Anda di halaman 1dari 138

Erika Fridadixa

PHILOSOPHIA
PHILOSOPHIA

PHILOSOPHIA

Penulis: Erika Fridadixa


Editor: -
Tata Letak: -
Sampul: M. Haidar Izzuddin, Riardi Solihin

Diterbitkan Oleh:
Guepedia
The First On-Publisher in Indonesia

E-mail: guepedia@gmail.com
Fb. Guepedia
Twitter. @guepedia

Website: www.guepedia.com

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


All rights reserved

2
Erika Fridadixa

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan pada


Allah SWT. seiring dengan selesainya penyusunan
bukuseri PHILOSOPHIA yang terpaksa penulis revisi
karena banyak sekali kesalahan dalam pengetikan, dan
penulis merasa bahwa cerita ini tidak fokus kepada sang
tokoh utama.
Cukup sedih ketika penulis memutuskan bahwa
seri PHILOSOPHIA ini hanya sampai di sini saja, dan
tidak akan lagi penulis lanjutkan karena satu dan dua
hal yang tidak bisa penulis jelaskan.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila para
pembaca menemukan kesamaan pada nama tokoh,
tempat dan waktu kejadian, maupun cerita, itu hanyalah
kebetulan yang tidak disengaja karena memang sebagian
besar cerita terinspirasi dari pengalaman pribadi dengan
pengubahan seperlunya. Akhir kata, semoga buku ini
dapat membantu para pembaca menghilangkan rasa
suntuk dan ikut tenggelam dalam dunia seorang gadis
bernama Philosophia Damara.

Terima kasih.

Depok, Jawa Barat


Penulis

Erika Fridadixa

3
PHILOSOPHIA

Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................
Daftar Isi..................................................................
Ucapan Terima Kasih..............................................
Mereka yang terlibat................................................
Prolog......................................................................
I..............................................................................
II.............................................................................
III............................................................................
IV............................................................................
V.............................................................................
VI............................................................................
VII...........................................................................
VIII..........................................................................
IX............................................................................
X.............................................................................
XI............................................................................
Tentang Penulis.......................................................

4
Erika Fridadixa

ERRINA NABILLA S.
THERESSA PUTRI
PARTY HAPPY SEPTIANI
APRILIA Z. HUSSNA
M. HAIDAR IZZUDDIN
RIARDI SOLIHIN
MAS MUHAMMAD AFFAN
KAK ARZITO G. BRILANTIO
TEH AZRI RAMADHANTY
M. ADHA GOZALI
RAFI RONNY WAZIER
M. EMIRIO RAFIF
ALDI AGUSTIONO
FALDI ALFADRA
PUTRI NUR AFIFAH
NISRINA MUTIA

Terima kasih

5
PHILOSOPHIA

Terbawa lagi langkahku ke sana.


Mantra apa entah yang istimewa.
Kupercaya selalu ada sesuatu di Jogja.

Adhitia Sofyan – Sesuatu Di Jogja

6
Erika Fridadixa

Ucapan Terima Kasih

SEBENARNYA saya ingin sekali solo travelling sesekali,


entah itu ke Surakarta atau Yogyakarta. Ya, apa daya,
baru bisa diwujudkan oleh Philosophia Damara dan
kisah hidupnya yang enggak ada habisnya ini.

Terima kasih yang tidak terhingga terhadap Allah


SWT. yang masih memberi saya kesempatan untuk
menulis novel ini sembari mencuri waktu di tengah
kesibukan kuliah dan bekerja paruh waktu yang tidak
jarang membuat saya lelah.

Terima kasih kepada keluarga saya yang selalu


ada untuk saya serta selalu mendukung saya untuk
melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi diri saya
sendiri maupun orang lain.

Terima kasih juga terutama untuk Errina,


sahabat saya sejak kami berdua belum mengenal
kehidupan yang sesungguhnya serta kawan sepenulisan
naskah yang Insyallah bisa menerbitkan naskahnya
juga. There, Happy, dan April yang selalu jadi teman-
teman satu program studi yang mau jadi tempat
berkeluh kesah saya selama di kampus. Maaf kalau
banyak yang harus dicurhatkan atau keluhkan, hehehe.

Terima kasih yang teramat sangat dan tidak


terhingga pula untuk Izzu selaku ilustrator cover novel

7
PHILOSOPHIA

ini dan Riardi selaku editor cover novel. Maaf nih saya
tidak jago kalau soal Photoshop, hehehehe. Good work!

Terima kasih yang tidak terhingga untuk Abong,


Emir, Aldi, Ronny, Faldi, Puci, dan Tia atas
partisipasinya yang rela saya tanya-tanyain tentang
kepribadian kalian. Thanks juga untuk Kak Arzito dan
Teh Azri yang menginspirasi saya untuk tetap menulis

Dan yang terpenting ialah terima kasih kepada


penerbit yang sudah mau menerima dan menerbitkan
ulang novel ini serta para pembaca budiman yang sudah
membeli dan membaca novel ini. Insyallah kita bertemu
kembali di tulisan saya selanjutnya.

- Erika Fridadixa

8
Erika Fridadixa

Mereka yang terlibat

9
PHILOSOPHIA

Mereka yang terlibat

10
Erika Fridadixa

Mereka yang terlibat

11
PHILOSOPHIA

Mereka yang terlibat

12
Erika Fridadixa

PROLOG

13
PHILOSOPHIA

BUNDA membangunkanku. Kumandang suara adzan


Subuh juga sudah mulai terdengar, namun bisakah
waktu berjalan lebih lambat sedikit? Aku baru tertidur
selama dua jam karena tugas kuliah yang tidak bisa
ditinggal sama sekali.
“Phi, bangun,” ucap Bunda lembut. “Shalat
Subuh dulu.” Bukan maksud ingin melalaikan perintah,
namun tubuh ini rasanya sakit sekali. Kedua mataku
juga masih sangat perih untuk dibuka.
“Iya, denger kok,” ucapku lemas. Benar-benar
lemas sampai aku tidak bisa membuka kedua mataku
dan membalikkan tubuhku untuk melihat Bunda.
“Bunda duluan aja.”
“Iya, jangan lupa.” Bunda berlalu dari kamarku
yang sejatinya adalah perpustakaan pribadi miliknya
yang disulap menjadi kamarku ketika aku duduk di
bangku SMP. Alhasil, aku harus tidur dan belajar di
antara rak-rak buku yang ada dan mencium semua
aroma buku tua setiap harinya. Aku tidak keberatan
sama sekali.
Rumah yang hanya memiliki empat ruangan yang
terdiri dari ruang tamu, ruang makan, kamar Bunda,
dan kamarku ini sudah lama ditinggali oleh aku dan
Bunda. Hanya berdua saja selama ini, tanpa sosok
seorang kepala keluarga. Bunda adalah seorang single
parent dan sangat takut untuk menikah kembali. Aku
tidak tahu karena alasan apa, namun yang pasti

14
Erika Fridadixa

pertanyaan semacam itu sensitif sekali dan aku tidak


ingin mengusik privasinya.
Kupaksakan tubuhku untuk beranjak dari kasur
dan segera melaksanakan ibadah wajib Shalat Subuh.
Setelahnya, dengan keadaan masih sangat lemas, aku
merapikan meja belajarku dari buku-buku dan kertas
catatan yang berserakan di atasnya.
“Phi, sarapan sudah Bunda taruh di meja
makan,” teriak Bunda dari arah ruang makan yang
sejatinya tidak jauh dari kamarku. “Bunda buru-buru,
Phi. Lupa kalau hari ini dapat shift pagi. Berangkat dulu
ya. Assalamu’alaikum!”
Aku dapat mendengar suara hentakan kaki
Bunda yang berlari lalu membanting pintu. Sebenarnya,
aku sangat kasihan dengan Bunda yang harus bekerja
seorang diri untuk menghidupi dirinya dan juga aku.
Untungnya, beliau tidak perlu memikirkan tentang biaya
sewa rumah karena rumah ini dulu dibelikan oleh
mendiang Opa untuk Bunda.
Sebenarnya, Oma masih ada dan tinggal tidak
jauh dari rumah ini, akan tetapi Bunda bersikeras untuk
tetap mandiri dan tidak ingin menyusahkan Oma. Bunda
sendiri bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik garmen
dan tidak jarang juga kudapati beliau pulang larut
malam apabila diperintahkan lembur oleh bosnya yang
katanya orang Korea itu. Sebenarnya, Bunda dulu
pernah mencicipi bangku kuliah, tetapi karena satu dan

15
PHILOSOPHIA

dua hal, Bunda terpaksa berhenti dan menjadi pekerja


lepas dengan bekal ilmu pas-pasan yang beliau peroleh
selama berkuliah selama empat semester.

Urusanku dengan meja belajar sudah selesai, dan aku


pun sudah membasuh diriku dengan sangat bersih.
Kubuka tudung saji berwarna merah yang ada di meja
makan, dan kutemukan sepiring nasi goreng dengan
telur ceplok. Aku tidak tahu apakah Bunda lupa atau
sengaja, padahal sudah sering aku bilang kalau aku
tidak suka telur ceplok untuk topping nasi goreng.
Yaudahlah daripada laper.
Kulahap habis nasi goreng itu dan segera
berangkat ke kampus. Kelas dimulai pukul delapan, dan
jarak rumahku dengan kampus cukup jauh. Daripada
terlambat, apa boleh buat setiap hari aku harus
berangkat menjelang matahari terbit demi mengejar
kereta ke arah kampus.

16
Erika Fridadixa

NAMAKU Philosophia Damara, biasa dipanggil ‘Phi’ oleh


orang-orang di sekitarku. Usiaku dua puluh tahun, yang
artinya aku sedang menempuh semester lima di program
studi yang secara tidak sengaja sama dengan arti
namaku. Ya, benar, Ilmu Filsafat.

