Anda di halaman 1dari 14

Materi 6

Kajian Ayat :
KEMAUAN DAN KEMAMPUAN MEMBINA DIRI PRIBADI DAN KELUARGA

A. QS An Nisaa’ (4) : 9
1. Redaksi Ayat
        
      
2. Terjemah
“ dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”
3. Makna Mufrodat
Kata () terdiri dan huruf sin dan dal yang menurut pakar bahasa Ibn Faris
menunjuk kepada makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya. la juga
berarti istiqamah/ konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk kepada
sasaran. Seorang yang menyampaikan sesuatu/ucapan yang benar dan mengena
tepat pada sasarannya, dilukiskan dengan kata ini. Dengan demikian kata sadidan
dalam ayat di atas, tidak sekadar berarti benar, tetapi la juga harus berarti tepat
sasaran
4. Analisa Kandungan Ayat
Menurut Tafsir Depertemen Agama Indonesia, ayat ini berkaitan dengan
penringatan Allah kepada orang-orang yang telah mendekati akhir hayatnya supaya
mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah
terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalulah
bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalulah berkata lemah lembut
terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah
mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri. 
Ayat ini menurut Ibnu Katsir ditujukan kepada mereka yang menjadi wali anak-
anak yatim, agar memperlakukan anak-anak yatim itu, seperti perlakuan yang
mereka harapkan kepada anak-anaknya yang lemah bila kelak para wali itu

110
meninggal dunia sekaligus ancaman kepada mereka yang menggunakan harta anak
yatim secara aniaya.
Ayat 9 surat An Nisa’ di atas berpesan: Dan hendaklah orang-orang yang memberi
aneka nasihat kepada pemilik harta, agar membagikan hartanya kepada orang lain
sehingga anak-anaknya terbengkalai, hendaklah mereka membayangkan
seandainya mereka akan meninggalkan di belakang mereka, yakni setelah kematian
mereka anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta, yang
mereka khawatir terhadap kesejahteraan atau penganiayaan atas mereka, yakni anak-
anak yang lemah. Apakah jika keadaan serupa mereka alami, mereka akan menerima
nasihat-nasihat seperti yang mereka berikan itu? Tentu saja tidak! Karena itu,
hendaklah mereka takut kepada Allah, atau keadaan anak-anak mereka di masa
depan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dengan
mengindahkan sekuat kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.
Dalam konteks ayat di atas keadaan sebagai anak-anak yatim pada hakikatnya
berbeda dengan anak-anak kandung, dan ini menjadikan mereka lebih peka,
sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih hati-hati dan kalimat-kalimat yang
lebih terpilih, bukan saja yang kandungannya benar, tetapi juga yang tepat.
Sehingga kalau memberi informasi atau menegur, jangan sampai menimbulkan
kekeruhan dalam hati mereka, tetapi teguran yang disampaikan hendaknya
meluruskan kesalahan sekaligus membina mereka.
Ayat di atas dijadikan juga oleh sementara ulama sebagai bukti adanya dampak
negatif dari perlakuan kepada anak yatim yang dapat terjadi dalam kehidupan dunia
ini. Sebaliknya amal-amal saleh yang dilakukan seorang ayah dapat mengantar
terpeliharanya harta dan peninggalan orang tua untuk anaknya yang telah menjadi
yatim. misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan
selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan
sengsara dan menderita. 
Ketika seorang anak ditinggal oleh ayahnya sebagai pemberi nafkah utamanya,
sebelum ia menginjak usia baligh, maka ia disebut sebagai anak yatim.  Pada saat itu,
maka kita turut bertanggung jawab untuk memelihara mereka, terutama apabila tidak
ada lagi saudara atau kerabat yang dapat menanggung mereka.

