Anda di halaman 1dari 11

Riau, 12 Juni 2019

Kepada Yth.
Majelis Hakim Perkara No.123/Pdt.G/2019/PN.Kbu
Pengadilan Negeri Kampas
Jl. Jenderal Sudirman No. 136
Kota kampas, Kabupaten Kampas
Provinsi Riau

Perihal: EKSEPSI (Bila ada) DAN /ATAU JAWABAN TERGUGAT

Dengan hormat,

Yang bertandatangan dibawah ini,


NAZRUDIN, S.E. lahir di Samarinda pada tanggal 22 Januari 1980, Gubernur,
Jl. Mulia No. 28 Kec. Sail Kota Pekanbaru Riau, Warga Negara Indoensia,
selanjutnya disebut “TERGUGAT”;

Dengan ini mengajukan Eksepsi (Bila ada) dan/atau Jawaban atas


Gugatan No.123/Pdt.G/2019/PN.Kbu, terdaftar pada tanggal 1 Juni 2019 di
Pengadilan Negeri Kanpas, yang diajukan oleh:
Dr, Peterson Ambean, S.H. lahir di Riau, 7 Februari 1991, Dosen, beralamat
di Desa Wani, No 1 Lingkungan 7 Warga Negara Indonesia, selanjutnya
disebut sebagai “PENGGUGAT”

Bahwa Tergugat menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil gugatan


Penggugat, kecuali yang diakui dengan tegas kebenarannya oleh Tergugat.

1
Adapun alasan-alasan penolakan dan dalil-dalil Jawaban Tergugat terhadap
Gugatan Penggugat selengkapnya adalah sebagai berikut:

I. DALAM EKSEPSI
1. Eksepsi Kompetensi Absolut
- Bahwa
Atas dasar perbuatan melawan hukum LSM Sawit Berkelanjutan
menggugat Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Kampas diawali
dugaan beberapa perijinan yang diberikan tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yang sempat diadukan bersama penduduk Wanai ke
Ombudsman, dimana dalam investigasinya LSM tersebut menemukan fakta
bahwa peta digital yang digunakan untuk proses penerbitan izin lokasi
yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten, tidak sesuai dengan kondisi
eksisting di lapangan, HGU yang dipegang oleh PT SMS juga di lapangan
masih terdapat Kawasan hutan yang belum memperoleh izin pelepasan
Kawasan hutan dari Kementerian yang berwenang. Izin lokasi dan HGU
sebagaimana yang didalilkan penggugat tersebut berujung pada
diterbitkannya SK Gubernur Riau No. 12/IU/RIAU tentang IUP PT. SMS
sehingga seharusnya jika menurut penggugat, pemenuhan syarat izin
sebelum diterbitkannya SK tersebut menyalahi prosedur dan cacat
administrasi atau terdapat kekeliruan administratif dalam hal ini
kecacatan yuridis, maka seharusnya penggugat mengajukan gugatan ke
PTUN. Permasalahan tersebut sangat erat dengan asas Presumptio Iustae
Causa yang menempatkan bahwasannya Setiap keputusan pemerintah
harus dipandang benar, ini diterapkan agar dapat memberikan kepastian
hukum dan hukum memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
menetapkan keputusannya. Indonesia yang menganut sistem Civil law
membuka ruang untuk menguji penerapan keputusan tersebut, dimana
pengadilan dalam hal ini PTUN yang kemudian menentukan apakah
pemerintah sudah menjalankan keputusannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hukum melalui putusan pengadilan yang kemudian

2
menyatakan apakah menerima atau menolak diterapkannya suatu
peraturan atau keputusan. Namun sebelum putusan pengadilan
mempunyai kekuatan mengikat (inkracht), pemerintah yang telah
mengeluarkan keputusan, maka keputusan pemerintah harus dianggap
benar sehingga selama belum dinyatakan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, dan sebelum keputusan pemerintah belum
dinyatakan dicabut oleh pengadilan, maka keputusan pemerintah haruslah
dianggap benar atau sah. Dengan demikian jelaslah bahwa kewenangan
absolut bukan di pengadilan negeri melainkan berada di Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), maka Tergugat mohon kepada majelis hakim yang
memeriksa perkara a quo agar berkenan untuk menyatakan gugatan
penggugat tidak dapat diterima.

