Nim : 33020180147
1. Kasus Pertama :
Kasus Terhadap Putusan PTUN Bandung Perkara No. 92/G/2001/PTUN
Bandung Tentang Sengketa Kepegawaian
Ir. A, seorang PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tanpa
sepengetahuan isteri dan seijin atasan, telah beristeri lebih dari satu. Berdasarkan
pengaduan si isteri dan hasil pemeriksaan, terbukti melanggar PP Nomor 10 Tahun
1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, dan PP Nomor 30 Tahun
1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, sehingga dijatuhi hukuman displin melalui SK
Penurunan Pangkat. Selanjutnya Ir. A menggugat Gubernur Pemerintah Provinsi Jawa
Barat di PTUN Bandung dan menjadikan SK Penurunan Pangkat sebagai obyek
Sengketa Kepegawaian di PTUN Bandung.
Putusan PTUN Bandung terhadap perkara nomor 92/G/2001/ PTUN Bandung
intinya; Dalam eksepsi : mengabulkan eksepsi absolut Tergugat bahwa SK Penurunan
Pangkat yang diterbitkan sesuai prosedur administrasi kepegawaian ; bahwa PTUN
Bandung tidak berwenang untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara yang diajukan. Dalam pokok perkara : Menyatakan gugatan para Penggugat
tidak dapat diterima.
Pertimbangan Putusan di atas antara lain : adanya pengaduan dari isteri
Penggugat dan pemeriksaan, Tergugat bermaksud menegakkan disiplin pegawai yang
menurut Tergugat telah melanggar disiplin PNS; untuk mewujudkan hal tersebut di
atas, Tergugat menerbitkan objek sengketa; acuan dasar yang diterapkan Tergugat
adalah PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS; atas penjatuhan
hukuman disiplin tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat (2) Jo Pasal 16 PP Nomor 30
Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, dapat mengajukan keberatan kepada
atasan pejabat yang berwenang menghukum tersebut dalam jangka waktu 14 hari
terhitung mulai tanggal ia menerima keputusan hukuman disiplin tersebut;
berdasarkan Pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 disebutkan : “Bahwa dalam hal suatu
badan hukum atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara
tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan secara
administratif yang tersedia (ayat 1), sedangkan ayat ( 2 ) menyebutkan” pengadilan
baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan”; bertitik tolak pada uraian pertimbangan Pasal 15 ayat
(2) Jo Pasal 16 PP Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS di atas,
maka jenis keberatan dimaksud adalah merupakan Banding Administratif; terlepas
apakah Penggugat telah mengajukan keberatan atau telah melakukan prosedur
Banding Administratif pada atasannya dari pejabat yang menghukum Penggugat,
maka pengadilan haruslah menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara yang diajukan oleh Penggugat, karena berdasarkan Pasal 51 ayat (3) maka
PTUN-lah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan ditingkat
pertama sengketa tata usaha negara dalam perkara ini yang dalam hal ini adalah
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta ; karena Eksepsi absolut Tergugat telah
dikabulkan, maka terhadap eksepsi lain dan pokok perkara tidak perlu
dipertimbangkan lagi.
Analisis Kasus Pertama :
Gugatan yang dilakukan oleh PNS, Ir.A terhadap atasannya merupakan suatu
tindakan hukum ( litigasi ) yang umum dilakukan seorang pegawai karena merasa
tidak puas atas SK tersebut, disertai sikap tidak menerima terhadap penyelesaian yang
dilakukan melalui pemeriksaan internal (peradilan semu) di luar pengadilan, karena
tidak mendapat hasil maksimal.
Menurut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan yang diajukan
pihak yang dirugikan pada pihak lain harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 53 ayat I, dan bila melihat objek sengketa, maka pengajuan gugatan oleh
penggugat ke Peradilan Administrasi pada dasarnya sudah tepat karena diajukan
masih dalam tenggang waktu 90 hari sejak Penggugat menerima Surat Keputusan
tersebut ( Pasal 55 UU No 5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004 ), akan tetapi bila
melihat ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) PP No.30 tahun 1980 Tentang Peraturan
Disiplin PNS khususnya untuk putusan berupa hukuman disiplin, dapat dilakukan
melalui upaya administratif yaitu, Penggugat menyampaikan keberatan disertai
alasan-alasan walaupun sengketa belum selesai. Dengan demikian gugatan dapat
diajukan untuk diadili langsung oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan bukan
oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 51 ayat (3) UU No 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara), oleh karenanya putusan PTUN Bandung yang
menyatakan tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut adalah sudah tepat.
