Anda di halaman 1dari 19

QS.AN-NISA AYAT 5-6, QS.

Al-ISRA AYAT 27-29


(PENGELOLAAN HARTA)

DI
S
U
S
U
N

OLEH:

NAMA : IRHAMNI

: RAHHIL RIYANI

: SITI RAHMANIA

Unit :2

Semester :6

Mk : TAFSIR AHKAM MUAMALAH II

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)


AL HILAL SIGLI
2023
TAFSIR AYAT TENTANG
PENGELOLAAN HARTA

QS. An-Nisa' Ayat 5-6

‫َواَل تُْؤ تُوا ال ُّسفَهَ ۤا َء اَ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِ ْي َج َع َل هّٰللا ُ لَ ُك ْم قِ ٰي ًما َّوارْ ُزقُوْ هُ ْم فِ ْيهَا َوا ْكسُوْ هُ ْم َوقُوْ لُوْ ا لَهُ ْم قَوْ اًل َّم ْعرُوْ فًا‬

Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.(QS.An-Nisa ayat 5).

Tafsir Al-Azhar
Berkenaan dengan pemberian harta anak yatim Yaitu bagaimana kalau anak yatim itu
bodoh, pandir, tolol. Dan dengan demikian bukan saja anak yatim lagi yang diperkatakan,
tetapibsemua orang yang tolol dan pandir. Yaitu orang yang tidak dapat mengendalikan harta
bendanya, yang kalau diserahkan ke dalam tangannya, dalam sebentar saja akan musnah
dihabiskannya kepada yang tidak berfaedah. Dia hanya pandai menghabiskan, tetapi tidak
sanggup memperkembangkan harta itu. Ada kalanya karena benar-benar kurang akal, ada
kalanya karena masih kecil. Maka datanglah ayat 5 ini:
Meskipun harta itu jelas harta mereka sendiri, hak mereka sendiri, tetapi di dalam ayat
ini dikatakan, bahwa harta itu adalah harta kamu, yaitu harta kamu yang terlingkung dalam
masyarakat Islam. Menjadi kewajibanlah menjaga, agar harta itu jangan punah sesampai di
tangan orang yang empunya yang tidak pandai atau belum pandai mentadbirkannya. Padahal
harta itu adalah pokok penghidupan. Kalau harta itu diserahkan kepada si pandir, atau si
pemboros itu, sehingga habis, licin-tandas, maka terlantarlah hidupnya dan melaratlah dia.
Bukankah dia menjadi beban lagi bagi masyarakat sekitarnya? Oleh sebab itu, maka harta itu
tidak boleh diberikan kepadanya, walaupun dia anak yatim. Kalau si wali yang mengasuhnya
berkeberatan memikul amanat berat itu, bolehlah hal ini dilaksanakan oleh yang berwajib
(Sultan) atau Imam. Artinya masyarakat sudah mesti campurtangan.

Di dalam ayat ini dijelaskan: "Berilah mereka makan padanya dan berilah mereka pakaian."
Dengan ayat ini nyatalah si wali tadi berhak memperturun-pernaik harta itu,
memperniagakannya, memperkembangkannya, yang akan menyebabkan harta itu tidak habis;
maka dari sana mereka diberi rezeki makanan dan pakaian mereka, dari hasil harta mereka
sendiri.

“Serta katakanlah kepada mereka kata-kata yang baik-baik." (ujung ayat 5).
Kata-kata yang baik-baik, yaitu katakan terus-terang, bahwa harta itu adalah milik
mereka. Si wali hanya memegang dan mentadbir. Tentu saja yang mentadbirkan harta itu
berhak pula menerima ganti kerugian usahanya mentadbirkan harta itu; dan inipun wajib
dapat dipertanggungjawabkan.

1
Kebodohan atau kepandiran itu ada yang hanya sementara, yaitu pertama, selama
anak belum baligh dan belum dapat berdiri sendiri. Setelah anak dapat berdiri sendiri dan
dipercaya, bahwa dia tidak akan menyia-nyiakan, barulah harta diserahkan. Kedua,
perempuan yang tidak pandai menjalankan hartanya. Tentu kalau dia sudah bersuami dan
suaminya itu bisa dipercaya, boleh wilayah diserahkan kepadanya. Atau perempuan itu
sendiri kemudian telah sanggup, baru diserahkan. Namun ada juga orang, baik laki-laki
ataupun perempuan, kaya-raya, sangat pandir. Mungkin selama hidupnya wali masih
berkewajiban memegang harta itu, lalu dijamin makan minum dan pakaiannya. Setelah dia
meninggal diserahkan kepada warisnya menurut syara'.

‫اح فَاِ ْن ٰانَ ْستُ ْم ِّم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَع ُْٓوا اِلَ ْي ِه ْم اَ ْم َوالَهُ ْم ۚ َواَل تَْأ ُكلُوْ هَٓا اِس َْرافًا‬ َ ۚ ‫َوا ْبتَلُوا ْاليَ ٰتمٰ ى َح ٰتّ ٓى اِ َذا بَلَ ُغوا النِّ َك‬
oِ ْ‫ف ۚ َو َم ْن َكانَ فَقِ ْيرًا فَ ْليَْأ ُكلْ بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ف ۗ فَاِ َذا َدفَ ْعتُ ْم اِلَ ْي ِه ْم‬ ْ ِ‫َّوبِدَارًا اَ ْن يَّ ْكبَرُوْ ا ۗ َو َم ْن َكانَ َغنِيًّا فَ ْليَ ْستَ ْعف‬
‫اَ ْم َوالَهُ ْم فَا َ ْش ِه ُدوْ ا َعلَ ْي ِه ْم ۗ َو َك ٰفى بِاهّٰلل ِ َح ِس ْيبًا‬

Artinya : Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim)
melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum
mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah
dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta
itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas.(QS An-Nisa ayat 6).

Tafsir Al-Azhar
Ayat yang selanjutnya memberi keterangan lebih jelas lagi: "Hendaklah kamu selidiki" atau
kamu uji, atau kamu tinjau dengan seksama "anak-anak yatim itu, hingga sampai waktunya
untuk menikah." (pangkal ayat 6).
Diuji dia, apakah dia telah sanggup memegang hartanya sendiri atau belum. Misalnya
diberikan kepadanya terlebih dahulu sebagian, disuruh dia memperniagakan, sudah
pandaikah dia atau belum. Kalau belum jangan dahulu diserahkan semua. Di dalam ayat ini
disebut ujian itu sebelum menikah. Karena setelah dia menikah, berarti dia telah berdiri
sendiri, mengatur pula isteri dan rumah tangganya.