Apakah aku mencintai keputusanku untuk


berkuliah di program studi ini? Tidak. Mengapa?
Sejujurnya, aku ingin sekali berkuliah di Arkeologi,
namun karena saat ujian masuk Perguruan Tinggi dulu
aku salah memasukkan kode program studi, yang
seharusnya 007 untuk Arkeologi menjadi 009 Ilmu
Filsafat. Aku terkejut dulu saat membaca hasilnya, dan
baru tersadar kalau ini salahku sendiri. Alhasil aku
harus terjebak dengan mereka para pemikir yang
sebagian dari mereka dapat memikirkan hal-hal yang

17
PHILOSOPHIA

tidak terlalu penting sampai kurang tidur. Aku bicara


seperti ini bukan berarti waktu tidurku cukup. Tentu
saja sangat amat kurang.

Tidak jarang orang-orang mengecapku sebagai


orang yang dingin dan kaku karena jarang sekali mereka
melihatku melakukan kontak fisik dengan orang lain,
terutama lawan jenisku. Aku lebih melihat semua orang
sebagai sahabat dan keluarga daripada menjadikan
mereka kekasih. Aku sudah banyak menyaksikan
perempuan yang putus cinta menjadi musuh dengan
mantan kekasihnya, dan aku tidak mau menjadikan
orang yang pernah atau sedang aku sayangi menjadi
musuh.

Aku sempat bertanya pada diriku sendiri, apakah


mungkin karena aku tidak pernah merasakan kasih
sayang yang lebih dari seorang ayah? Hal seperti ini
jarang sekali aku tanyakan pada Bunda karena
termasuk hal sensitif. Bunda juga sering kali
menghindar ketika aku bertanya tentang keberadaan
ayahku, namun aku yakin beliau masih hidup dan entah
berada di mana, di luar sana. Di keluargaku juga, Opa
telah wafat sejak aku masih sangat kecil, dan Oma tidak
memiliki anak lelaki. Ketiga anak Opa dan Oma
semuanya perempuan, dan Bunda merupakan anak
kedua mereka. Maka dari itu, mungkin wajar saja kalau
aku bersifat acuh terhadap para lelaki yang

18
Erika Fridadixa

mendekatiku. Hmm, sudahlah. Menurutku tidak terlalu


penting.

Hujan deras tiba-tiba saja turun ketika aku keluar dari


kelas dan hendak pulang. Seperti biasa, aku tidak
membawa payung. Bukannya tidak mau membawa dan
tidak peduli terhadap cuaca, hanya saja bawaan di
dalam tas sudah sangat banyak.

“Terobos aja lah ini hujan. Sakit ya tinggal


berobat.” Aku tidak pernah bisa menunggu, dan tidak
ada yang tahu pasti kapan hujan ini akan berhenti.

Tiba-tiba...

“Jangan hujan-hujanan. Nanti sakit.”

Tangan seseorang menarikku masuk kembali ke


lobby Gedung D. Ketika aku berbalik, aku melihat
seorang lelaki yang telah menahanku yang hendak
menerobos hujan. Aku tidak pernah melihat ia
sebelumnya. Matanya bulat, iris matanya cokelat, dan
wajahnya seperti wajah khas pria keturunan Timur
Tengah. Entah siapa orang ini karena aku tidak pernah
melihat ia, atau mungkin aku yang terlalu apatis
terhadap sekitar.

19
PHILOSOPHIA

“Pake payung gue nih kalau mau.” Ia


menyodorkan payung lipatnya yang berwarna biru laut
ke arahku.

“Enggak usah. Makasih.”

“Emang mau ke mana?”

Ada apa dengan lelaki ini? Mengapa terus


bertanya pertanyaan yang sebenarnya tidak terlalu
penting? Mengenalku saja tidak.

“Lu mau kemana?” Ia bertanya sekali lagi dengan


suara yang agak ditinggikan volumenya.

Aku sama sekali tidak ingin merespon.

“Yaudah, dingin banget jadi cewek.” Ia berkata


seperti itu, namun ia tidak pergi. Ia hanya menaruh
kembali payung biru lautnya ke dalam tasnya sambil
terus berdiri di sampingku.

“Oh, mungkin karena gue lancang.” Ia tersadar


akan hal itu. Ia belum mengenalkan dirinya sama sekali
padaku. “Maaf ya. By the way, nama gue Avicenna.
Panggil aja ‘Avi’.”

Suaranya kala bicara saja tidak terlalu berat,


berbeda dengan para lelaki yang akhir-akhir ini aku
jumpai. Namanya sinkron sekali dengan namaku. Jika
aku adalah Filsafat, maka ia adalah Filsufnya.

20
Erika Fridadixa

“Philo.”

“Artinya cinta,” Ia mengartikan namaku. Aku


bermaksud mengenalkan diriku dengannya, tetapi ia
salah tangkap. “Philo, bahasa Yunani, artinya cinta.”

“Iya,” kataku. “Philosophia Damara.”

Avi tersenyum manis. Kuakui kalau dia memang


tampan, tapi aku sama sekali tidak tertarik. “Kenapa
senyum?”

“Nama lu bagus kok,” ucap Avi. “By the way, gue


ke kelas dulu ya. Kalau ada waktu, ketemu lagi ya.”

Dengan terburu-buru, ia berlalu dari hadapanku.


Menerobos hujan yang padahal dirinya sendiri telah
melarangku untuk melakukannya. Siapa sebenarnya
dia? Dari program studi apa dia?

“WAYOOO!!” seseorang mengejutkanku. Dari


suaranya sudah tidak terdengar asing kalau itu Biru,
salah satu temanku di program studi yang diyakini
sebagai salah satu attractive man di angkatanku.
Biarpun ia dijuluki demikian oleh orang-orang, tetap saja
aku tidak ada rasa sedikit pun kepadanya.

“Phi, mau kemana?”

21
PHILOSOPHIA

“Oh, Biru,” ucapku datar. Sungguh, aku tidak


tertarik kepadanya, meskipun berulang kali ia
mengejarku kemana pun aku pergi. “Kenapa?”

“Phi, mau ikut enggak ke Pusat Studi Jerman?”

Selalu. Entah apa yang membuatnya betah di


tempat itu. Dia bukan anak culun, tidak memakai
kacamata tebal, tetapi dia bertingkah layaknya dia anak
culun. Biru selalu tampil modis ke kampus, karena aku
tidak pernah melihatnya memakai pakaian yang tidak
bermerk.

Biru–yang memiliki nama lengkap Albiruni Ralph


Waylon ini–merupakan seorang anak keturunan British
Pakistani dari pihak ayahnya dan Tionghoa-Betawi dari
pihak ibunya. Wajahnya khas sekali pria keturunan
Timur Tengah–seperti Avicenna–namun kulitnya lebih
putih. Alis matanya tebal, tatapan mata dengan iris
berwarna biru kehijauannya amat tajam dan kadang
dapat membuatmu tidak bisa berpaling darinya, tinggi
tubuhnya sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter,
serta rambutnya ikal dan selalu disisir rapi. Selain
memiliki garis keturunan yang beragam, hal lain yang
membuat seorang Albiruni Waylon istimewa adalah
kemampuannya bercakap lima bahasa, yakni Jerman,
Arab, Inggris, Rusia, dan Jepang. Siapa yang tidak
tertarik? Aku. Iya, aku.

22
Erika Fridadixa

“Hmm, enggak dulu deh,” ucapku malas.


“Mungkin lain kali.”

“Phi, udah deh. Ngaku aja,” paksanya. “Ada yang


lu pikirin? Apa? Siapa? Cerita aja. I’m all ears.”

“Bukan urusan lu deh.” Jujur, aku kesal ketika


ada orang yang ingin tahu segalanya tentangku tanpa
memberiku batas privasi. Aku tinggalkan Biru sendirian
tanpa sepatah kata apapun dengan perasaan kesal.

23
PHILOSOPHIA

II

BUNDA pernah berkata kepadaku bahwa setiap orang


pasti akan dihadapkan dengan suatu pilihan yang sulit.
Namun, sejauh ini aku tidak dihadapkan dengan pilihan
yang sulit. Orang-orang berkata padaku bahwa aku tidak
terlihat bahagia. Mungkin karena aku selalu terlihat
dengan pakaian lusuh ke kampus dan tidak pernah
sekalipun tampil feminin atau modis seperti teman-
temanku yang lain. Masa bodoh, aku nyaman dengan
diriku ini. I’m not pleasing other people with my clothing
style. Mendengarkan orang lain kalau diri kita harus ini
dan harus itu hanya akan memperlambat kita saja.

Ponselku tidak berhenti berdering, tetapi rasanya


malas hanya untuk sekadar mengecek saja. Aku bahkan
pernah tidak membalas pesan sampai setahun karena

24
Erika Fridadixa

terlalu asyik membaca buku. Aku meraih ponselku dan


dapat terlihat jelas notifikasi pesan LINE dari Biru.
Sekiranya ada empat pesan tidak terbaca dan sudah
dikirimnya sejak satu jam setelah aku bertemu
dengannya di kampus.

PHILO! Di mana?

PHI! Ada buku baru masuk ke perpus.

Hmm, oke deh, Phi.

Albiruni Waylon, seorang kutu buku yang


bersembunyi di balik penampilannya yang modis.
Seseorang yang selalu senang ketika bertemu dengan
orang yang memiliki hobi yang sama dengannya dan
berubah menjadi sangat posesif terhadap orang tersebut–
contohnya aku.

Sorry baru bisa balas ya, Bi. Tadi di jalan pulang.

Aku tidak ingin memperpanjang percakapan


dengannya. Aku tahu bahwa Biru merupakan
mahasiswa yang memiliki rekam jejak yang bagus,
seperti peraih IPK tertinggi 3,95 saat semester satu dan
pengisi acara gemar berbahasa asing di fakultas. Namun,
itu semua tidak membuatku tertarik. Parasnya,
kepribadiannya, dan rekam jejaknya sebagai seorang
individu sama sekali tidak membuatku tertarik.

