االيوم احل لكم الطيبات و طعام الدين اوتوا الكتاب حل لكم و طعامكم حل لهم و المحصنات من المؤمنات والحصنات
من الدين اوتوا الكتاب من قبلكم ادا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مساقحين وال متخدي اخدان ومن يكفر
بااليمان فقد حبط عمله وهو في االخراة من الخاسرين
“ Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan orang-orang ahli kitab
itu halal bagimu, sedang makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan juga
bagimu mengawini perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan yang
beriman dan perempuan ahli kitab sebelummu jika kamu telah membayar maskawin
mereka dengan maksud menikahinya bukan untuk berzina dan juga bukan untuk
menjadikannya sebagai gundik” (Q.S. Al-maidah :5)
Dalam ayat ini Allah membolehkan mengawini orang-orang ahli kitab (kebanyakan
ulama menafsirkan Ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani). Di samping itu, pernikahan yang
dilakukan dengan perbedaan agama secara historis pernah dilakukan oleh orang-orang Islam
terdahulu di masa Nabi. Nabi menikahi wanita keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan
Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur Romawi Mesir bernama Maria al-Qibtiyah,
(mengenai wanita-wanita ini ada pendapat yang mengatakan mereka tidak masuk Islam
ketika dinikahi dan sudah masuk Islam terlebih dahulu). Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi
Waqash Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, Hudzaifah adalah para sahabat yang menikah
dengan wanita di luar Islam. Pernikahan seperti ini juga pernah dilakukan oleh para tabi’in
seperti Sa’id bin al-Musayyab, Said bin Zubair, al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah.
Berdasarkan hal di atas maka Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membolehkan
menikah dengan ahli kitab. Walaupun pernikahan beda agama pernah dipraktekkan oleh
Nabi, para sahabat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi
perempuan Yahudi atau Nasrani itu tidak diperbolehkan.
Abdullah bin Umar pernah berucap: Allah telah melarang orang muslim menikahi
orang musyrik. Maka aku tidak tahu mana syirik yang lebih besar ketimbang seorang
perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal sebenarnya Isa itu hanyalah
hamba Allah dan Rasulullah di antara rasul-rasulnya yang lain. Sungguhpun banyak contoh
dari para sahabat yang saleh dan para tabi’in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya
berhati-hati sebelum melaksanakan perkawinan yang beda agama dan kepercayaan itu.
Memang para sahabat mempunyai sifat yang patut diteladani dan mereka hidup dengan penuh
takwa dan kesederhanaan. Setelah mereka menikahi perempuan ahli kitab yang berbeda
agama dan peribadatannya itu, para sahabat mengetahui bagaimana cara mengendalikan istri
sehingga anak-anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh
karena itu, menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya diperkenankan namun
dianggap makruh hukumnya. Para ulama empat mazhab telah membahas dan memberikan
pandangan tentang hukum masalah perkawinan dengan perempuan ahli kitab, yaitu: Menurut
Mazhab Hanafi, menikahi perempuan ahli kitab itu haram hukumnya bilamana perempuan
ahli kitab itu berada di suatu negeri yang sedang berperang dengan kaum muslimin (dar al-
harb), karena mengawini perempuan ahli kitab ini akan dapat menimbulkan kerugian dan
berbahaya. Dalam keadaan perang itu, anak-anak hasil perkawinan itu akan lebih cenderung
kepada agama ibunya.
Pendapat yang lebih longgar dikemukakan oleh Abu Hanifah (pendiri Mazhab
Hanafi) dan beberapa ahli fikih lainnya, seperti Abu Sur. Kelompok ulama ini menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah seluruh komunitas yang mempercayai nabi
atau kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Ahli kitab menurut pemahaman mereka tidak
hanya terbatas pada keturunan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, seandainya ada
komunitas yang mempercayai suhuf nabi Ibrahim atau Zabur yang diturunkan kepada Nabi
Daud maka mereka adalah ahli kitab. Islam membolehkan menikah dengan ahli kitab dengan
berbagai macam pendapat ulama di atas, namun menikah dengan orang musyrik dalam
bentuk apapun sama sekali dilarang, baik orang yang menyembah berhala, orang yang keluar
dari Islam (murtad), penyembah sapi atau binatang yang lain, menyembah pepohonan
ataupun menyembah batu. Larangan Islam ini berdasarkan pernyataan dari al-qur’an surat al-
Baqarah ayat 221 sebagai berikut:
وال تنكحواالمشركات حتى يؤمن والمة مؤمنة خير من مشركة ولو اعجبتكم وال تنكحوا المشركين حتى يؤمنا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبك
اولئك يدعون الى النار وهللا يدعوا الى الجنة والمغفرة بادنه ويبين اياته للناس لعلهم يتدكرون
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-
wanita mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu
supaya kamu mengambil pelajaran” (al-Baqarah:221)
Diriwayatkan dalam Asbabun Nuzul, larangan menikah dengan orang di luar Islam,
rupanya dinukilkan pada masa Rasulullah saw. Yaitu suatu peristiwa yang dianggap sebagai
penyebab turunnya Suatu ketika diutuslah seorang laki-laki tampan bernama Marsad, orang
kaya dari Bani Hasyim ke Mekkah untuk membawa kaum muslimin yang ditawan.
