Anda di halaman 1dari 9

Materi 8

ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH DALAM AL-QUR'AN

A. Asbaabun Nuzuul
1. Pengertian Asbaabun Nuzuul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”.
Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakanginya
terjadi sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu
bisa disebut asbabun nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan tersebut khusus
dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya Al
Qur’an, seperti halnya asbabul wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-
sebab terjadinya hadis.
Para Mufassir merumuskan penegertian asbabun nuzul secara terminologi
diantaranya:
a. Menurut Az-Zarqani:
Adalah sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-
Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
b. Menurut Ali Ash-Shabuni:
Adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa
ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan
urusan agama.
c. Menurut DR. Shubhi Shalih:
Adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an
terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. Atau sebagai
penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.
d. Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan:
Adalah kejadian atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
sebagai jawaban dan penjelasan atas peristiwa yang terjadi pada saat tertentu.
Dengan demikian Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi, atau suatu
jawaban dari pertanyaan yang mendahului turunnya ayat.
Adapun cara turunnya ayat-ayat Al Qur’an adalah :

131
a. Ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada
nabi.
1) Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui (hukum) karena asbabun
nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
2) Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut
kisah dalam al-qur’an).
b. Ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau
pertanyaan.
2. Pedoman dan Pentingnya Mengetahui Asbaabun Nuzuul
Dengan menukil riwayat dari sahabat yang ikut menyaksikan fas-fase turunnya ayat
atau mendengarnya dari Rasulullah saw langsung; tidak melalui ijtihad. Hal itu
disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka
hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai
hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal
berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada
riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya,
mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta
bersungguh-sungguh dalam mencarinya”
3. Faedah Mengetahui Asbaabun Nuzuul
a. Mengetahui sebab nuzul membantu dan memudahkan menghafal dan memahami
inti dan makna Al Qur’an, karena mengaitkan sebab dan musabab hukum dengan
berbagai peristiwa, peristiwa dengan pelakunya, kejadiannya dan tempat
terjadinya. Semuanya merupakan aspek-aspek yang membantu dalam
memantapkan sesuatu di otak kita, memudahkan hafalannya.
b. Dengan mengetahui sebab nuzul kita tahu motivasi disyariatkannya sebuah
hukum. Imam Al Wahidi mengatakan: “Tidak mungkin mengetahui tafsir Nabi
dengan benar tanpa mengetahui kisah dan sebab nuzulnya”.
4. Aspek-aspek dan Contoh Asbaabun Nuzuul
a. Apabila terjadi peristiwa penting yang mengusik ketentraman seperti
pembunuhan, misalnya membunuh seorang mukmin tanpa sengaja. Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa Al-Harts bin Yazid dari suku Bani 'Amr bin Lu'ay
beserta Abu Jahl pernah menyiksa 'lyasy bin Abi Rabi'ah. Pada suatu hari Al-
Harts hijrah kepada Nabi Muhammad SAW. dan bertemu dengan 'lyasy di

132
kampung Al-Harrah. lyasy seketika mencabut pedangnya dan langsung
membunuh Al-Harts yang dikira masih bermusuhan juga (belum masuk Islam).
Kemudian lyasy menceriterakannya kepada Nabi Muhammad SAW. Maka
turunlah ayat ini (QS. An Nisa’ (4): 92) sebagai ketentuan hukum bagi perabunuh
yang keliru terhadap seorang mu'min. (Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Hatirn
dari Sa'id bin Jubair yang bersumber dari Ibnu Abbas yang peristiwanya seperti di
atas)
          
       
           
         
       
        
      
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan Barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya. Maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan
adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. Perilaku yang menyimpang dari agama bisa menjadi sebab nuzul, misalnya ada
orang Anshar dalam keadaan mabuk memukul wajah Sa’ad bin Abi Waqas, maka
Sa’ad datang menghadap Rasulullah saw, maka turunlah wahyu yang
mengharamkan khamar. Atau Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya
Q.S. Al Maidah (5): 90. berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada dua suku
golongan Anshar yang hidup rukun tidak ada dendam kesumat. Tetapi apabila
mereka minum sampai mabuk, mereka saling ganggu-mengganggu yang
meninggalkan bekas pada muka atau kepalanya sehingga pudarlah rasa

133
kekeluargaan mereka, lalu timbullah rasa permusuhan dan langsung menuduh
bahwa suku yang lainnyalah yang mengganggunya itu, dan mereka tidak akan
berbuat seperti ini apabila mereka saling berkasih sayang. Perasaan yang
demikianlah yang menimbulkan dendam kesumat.
      
