Anda di halaman 1dari 7

ً ِّ‫بَوَلَتأْكُلُواَأ ْموال ُه ْمَ ِّإلىَأ ْموا ِّلكَُ ْمَ ِّإنَّهَُكانَح ُْوبًاَكب‬

)٢(َ:‫َ(النساء‬،‫يرا‬ ِّ ِّ‫وَآتُواَالْيثْمِّىَأ ْموال ُه ْمَوَلَتتب َّدلُواَالْخبِّيْثَبِّالطَّي‬

Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan- tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An-Nisa’:
2).

• Asbabun Nuzul

Maqatil dan Al Kalbi berkata, ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari Ghathfan. Dia
memiliki harta yang banyak milik anak laki-laki dari saudara laki-lakinya yang yatim. Setelah si anak
yatim ini telah mencapai usia baligh, ia meminta hartanya. Namun pamannya mencegahnya atau tidak
memberikannya. Keduanya menghadap kepada Nabi saw. Lalu. Turun ayat tersebut. Setelah
mendengar ayat tersebut, sang paman berkata, “Kami taat kepada Allah dan Rasulnya. Kami
berlindung kepada Allah dari dosa besar”. Kemudian ia menyerahkan harta anak yatim itu padanya.
Lalu Nabi saw. Bersabda:

‫ يعني جنَّته‬.‫من يُوق شُح نفسه ورجع به هكذا فإنه يحُل داره‬

Artinya: Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya dan ia kembali dengannya begini, maka ia
akan menempati rumahnya, yakni surganya.

Setelah si pemuda mengambil hartanya, dia menafkahkannya fii sabilillah ta'ala. Nabi saw. Bersabda:

‫ثبت اْلج ُر وبقِي الوز ُر‬

Artinya: Baginya pahalanya dan tetaplah dosanya.

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kami mengetahui bahwa ia memperolah pahalanya, lalu
bagaimana dosanya tetap, sedang ia menafkahkan fii sabilillah?” Nabi saw bersabda:

‫ثبت اْلج ُر لِلغَُل ِم وبقِي الوز ُر على وا ِل ِد ِه‬

Artinya: Tetaplah pahalanya bagi si anak dan tetaplah dosanya bagi orang tuanya.

• Tafsir Ayat
(1) Tafsir Al Wajiz (Syekh Wahbah Zuhailiy)
Wahai para wali berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta mereka ketika telah
dewasa. Yatim adalah orang yang kehilangan ayahnya sebelum dewasa. Dan janganlah
kalian mengambil harta anak yatim dan meletakkannya pada tempat yang buruk, yaitu
dicampur dengan harta kalian. Dan janganlah kalian ambil harta mereka, untuk kalian
tambahkan pada harta kalian. Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa yang
amat agung. Ayat ini turun untuk leki-laki dari Bani Ghatfan yang menjaga harta
keponakannya. Ketika keponakannya sudah besar dan meminta harta tersebut,
pamannya tersebut mencegahnya. Lalu keduanya meminta keadilan kepada Nabi SAW
, lalu turunlah ayat ini.
(2) Tafsir Ringkas Kementerian Agama RI
Ayat berikut ini menjelaskan siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka
bertakwa kepada Allah. Dan berikanlah, wahai para wali atau orang yang diberi wasiat
mengurus, kepada anak-anak yatim yang sudah dewasa lagi cerdas untuk mengelola
harta mereka sendiri yang ada di dalam kekuasaanmu, dan janganlah kamu menukar
harta anak yatim yang baik, lalu karena ketamakan kamu mengambil atau menukar
harta mereka. Tindakan itu sama halnya menukar yang baik dengan yang buruk. Dan
demikian pula, janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu dengan ikut
memanfaatkan harta mereka demi kepentingan diri sendiri. Sungguh, tindakan
menukar dan memakan itu adalah dosa yang besar. Jika kamu melakukan hal itu, kamu
akan mendapat laknat dan murka dari Allah diriwayatkan dari aisyah bahwa ayat ini
turun berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di
mana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali tertarik dengan kecantikan
dan harta anak yatim itu, maka ia ingin mengawininya tanpa memberinya mahar yang
sesuai, lalu turunlah ayat ini. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap hak-hak perempuan yatim yang berada di bawah kekuasaanmu, lantaran
muncul keinginan kamu untuk tidak memberinya mahar yang sesuai bilamana kamu
ingin menikahinya, maka urungkan niatmu untuk menikahinya, kemudian nikahilah
perempuan merdeka lain yang kamu senangi dengan ketentuan batasan dua, tiga,
atau empat orang perempuan saja. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil apabila menikahi lebih dari satu perempuan dalam hal memberikan
nafkah, tempat tinggal, atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka nikahilah seorang
perempuan saja yang kamu sukai atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki
dari para tawanan perang. Yang demikian itu lebih dekat pada keadilan agar kamu
tidak berbuat zalim terhadap keluarga. Karena dengan berpoligami banyak beban
keluarga yang harus ditanggung, sehingga kondisi seperti itu dapat mendorong
seseorang berbuat curang, bohong, bahkan zalim.
Referensi : https://tafsirweb.com/1534-surat-an-nisa-ayat-2.html

