Anda di halaman 1dari 11

TAFSIR AYAT ALQUR’AN TENTANG TANGGUNG JAWAB

ORANGTUA DALAM MENDIDIK ANAK


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah
PEMBELAJARAN TAHFIZ
Dosen Pengampu: Syah wardi, M.H.

Disusun Oleh: ENI


SRI WAHYUNI

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RAUDHATUL AKMAL(STAIRA)
BATANGKUIS
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunianya, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
pengembangan tahfiz. saya berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi kita semua. saya membuat makalah ini dari kumpulan buku dan
bersumber dari internet sebagai pedoman membuat makalah.
Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada baginda tercinta nabi
muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
islamiyah yang tentunya kita nanti-nantikan syafaatnya dihari pembalasan nanti.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen tafsir , teman mahasiswa yang secara
langsung maupun tidak langsung memberikan motivasi membantu saya dalam
pengembangan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah yang telah dibuat.

Lubuk Pakam, 24 September 2023


Penyusun
Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan penulisan.................................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Asbabun Nuzul surah At-tahrim ayat 6................................................ 2
B. Asbabun Nuzul surah An-nisa ayat 9.................................................... 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orangtua merupakan ujung tombak pertama dan utama dalam menanamkan
pendidikan pada anak usia dini. Karena ditangan orangtua anak mulai belajar dan
berkembang. Disadari atau tidak, orangtua merupakan pelaksana pendidikan pertama,
sehingga mutlak melatih dan mendidik anak harus menempati skala prioritas yang
paling penting dari apapun.
Orangtua memiliki kelebihan dalam mendidik anak, karena dapat dilakukan
sepanjang waktu dan disertai cinta kasih sayang. Anak adalah anugerah dan amanah
dari Allah, yang harus dipertanggungjawabkan oleh setiap orangtua dalam berbagai
aspek kehidupan.
Kebanyakan anak rusak karena orangtua yang mengabaikan pendidikan dan tidak
mengajarkan kepada anak tentang masalah-masalah fardu dan sunnah. Orangtua
menyia-yiakan anak dimasa kecil, sehingga anak tidak mendapatkan manfaat apa-apa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa asbabun nuzul dari surah At-tahrim?
2. Apa asbabun nuzul dari surah an-nisa?
C . Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah tahfiz
2. Untuk menambah pengetahuan tentang tafsir
3. Untuk menambah pemahaman tentang ilmu tafsir dan ayat alqur‟an
D . Manfaat Penulisan
Untuk memberikan pemahaman kepada mahssiwa dan pembaca makalah agar
lebih mengerti ayat ayat tentang tafsir.

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Asbabun Nuzul surah At-tahrim ayat 6

Yā 'Ayyuhā Al-Ladhīna 'Āmanū Qū 'Anfusakum Wa 'Ahlīkum Nārāan Waqūduhā An-


Nāsu Wa Al-Ĥijāratu `Alayhā Malā'ikatun Ghilāžun Shidādun Lā Ya`şūna Allāha Mā
'Amarahum Wa Yaf`alūna Mā Yu'umarūna. (At Taḥrim, 66:6)

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. [66] At-
Tahrim : 6)

Tafsir Kemenag:

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya
dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh
melaksanakan perintah Allah.

Mereka juga diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh
kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga merupakan
amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun rohani.

Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar,
sebagaimana firman Allah:

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya.


(thaha/20: 132) Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang
terdekat. (asy-Syu'ara'/26: 214)

Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, 'Umar berkata, "Wahai Rasulullah, kami
sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?" Rasulullah saw
menjawab, "Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan
perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.

Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh
malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat.
Mereka diberi kewenangan mengadakan penyiksaan di dalam neraka.

Mereka adalah para malaikat yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.
3

B. Asbabun Nuzul surah An-nisa ayat 9

Wal yakhsyalladzīna lau tarakū min khalfihim dzurriyyatan dhi‟āfan khāfū „alaihim, fal
yattaqulāha wa qūlū qaulan sadīdan.

Artinya, “Hendaklah takut orang-orang yang andaikan meninggalkan keturunan yang


lemah di belakang (kematian) mereka maka mereka mengkhawatirkannya; maka
hendaklah mereka juga takut kepada Allah (dalam urusan anak yatim orang lain), dan
hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar (kepada orang lain yang sedang
akan meninggal).”

Ragam Tafsir
Tidak ada keraguan sedikitpun, Surat An-Nisa ayat 9 ini secara jelas menetapkan kehati-
hatian dalam urusan anak keturunan yang lemah. Telah maklum pula, bahwa frasa

“andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di belakang kematian mereka, maka


mereka mengkhawatirkannya”, merupakan sifat orang-orang yang diungkapkan Al-Quran
dengan diksi

Dengan demikian makna substansialnya, hendaklah orang-orang yang mempunyai sifat


takut atau khawatir atas nasib anak keturunanya bila ditinggal mati dalam kondisi lemah
secara finansial, juga takut kepada Allah.

