Anda di halaman 1dari 22

“MENEBUS KEWAJIBAN YANG DITINGGALKAN MAYAT”

Dibuat guna untuk memenuhi

Tugas Masa’il Fiqiyah Al – Hadis

Dosen pengampu :

Ramadhan M.A

Oleh :

Raini Rahmah Sari

17160109703

JURUSAN TARBIYAH PRODI TADRIS BAHASA INGGRIS

STAIN GAJAH PUTIH TAKENGON

ACEH TENGAH

2018/2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, ungkapan syukur selalu terucap atas rahmat dan kasih sayang
Allah yang senantiasa diberikan-Nya kepada penulis, sehingga penulisan makalah
ini dapat tertuntaskan pada waktunya.Shalawat dan salam selalu tersampaikan
kepada Nabi Muhammad saw. yang memberikan contoh terbaik dalam berakhlak
dengan akhlak qur‟ani, mudah-mudahan kita bisa meneladaninya sepanjang
hayat.

Dalam penulisan makalah ini masih sangat banyak terdapat kekurangan


dalam berbagai hal. Hal ini penulis sadari mengingat luasnya ilmu yang
dikembangkan oleh para ulama sementara belum terkaji secara tuntas oleh
penulis. Juga dalam hal metodologi yang tentunya penulis masih banyak
kekurangan dalam penulisan ilmiah, sehingga selama penulisan makalah sangat
mengharapkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak khususnya dosen
pembimbing.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...

DAFTAR ISI………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah………………………………………..…………...

BAB II PEMBAHASAN

A. Ahli Waris……..………………………………………..
1. Pengetian
2. Dasar Hukum Terkait Ahli Waris
3. Yang Menjadi Ahli Waris
B. Kewajiban Ahli Waris terhadap harta peninggalan…………………..
1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakan jenazah selesai
2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan
termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
3. Menyelesaikan wasiat pewaris
4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam telah mengatur berbagai urusan dalam kehidupan manusia terkait aspek
ibadah, baik itu menyangkut hubungan antara hamba dengan Allah maupu
hubungan antara sesama manusia terkhususnya dalam hal waris-mewarisi
hartapeninggalan. Masalah waris-mewarisi ini telah diatur dan dalam pengkajian
Fiqh Mawaris tentunya pembahasan kewarisan ini telah dijelaskan hal-hal
mengenai pembagian warisan kepada para ahli waris maupun kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakan terkait harta peninggalan ini berdasarkan
sumber hukum yang menjadi patokan utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

Dalam Islam tentunya sangat penting hal waris-mewarisi yang dimana


didalamnya menunjung aspek keadilan terhadap tiap-tiap ahli waris yang telah
ditentukan yang selalu mewujudkan kesejahteraan terhadap umat Islam.

Terkait kewarisan ini terkhusunya di Indonesia yang mayoritas umat muslim


terbesar didunia tentunya juga melakaksanakan apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW, meski tidak dipungkiri bahwa banyak dari umat Islam sampai
sekarang masih belum memahami secara jelas perihal hukum kewarisan dan
pembagiannya sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu penting adanya
mensosialisasikan hukum waris ini di masyarakat sehingga perihal kewarisan
mampu diwujudkan secara adil sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan
didalam syariat Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa sajakah yang dapat menjadi ahli waris ?
2. Bagaimana kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ahli Waris
1. Pengertian Ahli Waris

Perihal ahli waris sesuai yang tertera dalam pasal 171 huruf c
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka ada beberapa


syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diakatakan sebagai
ahli waris yang berhak mendapatkan hak bagian dari harta warisan si
pewaris, yaitu :

a. Pada saat si pewaris meninggal dunia, orang itu mempunyai


hubungan darah dengan pewaris
b. Pada saat si pewaris meninggal dunia, orang itu mempunyai
hubungan perkawinan yang sah dengan pewaris
c. Pada saat si pewaris meninggal dunia, orang itu beragama islam
d. Pada saat si pewaris meninggal dunia, orang itu tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris

