Anda di halaman 1dari 20

1

Prolog

Hujan di luar semakin deras, tapi itu tidak mampu membuyarkan konsentrasi seorang gadis 14
tahun itu pecah. Dia terus mencoba mencampurkan bahan-bahan eksperimen yang ada di depannya. Dia
bertekad untuk menciptakan balsem dengan aroma favoritnya, citrus. Dia tidak suka aroma mint, itu
memang aroma yang menenangkan tapi dia tetap tidak suka. Dengan bahan dasar yang sejam yang lalu
sudah jadi dia terus menimbang, menghitung, juga menakar bahan yang akan ditambahkannya.
Tik setetes bahan terakhir di tuangkannya ke dalam mangkuk eksperimen. Lalu dia memasukkan
mangkuk yang telah berisi bahan eksperimennya ke dalam alat pengaduk dan juga penetralisir. 5 menit,
balsem dengan aroma citrus yang telah siap. Gadis itu pun mencium aroma balsem itu, mengangguk lalu
tersenyum.
“ini baru obat yang menyenangkan” ucapnya pelan.
Sudah pukul 23.15 dia baru beranjak tidur, setelah merapikan semua alat dan juga bahan
eksperimennya juga menyimpannya ke dalam dalam lemari seperti biasanya. Sejak kecil gadis itu
memang suka membuat eksprimen dengan mencampurkan bahan bahan dasar yang ada di dekatnya. Usia
2 tahun saat mandi, dia suka sekali mencampurkan shampo, sabun cair, pasta gigi, bahkan sabun muka
mamanya pun dia campurkan ke dalam gayung kecilnya. Dia bahkan pernah bilang pada orangtuanya
kalau dia mau menjadi ilmuwan, menemukan sesuatu yang baru yang tak pernah dipikirkan orang
selumnya. Tidak hanya itu, gadis itu sering sekali menyendiri saat di rumah, saat piknik, juga sekolah.
Bukannya anti sosial, dia menyendiri untuk belajar sesuatu yang baru dengan alam sekitar juga tumbuhan
dan hewan. Gadis kecil itu juga suka hujan. Suaranya, aroma tanah segarnya, juga suka dengan awan
yang menggumpal-gumpal hitam. Dia sangat mencintai alam, baginya bukan manusia yang mengajarkan
ini itu kepadanya, tapi alam lah yang selalu mengajarinya dengan sabar. Juga dengan sedikit tentang
hukuman. Orangtuanya tidak mendukung semua yang disukainya, mulai dari eksperimen ‘kamar
mandinya’ juga dengan awan hitam yang selalu memikatnya.
Sejak kecil pula orangtuanya selalu mengajarinya untuk bersikap seperti kebanyakan anak-anak
lainnya yang bermain, bercanda dengan temannya juga bercerita tentang banyak hal ke orangtuanya
masing-masing. Gadis kecil itu pun mencoba menuruti kemauan orangtuanya, sampai akhirnya pada
umurnya yang memasuki usia remaja dia menyadari sesuatu. 14 tahun, dia adalah murid baru SMK
Cendekia yang terkenal dengan ‘Sekolah Termuda Paling Berprestasi’ di provinsi nya. Gadis kecil itu
sebenarnya ingin sekolah di SMK Harapan, tapi orangtuanya lagi-lagi tidak mengijinkannya. Dengan
berat hati gadis kecil itu pun mendaftar di sekolah yang orantuanya inginkan.
Ya, selama 14 tahun gadis kecil itu selalu dituntut untuk menuruti kemauan orangtuanya. Tapi itu
tidak akan bertahan sampai usianya 15 tahun.
Gadis kecil itu bernama Rasya. Dia tinggal sendiri di rumah mewah sebelah kiri pertigaan kota
besar. Rumah seluas 500 meter persegi dengan model minimalis itu hanya berisi kan Rasya, 12 pembantu
juga 7 penjaga rumah. Dengan halaman yang luas kanan kirinya adalah taman yang terdapat bunga
beraneka ragam yang dibatasi dengan batako yang tersusun rapi yang menyatu dengan ubin halaman.
Dinding-dinding pagar yang membatasi rumah mewah itu juga terdapat air yang mengalir melapisi
dinding dengan sangat elok, membuat rumah itu selalu terdengar percikan air dengan lembut. Juga di
dekat pos keamanan yang terdapat di pojok-pojok dinding pagar terdapat hutan buatan yang sangat
rindang. Di tengah halaman yang selalu menjadi pusat perhatian, terdapat bar minuman untuk tamu yang
2

‘tidak’ diizinkan masuk ke dalam rumah mewahnya. Juga terdapat perapian digital dengan di kelilingi
sofa untuk mengobrol santai bersama keluarga kecil itu. Sayangnya, orangtua Rasya mulai sangat sibuk
ke luar negeri saat Rasya menginjak umur 10 tahum. Meninggalkan Rasya sendiri yang tinggal di rumah
bersama para pembantu juga penjaga. Rumah bernuansa putih bersih itu terlihat sangat mencolok dari
jalanan kota, dengan lampu yang kalem dan berkombinasi dengan kaca membuatnya semakin terlihat
berkelas. Terdapat 9 kamar dengan 1 kamar utama milik orangtua Rasya yang sudah lama ‘kosong’ 5
kamar tamu untuk keluarga yang ‘dulu’ sering menginap di rumahnya. Sisanya? Kamar kosong. Rasya
memilih lantai paling atas sebagai kamar dan juga tempat eksperimennya. Satu lantai penuh adalah milik
Rasya.
Empat tahun tidak bersama orangtuanya, Rasya mulai terbiasa juga bosan dengan aturan jarak
jauh orangtuanya. Diam diam dia mulai mencoba eksperimen yang selalu diimpikannya sejak kecil.
Dengan papa yang memiliki ribuan kontainer di bisnisnya, juga mama yang sudah membeli brand Zara
dan juga Channel yang jelas sudah mendunia, tidak sulit bagi Rasya untuk menemukan bahan-bahan yang
yang super langka juga teknologi yang super mahal. Empat tahun Rasya belajar sendiri tentang biologi
juga cairan yang mungkin berguna baginya. Dia tidak berani untuk mengungkap keahliannya dalam hal
‘ramuan’ karena takut orangtuanya marah. Rasya seorang potterhead yang jelas nge-fans sama Harry
Potter apalagi Profesor Snape yang mengajar ramuan. Dengan kesukaannya terhadap alam mudah bagi
Rasya untuk mengetahui seputar tumbuhan, bebatuan, juga bahan lainnya yang digunakan Profesor Snape
dalam membuat ramuan.
Di sekolah? Rasya adalah salah satu anak paling cerdas dan muda di sekolah menengah pertama
nya. Murid paling rajin, cerdas, cantik, juga kaya. Sungguh sesuatu yang sempurna. Dia populer di
kalangan teman-temannya dulu, dengan puluhan medali dan piala yang diraihnya untuk sekolahnya dulu
membuat teman-teman yang lain ingin dekat dengannya. Tapi Rasya paham, tidak semua orang adalah
temannya. Mereka hanya memanfaatkan kepopulerannya karena prestasi. Karena itu dia lebih bersikap
dingin dan cuek, apalagi dengan ‘fake friend’ nya yang sering caper ke dia.
Di sekolah selanjutnya, dia memutuskan untuk menjadi murid biasa-biasa saja. Dengan
memasuki jurusan yang dikira paling rendah di sekolahnya. Ingin fokus dengan eksperimen selanjutnya
yang ekperimen sebelumnya telah meledakkan ‘lab pribadi’ nya lebih dari ratusan kali selama empat
tahun terakhir. Tapi lagi-lagi ada saja hal yang membuat dia menjadi pusat perhatian.
Namanya Rasya, biasa dipanggil Ra. Gadis berambut sebahu namun selalu menggunakan hijab
karena ingin berkelas dengan menuruti perintah Tuhannya. Mempunyai kulit putih dengan tubuh kurus
yaitu tinggi 165 cm dengan berat badan hanya 39 kg. Berwajah manis ditambah dengan lesung pipi yang
menambah rasa iri oranglain jika melihatnya. Tapi baginya lesung pipi hanyalah sebuah kecacatan pada
wajah yang tidak bisa dihilangkan.
Ra, eksperimen biologinya akan segera diketahui orang lain yang akan dikombinasikan dengan
eksperimen teknologi miliknya.
***
3