25
PHILOSOPHIA

Well, aku bukannya pemilih, namun aku hanya


tidak nyaman ketika di dekat Biru. Ada rasa minder dan
sungkan menyerangku ketika aku mengingat bahwa ia
lebih baik dariku. Sungguh, tiada rasanya ingin
mengenal dirinya lebih jauh. Mengenal seadanya saja
sudah cukup.

Pintu rumah yang tidak berubah sedari dulu. Selalu


sama dengan cat cokelat dan gagang berwarna
keperakan. Hampir saja aku bosan dengan pintu ini, tapi
bagaimana bisa? Pintu ini telah mengantarkanku ke
dalam rumah dan tentu saja ke duniaku sendiri–
kamarku.

Kehidupanku membosankan, hanya terputar-


putar di satu roda dan tidak berujung. Mulai dari
bangun pagi, ibadah, sarapan, mandi, pergi kuliah,
makan siang, pulang, kerjakan tugas, sampai tidak ada
waktu untuk memanjakan diri sendiri. Ingin sekali
rasanya pergi sendirian ke suatu tempat. Tempat di
mana aku bisa menenangkan pikiran dan
menyenangkan hatiku. Hati dan jiwa yang terasa sudah
sangat dingin, seakan-akan didiamkan di dalam lemari
es selama hidup ini.

Mahdi, salah satu temanku di program studi,


pernah menyarankan kalau mau Me Time atau solo

26
Erika Fridadixa

travelling, lebih baik ke Jawa Tengah atau ke Yogyakarta.


Jawa Tengah itu luas, banyak kota dan kabupatennya.
Mahdi tidak berkata apapun tentang kota yang ia
maksud. Kalau Yogyakarta sudah jelas. Aku pernah
melihat Instastory Azwar, teman satu program studiku
yang dijuluki The Broken Philosopher yang pernah tidak
masuk selama satu minggu hanya untuk pergi ke
Malioboro dan Keraton Yogyakarta. Untuk apa? Azwar
memang dikenal senang sekali membuat puisi filosofis
tentang manusia, patah hati, rasa sakit, dan kesepian di
tengah keramaian. Ia pergi ke Yogyakarta hanya untuk
keperluan tulisannya, namun aku tahu bahwa ia benar
sedang patah hati. Azwar yang bernama lengkap Azwar
Syach Agustianto ini memang terkenal tidak banyak
bicara dengan teman-teman di program studi, namun
selalu terlihat bersama Hada, mahasiswa Sastra Arab
yang terkenal dengan lukisan-lukisan ekspresionisnya
yang cenderung menggunakan warna-warna gelap.

Ponselku berdering kembali, dan aku tahu bahwa


itu pasti Biru. Siapa lagi yang akan menghubungiku
sesering official account LINE selain dia? Jika kehidupan
nyata punya fitur blokir juga seperti aplikasi obrolan,
maka sudah aku blokir dia dari dulu.

Kulihat layar ponselku dan terlihat nama


‘Avicenna L.’ di bagian notifikasinya. Apakah ia Avicenna

27
PHILOSOPHIA

yang sama yang aku temui siang ini di lobby Gedung D.


Tidak berpikir panjang, aku membuka pesannya.

It hurts whenever I see you always by yourself. May I


accompany you, Phi?

Pesan macam apa itu? Aku tidak merasa


kesepian, hanya merasa hampa. Hampa dan sepi itu
berbeda bagiku. Sepi adalah ketika kau merasa sedih
dan merasa tertinggal–merasa semuanya tidak adil.
Hampa? Kau tidak sedih, kau tidak gembira, malah kau
tidak merasa apa-apa. Mati rasa.

Aku tidak membalas pesannya, melainkan hanya


aku baca. Orang yang tidak aku kenal sama sekali
bukan urusanku. Bukan tidak ingin mengenalnya, hanya
saja sudah cukup aku diganggu oleh orang seperti Biru
yang menjadi posesif ketika bertemu orang yang memiliki
hobi yang sama dengannya. Aku lelah dengan jenis
individu seperti itu.

Ponselku berdering kembali, namun kali ini dari


seseorang yang aku kenal. Ya, kali ini dari Luna, teman
satu jurusanku, sahabatku, serta teman sepengulangan
Logika 1 saat semester tiga lalu.

Phi, still alive?

Aku tidak tahu apa yang ingin dibicarakan Luna


malam ini. Mungkin tentang barang dagangannya seperti

28
Erika Fridadixa

malam kemarin atau mungkin tentang orang yang ia


suka?

Kenapa?

Phi, kali ini gue mau jujur.

Jujur aja. Enggak ada yang larang.

Phi, sebenarnya gue selama ini suka sama Hada.

Aku tidak tahu harus mengeluarkan reaksi apa.


Al-Farabi Hada Khair memang tidak terlalu tampan
seperti Biru ataupun Avicenna, namun ia cukup manis
dengan wajah khas orientalnya. Ia juga mampu memikat
wanita dengan usahanya, yakni melukis. Aku sudah
mendengar kalau banyak gadis di kampus yang
menyukainya, jadi tidak heran kalau Luna menjadi salah
satu dari sekian gadis yang menyukainya.

Ya, terus? Mau jujurnya ke gue aja?

Kalau ke Hada langsung, muka gue ditaruh di mana?

Serba salah ya kita jadi perempuan, Lun.

Maksudnya, Phi?

Kalau ngungkapin duluan, dikira agresif.

Iya sih.

Tapi daripada disimpan lama-lama, bikin sesak dada.

29
PHILOSOPHIA

Kalau enggak diterima?

Seenggaknya lu udah jujur.

Aku bukan seorang yang ahli soal percintaan,


dan aku bahkan tidak tahu apa yang baru saja aku
pesankan ke Luna. Aku hanya berharap ia tidak
mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti perasaan,
baik perasaan Hada maupun perasaannya sendiri.

Luna tidak lagi mengirim pesan, dan itu artinya


aku bisa langsung ke kamarku untuk kembali larut
dalam duniaku sendiri.

“Loh, sudah pulang?” suara Bunda tiba-tiba


mengejutkanku. Aku tidak tahu kalau Bunda hari ini
pulang lebih cepat. “Kok enggak salam? Enggak ngomong
apa-apa?”

Aku yang terlalu asyik dengan ponselku dari


masuk rumah sampai di depan pintu kamarku lupa
bahwa di rumah ini aku tidak tinggal sendirian. Memang
benar kata orang kalau ponsel memanglah sebuah
distraksi yang membuat penggunanya kehilangan fokus
atau konsentrasi. Aku tidak ingin hal itu terjadi
kepadaku, namun perlahan ketika sudah kuliah, ponsel
menjadi barang wajib yang harus aku cek setiap saat
karena segala informasi tentang perkuliahan ada di grup
LINE, WhatsApp, atau E-mail.

30
Erika Fridadixa

“Eh, Bunda?”

“Udah pulang, tapi kok enggak ada salam?”

“Eh, uh... Maaf, Bun,” suasana sangat canggung,


dan aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. “Tadi lupa
keasyikan ngobrol.”

“Hmm... Sama cowok pasti ya?” Bunda mulai


mencurigaiku, tapi aku berani sumpah bahwa tiada
lelaki di kampus yang menarik perhatianku, meskipun
para lelaki seperti Biru dan Avicenna memang terlihat
menarik. “Udah, Phi. Enggak usah bohong. Bunda tahu
kok kalau kamu sudah dewasa, bisa tahu yang mana
yang baik, mana yang enggak.”

“Enggak kok, Bun,” jawabku. “Daritadi di sini


keasyikan ngobrol sama Luna.”

“Oh, Luna yang temen kamu yang keturunan


Jepang?”

“Iya,” jawabku singkat. “Udah, Bun. Aku mau ke


kamar dulu.”

“Oke.”

Tiada kata-kata yang aku dengar lagi dari Bunda


seraya aku membuka pintu yang membawaku menuju ke
‘duniaku’.

31
PHILOSOPHIA

Kulempar tasku ke lantai dan kurebahkan diriku


ke kasur dengan segera. Tidak merasakan kasur selama
kurang lebih sembilan jam adalah suatu derita yang
harus dirasakan setiap hari selama kuliah. Baru saja
aku mencoba memejamkan mata untuk tidur singkat,
tiba-tiba ponselku berdering. Aku tidak begitu terkejut
ketika mengetahui bahwa pesan itu dari Luna lagi.

PHI, I DON’T KNOW WHAT TO SAY!

Did you confess it?

YES!

Luna kemudian mengirimkan screen capture


percakapannya dengan Hada. Tidak hanya satu, namun
ada sepuluh gambar. Aku baca satu persatu meskipun
aku tahu kalau aku tidak akan kuat membacanya.
Romantisme bukanlah suatu hal yang aku suka.

Kesimpulan yang aku dapat ialah Hada tidak bisa


menerima Luna karena Hada menjunjung tinggi
pemikiran ‘berpacaran setelah menikah’. Untuk saat ini,
Hada hanya bisa menerima Luna sebagai teman dekat
atau saudari saja. Well, setidaknya Luna sudah jujur dan
tidak ada lagi beban di dalam hati dan pikirannya.

Phi, still there? What do you think?

Seenggaknya lu udah enggak ada beban lagi.

32
Erika Fridadixa

Iya, Phi. Udah lega banget. Thanks ya!

Tapi lu gapapa kalau dia enggak nerima?

Deket sama dia udah lebih dari cukup.

Ok. Gue belajar dulu ya.

Aku matikan ponselku dan mulai mengisi ulang


dayanya. Sembilan belas persen daya tersisa di ponsel
memang benar-benar menunjukkan bahwa ponsel
menjadi sesuatu yang esensial dewasa ini. Ingin sekali
rasanya tidak memegang ponsel sehari saja ketika di
kampus.

