulaiman ibn Yassar

2.      Makkah, Ikrimah, Muhammad ibn Muslim, Abu Zubair

3.      Kufah, Ibrahim an-Nakha’I, Alqamah

4.      Basrah, Muhammad ibn Sirin, Qatadah

5.      Syam, Umar ibn Abdul Aziz

6.      Mesir, YAzid ibn Habib

7.      Yaman, Thaus ibn Kaisan al-Yamani.

14
Nor Ikhwan. Mohammad, Ilmu Hadits ( Semarang: Rasail Media,2007) hal.87
15
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV . (Semarang : PT.PUSAKA RIZKI
PUTRA,1999) hal.54-55
2.Masa Pengumpulan Dan Seputar Kodifikasi Hadis
A. Tradisi Tulis di Kalangan Arab Menjelang Islam

Kajian-kajian ilmiah menunjukan bahwa bangsa Arab telah mengenal tulisan sebelum
kedatangan islama. Mereka mencatat pristiwa-peristiwa penting diatas bebatuan. Penelitian-
penelitian terhadap bend-benda purbakala memberikan bukti kuat akan hal tersebut, yang
merujuk pada abad III masehi. Sebagian besar benda purbakala yang mengandung tulisan-tulisan
bangsa Arab berada dikawasan selatan semenanjung Arabia16. Karena adanya keterkaitan yang
erat antara kebudayaan Persia dan Romawi. Ada yang menyebutkan bahwa Addi Ibn Zaid al-
Idabiy ( -35 SH) ketika telah beranjak dewasa dikirim oleh ayahnya kesekolah, sehingga bisa
mendalami Bahasa Arab.

Orang-orang Arab menyebut istilah” Al-kamil” untuk orang yang bisa menulis, mahir
memanah dan pandai berenang.akan tetapi mayoritas penyair akan membanggakan hafalan dan
kekuatan ingatan mereka. Bahkan ada diantara mereka yang menyembunyikan tentang
pengetahuan menulis dan khawatir bila keberadaannya diketahui orang lain. Bila ada yang
mengetahui perihalnya, makai a akan mengatakan : “sembunyikan perihal diriku, karena dalam
diri kami ada cacat”17.

B. Tradisi Tulis Masa Nabi dan Awal Islam

Yang tidak bisa diragukan lagi adalah bahwa tradisi tulis sudah tersebar pada masa nabi
SAW dalam skup yang lebih luas dari pada masa pra islam. Sebab Al-Quran telah
memerintahkan belajar dari nabi SAW sendiri juga menganjurkan hal itu.karakter risalah
membawa konsekuensi maraknya para pelajar,pembaca dan penulis. Karena wahyu memerlukan
ahli tulis, surat-surat.perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut
kenegaraan juga memerlukan ahli tulis. Kenyataan bahwa setelah islam dating, banyak terdapat
ahli tulis untuk surat-surat Bahasa-bahsa asing.18

16
Lihat Mashadir arsy-Syi’ir al-Jahiliy Wa Qimatiha at-Tarikiyah,hal. 24-432. Mengenai hal ini, buku tersebut
menguraikannya secara rinci.
17
Lihat al-Aghaniy, juz XVI. Itu adalah riwayat dari Dzi ar-Rammah
18
Lihat al-Mishhah al-Mudhi Fi kitab an-Nabiy al-ummiy wa rasulihi illa muluk al-ardh min arab wa ajam, karya
Muhammad ibn ali ibn hadid al-anshariy, cet. Maktabah al-auqaf, halb, bernomor (270). Untuk riciannya, periksa
buku itu hal. 16-40
Jumlah penulis bertambah banyak setelah hijrah, tatkala pemerintahan islam telah stabil.
Sembilan masjid yang ada di Madinnah, disamping masjid rasul SAW19 menjadi pusat kegiatan
kaum muslimin. Mereka mempelajari al-Quran Al-Karim, ajaran-ajaran islam, membaca dan
menulis. Belajar tulis-baca tidak hanya dilakukan kaum laki-laki, tetapi kaum wanita juga
mempelajarinya dirumah mereka. Abu Bakar Ibn Sulaiman ibn Abi Khaitsamah meriwayatkan
dari asy-Syifa binti Abdullah, bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW, mengunjungi ku pada saat
aku berda Bersama Hafshah, lalu bersabda padaku;