111
Rasulullah saw., yang dulu juga pernah menjadi anak yatim, sangat menyayangi anak
yatim. Orang-orang yang mengasihi dan merawat anak yatim memiliki kedudukan
yang istimewa. Beliau bersabda: Aku dan pengasuh anak yatim (kelak) di surga
seperti dua jari ini (Rasulullah saw. menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan
merapatkan keduanya). (HR. Bukhari).
Bagi orang yang diserahkan tanggung jawab kepadanya untuk memelihara anak
yatim beserta harta peninggalan yang mereka warisi, maka wajib bagi orang itu
untuk merawat mereka dengan baik dan memanfaatkan harta tersebut bagi sebaik-
baik kepentingan mereka. Haram bagi orang itu untuk menggunakan harta anak
yatim yang berada di bawah tanggungan mereka, kecuali secukupnya untuk bertahan
hidup, ketika benar-benar dalam keadaan tidak mampu.  Seperti firman Allah,
      
         
  
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka
bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,
adalah dosa yang besar. (QS. An Nisa (4) : 2).
Anak-anak yatim membutuhkan bantuan dan kasih sayang kita. Tidak dibenarkan
bagi kita untuk menyia-nyiakan mereka apalagi memperlakukan mereka dengan
buruk.  Kehilangan sosok ayah dan segala kelebihan yang menyertainya sudah
merupakan beban berat yang harus mereka tanggung.  Senangkan hati mereka, bantu
cukupi kebutuhannya, hingga mereka bisa tumbuh menjadi manusia bahagia yang
bermanfaat bagi diri dan sekitarnya. Demikian pesan Al Qur’an dalam QS. An Nisa’
(4): 6,
       
       
          
       
       
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa

112
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah
kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An Nisa (4) : 6).
Sesungguhnya, mengasihi anak yatim merupakan sarana untuk melunakkan hati dan
mengupayakan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan. Sebab, orang yang mengasihi
anak yatim telah memposisikan diri seperti ayahnya. Seorang ayah, secara naluriyah
memiliki karakter sayang dan mengasihi anak-anaknya. Adapun orang yang
mengasihi anak yatim memiki satu sifat lain, yaitu mengasihi anak yang bukan anak
kandungnya. Barang siapa keadaannya seperti itu maka dihatinya terhimpun sarana-
sarana yang bisa melembutkan hatinya, sekalipun sebelumya merupakan hati yang
keras. Tidak diragukan lagi ini merupakan obat yang mujarab. Anda tidak akan
pernah mendapati orang yang menyantuni anak yatim, kecuali pasti memiliki hati
yang pengasih. Oleh karena itu sangat terlarang bagi pemelihara harta anak yatim
menggunakan tudak sebagaimana mestinya. Demikian pesan Al Qur’an dalam QS.
An Nisa’ (4): 10
        
     
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa (4) : 10).
5. Hikmah Kandungan Ayat
a. Islam menghendaki seluruh umatnya berada dalam keadaan sejahtera, yakni
berkecukupan pangan, sandang dan papan. Menyangkut harta peninggalan/ waris
harus dapat didistribusikan secara adil.
b. Salah satu bentuk tanggung jawab pribadi muslim menyangkut harta anak yatim
adalah mengelola dan memberdayakan sampai anak yatim dapat mengelolanya
secara mandiri.
c. Terhadap perlakuakn kepada anak yatim hendaknya diperlakukan sama dengan
anak kandung, baik menyangkut kesantunan dalam berbicara, kesempatan

113
memperoleh akses pendidikan dan kesempatan untuk mengembangkan modal
usaha dan sebagainya.
d. Berbuat baik kepada anak yatim, selain merupakan akhlak yang mulia yang
diserukan oleh Islam akan dapat memberi manfaat menjadikan pribadi yang
santun dan kasih saying, tetapi sebaliknya mereka yang tidak memperlakukan
dengan baik, di ancaman siksa yang pedih.

B. QS Al Baqarah (2) : 44-45


1. Redaksi Ayat
      
        
     
2. Terjemah
44. mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)?
Maka tidaklah kamu berpikir? 45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu'.
3. Makna Mufrodat

Kata ( ) al birr berarti kebajikan dalam segala hal, baik dalam hal keduniaan
atau akhirat, maupun interaksi. Sementara ulama menyatakan bahwa al-birr
mencakup tiga hal; kebajikan dalam beribadah kepada Allah swt., kebajikan
dalam melayani keluarga dan kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang
lain. Demikian Thahir Ibn 'Asyur. Apa yang dikemukakan itu belum mencakup
semua kebajikan, karena agama menganjurkan hubungan yang serasi dengan
Allah, sesama manusia, lingkungan serta diri sendiri. Segala sesuatu yang
menghasilkan keserasian dalam keempat unsur tersebut adalah kebajikan.
Kata () anfusakum adalah bentuk jamak dari kata nafs. la mempunyai
banyak arti, antara lain totalitas diri manusia, sisi dalam manusia, atau jiwanya.
Yang dimaksud di sini adalah diri manusia sendiri.

