Anda di halaman 1dari 18

AL HAJR

RAHMAT RISYAWAL M.
AL-HAJR (PENGAMPUAN)

Pengertian
Al-Hajr berarti larangan dan penyempitan/pembatasan. Istilah hukum perdata berarti
pengampuan. Al-Hajr dalam fikih Islam ditemui dalam pembahasan tindakan kecakapan
melakukan tindakan hukum bagi seseorang. Al-Hajr maksudnya seseorang dilarang
melakukan tindakan hukum. Berkenaan dengan al-Hajr para ulama membuat
definisi. Ulama mazhab Hanafi membuat definisi:
a. Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak secara hukum
terhadap hartanya. Apabila seseorang yang berstatus dibawah pengampuan melakukan
tindakan hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli atau hibah, maka tindakannya tidak
sah.
b. Larangan khusus yang berhubungan dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum
tertentu pula.
Berdasarkan definisi kedua ini, apabila orang yang berada dalam pengampuan melakukan
suatu tindakan yang bersifat ucapan atau pernyataan, maka akad yang dilakukannya itu
tidak sah, kecuali ia mendapat izin dari walinya (pengampunya). Selama yang
bersangkutan masih berstatus pengampuan, segala kegiatan atau tindakan yang berakibat
merugikan harta benda, maka kegiatan itu harus diambil dari hartanya, dan jika tidak
punya harta, diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, walaupun bagaimana
hukuman fisik tidak boleh dilakukan kepada orang yang berada dalam pengampuan. Ulama
Mazhab Maliki mendefinisikan:
“Status hukum yang diberikan syara’ kepada seseorang sehingga dia dilarang melakukan
tindakan hukum di luar batas kemampuannya atau melakukan suatu tindakan pemindahan
hak milik melebihi sepertiga hartanya”
Mereka berpendapat, bahwa penentuan seseorang benar dibawah pengampuan didasarkan
kepada ketentuan syara’. Orang yang dilarang melakukan tindakan hukum diluar batas
kemampuannya adalah anak kecil, orang gila, orang dungu, dan orang jatuh pailit. Mereka
semua dilarang melakukan tindakan secara hukum seperti jual-beli atau pemindahan hak
milik lainnya. Apabila melakukan hal itu, maka tindakannya tidak berlaku dengan
sendirinya. Namun, sebagai akibat dari tindakan hukum yang mereka lakukan, mereka
harus mendapat izin dari walinya. Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan
hak miliknya melebihi sepertiga hartanya adalah orang sakit yang diduga keras
penyakitnya tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu berakhir dengan kematian.
Segala bentuk jual-beli dari orang seperti ini tidak dilarang. Tindakan pemindahan hak
secara sukarela seperti hibah, wasiat dan sedekah hanya dibolehkan sampai sepertiga
hartanya. Selebihnya tidak dapat dibenarkan.
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali mendefinisikan al-Hajr dengan:
“Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan tindakan hukum
yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila dan orang dungu, atau muncul dari hakim,
seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual barangnya melebihi harga pasar”
Sementara dalam Buku Fiqh Muamalah yang ditulis Nasrun Haroen (2000) menjelaskan
mengenai Al Hajr atau Pengampuan, sebagai berikut :
Secara etimologi, al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara ‘alaihi
hajran, artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam al-Qur’an, kata al-
Hajr juga digunakan dalam arti akal, karena akal dapat menghambat seseorang melakukan
perbuatan yang berakibat buruk.
Secara terminologi, dijumpai beberapa definisi al-Hajr yang dikemukakan para ulama fiqh.
Akan tetapi, pada dasarnya, definisi-definisi itu secara substansial adalah sama. Di
kalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat dua definisi, yaitu:
Pertama,
Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak hukum terhadap
hartanya.
Apabila seseorang yang berstatus di bawah pengampuan melakukan tindakan hukum
dalam bentuk perkataan yang berakibat kepada hartanya, seperti jual beli atau hibah, maka
tindakannya itu tidak dapat dilaksanakan, serta segala akibat akad itu tidak berlaku, karena
akadnya sendiri tidak sah.
Kedua,
Larangan khusus yang berkaitan dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum tertentu
pula.
Apabila orang yang dalam pengampuan melakukan suatu tindakan hukum yang bersifat
ucapan atau pernyataan, transaksi yang ia lakukan itu tidak sah, kecuali bila ia
mendapatkan izin dari walinya (yang mengampunya). Apabila orang yang dalam status
pengampuan melakukan suatu tindakan mengakibatkan kerugian harta benda, maka
kerugian harta benda, maka kerugian itu harus diganti dengan hartanya, jika ia punya
harta, atau diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, hukuman yang bersifat fisik
tidak boleh dikenakan kepada orang-orang yang berada dalam pengampuan itu.
Ulama Malikiyah mendefinisikan al-Hajr dengan:
Status hukum yang diberikan syara’ kepada seseorang sehingga ia dilarang melakukan
tindakan hukum diluar batas kemampuannya, atau melakukan seuatu tindakan
pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya.
Mereka berpendapat bahwa penentuan seseorang berada di bawah pengampuannya
didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang yang dilarang melakukan tindakan hukum di
luar batas kemampuannya, menurut mereka, adalah anak kecil, orang dungu, orang yang
jatuh pailit, dan sebagainya. Mereka semua dilarang melakukan tindakan hukum seperti
jual-beli, atau melakukan perpindahan hak milik lainnya. Apabila mereka melakukan suatu
tindakan hukum. Maka akibat dari tindakan hukum itu tidak berlaku dengan sendirinya,
sebagaimana yang berlaku bagi orang yang tidak dalam pengampuan, tetapi akibat hukum
tindakan mereka harus mendapat izin dari wali pengampunya. Sedangkan orang yang
dilarang memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya, adalah orang
sakit yang diduga keras tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu membawa
kepada kematiannya (mardh al-maut). Segala bentuk transaksi jual beli orang seperti ini
tidak dilarang. Berkenaan dengan tindakan pemindahan hak milik secara sukarela, seperti
hibah, wasiat, dan sedekah, hanya diberlakukan dan diperbolehkan sampai sepertiga
hartanya.Lebih dari itu tidka dibenarkan.
Kemudian, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, mendefinisikan al-Hajr dengan:
Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan itu datangnya
dari syara’ seperti larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila,
orang dungu, maupun muncul dari hakim, seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk
menjual barangnya.