Episode 1

Di sekolah..
“Namaku Rasya, panggil aja Ra” aku membalas uluran tangan seorang gadis berwajah tirus
dengan mata tajam.
Gadis itu tersenyum padaku, walaupun wajahnya terlihat ‘judes’ dia ternyata ramah juga. Kami
bertemu di ekstra pencak silat pertemuan keempat. Dia baru saja masuk ekskul pencak silat di SMK
Cendekia. Namanya Sima, yang seminggu kemudian menjadi teman sekelasnya karena perputaran siswa
sesuai minat dan bakat.
“Kukira aku bakal cewek sendiri di sini, eh ternyata ada kamu. Namamu bagus banget” jawabnya dengan
riang.
“Makasih” aku tersenyum padanya.
Aku memutuskan ikut ekstrakurikuler pencak silat sejak diumumkannya juga dibagikan formulir
peminatan ekstrakurikuler di sekolah. Dengan niat ingin menghilangkan anemia, dehidrasi, juga darah
rendah miliknya aku nekat masuk ektra itu tanpa teman sekalipun. Ini sebenarnya sangat menyebalkan,
sudah lama aku menutupi semua penyakitku. Dengan kuku rusak, rambut rontok, wajah yang selalu pucat
juga kulit yang selalu kering ini sangat mengangguku. Aku malas minum obat, aku lebih tertarik
membuat ramuan sendiri di laboratorium milikku di lantai atas. Dengan bentuk liquid bening yang berasal
dari tumbuhan herbal juga beberapa bahan lainnya, aku berhasil membuat ramuan sebagai daya tahan
juga kekuatan fisikku yang dosisnya kutakar sendiri dengan campuran air setengah botol. Tapi ramuan itu
tidak bisa menghilangkan efek samping dari penyakit-penyakit yang menyebalkan itu. Sungguh, ini
sangat menyebalkan!
Pertemuan keempat, aku sudah memulai ekstrakurikuler belajar seni dengan Kak Al dan teman
seangkatan ku—juga teman di kelas 7 dulu, Nanda. Tangan kosong sampai jurus 5, kurang 2 jurus lagi
aku menguasai seni tangan kosong. Sedangkan teman sekelasku—Sima, dia belum belajar seni. Dia
masih belajar fisik juga Rika—teman seangkatanku juga tapi beda jurusan. Menurutku enak juga ektra
ini, sangat menyenangkan. Pelatih juga ramah tidak galak seperti yang kubayangkan dulu.
“cepet juga kamu belajarnya Ra” kata Kak Al setelah melihatku menyelesaikan gerakan seni
tangan kosong jurus 5.
Aku mengangguk, tersengal mengatur nafas terduduk. Ini kelemahanku, aku sangat sulit
mengatur nafas. Selalu saja begitu.
“minum air putih yang banyak oke, biar nafasmu jadi lebih teratur” saran Kak Al padaku. Aku
mengacungkan jempol padanya, masih mengatur nafas. Sekarang gantian Nanda yang melakukan seni
tangan kosong. Cowok itu hanya ingat sampai jurus 4, lalu lupa dan terbingung—bingung. Kak Al
mengulang gerakan jurus kelima agar Nanda bisa meniru dan menghafalnya. 30 menit berlalu dengan
lambat menurut Nanda yang selalu mengulangi gerakan seni nya. Semakin kesini semakin kacau karena
lupa gerakan, aku tertawa ikut membantu mengulang gerakan yang dia lupa.
Pukul 15.15 latihan dibubarkan, selesai. Aku pulang naik motor kesayanganku-hadiah kesekian
dari mama saat aku menang lomba dulu di sekolah menengah pertama. Sampai rumah aku segera mandi
dan membersihkan diri di kamarku—lantai atas. Setelah itu pergi ke masjid untuk sholat maghrib
4

berjamaah seperti yang biasa kulakukan tiap hari. Seperti biasa imamnya selalu datang lebih lama,
sedangkan muadzin di masjid komplek sudah tua, dia tidak tau tentang sholawat yang sedang populer.
Dia hanya mengulang sholawat yang sudah lama, orang-orang selalu mengantuk dan juga protes ke dia.
Tapi dia tetap acuh tak acuh. Masjid selalu ramai, banyak anak-anak yang berlarian kesana kemari di
halaman masjid yang cukup luas. Kebanyakan yang pergi ke masjid adalah orangtua yang sudah bingung
mau ngapain lagi jika bukan ke masjid untuk sholat berjamaah. Orang dewasa juga lumayan banyak—
itupun karena anak-anaknya merengek pergi ke masjid agar bisa bertemu dengan temannya. Tapi tidak
apa-apa itu lebih dari cukup untuk meramaikan masjid. Remaja? Huhh.. sangat sedikit, bisa dihitung
dengan jari. Mereka sibuk dengan kehidupan labil remaja. Lebih mementingkan sesuatu yang aslinya
tidak terlalu penting. Memilih sholat sendiri seakan sholatnya adalah yang sempurna, malah ada yang
lebih parah. Sholat berjamaah bersama pacarnya. Kacau bangett, kok bisa-bisanya mereka tidak malu di
hadapan Tuhannya gitu. Banyak juga yang lebih milih nerusin futsal di lapangan juga voli. Banyak sekali
yang lalai.
10 menit setelah adzan, imam baru datang ke masjid. Sholat berjamaah pun dimulai yang akan
diteruskan dengan ngaji quran. Ngaji di masjid itu sebenernya tersedia buat anak laki-laki juga anak
perempuan. Tapi dasarnya males, jadi yang aktif cuma anak laki-laki yang ngaji. Dipimpin oleh remaja
laki-laki, aku tidak tau namanya—padahal tetanggaan, tapi bodoamat lah gapenting.
Malamnya aku buat ramen ala korea lengkap dengan telur juga kimchi. Aku sebenarnya tidak
suka sesuatu yang berbau Korea, karena dari film nya aja banyak drama—sama sih kayak Indonesia
aslinya hehe. Tapi aku tidak mau bohong, makanan Korea tuh banyak yang enak, halal lagi kan jadi suka.
Juga minuman caffe nya juga enak banget. Sampe aku nyuruh barista di depan rumah biar ada menu
minuman khas Korea lengkap dengan boba, jelly, crumble, dan topping lainnya. Setelah matang, aku
makan ramen di sofa depan TV ruang keluarga. Ramen panas yang diseduh dengan kuah kental juga
lengkap dengan telur dan sayurnya, dilengkapi dengan minuman teh markisa yang hangat membuat
suasana makan malam ini sangat lezat. Belum lagi hujan deras di luar, ini sungguh makan malam spesial.
Yeahh walaupun sendiri. Aku mulai menikmati ramen di pangkuanku sambil menonton sinetron
Indonesia yang banyak drama juga tidak masuk akal di kehidupan nyata. Belum lagi alay banget alur
ceritanya, pemainnya sih oke. Tapi alur dan juga editingnya benar-benar payah. Aku meletakkan
mangkuk ramen, mengambil teh markisa, meneguknya lalu tiba-tiba handphone di sebelahku menyala,
tanda ada notifikasi masuk. Handphone ku selalu aku silent agar tidak menggangggu aktivitasku sehari-
hari dengan notifikasi menyebalkan dan tidak penting itu. Ada pesan singkat dari nomor tak dikenal.
‘Hai, save ya..’ siapa sih. Sok akrab banget, males ah mending makan ramen. Aku kembali meletakkan
handphone ku, membiarkan si pengirim pesan menunggu lama. Aku lanjut makan juga menonton ‘drama’
Indonesia itu.Setelah belajar, membuka-buka buku menulis catatan— agar besok di sekolah tidak nyatet
lagi, juga ritual malam sebagai perempuan, aku beranjak ke kasurku yang empuk dan nyaman. Tempat
paling nyaman sedunia sepertinya jatuh pada kasur ku deh. Apalagi hujan-hujan gini, aku menyelimuti
tubuhku sampai kepala. Nyaman sekali malam ini. Lalu aku teringat pesan dari nomor tidak dikenal tadi.
Aku keluar dari selimut dan membuka pesan tadi, membalasnya.
‘Siapa ya?’ jawabku. 5 detik, centang langsung biru dan dia mulai mengetik.
‘aku hakim, kamu inget ga?’
‘ga’
‘ya allah, masih keluarga jauh juga’
5