114
Kata () sabar artinya menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di hati. Ia
juga berarti ketabahan. Imam Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati
melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu.
Kata () dari segi bahasa adalah doa, dan dari segi pengertian syariat Islam ia
adalah "ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam." Shalat juga mengandung pujian kepada Allah atas limpahan karunianya,
mengingat Allah, dan mengingat karunia-Nya mengantar seseorang terdorong untuk
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya serta mengantarnya tabah menerima
cobaan atau tugas yang berat. Demikian, shalat membantu manusia menghadapi
segala tugas dan bahkan petaka.
Kata ( )Khusyu' adalah ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada
kedurhakaan. Yang dimaksud dengan orang-orang yang khusyuk oleh ayat ini adalah
mereka yang menekan kehendak nafsunya dan membiasakan dirinya menerima dan
merasa tenang menghadapi ketentuan Allah serta selalu mengharapkan
kesudahan yang baik.
4. Asbabun Nuzul
Dalam sebuah riwayat dikemukakan, bahwa ada orang-orang Yahudi yang menyuruh
keluarganya yang telah memeluk Islam agar mempertahankan keyakinan
mereka dan terus mengikuti Nabi Muhammmad SAW. Terhadap merekalah ayat ini
turun. Demikian menurut satu pendapat. Ayat ini dapat juga mencakup kasus lain, yakni
bahwa di antara Bani Isra'il ada yang menyuruh berbuat aneka kebajikan, seperti taat
kepada Allah, jujur, membantu orang lain, dan sebagainya, tetapi mereka sendiri durhaka,
menganiaya, dan khianat. Terhadap mereka juga kecaman ayat ini ditujukan.
5. Analisa Kandungan Ayat
Ayat 44 surat Al Baqarah mengandung kecaman kepada setiap penganjur agama
yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya. Ada
dua hal yang disebut oleh ayat ini yang seharusnya menghalangi pemuka-
pemuka agama itu melupakan diri mereka. Pertama bahwa mereka
menyuruh orang lain berbuat baik. Seorang yang memerintahkan sesuatu
pastilah dia mengingatnya. Sungguh aneh bila mereka melupakannya. Yang kedua
adalah mereka membaca kitab suci. Bacaan tersebut seharusnya mengingatkan
mereka. Tetapi ternyata keduanya tidak mereka hiraukan sehingga sungguh
wajar mereka dikecam.

115
Walaupun ayat ini turun dalam konteks kecaman kepada para pemuka Bani Isra'il,
tetapi ia tertuju pula kepada setiap orang terutama para muballigh dan para pemuka
agama. Ayat ini menyatakan, Apakah kalian wahai Bani Isra'il, atau pemuka-
pemuka agama Yahudi menyuruh orang lain yakni kaum musyrikin atau kelotnpok
lain dari orang-orang Yahudi yang seagama dengan kamu, atau orang lain siapa
pun dia melakukan aneka kebajikan, dan kamu melupakan diri kamu sendiri, yakni
melupakan menyuruh diri kalian melakukan kebajikan itu, atau kalian sendiri tidak
mengerjakan kebaikan itu? Tindakan demikian jelas merupakan perbuatan
yang buruk. Kalian melakukan keburukan itu, padahal kamu membaca kitab suci
yakni Taurat yang mengandung kecaman terhadap mereka yang hanya pandai
menyuruh tanpa mengamalkan. Tidakkah kamu berakal, yakni tidakkah kalian
memiliki kendali yang menghalangi diri kalian terjerumus dalam dosa dan
kesulitan.
Memang, mengerjakan kebajikan tidak semudah mengucapkannya, menghindari
larangan pun banyak hambatannya, karena itu lanjutan ayat tersebut menuntun dan
menuntut bukan saja para pemuka agama yahudi tetapi seluruh manusia agar
membekali diri kesabaran dan doa.
Sedang tema pembicaraan pada ayat 45 surat Al Baqarah, menurut pakar tafsir
Thahir Ibn 'Asyur menulis bahwa ayat ini ditujukan kepada Bani Isra'il sebagai petunjuk
guna membantu mereka melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh ayat-ayat lalu.
Petunjuk yang dikandung ayat ini sungguh pada tempatnya, karena setelah mereka diajak
disertai dengan janji dan ancaman, maka dapat diduga keras bahwa tidak ada lagi jalan
masuk bagi setan ke dalam hati mereka, tidak ada juga tempatnya untuk mundur bahkan
kini mereka telah bersiap-siap untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun
demikian, boleh jadi kebiasaan lama masih memberatkan langkah mereka, maka ayat ini
menyodorkan resep yang amat ampuh agar mereka dapat melangkah maju menuju
kebajikan. Kandungan resep itu adalah shalat dan sabar.
Dalam pernyataanya, ayat ini memerintahkan: Mintalah pertolongan yakni kukuhkan
jiwa kamu dengan sabar yakni menahan diri dari rayuan menuju nilai rendah dan dengan
shalat yakni dengan mengaitkan jiwa dengan Allah SWT., serta bermohon kepada-Nya
guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala beban. Dan sesungguhnyayang
demikian itu yakni shalat dan sabar itu, atau beban yang akan kamu pikul sungguh berat,