"Jika kamu tilik pada mereka telah ada kecerdikan, serahkanlah harta mereka kepada
mereka."
Artinya lepaslah kamu dari tanggungjawab, sebab harta itu memang harta mereka
sendiri.Dengan ayat ini teranglah, bahwa menjadi perintah wajib dari Tuhan terhadap si wali
itu menyerahkan harta itu seluruhnya setelah jelas, bahwa dia telah pandai atau telah sanggup
mengatur sendiri hartanya. Kalau mereka dua tiga orang laki-laki dan perempuan, niscaya ada
yang tertua antara mereka dan dapat mengatur adik-adiknya serta saudara-saudara
perempuannya. Kalau dia telah sanggup mengatur sendiri adik-adiknya itu, lebih baik

2
diserahkan kepadanya semua, sebab dialah yang paling akrab kepada adik-adiknya itu. Tetapi
kalau dia baru dapat mengatur hartanya sendiri, maka masihlah kewajiban bagi si wali
mengurus harta adik-adiknya yang belum dewasa itu. Di dalam hal ini kita lihat, bukanlah
bergantung kepada umur, tetapi bergantung kepada kecerdikan atau kedewasaan fikiran.
Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi dia telah cerdik. Dan ada pula usianya
telah agak lanjut, tetapi belum matang.Teranglah pula di dalam ayat ini, bahwa kalau syarat
kecerdikan itu telah tampak, padahal si wali masih bertahan, tidak mau menyerahkannya,
berdosalah dia di sisi Allah.

“Dan janganlah kamu makan harta itu dengan boros dan cepat-cepat sebelum mereka
dewasa."

Sehingga setelah datang waktunya dia berhak menerima hartanya kembali,


didapatinya hartanya itu telah musnah secara tidak patut. Bertasharruf terhadap harta anak
yatim dengan cara seperti ini, termasuklah ke dalam golongan orang yang menyalakan api
dalam perut. Harta anak yatim yang dimakan dengan cara tidak halal itu, besar sekali
kemungkinan akan membakar habis harta si wali itu sendiri. Sebab selama dia berlaku tidak
jujur itu, hartabenda kepunyaannya sendiripun akan hilang berkatnya.

"Barangsiapa yang kaya hendaklah dia menahan diri."


Kata ayat ini adalah sebagai pembangkit dasar budi baik dalam jiwa wali yang kaya.
Tanpa menyinggung sedikitpun harta anak yatim itu untuk kepentingannya sendiri, tetapi di-
peliharanya dan dijalankannya juga sebagaimana patutnya. Sebab dia sendiri pun orang yang
mampu, maka bertambah besar dan mulialah dia dalam pandangan anak yatim itu setelah dia
dewasa kelak. Dan merasalah anak itu, bahwa dia berhutang budi.

"Dan barangsiapa yang fakir, bolehlah makan secara patut"


Dia seorang yang miskin, padahal dengan tiba-tiba memikul beban mengasuh dan
memegang amanat anak yatim kaya. Dia wajib memegang amanat itu. Kalau dia tidak boleh
menyinggung secara patut, tentu teraniayalah dia. Mungkin dengan menjalankan harta anak
yatim itu diapun tertolong. Misalnya anak yatim itu mempunyai harta setumpak sawah. Si
wali yang fakir boleh mengerjakan sendiri sawah itu dengan bagi dua hasil. Demikian juga
contoh yang lain-lain. Di sini disebut lagi bil ma'rufi, yaitu menurut cara yang patut dalam
pandangan umum. Karena keridhaan Allah itu sesuai pula dengan keridhaan perikemanusiaan
yang umum.
Meskipun berapa patutnya wali yang tidak mampu itu bolehlah memakan harta anak
yatim itu, baik juga kita tilik betapa pendapat ulama tentang hal ini, agar kita ketahui
kesatuan pendapat mereka dalam satu hal, yaitu bahwa memakan harta anak yatim adalah
suatu perbuatan yang meminta pertanggungjawaban budi yang amat besar, walaupun
jumlahnya kecil.
Ada ulama tafsir berpendapat, bahwa wali yang memakan harta anak yatim karena
kemiskinan itu adalah sebagai berhutang, dengan niat akan membayarnya kembali. Yang
berpendapat begini antaranya ialah Saiyidina Umar bin Khathab sendiri dan Ibnu Abbas. Ibnu

3
Jarir menyalinkan dasar pendapat Ibnu Abbas itu demikian: "Kalau si pengasuh itu kaya,
tidaklah halal dia memakan harta anak yatim. Tetapi kalau si pengasuh itu orang miskin,
bolehlah dia pakai harta itu dengan niat apabila dia telah mampu akan dibayarnya. Itulah
yang disebut di dalam ayat memakan dengan patut."

Ditambah lagi oleh Said bin Jubair (murid Ibnu Abbas): "Kalau si pengawas itu telah
dekat akan mati, hendaklah dia minta ridha kepada pengawasnya yang menggantikannya."
Menurut as-Sya'bi: "Arti memakan dengan sepatutnya, ialah bahwa dia tidak boleh
memakan harta anak yatim kalau tidak terpaksa benar, (mudh tharr) sebagai dihalalkan
makan bangkai bagi seorang yang tidak mendapat makan lagi."
Dibicarakan juga oleh ahli tafsir berapa kadarnya dibolehkan memakan dengan ma'ruf
itu. Satu riwayat dari Ibnu Abbas menerangkan, ialah mengambil makanan itu sekedar di
ujung jarinya saja. As-Suddi mengatakan sekedar ujung jari jua. Jangan berlebih dan jangan
mengambil pakaian.
Menurut Ikrimah: "Artinya, ialah bahwa tangan engkau bersama masuk piring
dengan tangan mereka, dan jangan mengambil pakaian (sandang). Penafsiran lain berkata,
ambillah sekedar penghilangkan lapar dan sekedar penutup aurat." Yang lain menyatakan
pendapat pula, boleh mengambil makan hasil harta anak yatim itu sekedarnya, sebagai air
susu binatang ternak, bulunya, hasil buah dan hasil tanaman di sawah, semuanya sekedar
perlu pula.
Menurut fatwa Imam 'Atha': "Makan bersama-sama mereka satu hidangan, sekedar
hikmat dan pekerjaannya, jangan lebih!"
Akhirnya samalah pendapat segala ulama fiqh, bahwa harta anak yatim tetap harta
anak yatim. Walinya sekedar pengawas dan tidak boleh menguasai sebagai hartanya sendiri.
Tetapi dia boleh meminjam harta itu kalau sangat terdesak, dan boleh juga
memperhitungkannya sebagai upah atau gaji, yang diperhitungkan baik-baik. Maka timbul
kesimpulan, bahwa memakan dengan sepatutnya (ma'ruf) itu, ialah boleh meminjam akan
dibayar, boleh menerima upah menurut patut, dan sekali-kali tidak boleh memakan harta itu
dengan tidak hendak menggantinya, atau seperti harta kepunyaan orang gila atau orang
pandir. Sampai begitulah halusnya ahli-ahli tafsir dan fuqaha membicarakan hal ini.

