Anda di halaman 1dari 10

A.

Surat Albaqoroh Ayat 188


        
        
(188) Dan janganlah kamu makan hartabenda kamu di antara kamu dengan jalan
yang batildan kamu bawa ke muka hakim-hakim, karena kamu hendak memakan
sebahagian daripada hartabenda manusia dengan dosa, padahal kamu mengetahui.

Tafsir Al-Azhar

1. Harta Tidak Halal Dari Pekerjaan Sendiri


Pentinglah makanan buat hidup. Selalu Tuhan memberi ingat tentang
makanan yang halal lagi baik, yang bersih dan sesuai dengan kita sebagai
manusia. Pada ayat 168 diberi peringatan pada seluruh manusia. Kemudian
ayat 772 dan 173 diperingatkan khusus kepada kaum yang beriman supaya
memakan makanan yang baik-baik dan menjauhi makanan yang keji, sehingga
ditunjukkan apa dia yang keji itu. Dicela orang yang mata pencahariannya
dengan menyembunyikan kebenaran karena mengharapkan harga yang sedikit.
Kemudian sesudah menerangkan dari hal qr'shosh diterangkan lagi tentang
wasiat, dan larangan curang dalam hal wasiat, dan pujian terhadap orang 438
yang sudi mendamaikan orang yang berselisih tentang harta wasiat. Sesudah
itu baru dibicarakan perkara puasa. Dalam bulan puasa diatur perkara makanan.
sekarang dilanjutkan lagi; ada hubungan dengan makanan atau kebersihan mata
pencaharian.
"Dan janganlah kamu makan hartabenda kamu di antara kamu dengan
jalan yang batil." (pangkal ayat 188). Pangkal ayat ini membawa orang yang
beriman kepada kesatuan dan kekeluargaan dan persaudaraan. sebab itu
dikatakan "harta benda kamu di antaru kamu." Ditanamkan di sini bahwa
hartabenda kawanmu itu adalah hartabenda kamu juga. Kalau kamu aniaya
hartanya, samalah dengan kamu menganiaya hartabendamu sendiri jua.
Memakan hartabenda dengan jalan yang salah, ialah tidak menurut jalannya
yang patut dan benar. Maka termasuklah di sini segala macam penipuan,
pengicuhan, pemalsuan, reklame dan adpertensi yang berlebih-lebihan; asal
keuntungan masuk. Menerbitkan buku-buku cabul dan menyebarkan
gambargambar perempuan telanjang .pembangkit nafsu; yang kalau ditanya,
maka yang membuatnya mudah saja berkata: "Cari makan." Atau kolportir
mencari pembeli suatu barang dengan memperlihatkan contoh yang bagus
bermutu tinggi, padahal setelah ada persetujuan harga dan barang itu diterima,
ternyata mulutnya di bawah dari contoh. Atau spekulasi terhadap barang vital
dalam masyarakat, seumpama beras, ditahan lama dalam gudang karena
mengharapkan harganya membubung naik, walaupun masyarakat sudah sangat
kelaparan, yang dalam agama disebut ihtikar. Atau menyediakan alat
penimbang yang curang, lain yang pembeli dengan yang penjual.
Ini adalah contoh-contoh, atau dapat dikemukakan 1001 contoh vang lain,
yang maksudnya ialah segala usaha mencari keuntungan untuk diri sendiri
dengan jalan yang tidak wajar dan merugikan sesama manusia, yang selalu
bertemu dalam masyarakat yang ekonominya mulai kacau. Sehingga orang
beroleh kekayaan dengan penghisapan dan penipuan kepada sesamanya
manusia.
Sebab itu maka Islam sangat mengharamkan riba. Karena riba benar-benar
suatu pemerasan atas tenaga manusia oleh manusia. Kelihatan di luar sebagai
menolong melepaskan orang dari sesak dan kesulitan, padahal dipersulit lagi
dengan membayar bunga. Ketentuan tentang riba, yang disebut riba t'adhal atau
ribo nqsi'c,h akan diterangkan juga kelak pada waktunya.