116
kecuali bagi orang-orangyang khusyuk, yakni orang-orang yang tunduk dan yang
hatinya merasa tenteram dengan berzikir kepada Allah.
Ayat di atas dapat bermakna: mintalah pertolongan kepada Allah dengan jalan tabah
dan sabar menghadapi segala tantangan serta dengan melaksanakan shalat. Bisa juga
bermakna, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kamu, dalam arti jadikanlah
ketabahan menghadapi segala tantangan bersama dengan shalat, yakni doa dan
permohonan kepada Allah sebagai sarana untuk meraih segala macam kebajikan.
a. Sabar
Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok: Pertama, sabar
jasmani yaitu kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah
keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah
haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam peperangan membela kebenaran.
Termasuk pula dalam katagon ini, sabar dalam menrima cobaan-cobaan yang
menimpa jasmani seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Kedua, adalah
sabar rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat
mengantar kepada kejelekan, seperti sabar menahan amarah, atau menahan nafsu
seksual yang bukan pada tempatnya.
b. Shalat
Pelaku khusyu’ bukanlah orang yang terperdaya oleh rayuan nafsu. la adalah
yang mempersiapkan dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebajikan.
Orang-orang khusyuk yang dimaksud oleh ayat ini adalah mereka yang takut lagi
mengarahkan pandangannya kepada kesudahan segala sesuatu sehingga dengan
demikian mudah baginya meminta bantuan sabar yang membutuhkan penekanan
gejolak nafsu dan mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban
ini mengharuskan disiplin waktu, serta kesucian jasmani padahal ketika itu boleh jadi
ia sedang disibukkan oleh aktivitas yang menghasilkan harta atau kelezatan.
Adapun kekhusyukan dalam shalat, maka ia menuntut manusia untuk menghadirkan
kebesaran dan keagungan Allah, sekaligus kelemahannya sebagai manusia
dihadapan-Nya. Puncak khusyuk adalah ketundukan dan kepatuhan seluruh anggota
badan, dalam keadaan pikiran dan bisikan hati secara kesuluruhan menuju kehadirat
Ilahi. Itulah puncaknya, tetapi ada peringkat-peringkat di bawah itu. Peringkat
terendah adalah sekadar pengamalan yang tulus kepada-Nya walau diselingi oleh
pikiran yang melayang kepada hal-hal yang tidak bersifat negatif. Nabi Muhammad

117
saw. ketika shalat masih mendengar suara tangis anak sehingga beliau mempersingkat
shalatnya, di kali lain beliau memperlama sujud karena cucu beliau putra hasil
pernikahan Fathimah dan 'Ali Ibn Abi Thalib, menunggang pundak beliau ketika beliau
sedang shalat. Dengan demikian kekhusyuaan tidak selalu berarti hilangnya segala
ingatan kecuali kepada Allah SWT.