Dasar hukum al-Hajr


Ulama fiqh menyatakan, bahwa yang menjadikan dasar hukum untuk menetapkan status
seseorang dibawah pengampuan adalah firman Allah:

"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum


sempurna akalnya268, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
Selanjutnya Allah SWT berfirman:

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim
lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri
(memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka
bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian
itu)."
Juga firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki,
maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali
jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah
kepada Allah ; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu."

Disamping ayat-ayat di atas, disebutkan juga dalam hadist Rasulullah SAW:


“Dari Ka’ab bin Malik: Sesungguhnya Nabi SAW telah menahan harta Mu’az dan beliau jual
hata itu untuk membayar hutangnya” (HR. Daru-Quthni)
Dalam suatu riwayat juga dijelaskan bahwa, Usman bin Affan pernah didalam pengampuan
Rasulullah, karena sikap mubazir yang dilakukan oleh Usman. Berdasarkan ayat-ayat dan
hadits di atas, para ulama menyatakan, bahwa al-Hajr dapat terjadi karena seseorang
kurang akal, dungu, gila, dan masih kecil karena tindakannya merugikan diri sendiri seperti
orang boros (mubazir) dan orang bodoh atau merugikan orang lain, seperti orang jatuh
pailit dan sakit berat.
Adapun landasan hukum al-Hajr dalam sunnah Rasulullah adalah dalam sebuah riwayat
yang menyatakan bahwa Rasul SAW pernah menjadikan Mu’az terlilit utang. Rasulullah
SAW lalu menjual harta Mu’az untuk melunasi hutangnya. Demikian pula Rasulullah SAW
pernah menjadikan Usman ibn Affan dalam pengampuannya, karena sikap mubazir yang
dilakukan Usman (HR al-Baihaqi, ad-Daruqothru, dan al-Hakim dari Ka’ab ibn Malik).
Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulama menyatakan bahwa al-Hajr itu boleh karena
seseorang kurang akal, seperti anak kecil dan orang gila, atau karena tindakannya
merugikan dirinya sendiri, seperti orang mubazir dan orang bodoh, atau merugikan orang
lain, seperti orang yang jatuh pailit dan mardh al-maut.

Hikmah al-Hajr
Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak
asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi
pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar
memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal muamalah, syara’ menginginkan
agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila
ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka
hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar
segala kegiatan muamalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu orang. Demikian juga
halnya orang yang jatuh pailit dan orang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara
hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih
berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa
pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan
anak cucu harus diperhatikan sebagaimana firman Allah An-Nisa:9

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar."