2. Harta Tidak Halal Untuk Pengusaha


Sampai-sampai kepada urusan upah-mengupah, dengan memberikan upah
yang sangat rendah, tidak berpatutan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh
yang diupah, tetapi terpaksa dikerjakan juga, karena dia lapar.

3. Harta Tidak Halal Karena Hak Orang Lain


Untukmenjaga martabat imanmakaulama-ulamapunmemberi ingat
bahwasanya orang yang tidak patut menerima zakat karena dia ada
kemampuan, lalu diterimanya juga zakat itu, adalah haram hukumnya.
Teringatlah akan guruku Almarhum Syaikh Abdulhamid Tuanku Mudo di
Padang Panjang, pada suatu hari dikirimkan orang kepada beliau uang zakat
dari Padang. Dengan lemahlembutnya uang zakat itu telah beliau tolak, karena
beliau tidak merasa berhak menerimanya, sebab beliau mampu. Kata beliau,
makanan dan minuman beliau cukup dan pakaian beliaupun ada walaupun cara
sederhana. Padahal oleh usia beliau seluruhnya sudah disediakan buat mengajar
murid-murid beliau, tidaklah ada kesempatan beliau buat berusaha yang lain.
Namun begitu ditolaknya juga zakat itu.
Setengah ahli Fiqh menyatakan pendapat bahwasanya seorang yang tidak
ada pakaian buat shalat, sehingga boleh dikatakan bertelanjang, tidaklah wajib
atasnya meminjam pakaian orang lain buat shalat. Daripada meminjam,
tidaklah mengapa dia shalat bertelanjang.
4. Harta Pesugihan, Upah Bacaan Quran, Do’a
Termasuk juga di sini "perusahaan" membuat azimat, membikin "pekasih"
untuk seorang perempuan supaya lakinya tetap kasih kepadanya. Termasuk
jugalah di dalamnya menerima upah membaca Surat Yasin malam Jum'at
sekian kali, untuk dihadiahkan pahalanya kepada keluarga si pengupah yang
telah mati.
Termasuk juga di dalamnya apa yang ketika menafsirkan ayat 174 kita
sebutkan, yaitu orang-orang yang mendapat "penghasilan" dari fidyah shalat
orang yang telah mati. Termasuk jugalah di dalamnya orang-orang yang berdiri
di pekuburan menunggu orang-orang yang akan memberinya upah membaca
doa atau bertalkin atau membaca Surat Yasin yang diupahkan keluarga orang
yang berkubur di sana.
5. Harta Sengketa
Lebih ganas lagi memakan harta kamu ini apabila sudah sampai membawa
ke muka hakim. Sebagai lanjutan ayat: "Dan kamu bawa ke muka hakim-
hakim, karena kamu hendqk memakan sebahagian daripada hortabenda
manusia dengon dosa, padahql kqmu mengetahui." (ujung ayat 188). Kadang-
kadang timbullah dakwa mendakwa di muka hakim. Katanya hendak mencari
penyelesaian, padahal hubungan si pendakwa dengan si terdakwa telah keruh,
dendam kesumat telah timbul, usahkan selesai malahan bertambah kusut.
Orang membawa perkaranya ke muka hakim, kadang-kadang kedua pihak
memakai pokrol untuk mengalahkan lawan. Tetapi yang dimaksud ialah
mengambil harta yang ada di tangan orang lain dengan jalan dosa.
Hal yang seperti ini kerapkali benar bertemu di zaman penjajahan di negeri
kita karena kekacauan keluarga. Di Minangkabau kerapkali anak dari seorang
yang telah mati didakwa di muka hakim oleh kemenakan si matiitu. Dikatakan
bahwa hartabenda si mati yang sekarang telah ada di tangan si anak, bukanlah
harta pencaharian, tetapi harta pusaka. Sampai-sampai pendakwa mengatakan
bahwa meskipun dia telah mendapat harta pencaharian sendiri, namun si
kemenakan masih berhak atas harta itu, sebab waktu dia akan meninggalkan
kampung halaman dahulunya yang memodalinya ialah kemenakan dan
saudara-saudaranya yang perempuan. Sebab itu dia dari kecil dibesarkan
dengan harta pusaka.
Menurut riwayat yang dibawakan oleh lbnu Jarir dalam tafsirnya, dan Ibnu
Abi Hatim dan Ibnul Mundzir, bahwa lbnu Abbas menafsirkan "Dan janganlah
kamu makan hartobenda kamu di antara kamu denganialan bofil" ini, ialah
bahwa ada seorang laki-laki memegang harta orang lain, tetapi tidak ada cukup
keterangan dari yang empunya, maka orang itupun memungkiri dan berkata
bahwa harta itu adalah kepunyaan dirinya sendiri. Yang empunya hak mengadu
kepada hakim, dia bersitegang mempertahankan bahwa harta itu dia sendiri
punya, sehingga yang sebenarnya berhak menjadi teraniaya.