Penyerahan Di Hadapan Saksi


"Kemudian apabila kamu menyerahkan harta mereka kepada mereka, hendaklah kamu
adakan saksi atasnya."
Di sini jelaslah sudah, bahwa kalau sudah datang waktu menyerahkan harta anak
yatim itu ke tangannya, sebab dia sudah bisa mengurus sendiri, hendaklah di hadapan saksi.
Sebab dengan adanya saksi, si pengawas dapat mempertanggungjawabkan bagaimana dia
menjaga harta itu.
Jika dia miskin, sebagaimana disebut di pangkal ayat, sehingga ada harta itu yang
termakan dengan ma'ruf, hendaklah diketahui. Patut dibayar, dibayar; patut minta ridha,
diharapkan ridhanya. Berkata Ibnu Abbas: "Apabila usianya sudah baligh, serahkanlah
hartanya di hadapan saksi, karena begitu perintah Tuhan."
Ada juga pembicaraan ulama tentang hukumnya memakai saksi ketika penyerahan
itu. Mazhab Syafi'i dan Maliki menyatakan, bahwa menyerahkan di hadapan saksi itu adalah
4
wajib. Ada juga ulama, antaranya dalam mazhab Hanafi mengatakan ini hanya perintah
sunnat saja. Tetapi apabila kita kaji sampai kepada bunyi ayatnya sendiri, menurut undang-
undang ilmu Ushul Fiqh, di sini terdapat amar (perintah), yaitu fa asyhidu, hendaklah kamu
adakan saksi. Pokok pertama perintah adalah wajib, kecuali ada terdapat tanda-tanda lain
yang menurunkan perintah itu kepada anjuran. Di dalam ayat ini tidak terdapat isyarat yang
akan menurunkan derajat perintah menjadi anjuran, malahan ujung ayat memberi petunjuk,
bahwa perintah ini lebih berat kepada wajib. Sebab ujung ayat berbunyi:

"Dan cukuplah Allah sebagai Penghitung." (ujung ayat 6).


Artinya, bahwasanya segala gerak-gerik, kejujuran atau kecurangan wali pengawas
harta anak yatim itu tidak lepas dari perhitungan dan pengawasan Allah. Maka kalau
misalnya ada kecurangan tidaklah hal itu dapat disembunyikan dari tilikan Allah Ta'ala.
Kalau misalnya manusia dapat menyembunyikan dari mata sesama manusia di atas dunia ini,
di akhirat pasti akan diperhitungkan kembali. Menilik ujung ayat yang mengandung ancaman
ini, maka penulis tafsir ini lebih condong kepada pendapat ulama-ulama Malikiyah dan
Syafi'iyah tersebut tadi, bahwa hukum menghadirkan saksi itu ialah wajib.
Untuk menenteramkan hati dalam mengamalkan perintah Tuhan ini tidaklah ada
halangannya, bahkan sangat dianjurkan apabila penyerahan kembali harta anak yatim yang
telah dewasa itu dilakukan di hadapan Notaris.

Q.S Al-Isra ayat 27-29

‫اِ َّن ْال ُمبَ ِّذ ِر ْينَ َكانُ ْٓوا اِ ْخ َوانَ ال َّش ٰي ِطي ِْن َۗو َكانَ ال َّشي ْٰط ُن لِ َرب ِّٖه َكفُوْ رًا‬

Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya.(QS. Al-Isra' Ayat 27).

Tafsir Al-Azhar
"Karena sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah kawan-kawan dari syaitan."
(pangkal ayat 27).
Dijelaskanlah dalam ayat ini bahwasanya orang pemboros adalah kawan syaitan.
Biasa- nya kawan yang karib atau teman setia itu besar pengaruhnya kepada orang yang
ditemaninya. Orang yang telah dikawani oleh syaitan sudahlah ke- hilangan pedoman dan
tujuan hidup. Sebab dia telah dibawa sesat oleh kawan- nya itu, sehingga meninggalkan taat
kepada Allah dan menggantinya dengan maksiat.

Di ujung ayat diperingatkan kejahatan syaitan itu: "Dan adalah syaitan itu, terhadap
Tuhannya, tidak mengenal terimakasih." (ujung ayat 27).
Teranglah, kalau seseorang telah membuang-buang harta kepada yang tidak
berfaedah, bahwa pengaruh syaitan telah masuk kedalam dirinya. Oleh karena sifat syaitan itu
ialah tidak mengenal terimakasih, menolak dan melupakan nikmat, oleh karena dia telah
menjadi sahabat setia dari orang yang bersangkutan itu, maka sifat dan perangai syaitan itulah

5
yang telah memasuki dan mempengaruhi peribadinya, sehingga segala tindak-tanduk
hidupnya pun tidak lagi mengenal terimakasih. Begitu banyaknya rezeki dan nikmat yang
dilimpahkan Allah kepada dirinya, lalu dibuang-buangnya saja dengan tidak semena-mena.
Hartabenda itu hendak keluar juga dari dalam simpanan. Harta yang tersimpan saja,
dengan tidak diambil faedahnya, sama saja dengan menyimpan batu yang tak berharga. Kalau
dia tidak keluar untuk yang berfaedah, dia akan keluar untuk yang tidak berfaedah. Seorang
miskin misalnya datang meminta bantu, enggan kita memberikan. Setelah si miskin pergi
dengan tangan hampa, datanglah "kawan karib" tadi, yaitu syaitan. Lalu diajaknya kita
mengeluarkan uang yang sedianya dapat diberikan kepada si miskin tadi, untuk berfoya-foya.
Lalu kita turuti ajakan "kawan" itu, maka dosalah yang dapat. Padahal tadinya nyaris
membawa pahala.

ُ ‫ضنَّ َع ْن ُه ُم ا ْبتِ َغ ۤا َء َر ْح َم ٍة ِّمنْ َّربِّكَ ت َْر ُج ْوهَا فَقُ ْل لَّ ُه ْم قَ ْواًل َّم ْي‬
‫س ْو ًرا‬ َ ‫َواِ َّما تُ ْع ِر‬

Artinya: "Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu
yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut.(QS. Al-
Isra' Ayat 28).

Tafsir Al-Azhar
"Dan jika engkau berpaling dari mereka, karena menanti rahmat Tuhanmu yang engkau
harapkan; katakanlah kepada mereka kata-kata yang menyenangkan." (ayat 28).

Bagus dan halus sekali bunyi ayat ini untuk orang yang dermawan, berhati mulia dan
sudi menolong orang yang patut ditolong. Tetapi apa boleh buat, di waktu itu tidak ada
padanya yang akan diberikan. Maka disebutkanlah dalam ayat ini jika engkau terpaksa
berpaling dari mereka, artinya berpaling karena tidak sampai hati melihat orang yang sedang
perlu kepada pertolongan itu, padahal kita yang dimintainya pertolongan sedang "kering".
Dalam hati kecil sendiri kita berkata, bahwa nanti di lain waktu, kalau rezeki ada, rahmat
Tuhan turun, orang itu akan saya tolong juga. Maka ketika menyuruhnya pulang dengan
tangan hampa itu, berilah dia pengharapan dengan kata-kata yang menyenangkan. Karena
kadang-kadang kata-kata yang halus dan berbudi, lagi membuat senang dan lega, lebih
berharga daripada uang berbilang.
Menurut kitab-kitab tafsir, ayat ini turun langsung untuk Nabi Muhammad s.a.w. di
waktu pada satu ketika beliau membiarkan orang meminta tolong, pulang dengan tangan
kosong. Sejak itu kalau terjadi demikian beliau lepaslah orang itu pergi dengan ucapannya:

"Diberi rezeki Allah kiranya kami dan kamu dari karuniaNya."


