MEDIA
A. Pengertian Sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodakota yang secara bahasa
berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan sebagai
pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajiban zakat disyariatkan yang dalam Al-
Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti.
Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat).Sedekah sunah atau
tathawwu’ adalah sedekah yang diberikan secara sukarela (tidak diwajibkan) kepada orang
(misalnya orang yang miskin/pengemis) atau badan/lembaga (misalnya lembaga sosial)
sedangkan sedekah wajib adalah zakat, kewajiban zakat dan penggunaanya telah dinyatakan
dengan jelas dalam Al-Qur’an dalam surat At-Taubat ayat 60 yang artinya “Zakat merupakan
ibadah yang bersifat kemasyarakatan, sebab manfaatnya selain kembali kepada dirinya
sendiri (orang yang menunaikan zakat), juga besar sekali manfaatnya bagi pembangunan
bangsa negara dan agama. Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai
sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi
juga oleh pahala dari Allah. Contoh memberikan sejumlah uang, beras atau benda-benda lain
yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka
yang namanya infak (pemberian atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.
Sedekah dibolehkan pada waktu dan disunahkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-
Sunah, diantaranya :
1. Dalam Al-Qur’an yang artinya “Barang sapa yang mau memberi pinjaman
kepada Allah Swt. pinjaman yang baik (manafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah Swt. akan melipatgandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak”. (QS.Al-Baqarah :245)
Pengertian manfkahkan harta dijalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad,
pembangunan perguruan islam, rumah sakit dan usaha penyeldikian ilmiah. Dalam haditsnya
Rasul memerintahkan umatnya bersedekah meskipun dalam jumlah yang sedikit. Yang
artinya “ Lindungilah dirimu semua dari siksa api neraka dengan bersedekah meskipun
hanya dengan separuh biji kurma “. (Bukhari-Muslim).
Pada dasarnya sedekah dapat diberikan kepada dan dimana saja tanpa terikat oleh
waktu dan tempat. Namun ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih
dianjurkan pada bulan Ramadhan. Dijelaskan pula dalam kitab Kifayat al-Akhyar, sedekah
sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau berpergian, berada
dikota Mekkah dan Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti
sepuluh hari di bulah Dzulhijah, dan hari raya.
Pada dasarnya, sedekah dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun
ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada famili yang paling memusuhi,
famili yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan famili. Karena selain
sedekah, pemberian itu akan saling mempererat hubungan silaturahmi. Selain itu dalam
menggunakan cara juga kita harus memilih cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu
dengan cara sembunyi-sembunyi. Hal itu lebih utama dibandingkan terang-terangan.
Seseorang wajib mengikhlaskan niat karena Allah semata didalam bersedekah dan mencari
keridhaan-Nya serta kedekatan disisi-Nya, baik sedekah wajib maupun sedekah mustahab
(sunnah). Jika keikhlasan tidak ada, maka sedekah akan batal dan dapat menggugurkan
pahalanya. Sebagian orang bersedekah dengan tujuan riya' dan su'ah serta berbangga-bangga
untuk menyombongkan diri agar ia dikenal dengan sedekahnya. Bahkan ia berusaha
menonjolkan hal itu. Orang-orang seperti ini akan di sisa ada hari Kiamat dengan siksa yang
sangat berat.
Seorang Muslim wajib mempelajari tentang sedekah-sedekah yang diwajibkan aas dirinya,
mempelajari ukuran-ukurannya dan kepada siapa sedekah itu harus diberikan, serta hal lain-
lain yang akan meluruskan ibadahnya tersebut. Hal itu dilakukan sebelum ia melakukan
sedekah, walaupun ia harus bertanya kepada ahli ilmu. Sebab ia tidak akan terhitung
melaksanakan kewajiban didalam ibadah hingga ia melakukannya sesuai dengan yang di
syari'atkan Allah Subhanhu wa ta'ala. Selain itu, agar tidak mengeluarkan sesuatu dari jenis
harta yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya atau ia tidak memberikannya kepada orang yang
tidak berhak menerimanya dan hal-hal semacam itu.
Jika telah wajib seseorang muslim untuk mengeluarkan zakat atas hartanya, tanamannya,
perniagaannya, atau yang lainnya dari harta sedekah yang wajib, maka ia wajib
mengeluarkannya pada waktunya. Tidak boleh ia menundanya tanpa adanya udzur. Hal itu
tidak boleh sama sekali. Siapa yang menunda hingga keluar dari waktunya tanpa udzur,
niscaya ia akan menghadapi kemarahan Allah Subhanahu wa ta'ala.
Wajib atas seorang Muslim, apabila ia harus mengeluarkan zakat yang wajib dan telah tiba
waktunya, agar mendahulukannya daripada sedekah yang mustahab. Itulah hukum asalnya.
Sebab, menunaikan sedekah yang wajib termasuk rukun Islam. Allah Subhanahu wa ta'ala
tidak akan menerima amalan-amalan yang sunnah hingga ia mengamalkan amalan wajib.
Amalan yang disukai Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan menunaikan
kewajiban, sebagaimana yang disebutkan didalam hadits qudsi: "...dan tidaklah seorang
hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa-apa
yang telah Aku wajibkan atasnya..." (HR. al-Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Barangsiapa yang telah mendahulukan sedekah yang mustahab atas sedekah yang wajib maka
ia berada dalam kesalahan yang besar. Ia melakukan hal itu disebabkan kejahilan terhadap
syari'at dan karena kekurangan ilmunya tentang hal-hal yang disukai Allah Subhanahu wa
ta'ala.