(3) Tafsir Al Muyassar (Kementerian Agama Saudi Arabia)


Dan berikanlah kepada anak-anak yang telah ditinggal mati oleh ayah-ayah mereka
sebelum usia baligh, (sedang kalian berstatus sebagai penerima wasiat), harta-harta
mereka ketika mereka telah mencapai usia baligh, dan kalian telah dapat melihat dari
mereka adanya kemampuan untuk menjaga harta mereka. Dan janganlah kalian
mengambil barang yang baik harta mereka dan menukar harta tersebut dengan
barang buruk dari harta kalian. Dan janganlah kalian mencampuradukan antara harta
mereka dengan harta milik kalian denga tujuan supaya kalian bias mencari alasan
untuk bias memakan harta mereka dengan itu. Sesungguhnya orang yang lancang
melakukannya, sungguh dia telah mengerjakan dosa yang besar.

‫وإِن خِ فتُم أ َّّل تُق ِسطُوا فِي اليتمى فان ِكحُوا ما طاب لكُم مِن النِساءِ مثنى وثُلث و ُربع فإِن خِ فتُم أ َّّل تع ِدلُوا فواحِ دة أوما‬

)٣ :‫ملكت أيمانُكُم ذلِك أدنى أّل تعُولُوا (النساء‬

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya. (QS. An-Nisa’: 3).

• Asbabun Nuzul
(1) Abu Bakar At-Tamimi memberitahu kami. Abdullah bin Muhammad Memberitahu kami, Abu
Yahya memberitahu kami, Sahal bin Utsman memberitahu kami. Yahya bin Abi Zaidah
memberitahu kami. Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah mengenai firman Allah
Ta’ala (An Nisa':3), Aisyah berkata: "Ayat ini turun mengenai seorang laki-laki yang padanya
terdapat anak perempuan yatim, sedang ia menjadi walinya. Sementara si anak perempuan
yatim itu mempunyai harta yang masih ada padanya. Sedang ia tidak mempunyai seorang
pun sebagai teman bicara (tempat mengadu) selain dirinya sendiri. Laki-laki itu tidak
menikahkannya karena ia menyukai hartanya. Ia bersikap jahat padanya dan mempergaulinya
dengan tidak nyaman. Lalu Allah swt. berfirman: ("Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi," QS. An-Nisa: 3). Ia berkata: "Aku tidak
halalkan bagimu dan tinggalkanlah perbuatan jahat yang membahayakannya itu."
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Kuraib, dari Abi Usamah, dari Hisyam)
(2) Sa'id bin Jubair berkata, begitu juga Qatadah, ar-Rabi, ad-Dhahak dan as-Suddiy, mereka
berbuat dosa mengenai urusan harta anak yatim dan meminta dispensasi (rukhshah)
mengenai urusan para wanita, mereka ingin mengawininya menurut kehendaknya, mungin
mereka bisa berbuat adil atau bisa jadi mereka tidak berbuat adil. Ketika mereka bertanya
tentang persoalan urusan harta benda anak yatim, turunlah ayat: "Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan
yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An-Nisa’ : 2),
dan Allah juga menurunkan ayat: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak- hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3). Sebagaimana
kamu tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak yatim. Begitu juga kamu merasa takut tidak
dapat berbuat adil terhadap isteri-isterimu. Oleh sebab itu janganlah kamu kawin lebih banyak
(poligami) yang memungkinkan bagimu dapat menunaikan hak mereka secara adil. Karena
para wanita (isteri), seperti anak-anak yatim dalam hal kelemahan dan ketidak mampuannya.
Ini adalah riwayat Ibnu Abbas di dalam riwayat al-Wali.