Buku apa lagi yang bakal dibaca?

Terlalu banyak koleksi buku, dari buku filsafat


sampai komik pun ada. Koleksiku sekarang ini
berjumlah sekitar seribu lima ratus buku, dan aku tidak
pernah akan berhenti untuk menambahnya. Namun di
sisi lain, aku sangat bingung ketika hendak membaca.
Hampir seluruh koleksiku sudah pernah aku baca,
kecuali satu novel, yakni Dunia Anna karya penulis yang
sama dengan yang menulis Dunia Sophie, Jostein
Gaarder.

Luna yang memberikan novel tersebut sesaat


setelah kami berdua dinyatakan gagal di kelas Logika 1.
Bahkan novel ini masih ada segel plastiknya karena

33
PHILOSOPHIA

belum pernah aku sentuh sama sekali. Luna berkata


bahwa ini “bisa jadi semangat lu, Phi.”, padahal aku
tidak ada tertariknya sama sekali dengan Filsafat
Manusia. Mata kuliah itu saja bisa aku lewati dengan
nilai pas-pasan, B-.

Nanti aja deh.

Aku menaruh kembali novel tersebut di rak yang


sama di mana aku meletakkan novel Dunia Sophie.
Bunda menyuruhku untuk meletakkan setiap novel atau
buku dengan abjad yang sama dengan judulnya di setiap
rak. Misalnya, buku tersebut judulnya diawali huruf ‘S’,
maka aku harus meletakkannya bersamaan dengan
buku atau novel lain yang aku miliki yang judulnya
berawalan dengan huruf ‘S’.

Hampir seluruh koleksi merupakan pemberian,


terutama kado untuk mendiang ayahku kala beliau
masih berkuliah. Tidak pernah terbayangkan olehku
bagaimana susahnya kuliah di zaman mendiang ayahku.
Tiada ponsel, internet masih terbatas, dan komunikasi
hanya memakai wartel. Ketika ingin mengerjakan tugas
saja, Bunda pernah berkata padaku bahwa mendiang
ayahku sering sekali pergi ke perpustakaan. Tidak heran
kalau semua kebiasaannya menurun kepadaku.

Sudah beberapa bulan belakangan ini, aku tidak


membersihkan rak-rak buku ini. Mungkin aku bisa

34
Erika Fridadixa

mencuri waktu dua jam untuk membersihkannya


sebelum aku mengerjakan tugas Filsafat Timur.

Ketika membersihkan rak nomor 1, dimana


semua buku dan novel dengan judul berawalan huruf ‘A’
berada, sebuah buku terjatuh dan bunyinya sangat
kencang. Dapat aku lihat bahwa buku itu merupakan
buku tua. Covernya sudah lumayan rusak, kertasnya
pun sudah ada yang sobek dan menguning. Aku hampiri
buku dengan cover berwarna biru tersebut, dan buku
setebal tiga ratus dua puluh halaman dan bersampul
biru dongker tersebut berjudul Avicenna : Great Medieval
Thinkers karya Jon McGinnis yang dterbitkan pada
tahun 2010 oleh Oxford University Press Inc. Celakanya,
tiba-tiba aku teringat dengan orang misterius yang
menarik diriku dari hujan hari ini–Avicenna.

Penasaran aku dibuat oleh buku Avicenna itu,


dan ketika aku buka, terdapat lipatan kertas yang sudah
bernoda sama seperti kertas buku tersebut. Lipatan
kertas itu aku ambil dan buka. Ternyata itu adalah surat
dari mendiang ayahku untuk anaknya kelak–yang
nyatanya adalah aku–yang beliau tulis sejak masih
kuliah.

Halo, anakku. Salam kenal ya. Ini aku, ayahmu, Romy


Damara. Entah untuk apa ayah nulis ini, ayah cuma
takut enggak bisa ketemu kamu. Kamu enggak usah

35
PHILOSOPHIA

khawatir, ya. Kamu harus kuat. Ingat satu hal, ketika


kamu bosan akan kehidupanmu, temui orang-orang
baru, perkenalkan dirimu kepada mereka. Buat
‘duniamu’ bervariasi dengan tidak diisi dengan orang-
orang yang itu-itu saja. Sudah dulu ya. Sampai jumpa.

Hmm... janggal. Buku ini terbitan tahun 2010,


namun suratnya dari Desember 1999. Hmm... apakah
mungkin Bunda yang menyimpannya di dalam buku ini?
Mungkin.

Romy Damara, aku hanya tahu namanya, tidak


parasnya. Selain enggan menjawab teka-teki ke mana
beliau pergi sesungguhnya, Bunda juga enggan
memberitahukan bagaimana rupa wajah beliau
kepadaku. Setengah mati aku penasaran akan ayahku
sendiri, namun Bunda tidak pernah mengizinkanku
untuk tahu tentangnya.

“Philo?” Bunda–seperti biasa–mengejutkanku dan


masuk kamarku tanpa mengetuk pintu.

“Iya, Bunda?”

“Ada Luna di ruang tamu,” kata Bunda. “Katanya


mau nginep. Udah ngirim LINE ke kamu, tapi katanya
kamu enggak bales. Kamu lagi ngapain ini?”

“Nemu surat dari Ayah, Bun.”

36
Erika Fridadixa

Bunda kemudian mengambil paksa surat yang


kertasnya sudah lusuh itu dari tanganku dan
membacanya. “Phi, enggak usah dipikirin,” ucap Bunda.
“Udah kamu sana ke bawah, temuin Luna.”

Tanpa basa-basi atau sepatah kata apapun lagi


terucap, aku keluar dari kamarku dan menemui teman
seperjuanganku di kelas Logika 1 itu.

“Lun, ngapain ke sini?”

“Salah, Phi?” tanya Luna sembari


menyodorkanku plastik berisi sekotak pizza ukuran
besar. “Ini biar enggak salah, gue udah bawain kesukaan
lu. Pizza pepperoni keju. Lu diteror Biru enggak hari ini?”

“Aduh, udah enggak usah ngomongin dia!”

“Waduh, siapa lagi itu?” Bunda lagi-lagi seperti


‘datang tidak dijemput, pulang tidak diantar’. “Philo
enggak pernah cerita.”

“Ada, cem-cemannya Philo di kampus,” ejek Luna.


“Orangnya aneh, Tante.”

“Alah, apaan cem-ceman. Dia kali yang serem,


stalker banget dia.”

Bunda tidak menanggapi jawaban Luna namun


hanya menggelengkan kepala lalu pergi ke dapur

37
PHILOSOPHIA

sembari membawa gelas dan piring kotor bekas makan


miliknya.

“Ngapain ke sini, Lun?”

“Enggak boleh, ya? Ngusir?”

“Ih, enggak. Cuma udah malem. Besok apa sih


mata kuliahnya?”

“Hold up, Sis!” Luna mengeluarkan ponselnya dan


mengecek jadwal lewat website KRS. “BESOK FILSAFAT
TIMUR SIH, PHI!”

Sejenak aku melupakan segala hal setelah


membaca surat dari Ayah, tidak terkecuali dengan tugas
Filsafat Timur. “Aduh, bodoh! Gue lupa ada tugas!”

Luna pun mulai panik karena ia juga lupa


dengan tugas mata kuliah tersebut. “PHI, GIMANA DONG
INI? Udah malem banget ini!”

“Hadeh, jangan bikin gue juga panik dong, Lun!”

“Ih, mau gimana lagi, Phi?” Luna semakin


memojokkanku. “Pak Dharma lu tahu sendiri, kan? Diem
sih diem dia, tapi kalau udah ngasih nilai, Subhanallah
indah sangat. B- berjejer. Mana itu orang pembimbing
akademis gue lagi, Phi”

38
Erika Fridadixa

Aku tidak mengatakan apapun kecuali tertawa.


Aku teringat kalau Pak Dharma–dosen Filsafat Timur–
merupakan dosen paling misterius dan amat sangat
pendiam di antara dosen yang lain. Beliau tidak pernah
terlihat marah, namun kejam ketika memberi kami nilai
akhir. Sama seperti pembimbing akademisku, Pak Ardee.
Tidak heran keduanya disebut “Duo Auto B-” oleh senior
kami. Selain itu, Pak Dharma sudah dari semester satu
menjadi pembimbing akademis temanku yang bernama
asli Horikawa Luna ini.

“Ya sudahlah. Ayo ke kamar gue!”

“Ayok!”

39
PHILOSOPHIA

III

SEMALAMAN aku mengerjakan tugas Filsafat Timur


dengan Luna. Untungnya Azwar mengingatkan kalau
tugas mata kuliah ini adalah pair work, jadilah aku
mengerjakannya dengan Luna.

“Nih, submitnya di mana, Lun?”

“Kata Azwar print out, terus titip ke resepsionis


Gedung G, Phi,” jawab Luna sembari melihat ponsel. “By
the way, Pak Dharma...”

Sejenak ia berhenti bicara. “Kenapa?”

“Pak Dharma gak masuk, Phi. Istrinya sakit kata


Azwar. Hari ini kelas Pak Dharma dicancel semua.”

40
Erika Fridadixa

Derita mahasiswa. Kalau tidak terlambat, tidak


bisa titip absen, ya ditinggal pergi oleh dosen. Aku sudah
biasa menghadapi Pak Dharma yang selalu sibuk dan
sering membatalkan kuliah tiba-tiba.

Ponselku berdering dan terlihat nama ‘Albiruni


Waylon’ di layarnya. Aku tahu isi pesannya akan selalu
sama–mengajakku ke perpustakaan. Bosan? Sangat.
Kesal? Bahkan kesal sudah tidak bisa mendefinisikan
perasaanku terhadapnya.