Macam-macam al-Hajr
Dilihat dari segi tujuannya, ulam fiqh membagi al-Hajr kepada dua bentuk:
1) Untuk kemaslahatan orang yang berada dibawah pengampuan, seperti anak kecil,
orang gila, orang dungu, dan pemboros.
2) Untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang pailit (debitor pailit) dan orang yang
sedang dalam keadaan sakit parah (mardh al-maut).
Penyebab al-Hajr
Penyebab al-Hajr itu ada yang disepakati oleh para ulama fiqh dan ada pula yang
diperselisihkan. Penyebab yang disepakati oleh ulama fiqh adalah seperti pengampuan
terhadap anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap bertindak secara hukum.
Penyebab yang diperselisihkan adalah pengampuan terhadap orang dungu dan orang
berhutang. Pengampuan terhadap mereka bukan karena tidak cakap melakukan tindakan
hukum, tetapi bertujuan untuk menghindarkan orang lain dari kemudharatan, sebagai
akibat dari tindakan mereka dan mencegah terjadi mudharat pada diri mereka sendiri
(orang dungu)
Akibat hukum al-Hajr
Sebagai akibat dari orang yang telah ditetapkan dibawah pengampuan wali atau hakim,
adalah:
i. Al-Hajr terhadap anak kecil.
Dalam membahas tindakan anak kecil, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki membedakan anak
yang belum mumayyiz (belum memcapai umur tujuh tahun) dengan anak yang sudah
mumayyiz (berumur tujuh tahun keatas).
Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki perbedaan ini sangat penting, karena Rasulullah sendiri
dalam sabdanya mengatakan:
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat, ketika mereka berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah
diantara mereka itu dari tempat tidurnya” (HR. Ahmad Abu Daud dan al-Hakim)
Dengan demikian ulama Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan, bahwa anak yang sudah
berumur sepuluh tahun termasuk mumayyiz dan dalam hukum-hukum tertentu mereka
telah dituntut untuk melakukannya. Tindakan hukum anak kecil itu ada yang berupa
perbuatan dan ada pula yang berupa perkataan.
Ulama fiqh menyatakan, bahwa tindakan anak kecil yang berupa perbuatan seperti
merusak barang milik orang lain, maka statusnya sebagai anak yang berada dibawah
pengampuan tidak berlaku, karena pengampuan berlaku pada perkataan dan bukan pada
perbuatan. Setiap kerugian yang diakibatkan tindakannya itu berupa perkataan atau
pernyataan, jika anak itu belum mumayyiz, maka perbuatan dan perkataannya itu dianggap
batal, baik tindakannya itu menguntungkan maupun merugikan dirinya, karena dinilai
belum cakap melakukan tindakan secara hukum. Apabila anak itu telah mumayyiz, maka
menurut ulama Mazhab Hanafi dan Maliki perlu dibedakan antara tindakan yang
menguntungkan dan merugikan dirinya.
Apabila tindakan itu menguntungkan seperti menerima sedekah, hadiah, wasiat dan hibah,
maka tindakannya dianggap sah, tanpa persetujuan dari walinya. Namun, apabila
tindakannya itu merugikan dirinya seperti memberi pinjaman kepada orang lain, maka
tindakannya itu dianggap tidak sah, walaupun ada persetujuan dari walinya.
Ulama Mazhab Hanafi mengecualikan hukum tindakan anak mumayyiz yang merugikan
tersebut. Menurut mereka apabila wali mengizinkan, maka tindakannya itu dianggap sah.
Apabila tindakan anak mumayyiz antara merugikan dan menguntungkan bagi dirnya
seperti jual beli, dan sewa menyewa, maka ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan
bahwa tindakannya itu sah, apabila mendapat persetujuan walinya. Namun, menurut
Mazhab Syafi’i dan Hambali, tindakan anak kecil (yang bersifat spekulatif), baik sudah
mumayyiaz (yang tidak bersifat spekulatif=untung-untungan) dapat dibenarkan apabila
mendapat persetujuan dari walinya.
Akibat lain anak kecil yang berada dibawah pengawasan wali, bahwa harta anak kecil itu
tidak boleh diserahkan kepada mereka, karena firman Allah yang disebutkan dalam Surat
An-Nisa: 6 yang telah disebutkan terdahulu.
Menurut ulama fiqh, harta anak kecil itu baru boleh diserahkan kepada mereka setelah
anak itu baligh (dewasa) dan cerdas. Hal ini tentu dapat diamati oleh wali, apakah sudah
pantas diserahkan atau belum. Sebab, adakalanya belum tentu cerdas atau mampu
memelihara dan mengembangkan hartanya.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i, yang menjadi ukuran adalah ketrampilan dan
kemampuannya terhadap agama. Apakah anak itu sudah baligh dan cerdas, maka status
anak itu dibawah pengampuan sudah hilang dengan sendirinya, tanpa ada penetapan dari
hakim, karena penetapan mereka dibawah pengampuan juga bukan pengampuan dari
hakim. Namun, menurut satu riwayat dari Mazhab Syafi’i, perlu ada penetapan dari hakim,
yaitu pencabutan al-Hajr. Dengan demikian, peranan wali dalam hal ini sangat penting,
termasuk mengenai persoalan hak anak itu. Segala tindakan yang berhubungan dengan
harta anak itu, harus didasarkan atas kemaslahatan anak itu sendiri.
Apabila wali anak itu orang kaya (berada), dia tidak boleh mengambil nafkahnya dari harta
anak itu. Sekiranya tidak punya maka dapat mengambil sekedarnya untuk menutupi
keperluan sehari-hari. Menurut ulama fiqh, ayat ini menjelaskan bahwa penyerahan harta
kepada anak kecil itu apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu cukup umur (baligh) dan
cerdas. Sebelum kedua syarat itu terpenuhi, maka wali tidak boleh menyerahkan harta
anak itu padanya. Untuk menyatakan anak itu telah baligh atau belum, para ulama fiqh
mengatakan boleh dilihat dari beberapa indikasi, seperti segi umur atau dari segi tanda-
tanda biologisnya, seperti mimpi, haid, hamil. Sedangkan untuk menilai anak itu apakah ia
sudah cerdas atau belum, menurut jumhur ulama, harus senantiasa diuji dalam
membelanjakan hartanya. Apabila ia telah terampil mengelola harta sendiri, dalam artian
tidak merugikan dirinya lagi, maka ia dianggap cerdas. Akan tetapi, menurut ulama
Syafi’iyah, yang menjadi ukuran itu adalah keterampilan dalam mengelola harta dan
komitmennya terhadap agamanya. Apabila ternyata anak itu telah baligh dan cerdas, sesuai
dengan kriteria baligh dan cerdas yang dikemukakan para ulama diatas, maka para ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa status dibawah pengampuannya hilang dengan
sendirinya,tanpa harus ditetapkan hakim; karena penetapan mereka dibawah pengampuan
bukan melalui ketetapan hakim, maka pencabutan al-Hajr bagi mereka pun tidak perlu
melalui ketetapan hakim. Akan tetapi, satu riwayat dari ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa perlu adanya ketetapan hakim. Apabila anak itu belum memenuhi kedua syarat
diatas, maka wali anak itu tidak boleh menyerahkan harata itu kepada anak itu dan yang
bertindak sebagai pengelola dan pemelihara harta itu adalah walinya, dan pengelolaan
terhadap harta itu harus senantiasa bertitik tolak pada kemaslahatan anak itu. Akan tetapi,
bila wali itu orang miskin, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa wali boleh
mengambil nafkahnya dari harta anak itu, sesuai dengan keperluan sehari-hari.

ii. Al-Hajr terhadap orang gila.


