Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia tidak dapat terlepas dari orang lain dalam memenuhi segala macam
kebutuhannya. Karena manusia merupakan makhluk sosial. Maka dalam setiap kegiatannya
itukah adanya akad. Akad adalah alat paling utama dalam sah atau tidaknya kegiatan
muamalah dan juga akad menjadi tujuan akhir dari muamalah. Namun tak banyak orang yang
tahu mengenai sah atau tidaknya akad yang dilakukan. Diperbolehkan atau mungkin
dilarangkah akad yang dilakukan tersebut. Jika akad yang kita lakukan diperbolehkan maka
kegiatan muamalah tersebut menjadi sah hukumnya.
Namun jika sebaliknya, maka hukumnya bisa menjadi haram. Akad yang terlarang itu
bisa jadi awal mulanya halal namun ada unsur-unsur yang membuatnya menjadi haram. Akan
tetapi banyak orang diluar sana yang kurang peduli dengan akad-akad larangan. Bahkan
sebagian melakukan kegiatan tersebut berulang-ulang. Hal ini mengakibatkan hidup yang
kurang berkah bahkan mendapat dosa dari akad yang dilakukan. Sedangkan akad yang sah
membuat hidup berkah dan berpahal. Oleh karenanya kali ini kami akan sedikit menjabarkan
mengenai “Akad-Akad yang Terlarang”. Agar kita menjadi lebih hati-hati saat melaksaakan
akad, jangan sampai akad tersebut membuat kita mendapatkan dosa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akad terlarang?
2. Apa saja akad terlarang itu?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Akad dalam bahasa Arab artinya perikatan, perjanjian atau pemufakatan. Adapun
pengertian berdasarkan fiqh, akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada
objek perikatan (Hasan, 2003:101). Berdasarkan pengertian tersebut maka akad adalah suatu
perbuatan hukum yang melibatkan kedua belah pihak atau lebih, yang melakukan perjanjian.
Ajaran Islam menekankan bahwa semua transaksi yang dilakukan oleh dua belah pihak atau
lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syariat (hukum Islam).
Sedangkan akad terlarang adalahakad yang mana tidak diperbolehkan atau melanggar
aturan ketentuan yang ada (dimana dalam konteks ini melanggar ketentuan syariah). Karena
ada unsur-unsur yang membuat akad yang sebelumnya halal menjadi tidak diperbolehkan.
Yang mana akan menimbulkan dosa bagi pelakunya karena hukumnya menjadi haram.

B. Akad yang Terlarang


1. Haram karena zatnya (Material)
Transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang,
misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi jual-beli
minuman keras adalah haram, walaupun akad jual-belinya sah.
2. Haram karena melanggar prinsip kerelaan (Formil)
a. Tadlis (penipuan)
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak
(sama-sama ridho). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information)
sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurigai (ditipu) karena ada suatu yang unknown to
one party (keadaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
lain, ini disebut juga assymetric information). Unknown to one party dalam bahasa fiqihnya
disebut tadlis, dan dapat terjadi dalam 4 hal, yakni dalam :
1) Kuantitas, tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang mengurangi takaran
(timbangan) barang yang dijualnya.
2) Kualitas, tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat
barang yang ditawarkannya. Dalam tadlis kualitas terdapat dua bentuk yaitu yang pertama
dengan cara menyembunyikan cacat yang ada pada barang yang bersangkutan, dan yang
kedua dengan menghiasi atau memperindah barang yang ia jual sehingga harganya bisa naik
dari biasanya.
3) Harga, tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan
harga pasar dengan menaikan harga produk di atas harga pasar.
4) Waktu penyerahan, tadlis dalam waktu penyerahan contohnya adalah petani buah yang
menjual buah diluar musimnya padahal petani mengetahui bahwa dia tidak dapat
menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.
Adapun dasar hukum tentang larangan penipuan (tadlis) terhadap bertransaksi adalah sebagai
berikut:
a) Al-Baqarah ayat 42
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”
b) Al-A’raf ayat 85
“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yang saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-
betul kamu orang-orang yang beriman".
c) An-Nahl ayat 105
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.”
d) Hadis nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a
, ‫ َفَناَلْت َاَص اِبُعُه َبَلاًل‬,‫ َفَاْدَخ َل َيَد ُه ِفْيَها‬, ‫ َاَّن َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َم َّرَع َلى ُصْبَرِة َطَع اٍم‬:‫َع ْن َاِبى ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهللا َع ْنُه‬
‫ "َاَفاَل َجَع ْلَتُه َفْو َق الَّطَع اِم َك ْي َيَر اُه ا الَّناُس ؟ َم ْن َغَّش‬: ‫َقاَل‬,‫ َاَص اَبْيُه الَّسَم اُءَياَر ُسْو َل ِهللا‬: ‫ "َم ا َهَذ ا َيا َص ا ِحَب الَّطّعاِم ؟" َفَقاَل‬: ‫َفَقاَل‬
‫"َفَلْيَس ِمِنى‬
Diriwayatkan Abu Huraira r.a: Rasulullah saw. pernah lewat dihadapan orang yang
menjual setumpuk makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan
makanan itu, ternyata tangan beliau mengenai makanan basah di dalamnya. Kemudian
beliau bertanya kepada orang itu, “mengapa ini basah wahai penjual makanan?” Orang itu
menjawab, “Makanan yang di dalam itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,
“Mengapa tidak kamu letakkan di atasnya supaya diketahui oleh orang yang akan
membelinya? Barang siapa menipu, dia bukan dari golonganku.”

