Anda di halaman 1dari 19

PERATURAN TENTANG WARIS DAN HIBAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Penyelenggaraan Syariah yang


diampu oleh Bapak Hosen, M.H.I

Oleh:
Kelompok 5
Daifur Rahman (19382011107)
Galih Eko Prayudha (19382011012)
Sheptyka Fitri Amiliya (19382012033)
Tri Wahyu Mulyati (19382012002)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa
yang selalu memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya. Sehingga kami dapat
menyelasaikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Penyelenggaraan
Syariah. Tidak lupa sholawat serta salam marilah kita limpahkan pada Nabi besar
junjungan umat Islam Muhammad SAW.
Makalah berjudul “Peraturan Tentang Waris dan Hibah” yang disusun
oleh kelompok 5 kelas A program studi Hukum Keluarga Islam ini merupakan
suatu bentuk nyata partisipasi kami dalam turut memahami dan mempelajari mata
kuliah Penyelenggaraan Syariah.
Penyusunan makalah ini melibatkan berbagai pihak hingga pada akhirnya
dapat dipelajari, dipahami, dan akan dipresentasikan oleh kami. Sehubungan
dengan hal tersebut, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hosen selaku
dosen pangampu mata kuliah Penyelenggaraan Syariah, yang telah memberi
inspirasi dan membimbing kami dalam proses pembuatan makalah ini sehingga
berhasil kami tulis dengan baik dan dapat dipelajari oleh kami ataupun teman-
teman kelas A program studi Hukum Keluarga Islam IAIN Madura.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu kami dengan senang hati menerima segala saran serta
masukan dari berbagai pihak yang bersifat membangun. Harapan kami semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Pamekasan, 10 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. ii


Daftar Isi ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................2
C. Tujuan ......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3
A. Ketentuan Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 3
B. Ketentuan Pembagian Harta Warisan ............................................ 3
C. Pembatalan Warisan Menurut ketentuan KUH Perdata ................. 6
D. Ketentuan Hibah .......................................................................... 6
E. Pembatalan atau Penarikan Harta Hibah....................................... 10
BAB III PENUTUP ..................................................................................... 14
A. Kesimpulan ................................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang
pokok. Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara
khusus dalam lingkup fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam
hukum Islam secara tidak langsung menunjukkan bahwa bidang waris
merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam ajaran Islam.
Ruang lingkup waris diantaranya meliputi orang-orang yang berhak
menerima warisan, bagian-bagian atau jumlah besaran waris.
Dalam konteks Bahasa Indonesia, kata “Hibah” berarti pemberian
atau menghibahkan, yang sinonim dengan kata “memberikan”. Hibah
merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi
tersebut dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada
hubungannya dengan kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan
dalam hukum positif di indonesia seperti; Kompilasi Hukum Islam dan
KUH Perdata.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, bahwa pada dasarnya hibah
tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya. Begitu pula menurut KUHPerdata bahwa hibah yang telah
diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali
atau dibatalkan, namun demikian terdapat pengecualian di dalamnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan waris dan ahli waris?
2. Bagaimana pembagian harta warisan?
3. Bagaimana ketentuan pembatalan warisan?
4. Bagaimana ketentuan dari hibah?
5. Bagaimana ketentuan pembatalan atau penarikan harta hibah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui ketentuan waris dan ahli waris
2. Untuk mengetahui pembagian harta warisan
3. Untuk mengetahui ketentuan pembatalan warisan
4. Untuk mengetahui ketentuan dari hibah
5. Untuk mengetahui ketentuan pembatalan atau penarikan harta hibah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ketentuan Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan
mengenai kewarisan ini, yaitu:
1) Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
2) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.
3) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli
waris.
4) Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-
haknya.
5) Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat.