• Tafsir Ayat
(1) Tafsir Al Muyassar
Dan jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil dalam memperlakukan anak-anak
yatim perempuan yang berada di bawah tanggung jawab kalian, dengan tidak
memberikan kepada mereka mahar-mahar mereka seperti wanita lainnya, maka
tinggalkanlah mereka dan nikahi wanita-wanita yang kalian sukai sealin mereka, dua,
tiga, atau empat. Lalu apabila kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara
mereka, maka cukuplah kalian dengan satu saja, atau dengan budak-budak
perempuan yang kalian miliki. Hal itulah yang telah Aku syariatkan bagi kalian terkait
anak-anak yatim perempuan dan menikahi seorang wanita sampai empat, atau cukup
menikahi seorang perempuan saja ata hambasahaya perempuan yang kalian miliki, itu
adalah lebih dekat untuk tidak berbuat curang dan melampaui batas.
Referensi : https://tafsirweb.com/1535-surat-an-nisa-ayat-3.html
(2) Aisarut Tafasir (Syekh Abu Bakar Jabir Al Jazairi)
Makna kata :
َ‫أَلَتﻘﺴﻄﻮا‬alla tuqsithu: kalian tidak adil
َ ‫مﺜﻨىَوثﻼثَورباﻉ‬Matsna wa tsulatsa wa ruba’: dua, tiga atau empat yang mana tidak
halal lebih dari empat.
َ‫أدنىَأَلَتﻌﻮلﻮا‬Adna alla ta’ulu: Lebih dekat untuk tidak condong diantara para istri.