Phi, gue tahu kok kalau lu enggak suka gue terus-


terusan ngirim pesan kayak begini. Gue cuma mau
bilang, mulai sekarang gue enggak bakal ngubungin lu
lagi. Maaf kalau seandainya jadi beban. Gue cuma
seneng banget pada akhirnya ketemu temen yang
punya hobi sama kayak gue. Kalau lu perlu gue, lu tahu
kok gue di mana. Sekali lagi, I really am sorry. Oh iya,
doakan ya. Gue daftar jadi mapres fakultas, semoga
makalah gue lolos. Maaf kalau misalnya gue enggak
cerita tentang ini di awal, karena gue tahu lu enggak
bakal peduli, Phi. Udah sekian, Phi. Makasih udah mau
baca.

Ada perasaan sedih yang seketika hinggap di


dalam benakku. Kini ponselku akan sangat sepi.
Rasanya tidak rela ketika ia pergi, namun aku sudah
cukup ada di batas kesabaranku dengannya.

“Siapa, Phi?” tanya Luna tiba-tiba. “Biru?”

41
PHILOSOPHIA

“Kok lu tahu?”

Luna tertawa sekeras yang ia bisa. Aku tidak


tahu apa yang lucu dari jawabanku yang balik bertanya
dengannya.

“Lucu banget deh,” Luna mencoba berhenti


tertawa, namun tak sanggup. “Lu tahu kan hape lu
enggak sepi cuma karena Biru, gue, sama grup. Mahdi
paling sesekali kalau mau minta jokiin tugas.”

Apa yang dikatakan Luna memang ada benarnya,


namun kini rasanya akan sangat berbeda. Biru yang
dulu, kini akan menjadi seseorang yang baru setelah
mengikuti–apalagi kalau sampai memenangkan–
Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Fakultas.

Rasanya sangat malas untuk menanggapi Luna


selain untuk tugas dan kuliah. Aku memang aneh–
kuakui–dibandingkan Luna yang sangat menyukai laki-
laki dan menginginkan cinta mereka. Padahal, ia sendiri
memiliki lima orang kakak laki-laki dan seorang ayah
yang aku rasa cukup banyak cinta dari lawan jenis
untuknya.

“Phi?”

“Iya? Kenapa?”

“Lu ada kelas enggak?”

“Ada,” jawabku. “Bahasa Italia. Kenapa?”

“Kalau ketemu Hada, tolong kasih ini ya.”

42
Erika Fridadixa

Luna kemudian menyerahkan kotak seukuran


kotak sepatu yang ia sudah bungkus dengan kertas kado
berwarna hijau toska–warna yang diyakini ialah
kesukaan Hada. Kotaknya tidak berat, namun juga tidak
terlalu ringan.

“Jangan dikocok, jangan dibanting, jangan diapa-


apain ya, Phi,” pinta Luna. “Ini gue spesial banget buat
dia beliinnya.”

“Spesial? Kayak martabak dah,” ejekku. “Gue


tahu ini isinya alat lukis, kan?”

“Ck... bukan! Udah kasih aja!”

Sudah menyuruh, kasar pula. Ingin aku maki,


tapi dia satu-satunya temanku. Serba salah. Percuma
juga menasihatinya. Orang jatuh cinta seperti orang tuli.
Ketika kita nasihati, tidak akan pernah didengarnya
sampai ia sakit hati karena menyesal tidak pernah
mendengar saran kita.

“Ok,” ucapku. “Gue ke kamar mandi dulu. Lu


mau ngapain?”

“Mau balik. Kak Akira hari ini dateng dari


Jepang.”

“Sendirian?”

“Enggak, Phi,” jawab Luna. “Bawa istri sama


anaknya juga. Balik dulu ya, Phi!”

43
PHILOSOPHIA

Luna kemudian keluar dari kamarku tanpa


memintaku untuk menemaninya keluar. Pertemuan
singkat kami telah membuatnya mengenalku lebih jauh
dan bisa juga dibilang lebih baik. Baru lima semester
aku mengenalnya yang jauh-jauh datang dari Jepang
hanya untuk kuliah di Indonesia karena rasa penasaran
akan tanah kelahiran ibunya yang merupakan orang asli
Banyumas, Jawa Tengah.

Waktu berlalu begitu cepat dan tidak terasa kini


sudah pukul sepuluh pagi. Kelas Bahasa Italia dimulai
pukul satu, namun tugas dari Pak Dharma ini memang
benar-benar tidak bisa membuatku berdiam lama di
rumah. Aku sudah membersihkan diriku dari semua
peluh yang semalaman menempel.

Cuaca akhir-akhir ini memang tidak bisa


terprediksi. Kadang panas, kadang hujan. Kadang juga
aku takut akan terjadi kekeringan tiada henti yang
menyebabkan manusia memakan satu sama lain
sangking tidak adanya padi atau gandum yang tumbuh
di sawah. Haduh, bicara apa sih aku ini.

44
Erika Fridadixa

IV

PUKUL satu siang, kelas Bahasa Italia dimulai, dan aku


berada di kelas yang sama dengan ‘The Man of Luna’s
Dream’. Hada memilih kelas ini karena ia lupa bahwa ia
bisa mengambil 22 SKS untuk semester ini. Tadinya ia
ingin mengambil kelas Bahasa Inggris Akademik, namun
yang tersisa hanya kelas ini. Aku bisa melihat bahwa ia
cukup pandai dalam belajar mengenai bahasa dan
linguistik.

Seusai kelas, Hada tidak pernah langsung pergi.


Ia biasanya selalu menyempatkan dirinya untuk
menggambar suasana kelas. Matanya bagai lensa
kamera yang menangkap segala situasi dan kejadian
secara detail tanpa terkecuali. Ia tuangkan itu semua di

45
PHILOSOPHIA

secarik kertas dengan pulpen bertinta biru yang terus


saja menari-nari mengikuti alur permainan tangan Hada.

“Masih di kelas, Sophia?”

Hada bahkan tidak menatapku, namun ia tahu


bahwa aku masih di dalam kelas. Aku tidak akan
menjawab pertanyaannya selama ia masih memanggilku
‘Sophia’. Entah mengapa aku tidak terlalu menyukai
bagian tersebut di namaku sendiri.

“Diam yo?” Tanya ia padaku. “Hmm… Philo.”

“Iya?”

“Kenapo dipanggilnya ‘Philo’?”

“Gue enggak mau ngomong tentang itu.”

“Okay,” kata Hada. “Kenapo ni awak masih di


kelas?”

Aku menghela napasku. Mengapa rasanya sangat


berat hanya untuk berbicara dengannya?

“Tui kotak apo, Phi?” Hada menyadari keberadaan


kotak berwarna hijau toska yang ada dalam pelukanku.
“Dari Luna?”

“Iya,” ucapku. “Dia bilang sama gue, ‘jangan


dibanting, jangan dikocok, jangan diapa-apain

46
Erika Fridadixa

pokoknya’. Ya, ini gue peluk aja makanya biar enggak


rusak.”

Bukannya mengambil segera kotak tersebut, tapi


Hada malah tertawa. “Aduh, ternyata awak ni lucu juga
yo. Philosophia yang aku tahu dari orang-orang itu gadis
dingin, expressionless, ternyato lucu juga.”

“Lucu apa sih?” tanyaku. “Ambil aja ini.”

Aku menyerahkan kotak yang sedari tadi dalam


pelukanku kepadanya. Ia tidak berkata apa-apa kecuali
terdiam. Segera aku meninggalkannya di kelas sendirian
dan menahan betapa malunya aku.

“Begitulah terkadang,” ucapnya yang tiba-tiba


meninggikan volume suaranya. “Cinta membuat orang
menjadi bodoh dan nekat untuk melakukan apa saja
hanya untuk mendapatkan orang yang mereka cintai.
Nyawa, harga diri, harta, semua mereka taruhkan.
Seperti apa yang dilakukan Luna untuk aku.”

Segera saja aku tinggalkan Hada beserta semua


kata-kata menjijikkannya itu menuju Gedung I.

“Phi!” seseorang memanggilku. Kali ini bukan


Hada, melainkan orang lain. Suaranya seperti tidak
asing, namun siapa?

47
PHILOSOPHIA

Kuhentikan langkahku dan kutengok ke arah


suara itu berada. Ternyata yang memanggilku adalah
Avi. “Iya?” kataku. “Kenapa?”

“Mau ke mana?” ia tersenyum.

“Mau pulang. Cuma satu kelas doang.”

“Oh, mau ba–”

“Avicenna!”

Baru saja Avi ingin menyelesaikan ucapannya,


namun tiba-tiba terpotong oleh seseorang. Orang itu
menghampiri kami berdua, dan terlihat olehku sosok
pria tinggi bertubuh gemuk dengan rambut hitam yang
poninya disisir ke samping, kacamata minus yang amat
tebal dan berbingkai bulat, kulit putih seperti kulit orang
Tionghoa, dan wajah oriental yang menggemaskan
namun sedikit mirip dengan salah satu anak Sastra
Inggris yang populer karena wajahnya sering menghiasi
kiriman Instagram dan LINE BEM–Felix Gozali.

“Avi, lu darimana aja?”

“Oh, di sini kok gue,” jawab Avi. “Daritadi sama


Philo. Oh, umm… where are my manners? Philo, Gill.
Gill, Philo.” Avi mengenalkanku pada temannya yang
tidak tahunya adalah Gillian Hansen, anak satu-satunya
dari salah satu dosenku, Pak Christopher ‘Kris’ Hansen.

48
Erika Fridadixa

Aku kira ia saudara kembar Felix Gozali karena


kemiripan wajahnya, namun ia lebih gemuk dan lebih
menggemaskan daripada Felix yang lumayan kekar.

“Eh lu mahasiswa bokap gue yang namanya


Philosophia bukan sih?” tanya Gill kepadaku.