B. Ketentuan Pembagian Harta Warisan


1) Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam menjelaskan kedudukan dan mengatur besarnya bagian ahli
waris dirinci secara detail dalam pasal 181 dan 182.
a. Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-

3
masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang
atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga
bagian.
b. Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau
seayah maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudarah perempuan
kandung seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-
sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila saudara permpuan tersebut bersama-sama dengan saudara
laki-laki kandung atau seayah, maka bagian dari saudara laki-
laki dua berbanding satu dengan saudara permpuan”. 1

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas
putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul
Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191
KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat
seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda
mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
2) Menurut KUH Perdata (BW)
Dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian
warisan sebagai berikut:
a) Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri
dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang
sama jumlahnya (pasal 852 BW).
1
H. Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan
Peradilan Agama (Cet. III; Jakarta: Yayasan Al-Hikmah Jakarta, 1993), h. 349.

4
b) Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang
kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara
dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa
orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c) Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka
warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh
lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia,
keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-
anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum
pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah
(pasal 853 BW).

Berbagai Macam Hukum Waris di Indonesia dan Pembagiannya:

1. Menurut Ajaran Islam


Menurut buku Pembagian Warisan Menurut Islam yang
ditulis oleh Muhammad Ali Ash-Sahbuni, jumlah pembagian harta
yang ditentukan dalam Alquran ada enam macam, yakni setengah,
seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.
Anak perempuan bila hanya seorang mendapat saparuh
bagian. Bila dua atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian. Jika anak perempuan bersama-sama dengan anak
laki-laki, maka bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan
anak perempuan.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak. Bila memiliki anak, ayah mendapat
seperenam bagian.
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak/dua
saudara/lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau
lebih, maka mendapat sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga
bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.

5
Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak. Jika meninggalkan anak, maka duda
mendapat seperempat bagian. Janda mendapat seperempat bagian
bila pewaris tidak meninggalkan anak. Jika meninggalkan anak,
janda mendapat seperdelapan bagian.
Jika pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-
masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka dua orang atau
lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

C. Pembatalan Warisan Menurut ketentuan KUH Perdata ( BW)


Dalam pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli
waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh
atau mencoba membunuh pewaris.
2. Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena
dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris
mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara
lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat
atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat
wasiat pewaris.

D. Ketentuan Hibah
1) Ketentuan Pelaksanaan Hibah Menurut Hukum Perdata
Apabila kita mengkaji pasal-pasal yang mengatur tentang hibah
dalam hukum perdata, maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu
hibah ada tiga macam, yaitu ada si penghibah, penerima hibah dan barang
atau benda yang dihibahkan.
a. Si Penghibah

6
Si penghibah adalah pemilik harta yang akan memberikan sebagian
hartanya kepada seseorang, baik kepada ahli waris, kerabat maupun
orang lain yang telah dianggap layak untuk diberikan hibah. Dengan
demikian, si penghibah berinisiatif merelakan harta atau barang
miliknya untuk dihibahkan apabila telah memenuhi syarat dan benar-
benar hak miliknya secara jelas tanpa ada keragu-raguan lagi. Si
penghibah ingin memberikan sesuatu yang dibolehkan dalam hukum
secara cuma-cuma tanpa mengharapkan penggantian atau imbalan
jasa. Akan tetapi tidak dibolehkan memberi hibah apabila belum
dewasa, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1677 KUH
Perdata.2
b. Penerima Hibah
Dalam Pasal 1678 KUH Perdata dijelaskan bahwa antara suami
isteri selama dalam status perkawinan dilarang untuk penghibahan.
Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau
pemberian-pemberian barang bergerak, yang harganya tidak
terlampau tinggi, mengingat kemampuan si penghibah. Untuk
menerima suatu hibah dibolehkan orang yang belum dewasa, tetapi ia
harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya, bahkan dalam Pasal
1679 KUH Perdata dinyatakan, bahwa orang yang menerima hibah itu
harus sudah ada (sudah dilahirkan) pada saat dilakukan penghibahan.
Dalam Pasal 2 KUH Perdata lebih lanjut dinyatakan bahwa “anak
yang ada dalam kandungan pun dianggap sebagai telah dilahirkan
manakala kepentingan si anak itu menghendaki”.
Sementara itu, dalam Pasal 1680 KUH Perdata dinyatakan bahwa:
Penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga-lembaga
agama tidak mempunyai akibat selamanya sekedar oleh presiden atau
penguasa-penguasa yang telah ditunjuk olehnya telah diberikan
kekuasaan pada pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima
pemberian-pemberian itu.