“Mengapa kamu tidak mengajari wanita ini mengobati cacar,sebagaimana engkau


mengajarinya menulis”

Kegiatan belajar bertambah meluas dan tersebar diberbagai Kawasan islam, seiring
dengan tersebarnya sahabat,. Kelompok-kelompok belajar semakin semarak,dan terbentuk
dimasjid-masjid. Ada kelompok belajar yang memuat seribu penuntut ilmu lebih Para pendidik
juga bertambah banyak20. Sekolah bertebaran diberbagai Kawasan islam dan dipenuhi oleh siswa
sampai adh-Dhahhak ibn Muzahim mendesak guru untuk mengendarai himar dalam
membimbing siswa disekolahnya, yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang. Ia sama sekali tidak
memungut biaya bagi kegiatannya itu.

Pertama, yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW tentang penulisan hadist:

a. Riwayat tentang larangan menuliskannya:


1. Abu Sa’id al-Khudry meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“jangan kalian tulis (riwayat) dariku. Siapa yang menulis riwayat dariku selain Al-
Quran, hendaklah ia menghapusnya”21.
2. Abu Sa’id al-Khudry mengatakan:
“kami merengek dihadapan Nabi SAW, agar beliau mengijinkan kami menuliskan
(riwayat dari beliau selain Al-Quran), tetapi beliau tetap tidak berkenan (memberi ijin).
b. Riwayat tentang bolehnya penulisan:
1. Abdullah ibn Amr ibn al-Ash ra. Mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku
dengar dari Rasulullah SAW., untuk aku hafalkan. Tetapi kaum Quraisy melarangku,
19
Lihat masalik al-abshar fi masmalik al-amshar, hal.131
20
Abu ali ahmad ibn umar ibn rastah menyebutkan banyak guru pada masa ini. Luhat al-Alaq an-Nafisah, jilid VII,
Hal. 216-217.
21
Lihat shahih muslim bi syarh an- nawawawiy, hal.129, juz XVIII dan jami bayan al- ilm wa fadhlih, hal. 63, juz 1
seraya beralasan: Engkau menulis semua yang engkau dengar dari Rasulullah SAW.
Padahal Rasulullah SAW. Adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan
lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada
Rasulullah SAW, Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda:
Tuliskanlah. Demi Dzat yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini
kecuali yang benar22.

2. Abu Hurairah ra, berkata:


“diantara sahabat nabi SAW.tidak ada seseorang yang lebihbanyak meriwayatkan hadist
dari beliau disbanding diri ku, kecuali yang ada pada Abdullah ibn Amar,karena ia
menulis, sedang aku tidak”23.

Perintah Rasulullah SAW, ini jelas menunjukan bahwa beliau hendak meminta
dituliskan sesuatu selain Al-Quran. Yang hendak beliau tuliskan itu adalah sunnah. Tidak
jadinya penulisan itu karena karena sakit keras beliau tidak menasakh,bahwa beliau tetap
memiliki keinginan seperti itu. Dan hal itu terjadi pada akhir-akhir hayat beliau. Dengan
demikian ini dapat dipahami sebagai pembolehan Nabi SAW terhadap penulisan hadist
dalam waktu yang beragam, tempat yang berbeda-beda dan dalam berbagai kesempatan,
khusus maupun umum.

Ulama berusaha mengkompromikan antara riwayat yang berisi larangan dan yang
berisi kebolehan sebagai berikut:

a. Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadist Abu Sa’id al-Khudriy “mauquf ‘alaih”
(ditangguhkan). Sehngga tidak bisa dijadikan hujjah.
b. Bahwa larangan penulisan hadist terjadi pada awal islam karena khawatir terjadi
percampuran antara Al-Qur’an dan Hadis. Namun tatkala kaum muslimin bertambah
banyak, dan mereka telah mengenal Al-Qur’an dengan baik serta bisa membedakannya
dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga hukuman larangan itu terhapus,
menjadi dibolehkan24.

