MAKALAH
Oleh:
PASCASARJANA
2023
KATA PENGANTAR
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya. Solawat serta salam tak lupa
kita kirimkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW. Yang telah
membawa kita dari alam kejahiliyaan kealam terang benderang yaitu Agama
Islam.
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
disebutkan dalam sebuah Hadis, Nabi Muhammad SAW pernah berkata: Bani
Israi terbagi kedalam tujuh puluh satu atau dua golongan, begitu pula Kristen,
teapi umatku akan terbagi ke dalam tujuh puluh tiga golongan. Begitulah Nabi
memucak pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Pasca Ustman terbunuh
pada tahun 35 H/656 M oleh para pemberontak, kaum Muslimin membaiat Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali mewarisi kekacauan dan konflik internal
Ali penuh dengan perse;isihan antar sesama kaum Muslimin. Puncak dari
peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan Ali yaitu Perang Shiffin
Islam terpecah menjadi tiga golongan yaitu Syiah, Khawarij dan Sunni.
Shiffin pada tahun 37 H. Perpecahan itu terjadi saat pasukan Muawiyah yang
dipimpin oleh Amr bin Ash nyaris mengalami kekalahan, kemudian Amr
Namun dari kelompok ali tidak sepenuhnya mengikuti keputusan Ali, mereka
yang sepakat kemudian disebut Syi’ah sedangkan yang tidak sepakat disebut
lainnya, tetapi disini penulis hanya akan membahas dua golongan saja yaitu
B. Rumusan Masalah
2. Bagaimana Pola Fikir dan faktor yang mmpengaruhi Madzhab Syiah dan
Khawarij?
C. Tujuan Pembahasan
Khawarij?
BAB II
PEMBAHASAN
Muhammad Malullah, “Fiqh Imam ja’far langgeng, luas, elas dan tidak
ilahiyah (wilayah otoritas ilahii yang diberikan kepada imam melalui Nabi
didasarkan pada wahyu yang dimiliki oleh Imam dalam masalah hukum,
selama imam masih gaib/wakil imam secara fungsional), dan wilayah al-
hukm (wilayah otoritas untuk memutuskan perkara dengan membentuk
pandangan Syi’ah, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu Bait itu yang
siapa pun yang meriwayatkan asalkan sesuai dengan kriteria dan standar
yang telah ditentukan dalam ilmu hadis, hadis tersebut dapat diterima.
berikut:
1) Al-amm wa Al-khas
2) Al-muhkam wa al mutasyabih
3) A1-mujmal wa al-mufassar
4) al-mutlaw wa al-muqayyad
5) an-nasikh wa al-mansukh.
maqbul)
2) al-mursal wa al-muttasil
3) al-musnad wa al-Munqathi
4) al-Amm wa al-khah
Abu Hanifah, ‘Abd Ar-Rahman ibn Abi Laila, Utsman Al- Biti dan
1) Al-Quran
2) As-Sunnah
3) Ijma
5) Qiyas
6) Istihsan (dimasukkan ke dalam qiyas terdiri dari istihsan qiyas”
7) mashlahat mursalah,
9) dalil aqli.
madzhab ini, bukan kepada Ismail ibn Abu ja’far Ash-Shacliq (gaib,
atau da’aimul Islam, yang secara esensi, tidak jauh berbeda dengan ajaran
Ahlu As-Sunnah seperti Imam Syafi’i dan Maliki. Akan tetapi, ciri khas
madzhab ini pada dasarnya tidak jauh berbecla dengan madzhab Syi’ah
ajaran, Islam secara batin hanya dapat diperoleh dari para imam/ulama
Syi’ah menerima hadis dan pendapat dari imam Syi’ah dan ulama
hadis, mereka hanya mengambil hadis riwayat Syiah. Syi’ah menolak ijma
sebagai bagian dari ar-ra’yu karena agama bukan diambil dengan ra’y.
kriteria imam antara satu madzhab dari madzhab lain berbeda. Ja’fari
dengan Ismaili tidak sama, sementara ja’fari dengan Zaidi “hampir sama”.
Begitu juga Ismaili dengan Zaidi, “tidak mungkin sama” karena silsilah
bukan Ismail. Karena itu, madzhab Ismail memiliki imam ketujuh yang
berbeda dengan ja’fari. Hal inilah yang menjadi ciri utama pembeda antara
hukum masing-masing.