Selain itu, juga disyaratkan dia telah dan masih hidup saat
terjadinya kematian pewaris. Hanya saja apabila dia mempunya, maka
kedudukanya dapat digantikan oleh anaknya, dengan ketentuanantara dia
dengan si pewaris tidak terhalang menurut hukum untuk dapat saling
mewarisi, berdasarkan ketentuan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam :

1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si maka


kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali yang
disebutkan dalam pasal 173.
2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dari yang diganti

Dalam hal ini termasuk pengertianah ahli waris janin yang telah
hidup dalam kandungan, meskipun kepastiannya baru ada setelah ia lahir
dalam keadaan hidup. Hal itu juga berlaku terhadap seseorang yang belum
pasti kematiannya.

Prof. Dr. Amir syarifuddin mengatakan, bahwa ahli waris ada yang
ditetapkan secara khusus dan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an dan
Nabi SAW dalam haditsnya, dan yang ditemukan melalui ijtihad dengan
meluaskan lafadz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang
dipahami dari petunjuk umu dari Al-Qur’an dan atau hadits Nabi SAW.

2. Dasar Hukum Terkait Ahli Waris

Berikut adalah beberapa dasar hukum yang menerangkan ahli


waris :
a) Al – Qur’an

 
 


 
 

  
   
  

Artinya :
bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.

  


  
    
   
    
   
  
  
   
     
   
   
   
   
   
   
  
   
      
   
Artinya :

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [272]
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-
laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin
dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34). 273] Lebih dari dua
Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

    


   
    
  
   
   
    
  
     
    
   
   
    
   
   
   
   
   
   
    
   
    
    

Artinya :

dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh


isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274].
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. [274]
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.
Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan
maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila
ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

  


   
   
   
    
   
    
 
 
   
  
 
   
   
   
  
Artinya :

mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah:


"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. [387] Kalalah
Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

b. Hadits

Hadits Rasulullah SAW :

Artinya :“Sesungguhnya hak wala itu untuk orang yang


memerdekakan”

Hadis Rasulullah SAW :


Artinya : “Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan
hamba itu seperti hubungan keturunan dengan keturunan, tidak
dijual, dan tidak dihibahkan (diberikan). (Riwayat Ibnu
Khuzaimah, Hakim, Dan Ibnu Hibban).

Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Qabishah Dzu’aib

sebagai berikut :

Seorang nenek datang kepada Abu Bakar r.a menanyakan hak


warisya, lalu Abu Bakar r.a menjawab, kamu tidak mempunyai hak
sedikut pun menurut ketentuan kitab Allah dan aku tidak tahu sedikit pun
beberapa hakmu di dalam Sunnah Nabi SAW. Oleh karena itu, kembalilah
sampai aku akan menyakankan pada seseorang. Kemudian Abu Bakar r.a
menanyakan hal ini kepada Mughirah, lalu Mughirah bin Syu’bah
menjawab, aku perenah mengetahu bahwasanya Rasulullah SAW
memberikan warisan kepada nenek sebesar seperenam. Kemudian Abu
Bakar r.a bertanya kapadanya, apakah ada orang lain bersamamu pada
waktu itu ? Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri seraya berucap
seperti yang telah dikatakan oleh Mughirah bin Syu’bah.

Setelah mendengar itu Abu Bakar r.a memutuskan bahwa


seperenam menjadi hak si nenek. Lalu datang nenek yang lain kepada
Umar r.a menanyakan perihal hak warisnya, lalu Umar berkata kepadanya,
kamu tidak mempunyai hak sedikit pun dalam kitab Allah Tetapi hanya
seperenam itulah. Namaun. jika kamu berdua bersama-sama, seperenam
itu untuk kamu berdua, dan siapa saja diantara kamu menyendiri, maka
seperenam itu untuknya. “ (HR al-khamsah, kecuali an-Nasa’i dan hadits
ini dianggap sahih oleh at-Trimidzi).