Sesampainya di Mekkah datang seorang wanita bernama Unaq, kekasih Marsad ketika dia
masih musyrik. Unaq adalah seorang wanita cantik dan belum memeluk Islam. Sebelumnya
Marsad telah memutuskan hubungannya dengan Unaq. Waktu itu Unaq sengaja mendatangi
Marsad, dan bertanya perihal hubungan mereka, “Hai Marsad, apakah engkau masih ingin
denganku?” Marsad menjawab, “Islam telah menghalangi hubungan antara engkau dan aku,
perbuatan itu haram bagi kami.” Jawaban Marsad ini tak menyurutkan niat Unaq untuk
merayu dan mendapatkan kembali Marsad. “Tetapi bila engkau menghendaki aku akan kawin
dengan engkau,” kata Unaq. “Baik, kata Marsad, aku akan meminta izin kepada Rsulullah.
Sesampainya di Madinah Marsad menceritakan peristiwa itu dan bertanya kepada Rasulullah
tentang Unaq, “apakah halal bagi saya untuk mengawininya”, untuk menjawab pertanyaan ini
turunlah surat Albaqarah ayat 221. Abdullah bin Abbas menyebutkan sebab turunnya ayat di
atas, berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah, sahabat nabi SAW, yang memiliki
budak perempuan. Pada suatu ketika Abdullah bin Rawahah marah kepada budak perempuan
ini. [12]Ketika nabi SAW mengetahuinya, lantas beliau bertanya kepada Abdullah bin
Rawahah sebagai berikut, Nabi bertanya: apa yang terjadi wahai Abdullah? Abdullah bin
Rawahah menjawab: “Wahai Rasulullah SAW, budak perempuan itu berpuasa, berdoa dan
menyucikan dirinya, serta beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan engkau adalah Rasulullah. Nabi Saw: “Kalau demikian, dia adalah seorang
mukminah. Abdullah bin Rawahah: “Maka demi Allah yang telah mengutus engkau
membawa kebenaran, aku akan memerdekakannya dan menikahinya. Setelah Abdullah
menikahi budak perempuan tadi, banyak orang muslim mencelanya dengan alasan Abdullah
menikahi budak perempuannya. Celaan yang dilontarkan ini berdasarkan bahwa mereka yang
mencela itu lebih suka mengawini perempuan musyrik hanya lantaran keunggulan
keturunannya. Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Abdullah inilah ayat al-Qur’an di atas
diturunkan.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikatakan perkawinan orang mukmin dengan
orang musyrik itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa kepada
jalan kemusyrikan. Ikatan suami istri itu bukan hanya hubungan seksual semata, melainkan
hubungan batin dan budaya. Oleh karena itu, perkawinan tadi dilarang di dalam Islam.
Memang benar, boleh jadi seorang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik, agar
keluarga dan keturunan orang musyrik tersebut dapat berkenan memeluk Islam.
Kemungkinan yang lain juga boleh jadi bahwa dapat menyeret pasangan yang muslim,
bahkan keluarga dan keturunannya menuju jalan kemusyrikan. Yang paling mungkin
diakibatkan dalam perkawinan mukimin musyrik itu adalah bercampurnya antara keturunan
muslim dan non muslim. Orang non muslim mungkin saja menyetujui akibat semacam ini,
tetapi seorang muslim tidak dapat melakukan perbuatan semacam ini. Orang yang benar-
benar muslim, tidak akan pernah mengambil resiko hanya untuk memuaskan nafsu
syahwatnya semata-mata. Orang muslim malah lebih suka mengendalikan hawa nafsunya
ketimbang melakukan sesuatu yang akan menyesatkan keimanannya, menjadikannya musyrik
atau paling tidak bagi keturunannya.