2. Eksepsi Kurang Pihak


- Bahwa …..
Tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum karena
dalam melaksanakan kewenangannya tergugat senantiasa
berpedoman pada asas kehatihatian (precautionary principle)
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 39 Tahun 2014
Tentang Perkebunan, UndangUndang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, melaksanakan Asas penyelenggara Negara dalam
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011
Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan,
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 05 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Perizinan Berusaha
Sektor Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2019 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha

3
Terintegrasi Secara Elektronik Di Bidang Pertanian, dan Peraturan
Daerah Provinsi Riau Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pedoman
Teknis Penanggulangan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Untuk
permasalahan dari masyarakat wanai mengenai lahan perkebunan
dan pertanian diklaim oleh mereka sebagai hutan adat yang rusak
karena kebakaran hutan, keberatannya atas Hak Guna Usaha (HGU)
PT. SMS dan lahan dimintakan izin usaha perkebunan adalah hutan
rakyat bukan kewenangan tergugat untuk menanganinya karena
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun
2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat sehingga jelaslah ini menunjukkan adanya
kewenangan dari Menteri Dalam Negeri yang seharusnya
diikutsertakan pula oleh penggugat untuk memperjelas status
masyarakat hukum adat dan hak atas tanahnya. Selain itu,
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata
Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat, sehingga perlu untuk melibatkan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam gugatan
penggugat tersebut. Adanya dugaan bahwasannya HGU PT. SMS
terdapat Kawasan hutan yang belum memperoleh izin pelepasan
Kawasan hutan berdasarkan Peraturan pemerintah No. 104 Tahun
2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (PermenLHK) No. P.96 Tahun 2018 dan perubahannya
PermenLHK No. P.50 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelepasan
Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, ini menunjukkan
bahwasannya untuk mengurus proses pelepasan kawasan hutan di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sehingga
seharusnya dalam gugatan penggugat juga melibatkan KLHK.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas karena gugatan kurang pihak

4
maka harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk
Verklaard).

3. Eksepsi Gugatan Tergugat Tidak Lengkap


- Bahwa …..
Salah satu syarat formil mengenai isi gugatan sebagaimana diatur
dalam ketentuan pasal 8 No.3 Rv mengharuskan gugatan pada
pokoknya memuat dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan
hukum yang merupakan dasar serta alasan – alasan tuntutan
(posita / fundamentum petendi) namun Penggugat dalam posita
gugatan tidak ditemukan adanya uraian secara detail dan gamblang
tentang perbuatan melawan hukum apa saja yang secara spesifik
dilakukan oleh masing-masing Tergugat serta tidak menguraikan
secara jelas hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat.
Penggugat mendalilkan bahwa gugatan diajukan berdasarkan
ketentuan pasal 1365 KUHPerdata Jo Pasal 1366 KUHPerdata Jo
Pasal 1367 KUHPerdata, meskipun demikian Penggugat tidak
menguraikan hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat
yang mendasari diajukannya gugatan perkara a quo. Gugatan yang
positanya tidak memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum
(rechtelijke grond) yang menjadi dasar hubungan hukum serta
dasar fakta atau peristiwa (fetelijke grond) yang terjadi disekitar
hubungan hukum dimaksud menjadikan gugatan tidak jelas
(obscuur libel) atau Penggugat tidak memenuhi syarat formil suatu
gugatan. oleh karena itu cukup beralasan bagi Majelis Hakim untuk
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verklaard).

4. LEGAL STANDING PENGGUGAT


- Bahwa…..
Penggugat Tidak Memiliki Legal Standing Untuk Mengajukan Gugatan A
QuoUU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