3. Yang Dapat Menjadi Ahli Waris


Secara umum orang-orang yang boleh (mungkin) mendapat
warisan dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang
dari pihak laki-laki, dan 10 orang dari pihak perempuan:

a) Ahli waris laki-laki terdiri dari :


1) Anak laki-laki
2) Anak laki-laki dari keturunan laki-laki dan terus kebawah, asal
pertaliannya masih terus laki-laki
3) Bapak
4) Kakek dari pihak bapak, dan terus keatas pertaliannya yang
belum putus dari pihak bapak
5) Saudara laki-laki seibu sebapak
6) Saudara laki-laki sebapak saja
7) Saudara laki-laki seibu saja
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu
sebapak
11) Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja
12) Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang
seibu sebapak
13) Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman sebapak
saja)
14) Suami
15) Laki-laki yang memerdekakan budak

Jika 15 orang diatas masih ada semua, maka yang mendapat


harta waris dari mereka itu hanya 3 orang yaitu : bapak, anak laki-
laki, dan suami.

b. Ahli waris perempuan terdiri dari :


1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki seterusnya kebawah, asal
pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki
3) Ibu
4) Ibu dari bapak
5) Ibu dari ibu ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki
6) Saudara perempuan yang seibu bapak
7) Saudara perempuan yang sebapak
8) Saudara perempuan yang seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakan budak
Jika 10 orang tersebut diatas ada semuanya, maka yang
dapat mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja yaitu : isteri,
anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu dan
saudara perempuan yang seibu sebapak.

C. Kewajiban Ahli Waris Terhadap Harta Peninggalan

Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan sebelum membagi harta


untuk ahli waris, tindakan yang harus dilakukan dari ketentuan yang nyata
tersebut dalam Al-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 11 dan 12. Allah SWT
menjelaskan, bahwa pembagian warisan menurut bagian yang ditentukan sesudah
wasiat yang diwasiatkan oleh pewaris atau hutangnya.

Terkait dengan kewajiban ini disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam :

Buku II Hukum Kewarisan, pada Bab II Ahli Waris, Pasal 175 :

1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :


a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan


termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

Mengenai kewajiban seperti yang telah disebutkan maka harus segera


dipenuhi hal-hal tersebut.

1) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

Hal pertama yang didahulukan ialah biaya-biaya pengurusan


jenazah pewaris diambil dari harta peninggalan pewaris menurut ukuran yang
wajar, tidak berlebih-lebihan dan tidak dikurang-kurangi. Karena biaya-biaya
pengurusan merupakan perkara penting yang erat kaitanya dengan hak
pewaris, menjaga kehormatan, dan kemuliaan kemanusiaannya dalam harta
dan kuburnya. Biaya pengurusan ini berupa biaya-biaya untuk memandikan,
mengafani, mengusung, menggali kuburan, dan menguburkanya

2) Menyelesaikan hutang pewaris.


Hutang dari seorang yang telah meninggal dunia tidak menjadi
beban ahli warisnya, karena hutang menurut hukum Islam tidak diwarisi.
Hutang tetap menjadi tanggung jawab yang meninggal yang dikaitkan
kepada hartanya. Kewajiban ahli warisnya hanyalah sekedar membayarkan
hutang tersebut dari harta yang ditinggalkannya. Oleh karena itu hutang
harus dibayar agar hutang tersebut tidak membebani yang meninggal dunia
(yang berhutang itu), maka tindakan pembayaran hutang itu harus
dilaksanakan sebelum pembagian harta warisan.
Hutang seseorang yang meninggal dunia secara garis besar dapat
dikategorikan pada dua macam, yaitu :
a) Hutang kepada Allah SWT, yaitu kewajiban-kewajiban agama dalam
bentuk material yang telah wajib dialaksanakan menjelang meninggal
tetapi belum dikerjakan, seperti zakat yang belum dibayarkan
meskipun berupa zakat fitrah, baik zakat fitrah tahun meninggalnya,
atau tahun sebelumnya, maka harus diselesaikan terlebih dahulu dan
sebagainya.
b) Hutang kepada sesama manusia, yaitu hutang yang dibuat oleh si
pewaris sebelum meninggal, atau hak orang lain yang ditangannya,
baik berupa barang orang lain yang belum diserahkan semasa
hidupnya. Hutang kepada sesame manusia ini menurut Dr.Amir
Syarifuddin dapat dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya :

1. Hutang yang menyangkut dengan benda milik seseorang yang


ada padanya sebelum meninggal dan tetap utuh sebagaimana
adanya sesudah meninggalnya, seperti barang jaminan, titipan, dan
barang yang dibelinya dan belum sempat dibayar sebelum
meninggal.
2. Hutang dalam bentuk tanggung jawab yang belum dibayarnya,
seperti uang pinjamannya waktu masih sehat.