Tersebut di dalam pendidikan kesopanan Islam, bahwasanya muka yang jernih saja
pun sudah sama dengan pemberian derma. Hati orang yang susah, meskipun maksudnya
belum berhasil, akan lega juga melihat bahwa orang tempatnya meminta itu tidak bermuka
kerut menghadapinya. Melainkan membayangkan kesedihan hati, karena tak dapat memberi
di saat itu. Kemudian datanglah tuntunan bagaimana cara memberi. Maka bersabdalah Tuhan
selanjutnya:
6
‫ُطهَا ُك َّل ْالبَ ْس ِط فَتَ ْق ُع َد َملُوْ ًما َّمحْ سُوْ رًا‬ َ ِ‫ك َم ْغلُوْ لَةً اِ ٰلى ُعنُق‬
ْ ‫ك َواَل تَ ْبس‬ َ ‫َواَل تَجْ َعلْ يَ َد‬

Artinya : "Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal.(QS. Al-Isra' Ayat 29).

Tafsir Al-Azhar
"Dan jangan engkau jadikan tanganmu terbelenggu kepada kudukmu, dan' jangan (pula)
engkau lepaskan dia sehabis lepas." (pangkal ayat 29).
Maksudnya ialah jangan bakhil dan jangan cabar, atau boros, atau royal atau
membuang-buang harta.bakhil dan boros tercela dan membawa celaka bagi diri sendiri.
Bakhil menimbulkan kebencian orang dan menyakiti diri sendiri dan membawa tersisihnya
dari masyarakat. Sedang boros adalah menjadi alamat bahwa hidup orang ini tak menentu,
kekayaan yang didapat tidak ada berkat- nya. Dan kalau ada dipuji-puji orang. Tetapi kalau
sudah melarat, akan melarat sendirian.

Sebab itu dikatakan pada lanjutan ayat: Kalau engkau bakhil dan boros "Niscaya engkau akan
duduk tercela lagi menyesal." (ujung ayat 29).
Orang yang bakhil akan tercela dalam pergaulan hidupnya, sebab dengan tidak
disadarinya dia telah diperbudak oleh hartanya itu. Mau dia berputus- putus berkerat rotan
dengan kaum keluarganya karena cintanya akan harta itu. Sedang orang yang ceroboh, boros
dan mencurah-curahkan harta seakan- akan tangan tidak berkunci, akhir kelaknya akan
menyesal sendirinya bilamana hartabenda itu telah punah dan licin tandas karena keluarnya
tidak beperhitungan.

7
PEMBAHASAN
PENGELOLAAN HARTA
Kata harta dalam istilah ahli fikih berarti, "Segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya."
1. Jenis Pembagian Harta
Harta benda dibagi menjadi dua kategoriyaitu
a. Harta berbentuk benda, yaitu segala sesuatu yang berbentuk materi yang dapat
dirasakan oleh indera, seperti mobil dan lain sebagainya.
b. Harta berbentuk manfaat, yaitu faedah yang diperoleh dari suatu benda
Harta juga dibagi menjadi bebarapa bagian sesuai dengan asumsi beikut ini:
a. Perlindungan syara'
Harta yang bernilaiyaitu harta yang memiliki harga Orang yang membuat harta jenis ini
jika rusak harus menggantinya, apabila digunakan dengan cara yang tidak sebagaimana
mestinya. Harta ini dapat dikategorikan sebagai harta bernilai yang berdasarkan dua
ketentuanPertama, harta yang merupakan hasil usaha dan bisa dimilikiKedua, harta yang bisa
dimanfaatkan menurut syaradalam keadaan lapang dan tidak mendesak, seperti uang, rumah,
dan sebagainya.1
Harta yang tidak bernilai, yaitu harta yang tidak memenuhi salah satu dari dua kriteria
diatasSeperti ikan di dalam air laut, semua ikan yang ada di dalam lautan bukan hak milik
siapapunDemikian pula dengan minuman keras dan babi, kedua jenis harta ini tidak termasuk
harta yang bernilai bagi seorang muslim. Karena memanfaatkannya. seorang muslim dilarang
untuk
b. Harta yang bergerak dan tidak bergerak
Harta yang tidak bergerak, yaitu semua jenis harta yang tidak bisa dipindahkan dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Seperti tanah, bangunan, dan yang sejenisnya. Harta yang
bergerak, yaitu semua harta yang bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Seperti mobilperabotan rumah tangga, dan yang sejenisnya.
c. Harta yang memiliki kesamaan
Harta yang serupa, yaitu jenis harta yang ada padanannya di pasarsedikitpun tidak ada
perbedaannya. Seperti beras, kurmadan yang sejenisnya.Harta yang tidak serupa, yaitu harta
yang pada dasarnya tidak ada padanannya. Seperti sebuah permata langkaAtau harta yang
mempunyai padanan, tetapi terdapat perbedaan dalam memperlakukannya. Seperti hewan,
pohon, dan sejenisnya.
d. Harta yang konsumtif dan tidak konsumtif
Harta yang konsumtif, yaitu semua harta yang akan habis ketika dimanfaatkan. Seperti
makanan, minuman, dan sejenisnya. Harta yang tidak konsumtif, yaitu harta yang dapat
dimanfaatkan sementara bahannya tetap ada. Seperti bukumobil, dan yang sejenisnya.
e. Harta yang dapat dimiliki dan tidak dapat dimiliki
Harta yang mutlak dapat dimiliki, yaitu harta yang dikhususkan untuk kepentingan
umum. Seperti jalan umum, jembatandan lain sebagainya.Harta yang tidak dapat dimiliki
kecuali atas izin syaraseperti harta yang telah diwakafkan. Harta wakaf tidak boleh

1
Abdullah Al Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (JakartaDarul Haq, 2004)him. 73.
8
diperjualbelikan, kecuali jika biaya pengeluaran untuk menjaga harta wakaf itu lebih besar
dari manfaat yang diperoleh. Harta yang dapat dimiliki, adalah jenis harta yang tidak
termasuk dalam dua kategori diatas.
Islam menganjurkan keharusan menjaga hartaRasulullah SAW melarang untuk
menghilangkan hartaIslam juga menyamakan kedudukan harta milik pribadi sama dengan
kedudukan harta milik umum, dalam hal memberikan perlindungan, penjagaan, dan
menghormati kepemilikannya, selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Islam
memandang harta sebagai salah satu bekal kehidupan dunia. Harta kekayaan merupakan salah
satu sarana yang bisa mempermudah kehidupan manusia. Sehingga harta itu tidak dicela
karena digunakan pada hal-hal yang mungkar dan diharamkan. Harta juga tidak dipuji, jika
dipergunakan pada hal-hal yang baik.
Harta hanya sebagai sarana jika dipergunakan untuk kebaikan, maka ia akan menjadi
baik dan jika dipergunakan untuk keburukan maka ia akan menjadi buruk. Harta tidak dicela
karena zatnyaAkan tetapi celaan hanya ditujukan pada manusia yang mempergunakannya,
sehinggan manusia kikir terhadap hartanya dan dapat mempergunakannya bukan di jalan
yang halal. Manusia bisa saja tidak mempergunakan harta miliknya atau mempergunakannya
tidak sebagaimana mestinya atau hanya untuk di bangga-banggakan. Salah seorang bijak
berkata, "Siapapun yang mampu menggunakan hartanya dengan benar, maka berarti dia telah
menjaga dua hal yang mulia, yaitu agama dan kehormatan."
Dalam Islam, harta bukan sebagai tujuan, akan tetapi sebagai sarana untuk
mendapatkan manfaat dan untuk mencapai sebuah keinginan. Siapapun yang menggunakan
harta dalam koridor tersebut, maka ia akan menjadi kebaikan untuk dirinya dan masyarakat,
dan siapapun yang menggunakannya sebagai tujuan dan kenikmatan, maka hartanya akan
berubah menjadi syahwat yang dapat mengantarkan dirinya melakukan kerusakan, dan
membuka pintu- pintu kerusakan terhadap manusia.2