‘ga inget’
‘yaudah iya, save nomorku ya’
‘hm’
‘ketus banget, nanti lesungnya tambah manis lho wkwk’
Dih apaan, jijik banget. Aku melemparkan handphone ku ke sembarang arah seakan aku yang jijik pada
handphone ku bukan pada si Hakim atau siapalah itu. Dapet nomorku dari mana juga, cape banget baru
sebulan sekolah SMK aku sudah ganti nomor handphone dua kali, karena yang pertama dulu eror—ada
nge hack kayaknya. Lalu ini yang kedua, aku udah gamau ya ganti nomor lagi. Dikira perempuan ga
bener, yaa walaupun aku tahu, aku hidup bukan karena komentar orang lain.
Keesokan harinya, di sekolah aku berjalan sendiri di koridor. Sekolah masih sepi, aku berangkat
dari rumah pukul 06.15 masih pagi sekali bagi sekolah kejuruan ini. Bukan sebab apa pun, aku hanya
ingin menikmati suasana sekolah yang sepi. Tentram sekali rasanya, lapangan yang lengang dengan
genangan air di beberapa tempat sisan hujan tadi malam. Dedaunan yang masih basah diterpa gerimis
fajar tadi tertimpa cahaya lembut matahari di pagi hari, membuatnya menjadi lebih segar. Aku bergegas
ke kelas dan menaruh tas sekolah di bangku biasanya, lalu kembali keluar untuk meikmati pemandangan
pagi hari di luar kelas. Aku berjalan-jalan sebentar, dari lapangan upacara yang agak becek—tidak terlalu
becek karena tertolong rerumputan hijau yang di‘tumbuhi’ menutupi seluruh lapangan yang luas. Lalu
melewati masjid sekolah yang terlihat dingin karena kaca yang berembun karena udara dingin tadi
malam. Aku juga melihat ikan-ikan yang ada di kolam sekitar lapangan upacara, dengan tubuh yang besar
dan warna yang mencolok yang selalu terlihat bercahaya ketika ketika ikan itu berenang kesana kemari di
dalam air. Andai saja memang bisa bercahaya seperti novel fantasi yang sering kubaca, itu pasti akan
sangat seru. Lalu kuteruskan ‘jalan pagi’ ku ke lapangan basket yang ada di bagian bawah sekolah. Ya,
sekolah ini terdiri dari bangunan bagian atas dan bagian bawah karena permukaan yang tidak rata tapi
berlandai seperti bukit yang semakin menurun. Aku terus turun menuju lapangan basket yang kosong,
lapangan itu sebenarnya juga lapangan futsal. Garis-garis lapangan basket juga ditimpa garis lapangan
futsal. Di bawah ring yang yang tinggi, di kanan kiri lapangan juga ada gawang untuk bermain futsal.
Biasanya lapangan itu penuh sorak sorai penonton yang sedang menonton basket ataupun futsal. Aku
sendiri lebih suka permainan futsal daripada basket—entah kenapa. Ekstrakurikuler pencak silat juga
latihan di lapangan bawah itu, dengan garis yang lurus dan tembok yang mengelilinginya bisa untuk
latihan split pemula. E Ekstrakurikuler lain juga latihan di lapangan itu seperti paskib, passus, dan
pramuka.
Sekolah mulai ramai, aku segera kembali ke atas—ruang kelas. Duduk di bangku sendiri dan
mulai membuka handphone. Ada 3 notifikasi chat dari tadi malam ternyata.
‘kok ga bales si?’
‘kamu udah tidur ya?’
‘yaudah, good night’
Aku membaca pesan dengan bergidik, jijik banget alay sih nih anak. Aku kembali menutup handphone
memerhatikan ruang kelas yang mulai ramai, teman-teman sekelasku mulai berdatangan memasuki kelas.
Ada yang mengobrol ria di depan kelas, ada yang pusing belum mengerjakan tugas, juga omelan dari
yang piket hari ini.
“hai Ra, sudah lama disini?” sapa teman sebangku ku.
6

“hai, iya” jawabku singkat


“kamu udah nyatet materi minggu lalu belum?” tanya nya sambil mengeluarkan buku dan alat tulis
hendak melanjutkan mencatat materi minggu lalu. “pinjemin dong, aku lupa nyatet soalnya”.
Aku mengeluarkan buku catatan matematika milikku dan menyerahkannya pada Dewi—teman sebangku
ku dari masa MPLS dulu. Lalu Ria, yang juga teman depan bangku berlari memasuki kelas. Rumahnya
terletak di perbatasan kota, itu sangat jauh dari sekolah kami. Dengan tergopoh-gopoh segera duduk di
kursinya dan juga mengeluarkan buku catatan. Rupanya dia juga belum menyelesaikan catatan minggu
lalu. Dia meminta izin padaku untuk meniru catatanku, aku mengangguk tersenyum. Melihat dua
temanku yang selalu teledor soal catatan apalagi tugas, membuatku terbiasa. Aku pun tidak keberatan
dengan sikap mereka yang ini. Mereka teman yang baik, selalu ceria dan apa adanya. Kita memang selalu
bertiga sejak masa MPLS sampai sekarang.
Pelajaran pertama pagi ini adalah matematika, sungguh sarapan yang sangat ‘mengenyangkan’.
Pukul 07.00 guru matematika kelas kami sudah sampai di pintu ruang kelas, Pak Wan. Guru dengan
perawakan tinggi kurus berusia sekitar 27 tahun itu ternyata juga suka jelajah alam. Pak Wan adalah salah
satu guru termuda di sekolah kami. Dia guru yang sangat disiplin, Pak Wan biasanya sudah tiba di
sekolah pukul 6 pagi. Entah apa yang dilakukannya sepagi itu di sekolah ini. Setiap kali pertemuan pasti
menghabiskan paling sedikit 3 lembar buku tullis untuk mencatat materi yang disampaikannya dan juga
materi yang dia tulis di papan tulis. Tak hanya mencatat, Pak Wan juga selalu rutin memberikan tugas
dan pekerjaan rumah setiap kali dia selesai mengajar. Dan tugasnya harus dikerjakan pada 2 lembar folio
yang jelas lebih besar dengan buku tulis biasa. Katanya biar cara pengerjaan juga rumusnya bisa ditulis
lengkap disana. Sudah delapan kali pertemuan bersama Pak Wan, delapan kali tugas folio juga. Ini sangat
melelahkan, dulu aku selalu suka matematika tapi sejak ada x dan y di dalamnya entah kenapa minatku
terhadap pelajaran angka dan bilangan ini musnah begitu saja. Dulu ilmu matematika rasanya seperti
sangan simpel, tapi sekarang.. sudahlah.
“selamat pagi anak-anak” salam dari Pak Wan.
“selamat pagi pak” jawab kami serempak satu kelas.
“hari ini materi nya adalah matriks, sebelum saya mulai pelajaran pada pagi hari ini saya absen dulu ya..”
ucap Pak Wan sambil mengabsen satu per satu siswa di kelas. Lalu lanjut menuju papan tulis dan
menuliskan MATRIKS dengan huruf besar dan jelas di papan tulis bagian atas.
“sekarang siapa yang tahu apa itu matriks?” tanya Pak Wan—lebih tepatnya itu adalah pertanyaan retoris
yang Pak Wan jelas sudah mengetahuinya. Aku berhitung dalam hati satu..dua..tiga..empat..
“Ra? Kamu tau?” tanya Pak Wan akhirnya. Sudah kuduga, karena aku tidak mau mengecewakan Pak
Wan yang selalu baik walaupun agak menyebalkan dengan tuga-tugasnya aku memutuskan untuk
menjawabnya.
“matriks adalah susunan bilangan yang digatur menurut aturan baris dan kolombdalam suatu jajaran
berbentuk persegi atau persegi panjang. Susunan bilangan itu diletakkan di dalam kurung biasa atau
kurung siku” jawabku dengan tegas.
“ya itu benar sekali” Pak Wan tersenyum sambil meraih buku nilai, memberikan nilai plus pada namaku.
2 jam berlalu dengan sangat membosankan—walaupun aku pura-pura bersemangat mengikuti pelajaran.
Aku lebih suka pelajaran biologi yang mempelajari tentang tumbuhan, alam, bebatuan yang bisa
memungkinkan untuk percobaan eksperimenku yang selanjutnya. Aku tidak suka angka-angka di papan
7