5
Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur tentang Hak Gugat Organisasi
Lingkungan Hidup dalam pasal 92 : (1) Dalam rangka pelaksanaan
tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Hak mengajukan
gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila
memenuhi persyaratan: a. Berbentuk badan hukum; b. Menegaskan di
dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan c. Telah
melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun. LSM Sawit berkelanjutan ini bukan merupakan
organisasi lingkungan hidup yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, karena
LSM ini hanya bergerak pada program sawit berkelanjutan walaupun
termasuk organisasi non pemerintah/ NGO yang secara sukarela
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Selain itu, LSM
sawit berkelanjutan ini belum menunjukkan adanya akta pendirian
maupun anggaran dasarnya yang dibuat dihadapan notaris, ataupun
pendiriannya yang berdasarkan hukum Indonesia yang berbentuk
badan hukum yayasan yang disahkan dengan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bahkan belum ditunjukkan
bahwasannya LSM ini telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai
dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun terhadap
pergerakannya dalam kegiatan sosial seperti meningkatkan kepedulian
masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa Penggugat tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam pasal 92 UU No. 32
Tahun 2009 untuk dapat mengajukan gugatan sehingga penggugat
tidak memiliki legal standing untuk dapat mengajukan gugatan oleh
karenanya gugatan a quo mengandung cacat formal atas dasar hal

6
tersebut, oleh karena itu tergugat mohon kepada majelis hakim yang
memeriksa perkara a quo agar gugatan penggugat tidak dapat diterima.

5. GUGATAN PENGGUGAT SALAH ORANG/ PIHAK (ERROR IN


PERSONA)
- Bahwa…..
Gugatan Penggugat Error In Persona, karena dalam perkara ini antara
Tergugat dengan Penggugat sama sekali tidak ada hubungan dan
perselisihan hukum sebagai dasar Penggugat menuntut Tergugat
melalui Pengadilan.Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik
Indonesia putusan No.4.K/Sip/1958 tanggal 13 Desember 1958
menyebutkan : “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan
Pengadilan adalah adannya perselisihan hukum antara ke dua pihak.”
Justru yang bermasalah dengan penggugat adalah dari pihak PT. SMS
diragukan perizinannya oleh penggugat sehingga terindikasi
melakukan perbuatan melawan hukum, selain itu dapat pula
memberlakukan doktrin strict liability (tanggung jawab mutlak)
menimbulkan tanggung jawab bagi tergugat untuk memberikan
kompensasi, ganti rugi dan/ atau pemulihan kawasan kebakaran
sehingga yang seharusnya dituntut adalah PT. SMS. Berdasarkan fakta
diatas, terbukti gugatan Penggugat adalah salah Orang/Pihak (Error in
Persona) dengan mendudukan Tergugat sebagai Pihak dalam perkara
ini, dengan demikian secara hukum gugatan Penggugat tidak
memenuhi syarat materil suatu gugatan, maka dari itu beralasan
hukum gugatan Penggugat ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan
tidak dapat diterima.
6. GUGATAN PENGGUGAT PREMATUR
- Bahwa….
Menurut Lembaga Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) investigasi mempunyai
prinsip- prinsip Investigasi dan alur investigasi. Agar Investigasi dapat
dijalankan dengan baik, maka investigator haruslah memenuhi prinsip-

7
prinsip investigasi harus dipenuhi untuk menjaga kualitas hasil
investigasi karena jika gagal memenuhi sepuluh prinsip investigasi ini
akan berpengaruh langsung kepada validitas data yang diperoleh
dalam investigasi maupun objektivitas hasil investigasi nantinya,
prinsip-prinsip investigasi antara lain Sistematis, Logis, Objektif, Legal,
Ilmiah, Efektif, Jaringan (Networking), Kompeten, Kerahasiaan
Informasi dan identitas pihak-pihak yang terkait dalam investigasi,
serta Independen. Adapun prinsip yang tidak dilaksanakan oleh LSM
Sawit Berkelanjutan yaitu prinsip Sistematis karena Investigasi tidak
dijalankan dengan perencanaan yang baik, berpola dan rapi sesuai alur
investigasi yaitu adanya Investigasi Pendahuluan, Investigasi Lanjutan
(Lapangan) dan Perumusan hipotesis, Penulisan dan Pengumpulan
Laporan serta Advokasi. Hal ini terjadi ketika LSM Sawit Berkelanjutan
langsung melakukan advokasi dengan mendampingi penduduk Wanai
mengadukan Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Kampas ke
Ombudsman dengan menduga beberapa perijinan yang diberikan
Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Kampas tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Tentunya itu berdampak ke prinsip Logis
karena tidak adanya pengumpulan data dalam investigasi yang relevan
dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga objektif investigasi
dijalankan secara profesional dapat dipengaruhi subjektifitas
investigator. Hal tersebut berarti aspek legal/ batasan yang diberikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku berindikasi tidak
diperhatikan sehingga prinsip ilmiah tidak dapat dipertanggung-
jawabkan validitasnya menyebabkan prinsip efektif belum mampu
berhasil guna secara signifikan, sehingga prinsip Kompeten ini
dipertanyakan kemampuan investigatornya dari segi sumber daya
manusia, ketrampilan, dan pengalaman sesuai bidang masing-masing.
Berdasarkan uraian tersebut, kualitas hasil investigasi yang gagal
dipenuhi oleh LSM Sawit Berkelanjutan ini diragukan validitas data
yang diperoleh dalam investigasinya maupun objektivitas hasil
investigasi tersebut. Maka atas dasar demikian dengan hasil investigasi