B. Jenis Kepemilikan dan Pemanfaatan Harta Kekayaan Dalam Persepektif Hukum


Ekonomi Islam
Hak milik dalam pandangan Islam tidak bersifat mutlak karena ada ketentuan-
ketentuan di dalam hukum ekonomi Islam yang tidak boleh dilanggar oleh umat Islam dalam
upaya seseorang ingin mendapatkan harta kekayaan. Walaupun seseorang memiliki harta
kekayaan yang diperoleh nya menurut cara yang legal namun tidak berarti ia dapat mengelola
dan memanfaatkannya secara mutlak tanpa pertimbangan apapun juga. Dalam hukum
ekonomi Islam kepemilikan pribadi yang berupa harta kekayaan masih ada batas-batasnya
karena pada hakekatnya manusia hanyalah sebagai penerima amanah.
Menurut hukum ekonomi Islam ada empat cara untuk memperoleh hak milik (harta
kekayaan) yaitu:
1. Karena Ihrazul Mubahat (memiliki benda yang boleh untuk dimiliki)
2. Karena Al Uqud (memiliki benda karena berdasarkan akad atau perjanjian)
3. Karena Khalafiyah (memiliki benda karena proses pewarisan)
4. Karena Attawalludu Minal Mamluk (memiliki benda dengan cara diperoleh secara
otomatis)".3

2
Hendri Suhendri, Fiqh Muamalah ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 27.
3
Wati Rahmi Ria dan Muhamad Zulfikar, Op.cit, hlm.154.
9
Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi
mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariah.
Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani dalam
kitabnya sistem ekonomi Islam. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Islam membagi konsep
kepemilikan menjadi kepemilikan individu (private property), kepemilikan publik (collective
property), dan kepemilikan Negara (state property).
a. Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak
tersebut seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini
dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu seseorang akhirnya
dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dimilikinya.
Hukum syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada
seseorang, yaitu dengan:
1. Bekerja
2. Pewarisan
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4. Pemberian Negara
5. Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun.
Hukum syariah juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal menghambur-hamburkan
harta di jalan yang terlarang seperti melakukan aktifitas suapmemberikan riba/bunga,
membeli barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuranMelarang transaksi dengan
cara penipuan, pemalsuanmencuri timbangan/ukuran. Dan juga melarang aktifitas yang dapat
merugikan orang lain seperti menimbun barang untuk spekulasi".4
Islam juga menuntunkan prioritas pemanfaatan harta milik individu, bahwa pertama-tama
harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti untuk memberi nafkah
keluarga,membayar zakat, menunaikan haji, membayar utang dan lain-lain. Berikutnya
dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang disunahkan seperti sedekah, hadiah, baru kemudian
yang mubahAturan Islam juga berbicara tentang bagaimana seseorang akan mengembangkan
harta. Antara lain dengan jalan yang sah seperti jual belikerja sama usaha (syarikah) yang
islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan dan jasaDan juga larangan
pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan investasi di bidang yang haram seperti
membuka rumah bordir, diskotik, dan lain-lain.
b. Kepemilikan Publik (collective property)
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh
Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang
memilikinya secara pribadiAda tiga jenis kepemilikan publik, yaitu:
1. Saranaumum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari
seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dan lain-lain
2. Kekayaan yang aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan
umumlaut, sungai, danauteluk, selat, kanal, lapangan, dan lain-lain.
3. Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat
(seperti emas atau besi)cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).

4
Zamir Iqbal dan Abas Mikakhor, Pengantar Keuangan islam: Teori dan Praktek (Jakarta: Kencana,
2008)him93.
10
Hak pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil rakyat.
Negara harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan efisien. Meskipun
Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak tersebut
kepada individu tertentu. Kepemilikan umum harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
kepada masyarakat luas. Pemanfaatan kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Jika memungkinkanindividu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya
diperkenankan sekedar mengambil manfaat dari barang-barang itu dan bukan
memilikinya. Misal memanfaatkan secara langsung kepemilikan umum seperti air,
jalan umum, dan lain-lain.
2. Jika tidak mudah bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung seperti gas
dan minyak bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil dari
masyarakat untuk kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada seluruh
rakyat, atau jika dijual hasilnya dimasukkan ke bait al- mal (kas Negara) untuk
kepentingan masyarakat
.
c. Kepemilikan Negara (State Property)
Kepemilikan Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang
pengelolaannya menjadi wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah, dan
sebagainyaSebagai pihak - yang memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada
sebagian kaum muslim, sesuai dengan kebijakannya. 5 Makna pengelolaan oleh khalifah ini
adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Termasuk dalam hal ini
adalah padang pasirgunungpantaitanah mati yang tidak dihidupkan secara individual, semua
tanah ditempat futuhat yang tidak bertuan yang ditetapkan oleh khalifah menjadi milik bait
al- mal dan setiap bangunan yang dibangun oleh Negara dan dananya berasal dari bait al-mal.
Meskipun harta milik umum dan milik Negara pengelolaannya dilakukan oleh Negara,
namun keduanya berbeda.
Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara kepada siapapun,
meskipun Negara dapat membolehkan orang- orang untuk mengambil manfaatnya. Adapun
terhadap milik Negara, khalifah berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu
tertentu sesuai dengan kebijakannya"

d. Pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan


1. Pemanfaatan kepemilikan
Kepemilikan akan harta tentu dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dan
larangan memiliki kekayaan tanpa dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan itu.
Kekayaan yang di biarkan tanpa dimanfaatkan akan menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan dan produktifitas perekonomian. Bentuk-bentuk pengaturan mengenai
pengelolaan kekayaan mencakup tata cara pembelanjaan dan tata cara
pengembangannyaIslam menghendaki agar siapapun ketika mengelola harta melakukannya
dengan cara sebaik mungkin. Prioritas utama yang dilakukan terkait dengan pengelolaan
harta adalah mengkonsumsi habis, khususnya menyangkut barang yang habis pakai seperti
makanan dan minuman atau mengkonsumsi dalam arti sekedar mengambil manfaat dari harta
seperti pakaian, rumah, mobil, dan sebagainya. Setiap muslim harus tunduk mengikuti
hukum-hukum syariah yang terkait dengan hal tersebut. Mengingat dalam Islam setiap semua