Para ulama fiqh membedakan orang gila yang sifatnya permanen (tidak sembuh-sembuh)
dan orang gila yang sewaktu-waktu saja kambuh, pada satu saat dia gila dan pada saat lain
dia sembuh.
Orang gila dalam bentuk pertama disamakan dengan orang yang tidak berakal sama sekali.
Dengan demikian, tindakan mereka secara hukum sama dengan anak kecil yang belum
mumayyiz. Semua tindakannya dianggap tidak sah.
Orang gila dalam bentuk kedua, harus dilihat lebih dahulu keadaannya. Apabila ia
bertindak secara hukum pada saat dia gila (kambuh), maka tindakannya itu tidak sah,
seperti bersedekah, menghibahkan harta atau mewakafkannya. Tetapi apabila ia bertindak
pada saat sehat (tidak gila), maka tindakannya dianggap sah, karena dia benar-benar dalam
keadaan sadar.

iii. Al-Hajr terhadap orang bodoh/dungu


Ulama fiqh menyatakan bahwa termasuk kedalam kelompok orang bodoh/ dungu adalah
orang yang menghambur-hamburkan uangnya (boros) untuk hal-hal yang dilarang oleh
agama seperti membeli minuman keras, berjudi, dan untuk kepentingan berdagang, tetapi
tidak mengerti seluk-beluk dagang itu, sehingga sering ditipu orang. Tindakan yang amat
bodoh/dungu adalah menghabiskan harta untuk pemuas nafsu seksual.
Apabila ditemukan orang seperti ini, maka menurut pendapat ulama, kepada orang itu
dikenakan al-Hajr melalui ketetapan hakim. Seluruh tindakan yang dapat merugikan
dirinya dianggap batal, seperti berwakaf, bersedekah, dan hibah. Berkenaan dengan nafkah
dan talak, untuk menetapkan sah atau tindakan, sangat bergantung kepada penetapan
hakim, apakah membawa maslahat pada dirinya atau mudharat.

Dikalangan ulama Mazhab Hanafi terjadi perbedaan pendapat.


Imam Abu Hanifah mengatakan, bahwa apabila orang yang bodoh itu telah baligh dan
berakal (berakal tetapi boros dan memperturutkan hawa nafsu), maka tindakan hukumnya
dianggap sah, kendatipun tindakannya itu merugikan dirinya sesuai dengan firman Allah
Surat An-Nisa: 6 yang telah disebutkan di atas.
Ulama Mazhab Hanafi lainnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani,
bahwa orang yang bodoh atau dungu berada dibawah pengampuan berdasarkan ketetapan
hakim untuk kemaslahatan mereka sendiri. Mereka beralasan kepada firman Allah yang
disebutkan dalam surat An-Nisa: 5 yang telah disebutkan di atas.

iv. Al-Hajr terhadap orang yag sakit kritis (mardh al-maut)


Orang yang sakit kritis yang diduga keras penyakitnya akan membawa kematiannya, sesuai
dengan pendapat dokter, maka para ulama menyatakan, bahwa orang itu dapat ditetapkan
berada dibawah pengampuan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak ahli warisnya.
Sebab, ada saja orang yang menyerahkan hartanya kepada orang lain pada saat kritis, tanpa
memperhatikan ahli waris yang ditinggalkan.
Bahkan Mazhab Maliki mengatakan, bahwa orang yang sudah dijatuhi hukuman mati,
orang yang berada dibawah pertempuran dan wanita hamil sembilan bulan, disamakan
dengan orang yang sakit kritis. Hal ini berarti bahwa mereka tidak dibenarkan bertindak
secara hukum, karena berada dalam pengampuan.
Tindakan hukum yang dianggap tidak sah, adalah pemindahan hak milik tanpa ganti rugi,
seperti wakaf, wasiat (melebihi sepertiga hartanya), hibah dan sedekah.
Andaikata orang yang sakit kritis itu telah mengadakan tindakan-tindakan secara hukum
pemindahan hak milik kepada pihak lain dan ternyata kemudian dia sembuh maka
tindakannya itu dianggap sah menurut hukum.

v. al-Hajr terhadap orang pailit


Ulama fiqh menyatakan, bahwa seseorang yang dinyatakan pailit, apabila ia terlilit hutang
sedangkan harta bendanya tidak mencukupi untuk melunasi seluruh hutangnya. Ulama
fiqh berbeda pendapat, apakah kepada orang itu dikenakan al-Hajr atau tidak?
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa orang yang pailit tidak dikenakan al-Hajr, karena
merendahkan status mereka sebagai manusia bebas dan mengekang hak asasi mereka.
Menurut Abu Hanifah, mudharat yang dialami orang itu lebih berat dari mudharat yang
dialami kreditor. Oleh sebab itu, bahwa seluruh tindakan orang pailit, baik yang brsifat
pemindahan hak dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi dianggap sah.
Hak hakim satu-satunya adalah memerintahkan untuk memprioritaskan pembayaran
hutang-hutangnya pada orang lain. Bila dia enggan membayar hutangnya, maka dia dapat
dipenjarakan (hukuman badan), sampai ia melunasi hutang-hutangnya.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Jumhur ulama berpendapat bahwa
orang pailit (debitor pailit) dapat dikenakan status hukumnya dibawah pengampuan.
Dengan demikian dia tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan
hak milik (hartanya). Sebagai alasan mereka adalah tindakan Rasulullah terhadap Mu’az
bin Jabal yang dililit hutang. Jumhur ulama berpendapat bahwa status seseorang yang
pailit berada dibawah pengampuan adalah berdasarkan penetapan hakim. Dengan
demikian, apabila dia mengadakan tindakan hukum sebelum ada penetapan dari hakim
(pengadilan), maka tindakannya itu dianggap sah.
Menurut ulama Mazhab Maliki seseorang yang pailit baru dikenakan status hukumnya
dibawah pengampuan, setelah ada pengaduan dari kreditor dan kemudian mendapat
penetapan dari hakim. Hakim dalam persoalan ini mempuanyai wewenang untuk
memenjarakan orang tersebut dan menjual hartanya untuk pembayaran hutangnya.
Setelah seseorang dinyatakan pailit dan berada dibawah pengampuan, maka akibatnya:
1) Ia dilarang melakukan tindakan hukum terhadap hartanya, kecuali untuk keperluan
hidupnya.
2) Ia boleh dipenjarakan untuk menjaga keselamatan dirinya, karena ada kemungkinan
di luar penjara, jiwanya terancam. Untuk memenjarakan orang pailit harus memenuhi
ketentuan:
a. Hutangnya itu bersifat mendesak untuk dibayar.
b. Ia mampu membayar hutang, tapi enggan membayarnya.
c. Para kreditor menuntut kepada pengadilan (hakim) untuk memenjarakannya.
3) Hartanya dijual untuk membayar hutang-hutangnya
4) Harta orang lain yang masih ada ditangannya harus dikembalikan kepada pemiliknya
5) Sekiranya dia tidak dipenjarakan, maka dia harus diawasi secara terus menerus (Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani). Sedangkan menurut Jumhur
ulama tidak perlu ia diawasi secara terus menerus, karena akan menghambat geraknya
untuk mencari rezeki guna melunasi hutangnya (perhatikan kembali surat al-Baqarah:
280)
Cekal al-Hajr
Ulama fiqh berpendapat, bahwa disamping orang-orang yang telah disebutkan di atas
dikenakan status hukum dibawah pengampuan (cekal) bagi orang-orang yang mengganggu
dan merugikan masyarakat banyak seperti:
1) Dokter yang tidak memenuhi rujukan baku dalam memberikan obat, diagnosis
terhadap pasien keliru dan sebagainya.
2) Mufti yang sering mengeluarkan fatwa yang sesat dan membingungkan umat.
3) Arsitek bangunan yang sering meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan
4) Para pejabat yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan
merugikan masyarakat banyak.
Menurut Mazhab Hanafi penentuan penetapan status pengampuan terhadap mereka ini
tidak bersifat permanen. Bergantung kepada kesadaran orang yang bersangkutan, cepat
berubah atau tidak.