Tafsir Al-Misbah
        
        

“janganlah kamu memakan harta kamu, antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui. ”
Firman-Nya: Janganlah kamu memakan harta sebagian kamu antara kamu,
yakni janganlah memperoleh dan menggunakannya. Harta yang dimiliki oleh si A
hari ini, dapat menjadi milik si B esok. Harta seharusnya memiliki fungsi sosial,
sehingga sebagian di antara apa yang dimiliki si A seharusnya dimiliki pula oleh
si B, baik melalui zakat maupun sedekah. Ketika Si A menganggap harta yang
dimiliki si B merupakan hartanya juga, maka ia tidak akan merugikan si B, karena
itu berarti merugikan dirinya sendiri.
Pengembangan harta tidak dapat terjadi kecuali dengan interaksi antara
manusia dengan manusia lain, dalam bentuk pertukaran dan bantu m em bantu.
Makna-makna inilah yang antara lain dikandung oleh penggunaan kata bainakum/
antara kamu dalam firman-Nya yang memulai uraian menyangkut perolehan
harta. Kata antara mengisyaratkan juga bahwa interaksi dalam perolehan harta
terjadi antara dua pihak.
Harta seakan-akan berada di tengah, dan kedua pihak berada pada posisi
ujung yang berhadapan. Keuntungan atau kerugian dari interaksi itu, tidak boleh
ditank terlalu jauh oleh masing-masing, sehingga salah satu pihak merugi, sedang
pihak yang lain mendapat keuntungan, sehingga bila demikian harta tidak lagi
berada di tengah atau antara, dan kedudukan kedua pihak tidak lagi seimbang.
Perolehan yang tidak seimbang adalah batil, dan yang batil adalah segala sesuatu
yanj? tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum serta tidak sejalan dengan tuntunan
Ilahi walaupun dilakukan atas dasar kerelaan yang berinteraksi.
Salah satu yang terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah
menyogok. Dalam ayat ini diibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba ke
dalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang turun tidak terlihat oleh orang
lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur. Penyogok menurunkan
keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan sesuatu, tetapi sembunyi-
sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah. Janganlah kamu
memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang b atil dan m enurunkan
timbamu kepada hakim , yakni yang berwewenang memutuskan, dengan tujuan
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang lain itu dengan jalan
berbuat dosa, padahal kamu telah mengetahui buruknya perbutan itu. Sementara
ulama memahami penutup ayat ini sebagai isyarat tentang bolehnya memberi
sesuatu kepada yang berwenang bila pemberian itu tidak bertujuan dosa, tetapi
bertujuan mengambil hak pemberi sendiri.
Dalam hal ini, yang berdosa adalah yang menerima bukan yang memberi.
Demikian tulis al-Biqa‘i dalam tafsirnya. Hemat penulis, isyarat yang dimaksud
tidak jelas bahkan tidak benar, walau ada ulama lain yang membenarkan ide
tersebut seperti ash-Shan‘ani dalam buku haditsnya, Subul as-Saldm. Ayat di atas
dapat juga bermakna, janganlah sebagian kamu mengambil harta orang lain dan
menguasainya tanpa hak, dan jangan pula menyerahkan urusan harta kepada
hakim yang berwewenang memutuskan perkara bukan untuk tujuan memperoleh
hak kalian, tetapi untuk mengambil hak orang lain dengan melakukan dosa, dan
dalam keadaan mengetahui bahwa kalian sebenarnya tidak berhak.