5
Muhammad, Etika Bisnis Islam (Yogyakarta: UPP-AMP-YKPN2004), hlm18.
11
bentuk pemanfaatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak." 6
Terkait dengan harta, pertanggungjawaban yang diberikan meliputi dua perkara, tidak hanya
untuk apa harta itu digunakan dan dari mana harta di dapat, sehingga dalam hal ini
pengaturan pemanfaatan tersebut digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu pemanfaatan yang
dihalalkan dan pemanfaatan yang diharamkan dalam Islam.
a) Pemanfaatan kepemilikan yang dihalalkan
Pengembangan kepemilikan ini terkait dengan hukum- hukum di dalam
IslamAda yang bersifat wajib seperti nafkah dan keperluan ibadah/zakat. Bersifat
sunnah seperti hibah. hadiah, dan sedekah. Dan mubah seperti untuk keperluan
rekreasi dan lain-lain.
b) Pemanfaatan kepemilikan yang dilarang
Ada anjuran di dalam Islam untuk untuk tidak memanfaatkan harta dalam
aktifitas israf dan tadzhir, taraf (berfoya-foya), tuqtir (kikir)menyuap, dan untuk
tindakan kedzaliman
2.Pengembangan Kepemilikan
Pengembangan kepemilikan terkait dengan suatu mekanisme atau cara yang akan
digunakan untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan harta. Misalnya apakah dengan
cara diinvestasikan dalam sebuah perusahaan, untuk modal perdagangan, atau malah
dilarikan untuk perjudian.
1. Pengembangan kepemilikan dalam Islam
Pengembangan kepemilikan tidak dapat dilepaskan dari hukum-hukum yang
terkait dengan masalah pertanian. perdagangan, dan industry serta jasa. Syariah Islam
menjelaskan hukum-hukum seputar perdagangan seperti jual beli, persyarikatan dan
sebagainya serta telah menjelaskan hukum seputar industry dan jasa atau ijarah al-
ajirPengembangan kepemilikan dalam Islam pada dasarnya diberikan kebebasan
untuk mengembangkannya selama tidak terkait dengan larangan.
2. Pengembangan kepemilikan yang dilarang Dalam sistem ekonomi Islam, masalah
pengembangan kepemilikan terkait dengan hukum-hukum tertentu yang tidak boleh
dilanggarSyariah Islam melarang pengembangan harta dalam hal:
1) Perjudian
2) Riba
3) Al-gahhn al-Jahisy/ trik keji
4) Tadlis/penipuan
5) Penimbunan
6) Mematok harga.

6
Ahmad Sholihin Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: PT Gramedia, 2010), him.38.
12
A.Pengertian Harta
Harta dalam Alquran disebut dengan Al-Mal jamaknya Al-Amwal yang artinya
cenderung pada, condong pada, miring, suka, senang, simpati kepada,membantu, melangkah
menuju,  menyimpang dari, mengelak, berpihak pada. Karena manusia cenderung ingin
memiliki dan menguasai harta. al-Mal juga diartikan segala sesuatu yang menyenangkan
manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaatnya.
Menurut pengertian etimologi harta adalah sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh
manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan,
maupun manfaat dari barang seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
Dalam al-muhith dan lisan arab , menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu
yang sangat diinginkan olehmanusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian
unta, sapi, kambing, tanah, emas, perak dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan
memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan. Ibnu Asyr mengatakan bahwa; kekayaan pada
mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala
barang yang disimpan dan dimiliki.
1. Menurut Imam Hanafi, harta adalah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia, dapat disimpan
dan dimanfaatkan ketika dibutuhkan.
2. Defenisi maal menurut ulama hambali ialah apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah
untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
3. Imam Syafi‟i berkata bahwa maal ialah barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual
dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkan
memanfaatkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Kalau baru sebagian orang saja yang
meninggalkannya, barang itu masih tetap dianggap sebagai harta karena barang itu mungkin
masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
4. Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat bahwa maal itu ialah setiap benda yang
mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang bisa dimiliki dan bisa
diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan selain manusia yang dijadikan untuk
kemaslahatan manusia dan manusia dapat memiliki dan memanfaatkan secara bebas.
B.Unsur Harta
Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua unsur:
Pertama, unsur 'ainiyyah dan kedua, unsur 'urf. Unsur 'aniyyah ialah bahwa harta itu ada
wujudnya dalam kenyataan (a'yan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak
disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak. 
Sedangkan unsur 'urf ialah sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau oleh
sebagian manusia, Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak
bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta; atau
bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungakan manusia karena jumlahnya yang
sedikit sehingga tidak bisa dimanfaatkan, seperti segenggam tanah, setetes air, dan
sebagainya.
C.Fungsi Harta
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta tersebut, fungsi
harta amat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik, maupun sebaliknya. Diantara sekian
banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut :
a. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibada yang khas (mahdah), sebab untuk
ibadah dibutuhkan alat-alat, semisal kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat,
bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, hibah dan lainnya. 
13
b. Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah, sebab kefakiran cenderung
mendekatkan diri kepada kekufuran sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. 
c. Untuk meneruskan kehidupan dari saatu periode ke periode berikutnya, sebagaimana firman
Allah swt: 
d. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat,  
e. Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
f. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya. 
g. Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal akan
tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia tidak memiliki biaya. 
h. Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan
tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan karena itu
tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkeberikutnya.
i. Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga
terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.
D.Pengelolaan Harta dalam Islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur‟an
dan Hadits); yaitu:
1. Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil.
Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan
cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”
2. Larangan mencintai harta secara berlebihan.
Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan
kecintaan yang berlebihan”
3. ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya” (hadits Muslim.)
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut
Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia
Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi
kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain
Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah
tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta
yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.Sebagaimana seorang
muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun
dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal
dengan melebihi batas kewajaran.
Islam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk memperoleh harta dengan jalan yang
benar, tetapi juga mengarahkan mereka bagaimana cara memanfaatkan harta tersebut. Salah
satu ajaran mendasar dalam masalah pemanfaatan harta ini adalah ajaran Alquran yang
membelanjakan harta kepada hal-hal yang mendukung tegaknya Islam serta sendi-sendi
kehidupan dalam masyarakat. Hal ini dapat diperhatikan dari penghargaan yang diberikan
Allah kepada orang yang menafkahkan harta di jalan Allah seperti berjihad, memberikan
zakat, dan aktifitas kemanusiaan lainnya.
 