3. Haram karena melanggar prinsip larangan dzulm


Kezaliman (dzulm) adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, memberikan
sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya
dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai posisinya. Kezaliman dapat menimbulkan
kemudharatan bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya sebagian; atau membawa
kemudharatan bagi salah satu pihak atau pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini
juga sering disebut dengan prinsip ‘La Tazhlimuna wa la Tuzhlamun’ ,yakni jangan
menzalimi dan jangan dizalimi.
a. Taghrir (gharar)
Gharar atau disebut juga taghrir adalah situasi dimana terjadi incomplete information
karena adanya Uncertainty To Both Parties (ketidak pastian dari kedua belah pihak yang
bertransaksi). Dalam Taghrir, Baik pihak A maupun pihak B sama-sama tidak memiliki
kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan (Uncertainty To Both Parties). Gahrar dapat
juga terjadi dalam 4(empat) hal, yakni Kuantitas, Kualitas, Harga, dan Waktu Penyerahan.
Bila salah satu (atau lebih) dari faktor-faktor di atas diubah dari certain menjadi uncertain,
maka terjadilah gharar
Keempat bentuk gharar diatas, keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara,
yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak.
b. Riba
Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Dalam ilmu fiqih, dikenal 3(tiga) jenis Riba, yaitu sebagai berikut Riba Fadl, Riba
Nasiah, Riba Jahiliyah.
1) Riba Fadl disebut juga Riba buyu’, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis
yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (Mistlan bi Mistlin), sama
kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
Pertukaran semisal ini mengandung Gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai
masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan
zalim terhadap salah satu pihak, kedua belah pihak, dan pihak-pihak lain. Dalam perbankan,
Riba Fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan
cara tunai (spot).
2) Riba Nasiah disebut juga Riba Duyun yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak
memenuhi criteria untung muncul bersama risio (Al Ghunmu Bil Ghurmi) dan hasil usaha
muncul bersama biaya (Al-Kharaj Bi Dhaman) transaksi semisal ini mengandung pertukaran
kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu. Nasi’ah adalah penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang
ribawi lainnya. Riba Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan
antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi, Al
Ghunmu (untung) muncul tanpa adanya Al-Ghurmi (Risiko), hasil usaha (Al-Kharaj) muncul
tanpa adanya biaya (Dhaman); Al-Ghunmu dan Al-Kharaj muncul hanya dengan berjalannya
waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu
yang diluar wewenang manusia adalah bentuk Kezaliman padahal justru itulah yang terjadi
dalam Riba Nasi’ah yakni terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya
bersifat Uncertain (tidak pasti) menjadi Certain (pasti).
Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemukan dalam pembayaran bunga
kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan giro, dan lain-lain. Jadi mengenakan tingkat
bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti,
karena diharamkan.
3) Riba Jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam
tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba
Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “Ikullu Qardin Jarra Manfa’atan
fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman
adalah transaksi kebaikan (tabarru), sedangkan meminta kompensasi adlaah transaksi bisnis
(tijarah). Jadi transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh
diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.
c. Maysir (Perjudian)
Secara sederhana yang dimaksud dengan maysir atau perjudian adalah suatu
permainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak yang lain,
akibat permainan tersebut.
Allah SWT, telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas
ekonomi yang mengandung unsur maysir (perjudian). Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, sesunggunya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka janganlah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan“ (QS Al-
Maidah :90)
Untuk menghindari terjadinya maysir dalam sebuah permainan misalnya pembelian
trophy atau bonus untuk para juara jangan berasal dari dana partisipasi para pemain,
melainkan dari para sponsorship yang tidak ikut bertanding. Dengan demikian tidak ada
pighak yang merasa dirugikan atas kemenangan pihak yang lain. Pemberian bonus atau
trophy dengan cara tersebut dalam istilah fiqih disebut hadiah dan halal hukumnya.
d. Risywah (Suap-Menyuap)
Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain
untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan
sebagai tindakan risywah (suap-menyuap) jika dilakukan kedua belah pihak secara suka rela.
Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap atau pihak yang lain tidak rela atau dalam
keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya, peristiwa tersebut bukan kategori
risywah melainkan tindak pemerasan.
Allah SWT telah menyinggung praktik suap-menyuap pada sejumlah ayat Alquran. Diantara
firman Allah SWT :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harga sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah [2] : 188)
Rasulullah Saw pun telah memberi peringatan secara tegas untuk menjauhi praktik
risywah (suap-menyuap). Rasulullah bersabda :
“Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap, sekaligus broker suap yang
menjadi penghubung antar keduanya” (HR. Ahmad)
4. Tidak sah/lengkap akadnya
Suatu traksaksi yang tidak termasuk dalam kategori haram li dzatihi maupun haram li
ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada kemungkingan transaksi tersebut
menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat
dikatakan tidak sah dan/tidak tidak lengkap adanya bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-
faktor berikut ini.
1. Rukun dan Syarat tidak terpenuhi
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalah suatu transaksi (necessary condition),
misalnya ada penjual dan pembeli. Pada umumnya rukun dalam muamalah iqtishadiyah
(muamalah dalam bidang ekonomi) ada 3 (tiga) yaitu :
a) Pelaku
b) Objek
c) Ijab-kabul
Akad dapat menjadi batal bila terdapat
a) Kesalahan/kekeliruan obyek
b) Paksaan (ikrah)
c) Penipuan (tadlis)
Bila ketiga rukun di atas terpenuhi, traksaksi yang dilakukan sah. Namun bila rukun di
atas tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih), transaksi menjadi batal.
Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah (lengkap) dalah syarat.
Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Bila
rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi, rukun menjadi tidak lengkap sehingga
transaksi tersebut menjadi fasid (rusak).
Syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampuradukkan. Di lain pihak keberadaan
syarat tidak boleh .
2. Ta’alluq
Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikatikan, maka
berlakunya akad I tergantung pada akad.