2
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1989)

7
Selanjutnya pada Pasal 904 s/d 907 KUH Perdata dijelaskan bahwa
tidak dibenarkan menerima hibah: guru-guru/pengasuh dari muridnya,
orang yang mempunyai hubungan khusus seperti dilarang pemberian
hibah wasiat kepada walinya atau kepada dokter yang merawat selama
sakitnya atau kepada notaris yang membuat testament hibah wasiat.
1. Barang Yang Dihibahkan
Di dalam Pasal 1688 KUH Perdata dinyatakan bahwa : Suatu
hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya,
melainkan dengan hal-hal yang berikut:
1) Karena tidak dipatuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan
yang telah dilakukan.
2) Jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu
melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si
penghibah atau suatu kejahatan si penghibah.
3) Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si
penghibah, setelah orang ini dalam kemiskinan.

Selanjutnya hibah meliputi barang bergerak dan tidak bergerak,


dengan demikian, dalam pengalihannya, pemindahanya telah diatur
dalam Pasal 1682 s/d pasal 1687 KUH Perdata, yang pada prinsipnya
dapat dipahami sebagaimana penjelasan Subekti bahwa dari Pasal
1682 s/d Pasal 1687 tersebut dapat dilihat bahwa untuk penghibahan
benda tak bergerak ditetapkan suatu formalitas dalam bentuk akta
notaris. Tetapi untuk menghibahkan benda yang bergerak yang
berbentuk atau surat penghibahan atas tunjuk (aan toonder) tidak
diperlukan suatu formalitas dan dapat dilakukan dengan secara sah
dengan penyerahan barangnya begitu saja kepada si penerima hibah
kepada pihak ketiga yang menerima pemberian hibah atas namanya.

2) Ketentuan Pelaksanaan Hibah Menurut Hukum Islam


Ketentuan konsep hibah menurut hukum Islam adalah bersumber
dari Alquran dan Hadis Nabi saw. yang dalam pelaksanaannya dapat
dirinci sebagai berikut :

8
1. Rukun Hibah
Praktek hibah mempunyai beberapa rukun, yaitu (1) Adanya orang
yang menghibahkan; (2) Adanya yang menerima hibah; (3) Adanya
yang akan dihibahkan dan (4) Adanya ijab dan Kabul.
2. Syarat-syarat Hibah
a. Syarat bagi si penghibah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi si
penghibah adalah sebagai berikut :
1) Pemilik memiliki apa yang dihibahkan;
2) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena
alasan-alasan tertentu;
3) Penghibah itu adalah orang dewasa, sebab anak-anak
kurang kemampuannya;
4) Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu adalah akad
yang mempersyaratkan keridhaan dalam kebendaannya.

Sedangkan menurut Abdurrahman (1992 : 164) bahwa


syarat syarat bagi yang akan melakukan perbuatan hibah
adalah :

a) Orang yang telah berumur sekurang-kurannya 21 tahun,


berakal sehat dan tanpa adanya paksaan serta dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga yang dilakukan
di hadapan dua orang saksi.
b) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari si
penghibah. Syarat-syarat tersebut di atas sesuai dengan
pernyataan pada Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam.
b. Syarat bagi si penerima hibah
Penerima hibah telah ada dalam arti sebenarnya. Karena itu
tidak sah anak yang masih dalam kandungan menerima hibah.
Hibah itu adalah semacam perpindahan hak milik. Dalam
pemindahan hak milik hendaknya dalam arti yang sebenarnya.

9
Orang yang akan menerima milik perpindahannya langsung
terjadi setelah sihgat akad diucapkan. Sedangkan anak yang
masih dalam kandungan belum sanggup menerima
perpindahan hak milik itu, dan jika penerima hibah adalah
orang yang belum mukallaf, maka yang bertindak sebagai
penerima ialah walinya atau orang yang bertanggung jawab
memelihara dan mendidiknya. 3
c. Syarat Barang Yang Dihibahkan
Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya pada
waktu hibah dilaksanakan. Tidak sah dihibahkan barang yang
belum jelas statusnya, seperti rumah yang belum dibangun
atau tanah yang belum dibalik nama atas nama si penghibah
dan sebagainya. Barang yang dihibahkan itu adalah barang
dapat dimiliki secara sah menurut ajaran Islam. Barang itu
telah menjadi milik sah dalam arti yang sebenarnya, dalam hal
ini, tidak boleh dihibahkan barang yang belum jelas
pemiliknya seperti penghibahan barang yang masih di dalam
laut atau burung yang masih beterbangan dan lain-lain. Harta
yang telah dihibahkan dalam keadaan yang tidak terikat pada
suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu masih
dalam pegadaian atau di Bank. (Departemen Agama, 1986
:204).