tulis, satu-satunya angka yang aku sukai adalah angka pada timbangan untuk menimbang seberapa
banyak bahan yang akan kugunakan untuk eksperimenku.
“minggu depan kerjakan halaman 34, 5 soal seperti biasanya di kertas folio. Sekian selamat pagi anak-
anak” akhirnya Pak Wan mengakhiri pelajaran kali ini. Tepat jam 9 Pak Wan keluar dari kelas, aku segera
mengganti buku pelajaran selanjutnya.
Bel istirahat kedua berbunyi, sudah pukul 12 siang ternyata. Istirahat pertama aku gunakan untuk
membaca novel fantasi di kelas. Lagi-lagi sendiri tenggelam dalam alur fiksi penulis yang sangat seru.
Aku membaca serial buku fantasi nya yang sekarang sudah ada 11 buku dengan satu ebook yang siap
rilis. Aku tidak sabaran jadi aku membaca ebook, buku kedua belas dalam serial ini. Ini sangat
mengasyikkan, daripada membaca novel romance yang justru membuatku mual, lebih baik novel fantasi
yang jelas lebih baik apalagi bertema adventure dan friendship. Aku segera keluar kelas membawa
mukena menuju masjid sekolah, masjid itu besar sekaali bernuansa warna hijau yang menentramkan. Juga
banyak kaca sebagai pembatas, tempat wudhu nya ada di bawah bangunan sedangkan kamar mandi nya
ada di belakang ruang kelas ku. Masih adzan, aku wudhu menyingkap lengan baju seragam panjangku
sampai siku, juga meregangkan jilbabku. Ini tempat wudhu tertutup jadi aman, murid laki-laki tidak bisa
melihat murid perempuan berwudhu karena tempat wudhu anak perempuan berada di bawah bangunan
masjid sebelah kanan. Sedangkan tempat wudhu murid laki-laki berada di bawah bangunan masjid
sebelah kiri. Dengan dipisahkan bangunan masjid itu sendiri, tempat wudhu jelas lebih aman dan tertutup.
Selesai wudhu aku naik ke atas memakai mukena dan duduk menunggu imam sholat. Sendiri? Ya aku
memang lebih suka sendiri. Dewi dan Ria sedang makan siang di kantin, tapi aku memutuskan untuk
sholat dulu. Akhirnya imam datang dan sholat pun dimulai.
15 menit berlalu setelah dzikir dan melipat mukena aku memakai kaos kaki di depan masjid,
membiarkan jamaah selanjutnya sholat dengan imam yang jelas beda. Belum genap aku memakai kaos
kaki, ada yang menyapa ku.
“hai Ra..” suara itu, seperti aku mengenalnya. Aku mendongak, ada murid laki-laki dengan pakaiaan rapi
berdiri menatapku, tersenyum. Rambutnya tersisir rapi agak ikal, dengan kulit putih dan wajah yang
ramah. Aku berdiri, ternyata tingginya sama sepertiku, hanya karena dia laki-laki jadi dia terlihat lebih
tegap. Aku seperti mengenalnya, tapi aku lupa.
“kamu benar-benar tidak mengenalku Ra?” tanya nya. Aku menggeleng memasang wajah bingung.
“aku Hakim Ra, masih sepupumu, keluarga jauh. Aku tadi malam mengirim pesan, tapi kamunya sangat
dingin” jawabnya seakan dia paham apa isi kepalaku. Aku ingat, dia memang sepupu jauh keluarga dari
ayahku yang ada di Sleman. Dulu aku sering bermain dengannya, bertengkar juga membandingkan lebih
pintar aku atau dia. Tiap tahun selalu menunjukkan rapot masing-masing siapa yang rangking satu di
kelas sekolah dasar dulu. Setiap kali dia kalah dalam nilai dia selalu menunjukkan kaligrafi miliknya yang
sangat bagus, memamerkannya bilang kalau aku tidak bisa membuatnya. Jelas aku tidak bisa
membuatnya karena aku tidak suka menggambar. Sedangkan kalau aku yang kalah aku hanya
menunjukkan mainan ku yang mahal dan mengejeknya kalau dia tidak punya. Padahal yang kupamerkan
adalah mainan barbie dan boneka yang jelas anak laki-laki tidak akan memainkannya. Aku tertawa
mengingat kejadian dulu, membuatnya bingung.
“kenapa tertawa Ra? Ada yang lucu ya?” tanya nya bingung. Aku menggeleng.
“aku hanya ingat kejadian waktu kamu kalah rangking di kelas sekolah dasar dulu Hakim, trus kamu
pamerkan kaligrafi mu itu” jawabku menyeka mata, karena tidak tahan mengingat hal itu.
8

“aku juga ingat waktu kamu pamer boneka beruang mu itu Ra” balas Hakim ikut tertawa. Aku terdiam,
malu.
“ternyata kamu sekolah disini juga, dan tadi malam juga tadi pagi? Ya ampun kamu alay banget” jawabku
mengalihkan isu.
“aku hanya nyoba Ra, dan ternyata kamu emang sedingin itu. Dasar sok” sergah Hakim sambil
menyeringai lebar.
“bodoamat, harga diri di atas kepala. Aku akan selalu seperti itu, aku lapar” perutku berbunyi.
“dih sok mahal, ayo lah ke kantin tapi kamu yang traktir”
“gini amat punya sepupu, oke lah ayo”
Aku mendahului, hendak ke kantin. Di sepanjang jalan ke kantin aku dan Hakim bertukar cerita. Saat dia
di Sleman selam 3 tahun, aku tidak menyangka dia kembali kesini malah satu sekolah pula. Dulu di
sekolah dasar kami tidak satu sekolah, hanya pamer rangking padahal kemampuan per kelasnya jelas
berbeda. Murid-murid yang lain memerhatikan aku dan Hakim yang asyik bercerita sambil berjalan
menuju kantin. Aku tahu dan aku tidak peduli, toh dia hanya sepupu ku. Aku tidak peduli pendapat
mereka, karena aku memang tidak hidup untuk meraka.
Di kantin, Hakim memesan 2 mangkok soto ayam. Aku yang akan memilih tempat duduk untuk
kami berdua, Hakim yang memesan dan membawakan pesanan. Suasana kantin memang selalu ramai
apalagi jam istirahat kedua, waktu makan siang tiba. Meja-meja kantin hampir semuanya penuh, aku
mencari kesana kemari meja yang kosong. Di dekat dinding akhirnya ada 2 kursi kosong, penghuninya
baru saja meninggalkan tempatnya sepertinya anak passus karena kalau dilihat dari jalannya agak
mendongak. Itu seperti menjadi ciri khas di sekolah ini, bukan kakak kelas, kakak senior, apalagi siswa
berprestasi. Di sekolah ini yang justru lebih sombong adalah yang bisa menempati ruang kegiatan.
Ruangan yang hanya diisi kan oleh anggota passus, paskib, osis, dan pramuka. Anak PMR aja tidak
berani kesana karena tatapan sinis dari anak passus lainnya. Padahal ruangan kegiatan ya untuk acara
kegiatan sekolah, PMR adalah organisasi yang cukup sibuk juga. Di ruang kegiatan mereka hanya duduk-
duduk juga bersantai, tidak mau ke kelas. Mereka sepertinya murid yang kurang pintar dalam belajar,
makanya memilih berada di ruang kegiatan, sok sibuk.
“pesanan datang..” ucapan Hakim membuyarkan lamunanku. Membawa nampan berisi 2 mangkok soto
dan 2 esteh manis untuk kami. Aku segera duduk disusul dengan Hakim.
“kenapa berdiri? Melamun juga?” tanya Hakim sambil meneguk esteh manis miliknya. Aku menggeleng
dan segera menyendok sambal di depanku, mulai memakan soto. Kami makan dalam diam.
“kamu mikirin apa sih?” tanya Hakim memecah suasana makan.
“gapapa, eh kamu tinggal sama siapa di sini? Emang orangtuamu pindah ke sini ya?” aku balik bertanya.
“eh enggak kok, aku tinggal sama nenek. Orangtuaku tetep disana, adikku aja sekolah di sana. Kamu?
Emang orangtuamu udah ga sibuk keluar negeri apa?” dia malah balik bertanya sambil menumpahkan
lima sendok sambal ke dalam mangkoknya.
“ah shit diamlah” jawabku ketus. Hakim tertawa melihat ekspresi ku sebal. Anak ini bener-bener ga
punya hati.
9

“berarti masih jadi anak tunggal kaya raya dong, wah hati-hati Ra nanti banyak yang deketin kamu loh
kalo orang-orang tau” Hakim semakin jadi menggodaku masih tertawa. Saking senengnya dia karena
menggodaku, Hakim tersedak mi sotonya. Terbatuk-batuk, membuat murid lain di sekitar kami
menengok. Hakim segera mengambil lalu meneguk esteh miliknya sampai tersisa seperempatnya. Aku
tertawa puas.
“rasain tuh” aku kembali menyendok soto ku. Memperhatikan wajah Hakim yang memerah karena
sotonya kepedesan ditambah tersedak mi tadi. Seperti perjanjian awal tadi, aku yang menraktirnya kali
ini. Dasar tidak punya malu, masa cewek si yang nraktir dia.
10