22
Lihat sunan a- Darimiy, hal 125, juz 1
23
Lihat fath al- bariy, hal.217, juz 1
24
Lihat taudihih al-afkar, hal.353-354, juz II
C. Yang Dikodifikasi Pada Masa Awal Islam

Tak bisa disangkal lagi bahwa ada beberapa sahabat yang menulis beberapa hadist
Rasulullah SAW atas izin khusus dari beliau, seperti Abdullah ibn Amr dan seorang Anshar
yang tidak mampu mengahafal suatu hadist. Kemudian sahabat-sahabat lain yang menulis
hadist-hadist nabi SAW lainnya setelah mendapatkan ijin umum. Hanya saja kita tidak bisa
mengetahui semua isi shahifahitu, karena sebagian sahabat dan Tabi’in telah membakar atau
menghapus shahifah yang ada pada mereka sebelum wafat. Sebagiannya Juga ada yang
mewasiatkannya kepada orang yang bisa dipercaya. Mereka melakukan itu karena khawatir
shahifah-shahifah akan jatuh ketangan orang-orang yang tidak ahlinya25.

Pada masa Rasulullah SAW popular sebuah kitab yang sangat penting yaitu kitab
yang Rasuullah SAW memerintahkan untuk mengkodifikasinya, pada tahun pertama hijriah.
Didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak kaum muslimin, Muhajirin
maupun anshar, Arab Yatsrib dan Yahudinya. Didalamnya terulang-ulang kata “Ahlush
Shahifah” sampai lima kali. Pada bagian pengantarnya terdapat : “ini adalah kitab
Muhammad Nabi sekaligus Rasul SAW antara kaum mukminin dan muslimin,baik dari
kalangan Quraisy, warga Yatsrib dan orang yang mengikuti mereka,bertemu dengan mereka
dan berjuang Bersama mereka,bahwa dikalangan umat manusia, mereka adalah umat yang
satu…” ini menjnjukan bahwa undang-undang atau keputusan negara islam itu berada dalam
lembaran kodifikasi yang keberadaannya sangat popular dan diriwayatkan secara mutawatir.
Antara Rasulullah SAW dengan sebagian besar warga Arab, sekelompok Yahudi, Nasrani
dan yang lainnya terdapat kitab-kitab dan perjanjian-perjanjian yang dikodifikasikan.

Semua itu merupakan sunnah yang terkodifikasi pada masa nabi SAW. sebagian
kitab juga telah dibacakan dihadapan kaum muslimin. Antara lain,riwayat ibn Abi Laila dari
Ubaidillah ibn Ukaim, katanya: dibacakan kepada kami kitab Rasulullah SAW:

“jangan kalian memanfaatkan kulit dan urat bangkai”

Kitab-kitab Rasulullah SAW itu juga dikirimkan kepada raja-raja,amir-amir,para gubernur dan
para panglima perang serta Ahl adz-dzimmah yang lain,yang jumlahnya mencapai 280 kitab.
25
Lihat majalah al-manar, hal. 754. Juz X
Abu Bakar mengirimkan kitab kepada Anas bin Malik yang berisi zakat-zakat yang
diwajibkan oleh Rasulullah SAW. riwayat lain menyebutkan, bahwa kitab itu distempel dengan
cincin Rasulullah SAW.

Ash-Shahifah ash-Shadiqah Milik Abdullah ibn Amr ibn al-Ash (7 SH-65 H)

Rasulullah SAW memberikan kelongggaran bagi Abdullah ibn Amr ra untuk menulis
hadist. Karena ia seorang penulis yang baik. Ia menulis banyak hadist dari beliau. Shahifahnya
itu dikenal dengan sebutan “ Shahifah Ash-Shadiqah”,nama yang juga dikehendaki penulisnya.
Karena ia menulisnya dari Rasulullah SAW. Tulisan itu merupakan riwayat yang paling benar
dari beliau. Mujahid ibn Jabr (21-104 H) juga pernah melihat shahifah itu ada pada Abdullah ibn
Amr. Alu ia pergi untuk mendapatkannya. Beliau berkata kepadanya;menyingkirlah wahai bani
makhzum. Mujahid berkata: aku tidak menulis sesuatu pun. Beliau berkata:”Shadiqah ini
memuat apa yang saya dengar dari Rasulullah SAW, dan antara diriku dengan beliau tak ada
(penghalang) seorang pun26.