Ibadi Abdullah ibn lbadh At-Tamimi. Tokoh sentral madzhab ini pun
sultan seorang Ahlu fiqh, tetapi mujahid murni sebagai penentang terhadap
kekejaman khalifah Bani Umayah. Namun demikian, manhaj fiqh lbadi ini
dapat ditemukan dari para penerusnya seperti Abu Syat’sa, Jabir bin Zaid,
dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimak dan para muridnya.
berderajat sahih dan hasan atau tidak terlalu lemah maksudnya, hadis dhaif
perbedaannya.
secara eksklusif dari golongan mereka sendiri. Dalam hal ini, Muhammad
bahwa “Segala sesuatu itu adalah perintah Allah, perintah ini “Am”
(umum) bukan “khas” (khusus) dan tidak ada kekhususan dalam Al-
Quran; madzhab ini tidak menggunakan ra’yu, qiyas, kecuali ketika tidak
ada “atsar sahabat”. Sebagian besar madzhab ini tidak menjauhi madzhab
Ahlu As-Sunnah.
paling moderat di antara aliran Khawarij. Hal itu dapat dilihat dari
c) Tidak boleh membunuh mereka. Hal itu dilakukan kalau mereka telah
e) Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid, tetapi bukan
mukmin dan bukan kafir agama. jadi, dosa besar tidak membuat orang
Amr Al-Hanafi berpendapat bahwa atau kepala negara itu tidak perlu sama
sekali. Imam atau kepala negara diperlukan hanya jika mashlahat umat
pemimpin tidak harus dari kalangan Quraisy atau ahl al -bait. Hal itu dapat
dilihat mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam.
Siapa pun boleh menjadi khalifah atau imam selama itu mempunyai
bahwa khalifah telah ditentukan oleh Nabi melalui wasiatnya dan tidak
B. Pola Fikir dan faktor yang mempengaruhi Madzhab Syiah dan Khawarij
samping asal muasal madzhab ini satu, yakni dari madzhab Syi’ah. Begitu juga
madzhab Syi’ah sendiri Zaidiyah, Abu ja’far Ash-Shadiq dan Ismaili bermuara
kepada Ali bin Abi Thalib. Hampir dapat dikatakan bahwa faktor utama yang
memengaruhi kedua madzhab ini adalah faktor politik. Karena kemunculan dua
aliran ini pun tidak lepas dari nuansa politis yakni tahkim. Di samping faktor
teologis. Kedua faktor inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap pola
Konflik politik antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang
ulama, yang terkenal sangat jujur dan tidak “cerdik” dalam politik, yaitu Abu
Musa Al-Asy ‘asri. Sebalikinya, dari pihak Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan diutus
seorang yang terkenal sangat “cerdik” dalam berpolitik, yaitu Amr Ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak
Muawiyah Ibn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash. Yang dapat
mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib, paling
tidak, terpecah menjadi dua kelompok pertama adalah mereka yang secara
terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi
Thalib. Kelompok kedua adalah kelompok yang menolak hasil tahkim dan
kecewa terhadap pemimpinan Ali Ibn Abi Thalib yang akhirnya mereka
menyatakan diri keluar dari pendukung Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian
beberapa statemen yang menuduh orang orang yang terlibat tahkim sebagai
menyeleweng dari ajaran Islam. Di samping itu, Ali Ibn Abi Thalib juga telah
menyeleweng dan ajaran Islam karena melakukan tahkim: Utsman Ibn Affan
dan Ali Ibn Abi Thalib dalam pandangan Khawarij telah keluar dari Islam,
yaitu murtad dan kafir. Di samping dua khalifah umat Islam di atas, politisi lain
yang dipandang kafir oleh Khawanj adalah Muawiyah, Amr Ibn Ash, Abu
dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah atau jalur teologi atau kalam
sudah keluar dari wilayah politik karena menilai kafir terhadap orang-orang
yang terlibat dan menerima tahkim. Kafir dan mukminnya seseorang, paling
tidak menurut Harun Nasution, bukan wilayah politik, tetapi wilayah kalam
atau teologi Karena menilai kafir terhadap Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi
Thalib, Mu’awiyah, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr Ibn Ash membuat Khawarij
tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetapi dianggap sebagai aliran kalam.
Bani Umayah karena menurut mereka, Bani Umayah telah menyeleweng dari
ajaran Islam. Adapun Syi’ah menentang kekuasan Bani Umayah karena dalam
doktrin dan ajarannya, termasuk aspek fiqh yang diwakili oleh Madzhab ja’fari
(Ja’fari) yang diakui sebagai madzhab resmi negara sampai sekarang. Dalam
proses penetapan hukum pun, madzhab ini memiliki beberapa otoritas atau
(wilayah otoritas ilahi yang diberikan kepada Imam melalui Nabi dalam bentuk
al-qadha (otoritas untuk memutuskan perkara dengan adil selama imam masih
gaib/wakil imam secara fungsional), dan wilayah al-hukm (otoritas untuk
berasal dari keturunan Abu ja’far, bukan karena Ismailnya. Hal itu terliat dari
perilaku Ismail tidak baik. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, pendirinya adalah
Imam Zaid yang dikenal sebagai fuqaha dan memiliki murid-murid yang
Faktor politik pada Madzhab Ismaili dapat terlihat dari temuan Kamil
Husain, bahwa ismailiyah tidak dikenal sebagai firqah yang bergerak di arena
politik maupun keagamaan, kecuali pada akhir abad ketiga Hijriyah. Kamil
selama lebih dari satu abad Ismailiyah bergerak secara sembunyi dan tertutup.