Namun demikian, berkaitan apa yang ditakutkan atau konteksnya, tidak dijelaskan secara
terang dalam ayat (ghairu manshush). Karenanya ulama mufassirin berbeda
pendapat.Dalam hal ini ada lima pendapat yang dikenal dalam kitab-kitab tafsir
mainstrem di lingkungan Ahlussunnah wal Jamaah.

Pendapat pertama,Ibnu Abbas RA, Qatadah, Said bin Jubair, As-Sudi, Ad-Dhahak dan
Mujahidmenyatakan bahwa ayat ditujukkan kepada orang-orang yang mendatangi orang
sakit jelang kematiannya, agar mereka tidak membujuknya untuk mewasiatkan seluruh
hartanyakepada orang lain sehingga tidak menyisakan sedikitpun bagi ahli waris.

Umpamanya ia berkata: “Anakmu tidak membutuhkanmu sama sekali, maka wasiatkan


hartamu untuk Si Fulan ini dan Si Fulan itu.” Karenanya secara substansial ayat
menyatakan kepada mereka: “Sebagaimana kalian tidak senang anak-anak kalian ditinggal
mati dalam kondisi lemah, lapar dan tanpa harta, maka kalian takutlah kepada Allah dan
jangan membujuk orang sakit agar menghalang-halangi anak-anaknya yang lemah dari
mendapatkan harta waris mereka.”
4

Sederhananya, sebagaimana kita tidak rela hal itumenimpadiri kita, maka hendaknya kita
juga tidak melakukannya kepada orang lain, selaras dengan sabda Nabi SAW:

Artinya, “Salah seorang dari kalian tidak beriman secara sempurna sehingga menyukai
untuk saudaranya sebagaimana apa yang ia sukai untuk dirinya.” (Muttafaq „Alaih).

Pendapat kedua, Miqsam bin Bujrah dan Hadhrami Al-Yamami berpendapat, ayat ini
ditujukan untuk orang-orang yang menunggui orang sakit jelang kematiannya agar tidak
melarang mayit untuk mewasiatkan hartanya kepada orang lain.

Semisal ia berkata: “Tahanlah hartamu untuk ahli warismu. Tidak ada orang yang lebih
berhak terhadap hartamu daripada anak-anakmu”, dengan maksud mencegahnya dari
mewasiatkan harta kepada orang lain. Hal ini tentu merugikan kerabat orang tersebut dan
setiap orang yang semestinya mendapatkan wasiat harta darinya.

Nah, kemudian secara subtsansial ayat menegurnya: “Sebagaimana kalian


mengkhawatirkan nasib anak turun kalian dan kalian bahagia bila mereka mendapat
pelakuan baik dari orang lain, demikian pula kalian hendaknya mengeluarkan ucapan
yang benar untuk orang-orang miskin dan anak-anak yatim, dan takutlah kalian kepada
Allah jangan sampai merugikan mereka.”

Dari sini diketahui bahwa pendapat kedua berkesebalikan dengan pendapat pertama.
Imam Ar-Razi menyatakan, bila dibandingkan maka yang lebih tepat adalah pendapat
pertama. Sebab, frasa
“andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di
belakang kematian mereka, maka mereka mengkhawatirkannya” lebih selaras dengan
pendapat pertama.

Pendapat ketiga, ayat ini ditujukan kepada orang sakit jelang kematiannya dalam rangka
melarangnya darimewasiatkanharta secara berlebihan, sehingga selepas kematiannya tidak
menyebabkan ahli waris menjadi orang-orang yang lemah secara finansial. Kemudian bila
ayat ini turun sebelum pembatasan wasiat sejumlah sepertiga harta, maka lebih jauh
maksud ayat adalah agar orang tersebut tidak mewasiatkan seluruh hartanya hingga habis.

Sementara bila Surat An-Nisa ayat 9 ini turun setelah pembatasan wasiat, maka maksud
ayat adalah ia tetap boleh berwasiat dengan batas maksimal sepertiga harta, dan bila
mengkhawatirkan nasib anak keturunannya maka hendaknya ia mengurangi wasiatnya.

Riwayat dari para sahabatpun menunjukkan bahwa mereka hanya mewasiatkan sedikit
hartanya karena pertimbangan tersebut. Mereka berkata: “Seperlima lebih utama daripada
seperempat, dan seperempat lebih utama daripada sepertiga.” Hal ini selaras dengan
petunjuk Nabi SAW saat menjenguk Sa‟d bin Abi Waqqash RA di Makkah dan bersabda:
5

Artinya, “Maka sepertiga. Sepertiga itu sudah banyak. Sungguh Kamu tinggalkan ahli
warismu dalam kondisi kuat secara finansial itu lebih baik daripada Kamu tinggalkan
mereka dalam kondisi fakir meminta-minta orang lain dengan tangan mereka.” (HR. Al-
Bukhari).