Episode 2

Bel pulang sekolah berbunyi, murid-murid segera keluar dari kelas dan hendak pulang ke rumah,
ada juga yang mampir ke kantin, ngobrol di gazebo depan perpustakaan atau bahkan sekedar duduk
nyambung wifi sekolah. Aku? Aku segera pulang ke rumah, ini sudah sore menjelang pukul empat.
Setelah sholat ashar di masjid sekolah, aku segera memakai sepatu dan bergegas menuju gerbang. Hari ini
aku tidak mengendarai motor ke sekolah, aku diantar pak supir tadi pagi. Di halte sekolah aku berusaha
menelepon pak supir untuk menjemputku, ternyata dia sudah di perjalanan. Aku menunggu di halte depan
sekolah sambil membaca lanjutan novel fantasi milikku. Tidak peduli apa yang ada di sekitarku.
Termasuk gerombolan murid perempuan yang ada di dekatku, menunggu angkot atau bis lewat.
Sepertinya mereka kakak kelas, murid kelas 11.
“eh kamu tau ga, katanya besok ada razia loh” kata murid perempuan tinggi berkulit sawo matang.
“oh ya? Kamu tau darimana?” jawab yang lainnya.
“kakakku kan passus, jadi dia nyuruh aku besok gausah bawa barang aneh-aneh ke sekolah. Lipbalm aja
gaboleh loh katanya”
“gila banget si, trus kalo bibirku kering gimana. Masa pake madu kek bayi aja” jawab murid perempuan
cantik putih yang sepertinya sangat merawat tubuh dan wajahnya.
“heh kamu kan osis Sil, kenapa ga protes aja si. Usul gitu kalo sunscreen sama lipbalm tuh ga ada
pewarnanya. Passus tuh sejelek apa sih insecure banget jadi orang sampe orang lain gaboleh pake ini itu”
kakak kelas yang ini sepertinya agak julid, tapi nyata sih passus memang selalu begitu.
“gimana protesnya, osis baru buka mulut aja anak passus udah koar-koar dulu kok” yang tadi dipanggil
Sil pun menyergah. “lagian buat apa coba razia-razia segala ga guna banget, apa mereka segabut itu kalo
ya. Mending buat belajar aja nilai mereka noh 3 semua”.
“eh dek kamu kelas sepuluh kan? hati-hati lho besok ada razia passus mereka emang selalu nyari gara-
gara. Gausah bawa-bawa barang kurang penting” salah satu dari mereka akhirnya bicara padaku yang
sejak tadi kukira dianggap angin lalu. Aku mengangguk, mobil jemputan pak supir sudah tiba. Aku
beranjak berdiri.
“iya kak, makasih sarannya. Aku pulang dulu ya” aku pamitan sesopan mungkin agar mereka tidak
tersinggung kenapa aku langsung pergi. Tapi memang pak supir sudah menjemputku. Aku sebenarnya
juga tidak tertarik hal-hal seperti itu—gosip-gosip murahan. Aku segera naik mobil yang pintunya sudah
dibukakan oleh pak supir, duduk bersandar. Aku menatap jalanan, gerimis mulai menerpa kaca jendela.
Hiruk pikuk di tengah kota besar selalu ada meskipun hujan datang seakan hujan bukanlah suatu halangan
untuk mencari nafkah. Jalanan macet dipenuhi dengan karyawan-karyawan kantor yang hendak pulang ke
rumah. Juga trotoar yang dipenuhi dengan pedagang kaki lima yang menjual aneka macam makanan,
cemilan, juga minuman. Melewati taman kota yang dikelilingi bunga bermekaran dan rumput yang
menghijau. Di tengahnya terdapat air mancur besar, deras sekali airnya. Di sekeliling air mancur terdapat
bangku-bangku taman dan juga beberapa gazebo untuk duduk dan bercengkrama bersama orang
tersayang—dan aku baru menyadari, ternyata aku tidak punya seseorang yang spesial di hidupku. Aku
melamun lama sekali sampai tiba di depan rumah dan berlari-lari kecil menuju teras rumah. Aku
menepuk-nepuk jilbabku yang basah oleh gerimis saat aku keluar dari mobil.
11

Aku mendorong pintu depan dan masuk ke dalam rumah,melewati lorong-lorong dan ruangan
kosong di lantai marmer yang dingin ini. Dulu saat kecil, aku sering berlarian di rumah ini, bermain kejar-
kejaran bersama papa lalu mama akan meneriaku agar tidak berlari kesana kemari takut nanti terpeleset di
lantai yang licin. Tapi papa terus mengejarku jadi aku terus berlari dan tertawa. Kenangan itu indah, tapi
jujur aku lebih suka sendiri. Hidupku saat ini dengan semua kebebasan yang kumiliki, keputusan yang
selalu kuambil sendiri, juga langkah yang akan kutentukan sendiri jauh lebih baik daripada kekangan
kedua orangtuaku dulu. Sampai di depan lift aku memencet angka 3 untuk naik ke lantai tiga, kamarku,
ruangan pribadiku. Sampai di kamarku aku merebahkan diri ke atas kasur, memejamkan mata. Gerimis
masih turun membungkus kota dengan syahdu. Aku kelelahan tertidur.
Bosan, aku memilih keluar rumah. Aku bangun jam 5 sore tadi langsung mandi dan juga
membersihkan diri. Setelah maghrib sekitar jam setengah tujuh malam aku keluar rumah jalan kaki, ingin
jalan-jalan dan makan malam diluar. Gerimis sejak aku bangun sudah reda, langit kembali cerah. Malam
ini banyak sekali bintang gemintang di langit juga bulan separuh sebagai pelengkap hiasan malam ini.
Aku memakai celana chinos warna abu-abu dengan baju putih oversize lengan panjang dilengkapi dengan
jilbab warna nude, favoritku. Tak lupa membawa tas gendong kecil yang didalamnya kuletakkan hp,
dompet, mukena, serta beberapa alat tulis. Aku memakai sneakers putih di ruang cuci. Sudah lama aku
tidak jalan-jalan sendiri, terakhir jalan-jalan juga sama teman-teman sekolah menengah pertama dulu.
Sekarang kami bersekolah di beda tempat, kebanyakan sekolah di SMA Maju Jaya yang letaknya lebih
dekat dari rumah daripada sekolahku sekarang.
Kepadatan di jalanan masih sama seperti tadi sore, malam ini malah lebih ramai. Aduhh lupa
malam ini adalah malam minggu biasanya banyak orang pacaran sedang jalan-jalan. Sedangkan aku? Aku
sendiri, it’s okay why not? Aku menuju restoran yang cukup terkenal di kota. Tidak jauh dari rumah, jadi
aku tidak lelah karena jalan kaki. Aku lebih suka keluar jalan kaki daripada naik kendaraan, karena aku
lebih bisa menikmati suasana di luar. Akhirnya tiba di depan restoran, saat hendak melangkah masuk tiba-
tiba..
“hai Ra..” sapa seseorang dari belakang. Aku menengok, cowok dengan celana jeans kaos putih
dilengkapi kemeja kotak-kotak yang kancingnya dibiarkan terbuka itu tersenyum padaku, astaga Hakim
ternyata. Aku tersenyum.
“hai, mau makan juga?” tanyaku berbalik padanya. Hakim mengangguk.
“iya” jawabnya singkat. Oke jadi kita makan saja berdua, dia datang sendiri naik motor vespa kuningnya.
Kami berdua masuk dan memesan makanan, aku memesan seblak sosis dan jus jeruk. Sedangkan Hakim
memesan pasta dan jus jambu. Sambil menunggu pesanan kami mengobrol ringan.
“kamu jalan kaki?” tanya nya padaku. Aku mengangguk.
“seperti yang kamu lihat” aku menjawab enteng.
“kenapa? Kamu jelas punya mobil, motor dan kendaraan yang lain kan? Kamu bahkan punya helikopter
dan pesawat pribadi”
Aku tertawa, “trus kenapa?” tanya ku sambil memperhatikan sekitar. Di sekitar kami terlihat banyak
orang yang jalan dengan kekasihnya. Kalau isitilahnya itu ‘malming’, mungkin karena libur jadi
digunakan untuk menghabiskan waktu sama orang tersayang. Entahlah.
“ga capek apa jalan kaki?”
Aku mengangkat bahu, menggeleng.
12