“Iya. Salam kenal,” kataku canggung. “By the


way, gue duluan ya.”

Aku berpaling dari kehadiran mereka dan


melanjutkan langkahku pergi ke Gedung I.

Beberapa langkah menjauh dari mereka dan tiba-


tiba saja di depanku terdapat sesosok pria berusia tiga
puluh tahunan, memakai kemeja hitam, dan membawa
map cokelat. Iya, pria itu adalah Pak Ardee, dosen mata
kuliah Filsafat Seni untuk semester ini dan Etika pada
semester tiga kemarin. Pak Ardee ini juga merupakan
dosen yang sangat pendiam dan tidak sungkan untuk
memberi nilai “B- berjejer” layaknya Pak Dharma seperti
yang sudah aku katakan sebelumnya. Sayang sekali
beliau tidak mengajar Logika 1 dan 2.

Yang aku pertanyakan ialah apakah Pak Ardee


punya istri? Aku tahu ini ranah privasi beliau, akan
tetapi di Instagramnya, Pak Ardee hanya sering
mengunggah foto dirinya saja dengan anaknya yang
masih kecil. Hmm... Mungkin Pak Ardee hanya tidak

49
PHILOSOPHIA

suka Public Display Affection. Sebagian orang


menganggap keluarga adalah hal personal, dan mereka
tidak suka menyebarnya.

“Philo, sedang apa?” Pak Ardee memergoki diriku


yang sedari tadi memperhatikannya. “Abis kelas apa?”

“Eng… Bapak sendiri sedang apa?”

“Loh? Saya bertanya, kamu balik bertanya?” Pak


Ardee terlihat sebagai orang yang amat sangat sabar
dibalik senyumnya. Aku memikirkan sudah berapa
wanita yang menjadi saksi kesabaran pria ini. “Abis kelas
apa?”

Aku menjadi canggung. Suasana seperti tidak


mendukungku. “Bahasa Italia, Pak.”

“Oh, iya ya? Lupa, saya yang setujui IRS kamu,


tapi saya yang lupa apa aja yang kamu ambil.”

“Hehehe, it’s okay, Pak.”

“Hmm… Saya jawab pertanyaan kamu ya,” ucap


beliau. “Saya ada kelas tambahan buat mahasiswa
semester tujuh. Kamu kalau ada waktu dan mau bantu
saya bagiin worksheet buat kakak-kakak tingkat kamu,
silahkan.”

Pak Ardee, sebenarnya anda ini terbuat dari apa?


Mengapa sangat baik hati sekali?

50
Erika Fridadixa

“Wah, enggak ngerepotin, Pak?”

“Enggak, Philo,” Pak Ardee tersenyum sumringah.


“Lagipula, nanti saya bayar.”

“Gak perlu, Pak,” tolakku. “Saya ikhlas.”

“Ya sudah. Ikut saya ke Gedung I lantai 2 ya.


Ruang I-207.”

Aku menuruti permintaan beliau. Ternyata map


cokelat yang beliau bawa adalah worksheet yang harus
dikerjakan para mahasiswa semester tujuh. Pak Ardee
melakukan hal yang sama–membuat worksheet–dan
tidak hanya untuk mahasiswa semester tujuh,
melainkan juga kelas Filsafat Seni, Etika, dan mata
kuliah lain yang beliau ampu.

Setelah selesai semua, Pak Ardee tiba-tiba


mengantongiku sebuah amplop.

“Buka nanti aja ya,” ucap Pak Ardee. “Makasih


banyak ya, Phi.” Beliau kemudian pergi meninggalkanku
dengan terburu-buru.

Sesaat setelah beliau sudah tidak terlihat


kehadirannya, rasa penasaranku akan isi amplop ini
mendorongku untuk membukanya segera. Kutemukan
uang dengan nominal sebesar lima puluh ribu rupiah
sebanyak empat lembar dan secarik kertas catatan yang

51
PHILOSOPHIA

sama birunya dengan warna uang-uang tersebut. Kertas


itu ternyata ialah surat dari beliau, yakni :

Philosophia, terima kasih ya sudah membantu saya


hari ini. Jujur, saya stress sekali hari ini dan bahkan tadi
saya sejujurnya menahan sakit maag saya. Saya belum
makan sejak pagi dan kelas tidak ada yang bisa
ditinggal karena saya juga harus menggantikan Pak
Dharma mengajar Pengantar Filsafat dan Pemikiran
Modern untuk prodi-prodi sastra Eropa. Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana saya tadi tanpa bantuan
kamu. Mohon maaf apabila saya merepotkan. Terima
uang ini dan manfaatkan untuk sesuatu yang berguna,
Philo. Tetap semangat, dan saya yakin kamu bisa lulus
Logika 1. Nothing is impossible, you can make it.

– Ardee

Tidak aku sangka bahwa di balik 'gunung es'


masih terdapat 'matahari' alias di balik sifat dinginnya
Pak Ardee terhadap para mahasiswanya dan sangat
kejam ketika memberi nilai, beliau tetap manusia biasa
yang memiliki hati dan perasaan sehangat mentari.

Aku terus terbuai dengan isi pesan beliau,


sampai-sampai aku tidak menghiraukan ponselku yang
sudah bergetar sedari tadi.

Aku cek ponselku dan ternyata banyak sekali


panggilan tidak terjawab dari Bunda. Waktu sudah

52
Erika Fridadixa

menunjukkan pukul lima sore, dan ini saatnya pulang ke


rumah.

Satu hari melelahkan diisi dengan drama yang


sama sekali aku tidak bayangkan akan terjadi. Huft.

53
PHILOSOPHIA

ROMY DAMARA. Mengapa nama itu tidak bisa hilang


dari pikiranku? Mengapa seakan-akan pikiranku
membuat semacam teori konspirasi yang menyatakan
ayahku itu masih hidup? Huh… Sudahlah.

Pukul tujuh malam, aku masih saja teringat-ingat


akan hari ini. Pak Ardee sudah lima semester menjadi
pembimbing akademisku, namun aku tidak pernah
sekalipun mengobrol cukup lama dengannya. Begitu
sudah tanda tangan IRS, aku tidak pernah ada basa-basi
kepada beliau, melainkan langsung pulang. Lain halnya
dengan Mahdi, Bung Herman, dan Mas Evan yang satu
bimbingan denganku. Mereka biasanya sangat lama
ketika berbincang dengan Pak Ardee. Jika boleh
dideskripsikan, Pak Ardee merupakan dosen yang
penampilannya amat sangat modis di antara para

54
Erika Fridadixa

dosennya. Sekilas ia mirip sekali dengan Avi, namun aku


ragu apabila beliau memiliki hubungan darah dengan
anak misterius itu. Pak Ardee itu orangnya kurus,
lumayan putih, matanya tajam sekali, dan gaya
pakaiannya membuatnya lebih muda dari umurnya..

“PHILOOOOOO!!!!!” Entah sejak kapan Luna


datang, secara tiba-tiba ia sudah berada di sini dan
mengejutkanku dengan memelukku dari belakang.
Sesuatu yang sangat amat aku tidak suka, tapi
untungnya menyadarkanku dari lamunanku tentang Pak
Ardee. Luna dan Bunda memang sama saja, yakni
mereka selalu datang secara tiba-tiba.

“Kok lu tahu gue lagi di rak buku A-H?”

“Gue temen lu, Phi,” jawab Luna. “Gue tahu kalau


lu seneng banget di rak buku A-H, terlebih abis lu nemu
surat dari bokap lu.”

Aku tidak tahu berapa banyak surat yang Ayah


tinggalkan untukku. Yang pertama aku sudah temukan
di buku Avicenna, selanjutnya? Hmm…

“Menurut lu, bokap gue ninggalin berapa surat?”

“Gak tahu, Phi,” ucap Luna. “Tanya nyokap lu


aja.”

55
PHILOSOPHIA

Bunda pasti tidak ingin membicarakan Ayah. Apa


boleh buat, aku harus mencarinya sendiri.

Tiba-tiba...

“Phi! Sini, Phi!”

Aku tidak menyadari bahwa Luna sudah tidak


ada di sampingku sedari tadi dan pergi ke rak buku seri
S. Ia menemukan surat yang kedua dari Ayah di dalam
buku setebal 256 halaman berjudul Filsafat Islam.

“Lu ngapain dah sampe iseng banget nemuin ini?”

“Gue keingetan Pak Ardee ngomongin tentang


buku ini pas lu enggak masuk.” Luna tidak lagi
merespon, dan perlahan aku buka surat kedua yang
Ayah tinggalkan untukku.

Halo, Nak. Ini surat ke-2 yang kamu temukan dari ayah.
Di surat kali ini, ayah hanya ingin bertanya padamu
‘Apakah kamu akan memaafkan orang yang mengakui
kesalahannya? Jika ya/tidak, mengapa?’. Jawab
pertanyaan ini dengan bijak.

“Bokap lu filosofis sekali ya,” ejek Luna. “Yakin


nih gue dulu pasti beliau cumlaude pas wisuda.”

Ingin rasanya tertawa karena hal seperti ini dicap


Luna sebagai filosofis. Ini sama sekali tidak filosofis, ini
hanya pemahaman pribadi akan kehidupan. Damara,

56
Erika Fridadixa

saya tahu kalau anda masih hidup. Di mana anda


berada? Jangan sembunyi lagi.

“Phi?”

“Iya? Kenapa?”

“Buat ngejawab teka-teki ini, lu kayaknya butuh


bantuan.”

“Buat apa?” tanyaku. “Gue bahkan enggak mau


jawab teka-teki ini. Berapa banyak surat yang ayah gue
kirim, tapi enggak ada satu pun yang gue minat.”