3. Hutang dalam bentuk tanggung jawab yang dibuatnya waktu ia


dekat akan mati

Jika dia mempunyai hutang, maka hutangnya harus diselesaikan terlebih


dahulu dengan cara diambilkan dari harta peninggalanya, lalu dibayarkan kepada
yang berpiutang.

Para ulama fiqh berselisih pendapat mengenai utang yang harus


didahulukan siantara dua bentuk hutang. Perbedaan pendapat itu bisa dilihat
dibawah ini :

a) Kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa utang sesame


manusia pelunasannya lebih didahulukan sebab, manusia sangat
memerlukan untuk dilunasi piutangnya, sedang Allah SWT adalah zat
yang sudah cukup, sehingga tidak perlu pelunasan kepadanya.
b) Kalangan Syafi’iyyah berpendapat, menurut pendapat yang sahih, yang
didahulukan adalah hutang kepada Allah timbang kepada sesama manusia,
sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Utang kepada Allah lebih utama
dilunasi.” Dalam hadits lain beliau bersabda “lunasilah hak Allah, karena
Dia lebih berhak untuk dilunasi”(HR. Bukhari)
c) Kalangan Hanbaliyyah berpendapat bahwa kedudukan pelunasan hutang
terhadap Allah sama dengan pelunasan utang terhadap manusia.
Maksudnya harta waris dibagi menurut kedua macam utang tersebut,
seperti pembagian orang yang pailit semasa hidupnya.

3. Menyelesaikan wasiat pewaris

Menunaikan wasiat yang meninggal dalam batas-batas yang


diberikan syara’ tanpa perlu persetujuan para waris yaitu tidak lebih dari
spertiga harta peninggalan, sesudah diambil keperluan pengurusan
jenazahnya dan keperluan membayar hutang, baik wasiat itu untuk waris
atau untuk orang lain.

Jika lebih dari sepertiga harta, diperlukan persetujuan para waris


kalau mereka semuanya sudah dapat didengar persetujuannya dan
mengetahui hukumnya, jika mereka tidak memberi persetujuan, batallah
wasiat terhadap yang lebih dari sepertiga, karena syara’ membolehkan
yang meninggalkan warisan menentukan sendiri penggunaan sepertiga
hartanya untuk mewujudkan sesuatu maksudnya yang dibenarkan syara’.
Apabila para waris dapat menerima warisan, maka tidak sah dan boleh
dilakukan tanpa persetujuan waris-waris yang lain. Tetapi kalau waris itu
tidak dapat menerima pusaka karena berlainan agama, maka wasiat untuk
mereka sah dan berlaku.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia khususnya dalam ketentuan


yang terdapat dalam Buku II Hukum Kewarisan, pada Bab II Ahli Waris,
Pasal 194 dan 195 menyebitkan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan tersebut adalah sebagai berikut :

1) Pewasiat harus orang yang berumur 21 tahun, berakal sehat dan


didasarkan kepada kesukarelaanya.
2) Harta benda yang diwariskan harus merupakan hak si pewasiat.
3) Peralihan hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah
si pewaris meninggal dunia.

Menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan


perwasiatan tersebut adalah sebagai berikut :

a) Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan, maupun tertulis kendaklah


pelaksanaanya dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan
notaris.
b) Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan,
kecuali ada persetujuan semua ahli waris.
c) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli
waris.
d) Persyaratan persetujuan pada poin 2 dan 3 dilakukan secara lisan
maupun tertulis dihadapan 2 (dua) orang saksi, atau dibuat dihadapan
notaris.

4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak

Setelah dibayar semua kewajiban yang tersebutkan, barulah harta


peninggalan di mayat itu dibagi kepada ahli waris menurut pembagian
yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitabnya yang suci.