Makna ayat :
Adapun makna ayat yang kedua: Allah telah memberikan petunjuk kepada para wali
anak perempuan yang yatim, hendaknya mereka takut dari memperlakukan tidak adil
terhadap perempuan-perempuan yatim. Jika para wali yatim menikah lebih baik untuk
menikah dengan dua, tiga atau empat dari para wanita selain dengan wanita-wanita
yatim yang dalam pengasuhannya. Menikah dengan dua, tiga, atau tiga sesuai dengan
kemampuannya adalah lebih baik daripada menikah dengan anak yatim yang di bawah
kepengasuhannya kemudian melahap harta wanita yatim tersebut sebab hak yatim
tersebut itu ebih dibutuhkan oleh para kerabatnya. Ini adalah makna dari ayat {َ‫وإن‬
}َ ‫خﻔﺘﻢَأَلَتﻘﺴﻄﻮاَﻓﻲَالﻴﺘامىَﻓانﻜﺤﻮاَماَﻃابَلﻜﻢَمﻦَالﻨﺴاءَمﺜﻨىَوثﻼثَورباﻉ‬
Firman Allah ta’ala {ََ}‫ﻓﺈنَخﻔﺘﻢَأَلَتﻌﺪلﻮاَﻓﻮاحﺪﺓَأوَماَملﻜﺖَأيﻤانﻜﻢ‬Allah ingin jikalau seorang
mukmin takut untuk tidak berbuat adil kepada para istrinya karena ketidak
mampuannya, maka menikahlah dengan satu wanita saja dan merasa cukup
dengannya serta tidak menikah dengan yang lain. Atau menikah dengan budak
wanitanya jikalau dia memiliki hamba sahaya, dan yang demikian itu lebih selamat
daripada pernikahannya dengan anak yatim akan berakibat melencengnya seorang
mukmin dan terlazimnya para wanita. Ini adalah makna ayat {َ‫ﻓﺈنَخﻔﺘﻢَأَلَتﻌﺪلﻮاَﻓﻮاحﺪﺓَأو‬
}‫ماَملﻜﺖَأيﻤانﻜﻢَﺫلﻚَأدنىَأَلَتﻌﻮلﻮا‬
Pelajaran dari ayat :
• Bolehnya menikahi lebih dari satu wanita sampai 4 selama tiada ketidakadilan dan
kecondongan.
(3) Tafsir Al Mukhtashor (Markaz Tafsir Riyadh)
Dan apabila kalian takut tidak akan dapat berlaku adil jika kalian menikah dengan
anak-anak perempuan yatim yang berada di bawah perwalian kalian (boleh jadi takut
mengurangi mas kawin yang seharusnya menjadi hak milik mereka, atau
memperlakukan mereka secara buruk) maka hindarilah mereka dan menikahlah
dengan wanita-wanita baik lainnya. Jika kalian mau, menikahlah dengan dua wanita,
tiga wanita atau empat wanita. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil
kepada mereka, maka cukuplah menikah dengan satu wanita saja. Atau bersenang-
senanglah dengan budak-budak wanita yang kalian miliki, karena hak-hak mereka
tidak sama dengan para istri. Ketentuan yang ada di dalam ayat tersebut yang
berkenaan dengan urusan anak-anak yatim, membatasi diri dengan menikahi satu
orang wanita, dan bersenang-senang dengan budak wanita itu lebih memungkinkan
kalian untuk tidak berbuat sewenang-wenang dan menyimpang dari kebenaran.

‫وابتلُوا اليتمى حتَّى إِذا بلغُوا النِكاح فإِن أنستُم مِن ُهم ُرشدا فادفعُوا إِلي ِهم أموال ُهم وّل تأكُلُوها إِسرافا و بِدارا أن يكب ُروا ومن كان غنِيًّا‬
ِ َّ ‫فليستعفِف ومن كان فقِيرا فليأكُل ِبالمع ُروفِ فإِذا دفعتُم ِإلي ِهم أموال ُهم فأش ِهدُوا علي ِهم وكفى ِب‬
َ)٦:‫اّلل حسِّيبًاََ(النساء‬

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara hartu), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan
itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisa’: 6).