Jikalau benar Ayah masih hidup dan


meninggalkanku hanya berdua dengan Bunda cuma
karena ada wanita selain Bunda, aku tidak dendam. Aku
bahkan tidak ingin menghiraukannya. Tindakan tersebut
didasarkan oleh cinta. Seperti yang Hada katakan, “Cinta
membuat orang menjadi bodoh dan nekat untuk
melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan orang
yang mereka cintai.”

“By the way,” ucapku membuyarkan semua


kecanggungan yang terjadi. “Hada bilang sama gue kalau
tindakan lu rada bodoh, Lun. Sebenarnya dia risih kalau
lu terus seek his attention by buying him all those stuffs.”

Luna terdiam dan terlihat memikirkan kata-


kataku. Aku tidak bermaksud membuatnya tersinggung,

57
PHILOSOPHIA

tapi tolonglah, untuk satu kehidupan yang singkat ini,


jangan terlalu mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak
mau bersamamu. Jangan terlalu menaruh harapan pada
manusia karena mereka tidak bisa menjanjikanmu
apapun kecuali ketidakpastian. Kamu punya banyak
waktu untuk mencintai dirimu sendiri.

Luna–tanpa sepatah kata apapun–langsung pergi


keluar dari kamarku. Aku tidak ingin memikirkannya
terlebih dahulu. Sekarang yang paling penting adalah
menemukan surat kedua dari Ayah. Luna besok pagi
juga akan baik lagi. Percayalah.

58
Erika Fridadixa

VI

PUKUL delapan pagi, Pak Ardee belum datang juga.


Padahal semalam beliau menitip pesan ke Zuhair kalau
kelas Filsafat Seni akan dimulai tepat waktu, dan para
mahasiswa diharap sudah ada di kelas empat puluh
menit sebelum dimulai. Hmm, mungkin karena sedang
hujan deras jadi menyebabkan semua orang malas.

Selain Pak Ardee, aku juga tidak melihat Luna.


Kemana perginya dia? Apa jangan-jangan Luna tidak
mood masuk kelas karena perkataanku semalam? Huft.
Tiada maksud menusuk hatinya, namun jadikan kata-
kataku untuk bahan introspeksi diri saja. What belongs
to you, it shall come to you.

“Duh!” pucuk dicinta, ulam tiba. Pak Ardee


datang dengan kondisi basah kuyup dan membawa

59
PHILOSOPHIA

seorang anak kecil. “Maaf ya. Ini anak saya mau ikut.
Jadinya lama. By the way, Jojo, halo dulu dong sama
kakak-kakak.”

Anak kecil yang dibawa Pak Ardee ialah anaknya


yang sering aku lihat dari Instagram. Usia anaknya kira-
kira empat tahun dan memang mirip sekali dengan Pak
Ardee.

Jojo tidak mengucap ‘halo’ kepada kami yang hari


ini hanya berjumlah tiga puluh dua orang, melainkan
bersembunyi dibalik ayahnya.

“Aduh, maaf ya,” ucap Pak Ardee. “Dia emang


pemalu.”

Like Father, Like Son.

“Gedenya ganteng kayaknya nih anaknya,” bisik


Sonya, salah satu teman satu program studiku yang
dikenal ‘agresif’ ketika mendekati lelaki dan hari ini
kebetulan duduk di sampingku. “Bapaknya aja cakep
banget. Wow, Mr. Dee, be my Daddy, please?”

“Udah weh,” ejek Mahdi yang ternyata juga


mendengar bisikan itu. “Bacot banget. Nanti bapaknya
blushing. Males gue lihatnya.”

Kata-kata Sonya seakan bersarang di pikiranku.


Sepanjang kuliah, aku tidak bisa fokus dengan bahan
ajar yang ditampilkan Pak Ardee melalui slide-slide

60
Erika Fridadixa

Powerpoint. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dan


pikiranku terhadap Pak Ardee.

Tiga SKS sudah terlewati, pukul 10:50 kami keluar dari


kelas Filsafat Seni. Aku tidak beranjak dari kursiku,
sementara yang lain sudah keluar. Pak Ardee masih
membereskan mejanya yang berantakan karena ulah
Jojo yang senang menggambar dan menghamburkan
kertas.

“Philo?” beliau menyadari keberadaanku. “Bilang


Luna ya. Dia udah tiga kali absen. Sekali lagi absen,
udah gak bisa ikut UAS.”

“Iya, Pak.”

Luna hari ini tidak masuk lagi di kelas Filsafat


Seni. Ia bahkan tidak membalas pesanku semalam
setelah ia pulang tanpa sepatah kata dari rumahku. Saat
aku mengatakan sesuatu tentang Hada, Luna memang
terfokus pada ponselnya, dan mungkin saja Luna tidak
memperhatikanku sama sekali. Aku tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi dan membuatnya tergesa-gesa pulang
malam itu.

Pak Ardee dan Jojo pun keluar dari ruang kelas.


Kini hanya ada aku dan semua kekhawatiranku tentang
Luna.

“Phi,” kejut Mahdi. “Lu kenapa?”

61
PHILOSOPHIA

Lazuardi Mahdi Haaryis, akrab disapa Mahdi.


Merupakan teman satu SMPkuyang kini menjadi
temanku lagi di perkuliahan. Dikenal banyak orang
sebagai si pembuat ulah, mulai dari tidak
mengumpulkan tugas hingga pernah beradu mulut
dengan Pak Raynold karena masalah sikapnya. Mahdi
memang dikenal sebagai orang yang tidak bisa
mengontrol bicaranya, dan ia tidak terlalu peduli dengan
perbedaan usia lawan bicaranya.

Mahdi sendiri memiliki seorang kakak lelaki yang


juga berkuliah di program studi yang sama dengan kami.
Kakaknya bernama Faisal Hasbi Haaryis atau ‘Bung Fais’
dari angkatan 2015. Bung Fais sebelas dua belas dengan
Mahdi, tetapi Bung Fais merupakan penggambaran lebih
parah daripada adiknya sendiri. Bayangkan saja, satu
program studi membencinya, dan hanya satu orang saja
yang berani berteman dengannya, yakni Mas Evan.

“Enggak kok, Di,” jawabku. “Lu enggak kelas?”

“Kelas apaan? Jadwal gue kan sama kayak lu hari


ini. Phi, gue pusing banget. Udah jenuh banget gue
kuliah.”

“Makan yuk, Di,” ajakku. Aku tidak biasanya


melihat Mahdi semurung ini. Biasanya ia yang paling
antusias dan cerewet sekali. “Gue bayarin.”

“Gaya banget lu sekarang,” ejeknya. “Duit dari


mana, Phi?”

62
Erika Fridadixa

“Nabung.”

“Oh, yaudah.”

Mahdi kemudian berjalan meninggalkanku ke


arah pintu kelas dan membukakan pintu tersebut
untukku. “Silahkan, Ndoro Putri.” Iya, ia mengejekku.
Selalu seperti itu sejak kami berdua masih mahasiswa
baru.

Sesampainya di kantin, Mahdi hanya memesan mie


rebus rasa soto dengan telur setengah matang. Ia
berdalih tidak ingin menyusahkanku. Sifatnya memang
tengil, namun kadang ia bisa juga concern terhadap
orang lain, terutama Sonya yang aku yakini merupakan
perempuan yang sedang ia suka.

“Mau ngomong apa, Di?”

Mahdi belum menjawab pertanyaan tersebut


karena masih sibuk mengunyah mie dan putih telur.
Sebenarnya agak jijik ketika melihatnya makan karena
terlihat sekali Mahdi sangat rakus dan mengecap
makanannya.

“Titik jenuh dari hidup adalah ketika lu lihat


orang yang biasanya bawel, jenaka, tiba-tiba jadi orang
paling diem yang bikin lu bertanya-tanya.” Mahdi hanya
berkata seperti itu sembari menuangkan saus sambal ke

63
PHILOSOPHIA

mangkuk mienya. Aku tidak mengerti kata-kata tersebut


dan tidak biasanya ia berbicara seperti itu.

“Gimana maksudnya?”

“Jadi gini, Phi,” ucap pemuda yang selalu


memakai topi kupluk berwarna biru ini yang kemudian
terjeda karena ia meminum es tehnya yang sudah
mencair. “Abang gue, si Fais terancam enggak bisa lulus,
terus ini gue juga diancem sama Pak Raynold enggak
bakal lulus Teori Keadilan.”

Mahdi memang pernah berkata padaku kalau ia


tidak terlalu menyukai cara mengajar Pak Raynold yang
mengharuskan kami semua membaca satu buku dalam
sehari semalam dan mengadakan pop quiz berdasarkan
buku yang dibaca. Mahdi juga bukan tipe orang yang
senang menghabiskan waktunya membaca buku,
melainkan ada hal lain yang membuatnya istimewa di
program studi, yakni ia pintar sekali dalam berdebat.
Dalam diamnya terkadang, ia mendengarkan, namun
tidak pernah membuat catatan.

“Terus? Cerita aja sampe tuntas.”

“Ya, itu doang,” Mahdi menghela napasnya. “Gue


enggak mau ngulang lagi. Logika 1 sama 2 ngulang,
ketemu Raynold. Masa kalau Teori Keadilan ngulang,
ketemu Raynold lagi? Kayak kesannya gue ‘anak
kesayangan’nya Raynold aja. Capek banget punya dosen

64
Erika Fridadixa

demanding mulu, sementara dia asyik banget kayak


model. Setiap hari kerjanya cuma instastory pamer abs.”

“HUSSSHHH!!!”

“Kenyataan, Phi,” kesal Mahdi. “Kenyataan.”

Cukup kesal ya ternyata ketika berhadapan


dengan Mahdi yang brutally honest ini. Menurutku tidak
salah ketika berbicara jujur, namun tahu tempat juga.
Aku tahu kalau Pak Raynold memang seperti yang
dikatakan Mahdi, namun berkata keras-keras tentang
seseorang, terutama apabila itu tentang aibnya, di
tempat umum itu sangat tidak sopan.