Sebelum langsung membagikan harta warisan untuk ahli waris


yang berhak, masih ada satu lagi tindakan sukarela dari para ahli waris
yang memiliki hak sepenuhnya terhadap harta warisan, yaitu memberi
sekedarnya kepada pihak yang tidak berhak untuk menerima warisan.
Tindakkan yang bersifat sukarela itu dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al
Quran surat AnNisaa’ ayat 8 sebagai berikut :

  


 


 
  
 

Artinya : dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[270], anak


yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu [271]
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik. [270]
Kerabat di sini Maksudnya : Kerabat yang tidak mempunyai hak warisan
dari harta benda pusaka. [271] Pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih
dari sepertiga harta warisan.
Pemberian menurut ketentuan ayat 8 surah An-Nisaa’, seluruhnya
adalah kekuasaan ahli waris dan kerelaanya untuk melaksanakannya. Oleh
karena itu, hukum mengenai pemberian tersebut hanya berbentuk anjuran
untuk dilaksanakan oleh ahli wari secara sukarela.

Setelah semuanya terselesaikan, dan harta peninggalan telah


diinventarisir dan nilai uangnya telah disepakati oleh seluruh ahli waris,
kemudian dikalkulasi secara keseluruhan. Maka nilai total seluruh
peninggalan, setelah dikurangi pengurusan jenazah dan membayar hutang
pewaris serta memenuhi wasiatnya, adalah menjadi harta tirkah pewaris
yang harus dibagikan kepada seluruh ahli waris.

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
1) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.Ahli
waris ada yang ditetapkan secara khusus dan langsung oleh Allah dalam
Al-Qur’an dan Nabi SAW dalam haditsnya, dan yang ditemukan melalui
ijtihad. Ada 25 orang yang menjadi ahli waris, 15 orang dari pihak laki-
laki, dan 10 orang dari pihak perempuan.
a) Ahli waris laki-laki terdiri dari : Anak laki-laki, anak laki-laki
dariketurunan laki-laki dan terus kebawah asal pertaliannya masih
terus lakilaki, bapak, kakek dari pihak bapak, dan terus keatas
pertaliannya yangbelum putus dari pihak bapak, saudara laki-laki seibu
sebapak, saudara lakilaki sebapak saja, saudara laki-laki seseibu saja,
anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak
bapak yang seibu sebapak, saudara laki-laki bapak yang sebapak saja,
anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu
sebapak, anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman sebapak
saja, suami, laki-laki yang memerdekakan budak.
b) Ahli waris perempuan terdiri dari : Anak perempuan, anak perempuan
dari anak laki-laki seterusnya kebawah asal pertaliannya dengan yang
meninggal masih terus laki-laki, ibu, ibu dari bapak, ibu dari ibu keatas
pihak ibu sebelum berselang laki-laki, saudara perempuan yang seibu
sebapak, saudara perempuan yang sebapak, saudara perempuan yang
seibu, isteri, perempuan yang memerdekakan budak

2. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :

a) Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b) Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan


termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;

c) Menyelesaikan wasiat pewaris;

d) Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2017. Fiqh Mawaris Hukum


Pembagian Waris Menurut Syariat Islam, Cet. 5. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra.

Basyir, Azhar Ahmad. 2001. Hukum Waris Islam Edisi Evisi. Cet.15.
Yogyakarta: UII Press.

Lubis, Suhkawardi K. & Simanjuntak, Komis. 2004. Hukum Waris Islam


(Lengkap & Praktis). Cet.4. Jakarta: Sinar Grafika

Qohar, Adnan dkk. 2011. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, Dan Metode
Praktis Penyelesaiannya. Cet.1. Yogyakarta: Pustaka Biru.
Rasjid, Sulaiman. 2016. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Cet.73. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.

Taufik, Mohammad. Quran In MS-Word With multiple language. ver 1. 2. 0.


2015.

Universitas Al-Azhar Mesir, Komite Fakultas Syariah. 2004. Ahkamul


Mawaarits filFiqhil-Islami, (terjemahan). Cet.1. Jakarta: Senayan: Abadi
Publishing

Anda mungkin juga menyukai