8
yang terlalu dini yang digunakan oleh LSM tersebut untuk menggugat
terhadap Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Kampas
atas dasar perbuatan melawan hukum adalah gugatan yang prematur
sehingga tidak dapat diuji melalui peradilan perdata dan bukan
merupakan kewenangan peradilan perdata untuk memeriksa dan
mengadilinya, oleh karena itu sudah sepatutnya gugatan penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan fakta tersebut
menunjukkan tidak adanya sinergi dari LSM Sawit Berkelanjutan
dengan Ombudsman karena setelah pendampingan pengaduan
masyarakat wanai ke Ombudsman, LSM Sawit Berkelanjutan tidak
menunggu proses dan penyelesaian dari aduan ini oleh Ombudsman
menjalankan fungsinya sesuai pasal 6 yakni mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik oleh penyelenggara negara dalam
perkara ini di daerah dan tugas Ombudsman pasal 7 yakni menerima
laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik, melakukan pemeriksaan substansi atas laporan,
menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup
kewenangan ombudsman, lalu melakukan investigasi atas prakarsa
sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.LSM Sawit Berkelanjutan seharusnya menunggu
ombudsman untuk melaksanakan kewenangannya dalam pasal 8 UU
No. 37 Tahun 2008 ini dengan meminta keterangan secara lisan
ataupun tertulis dari pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait
dengan laporan yang disampaikan ke ombudsman, melakukan
pemeriksaan keputusan, suratmenyurat, atau dokumen lain yang ada
pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu
laporan, selanjutnya meminta klarifikasi dan/saliann yang diperlukan
dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi
terlapor, setelah itu baru dilakukan pemanggilan terhadap pelapor,
terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan, lalu laporan itu
diselesaikan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak,
membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan termasuk

9
rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada
para pihak yang dirugikan yang demi kepentingan umum ombudsman
kemudian mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan
rekomendasinya serta memberikan saran kepada kepala daerah guna
perbaikan dan penyempurnaan prosedur pelayanan publik. Setelah itu,
baru dapat disimpulkan bagaimana penyelesaian pengaduan
masyarakat wanai oleh Ombudsman ini. Jadi harusnya LSM Sawit
Berkelanjutan menyelesaikannya di Ombudsman ini dahulu sebelum
mengajukan gugatan keperdataan ke pengadilan. Oleh karena itu
Tergugat mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo
agar menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.

Berdasarkan uraian seluruh dalil dan fakta hukum tersebut di atas,


Tergugat mohon agar Majelis Hakim berkenan menjatuhkan putusan
sebagai berikut:

MENGADILI:
DALAM EKSEPSI
1. Mengabulkan Eksepsi TERGUGAT untuk seluruhnya
2. Menyatakan Gugatan PENGGUGAT tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijke Verkklaard).

DALAM POKOK PERKARA:


1. Menyatakan gugatan PENGGUGAT tidak dapat diterima
2. Menyatakan menolak gugatan PENGGUGAT seluruhnya
3. Menghukum PENGGUGAT untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini. Atau apabila Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan
mengadili perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya
(Ex Aequo et Bono)
Atau

10
Jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya
(ex aequo et bono)

Hormat saya,

Nazrudin, S.E.
Tergugat

11

Anda mungkin juga menyukai