BERAKHIRNYA STATUS PENGAMPUAN


Apabila anak kecil sudah baligh dan berakal, orang bodoh/dungu sudah cerdas dan sadar,
pemboros sudah mulai hemat dan tidak lagi melanggar agama, orang gila menjadi sembuh
dan orang yang sakit kritis meninggal atau sembuh kembali, maka berakhirlah masa
pengampuan. Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum
pengampuan setelah dia lunasi hutang-hutangnya.
Hendaknya diingat, bahwa apabila al-Hajr (pengampuan) ditentukan berdasarkan
penetapan hakim, maka pencabutannya juga harus demikian supaya mempunyai kekuatan
hukum. Apabila pengampuan itu berada dibawah kekuasaan wali, maka walilah yang dapat
mempertimbangkannya.
Selanjutnya mengenai pencekalan yang disebutkan di atas seperti dokter dan seterusnya,
pencabutannya juga harus berdasarkan penetapan dari hakim dengan berbagai
pertimbangan yang tentu saja tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya.
Akibat hukum bagi debitor pailit dan dibawah pengampuan
Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim dan statusnya dibawah pengampuan,
maka berakibat antara lain:
Sisa harta debitor pailit menjadi hak para kreditor
Debitor yang telah dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dikenakan tahanan sementara.
Dalam keadaan demikian, kreditor boleh mengawasi tindak tanduk debitor secara terus
nenerus (ulama Mazhab Hanafi). Namun tidak boleh dilarang untuk mencari rizki dan
mengadakan perjalanan selama berada dalam pengawasan.
Menurut ulama Mazhab Maliki,Syafi’i dan Mazhab Hambali apabila hakim berpendapat,
bahwa debitor dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka kreditor tidak boleh
menuntutnya dan mengawasinya terus menerus. Dia harus diberi kebebasan untuk
mencari rizki sampai dia berkelapangan untuk melunasi hutangnya, sebagaimana firman
Allah:
" Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui."

Kemudian menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila ternyata tidak ada lagi harta untuk
membayar hutang kepada kreditor, maka debitor dibebaskan, sejalan dengan kehendak
surat Al-Baqoroh:280 di atas. Menurut ulama Mazhab Hanafi, hakim boleh menahan
sementara debitor pailit, bila memenuhi empat syarat:
1. Waktu pembayaran hutangnya telah jatuh tempo.
2. Diketahui bahwa debitor pailit mampu membayar hutangnya, tetapi tidak
dilakukannya.
3. Debitor pailit bukan ayah atau ibu dari kreditor.
4. Kreditor mengajukan tuntutan kepada hakim, agar debitor dikenakan penahan
sementara.

Menurut Mazhab Maliki, hakim boleh melakukan penahanan dengan syarat:


1. Keadaan keluarga debitor tidak diketahui secara pasti.
2. Kreditor mencurigai tindak-tanduk debitor, bahwa dia tidak pailit, tetapi dia
menyatakan tidak punya harta (uang).
3. Debitor ternyata memeiliki hartalain yang dapat membayar hutangnya, tetapi enggan
membayarnya.
4. Hakim terlebih dahulu memaksa debitor menjual hartanya untuk membayar
hutangnya. Apabila tidak mau juga, hakim boleh boleh memenjarakan debitor itu.

Apabila ternyata memang tidak mempunyai harta, maka dia dibebaskan dari tahanan
sementara. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, apabila debitor mempunyai harta, maka
hakim dapat memaksanya untuik menjual barangnya untuk melunasi hutangnya itu.
Apabila debitor yang enggan melakukannya, sedangkan tuntutan dari kreditor tetap
diminta, maka hakim boleh menahannya, sampai dia bersedia menyelesaikan hutangnya.