“eh iya save lah nomor aku Ra, ya allah udah tau juga” Hakim tiba-tiba kepikiran dan nyeplos gitu aja.
“hmm” jawabku sambil meraih handphone di tas, membuka hp dan mengetik nama ‘Hakim’ di nomor
tadi pagi. “udah” aku menunjukkan layar handphone ku pada Hakim, dia lantai mengangguk tersenyum.
Makanan akhirnya datang, kami mulai menikmati makanan malam ini dengan cepat. Aku ingin segera
keluar dan melanjutkan jalan malam ku. Setelah membayar bill makanan. Aku pamitan dengan Hakim.
“aku duluan ya” kata ku.
“emang mau kemana?”
“jalan-jalan”
“aku sebenernya bingung sih mau ngapain, aku ikut kamu boleh?” tanya Hakim hati-hati padaku. Aku
menyeringai, menatapnya dengan tajam beberapa detik lalu tertawa dan mengangguk. Hakim ini seperti
bicara sama siapa gitu.
“boleh” jawabku
“naik motor?” tanya nya memastikan.
“kamu mau ninggalin motor kamu disini hah?” sambil berjalan menuju tempat parkiran motor. Hakim
kemudian menyusulku, mendahuluiku. Kami berdua naik motor, sekedar keliling kota yang ramai karena
‘malming’. Di atas motor kami berdua bercerita tentang masa-masa lalu, akhir sekolah dasarku yang
berakhir aku dimusuhi satu kelas hanya karena aku rangking satu. Padahal selama enam tahun aku selalu
rangking satu, saat kelulusan dan pengumuman nilai ujian, nilaiku tertinggi dari yang lainnya. Mereka
mengira aku curang, aku memang tiga kali try out selalu gagal hanya tujuh rata-rata nilaiku. Tapi aku
terus berusaha, sampai ujian nasional mendapatkan nilai tertinggi dengan rata-rata sembilan. Ini memang
mengejutkanku, tapi aku lebih terkejut saat sahabatku lebih memilih tidak mempercayai usahaku selama
ini.
“sabar ya, kisahmu buruk sekali” kata Hakim sedikit berteriak melawan angin kencang. Aku
mengangguk, terlihat dari spion Hakim tersenyum. Lalu lanjut menceritakan tentang sekolah menengah
pertama dengan kisah lucunya. Kami bercerita dan tertawa sepanjang malam. Hakim sengaja
mengendarai motor dengan pelan agar kami puas bercerita. Sampai pukul 10 malam, aku meminta Hakim
untuk megantarku pulang. Dia mengantar sampai depan gerbang rumah, satpam di rumah segera memecet
tombol di pos dan gerbang pun perlahan terbuka. Dengan suara mendesing halus, gerbang akhirnya
terbuka sempurna, aku segera turun dari motor.
“hati-hati” kataku singkat. Hakim mengangguk.
“langsung istirahat, nanti masuk angin. Aku pulang dulu ya” segera dia melaji dan menghilang diantara
kendaraan-kendaraan lain jalanan. Aku segera masuk ke rumah, menuju kamarku. Melepas sepatu, tas
dan berganti pakaian lalu beranjak tidur. 20 menit mataku terpejam tapi nihil aku tidak bisa tidur.
Walaupun cuaca di luar cerah entah kenapa perasaanku tidak, sejak tadi gelisah. Aku meraih handphone
dari dalam tas kecilku, membukanya ada 4 pesan dari Hakim 10 menit yang lalu.
‘kamu udah tidur?’
‘tidur yang nyenyak ya’
‘mimpi indah’
13

‘good night’
Aku mengernyit, wajahku memanas. Ada apa denganku? Hakim juga, kenapa dia mengirim pesan begitu
formal? Dan pertanyaan tidak penting itu, sangat menyebalkan. Seperti orang penting saja aku. Aku
menggeleng lalu mulai mengetik..
‘belum, gabisa tidur’
‘kamu?’
5 detik langsung di read.
‘kenapa gabisa tidur?’
‘mikirin aku ya?’
Aku kembali mengernyit, apa-apaan sih Hakim tidak jelas banget pertanyaannya. Kenapa juga aku
senyum dalam diam sih, astaga. Aku tidak mungkin kan semudah ini buat suka sama orang? Apalagi
Hakim.
‘dih, ngapain juga mikirin kamu’
‘gapenting banget’
Read.
‘mengaku sajalah Ra, aku emang ngangenin kok’
‘gausah salting wkwk’
Udah gila nih anak. Tapi sialnya sepanjang megirim pesan dengannya aku selalu senyum-senyum sendiri.
Astaga, aku kenapa sih.
‘gajelas kamu mah, dahlah. Mau tidur’
Read.
‘katanya gabisa tidur’
‘gimana sih’
‘btw kamu tadi cantik banget loh, natural, manis banget. Gula sampe insecure lihat kamu’
Wajahku benar-benar memerah, ya allah lemah banget proteksi perasaanku.
‘sa ae, buaya darat kamu ya’
Read.
‘eh nggak lah, buaya gimana’
Sudahlah, aku udah ngantuk mau tidur—mau mengakhiri obrolan yang tidak jelas ini juga.
‘night Hakim, bye’ aku segera menutup handphone dan mengecasnya untuk dibawa ke sekolah besok.
Entah Hakim akan membalas apa, karena sebelum aku sempat menutup pesan dia sudah mengetik. Tapi
aku tidak mau lebih salting dari ini. Setengah jam kemudian aku masih belum bisa tidur, teringat apa yang
dikatakan Hakim padaku. Kenapa dia ngomongnya gitu sih, eh aku kenapa ya? AARGHH... ini sangat
14

menyebalkan. Pukul 12 malam aku baru bisa tertidur, itu pun setelah minum susu hangat 2 gelas lalu
melanjutkan novel fantasi favoritku.
Paginya, saat aku hendak keluar dari gerbang menunggu mobil pak supir tiba-tiba ada yang
berhenti di depanku. Seorang murid perempuan SMA Maju Jaya, dengan wajah bulat dengan mata yang
ramah, dia menyapa ku.
“hai Ra.. mau bareng ga? Aku sendirian nih. Bosen kan kalo naik motor sendiri” ucapnya masih di atas
motor merahnya. Aku heran, padahal sekolahku sama sekolahnya kan jauhan sekolahku kenapa dia malah
ngajak bareng aku, salah orang nih anak.
“tapi kan jauhan sekolahku Put, nanti malah kamu bolak balik kan cape” jawabku. Dia adalah Putri,
sahabatku di sekolah menengah pertama dulu. Dia murid yang cerdas, selalu menjadi saingan kelasku
dulu. Kadang aku yang rangking satu, atau kalau aku sibuk dengan lomba dia yang menjadi rangking
satu. 3 tahun kami bersama di sekolah menengah pertama dulu, 2 tahun kami satu kelas dan dia selalu
menjadi teman sebangku ku. Cerewetnya bikin ngelus dada, dia bisa ngomong 200 kata dalam waktu 2
menit tanpa henti ataupun jeda. Walaupun aku termasuk anak yang pendiam, aku tetap senang bersahabat
dengannya. Dia anak yang baik, walau kadang sedikit menyebalkan.
“yaelah gapapa kali Ra, ini kan masih pagi ga telat juga kok. Atau kamu mau dijemput orang lain?” dia
masih berusaha membujukku. “waww siapa tuh Ra, kamu udah ada seseorang ya?” tanyanya menggoda
ku. Sial, aku lupa dia bucin akut 24/7. Sejak kelas 7 aku mengenalnya dan dia memang sebucin itu, sedih
banget. Padahal aku anaknya ga terlalu tertarik dengan hal seperti itu. Tapi tidak untuk kali ini. Akhirnya
aku mengangguk daripada dia terus menggodaku.
“yaudah iya, ayo” aku bilang sama pak supir kalo berangkat pagi ini bareng Putri.
“jemput aja nanti sore ya pak” ucapku pada pak supir. Pak supir mengangguk iya. Aku segera naik ke
motor Putri, dia naik motor seperti ngajak mati. 100km/jam, padahal ini kota besar, padat sekali
pengendara yang berlalu lalang membelah lautan kemacetan. Tapi Putri? Astaga anak ini tidak kenal takut
dengan apapun. Sambil mengendarai motor, sebenarnya Putri bicara banyak hal. Entah apa itu aku tidak
mendengarnya karena deru angin jalanan. Aku hanya mengangguk-angguk pura-pura paham. 10 menit
akhirnya kami sampai di depan sekolahku Putri menurunkanku di depan halte sekolah aku segera turun
setelah mengebut ‘ria’ bersama sahabatku itu. Pusing, aku masih berdiri menyeimbangkan tubuh
memegang tiang halte depan sekolah, sedangkan Putri entah apa yang dia cari. Menengok kesana-kemari
seperti mencari seseorang dari balik gerbang sekolah yang terbuka. Akhirnya aku sudah bisa berdiri tegak
tanpa memegang tiang.
“nyari apaan sih?” tanyaku ikut menengok kesana kemari.
“nyari cogan lah, lumayan buat list berikutnya” jawabnya enteng. Aku mengeluarkan puh pelan, aku kira
cari sesuatu yang penting ternyata. Aku memerhatikan wajah Putri lamat-lamat, dia manis kok pasti tidak
susah untuk mendapatkan cowok. Tapi sejak sekolah menengah pertama dulu, dia sudah jadi sadgirl.
Cinta pertamanya yang tidak pernah suka dengan dia, kelas sembilan dulu dia punya pacar juga baru
sebulan sudah putus karena hal yang tidak jelas, dan sekarang? Dia malah nyari cowok di sekolahku
sekarang ini. Lalu terdengar suara yang tidak asing melambaikan tangan padaku.
“pagi Ra” sapanya.
Aku menoleh, Hakim ternyata aku tersenyum dan membalas lambaian tangannya.
15

