Anda di halaman 1dari 3

Hukum keluarga islam adalah hukum yang mengatur kehidupan keluarga yang di mulai sejak awal pembentukan keluarga(peminangan)

sampai dengan berakhirnyakeluarga yakni terjadi perceraian atau salah satu ada yang meninggal yang termasuk masalah waris dan wakaf.

Ruang Lingkup Hukum Keluarga Islam 1. 2. 3. 4. 5. 6. Munakahat Wakaf Wasiat dan perwalian Faroid Nafkah Hadanah

Sumber hukum perorangan dan kekeluargaan Islam ialah Al Quran, Sunnah, dan Ijtihad. Beberapa contoh ayat dalam Al- Quran sebagai sumber hukum perorangan dan kekeluargaan Islam:

1. Surat Al-Nisa ayat 2 mengenai wasiat dan perwalian dalam Islam Dan berikanlah kepada anak anak yatim (yang sudah balig) harta-harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur adukkannya) kepada hartamu. Sesungguhnya tindakantindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. 2. Surat Al-Nisa ayat 3 mengenai monogami dan poligami dalam Islam Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak/wanita yang yatim (biia kamumengawininya.). maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kernudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itulah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
3. Dasar hukum pemeliharaan anak, tercantum dalam surat at Tahrim ayat 6 yang berbunyi:

Hai orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpelihara dari api neraka. Agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintahnya dan menjahui larangannya, termasuk anggota keluarga disini yakni anak.

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S Ath Thalaaq, 65:6)

Sunnah

Dalam Islam, disebutkan dalam hadist yang berbunyi : Artinya: Dari Abdullah Bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata: Ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, air susukulah yang diminumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah: engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi dengan laki laki lain.

Hadis Nabi riwayat Abu Daud. Ibnu Majah. dari Al-Hakim dari Ibnu Umar:

Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah, adalah perceraian.


Salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang bernama Abdullah Bin Umar radhiyallahu anhu berkata, Umar telah memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu dia datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam, seraya berkata, "Aku telah mendapatkan bagian tanah, yang mana saya tidak memperoleh harta yang paling berharga bagiku selain sebidang tanah ini, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengan sebidang tanah ini? Lalu beliau bersabda, "Jika engkau menghendaki wakafkanlah tanah tersebut (engkau tahan tanahnya) dan

sedekahkan hasilnya," Lalu Umar radhiyallahu anhu menyedekahkan hasilnya. Sungguh tanah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan, tetapi diinfakkan hasilnya untuk fuqara`, kerabat, untuk membebaskan budak, untuk kepentingan di jalan Allah subhanahu wata ala, untuk menjamu tamu dan untuk ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan). Tidak ada dosa bagi yang mengurusinya, apabila dia memakan sebagian hasilnya secara ma'ruf, atau memberi makan temannya tanpa menimbun hasilnya. (HR.al-Bukhari no.2565, Muslim no.3085).

Ahmad bin Hambali mengemukakan ijtihadnya bahawa apabila seseorang telah mewakafkan hartanya, maka ia tidak lagi memiliki kekuasan bertindak atas harta benda yang diwaqafkan tersebut, dan wakaf berlaku untuk selamanya. Hambali juga mengemukakan bahawa harta yang telah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali. Ia juga mengemukakan ijtihad bahwa benda yang diwakafkan itu haruslah benda yang boleh dijual, namun setelah menjadi wakaf tidak boleh dijual (Wahbah Zuhaily, 1985). Menurut mazhab ini, wakaf terjadi kerana dua hal, pertama, kerana kebiasaan (urf), lazimnya wakaf model ini tidak disebutkan secara lisan, misalnya seseorang membina mesjid, kemudian ia mengizinkan orang lain sholat di dalamnya, dengan cara seperti ini secara otomatis boleh dikatan sebagai wakaf. Kedua, wakaf dengan lisan, misalnya ia memakai kata-kata habatsu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, harramtu. Bila ia menggunakan kalimat seperti itu, ia harus mengiringinya dengan niat untuk berwakaf.

Anda mungkin juga menyukai