• Asbabun Nuzul
Ayat ini turun mengenai Tsabit bin Rifa’ah dan pamannya. Yaitu Bahwa Rifa’ah meninggal
dunia, meninggalkan anak laki-laki yang masih kecil bernama Tsabit. Lalu paman Tsabit datang
menghadap kepada Nabi Saw. Dan berkata. “Sesungguhnya putera saudaraku menjadi yatim
berada di dalam asuhanku. Apa yang halal bagiku dari hartanya dan kapa aku Harus
menyerahkan hartanya kepadanya?” Lalu Allah menurunkan ayat: (“Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai Memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan Dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
Dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah Ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa Miskin, maka bolehlah ia makan harta
itu menurut yang patut. Kemudian Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kamu Adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”. (QS. An-Nisa`: 6).
• Tafsir Ayat
(1) Tafsir Al Muyassar
Dan ujilah orang-orang yang berda dalam mengasuh kalian dari anak-anak yatim untuk
mengetahui kemapuan mereka mengelola harta mereka dengan baik, sehingga
apabila dia telah mencapai usia baligh dan kalian melihat keshalihan pribadi mereka
dalam beragama dan kemampuan untuk menjaga harta benda mereka, maka
serahkanlah (harta benda) itu kepada mereka, dan janganlah kalian melakukan
melampaui batas terhadapnya dengan mempergunakannya bukan pada tempat yang
sepatutnya dengan berlebihan-lebihan dan bersegera menghabiskannya sebelum
mereka mengambilnya dari kalian. Barangsiapa diantara kalian memiliki harta yang
cukup ,hendaknya menjaga diri dengan kecukupan yang ada pada dirinya dan tidak
mengambil sedikit pun dari harta anak yatim. Dan barang siapa yang miskin,
hendaknya mengambil sesuai kebutuhannya saja ketika darurat. Lalu apabila kalian
telah mengetahui bahwa mereka mampu menjaga harta-harta mereka setelah mereka
mencapai usia baligh dan kalian serahkan harta itu kepada mereka maka
persaksikanlah atas mereka, demi memastikan sampainya hak mereka dengan
sempurna kepada mereka, dan agar mereka tidak mengingkari di kemudian hari. Dan
cukuplah Allah bagi kalian bahwa DIA mengawasi kalian dan memperhitungkan amal
perbuatan kalian sesuai apa yang kalian buat.
(2) Tafsir As Sa'di (Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di)
Ujian adalah cobaan dan latihan. Yang demikian itu adalah dengan menyerahkan
sesuatu dari hartanya kepada anak yatim yang telah mendekati kedewasaan, lalu ia
membelanjakan uang itu untuk kebutuhannya dengan sepatutnya menurut kondisinya
saat itu, hingga jelaslah saat itu antara kedewasaan ataupun ketidakmampuannya
membelanjakan menurut yang sepatutnya. Bila ia masih belum mampu dalam
membelanjakan hartanya, maka hartanya tidak diberikan kepadanya, dan ia masih
dinyatakan tetap dalam kondisi tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik,
meskipun ia telah mencapai umur yang cukup dewasa. Apabila telah terbukti
kedewasaan dan kemampuannya dalam membelanjakan hartnya dengan baik,
walaupun ia telah mencapai umur yang cukup dewasa. Apabila telah terbukti
kedewasaan dan kemampuannya dalam membelanjakan harta dengan sepatutya
serta telah mencapai cukup usia untuk menikah, maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya, secara sempurna dan seluruhnya. Dan janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan, ”yakni melampaui batas yang halal yang
dibolehkan olah Allah untuk kalian dari harta mereka, kepada yang haram yang telah
diharamkan oleh Allah atas kalian dari harta mereka. Dan janganlah kamu tergesa-
gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa,” maksudnya, janganlah kamu
meakan harta mereka saat mereka masih kecil, dimana mereka saat itu belum mampu
mengambil dari kalian dan mereka juga tidak mampu melarang kalian, secara-gesa
terburu-buru sebelum mereka menjadi dewasa, dimana mereka mengambil harta
mereka dari kalian dan melarang kalian dari sekeliling. Yang seperti ini adalah kejadian
nyata yang terjadi pada sebagian besar para wali yang tidak memiliki rasa takut kepada
Allah dan tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap orang-orang yang ia lindungi
tersebut. Para wali itu melihat bahwa hal tersebut adalah suatu kesempatan bagi
mereka hingga mereka memanfaatkannya sebaik mungkin, dan dengan tergesa-gesa
mereka mengambil apa yang diharamkan oleh Allah atas mereka. Itulah sebabnya
Allah ta’ala melarang perbuatan seperti itu secara khusus.
(3) Aisarut Tafasir
Makna kata :
ََ}‫{وابﺘلﻮاَ الﻴﺘامى‬Wabtalul yatama : ujilah anak-anak yatim supaya kalian tahu apakah
mereka telah layak dan dapat membelajakan harta dengan baik.
َ}‫{بلﻐﻮاَالﻨﻜاﺡ‬Balaghun nikah : mencapai umur nikah, akil balig.
َ}‫{آنﺴﺘﻢ‬Aanastum : kalian melihat kedewasaan ketika mereka membelanjakan harta.
َ}‫{إسﺮاﻓاَوبﺪارا‬irsrafan wa bidaron
َ‫َاﻹسﺮاﻑ‬:al Israf adalah menggunakan harta tanpa kebutuhan penting.
ََ‫الﺒﺪار‬:al Bidar adalah bersegera dengan cepat untuk memakan harta para yatim
sebelum berpindah tangan kepada mereka setelah mereka mencapai kedewasaan.
َ}‫{ﻓلﻴﺴﺘﻌﻔﻒ‬Fal yasa’fif mencukupkan diri dari memakan harta yatim
ََ}‫{ﻓلﻴأكﻞَ بالﻤﻌﺮوﻑ‬Fal ya’kul bil ma’ruf : makanlah harta mereka sebagai kebutuhan
berikutnya
}‫{وكﻔىَ بَ اﻪﻠﻟَ حﺴﻴﺒا‬Wa kafa billahi hasiba: dan Allah Maha Pengawas maka rekreasilah
untuk para yatim.