B. Surat Almuthofifin Ayat 1-5


Al-Misbah
         
         
    
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[1561],
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.
4. tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan,
5. pada suatu hari yang besar,
Pada awal surah ini disebutkan salah satu hal yang paling banyak terjadi
dalam hubungan an tar manusia yakni menyangkut ukuran. Salah satu dosa yang
terbesar adalah berkhianat menyangkut ukuran dan timbangan. Dalam surah ini
disebutkan apa yang disiapkan buat mereka itu dan orang-orang yang
menyandang sifat seperti sifat mereka. Itu semua untuk mengingatkan orang yang
lalai dan teperdaya yang disinggung oleh surah yang lalu (QS. al-Infithar [82]: 6).
Allah berfirman: Kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan di akhirat bagi
orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan
timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta yakni menuntut secara
sungguh-sungguh agar dipenuhi atau bahkan cenderung minta dilebihkan, dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk 121 orang lain, mereka berbuat
curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang mestinya mereka
berikan.
Kata wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai doa
jatuhnya siksa. Tetapi al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya
siksa, atau dalam arti satu lembah jang sangat curam di neraka. Kata al-
muthaffifm terambil dari kata thaffa/melotncati seperti meloncati pagar atau
mendekati atau hampir seperti gelas yang tidak penuh tetapi mendekati dan
hampir penuh. Seseorang yang meloncati pagar misalnya, adalah orang yang tidak
melakukan cara yang wajar.
Demikian juga yang tidak memenuhkan gelas yang mestinya penuh. Bisa
juga kata tersebut terambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalam penakaran
dan penimbangdn akibat adanya kecurangan atau dari kata thaffif yaitu sesuatu
yang remeh, guna mengisyaratkan bahwa apa yang diambilnya secara tidak hak
itu adalah sesuatu yang kadarnya sedikit jika dilihat dari kuantitasnya dalam
kehidupan dunia ini.
Demikian antara lain makna-makna kebahasaannya. Apapun makna
kebahasaan itu, yang jelas ayat di atas menerangkan apa yang dimaksud dengan
kata tersebut. Kecelakaan, kebinasaan dan kerugian akan dialami oleh yang
melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku
perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka pada akhirnya
yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah orang-orang yang melanjutkan
hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi.
Berinteraksi dengan pihak lain, baru dapat langgeng jika dijalin oleh sopan santun
serta kepercayaan dan amanat antar kedua pihak. Dalam berinteraksi kedua sifat
tersebut melebihi jalinan persamaan agama, suku bangsa bahkan keluarga, karena
itu bisa saja Anda menemukan seorang muslim lebih suka berinteraksi dagang
dengan non muslim yang terpercaya dan sopan dari pada berinteraksi dengan
sesamanya yang muslim atau suku bangsa dan keluarga yang tidak memiliki sifat
amanat dan sopan santun.
Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini sangat jelas, apalagi dosa tersebut
berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari Kemudian nanti, menuntut
agar pahala amal-amal kebajikan yang boleh jadi pemah dilakukan oleh yang
mencuranginya itu, diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangannya itu.
Ayat 2 di atas menggunakan kata ‘alajatas pada kalimat ‘aid an-nas/atas orang lain
bukan min/dari untuk mengisyaratkan betapa mereka mengatasi bahkan
cenderung memaksakan keinginannya, ini lebih-lebih lagi jika mitranya adalah
lemah.
Ayat 2 di atas hanya menyebut menerima takaran sedang ayat 3 menyebut
mengukurdan menimbang. Ini boleh jadi karena dalam penimbangan, upaya untuk
menuntut kelebihan tidak sebesar dalam pengukuran, sedang dalam pengurangan
kedua hal itu penimbangan dan pengukuran dengan mudah dapat terjadi, lebih-
lebih jika penimbangan dan pengukuran itu tidak dihadiri oleh mitra dagangnya.
Boleh jadi juga karena para jfedagang ketika itu lebih banyak menggunakan
takaran dari pada timbangan.
Ayat di atas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak
melakukan kecurangan dalam penimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan
standar ganda. Perlakuan semacan ini, bukan saja kecurangan, tetapi juga
pencurian, dan bukti kebejatan hati pelakunya. Di sisi lain, kecurangan ini
menunjukkan pula keangkuhan dan pelecehan, karena biasanya pelakunya
menganggap remeh mitranya sehingga berani melakukan hal tersebut.
AYAT 4-5: Tidakkah mereka menduga bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan pada suatu hari yang besar, hari manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam?”
Ayat-ayat di atas mengecam mereka yang dilukiskan kecurangannya oleh
ayat-ayat yang lalu dengan menyatakan Tidakkah mereka yang sungguh bejat dan
buruk perangainya itu menduga atau yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan pada suatu hari yang besar, lagi dahsyat yaitu hari ketika manusia
berdiri menghadap Tuhan semesta alam untuk dimintai pertanggungjawaban atas
setiap aktivitasnya?
Kata yadzhunnu dari segi bahasa berarti menduga yakni pembenaran
terhadap apa yang didengar, namun masih diliputi oleh sedikit keraguan, walau
sisi pembenarannya lebih besar dari keraguannya. Sementara ulama memahami
kata tersebut di sini dalam arti yakin, namun pendapat tersebut tidak harus
demikian. Seseorang walau belum mencapai tingkat keyakinan cukup pada tingkat
menduga adanya hari Pembalasan