5. Mengeluarkan Zakat dari Jenis-jenis Harta yang Telah Ditentukan Syari'at Apabila
Telah Wajib Atasnya
Apabila sudah jatuh kewajiban atas seorang Muslim untuk mengeluarkan sedekah (zakat)
atas barang tertentu secara syar'i, dan syari'at telah menjelaskan cara mengeluarkan jenis
tertentu dari hartanya, seperti zakat fitrah, zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam, yaitu satu sha' gandum/ burr atau satu sha' kurma atau satu sha'
sya'ir (jewawut) atau sejenisnya, maka seharusnya seorang Mukmin mengeluarkan zakat
harta-hata yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam atau hal-hal yang
beliau sebutkan didalam nash tersebut. Janganlah ia mengeluarkan pengganti selainnya atas
dasar ijtihad sendiri, dengan anggapan bahwa jenis-jenis harta yang lain dapat menggantikan
kedudukannya atau lebih bermanfaat dari jenis-jenis tersebut. Sebab, kalaulah demikian
halnya, tentu syari'at telah menyebutkannya dan tentu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah
mengisyaratkannya, atau telah memilihnya atau memberikan pilihan kepadanya. Maka
bagaimana mungkin seorang Mukmin berprasangka bahwasanya perhatian Nabi
Shallallahu'alaihi wa sallam telah luput dari perkara ini? Apakah syari'at tidak
memperhitungkannya?
Mengeluarkan jenis-jenis harta yang telah disebutkan didalam syari'at akan menjauhkan
seorang Muslim dari perselisihan-perselisihan pendapat fiqih tentang barang yang digunakan
sebagai penggantinya, apakah boleh atau tidak. Sebab, tidak ada orang mengatakan
bahwasanya jenis-jenis harta yang dikeluarkan menurut ketetapan syari'at tidak sah. Namun,
yang menjadi khilaf (perbedaan pendapat) adalah harta jenis lain, apakah sah atau tidak.
Bersedekah dari harta yang halal karena itu merupakan sebab diterimanya sedekah tersebut
dan yang akan menghasilkan pahala, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam,
"Tidaklah seseorang yang bersedekah dengan harta yang baik, dan Allah tidak akan
menerima kecuali yang baik-baik, melainkan Allah akan mengambil dengan Tangan Kanan-
Nya. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh ditelapak tangan Allah 'Azza wa
jalla hingga menjadi lebih besar daripada gunung. Sebagaimana seseorang diantara kamu
menyamai benihnya atau memelihara anak unta." (HR.Ahmad II/538, an-Nasa'i V/57, at-
tirmidzi no.661 dan ia berkata 'Hasan Sahih' dan Ibnu Majah no. 1842 dari Abu Hurairah
radhiyallahu'anhu. Lihat kitab Shahiihul Jaami' no. 5600)
Al-fasil adalah unta kecil. Wajib atas orang yang bersedekah untuk mengusahakan agar
sedekahnya berasal dari harta yang baik. Kalau tidak demikian, niscaya sedekahnya tidak
akan diterima. Sungguh mengherankan, sering kali kami mendengar para penari atau
penyanyi yang mendermakan hasil usahanya yang buruk itu untuk amal-amal kebaikan.
Demikian pula pedagang obat terlarang, penjual khamr, penerima suap, atau yang lainnya.
Mereka mensedekahkan harta yang buruk dari harta dan hasil usaha mereka. Kalaulah
mereka benar-benar jujur, niscaya mereka akan meninggalkan apa-apa yang mereka kerjakan
itu karena ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan memenuhi perintah-Nya. Namun,
kebanyakan dari mereka bertujuan untuk berbangga-bangga, menyombongkan diri, agar
orang-orang mengatakan bahwa ia adalah orang yang dermawan.
Janganlah seseorang sengaja mengeluarkan barang-barang atau makanan yang buruk untuk
disedekahkan, atau memilih harta-harta yang buruk didalam bersedekah. Namun hendaklah ia
memilih yang bagus. Demikan jika mampu, hendaklah ia memberikan yang paling bagus
karena hakikatnya ia menyerahkannya untuk dirinya disisi Allah Subhanahu wa ta'ala.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya..." (Qs. Al-Baqarah: 267)
Demikian seorang yang bersedekah, hendaklah mengeluarkan yang terbaik yang dimilikinya
untuk Allah Subhanahu wa ta'ala. Sebab, ia akan medapatkan barang yang disedekahkannya
itu terpelihara disisi Allah Subhanahu wa ta'ala pada saat ia membutuhkannya diakhirat.
Jika seorang hamba mampu bersedekah dengan sesuatu yang ia cintai dari harta, makanan
atau yang sejenisnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah
Subhanahu wa ta'ala.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna) sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai..." (Qs. Ali 'Imran:
92)
Oleh karena itu 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu'anhu apabila datang kepada beliau seorang
peminta-minta, maka ia kan memerintahkan keluarganya untuk memberikannya gula karena
ia menyukai gula. Demikianlah, hendaknya orang-orang yang suka berbuat baik segera
berlomba-lomba melakukannya.
Tidak boleh seorang hamba mengungkit-ungkit sedekah kepada orang yang menerimanya
atau merendahkannya dengan sedekah, atau menyebutkan kebaikan-kebaikan atau jasa-jasa
yang telah ia berikan kepadanya. Sebab, hal itu dapat melukai perasaan orang yang
menerimanya dan dapat menghapus (pahala) sedekah, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)..." (Qs. Al-Baqarah: 264)