Kitab-kitab Ibn Abbas(3 SH-68H)

Ibn Abbas terkenal dengan ketekunannya menuntut ilmu. Dan setelah Rasulullah SAW
wafat beliau selalu bertanya dan menulis dari sahabat. Rasulullah SAW sendiri pernah
mendoakannya :’’ Ya Allah, ilhamkanlah kepadanya hikmah dan ajarkanlah kepadanya ta’wil
(tafsir).” Setelah beliau wafat,tampaklah kitab-kitab beliau yang jumlahnya semuaan unta.

Abdullah ibn Umar (10SH-73H) meriwayatkan, bahwa setiap beliau keluar kepasar,
beliau selalu melihat kitab-kitab beliau. Periwayat juga mengukuhkan bahwa kitab-kitab beliau
itu berkenaan dengan hadist.27

Shahifah Jabir ibn Abdullah al-Anshariy (16 SH-78 H)

Barangkali shahifah ini bukan shahifah kecil yang berisi manasik yang disebutkan oleh
Imam Muslim dakam kitab al-Hajj. Ibn Sa’d menyebutkannya dalam biografi Mujahid, yang
juga meriwayatkan darinya. Seorang tabi’yi terkemuka, Qatadah ibn Di’amah as-Sadusy (-118H)
mengatakan ketinggian status shahifah itu seraya berkata :’’sesungguhnya saya lebih Shahifa
Jabir ibn Abdillah daripada surat Al-Baqarah.
26
Lihat jami bayan al-ilm wa fadhlih, hal. 76, juz 1
27
Lihat al-amwal, hal. 358-359
Yang tak bisa diragukan lagi adalah bahwa ulama pada awal abad kedua Hijriah telah
menyusun banyak kitab. Bahkan kitab az-Zuhriy saja jumlah sekian banyak, yang setelah
tebunuhnya al-Wahid ibn Yazid ibn Abdul Malik ibn Marwan (88-126 H) dipindah dari
perbendaharaan beliau denagn kendaraan.

Ash-Shahifah ash-shahihah Milik Hamman ibn Munabbih (40-131 H)

Hammam ibn Munabbih, seorang tab’i terkemuka pernah bertemu dengan seorang
sahabat terkemuka, Abu Hurairah dan menulis banyak hadist Rasulullah SAW darinya serta
menghimpunya didalam shahifah atau beberapa shahifah yang dikenal dengan sebutan” ASH-
SHAHIFAH ASH-SHAHIHAH’’. Kadang-kadang disebut juga dengan ASH-SHAHIHAH,
seperti Ash-Shahifah milik Abdullah ibn al-Ash ra. Tepat sekali beliau menyebutnya Ash-
Shahihah, karena beliau menulisnya dari seorang sahabat agung yang selalu menyertai Nabi
SAW selama empat tahun yang meriwayatkan banyak hadist.

Shahifah bisa sampai epada kita dalam keadaan utuh, seperti yang diriwayatkan dan
dikodifikasi oleh Hammam ibn Munabbih dari Abu Hurairah. Dr.Muhammad Hamidullah
berhasil menemukan shahifah itu dalam bentuk dua manuskripsi yang mirip, masing-masing di
Damaskus dan Berlin.

Kepercayaan kita akan shahifah Hammam itu tatkala kita mengetahui bahwa Imam
Ahmad meriwayatkan secara utuh didalam kitab Musnadnya. Disamping itu, Imam Bukhari juga
meriwayatkan sebagian besar hadistnya dalam beberapa bab didalam kitab shahihnya.