Muktazilah karena Imam Zaid pernah berguru kepada Washil bin Atha’, di satu
sisi, sementara pada aspek lain dari sekian banyak Madzhab Syi’ah, Zaidiyah
merupakan madzhab yang paling dekat dengan ahl sunnah. Pola pikir Mu’tazili
ini tertular pula kepada murid-muridnya, seperti Abil Fadhl Ibn Al-Amid, Ash-
Shahib bin Ibadi. dan sebagian Amir Bani Buwaihi. Muridnya yang
seperti takwa, berilmu; kemurahan hati dan berani. Sifat-sifat ini merupakan
sifat standar bagi seorang imam terbaik (al-afdhal). Hal ini pun terjadi pada
Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman sehingga diakui oleh Madzhab
ketiga khalifah, tidak sah kecuali Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa pola pikir Madzhab Zaidiyah tidak “terlalu”
Pola pikir ini berbeda dengan Madzhab Ismaili yang lebih cendrung
ekstrem dibanding dua Madzhab Syi’ah lainnya. Hal itu dimaklumi, karena
dalam madzhab Ismaili tidak ada panutan tokoh atau ahli dalam bidang fiqh.
Mereka lebih pada aliran politik praktis. Hal ini terlihat ketika Ismail tidak
diangkat menjadi Imam ketujuh sementara Abu ja’far sebagai Imam keenam
menunjuk anaknya yang lain, Musa Al-Kadhim sebagai imam ketujuh, mereka
pengikutnya.
pola pikirnya tidak jauh berbeda dengan Ahl Sunnah. Lebih banyak
ketika mereka tidak mengutuk Ali, namun mengingkari penerimaan Ali untuk
melaksanakan tahkim. Dan mereka mengakui Abu Bakar dan Umar sebagai
harus berasal dari kaum Quraisy, namun mereka mensyaratkan bahwa imam itu
harus takwa, wara’ sesuai dengan kedua sumber hukum Islam. Dalam aspek
fiqh, pola pikirnya mengikuti jabir bin Zaid Yang dikenal sebagai imam yang
Madzhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin lahir
tahun 80 H dan wafat 122 H/740 M). Seorang mufassir, muhaddits, dan
rujukan utama fiqh Zaidiyah. Ada ulam fiqh yang menyatakan bahwa buku
Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak
didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid pada zamannya
dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dangan Imam Abu
kitab fiqh. Kitab Al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh Syafufuddin Al-
adalah Imam Al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian
Ahmad bin Yahya bin Murtada yang menyusun buku AlBahr Az-Zakhkhar
dengan fiqh Ahlul sunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika
imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Madzhab
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara. Alasannya, qiyas
merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat
tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa Al-
Musa, pendiri sebenarnya fiqh Syi’ah adalah Abu Ja’far Muhammad bin
kitabnya, Al-Kafi fi ’ilm A-Din. Hingga saat ini Syi’ah Imamiyah banyak
dianut oleh masyarakan Iran dan Irak. Madzhab ini merupakan madzhab
para imam mereka. Perbedaan itu dimulai ketika ayahnya Ismail, Imam
Abu Ja’far (imam keenam) tidak mengangkat Ismail menjadi imam
ketujuh. Imam Ja’far mengalihkan Imamah kepada anak lainnya, Musa Al-
sampai sekarang.
putranya Ali Khan di Eropa. Ali Khan sebagai Imam ke-40. Sampai
4. Madzhab Khawarij
Khawarij. Pemikir awal dimulai dari Jahir ibn Jaid yang menghidupkan
sunnah Rasul, baik secara verbal maupun gerakan amal saleh. Madzhab ini
madzhab ini “keluar dari munkar dan kezaliman adalah hak sebagaimana
dasar ini dilihat dari beragam negara dan pedoman kedua, melaksanakan
“segala sesuatu itu adalah perintah Allah, ini ”um” (umum) bukan ”khas”
(khusus) dan tidak ada kekhususan dalam Al-Quran”. madzhab ini tidak
PENUTUP
A. Kesimpulan
dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin lahir tahun 80 H dan wafat 122
H/740 M). Seorang mufassir, muhaddits, dan faqih pada zamannya. Ia banyak
berujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut
mereka, yang juga dianut oleh Madzhab Syi’ah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak
tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
semata.
Ismail ibn Abi’Ja’fa Ash-Shadiq (w. 762 M). Dalam riwayat lain, ia
meninggal dunia, lima tahun sebelum kematian ayahnya pada tahun 143 H di
dari aliran Khawarij. Pemikir awal dimulai dari Jahir ibn Jaid (w. 96 H) yang
menghidupkan sunnah Rasul, baik secara verbal maupun gerakan amal saleh.
tidak jelas).
DAFTAR PUSTAKA
1981.
Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh Jilid 1: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh
Jakarta.
1992.