Makna ayat :
Adapun ayat selanjutnya Allah telah memerintahkan kita untuk menguji para yatim
tatkala mencapai usia dewasa atau mendekati balig dengan cara diberikan harta dan
diperintahkan untuk menjual atau membeli sesuatu. Jika mereka dapat menggunakan
harta dengan baik, maka serahkanlah harta para yatim kepada diri mereka dan
menyebarkannya akan hal itu untuk mengantisipasi jikalau di antara mereka ada yang
berkata, “hartaku belum diberikan kepada saya”. Allah berfirman {َ}‫وكﻔىَ باﻪﻠﻟَ حﺴﻴﺒا‬
“Cukuplah Allah Maha Penjaga, Pengawas dan Pendamping”. Allah melarang untuk
memakan harta secara boros, terburu-buru sampai mereka besar. Yakni, haram bagi
kalian para wali anak yatim untuk memakan harta mereka yang melebihi kadar
kebutuhan dan cerobong asap saat mereka belum besar agar harta para yatim itu
berpindah kepadanya.
Dan memberikan rambu-rambu yang paling lurus dan paling baik dalam menafkahkan
harta anak yatim seraya berfirman {“َ}‫ومﻦَكانَﻏﻨﻴا‬barangsiapa diantara kalian adalah
orang kaya” maka merasalah cukup dan tidak mengambil sesuatupun dari harta anak
yatim. {“َ}‫ومﻦَكانَﻓﻘﻴﺮاَﻓلﻴأكﻞَبالﻤﻌﺮوﻑ‬barangsiapa fakir, maka makanlah secara makruf”
. Yang demikian adalah dengan meminjam harta para yatim dan mengembalikannya
saat lapang. Apabila sang wali adalah seorang yang fakir, maka boleh dihitung sebagai
upah seperti layaknya para pekerja. Bilamana si wali adalah orang kaya, maka
bertugaslah secara Cuma-Cuma dan ketidakseimbangannya dari Allah. Allah tiadalah
menyia-nyiakan pahala orang yang beramal solih.

Pelajaran dari ayat :


• Wajib diadakan pengujian sebelum harta diserakan kepada si yatim, tidak akan
terjadi penyerahan harta sebelum terlaksananya ujian.
• Wajibnya mengadakan persaksian saat menyerahkan harta yatim kepada pemiliknya
setelah mereka mencapai umur balig dan dewasa.
• Haramnya memakan harta safih dan yatim secara mutlak.
• Apabila sang wali yatim adalah seorang yang kaya, maka tidaklah diperkenankan
mengambil harta yatim sepeserpun. Jikalau dia adalah seorang yang miskin, maka
dibolehkan untuk meminjamnya dan mengembalikannya saat sanggup. Andai kata
dibutuhkan pekerja untuk mengurus si yatim, diperbolehkan untuk sang wali agar
mengambil upah yang layak.

Anda mungkin juga menyukai