Selanjutnya, penggugat menyatakan bahwa Gubernur telah bertindak
sewenang-wenang dalam mengeluarkan Surat Keputusan No 862.3/Kep,
592/kepeg/2001. Pernyataan penggugat tersebut tidak tepat atau tidak sesuai dengan
fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, karena berdasarkan faktafakta
diketahui adanya proses yang jelas dan pengujian terlebih dahulu semenjak adanya
laporan istri Penggugat yang ditindaklanjuti pemeriksaan oleh ITWILPROP dan
rekomendasi pimpinan unit kerja penggugat yang berisi, bahwa sebelum
mengeluarkan keputusan tersebut telah diberikan kesempatan kepada penggugat untuk
melakukan pembelaan ataupun keberatannya dalam pemeriksaan (Pasal 9 ayat (1) (2)
dan (3) Pasal 10, 11 dan Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP No 30 Tahun 1980, terhadap
kasus penggugat oleh beberapa instansi atau badan yang berwenang dilingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Mengenai pokok perkara, tentang pernyataan Tergugat/Gubernur bahwa
dalammenerbitkan Keputusan tidak bertindak sewenang-wenang, adalah benar karena
sebagai pejabat yang berwenang menghukum (Pasal 7 ayat (1) Huruf d PP No. 30
tahun 1980), Gubernur berwenang menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Pegawai
Negeri Sipil yang telah terbukti melanggar peraturan disiplin pegawai negeri, setelah
dilakukan pemeriksaan (Dengan memperhatikan tentang ijin perkawinan dan
perceraian PNS yang telah diubah), dengan demikian Keputusan No.
62.3/kep.592/Kepeg/2001 yang diterbitkan tergugat tidak bertentangan dengan apa
yang dimaksud dalam alasan-alasan gugatan dalam Pasal 53 UU Nomor 5 tahun 1986
Jo UU No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :
1. Dengan jelas Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
2. Keputusan tersebut tidak bertentangan dengan Asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Selanjutnya, Putusan majelis hakim yang isinya menyatakan “gugatan tidak
dapat diterima”, mengandung makna bahwa gugatan tidak memenuhi syaratsyarat
formal sebuah gugatan, khususnya syarat formal yang tidak terpenuhi berkaitan
dengan bukan kewenangan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung,
sebab kompetensi merupakan hal terpenting karena merupakan pemberian kekuasaan,
kewenangan atau hak pengadilan yang melakukan peradilan. Kompetensi Absolut/
atribusi (Absolute competentie atau attributie Van rechtsmacht) oleh R Subekti diberi
arti “Uraian tentang kekuasaan atau wewenang sesuatu jenis pengadilan”.
Mengenai Eksepsi, pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara diajukan
kepada pengadilan yang bersangkutan selama berlangsungnya proses persidangan,
dengan catatan eksepsi diajukan sebelum majelis hakim menetapkan putusan, dan
untuk keperluan tersebut maka inisiatif harus datang dari pihak tergugat, walaupun
dalam hal ini hakim berpendapat bahwa persoalan yang diajukan kepadanya itu tidak
termasuk dalam wewenangnya, sehingga secara ex-officio hakim menyatakan dirinya
tidak berkompeten. Tentang hal ini, Sjachran Basah menegaskan bahwa, eksepsi
terhadap distribusi harus diajukan pada permulaan sidang, dimana kepada tergugat
untuk pertama kalinya diberikan kesempatan menyampaikan jawaban atas gugatan
terhadap dirinya. Melewatkan kesempatan itu, berarti bahwa tergugat telah kehilangan
hak untuk mengemukakan eksepsi distribusi dan hakim tidak diijinkan menyatakan
tidak wewenangnya serta menolak gugatan tanpa inisiatif dari tergugat.