E. Pembatalan atau Penarikan Harta Hibah


1) Pembatalan Hibah menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, bahwa
hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya. Pembatalan atau penarikan kembali atas suatu pemberian
(hibah) merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibah tersebut
terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah

3
Asriadi Zainuddin, Perbandingan Hibah Menurut Hukum Perdata Dan Hukum Islam, Jurnal Al-
Himayah Vol. 1. No. 1 Maret 2017, hlm. 100

10
yang boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan
orang tua kepada anaknya.
Menurut hadist Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda bahwa
orang yang meminta kembali hibahnya adalah laksana anjing yang
muntah kemudian dia memakan kembali muntahnya itu, hadist ini
diriwayatkan oleh Mutafaq’alaih. Dalam riwayat yang lain, Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas mengemukakan bahwa Rasulullah pernah berkata, tidak
halal bagi seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian
ia meminta kembali pemberiannya itu, kecuali orang tua dalam suatu
pemberian yang ia berikan kepada anaknya. Hadist ini dinilai sahih oleh
At Tarmizi, Ibnu Hibban dan Al Hakim, An Nasa’ dan Ibnu Majah. 4
Namun demikian kalaupun tertutup kemungkinan untuk menarik
kembali suatu barang yang telah dihibahkan (menurut sebagian pendapat
kecuali hibah yang diberikan terhadap anak), penarikan itu dapat juga
dilakukan seandainya hibah yang diberikan tersebut guna mendapatkan
imbalan dan balasan atas hibah yang diberikannya. Misalnya seseorang
yang telah berusia lanjut memberikan hibah kepada seseorang tertentu,
dengan harapan kiranya si penerima hibah memeliharannya, akan tetapi
setelah hibahnya dilaksanakan, si penerima hibah tidak memperhatikan
keadaan si pemberi hibah. Maka dalam hal seperti ini si penerima hibah
dapat menarik kembali hibah yang telah diberikannya.
Ketentuan hukum tentang hal ini dapat dipedomani hadis yang
diriwayatkan oleh Salim dari ayahnya, dari Rasulullah SAW., beliau
bersabda yang artinya sebagai berikut: “berangsiapa hendak memberi
suatu hibah, maka ia lebih berhak terhadapnya selama ia belum dibalas”.
Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa hibah hanya
boleh dilakukan 1/3 dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai waris. Apabila hibah akan
dilaksanakan menyimpang dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak
terjadi perpecahan diantara keluarga. Prinsip yang dianut oleh hukum
Islam adalah sesuai dengan kultur bangsa Indonesia dan sesuai pula
4
Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2008), hlm. 140

11
dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnul Hasan, bahwa
orang yang menghibahkan semua hartanya itu adalah orang yang dungu
dan tidak layak bertindak hukum. Oleh karena orang yang menghibahkan
harta dianggap tidak cakap bertindak hukum, maka hibah yang
dilaksanakan dianggap batal, sebab ia tidak memenuhi syarat untuk
melakukan penghibahan. 5
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan
bahwa pada prinsipnya hibah tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
Namun apabila hibah yang diberikan seseorang pemberi hibah yang
melebihi 1/3 dari harta kekayaannya dapat dibatalkan, karena tidak
memenuhi syarat dalam penghibahan serta melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, bahwa pada dasarnya hibah
tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya. Begitu pula menurut KUHPerdata bahwa hibah yang
telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik
kembali atau dibatalkan, kecuali: (a) Jika syarat-syarat penghibahan itu
tidak dipenuhi oleh penerima hibah, (b) Jika orang yang diberi hibah
bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan
atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah, (c) Jika penghibah jatuh
miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah
kepadanya.
2) Pembatalan Hibah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Meskipun suatu penghibahan sebagaimana halnya dengan suatu
perjanjian pada umunya, tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa
persetujuan pihak lawan, namun undang-undang memberikan
kemungkinan bagi si pemberi hibah untuk dalam hal-hal tertentu menarik
kembali atau menghapuskan hibah yang telah diberikan kepada orang
lain.