6. Hikmah Kandungan Ayat


a. Setiap muslim dituntut untuk konsekwen terhadap segala yang diucap dan
dikerjakan. Kesesuaian antara hati, lisan dan tindakan akan memperkuat
keyakinan bahwa setiap muslim adalah tauladan bagi yang lain.
b. Ketidakharmonisan antara hati, lisan dan tindakan setiap pribadi untukmemerintah
kebaikan padahal yang bersangkutan tidak melaksanakan akan berdampak negatif
baik secara indifidu maupun kelompok. Secara pribadi akan mempengaruhi
kejiwaan dan secara kelompok akan berpengaruh pada penilain orang lain
terhadap pribadi yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Allah melarang sikap yang
demikian itu.
c. Kesadaran akan Kemaha Tahuan Allah menimbulkan semangat untuk
melaksanakan tugas sebagai khalifah walau ujian dan cobaan terus menerpa,
tujuan akhir adalah Allah. Dan pastilah Allah tidak menyia-nyiakan apa yang
telah dan akan dikerjakan hambaNya
d. Cara terbaik untuk menghadapi ujian dan cobaan Allah adalah melaksanakan
ibadah dengan setulus-tulusnya kepada Allah dan menghadapinya dengan sabar
untuk beharap kebaikan lebih pada masa mendatang.

C. QS Al Baqarah (2) : 177


1. Redaksi Ayat
       
       
       
     
      
       

118
        

2. Terjemah
“ bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan,
akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.”
3. Makna Mufrodat
Kata (‫)البر‬
ّ al-birr pada mulanya berarti keluasan dalam kebajikan. Dari akar kata
yang sama, daratan dinamai al-barr karena luasnya. Kebajikan mencakup segala
bidang termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan berdakwah serta
tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah SWT. Nabi saw melawankan
kata al-birr dosa. Al-birr adalah segala yang menentramkan jiwa dan menenangkan
hati pelakunya dan begitu sebaliknya.
Kata (‫)الرقاب‬
ّ al-riqâb adalah bentuk jamak dari kata (‫ )رقبة‬raqabah yang pada
mulanya berarti "leher". Makna ini berkembang sehingga bermakna hamba sahaya",
karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan,
tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Dalam konteks
ayat ini, bermakna memerdekakan atau membebaskan perbudakan.
Kata (‫ )ابن سبيل‬ibnu sabîl yang secara harfiah berarti anak jalanan. Maka para ulama

dahulu memahami dalam arti siapapun yang kehabisan bekal, dan dia sedang dalam
perjalanan.
4. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut di atas sehubungan
dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah SAW tentang
"al-birr" (kebaikan). Setelah turun ayat tersebut di atas, Rasulullah SAW memanggil
kembali orang itu, dan dibacakannya ayat tersebut kepada orang tadi. Peristiwa itu
terjadi sebelum diwajibkan shalat fardlu. Pada waktu itu apabila seseorang telah

119
mengucapkan dua kalimah syahadat, kemudian meninggal di saat ia tetap iman,
harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi kaum Yahudi menganggap yang
baik itu adalah apabila shalat mengarah ke barat, sedang kaum Nashara mengarah ke
Timur.
5. Analisa Kandungan Ayat
Selama masih berada di Makkah, Rasulullah dan kaum beriman pengikut beliau
bersembahyang dengan menghadap sekaligus ke Ka'bah dalam Masjidil Haram
dan ke Baitul Maqdis di Yerusalem. Hal itu beliau lakukan dengan cara
mengambil posisi salat di sebelah selatan Ka'bah, sehingga pada waktu bersamaan
juga menghadap ke Yerusalem di sebelah utara. Tetapi setelah berhijrah ke
Madinah, cara tersebut tidak bisa lagi dilakukan, karena pertentangan antara arah
Makkah (selatan) dan Yerusalem (utara) dari Madinah. Karena itu Nabi s.a.w. dan
kaum beriman dalam bersembahyang hanya menghadap ke utara, ke arah
Yerusalem.
Berkiblat ke Yerusalem itu sejalan dengan berbagai penegasan dalam Al Qur'an
dan Sunnah, mengandung makna pengakuan akan kesucian kota itu dan
keabsahan agama serta para nabi yang pernah muncul di sana.
Tetapi Nabi S.A.W. sendiri menyadari bahwa Makkah dengan Ka'bahnya adalah
lebih dekat ke hati bangsa Arab daripada Yerusalem. Lebih dari itu, dari sudut
sejarah perkembangan monoteisme (tauhid), Makkah mempunyai makna yang
lebih penting daripada Yerusalem, lagi pula jauh lebih tua. Oleh karena itu Nabi
s.a.w, senantiasa berdo'a, memohon kepada Tuhan agar diperkenankan mengubah
kiblat salat dari Yerusalem ke Makkah.
Ketika Rasulullah s.a.w., atas izin dan perkenan Tuhan, akhirnya mengubah
kiblat, terjadilah kegaduhan di masyarakat Madinah. Beberapa kalangan dari para
pengikut Nabi sendiri merasa masygul dengan perubahan kiblat itu. Namun
kegaduhan yang lebih besar terjadi di kalangan orang-orang Yahudi Madinah,
yang melihat perubahan kiblat itu sebagai skandal dan menunjukkan tidak adanya
kesungguhan dalam agama Nabi SAW. Mereka kemudian mempertanyakan,
apakah agama yang "suka berubah kiblat" seperti itu masih memiliki keotentikan
mengingat masalah kiblat dalam sembahyang adalah prinsipil sekali?
Jadi, yang dinamakan kebajikan itu bukanlah masalah kiblat, bukan masalah arah
ke mana menghadap, sekalipun itu merupakan syarat rukun di dalam salat, akan