Islam juga mengatur dalam pengelolaan harta Seperti halnya dalam :

14
Kewajiban Menyelamatkan Harta Anak Yatim
Allah Swt dengan sangat jelas menunjukkan perhatian-Nya kepada pengamanan harta
anak yatim dari kepunahan dan kehancuran dengan cara melarang para wali memberikan
kepada anak yatim harta miliknya.Hal itu dapat terlihat dalam firman-Nya yaitu QS.An Nisa
ayat 5-6.
Tujuan ayat tersebut tentulah supaya harta yang dimaksud tidak binasa dan habis sia-sia
di tangan orang yang belum sempurna akal (termasuk anak-anak di dalamnya), yang pada
akhirnya kelak membuat yang bersangkutan melarat karena ketiadaan harta yang menjadi
penopang hidupnya. Dengan demikian maka ayat ini menunjukkan bahwa mengurusi harta
orang-orang yang tidak sempurna akalnya, seperti anak kecil, orang gila, orang yang suka
menghambur-hamburkan hartanya untuk sesuatu yang dinilai tidak perlu, dan lain
sebagainya, hukumnya adalah wajib.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa, ada beberapa pesan Qur’ani yang terdapat pada
ayat di atas, antara lain:
1. Tidak dibenarkan menyerahkan harta anak yatim kepadanya sebelum tiba waktunya
diserahkan. Sebab dikhawatirkan harta tersebut akan hancur dan sia-sia di tangannya.
Sedangkan menyia-nyiakan harta hukumnya haram dalam pandangan Islam.
2. Allah Swt mengatakan bahwa belanja makan dan pakaian anak yatim diambil dari harta
kekayaannya. Ini adalah pesan yang tersurat pada ayat tersebut. sedangkan pesan yang tersirat
adalah bahwa, untuk dapat memberi makan dan pakaian si anak yatim dari hartanya secara
terus menerus tentulah harta tersebut harus dikembangkan, supaya tidak harta itu tidak habis
digunakan untuk belanja makan pakaian si anak tadi, terutama jika harta yang ada berupa
sejumlah uang.
 
Perintah Menyerahkan Kepada Anak Yatim Harta Miliknya Setelah Dewasa dan
Cerdas
Jika anak telah dewasa dan cerdas maka harta yang berada dalam pengawasan wali
mestilah diserahkan kepada si anak, supaya dia sendiri yang mengelola hartanya yang
terdapat dalam QS An-nisa ayat 6.
1. Allah Swt memerintahkan wali yang mengurusi harta anak yatim, supaya melakukan
pengujian kepada anak yatim, guna mengetahui apakah si anak telah cerdas dan diyakini
mampu mengelola hartanya sendiri. Setelah diyakini mampu, barulah kemudian harta si anak
boleh diserahkan kepadanya.
2. Salah satu cara yang dipesankan Allah Swt untuk menguji kecerdasannya adalah dengan cara
menunggunya sampai batas usia sanggup menikah, atau telah mempunyai keinginan menikah
dan atau bahkan telah menikah. Adanya keinginan si anak untuk menikah atau bahkan telah
menikah, merupakan indikasi yang kuat bahwa anak tersebut memiliki kemampuan
mengelola hartanya. Dengan demikian, maka bolehlah diserahkan hartanya kepadanya.
3. Allah Swt mengatakan “jika menurutmu anak tersebut telah cerdas”. Penggunaan ungkapan
ini dimaksudkan bahwa kecerdasan masing anak berbeda antara satu dengan lainnya. Maka
ukurannya tidaklah usia. Itulah sebabnya, Allah Swt dalam ayat tersebut tidak menjadikan
usia si anak sebagai ukurannya, tetapi hasil pengujian oleh walinya. 
4. Allah Swt melarang para wali memakan harta anak yatim yang berada dalam perwaliannya
dengan cara yang berlebihan, dan dengan cara yang licik, yaitumenghabiskan harta tersebut
segera sebelum anak tersebut dewasa, lalu kemudian mengatakan kepada si anak bahwa harta
kekayaannya telah habis digunakan untuk keperluannya biaya hidup dan pendidikan di masa
kecilnya, padahal semuanya bohong, alias tidak benar, hanya akal-akalan si wali.

15
5. Allah berpesan, supaya para wali yang mengelola harta anak yatim tidak mengambil upah
dari pengelolaanya terhadap harta tersebut jika ia kebetulan kaya. Akan tetapi boleh
mengambil alakadarnya jika wali tersebut merasa membutuhkannya. Misalnya, karena sang
wali miskin, ataubanyak tersita waktunya dalam mengelola harta anak yatim tersebut.
6. Upah yang boleh diambil si wali tidak ditentukan Allah Swt berapa jumlahnya. Allah hanya
menyerahkannya kepada ukuran patut menurut kebiasaan masyarakat setempat.Berapa upah
yang layak bagi pekerjaan yang dilakukannya, berarti sebanyak itulah yang boleh diambilnya.
Berdasarkan ini, maka wali tidak dibenarkan mengambil upah yang berlebihan, yakni diluar
jumlah yang tidak menurut penilaian masyarakat setempat.
7. Bila saatnya harta anak telah harus diserahkan kepadanya, maka dalam menyerahkannya,
Allah Swt berpesan supaya dihadirkan saksi. Saksi ini dipahami, selain manusia juga
termasuk surat penyerahan, supaya bukti penyerahan berikut laporan pertanggungjawabannya
benar-benar dapat dijadikan rujukan bila dikemudian hari timbul masalah antara wali dan
anak selaku pemilik harta.
8. Pada ayat tersebut Allah swt berfirman, “cukuplah Allah sebagai pengawas”. Ini
dimaksudkan antara lain adalah bahwa, si wali jangan coba-coba curang dalam melaporkan
kekayaan anak yatim yang berada dalam pengelolaannya. Ia harus jujur dengan menjelaskan
segala sesuatunya. Berapa jumlah yang ia terima di awal, bagaimana pasang surut
perkembangannya sampai pada saat penyerahan, semuanya harus dijelaskan dengan terang.
Jika wali tersebut curang, mungkin saja tidak akan dapat diselidiki orang lain, apalagi bila
jumlah yang dicuranginya hanya sedikit saja. Akan tetapi, Allah Swt dapat mengetahuinya
dengan jelas. Sekecil dan sesedikit apapun yang dicurangi si wali Allah Swt mengetahuinya.
Sebab Dia (Allah) bersifat Hasib, yang artinya Mahamengawasi. Yakni, sanggup mengawasi
segala suatu,sanggup mengawasi yang tidak sanggup diawasi manusia. Si wali harus betul-
betul menyadari hal ini, supaya dia selalu terhindar dari keinginan mencurangi harta si anak.
 