Akibat hukum selanjutnya adalah, apabila ternyata hutang debitor pailit barang seperti
hewan ternak, kendaraan, dan peralatan rumah tangga, dan barang-barang tersebut masih
ada, apakah pemilik barang (kreditor) boleh mengambil barang itu sebagai pembayaran
hutangnya?
Menurut Mazhab Hanafi, bahwa kreditor tidak boleh mengambil barang-barang tersebut,
karena status barang tersebut menjadi milik bersama para kreditor dan harus dibagi
bersama sesuai dengan presentasi piutangnya. Hal ini berarti, apabila kreditornya hanya
satu orang saja, tentu dapat mengambilnya, seperti mengambil kembali kendaraan atau
perabotan rumah tangga.
Menurut Jumhur ulama apabila salah seorang kreditor melihat barangnya yang
dipiutangkan masih ada ditangan debitor pailit, maka dia dapat mengambilnya. Namun,
masih terjadi juga perbedaan pendapat. Ulama Mazhab Syafi’i mengemukakan syarat-
syarat pengambilan itu:
1. Waktu pembayaran sudah jatuh tempo
2. Debitor enggan membayar hutangnya
3. Barang yang menjadi hutang masih ada ditangan debitor

Mazhab Hanbali mengemukakan syarat-syarat:


1. Barang masih ada di tangan debitor dalam keadaan tidak rusak dan tidak berkurang
2. Tidak terjadi perubahan pada barang (hewan ternak sudah besar, penambahan alat-
alat pada kendaraan).
3. Kreditor belum menerima harga barang sedikit pun.
4. Barang itu tidak tersangkut dengan pihak lain, seperti barang itu digadaikan atau
dihibahkan kepada orang lain.
5. Debitor pailit dan kreditor masih hidup

Menurut Mazhab Maliki, syarat pengambilan barang itu adalah:


1. Barang itu masih tetap seperti semula tanpa penambahan dan pengurangan
2. Dapat diambil sebagai pembayaran hutang
3. Diantara kreditor yang tidak membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang masih
lengkap, karena kalaupun kreditor lainnya telah membayar ganti rugi kepada pemilik
barang yang masih lengkap di tangan debitor pailit, maka pemilik barang tidak boleh
mengambil barangnya dengan pihak lain.

Pencabutan Status di bawah Pengampuan Orang Pailit

Kaidah usul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan ‘illat-nya. Apabila
ada ‘illat-nya maka hukum berlaku, dan apabila ‘illat-nya hilang, maka hukum itu tidak
berlaku. Persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit akan berada dalam status di bawah
pengampuan, apabila hartanya yang ada telah dibagikan kepada pemberi piutang oleh
hakim, apakah statusnya sebagai orang yang di bawah pengampuan hapus dengan
sendirinya? Dalam menjawab persoalan ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh.
Jumhur ulama, termasuk sebagian ulama Syafi’iah dan Hanabilah, mengemukakan bahwa
apabila harta orang yang jatuh pailit dibagi-bagikan kepada para pemberi piutang sesuai
dengan perbandingannya, sekalipun tidak lunas, maka status dibawah pengampuannya
dinyatakan dihapus, karena sebab yang menjadikan ia berada di bawah pengampuan telah
hilang. Mereka menganalogikan orang yang berada dibawah pengampuan karena pailit
dengan orang yang berada di bawah pengampuan karena gila.
Dalam hal orang gila yang telah sembuh dari penyakitnya, statusnya sebagai orang yang
berada dibawah pengampuan, gugur dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan oleh
keputusan hakim. Demikian juga dengan orang yang jatuh pailit. Hal ini sejalan dengan
kaedah usul fiqh yang menyatakan:
Hukum itu beredar sesuai dengan ‘illat (penyebab)-nya, apabila ada ‘illatnya ada
hukumnya, dan apabila ‘illatnya sudah hilang, keadaannya kembali seperti semula.
Sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa status orang pailit sebagai
orang yang berada dibawah perngampuan tidak hapus, kecuali dengan keputusan hakim,
karena penetapannya sebagai orang berstatus di bawah pengampuan didasarkan pada
keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan hakim.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa’, tokoh fiqh kotemporer asal Syria, ketetapan hakim
dalam menentukan seseorang berada di bawah pengampuan mestilah punya syarat,
sehingga apabila syarat itu terpenuhi oleh orang yang dinyatakan pailit ini, maka secara
otomatis statusnya bebas dari pengampuan, tanpa harus melalui ketetapan hakim terlebih
dahulu. Misalnya, dalam surat ketetapan itu disebutkan “apabila utang-utang yang
bersangkutan ia bayar, maka ia bebas dari status di bawah pengampuan”. Namun, berita
tentang kebebasan statusnya ini perlu disebarluaskan agar masyarakat mengetahuinya,
dan tidak merugikan dirinya dalam melakukan transaksi ekonomi.
Menurut Hukum Pribadi dan Keluarga, dari advokat-rgsmitra.com, yang dimaksud dengan
pengampuan adalah :
Seorang pengampu disebut kurator. Hakim yang mengangkat kurator boleh seseorang yang
dipercaya/keluarga. Orang yang dibawah pengampu disebut kurandus. Pengampu diatur
dalam peraturan tentang pengampu (curatele). Seseorang memerlukan pengampu karena:
sakit ingatan/gila; lemah karena sakit; pemboros. Tidak sanggup mengurus
kepentingannya sebagaimana mestinya. Bertingkah laku yang mengganggu keamanan
masyarakat (pemabuk). Pengampuan hanya dapat diadakan oleh hakim. Keputusan hakim
mengenai pengampu mulai berlaku mulai hari keputusan diucapkan, jadi dengan tidak
mengindahkan akan kemungkinan adanya banding dan berlangsung terus selama hidup
kurandus, sepanjang pengampuan itu tidak dihentikan. Kedudukan pengampu dan
pengampu pengawas adalah boleh dikatakan sama dengan kedudukan wali dan wali
pengawas untuk seseorang yang belum dewasa. Akibat pengampu terhadap kekuasaan
orang tua dan perwalian ialah orang yang ditempatkan dibawah pengampuan berada di
dalam ketidak mungkianan melakukan kekuasaan orang tua, sehingga kekuasaan orang tua
itu hanay dilakukan orang tua lainnya. Seorang pengampu tidaklah berwenang untuk
mengadakan tuntutan perceraian untuk kurandus yang ditempatkan di bawah
pengampuan karena sakit jiwa, oleh karena itu yang menentukan segala sesuatunya
keyakinana dan perasaan pribadi, sedangkan ia (pengampu) hanyalah harus memperoleh
keyakinan tentang kebenaran tuntutan yang diajukan itu. Kecuali suatu ketentuan khusus
untuk orang yang gemar minuman keras diberikan dalam.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata


Buku pertama

Bab XVII: PENGAMPUAN

433. Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap,
harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa juga ditempatkan di bawah pengampuan
karena keborosan (KUHPerd. 456 dst, 460, 462, 895, 1006. 1330)

434. Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan
keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya
dapat diminta oleh paran keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis
samping sampai derajat keempat. Dalam satu hal, suami dan istri dapat minta pengampuan
bagi istri atau suaminya. Barangsiapa, karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap
mengurus kepentingan diri sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi diri sendiri.
(KUHPerd. 114, 290 dst, 445; IR. 229 dsb.)

435. Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap tidak dimintakan pengampuan oleh
orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka jawatan kejaksaan wajib memintanya.
Dalam hal dungu atau gila, pengampuan dapat diminta oleh jawatan kejaksaan bagi
seseorang yang tidak mempunyai istri atau suami; juga yang tidak mempunyai keluarga
sedarah yang dikenal di Indonesia.

436. Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang
berada dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan
(KUHPerd, 17 dst.)

437. Peristiwa-peristiwa yang menunjukan keadaan dungu, gila, mata gelap atau
keborosan, harus dengan jelas disebutkan dalam surat permintaan, dengan bukti-bukti dan
penyebutan saksi-saksinya. (KUHPerd. 440, 456 dst, 1909, 1914)

438. Bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting
guna mendasarkan suatu perngampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau
semenda. (KUHPerd. 290, 333 dst, 453; IR. 230.)

439. Pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang
tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan
pengampuan; bila orang ini tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus
dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang hakim yang diangkat untuk
itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan kejaksaan (KUHPerd.
445.). Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal
lebih dari pengadilan negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala
pemerintahan setempat. Dari pemeriksaan ini, yang tidak usah dihadiri jawatan kejaksaan,
harus disertai berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada pengadilan negeri
(KUHPerd. 445, 1023). Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang
dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat
pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah. (KUHPerd. 441, 443, 445)

440. Bila pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah kelarga
sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan,
berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka pengadilan dapat
memberi keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata-cara lebih lanjut; dalam hal
yang sebaliknya, pengadilan negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar
peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas. (KUHPerd. 437, 445)

441. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam pasal 439, bila ada alasan,
pengadilan negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus
pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya. (KUHPerd. 445 dst,
449: IR 231)

442. Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam siding
terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan
kesimpulan jaksa (KUHPerd. 445)

443. Bila dimohonkan banding, maka hakim banding, sekiranya ada alasan, dapat
mendengar lagi atau menyuruh mendengar lagi orang yang dimintakan pengampuan.
(KUHPerd, 439; IR 236)

444. Semua penetapan dan putusan yang memerintahkan pengampuan, dalam waktu yang
ditetapkan dalam penetapan atau putusan itu, harus diberitahukan oleh pihak yang
memintakan pengampuan kepada pihak lawannya dan diumumkan dengan
menempatkannya dalam berita Negara; semuanya atas ancaman hukuman membayar
segala biaya, kerugian dan bunga sekitarnya ada alasan untuk itu. (Ov.105; KUHPerd. 445
dst, 461)

445. Bila pengampuan diminta sehubungan dengan alinea keempat pasal 434, pengadilan
negeri mendengar para keluarga sedarah atau keluarga semenda dan, sendiri atau dengan
wakilnya, si suami atau si istrinya yang meminta, sekiranya ini berada di Indonesia; juga
harus dilakukan ketentuan-ketentuan dalam pasal 438 alinea kesatu dan kedua, 440, 41,
dan 442. Dalam hal demikian, jawatan kejaksaan harus menyelenggarakan pengumuman
mengenai keputusan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 444.

446. Pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan diucapkan.
Semua tindak percata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan dibawah
pengampuan, adalah batal demi hukum. Namun demikian, seseorang yang ditempatkan
diawah pengampuan karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat
(KUHPerd. 88, 441, 444, 449, 895, 1330, 1446, 1813; Rv. 248-2?)

447. Semua tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan
berdasarkan keadaan dungu, gila, dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar pengampuan
ini telah ada saat tindakan-tindakan itu dilakukan (KUHPerd. 61-3?, 88, 1330-2?)

448. Setelah seseorang meninggal dunia, amak segala tindak perdata yang telah
dilakukannya kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu, gila dan
mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas dirinya telah diperintahkan
atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia, kecuali bila bukti-bukti tentang penyakit-
penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang disanggah itu. (KUHPerd. 446, 895, 1320-1?)