      
 
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
c. Peristiwa dalam rumah tangga bisa menjadi sebab turunnya ayat, misalnya orang
Arab di masa Jahiliyah tidak mewarisi anak perempuan mereka dan anak laki-laki
yang masih kecil, maka ayat turun menjelaskan bahwa perempuan dan anak laki-
laki yang masih kecil dalam soal warisan sama dengan orang dewasa. Aus bin
Tsabit al-Anshari wafat meninggalkan istri Ummu Luhah dan tiga orang putri.
Dua orang sepupu Aus mengambil harta warisan saudaranya tanpa memberi istri
dan anak-anak Aus halnya sebagai ahli waris. Mak Ummu Luhah datang mengadu
kepada Rasulullah saw, maka turunlah Q.S. An Nisa’(4): 7
     
      
       
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.
d. Persoalan yang timbul dalam hubungan suami istri menjadi sebab nuzul, misalnya
Rofi’ bin Khadij al-Anshari dengan Khawilah binti Muhammad bin Musallamah,
karena suatu sebab ia ingin menceraikan istrinya, namun istrinya tidak sudi
dicerai. Keduanya pergi kepada Rasulullah saw, maka turunlah Q.S. An Nisa’ (4):
128)
         
         

134
         
  
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
e. Membatalkan tradisi, misal ada di antara sahabat yang bersepakat untuk berpuasa
pada siang hari dan salat sepanjang malam tanpa tidur, mereka juga pantang
makan daging, karena ingin merendahkan diri kepada Allah maka turunlah Q.S.
Al Maidah (5): 87
        
         
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
5. Sikap Mufasir Terhadap Riwayat Asbabun Nuzuul
Imam Al-Wahidi berpendapat bahawa untuk mengetahui tafsir sesuatu ayat Al-
Quran, tidak mungkin tanpa mengetahui, latar belakang peristiwa dan
kejadiantentang penurunannya. Sementara Ibnu Daqiequl ’ied berpendapat bahwa
keterangan tentang kejadian turunnya ayat merupakan cara yang kuat untuk
memahami makna ayat Al-Quran. Ibnu Taimiyyah berpendapat  bahwa mengetahui
Asbab Nuzul ayat, menolong kita memahami makna ayat, karena mengetahui
kejadian turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui penyebabnya.
Dalam sejarah dikemukakan bahwa Muhammad bin Sirrin pernah bertanya kepada
Ubaidah tentang makna suatu ayat di dalam Al-Quran. Ubaidah menjawab:
“Bertaqwalah kepada Allah serta mengakulah dengan jujur bahawa orang
yangmengetahui sebab-sebab diturunkan ayat itu kembali.” Oleh kerana itu, untuk
mengungkap kembali kejadian tersebut, perlu mengkaji dengan mendalam riwayat
tentang penurunan ayat tersebut, berdasarkan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Menurut Al Hakim dalam kitab “Ulumul Hadis”, apabila seorang sahabat yang
menyaksikan penurunan wahyu dan ayat-ayat Al-Quran berkata bahwa ayat ini

135
diturunkan tentang si fulan dapatlah dibuat kesimpulan bahwa hadis itu adalah
“musnad”. Orang yang sependapat dengan beliau ialah Ibnu Shalah.
Kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang ucapan
para sahabi, apakah ia termasuk di dalam asbab nuzul atau tafsir. Al-Bukhari
memasukkannya ke dalam musnad sedangkan para ulama lain tidak menganggapnya
sebagai musnad kecuali apabila di belakangnya menyebut sebab turunnya ayat
tersebut.
Az-Zarkasyi menyebut di dalam kitabnya Al-Burhan: “Dari adat para sahabat dan
tabi’in dapat diketahui apabila salah seorang berkata, “Turunnya ayat ini di dalam
perkara ini, maka maksud kata-kata ini adalah bahwa ayat tersebut mengandung
hukum-hukum tentang sesuatu dan bukan sebagai Asbab Nuzulnya.

B. Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur'an


1. Pengertian Munasabah Al Qur’an
Secara etimologi, kata  munasabah sering dipakai dalam tiga pengertian. Kata ini
dipakai  dengan makna musyakalah atau muqarabah (dekat). Kata munasabah juga
diartikan dengan al-nasîb  (kerabat atau sanak keluarga). Dan kata munasabah
digunakan dengan term al-munâsabah fil-'illah fî bâbil-qiyâs, berarti sifat-sifat yang
menyerupai bagi suatu hukum.
Dalam pengertian terminologis munasabah adalah sebagai berikut :
a. Ibnu ‘Arabiy
Koherensi/ hubungan ayat-ayat Al Quran antara suatu bagian dengan lainnya,
sehingga bagaikan satu kalimat yang maknanya harmonis dan strukturnya yang
rapi.
b. Az-Zarkasyiy
Merupakan usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia hubungan antar ayat
atau surat yang dapat diterima oleh akal.
Keterkaitan antar ayat tersebut kadang secara khusus atau umum, baik secara
rasional ('aqly), indrawi (hissiy) ataupun imajenatif (khayâliy)”. Hal ini bisa pula
diperoleh selain cara yang demikian asalkan kedua unsur tadi (antara ayat atau surah)
bisa dihubungkan secara logis pada konteks yang jelas.
2. Bentuk-Bentuk dan Contoh Munasabah Al Qur’an