120
tetapi hal itu bukanlah merupakan kebajikan itu sendiri. Di situ ada makna
simbolik sebagai suatu perlambang, dan itu tidak akan berfungsi pada kita bila
tidak paham akan maknanya.
Dengan beriman kepada Allah, sebagaimana ayat di atas, maka berarti kita
menyadari tentang adanya asal dan tujuan hidup. Bahwa hidup kita berasal dari
Allah swt dan akan kembali kepada-Nya. Kalau kita menyadari hal itu, maka kita
menyadari bahwa hidup harus ditempuh dengan penuh kesungguhan, penuh
tanggung jawab, sebab hidup ini tidak hanya ada asal dan tujuannya. Beriman
kepada hari kemudian merupakan penegasan tentang tujuan hidup ini, dimana ada
pertanggungjawaban, dan bersifat pribadi, tidak ada pertanggungjawaban kolektif.
Allah berfirman dalam al-Qur'an yang melukiskan bagaimana kita di akhirat.
Kita percaya kepada para Malaikat, bahwa hidup di dunia ini tidak hanya dalam
lingkungan makhluk-makhluk lahiri, tetapi juga makhluk-makhluk yang disebut
ghaib termasuk Malaikat. Kemudian kita percaya kepada kitab-kitab suci, karena
dengan kitab suci kita mengetahui rincian lebih lanjut bagaimana caranya hidup
yang benar di muka bumi.
Dan percaya kepada para Nabi, sebab para Nabi itulah yang membawa kitab-kitab
suci, terutama kalau mereka ditugasi juga untuk menyampaikan kepada orang lain
sehingga martabatnya naik dari Nabi menjadi Rasul. Nabi itu artinya orang yang
mendapat berita, dalam bahasa Arab salah satu perkataan untuk berita adalah
naba'un. Maka Nabi, maksudnya ialah orang yang mendapat berita dari alam
ghaib untuk disampaikan kepada sesama manusia.
Semua itu adalah keimanan-keimanan yang vertikal, tetapi kemudian harus
diteruskan dengan aspek horizontal dalam kegiatan sehari-hari. Dan kebajikan
sebagaimana disebut dalam surat Al Baqarah ayat 177 di atas ialah orang yang
mendermakan hartanya sekalipun dia cinta sekali kepada harta itu-untuk kerabat
kaum keluarga yang memerlukan, untuk anak-anak yatim, untuk orang-orang
miskin, untuk mereka yang terlantar dalam perjalanan, untuk mereka yang
meminta-minta dengan kesungguhan, dan untuk membebaskan budak.
Dua dimensi dari kehidupan adalah vertikal dan horizontal, yaitu aqâma al-
shalat-a, menegakkan salat sebagai komunikasi dengan Tuhan, wa âta al-zakat-a
dan mendermakan zakat sebagai komunikasi dengan sesama manusia dalam
semangat perikemanusiaan. Ini sudah dilambangkan dalam salat itu sendiri,