5
Ibid.,

12
Demikian seperti yang sudah disebutkan di dalam KUHPerdata
pasal 1688 tentang penarikan kembali dan penghapusan hibah, berupa 3
hal yaitu:6
1. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah
dilakukan.
2. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu
melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah
atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.
3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah,
setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.

Penghapusan hibah dilakukan dengan menyatakan kehendaknya


kepada si penerima hibah disertai penuntutan kembali barang-barang yang
telah dihibahkan dan apabila itu tidak dipenuhi secara sukarela, maka
penuntutan kembali barang-barang itu diajukan kepada pihak pengadilan.

Tentang penarikan kembali hibah, jika si pemberi hibah sudah


menyerahkan barangnya, dan ia menuntut kembali barang tersebut, maka
si penerima hibah diwajibkan mengembalikan barang yang dihibahkan
tersebut dengan hasil-hasilnya terhitung mulai diajukannya gugatan, atau
jika barang yang sudah dijualnya, mengembalikan harganya pada waktu
dimasukkannya gugatan, dan disertai hasil-hasil sejak saat itu. Selain itu,
si penerima hibah diwajibkan memberikan ganti rugi kepada si pemberi
hibah, untuk hipotik-hipotik dan beban-beban lainnya yang telah
diletakkan olehnya di atas benda-benda tak bergerak, juga sebelum
gugatan dimasukkan. 7

Pencabutan dan pembatalan hibah ini, hanya dapat dimintakan oleh


penghibah dengan jalan menuntut pembatalan hibah yang diajukan ke
pengadilan negeri, supaya hibah yang telah diberikan itu dibatalkan dan
dikembalikan kepadanya.

6
Subekti, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008), h. 440
7
Ibid.,

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan
mengenai kewarisan yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris, harta
peninggalan, dan harta warisan.
2. Menurut kompilasi hukum Islam (KHI) dalam menjelaskan kedudukan
dan mengatur besarnya bagian ahli waris dirinci secara detail dalam
pasal 181 dan 182.

3. Dalam pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli
waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:

a) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh


atau mencoba membunuh pewaris
b) Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan
karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap
pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat
c) Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat
atau mencabut surat wasiatnya
d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat
wasiat pewaris

4. Apabila kita mengkaji pasal-pasal yang mengatur tentang hibah dalam


hukum perdata, maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu hibah
ada tiga macam, yaitu ada si penghibah, penerima hibah dan barang
atau benda yang dihibahkan.

5. Pembatalan atau penarikan kembali atas suatu pemberian (hibah)


merupakan perbuatan yang diharamkan, meskipun hibah tersebut terjadi
antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang
boleh ditarik kembali hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan
orang tua kepada anaknya.

14
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk
penyusun. Kepada para pembaca, diharapkan lebih mengkaji lagi jika
terdapat beberapa simpulan dari makalah kami yang kurang sependapat
dengan informasi yang kalian ketahui. Lebih dari itu, penyusun menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini ada sedikit banyak kekurangan. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan sarannya agar makalah yang
kami susun kedepannya jauh lebih baik lagi.

15
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar H. Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama. Cet. III; Jakarta: Yayasan Al-Hikmah Jakarta,
1993.

Mannan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:


Prenada Media Group. 2008.

Subekti. R. Aneka Perjanjian. Jakarta: Citra Aditya Bakti. 1989.

Subekti, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya


Paramita. 2008.

Zainuddin Asriadi. Perbandingan Hibah Menurut Hukum Perdata Dan Hukum


Islam, Jurnal Al-Himayah Vol. 1. No. 1 Maret 2017

16

Anda mungkin juga menyukai