D. Berbagai Pendapat Tentang Kodifikasi Hadist

1. Pendapat Imam Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H)

Imam Muhammmad Rasyid Ridha mengatakan: “kemungkinan tabi’in yang


perrtama kali menulis hadist dan yang lain pada abad pertama dan menjadikan tulisannya itu
sebagai sebuah koleksi adalah Khalid ibn Ma’ dan al-Hiz al-Himshiy. Diriwayatkan darinya
bahwa, ia pernah bertemuu degan tujuh puluh sahabat. Didlam Tadzikirah al-Huffadz
disebutkan, Buhair berkta “saya tidak melihat orang yang lebih kuat keilmuannya
dibandingkan Khalid ibn Ma’dan. Ilmunya diletakkan dalam lembaran yang diikat dan diberi
kancing untuk menjaganya agar tidak ada lembaran yang terjatuh. Hal itu terjadi pada abad
pertama. Karena beliau wafat tahun 103 atau 104 H. akan tetapi, yang popular adalah bahwa
orang yang pertama menulis hadist adalah Ibn Syihab az-Zuhriy al-Quraisy28.

2. Pendapat Syi’ah

Rujukan agama terkemuka, Syayid hasan ash-Shadr (1272-1354 H) mengatakan, Al-


Hafidz As-suyuthiy melakukan kekeliruan dalam bukunya, Tadrib ar_Rawi, karena beliau
menduga bawha awal kodfikasi hadist terjadi pada penghujung abad pertama hijriah. Beliau
berkata: Adapun permulaan kodifikasi hadist, terjadi pada penghujung abad pertama hijriah
pada masa kekhalifahan Umar ibn Abdul Aziz. Didalam sahih al-Bukhari dalam bab-bab
ilmu disebutkan, Umar ibn Abdul Aziz berkirim surat kepada Abu Bakar ibn Hazm. Ibn
Hazar dlam Shahih al-Bukhari dalam bab-bab ilmu disebutkan, Umar ibn Abdul Aziz
berkirim surat kepada Abu Bakar ibn Hazm. Ibn Hajar didalam Fath al-Bariy mengatakan:
dari informasi ini dapat ita pahami permulaan kodifikasi hadist. Kemudian beliau juga
memahami bahwa orang pertma yang melakukan kodifikasi hadist atas intruksin umar ibn
Abdul Aziz adalah Ibn Syihab29.

3.Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya


Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadist. Sesudah kitab-kitab
Ibnu Jurajj, Kitab Muwaththa’ –Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan
gembira, kemauan menghapal hadist, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan
mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri
lain untuk mencari hadist30.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dikotanya masing-masing.
Hanya sebagian kecil diantara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan
hadis. Keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah
yang dikunjungi untuk mencari hadis.beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah,
Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani, dan Himsh.