C. Kolerasi Surat Albaqoroh Ayat 188 Dengan Surat Almuthofifin Ayat 1-5
Setelah memahami penafsirat dari surat Albaqoroh ayat 188 yang diambil dari
Tafsir Al-Misbah dan Al-Azhar, juga surat Al-Muthofifin dari Tafsir Almisbah,
maka pemakalah menyimpulkan adanya kolerasi sebagai berikut:
1. Pentingnya etika dalam bermu’amalah.
Dijelaskan dalam Tafsir Al-Azhar surat Albaqoroh ayat 188 dan Al-Misbah
surat Almuthofifin ayat 1-5 bahwa adanya ancaman bagi mereka yang
memakan harta yang dihasilakan dengan cara yang keji atau tidak beretika
seperti, Ikhtikar, wasiat, suap menyuap, tipu menipu, pemalsuan, reklame,
pengurangan timbangan penimbunana dan lail-lain.
2. Ancaman Pengusaha
Dijelaskan dalam Tafsir Al-Azhar surat 2 ayat 188 tentang ancaman bagi
pengusaha yang tidak memberikan upah setimpal kepada pegawainya. Hal ini
berkaitan dengan Tafsir Al-Misbah surat Al-Muthofifin ayat 1-5, dimana
disebutkan bahwa seorang pedagang yang mengurangi timbangan maka
diancam dengan siksaan. Hal ini menyatakan bahwa adanya indikasi
kedzoliman atau merugikan orang lain aka nada balasannya. Pengusaha dzolim
member upah tapi pekerja dituntut untuk bekerja giat begitu pula pedagang
dzolim memberi barang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterimanya.
3. Haramnya mencari Nafkah dengan Cara Bathil
Islam membatasi dalam kebolehan mencari nafkah yang halal yang berarti
haram dengan cara bathil. Dalam tafsir Al-Azhar surat Albaqoroh ayat 188 ada
beberapa pekerjaan yang upahnya menjadi haram, antara lain:
a. Menerbitkan Buku-buku Pornoghrafi
b. Profesi yang membangkitkan Nafsu
c. Usaha dengan cara minta upah pembacaan ayat Alquran untuk yang
meninggal
d. Mengurus jenazah dengan mengharapkan imbalan dunia berupa harta
e. Penimbunan barang-barang pokok atau kebutuhan mendesak
f. Membuat keterangan palsu demi mendapatkan harta yang bukan haknya
sepeerti membuat SKTM palsu.
4. Haramnya memakan harta sengketa
Setelah dirinya tahu bawha harta itu adalah hak orang lain, namun
memaksakan diri membawa ke ranah hakim agar hartanya bias dimiliki, maka
itu termasuk perbuatan keji
5. Ayat 2 dan 3 dari surat Al-Muthofifin adalah bagian dari ‫ االثم‬yang terkandung
dalam Surat Albaqoroh ayat 188

Anda mungkin juga menyukai