Pendapat keempat, Ibnu Abbas RA dalam versi lain, menyatakan ayat ditujukan kepada
para wali yatim dalam rangka memerintahkan mereka agar memperlakukan anak yatim
dan hartanya secara baik. Seolah ayat ini mengatakan kepada mereka: “Hendaklah orang
yang takut atas nasib anaknya selepas kematiannya juga takut menyia-nyiakan harta anak
yatim orang lain yang lemah bila anak yatim tersebut dalam perawatannya”, atau
“Perlakukanlah anak-anak yatim dengan perlakuan yang kalian suka untuk anak-anak
kalian selepas kematian kalian”.

Dalam pendapat ini secara substansial maksud ayat adalah, Allah telah mengutus wali
untuk menjaga harta dan diri anak yatim, dan kehati-hatian dalam menjaganya sama
posisinyadengan kehati-hatian orang lain terhadap anak keturunan wali yang juga
disukainya, andaikan ia meninggal mati mereka dan juga meninggalkan harta benda untuk
mereka.

Pendapat kelima, merupakan penafsiran yang lebih luas dari Abu Bisyr Abdullah bin
Fairus ad-Dailami, yang menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia
agar takut kepada Allah dalam hal yang berkaitan dengan anak yatim dan anak orang lain
meskipun tidak dalam perawatannya. Bila berkata, maka berkata yang benar dan adil
kepada mereka, sebagaimana setiap orang menghendaki anaknya diperlakukan seperti itu
selepas kematiannya.

Yahya bin Abu Umar As-Saibani meriwayatkan, suatu kali ia berada di Kostantinopel
dalam satuan pasukan Maslamah bin Abdul Malik.Di suatu hari mereka berkumpul
bersama sejumlah ulama, di antaranya Abdullah bin Fairus ad-Dailami, membahas
kedahsyatan akhir zaman.

As-Saibani berkata kepada ad-Dailami: “Wahai Abu Bisyr, demi kebahagiaanku Aku
tidak ingin punya anak.” Ad-Dailami pun menjawab: “Apa yang memberatkanmu? Tidak
ada anak yang telah Allah pastikan keluar dari seseorang kecuali ia pasti akan keluar, suka
atau tidak suka.

Namun bila Kamu ingin aman atas mereka maka takutlah kepada Allah dalam hal yang
berkaitan dengan orang lain.” Dalam riwayat lain Ad-Dailami berkata: “Tidakkah Aku
tunjukkan kepadamu suatu hal yang bila kamu menemukannya maka Allah akan
menyelamatkanmu darinya, dan jika Kamu meninggalkan seorang anak selepas
kematianmu maka Allah akan menjaga mereka bagimu?”Kemudian Ad-Dailami membaca
ayat ini sampai selesai.
6

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Nilai-nilai pendidikan dalam keluarga menurut Al-Qur‟an surat At-Tahrim ayat 6 adalah
tentang pendidikan keimanan, pendidikan nasihat, pendidikan keteladanan, pendidikan
hukuman dan ganjaran.
Keluarga berperan penting dalam pendidikan karena dari merekalah mula- mula anak

akan menerima pendidikan. Para orang tua akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan

Allah Swt tentang pendidikan generasi ini. Dengan demikian anak akan menjadi baik

tidaknya tergantung dengan orang tua dalam mendidiknya.


7

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib, IlmuPendidikan Islam, Jakarta. Kencana,: 2008

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam islam Jilid 1. Jakarta. Pustaka

Amani. 2002

Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-PrinsipdanMetodePendidikan Islam. Bandung.

Diponegoro 1992

Abudin Nata, KapitaSelektaPendidikan Islam, Bandung. Angkasa, 2003

Achmadi, Islam SebagaiParadigmaIlmuPendidikan, Yogyakarta .Aditya media, 1992

Ahmad D. Marimba, PengantarFilsafatPendidikan, Bandung. Al Ma‟arif, : 1989

Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi,CV. Semarang .Toha

Putra, 1989 Arief Armai, Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta. CRSD Press. Cet.

1.2005

Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Jakarta .Gema Insani. 2004

Al-Qur‟an dan Tafsir Jilid VII, Universitas Iskam Indonesia, Yogyakarta, 1995

A.Mustofa,Akhlaq Tasawuf, Jakarta .Grafindo Persada. 2009

Andi Hakim Nasoetion, Pendikan Agama Dan AkhlakBagi Anak Dan Remaja. Jakarta

.Logos.2001

Arifin, HubunganTimbalBalikPendidikan Agama, Jakarta. Bulan Bintang. 1976

Atabik Luthfi, Tafsir Tazkiyah, Jakarta. Gema Insani. 2009

Bukhari Umar,Ilmu Pendidikan islam, Amzah, Jakarta,

ChabibThoha, KapitaSelektaPendidikan Islam,PustakaPelajar, Yogyakarta,1996

Anda mungkin juga menyukai