“pagiii” bukan aku, melainkan Putri yang membalas sapaan Hakim. Membuat Hakim sedikit kikuk karena
yang membalas bukan orang tujuannya. Meskipun begitu Hakim tetap tersenyum dan menganggguk.
Lantas pamit menuju kelas, aku menggangguk membiarkan dia pergi.
“waa siapa tuh Ra, ganteng banget ya ampun” ucap Putri histeris setelah Hakim pergi.
“Hakim, temen masa kecilku dulu” aku akui Hakim adalah cowok berkulit putih, hidung mancung dengan
rambut sedikit bergelombang itu memang tampan. Tapi sesadar itukah semua orang terhadap fisiknya
Hakim?
“kenalin dongg” kata Putri memelas. Aku mengernyitkan dahi lantas menggaruk leher yang tidak gatal.
“gimana ya?” ucapku pelan sedikit salah tingkah. Putri menatapku dengan tatapan antusias dan penuh
pertanyaan.
“ooh itu gebetanmu ya? Gila, seleramu tinggi banget. Gapapa aku bakal dukung kamu oke. Yaudah deh
aku ke sekolah dulu takut telat” Putri segera melajukan motornya menuju sekolah.
Eh anak ini aku belum juga jawab udah pergi aja, apa kata Putri tadi? Hakim gebetanku? Aku tertawa
dalam hati.
16

Episode 3

KRINGGG!!!!!
Bel istirahat pertama berbunyi dengan keras di speaker seluruh sekolah, aku bergegas
membereskan buku-buku catatan pelajaran. Pagi yang melelahkan, di kelas kami menghadapi pelajaran
yang sangat membosankan, apalagi kalu bukan pelajaran bahasa. Dua jam pertama kami berkutat dengan
materi lengkap dengan bacaan yang ada di buku paket. Mengamati juga menganalisis kaidah kebahasaan,
tidak hanya itu usai pelajaran bahasa, kelas kami dilanjutkan dengan pelajaran kejuruan dengan guru yang
sangat menyebalkan. Setiap perlakuan kita dinilai, semuanya. Ada yang tidak mendengarkan
penjelasannya karena mengantuk disuruh keluar kelas untuk mencuci muka, ada yang pinjam bolpoin ke
teman sebangkunya langsung dimarahi, juga sekretaris pun yang salah menulis di depan ikut dimarahai.
Siapa lagi kalau bukan Bu Ani, kepala salah satu jurusan di sekolah kami. Entah kenapa harus dia yang
dipilih menjadi kepala jurusan, mungkin karena sikap disiplinnya pikirku. Bu Ani keluar dari kelas 5
menit sebelum bel istirahat berbunyi katanya akan ada rapat para guru. Kabar baik berarti kalau tidak
pulang cepat ya tidak ada pelajaran hari ini. Yess!! Aku bersorak dalam hati. Belum genap aku berdiri dari
kursi ku, tiba-tiba di depan pintu ada serombongan—sekitar 15 orang kakak kelas passus yang akan
merazia kelas. Astaga aku teringat sesuatu, ternyata benar apa yang kakak kelas katakan kemarin sore
tentang razia itu. Mampuss aku kan bawa beberapa majalah yang berjudul “the power of stone” yang
berkaitan dengan rencana eksperimenku selanjutnya. Aku memasukkan majalah baru tadi pagi, aku juga
baru membelinya beberapa hari yang lalu belum aku baca sama sekali.
“SEMUANYA KEMBALI DUDUK!!” ucap salah satu dari mereka lantang. Aku ingat namanya Kak
Riski, murid laki-laki yang menjadi pradana putra di sekolah ini. Aku mengenalnya saat kemah PTA awal
pelajaran dulu.
“TIDAK ADA YANG BOLEH KELUAR KELAS!! INI RAZIA” lanjut seorang murid perempuan di
seblahnya.
Seisi kelas terdiam, kaget juga tidak menduga akan ada razia hari ini. Razia pun dimulai dari kelengkapan
seragam, rambut panjang, sampai kuku pun kena. Tentu tidak hanya itu, sasaran utama anak passus
adalah tas para murid baru di sekolah. Segera satu per satu dari mereka menggeledah tas kami—tanpa
memikirkan pentingnya sebuah privasi, barang yang tidak berguna segera dikumpulkan mereka ke lantai
depan papan tulis. Giliranku, hatiku berkecamuk berusaha berdoa agar majalah itu dianggap penting
karena memang penting—untukku. Seluruh isi tasku dikeluarkan, semua buku pelajaran yang
kumasukkan dan kutata rapi kembali berserakan di meja, botol minum ku, bolpoin, pensil, penghapus,
penggaris, spidol, obat flu—yang tak lain adalah hasil eksperimenku, tablet, juga majalahku. Astaga.. aku
mengeluh dalam hati.
“BUAT APA BAWA TABLET HAH??!!” teriak kakak kelas passus perempuan yang name tag nya jelas
bisa kubawa. Risa, Kak Risa—yang menyebalkan.
Aku heran, kenapa malah tanya soal tablet sih. Lalu aku cepat menjawab sebelum aku diteriaki kembali.
“kan buat belajar kak, apalagi”
“YA KAN ADA BUKU, KENAPA MESTI PAKE TABLET??!!” teriaknya kembali. Sungguh passus
tidak bisa santai kalau bicara.
17

“emangnya salah? Kan dia mampu. Kalo kalah saing bilang sayang” celetuk Riko, teman sekelasku. Seisi
kelas tertawa, menertawakan Kak Risa yang wajahnya padam oleh amarah.
“SEMUANYA DIAM!!” teriak Kak Riski. Kali ini dia yang mendekati bangku ku.
“KALAU MAU PAMER, KAMU SALAH TEMPAT ADIK KELAS!! SEKOLAH BUKAN TEMPAT
PAMER!!” teriaknya persis di depan wajahku.
“siapa yang mau pamer sih kak, itu cuma tablet. Buka aja, isinya materi pelajaran yang gaada di buku
paket. Gaada juga di buku perpus. Makanya aku bawa itu, buat nglengkapi catatanku” jawabku tegas.
Kak Riski menatapku lamat-lamat yang kutatap balasan matanya, aku jelas tidak mau nunduk, ini bukan
sebuah kesalahan. Perkara tablet aja malah jadi drama seperti ini. Lalu Kak Riski membuka tabletku,
menemukan halaman menu yang hanya berisi ratusan pdf buku-buku juga e-book yang aku beli di google
playbook. Dia menggeser kanan kiri atas bawah, tidak menemukan aplikasi apapun selain buku.
Meletakkan tabletku di meja, lalu membawa majalah ‘the power of stone milikku’. Astaga aku hendak
mencegah, tapi aku bingung mengatakan apa.
Sambil berlalu, Kak Riski berseru “LAIN KALI GAUSAH BAWA BARANG ELEKTRONIK KE
SEKOLAH!! ITU LARANGAN. JUGA BUKU ATAU MAJALAH YANG GAK PENTING KAYAK
GINI!!”
Aku terkejut Kak Riski membanting buku milikki, cover tebal bagian pojok kanan atas penyok. Entah
keberanian darimana aku maju, memungut majalahku dari lantai lantas menatap Kak Riski garang.
“dilarang membawa barang elektronik? Lantas apa yang dilakukan teman Kak Riski yang jelas merekam
semuanya di kelas. Dia merekam pake apa? Batu? Itu jelas BARANG ELEKTRONIK!! sekolah ini sudah
modern, boleh bawa HP! Sebelumnya Kak Riski paham gak sih arti barang eletronik itu seperti apa?”
ucapku sembari menyeringai Kak Riski.
“OOH SUDAH BERANI YA NGLAWAN KAKAK KELAS HAH??!! BARU JUGA JADI MURID
SEBULAN, UDAH SONGONG AJA!!” teriak Kak Riski tanpa menjawab pertanyaanku.
“aku nanya apa jawabnya apa, dahlah” ucapku pelan hendak kembali ke bangku milikku. Baru juga 2
langkah sudah diteriaki lagi.
“MAU KEMANA? MAJALAH ITU JELAS BUKAN MATERI PELAJARAN BUKAN?” teriak Kak
Ulin yang bersender di samping bendera merah putih yang terpasang pada tiang setinggi 2 meter—sok
cool.
“emang apa pentingnya pelajaran bagi kalian sih? masuk kelas aja sebulan sekali” jawabku enteng. Entah
kenapa aku bersikap tidak sopan seperti ini. Tapi menurutku razia ini sangat berlebihan, bukan pihak
OSIS malah PASSUS yang razia, mana diteriaki pula. Dasar sekolah banyak drama.
“OOH BENER-BENER YA, NGELUNJAK EMANG” timbal Kak Popi yang berdiri tidak jauh dariku.
Kini semua mata menatapku, aku memilih tidak peduli. Mereka sepertinya benar-benar tidak tau siapa
aku dulu. Maklum mereka hanya kemah sepanjang tahun di sekolah tanpa tau apa yang terjadi di bidang
pendidikan sekitarnya. Majalah dari tanganku pun diambil paksa oleh Kak Popi, aku tidak akan
membiarkannya aku menariknya yang juga dibalas dengan tarikan Kak Popi. Kami berebut majalah
setebal 3 senti itu di depan kelas, satu menit berkutata aku berhasil menarik paksa majalahku sendiri. Aku
berjalan menuju bangku milikku, Kak Riski tiba-tiba mengambil majalahku. Aku tidak bersiap, kaget
dengan pegangan yang lemah.
18