449. Bila keputusan tentang pengampuan telah mendapatkan kekuatan hukum yang pasti,
maka oleh pengadilan negerti diangkat seorang pengampu. Pengangkatan itu segera
diberitahukan kepada balai harta peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan
kepada balai harta peninggalan, (KUHPerd. 418) (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421) Dalam
hal yang demikian, berakhirlah segala campur tangan pengurus sementara, yang wajib
mengadakan perhitungan dan pertanggungjawaban atas pengurusannya kepada
pengampu; bila ia sendiri yang diangkat menjadi pengampu, maka perhitungan dan
pertanggungjawaban itu harus di harus dilakukan kepada pengampu pengawas (KUHPerd.
359 dst, 377 dst, 379 dst, 441, 446; Rv. 580-8; Wak. 60)

450. Dicabut dengan S. 1927-31 jis. 390, 421.

451. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis 390, 421) Kecuali jika alasan-alasan penting menghendaki
pengangkatan orang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus diangkat menjadi
pengampu bagi istri atau suaminya, tanpa mewajibkan si istri mendapatkan persetujuan
atau kuasa apapun juga untuk menerima pengangkatan itu. (KUHPerd. 103, 300, 349, 359,
377 dst, 379-3?, 380, 418)

452. Orang yang ditempatkan dibawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak
yang belum dewasa. Bila seseorang yang akrena keborosan ditempatkan dibawah
pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan pasal 38 dan
pasal 151 berlaku terhadapnya (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis 390, 421) Ketentuan undang-
undang tentang perwalian atas anak yabng belum dewasa, yang tercantum dalam pasal 331
sampai dengan 344, pasal-pasal 362, 367, 369 samapi dengan 388, 391 dan berikutnya
dalam bagian 11, 12, dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap pengampuan (Ov. 23; KUHPerd.
63, 330, 458, 539, 1006, 1046, 1149-7?, 1330 dst, 1446, 1454, 1813; Rv. 336; KUHP. 35, 37,
524)

453. (s.d.u. dg. S. 1927-32 jis 390, 421) Bila seseorang yang ditempatkan dibawah
pengampuan mempunyai anak-anak belum dewasa serta menjalankan kekuasaan orang
tua sedangkan istri atau suaminya telah dibebaskan atau diberhentikan dari kekuasaan
orang tua atau berdasarkan pasal 246 tidak diperintahkan menjalankan kekuasaan orang
tua, seperti juga jika ornag yang dibawah pengampuan itu menjadi wali atas anak-anaknya
yang sah, maka demi hukum pengampu adalah wali atas anak-anak belum dewasa itu
sampai pengampuannya diberhentikan, atau sampai istri atau suaminya memperoleh
perwalian itu karena penetapan yang dimaksud dalam pasal 206 dan pasal 230, atau
mendapatkan kekuasaan orangtua berdasarkan pasal 246a, atau dipulihkan dalam
kekuasaan orang tua atau perwalian (KUHPerd. 300, 345, 353, 458)

454. Penghasilan orang yang ditempatkan dibawah pengampuan karena keadaan dungu,
gila atau mata gelap, harus dihunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan
memperlancar penyembuhan (KUHPerd. 388, 391, 451)

455. Dicabut dg. S. 1897-53

456. (s.d.u. dg. S. 1897-53) Terhadap orang-orang yang tidak dapat dibiarkan mengurus
diri sendiri dan membahayakan keamanan orang lain karena kelakuannya terlanjur buruk
dan terus menerus buruk, harus dilakukan tindakan seperti diatur dalam Reglemen
Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia (RO. 134; KUHPerd. 455,
457; IR. 234)

457. Dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, para kepala daerah setempat,
menjelang pengesahan pengadilan negeri, berkuasa memerintahkan penahanan sementara
orang-orang yang dimaksud dalam pasal-pasal yang lalu. Mereka wajib untuk bertindak
dengan cermat, dan selambat-lambatnya dalam empat hari atau, dalam hal tempat
kedudukan pengadilan negeri yang bersangkutan ada di pulau lain, dengan kapal yang
pertama, mereka harus menyampaikan surat-surat itu dengan tuntutannya kepada
pengadilan negeri segera setelah menerima surat-surat itu. Bila pengadilan negeri tidak
menemukan alasan-alasan guna menguatkan penahanan, maka dengan putusan harus
diperintahkan supaya orang yang ditahan itu segera dikeluarkan dari tahanan. Putusan ini
harus segera dilaksanakan oleh kepala daerah yang bersangkutan segera setelah
diterimanya, dan hal itu harus diberitahukan kepada kejaksaan dengan cara seperti yang
ditentukan dalam alinea kedua pasal ini (KUHPerd. 462)

458. Seorang anak yang belum dewasa yang ada dibawah pengampuan tidak dapat
melakukan perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian, selain dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 38 dan pasal 151 (KUHPerd. 453)

459. Tidak seorangpun, kecuali suami-istri dan keluarga sedarah dalam garis keatas atau
ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan lebih dari delapan tahun lamanya;
setelah waktu itu lewat, pengampu boleh minta dibebaskan dan permintaan ini harus
dikabulkan (KUHPerd. 290 dst, 376 dst)

460. Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang’ tetapi
pembebasan dari pengampuan ini tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tata
cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan arena iu
orang yang ditempatkan dibawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya
sebelum keputusan tentang pembebasan penampuan itu memperoleh kekuatan hukum
yang pasti. (KUHPerd. 88, 433 dst, IR 232)

461. Pembebasan diri pengampuan harus idumumkan dengan cara yang diatur dalam pasal
444.

Ketentuan penutup

462. Seorang anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila, atau mata
gelap, tidak boleh ditempatkan dibawah pengampuan, tetapi tetap berada dibawah
pengampuan, tetapi tetap berada dibawah pengawasan ayahnya, ibunya, atau walinya
(KUHPerd. 299, 330, 383, 433). Alinea kedua dan ketiga dicabut berdasarkan S. 1897-53).

Anda mungkin juga menyukai