Pengelolaan harta dalam sura Al -Isara ayat 27,28 dan 29
Allah mencela perbuatan membelanjakan harta secara boros. Orang-orang pemboros
dalam ayat ini adalah mereka yang menghambur-hamburkan harta bendanya dalam perbuatan
maksiat yang tentunya dii luar perintah Allah.Allah menegaskan bahwa para pemboros
adalah saudara setan. Artinya, jika ada orang yang memanfaatkan harta di luar batas
keridhoan Allah dan mengingkari nikmat-Nya, perbuatannya dapat disamakan dengan
perbuatan setan.
Pada dasarnya, ayat(QS Al-Isra ayat 27)  diturunkan Allah SWT untuk menjelaskan
perbuatan orang-orang jahiliah. Pada masa itu, orang-orang menumpuk harta yang didapat
dari rampasan perang dan perampokan, kemudian digunakan untuk berfoya-foya. Bahkan,
beberapa dari mereka ada yang menggunakan harta untuk menghalangi penyebaran agama
Islam.(Asababun Nuzul).Allah mencela perbuatan membelanjakan harta secara boros. Orang-
orang pemboros dalam ayat ini adalah mereka yang menghambur-hamburkan harta bendanya
dalam perbuatan maksiat yang tentunya dii luar perintah Allah.Allah menegaskan bahwa
para pemboros adalah saudara setan. Artinya, jika ada orang yang memanfaatkan harta di luar
batas keridhoan Allah dan mengingkari nikmat-Nya, perbuatannya dapat disamakan dengan
perbuatan setan.
larangan sifat boros juga dibahas dalam sebuah hadist. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal bagi kalian dan murka apabila kalian melakukan
tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya, dan (Allah rida) jika kalian berpegang
pada tali Allah seluruhnya dan saling menasihati terhadap para penguasa yang mengatur

16
urusan kalian. Allah murka jika kalian sibuk dengan desas desus, banyak mengemukakan
pertanyaan yang tidak berguna, serta membuang-membuang harta.” (HR. Muslim) .
Kesimpulannya, Islam sangat melarang sikap boros dan berlebihan dalam menggunakan
harta. Islam mengajarkan agar umat Muslim bisa menjadi orang yang berhemat dan selalu
menggunakan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Yang dimaksud pemboros dalam ayat ini ialah orang-orang yang menghambur-
hamburkan harta bendanya dalam perbuatan maksiat yang tentunya di luar perintah Allah.
Orang-orang yang serupa inilah yang disebut kawan-kawan setan. Di dunia mereka tergoda
oleh setan, dan di akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.keadaan orang
yang diberi kemuliaan dan harta berlimpah. Apabila orang itu memanfaatkan harta dan
kemuliaan itu di luar batas-batas yang diridai Allah, maka dia telah mengingkari nikmat
Allah. Orang yang berbuat seperti itu, baik sifat ataupun perbuatannya, dapat disamakan
dengan perbuatan setan.
Sikap yang baik terhadap orang-orang yang sangat memerlukan pertolongan, sedangkan
orang yang dimintai pertolongan itu tidak mempunyai kemampuan untuk menolong.
Apabila hal itu terjadi pada seseorang, maka hendaklah ia mengatakan kepada orang itu
dengan perkataan yang sopan dan lemah lembut. Jika ia mempunyai kesanggupan di waktu
yang lain, maka hendaklah berjanji dengan janji yang bisa dilaksanakan dan memuaskan hati
mereka.Allah menerangkan keadaan orang-orang yang kikir dan pemboros dengan
menggunakan ungkapan jangan menjadikan tangan terbelenggu pada leher, tetapi juga jangan
terlalu mengulurkan-nya.Kedua ungkapan ini lazim digunakan orang-orang Arab. Yang
pertama berarti larangan berlaku bakhil atau kikir, sehingga enggan memberikan harta kepada
orang lain, walaupun sedikit.Ungkapan kedua berarti melarang orang berlaku boros dalam
membelanjakan harta, sehingga melebihi kemampuan yang dimilikinya. 
Kebiasaan memboroskan harta akan mengakibatkan seseorang tidak mempunyai
simpanan atau tabungan yang bisa digunakan ketika dibutuhkan.Dapat dipahami bahwa cara
yang baik dalam membelanjakan harta ialah dengan cara yang hemat, layak dan wajar, tidak
terlalu bakhil dan tidak terlalu boros. Terlalu bakhil akan menjadikan seseorang tercela,
sedangkan terlalu boros akan mengakibatkan pelakunya pailit atau bangkrut.

KESIMPULAN

Pesan--pesan Al-Quran berkaitan dengan pengelolaan harta anak yatim, maka


dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Konsep pengelolaan yang ideal dalam perspektif Al-Quran terhadap harta anak yatim
adalah, dengan memperhatikan paling tidak hal-hal berikut: Pertama, tidak
menyerahkan kepada anak yatim harta miliknya sbelum ia dewasa dan
cerdas.Tujuannya adalah supaya harta tersebut tidak habis sia-sia di tangan si anak,
karena dipastikan tidak akan mampu mengelolanya dengan baik. Ini merupakan

17
bentuk perhatian Al-Quran terhadap masa depan anak yatim, sekaligus penegasan
tentang pentingnya harta dalam kehidupan.
b. Kedua, Al-Quran berpesan supaya harta anak yatim dikembangkan dengan sebaik-
baiknya; Tidak hanya dijaga dan dibiarkan. Tujuannya adalah supaya harta si anak
berkembang (bertambah banyak), dan tidak habis dimakan zakat dan belanja hidup
serta pendidikan si anak, terutama jika hartanya berupa uang.
c. Ketiga, pada saat harta kekayaan si yatim akan diserahkan kepadanya oleh wali, maka
penyerahan tersebut haruslah disaksikan oleh saksi, dan transaksi penyerahan tersebut
haruslah disertakan dengan laporan pertanggungjawaban tertulis. Tujuannya adalah
suapaya kedua belah pihak terhindar dari perselisihan di kemudian hari.
d. Keempat, Al-Quran berpesan supaya wali yang mengurusi harta anak yatim siapapun
walinya itu supaya tidak mengambil upah daripada pengelolaannya itu jika ia (wali)
seorang yang sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya dari kekayaannya sendiri, dan
jika tidak maka bolehlah mengambilnya, akan tetapi harus dalam jumlah yang wajar,
tidak berlebih. Inilah adalah ajaran yang sangat tinggi dan luhur. Di sini Allah Swt
mengajarkan bagaimana seseorang harus senantiasa ikhlas dalam melakukan tindakan
apa saja dalam hidupnya. Untuk lebih lengkapnya, bacalah kembali Bab II, supaya
lebih mendapat gambaran bagaimana baik dan indahnya perhatian Al-Quran terhadap
masa depan anak yatim, yang antara lain dengan berpesan supaya harta mereka (anak
yatim) dikelola dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya Islam sangat melarang sikap boros dan berlebihan dalam menggunakan
harta. Islam mengajarkan agar umat Muslim bisa menjadi orang yang berhemat dan selalu
menggunakan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.dalam ayat ini adalah mereka yang
menghambur-hamburkan harta bendanya dalam perbuatan maksiat yang tentunya dii luar
perintah Allah.Allah menegaskan bahwa para pemboros adalah saudara setan. Artinya, jika
ada orang yang memanfaatkan harta di luar batas keridhoan Allah dan mengingkari nikmat-
Nya, perbuatannya dapat disamakan dengan perbuatan setan.
Apabila ada orang-orang yang sangat memerlukan pertolongan, sedangkan orang
yang dimintai pertolongan itu tidak mempunyai kemampuan untuk menolong.Apabila hal itu
terjadi pada seseorang, maka hendaklah ia mengatakan kepada orang itu dengan perkataan
yang sopan dan lemah lembut. Jika ia mempunyai kesanggupan di waktu yang lain, maka
hendaklah berjanji dengan janji yang bisa dilaksanakan dan memuaskan hati mereka.

18

Anda mungkin juga menyukai