“BUKU INI TENTANG APA SIH? APAKAH TENTANG KISAH CINTA SEORANG GADIS CUPU
YANG HATINYA TERPIKAT OLEH SEORANG BADBOY ATAU GIMANA?” kata Kak Riski sambil
mengangkat majalah itu tinggi-tinggi lantas membuka acak halaman-halamannya.
Aku berusaha tetap tenang, tidak berusaha merebutnya kembali. Toh dia tidak akan paham apa isi yang
ada di dalamnya. “belajar sesuatu yang baru pun aku tak boleh” jawabku enteng, kali ini aku benar-benar
duduk di kursiku. Aku capek.
“OOH UDAH NYERAH TERNYATA, KAYAK GITU DONG DARITADI” ucap Kak Risa yang masih
tetap di depan mejaku.
“itu emang buku mahal sih, tapi kalo kalian pengen dan ga mampu beli yaa ambil aja gapapa. Insyaallah
aku ikhlas, toh aku bisa beli lagi” jawabku sembari memasukkan barang-barangku kembali ke dalam tas.
“SOMBONG BANGET JADI ORANG YA, SEKAYA APA SIH KAMU?!” teriak kak aku gatau
namanya.
Aku hanya mengangkat bahu. Keributan yang lain muncul, dan ini sungguh sangat memalukan teman
sekelasku.
“HEH LIHAT INI, YA AMPUN PEMBALUT KOK DITARUH DI KOTAK MAKAN SI
AHAHAHAH” teriak murid laki-laki yang sedang mengangkat tinggi kotak—sepertinya kotak khusus
buka kotak makan, yang berisi pembalut wanita beserta kiranti dua botol itu. Aku menoleh. Seisi kelas
tertawa, membuat Nia si pemilik ‘kotak makan’ berisi pembalut dan kiranti itu tertunduk, wajahnya
merah padam hampir menangis. Aku sebenarnya tidak tega, aku ingin membelanya tapi aku saja kalah,
majalahku berhasil disita. Dia keluar kelas menuju kamar mandi, mungkin menangis.
Passus membawa banyak barang dari kelas kami, salah satunya majalahku. Ini sangat
menyebalkan! Tidak hanya buku-buku non-pelajaran—tapi kalau novel tidak disita katanya buat selingan.
‘Trus majalahku buat apa? rencana penyelundupan narkoba?’. Tidak hanya berupa buku, lipbalm dan
sunscreen pun kena sita, itu kan cuma skincare basic tanpa pewarna. Jam isitirahat kami dihabiskan untuk
razia barang-barang yang dikira tidak penting di mata passus. Benar-benar menyebalkan, untung saja hari
ini ada rapat guru jadi hari ini jam kososng sampai pulang. Aku bingung harus apa, kalu saja majalah itu
tidak disita mungkin aku sudah mengetahui isi buku itu dan memahami kandungannya. AARRGHHH
sampai kapan pun aku tidak akan berteman sama passsus. Saat aku sedang mengomel dalam hati betapa
menyebalkannya passus itu, perutku berbunyi, aku lapar. Aku menuju kantin seorang diri hendak
membeli makanan, di jalan aku bertemu sama Hakim.
“Hai Ra” dia menyapaku hangat seperti biasa.
“Hai” jawabku.
“have a good day” katanya riang.
Aku menoleh, tidak tahukah dia kalau hari ini sangat menyebalkan bagiku. Apakah kelasnya tidak ada
razia? Atau tidak ada keributan apapun saat passus merangsek masuk ke kelasnya hari ini?
“good day good day apanya, tabletku aja hampir disita” jawabku ketus.
Kali ini Hakim yang menoleh, mengernyit “emang kenapa?” tanyanya polos.
Astaga apa kelasnya benar-benar tidak ada razia hari ini? “segood day itu kah hari ini bagimu Hakim?”
kataku tak percaya.
19

Dia mengangguk, aku mendengus. Sepertinya razia yang dilakukan passus tidak semuanya. Apa malah
jurusanku saja yang di razia? Berhubung jurusan paling bawah di sekolah ini? Murid-muridnya lebih
banyak yang melanggar peraturan? ‘Pilih kasih banget sekolah ini ternyata’.
“hari ini kelasmu gaada razia?” tanyaku akhirnya.
Hakim menggeleng “razia apa?”.
Aku tersenyum kecut ‘gini amat ga dikenal sekolah’. “trus kenapa kamu kayak seneng banget hari ini?”
“gapapa, ketemu kamu makanya seneng” ujarnya.
Wajahku memerah, “bilang aja mau ditraktir” jawabku menutupi.
“eh engga kok, aku deh yang traktir kamu hari ini” jawabnya masih tersenyum. Daritadi dia tidak berhenti
senyum, aneh banget. “sekali-kali nraktir anak sultan gitu” tambahnya.
“terserah” kataku pelan.
Sesampainya di kantin kami berdua makan batagor dan es jeruk. Hakim benar-benar menraktir
aku kali ini. Senyumnya masih belum hilang, aku ingin bertanya kenapa dia seriang itu tapi kuurungkan.
Dia pasti menutupinya dariku. Di kantin ternyata tidak ada keramaian yang menyebut kata passus,
ternyata benar apa yang aku pikirkan tadi. Aku kembali tersenyum kecut, apakah selama ini kakak kelas
tidak tahu kalau yang di razia hanyalah jurusan paling rendah di sekolah ini? Atau jurusan yang lain juga
di razia tapi di waktu yang berbeda? Entahlah. Aku kembali fokus pada makananku, dengan
memperhatikan Hakim yang masih dengan senyumannya. Selesai makan aku segera kembali ke kelas,
aku ingin baca buku yang ada di tabletku.
“aku duluan ya Hakim, makasih traktirannya” kataku sambil beranjak pergi.
“eh bentar-benatar, gimana kalo kita ke perpustakaan. Hari ini kan gaada pelajaran sampe jam pelajaran
selesai. Ya kan? Mau?” cegah Hakim. Dia memegang lenganku, ‘kenapa sih harus gini’ tanpa kusadari
aku mengangguk, menerima ajakannya. Kami berjalan menuju perpustakaan yang berada di dekat taman
sekolah. ‘Kenapa aku grogi gini ya?’. Sesampainya di perpustakaan aku memilih rak buku yang berisi
tentang ‘alam dan bahan dasar’ ini pasti sangat berguna. Aku mengambil beberapa buku lalu
meletakkannya di meja baca. Disusul Hakim yang mebawa dua tumpuk buku besar dan tebal sampai
menutupi kepalanya di sebelah meja bacaku. Setelah aku baca judulnya acak, ini buku ensiklopedia
dengan bahasa inggris, spanyol, dan juga prancis.
“kamu paham bahasa-bahasa itu Hakim?” tanyaku heran.
Dia menggeleng, nyegir lebar lalu mengeluarkan handphone nya. Hakim memasang earphone bluetoot di
kedua telinganya. Lalu membuka aplikasi game favoritnya. Astaga, bukan membaca tujuannya kesini.
“gila kamu ya” kataku malas.
“gapapa, aku cuma pengen main game. Kamu baca buku dengan tenang ya, tadi malem aku udah top up
jadi hari ini harus mythic” katanya cengar-cengir.

20

Pengenalan, kenal hakim, deket, lagek mulai tumbuh perasaan tros di khianati, treat like a shit hakim,
move on, memperbaiki diri, kenal Rama, deket, treat like a good lah, hambar, silat, ghosting, bodoamat,
capek, sadar deket temen sekelas, indra menyatakan perasaan padahal wes duwe pacar, ewoh, etok2
seneng, asing, capek lagi, gapunya temen, down, ovt, silat tross, eksperimen trosss, stress, gamon, kangen
indra sg disek, bodoamat neh, move on, bodoamat, bodoamat, bodoamat, silat, silat, silat, ketemu
Zanuar(Za), Za reti spo Ra, Za butuh Ra, Ra seneng robote Za, kancanan, akrab, Za mulai paham Ra ogak
kyo sg liyane, Za seneng Ra, Ra paham tapi ijeh wedi, kejadian tak terduga, di treat like a a queen,
backstreet beda perguruan.

Anda mungkin juga menyukai