Ibnu Katsir juga menjelaskan, bahwa ayat 221 ini merupakan pengharaman dari Allah
terhadap kaum muslimin supaya tidak menikah dengan wanita musyrik. Yaitu para
penyembah berhala seraya menegaskan bahwa wanita musyrik tidak halal dinikahi. [13]Ibnu
Katsir juga mempertegas pendapatnya dengan menjelaskan surat al-Mumtahanah sebagai
keterangan Allah selain surat al-Baqarah, yang melarang menikahi orang di luar Islam.
يايها الدين امنوا ادا جاءكم المؤ منات مهاجرات فامتحنوهن هللا اعلم بايمانهن فان علمتمو هن مؤمنات فال تر جعو هن
الى الكفار ال هن حل لهم وال هم يحلوب لهن واتوهم ما انفقوا وال جناح عليكم ان تنكحو هن ادا ما اتيتمو هن اجو رهن
) : وال تمسك بعصم الكوافر واسئلوا ما انفقتم وليسئلوا ما انفقوا دلكم حكم هللا يحكم بينكم وهللا عليم حكيم (الممتحنه
Pada masa Khulafaur Rasyidin, pernikahan dengan non muslim pernah dilarang
keras oleh salah satu sahabat Nabi, Umar bin Khattab. Sayyidina Umar pernah
memerintahkan kepada semua orang Islam untuk menceraikan wanita-wanita yang mereka
nikahi yang berasal dari luar Islam. Sahabat nabi ini, menghawatirkan pernikahan beda
agama terjadi hanyalah karena ketertarikan semata dan timbul dari semangat hawa nafsu.
Ulama lima Mazhab sepakat perempuan dan laki-laki muslim dilarang menikah
dengan orang yang tidak mempunyai kitab. Orang yang tidak memiliki kitab adalah golongan
yang tidak mendapatkan kitab yaitu Injil, Taurat, Zabur dan al-Qur’an. Para ulama lima
mazhab menyepakati orang di luar ini merupakan golongan orang musyrik yaitu para
penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, dan golongan orang zindiq,
yaitu golongan orang yang tidak percaya pada adanya Tuhan. Selain itu disepakati juga
golongan orang Majusi terlarang menikahi dengan orang Islam. Hal ini disebabkan golongan
Majusi telah mengubah kitab suci yang asli. Banyak pula disebutkan orang Majusi sebagai
golongan orang yang menyembah api, suatu tindakan yang tidak bisa ditolerir sebab tindakan
itu menyekutukan Allah.
Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat.
Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi,
maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud
dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2, menikah
dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang. Dari sebuah
literatur, dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama
samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan
sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil
pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa
kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah
kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian.
Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika,
moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang
diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan
Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah. Sementara itu,
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah
sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa
a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan
ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak
sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan
bertanggung jawab terhadap dirinya. Namun perlulah diketahui masih adakah yg namanya
wanita ahlul kitab zaman sekarang ? wallahu`alam..itu seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami.dan untuk hal satu ini..adalah sulit laki laki menemukan wanita ahli kitab
walaupun diperbolehkan. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi
hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain
seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan
agama.
D. Pernikahan (Perkawinan) Beda Agama Dalam Perspektif Al-Qur'an
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221).
Asbab al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu
Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang
dengan memohon izin terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali
Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini. Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang
wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik.
Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan perbuatan
syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar, mereka semua itu haram untuk
dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun perempuan).
E. KESIMPULAN
Dari pemaparan singkat ini, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perkawinan beda
agama terutama dari perspektif al-Qur'an dapat disimpulkan ada tiga
macam kategori yaitu:Pertama, pelarangan secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim
yang haram untuk menikahi orang kafir (QS. Al-Baqarah: 221) Kedua, mengungkapkan
pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim (QS. Al-
Mumtahanah: 10). Ketigaialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-
benar ahli kitab (wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, sangat
menghormati dan mengagungkan kitab suci). (QS. al-Maidah: 5).
Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dalam Islam
walaupun dibolehkan dalam kasus yang khusus tapi hendaknya menjadi pilihan terakhir
karena berpotensi memiliki resiko sosial yang dapat mengancam keutuhan, keharmonisan dan
kesinambungan rumah tangga. Karena, Islam lebih menyukai terjalinnya sebuah pernikahan
berdasarkan pada kesamaan iman.