121
dimulai dengan takbir atau takbiratu al-ihram, di mana seluruh kegiatan yang
bersifat bay`un, hullah dan syafa'ah yaitu transaksi, asosiasi dan tolong-menolong
itu haram. Kita harus memusatkan perhatian kepada Allah. Namun salat itu harus
diakhiri dengan salam dan menengok ke kanan dan kiri. Ini peringatan bahwa
kalau memang mempunyai hubungan baik dengan Allah, maka kita harus
mempunyai hubungan baik dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk. Dan
itu yang diwujudkan dalam ibadah zakat.
Bentuk kebajikan selanjutnya adalah al-mûfûn-a bi'ahdihim idzâ 'ahadu, yaitu
orang-orang yang menepati janji apabila mereka membuat janji. Orang-orang
yang bisa dipercaya, orang-orang yang amanah, atau orang-orang yang tidak
menyalahi janjinya sendiri. Amanah adalah salah satu sifat Rasul, sementara
Rasul adalah uswatun hasanah, atau contoh yang baik. Salah satu yang harus kita
contoh ialah sifat amanah.
Jabaran kebajikan berikutnya adalah shâbirîn fi al-ba'sa'i wa al-dlarrâi yakni
tabah rnenghadapi segala persoalan hidup atau sabar tidak mudah putus asa. Inilah
yang juga merupakan syarat atau pra kondisi bagi kemenangan suatu kelompok
dalam perjuangannya.
Jika nilai-nilai itu bisa disebut sebagai manifestasi taqwa, maka taqwa sendiri,
dalam maknanya yang serba meliputi dan bulat, hanya dapat dipahami sebagai
"kesadaran ketuhanan", yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Mahahadir
dalam hidup kita. Kesadaran seperti itu membuat kita mengetahui dan meyakini
bahwa dalam hidup ini tidak ada jalan menghindar dari Tuhan dan pengawasan-
Nya terhadap tingkah laku kita. Dengan kata-kata lain, kesadaran akan kehadiran
Tuhan dalam hidup ini mendorong kita untuk menempuh hidup mengikuti garis-
garis yang diridlai-Nya, sesuai dengan ketentuan-Nya. Maka kesadaran itu
memperkuat kecenderungan alami (fithrah) kita untuk berbuat baik (hanifiyyah),
sebagaimana hal itu disuarakan dengan lembut oleh hati nurani (nurani, bersifat
cahaya) atau kalbu kita. Kemudian, dorongan batin itu, pada gilirannya, mewujud-
nyata dalam rincian nilai-nilai yang disebutkan dalam firman Ilahi di atas itu.
Taqwa dalam pengertian mendasar demikian, adalah sejajar dengan pengertian
rabbaniyah (semangat ketuhanan) dalam firman yang lain, yang menuturkan salah
satu tujuan pokok diutusnya seorang nabi atau rasul kepada umat manusia. Kata-
kata rabbaniyah meliputi "sikap-sikap pribadi yang secara bersungguh-sungguh

122
berusaha memahami Tuhan dan mentaati-Nya", sehingga dengan sendirinya ia
mencakup pula kesadaran akhlaki manusia dalam kiprah hidupnya di dunia ini.
oleh karena itu, terdapat korelasi langsung antara taqwa dan akhlak atau budi
luhur, sedemikian rupa sehingga Nabi menegaskan bahwa "Yang paling banyak
memasukkan seseorang ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi
luhur.” Sedangkan menyempurnakan budi luhur itu, sebagaimana ditegaskan Nabi
sendiri, adalah tujuan akhir kerasulan beliau.
6. Hikmah Kandungan Ayat
a. Iman dan taqwa adalah simpul kualitas seseorang dihadapan Allah SWT.
Keimanan harus sejati dan murni, Kita harus siap untuk memancarkan iman ke
luar dalam bentuk tindakan kemanusiaan kepada sesama
b. Kita harus menjadi warga masyarakat yang baik, yang mendukung sendi-sendi
kehidupan kemasyarakatan
c. Dan juga sangat terlarang bersikap sombong dan bangga diri bila merasa telah
mampu melaksanakan kebajikan-kebajikan yang diperintah agama.

123

Anda mungkin juga menyukai