28
Lihat majalah al-manar, hal. 754. Juz X

29
Lihat ta’sis asy- syi’ah li ulum al-islam, hal.279
30
Ibid. hlm. 89-104
Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai
daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa
mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun setelah
terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis,
para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman,
masa, dan lain-lain.
b.Memisahkan hadis-hadis yang shahih dari hadis yang dha’if yakni dengan men-tashih-kan
hadis.
Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan memebedakan hadis-hadis yang sahih dari yang
palsu dan yang lemah adaalh Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-
Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al- Famius Shahih.
Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang diangap sahih. Kemudian, usaha Al-
Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak
Bukhari dan Mulim, diantaranya Abu Dawud, At- Tirmidzi, dan An-Nasa’i. mereka menyusun
kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An- Nasa’i. kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan
masyarakat dengan judul Al- Ushul Al-Khamsyah. Di samping itu, Ibnu Majah menyusun
Sunan-nya. Kitab sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama kedalam kitab-kitab induk
sehingga kitab-kitab induk itu menjadi enam buah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-
Kutub Al-Sittah’. Di bawah kitab yang enam ini, para ulama menempatkan Musnad Ahmad .
Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:
1.Ali Ibnul Madany
2.Abu Hatim Ar-Razy
3.Muhammad Ibn Jarir Ath- Thabari
4.Muhammad Ibn Sa’ad
5.Ishaq Ibnu Rahawaih
6.Ahmad
7.Al-Bukhari
8.Muslim
9.An-Nasa’i
10.Abu Dawud
11.At-Tirmidzi
12.Ibnu Majah
13.Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri31
Kitab-Kitab Sunnah yang tersusun dalam abad yang keriga, antara lain:
1.Al-Musnad, Susunan Musa Ibn ‘Abdillah Al- ‘Abasy
2.Al-Musnad, Susunan Musaddad Ibn Musarhad
3.Al-Musnad, Susunan Asad Ibn Musa
4.Al-Musnad, Susunan Abu Dawud Ath Thayalisy
5.Al-Musnad, Susunan Nu’aim ibn Hammad
6.Al-Musnad, Susunan Abu Ya’la Al-Maushuly
7.Al-Musnad, Susunan Al-Humaidy
8.Al-Musnad, Susunan ‘Ali Al-Madaidi
9.Al-Musnad, Susunan ‘Abid Ibn Humaid (249 H)
10.AL-Musnadu Al-Mu’allal, Susunan Al-Bazzar
11.Al-Musnad, Susunan Baqiy Ibn Makhlad (201-296 H)
12.Al-Musnad, Susunan Ibnu Rahawaih (237 H)
13.Al-Musnad, Susunan Ahmad Ibn Ahmad
14.Al-Musnad, Susunan Muhammad Ibn Nashr Al-Marwazy
15.Al-Musnad, Susunan Abu Bakr ibn Abi Syaibah (235 H)
16.Al-Musnad, Susunan Abu Al-Qasim Al-Baghdawy (214 H)
17.Al-Musnad, Susunan ‘Utsman ibn Abi Syaibah (239 H)
18.Al-Musnad, Susunan Abdul Husain ibn Muhammad Al-Masarkhasy (298 H)
19.Al-Musnad, Susunan Ad-Darimi

20.Al-Musnad, Susunan Sa’id Ibn Mansur (227 H.)


21.Tahdzibu Al-Atsarm, Susunan Al-Imam ibnu Jarir
22.Al-Fami’u Ash-Shahih, Susunan Bukhari
23.Al-Fami’u Ash-Shahih, Susunan Muslim
24.As-Sunan, Susunan An-Nasa’i
31
I bid. Hlm. 101-102
25.As-Sunan, Susunan Abu Dawud
26.As-Sunan, Susunan At-Tirmidzi
27.As-Sunan, Susunan Ibnu Majah
28.Al-Muntaqa, Susunan Ibnu Al-Jarud
29.Ath-Thabaqat, Susunan Ibnu Sa’ad32

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

32
Ibid. hlm. 103
Ilmu hadis adalah ilmu yang mengaji pengutipan secra cermat dan akurat segala sesuatu yang

disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik dan non

fisik.

B. SARAN

Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak kekurangan, maka dari itu jika ada

kesalahan kata atau kalimat yang kurang tepat serta sistematika penulisan yang kurang baik,

kritik dan saran kami perlukan agar penulisan atau penyusunan makalah selanjutnya akan lebih

baik lagi.

DAFTAR PUSAKA

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieoy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.IV .
(Semarang : PT.PUSAKA RIZKI PUTRA,1999
TM. Hasbi Ashidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet.II ( Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Subhi Al Sholeh, Ulumu al-Hadits wa al Musthalahuhu, Cet XVII ( Beirut: Darul Ilmi Lil
Malayin, 1988)
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Ponorogo:STAIN Po Press,2010),
DR.Muh.Zuhri, Hadits Nabi, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya,1997)
Suprata Munzier, Ilmu Hadits (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2008)
Nor Ikhwan. Mohammad, Ilmu Hadits ( Semarang: Rasail Media,2007)
Drs.M.Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc.M.Ag, Ulumul Hadist, cet. Ke-2( bandung:
pustaka setia, 2011)

Anda mungkin juga menyukai