Npm : 1702100029
Jurusan/kelas : S1 Perbankan Syariah/F
MK : Tafsir Ayat Ekonomi dan Perbankan 1
1. Larangan Memakan Harta Anak Yatim dan Perintah Memenuhi Janji Serta
Perintah Jujur dalam Menimbang.
Al-isro (17): 34-35:
Artinya;
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebib baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya. Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.”
Tafsir
Ayat 34
Firman Allah: Perintah ini ditujukan kepada wali anak yatim, “Dan jangan lah kamu
mendekati harta anak yatim”, maksudnya janganlah kamu berlaku boros dalam
menggunakan harta anak yatim, “kecuali dengan ja;an yang baik” maksudnya harus
menjaganya jangan sampai rusak atau hilang, bahkan hendaknya dia (wakil anak yatim)
mengembangkannya.
Firman Allah: “sampai ia dewasa”, maksudnya sampai anak yatim itu memasuki usia
rusyd, dan mampu mendaya gunakan hartanya dengan baik.
Firman Allah: “penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya”. Maksudnya, penuhilah janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada
manusia, karena janjimu itu akan dipertanyakan/dimintakan pertanggung jawabannya
pada hari kiamat.
Ayat 35
Firman Allah: “dan timbanglah dengan neraca yang benar”, maksudnya, timbanglah
dengan timbangan yang adil yang seimbang tanpa ada penipuan dan perbuatan curang.
Ayat imi ditutup dengan firman Allah “itulah yang lebih utama (bagimu)dan lebih baik
akibatnya”. Artinya, menyempurnakan takaran dan menimbang dengan benar lebih baik
di dunia dan sebaik-baik harta di akhirat.
Kandungan Hukum
b) Wajib memberikan harta anak yatim bila ia telah dewasa dan sudah mampu
mengelola hartanya.
Artinya;
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabb-nya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan kesaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
1
Mardani, Tafsir Ahkam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 335-338
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha-mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Tafsir
Ayat ini menerangkan bagi orang yang mengadakan muamalah untuk terus
menjaga menepati amanat, maka dapat diartikan bahwa Allah berfirman bahwa jika
diantara kalian merasa aman tanpa menggunakan seorng penulis, saksi, dan gadai, maka
hendaklahyang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) yakni utang yang
menjadi tanggungan orang berutang tanpa menggunakan gadai.
“wallahu bima la’maluna aliim” yakni Allah mengetahui segala sesuatu, maka
Allah Akan membalas setiap manusia menurut amal perbuatannya. Oleh karena itu,
takutlah kamu apabila menentang-Nya dan janganlah menyembunyikan penyaksian atau
mengambil tanpa hak.
Kandungan Hukum
a) Kebolehan menggadaikan sesuatu pada waktu bepergian atau tidak bepergian (di
rumah) menurut pendapat ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah.
b) Kebolehan menggadaikan sesuatu pada waktu bepergian saja. Kebolehan gadai
pada waktu dirumah (tidak bepergian) adalah makruh, menurut pendapat
Mujahid.
c) Gadai yang sah dengan syarat; yang pertama, harus menyerahkan barang yang
digadaikan. Yang kedua, barang yang digadaikan harus jelas atau nyata, menurut
ulama Hanafiyah tidak bisa boleh menggadaikan barang milik orang banyak, baik
itu bisa dibagi atau tidak dapat dibagi. Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah
boleh menggadaikan barang milik orang banyak, baik itu bisa dibagi atau tidak
dapat dibagi.2
2
Ahmad Muhammad Al-Hmushari, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2014),
hlm 185-188
Surah An-Nissa(4) 2;
ب َواَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَهُ ْم ِإلَى أَ ْم َوالِ ُك ْم إِنَّهُ َكانَ حُوبًا َكبِيرًا
ِ ِّيث بِالطَّي
َ َِوآتُوا ْاليَتَا َمى أَ ْم َوالَهُ ْم َواَل تَتَبَ َّدلُوا ْال َخب
Artinya:
”Dan berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta-harta mereka. Dan janganlah
kalian mengganti yang buruk dengan yang baik, jangan mencampurkan harta mereka ke
dalam harta kalian, sesungguhnya (perbuatan itu) merupakan dosa yang besar.”
Tafsir
Firman Allah َوالَهُ ْمbا َمى أَ ْمbbَوا ْاليَتbbُ َوآت, berikanlah kepada anak yatim harta mereka, dan
janganlah kamu memakannya dengan cara yang batil. Maksudnya, wahai para wali
(orang yang ditunjuk untuk mengurus anak yatim), jagalah harta mereka, dan janganlah
kamu menggunakannya untuk berbuat dosa, dan serahkanlah harta tersebut bila mereka
sudah balig, karena anak yatim itu belum mampu menjaga hartanya dan belum mampu
mendayagunakannya.
Firman Allah بِ ِّيث بِالطَّي َ ِواَل تَتَبَ َّدلُوا ْالخَ ب,
َ maksudnya janganlah kamu menukar harta yang
haram, yakni harta anak yatim dengan yang halal, yakni harta hasil usahamu. Secara
ringkas yakni, janganlah kamu bersenang-senang dengan harta anak yatim, sebagaimana
kamu bersenang-senang dengan hartamu. Jika kamu berbuat demikian, berarti kamu telah
menukar harta anak yatim dengan hartamu.
Firman Allah َوالِ ُك ْمb َوالَهُ ْم إِلَى أَ ْمbأْ ُكلُوا أَ ْمbbَواَل ت,
َ dan jangan kamu memakan harta mereka
bersama hartamu. Yang dimaksud dengan memakan pada ayat diatas, yaitu menggunakan
harta anak yatim untuk usaha yang dapat menghilangkannya (menjadi rugi). Kata إِلَىpada
ayat diatas mempunyai arti janganlah kamu memakan harta anak yatim dengan cara
mencampurnya dengan hartamu, sehingga tidak dapat dipisahkan mana yang menjadi
harta anak yatim dan mana yang menjadi hartamu, karena pada perbuatan tersebut,
menyebabkan bercampurnya antara harta haram dan harta halal.
Firman Allah إِنَّهُ َكانَ حُوبًا َكبِيرًا, sesungguhnya memakan harta anak yatim itu termasuk
dosa besar.
Kandungan Hukum
a) Wajib hukumnya menyerahkan harta anak yatim, ketika dia telah mencapai usia
balig (sudah dapat menggunakan hartanya dan mengelolanya dengan baik).
b) Haram hukumnya bagi wali (orang yang mengurus harta anak yatim) menukar
harta anak yatim dengan hartanya.
c) Haram hukumnya memakan harta anak yatim, yakni dengan cara mencampur
harta anak yatim dengan harta walinya.3
3
Mardani, Tafsir Ahkam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 338-340