Kedua macam tangkisan itu harus dikemukakan terpisah dari pokok
persoalannya. Hakim memeriksa dan menyelesaikan masalah eksepsi itu terlebih
dahulu sebelum memasuki pokok persoalan. Hal tersebut berlainan dengan eksepsi
“lain” yang harus dikemukakan serentak dengan pokok persoalan dan diputuskan pula
secara bersamaan.
Dalam Putusan PTUN ini, bila pengadilan menyatakan tidak berwenang untuk
mengadili perkara, maka seharusnya hakim mengeluarkan Putusan sela sehingga tidak
perlu memeriksa pokok perkara, walaupun tindakan hakim yang tidak mengeluarkan
Putusan sela dalam memeriksa perkara tersebut dapat dibenarkan karena tidak
melanggar ketentuan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian Putusan PTUN Bandung terhadap perkara Nomor
92/G/2001/PTUN BANDUNG, adalah putusan tepat dan benar karena sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Kasus Kedua :
Kasus Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Mengenai Pemberhentian
Kepala Desa di Peradilan Tata Usaha Negara Semarang (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Tata Usaha Semarang Nomor: 074/G/2015/PTUN-SMG)
Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir
ketiga asas tersebut di dalam suatu putusan. Dalam menghadapi keadaan ini, hakim
harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutus suatu perkara dan
tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam suatu putusan. Jika
diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan memutus suatau perkara
berada di antara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada
titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan berada di
antaranya. Dengan diputus “mengabulkan gugatan penggugat” maka Majelis Hakim
secara tidak langsung telah menciptakan kondisi yang bertetentangan dengan
kepastian hukum. Hal ini nampak dalam pertimbangan Majelis Hakim yang
menyatakan: Menimbang, bahwa dalam konteks perkara ini berdasarkan fakta hukum
yang terungkap dipersidangan Penilaian Penerbitan Surat Keputusan objek sengketa
tidak cukup hanya berdasarkan normatif yuridis atau berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku, namun harus juga dinilai dari pandangan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
yang harus diperhatikan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam
mengambil keputusan. Selanjutnya barulah dipertimbangkan mengenai keberatan
Penggugat terhadap objek sengketa tentang pemberhentian dirinya tersebut.
3. Kasus Ketiga :
Kasus Sengketa Administratif Atas Tanah Berupa Pembatalan Sertifikat Hak
Milik Desa Selayang (Studi Putusan Nomor 327K/2016/PTUN.MEDAN)
Pada Tahun 2014, Syamsuddin Mendapati Tergugat Menerbitkan Atas Hak
Milik Yang Bukan Milik Atas Nama Penggugat Pada Tahun 2015, Penggugat
Menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan Wandi Hakim ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Adapun yang menjadi Objek Gugatan dalam
perkara ini adalah berupa:
1. SHM No. 58 atas nama Daud Arbainy
2. SHM No. 60 atas nama Daud Arbainy
3. SHM No. 375 atas nama Sui Lai.
Tergugat mengajukan bantahan karena dalam penerbitan sertipikat tersebut
telah sesuai sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan ketentuan sebagai berikut: Bahwa Tanah yang termuat dalam SHM No. 58, 60
dan 375 masing-masing terletak di Desa Selayang semula statusnya adalah tanah
negara Objek Landreform. Bahwa oleh karena semula statusnya tanah negara objek
Landreform, maka persyaratan prosedur dan penerbitannya berdasarkan PP No. 224
Tahun 1962 Jo. PP No. 41 Tahun 1964 dan Tambahan PP No. 224 Tahun 1961.
Tergugat Semula Menerbitkan 3 SHM Nomor 58 terdaftar atas Nama Surip,
SHM Nomor 60 terdaftar atas Nama Wakinah, Tergugat menerbitkan SHM Nomor 65
terdaftar atas nama Leginem, kemudian terjadi peralihan hak atas tanah sehingga
nama Sertipikat tersebut berubah menjadi Daud Arbainy, kemudian Daud Arbainy
mengajukan permohonan ganti blanko atas SHM No. 65 , maka SHM No. 65
berubah/dimatikan menjadi SHM No. 375, selanjutnya terjadi lagi peralihan
kepemilikan atas SHM No. 375 tersebut terdaftar atas nama Sui Lai.
Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Mengabulkan Gugatan Syamsuddin dan
Menyatakan Syamsuddin Adalah Pemilik Yang Sah Dari Tanah Terperkara
Pengadilan Tata Usaha Negara Memenangkan Para Tergugat, Demikian Pula Pada
Tingkat Banding Majelis Hakim Mahkamah Agung Menyatakan Mengabulkan
Permohonan Kasasi Syamsuddin dan Membatalkan Putusan Judex Facti.
Analisis Kasus Ketiga :
Permasalahan pertanahan sejatinya memiliki banyak dimensi sosial yang
dipertentangkan mulai dari hubungan sosial, ekonomi, politik, dan religi, kesenjangan
hubungan komunitas masyarakat dan harga diri serta martabat manusia yang
penyelesaiannya, membutuhkan itikad baik dari pihak bersengketa agar tidak
menimbulkan gejolak kemasyarakatan. Persoalan tanah dalam era pembangunan dan
industrialisasi memang semakin rumit dan potensial menimbulkan gejolak.
Pendekatan pemecahannya tidak semata bersifat aspek yuridis, tetapi juga
menyangkut pertimbangan psikologi.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam perkara
sengketa tanah ini para tergugat juga telah mengajukan eksepsi dari gugatan
penggugat dengan prosedur dan cara yang benar akan tetapi hakim menolak eksepsi
dari tergugat berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan
dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga Majelis berkesimpulan di dalam Putusannya pada
halaman 68 sd halaman 72 yang pada pokoknya menyatakan bahwa tindakan
Tergugat yang menerbitkan Ketiga Sertipikat Hak Milik tersebut telah
menyalahi/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melanggar Asas Kecermatan dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB) dan ketiga Sertipikat tersebut mengandung cacat yuridis yang oleh Judex
Facti Pengadilan Tata Usaha Negara Medan berkesimpulan beralasan hukum ketiga
objek sengketa aquo dinyatakan batal menurut hukum adalah dalil hukum yang tepat
dan benar menurut hukum dan tidak salah menerapkan hukum dan patutlah
dipertahankan.
Bahwa selanjutnya Kesimpulan Judex Facti Pengadilan Tata Usaha Negara
Medan didalam Putusannya pada halaman 73 alinia pertama yang pada pokoknya
menyatakan bahwa mewajibkan tergugat untuk memproses tindak lanjut permohonan
Kasasi untuk diterbitkan sertipikat hak milik atas nama Pemohon Kasasi sesuai
dengan prosedur yang berlaku adalah dalil hukum yang tepat dan tidak salah
menerapkan hukum dan patutlah dipertahankan.
Di dalam Pokok Perkara ini hakim memutus mengabulkan gugatan Penggugat
seluruhnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu
berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak
membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu
sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari Pasal 3).
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut ditetapkan kewajiban
yang dapat berupa :
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan;
b. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3
Apabila mencermati putusan Kasasi yang diajukan oleh Penggugat yang pada
akhirnya hakim memutuskan perbuatan dari Tergugat yang telah menerbitkan
Sertipikat Hak Milik Nomor 58, Sertipikat Hak Milik Nomor 60, Sertipikat Hak Milik
Nomor 375 Tahun 1984 haruslah dibatalkan karena tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.
Amar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang
berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau
pembatalan penetapan tanah terlantar antara lain:
a. Perintah untuk membatalkan hak atas tanah;
b. Menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah;
c. Menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum;
d. Perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam Buku Tanah;
e. Perintah penerbitan hak atas tanah;
f. Perintah untuk membatalkan penetapan tanah terlantar; dan
g. Amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya peralihan hak atau
batalnya peralihan hak.
Amar Putusan pada Kasus Putusan Nomor 327 K/2016/PTUN.Medan pada
hakikatnya tetap Memenangkan Pihak Penggugat karena Perbuatan Tergugat yang
menerbitkan ketiga Sertipikat Hak Milik tersebut mengandung cacat yuridis dan pada
akhirnya Termohon Kasasi dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan.
Pertimbangan Hukum terhadap Putusan ini telah adil dan telah terwujudnya
Kepastian Hukum bagi si Penggugat yang pada intinya Tergugat tetap melaksanakan
Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan batal atau tidak sah 3 Sertifikat Hak
Milik dan mencabut ke- 3 Sertifikat Hak Milik tersebut.