3. Two in one
Two in one adalah kondisi di mana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus,
sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan
(berlaku). Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi al-shafqah.
Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor di bawah ini terpenuhi :
a) Objek sama
b) Pelaku sama
c) Jangka waktu sama
Bila satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in one tidak terjadi, dengan
demikian akad menjadi sah. Contoh dari two in one adalah transaksi lease and purchase
(sewa-beli). Dalam transaksi ini, terjadi gharar dalam akad karena ada ketidakrelaan akad
mana yang berlaku; akad beli atau akad sewa. Karena itulah maka transaksi ini diharamkan

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Akad terlarang adalah akad yang mana tidak diperbolehkan atau melanggar aturan
ketentuan yang ada. (dimana dalam konteks ini melanggar ketentuan syariah). Karena ada
unsur-unsur yang membuat akad yang sebelumnya halal menjadi tidak diperbolehkan. Yang
mana akan menimbulkan dosa bagi pelakunya karena hukumnya menjadi haram. Akad yang
terlarang itu ada 2 yaitu larangan material dan larangan formil diantaranya:
a. Haram karena zatnya (Material)
b. Haram karena melanggar prinsip kerelaan (Formil)
c. Haram karena melanggar prinsip larangan dzulm
d. Tidak Sah/Tidak Lengkap Unsur Akadnya
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim, Ir. Adiwarman. Bank Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2006.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2003.
Sri Nurhayati, Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. 2009.
Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada,. 2010.

Anda mungkin juga menyukai