136
Menurut Quraish Shihab, paling tidak, ada enam tempat munâsabah yang  bisa
ditemukan dalam  Al Quran,  yakni pada:
a. Hubungan kata demi kata dalam satu ayat
Munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada
kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, bahkan
tampak masing-masing ayat berdiri sendiri, baik karena ayat yang dihubungkan
dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain. Hal
tersebut baru tampak ada hubungan yang ditandai dengan huruf ‘athaf, sebagai
contoh, terdapat dalam surat al-Ghosyiyah (88) : 17-20,
         
         
 
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? 20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Tampaknya tidak ada relevansinya dan perpaduan pikiran pada ayat tersebut.
Sebab tampaknya, meninggikan langit terpisah dari menciptakan unta.
Menegakkan gunung terpisah dari meninggikan langit dan menghamparkan bumi
terputus dari menegakkan gunung. Tetapi Al Zarkasyi telah menunjukkan ada
munasabah antara ayat-ayat itu, dengan menyatakan, bagi masyarakat Arab badui
yang masih hidup primitif pada waktu turun Al Qur’an, binatang unta adalah
sangat vital untuk kehidupan mereka. Unta-unta itu sudah tentu perlu makan dan
minum. Sedang untuk keperluan makan dan minum unta itu memerlukan air.
Itulah sebabnya mereka selalu memandang ke langit untuk mengharapkan hujan
turun. Mereka juga memerlukan tempat yang aman untuk berlindung. Tempat itu
tidak lain adalah gunung-gunung. Kemudian mereka selalu berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain untuk kelangsungan hidupnya, sebab mereka tidak bisa
lama tinggal di satu tempat. Maka apabila seorang Badui melepas khayalnya,
maka gambaran-gambaran di atas akan terlihat di depannya, sesuai dengan urutan
ayat-ayat itu. 
b. Hubungan  antara kandungan ayat dengan fashilah  (penutup ayat)
Dalam satu surat terdapat korelasi antara awal surat dan akhirannya. Misalnya,
dalam surat al-Qashash dimulai dengan kisah nabi Musa dan Fir’aun serta kroni-

137
kroninya, sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah
agar umat Islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah
lebih mengetahui tentang hidayah.
c. Hubungan ayat dengan ayat berikutnya
Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh
dalam masalah ini misalnya dalam surat Al Mu’minun, ayat 1 yang berbunyi “qad
aflaha al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la
yuflihu al-kafirun”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-
orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang
kafir.
Munasabah antar ayat ini juga dijumpai dalam contoh pada QS. Al Baqarah (2) :
45
terdapat kata Al Khasyiin  yang kemudian di jelaskan pada ayat berikutnya yang
memberi informasi tentang maksud dari kata Al Khasyiin tersebut :
       
       
  
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', 46. (yaitu)
orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya.
d. Hubungan mukaddimah satu surat dengan surat berikutnya
Misalnya antara surat Al Fatihah dan surat Al Baqarah. Dimana dalam surat Al
Fatihah berisi tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman.
Sedangkan dalam surat Al Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi
surat Al Fatihah.
e. Hubungan penutup satu surat dengan mukaddimah surat berikutnya
Misalnya permulaan surat Al Hadid ayat 1 dengan penutupan surat Al Waqi’ah
ayat 96 memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan
dengan tasbih.
    
96. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.
          

138
1. semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
f. Hubungan kandungan surat dengan surat berikutnya
Al Qur’an sebagai satu kesatuan yang bagian-bagian strukturnya terkait secara
integral. Pembahasan tentang munâsabah antar surat dimulai dengan
memposisikan surat Al Fatihah sebagai Ummul Kitab (induk Al Qur’an), sehingga
penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (Al Fâtihah) adalah sesuai
dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an. Penerapan
munâsabah antar surat bagi surat Al Fâtihah dengan surat sesudahnya atau bahkan
keseluruhan surat dalam Al Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan
tentang masalah ini.
Surat Al Fâtihah menjadi ummul Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah
tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu berkembang
sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat
setelah surat Al Fâtihah. Ayat 1-3 surat Al Fâtihah mengandung isi tentang
tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari
Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat
Al Qur’an. Salah satunya adalah surat Al Ikhlas yang konon dikatakan sepadan
dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat Al Fâtihah (Ihdina ash-shirâtha al-
mustaqîm) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu jalan yang lurus di
permulaan surat Al Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-kitabu la raiba fih,
hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat Al
Fâtihah dan teks dalam surat Al Baqarah berkesesuaian (munâsabah).
Contoh lain dari munasabah antar surat adalah tampak dari munasabah antara
surat Al Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan
antara dalil dengan keragu-raguan akan dalil. Maksudnya, surat Al Baqarah
merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini
memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas
keragu-raguan para musuh Islam

139

Anda mungkin juga menyukai