Ponsel Mahdi berdering, aku tidak tahu siapa


yang meneleponnya karena ia sering sekali menamai
kontak seseorang dengan nama yang aneh-aneh.

“Awak di mano, Di?” terdengar jelas suara Hada


dari ponsel Mahdi. Mahdi–entah mengapa–selalu
mengatur volume ponselnya dalam keadaan full ketika
menelepon.

“Di kantin, Boss,” jawab Mahdi. “Kenapa nih? Kok


panik?”

“Itu... Hmm... Idak tahu ini aku coba ketuk pintu


biliknyo Azwar, idak ado jawaban.”

“Tidur kali?”

“Tadi dio bilang ke aku kalau ado kelas jam tigo.”

65
PHILOSOPHIA

“Ini jam?”

“Tigo,” jawab Hada. “Awak nak ke sini? Tolong,


Di. Tolong.”

Mahdi tidak menjawab apapun dan segera saja


meninggalkanku tanpa pamit. “Di, mau ke mana?!”

“Urgent, Phi,” teriak Mahdi. “Nanti gue kasih tahu


kabarnya.”

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di


asrama tempat Azwar dan Hada tinggal. Akhir-akhir ini
juga Azwar sangat aneh karena ia terus menerus
mengupload foto-foto berbau bunuh diri di Instagram.
Hmm...

Beberapa saat setelah aku membayar semua makanan


yang aku dan Mahdi pesan dan baru beberapa langkah
aku meninggalkan kantin, tiba-tiba Mahdi mengirim
sebuah foto ke WhatsAppku.

Foto itu tidak otomatis terunduh ke galeriku,


namun dapat terlihat secara sama-samar bahwa itu
secarik kertas dan ada sedikit noda berwarna merah.
Ketika akhirnya terunduh, betapa terkejutnya aku
mengetahui bahwa foto tersebut merupakan sebuah
surat yang sudah berlumuran darah. Entah apa maksud
Mahdi mengirim foto ini, apakah ia yang membunuh

66
Erika Fridadixa

dirinya sendiri atau mungkin? Ah, tidak. Tidak mungkin


juga kalau itu Azwar.

Kubaca dengan seksama surat yang berbunyi


mengerikan itu. Benar, itu tulisan Azwar. Kurang lebih di
bagian terakhir surat itu ada kata-kata favorit Azwar,
yakni “Sebenarnya segala sesuatu itu ada positifnya, tapi
kadang manusia melihatnya dari negatifnya dulu.”

Azwar adalah korban daripada ketidaksadaran


kita tentang kondisi mental seseorang yang ada di dekat
kita. Azwar sendiri tidak terlalu terbuka dengan kita
semua, namun itu bukanlah alasan untuk tidak
menanyakan apakah ia baik-baik saja atau tidak.
Ketidaktahuan–atau mungkin bisa aku katakan sebagai
ketidakpedulian–kita menyebabkan ia membunuh
dirinya sendiri sangking depresinya.

Aku tahu sebagian dari teman-teman di program


studi terkadang melihat sinis dirinya yang selalu terlihat
sedih dan tidak ada energi itu. Kini siapa yang harus
disalahkan? Nasi sudah menjadi bubur, terlambat
semuanya. There is no way to save Azwar.

Pikiranku sedikit terguncang setelah membaca


surat tersebut. Aku berusaha menenangkan diriku,
namun ponselku tiada hentinya bergetar. Banyaknya
pesan masuk di grup program studi membuatku makin
tidak bisa berkonsentrasi. Aku hanya seorang diri di

67
PHILOSOPHIA

lobby Gedung I, hanya duduk di depan tangga


auditorium dan menatap kosong langit-langit gedung.

Astaghfirullah.

Kuberanikan diri untuk mengecek ponselku dan


kebetulan sekali Mahdi meneleponku.

Phi, buru ke sini.

Gue lemes, Di.

Bentar.

Mahdi kemudian menutup pembicaraan kami dan


entah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Aku hanya
bisa terduduk lemas. Menelepon Luna juga percuma,
tidak akan diangkat.

“Phi?” seseorang mengulurkan tangannya


kepadaku. Suaranya tidak asing–itu Avi. “Gue tahu apa
yang terjadi kok. Turut berduka ya.”

“Iya,” lirihku. “Makasih.”

“Mahdi tadi nelepon gue,” ucapnya. “Dia nyuruh


gue jemput lu.”

“Gue enggak mau,” kataku. “Permisi.”

Kutinggalkan Avi seorang diri di depan lobby


Gedung I tanpa sepatah kata lagi. Aku tidak tahu akan
pergi kemana, pikiranku kalut. Aku tidak bisa berpikir
jernih, terlalu sedih untuk memakai logika untuk saat

68
Erika Fridadixa

ini. Ponsel bergetar kembali, dan dugaanku benar bahwa


itu Mahdi lagi yang menelepon.

Phi, lu ke mana sih?

Gue enggak kuat, Di.

Tadi gue nyuruh Avi jemput lu, tapi lu enggak mau.

Gue enggak sanggup.

Sis, Azwar is dead. We shouldn’t mourn.

How dare you!

Kalau sedih mulu, yang meninggal mana bisa tenang!

Udah ah!

UDAH, SINI! GUE ENGGAK MAU TAHU!

Mahdi menutup kembali perbincangan kami, dan


aku tidak menyadari bahwa Avi sedari tadi mengikutiku.
Ia berdiri di belakangku tanpa membuat suara sama
sekali.

“Ayo?” ajaknya. “Phi, gue paham. Tapi ya maksud


Mahdi baik banget kok. Mahdi tuh pengen lu lihat Azwar
buat terakhir kalinya. Jenazahnya Azwar udah dilariin ke
rumah sakit kok sama mereka berdua tuh, Hada sama
Mahdi.”

Azwar memang pernah menjadi teman karibku


ketika aku, Luna, Mahdi, dan dirinya sama-sama
mengulang mata kuliah Logika 1 dan 2. Azwar lumayan
pintar dalam Filsafat Sastra, dan ia kala itu menjadi

69
PHILOSOPHIA

asisten Pak Dharma ketika Pak Dharma berhalangan


untuk hadir. Kematiannya–setidaknya–membuat kami
semua di program studi sadar akan sesuatu, yakni if
they refuse to tell you first, then reach them out and ask
them what’s wrong. It’s okay to be not okay sometimes.
We are humans, we aren’t that strong to hold on these
burdens alone.

Sesampainya di rumah sakit, aku memberanikan diriku


untuk melihat jenazah temanku untuk terakhir kalinya.
Tangannya banyak bekas sayat, dan aku sangat yakin
kalau ia meninggal dalam keadaan kehabisan darah.
Akan tetapi, ia terlihat seperti orang yang tertidur, bukan
meninggal.

Maafin kita, War. Maafin kalau kita enggak


nyadar akan kondisi lu yang tertekan.

“Da, udah lu telepon orang tuanya?” tanya Mahdi.

“Idak iso dihubungi,” jawab Hada. “Nanti aku


coba lagi yo.”

“Yaudah.”

Aku tahu dari nada bicaranya Hada tadi


berbohong. Hada mungkin hanya tidak ingin orang tua
Azwar di kampung menjadi sedih, namun kebenaran
tentang kematian Azwar tidak bisa ditutupi selamanya.
Entahlah kapan Hada akan memberitahu orang tua
Azwar tentang kematiannya, aku cuma berharap
secepatnya.

70
Erika Fridadixa

VII

KELAS diakhiri lebih awal oleh Pak Raynold yang sedang


tidak enak badan. Hal ini bagus daripada Pak Raynold
pingsan di kelas dan sakitnya tambah parah. Beberapa
orang sudah keluar kelas, dan hanya beberapa yang
masih tinggal di dalam kelas, termasuk aku.

Ngomong-ngomong, para dosen melarang keras


kami semua untuk membahas kematian Azwar. Bagi
mereka, yang berlalu biarlah berlalu. Sebenarnya mereka
juga cukup terpukul, tetapi tidak ada yang bisa

71
PHILOSOPHIA

dilakukan untuk mengembalikan Azwar ke dunia ini.


Kami semua hanya diminta berdoa dan jangan
membiarkan kejadian yang sama terjadi kembali pada
mahasiswa yang lain.

“Phi?” Sapa seseorang. Suaranya tidak asing.


Luna. “Philosophia.”

“You know I don’t really like the Sophia part,


right?”

Luna–yang selama satu minggu menghilang tiada


kabar–tiba-tiba memelukku dan menangis. “Maafin gue,
Phi.”

“Udah ah,” kataku. “Malu ah. Udah gede. Gak


boleh cengeng.”

“Lu maafin gue kan, Phi?”

“Lu salah apa emangnya?” aku berusaha untuk


mengalihkan pikiran Luna terhadap apa yang telah
terjadi kepada kami berdua. “Enggak ada salah kok.
Udah ah. Gak usah diinget.”

Luna kemudian mengusap kedua matanya. “Phi,


seriusan gue.”

“Berdamailah dengan masa lalumu,” ucapku.


“Maafkan orang yang sudah menyakitimu, dan berikan
mereka kesempatan kedua untuk mengubah semuanya.

72
Erika Fridadixa

Everyone deserves a second chance. Gue udah maafin elu


kok. Udah, enggak perlu dibahas.”

Luna kemudian tersenyum dan merogoh isi


tasnya. Ia mengeluarkan beberapa batang cokelat dari
Jepang dan memberikannya padaku. Aku tidak tahu
bahwa ia akan ingat tentang aku yang sangat penasaran
dengan bar cokelat rasa Sakura. “Ngomong-ngomong,
Phi. Selama seminggu gue pergi, ada kejadian aneh lagi
enggak? Gue janji sama lu kali ini enggak bakal nyuruh-
nyuruh lu ngasih barang ke Hada. Gue bakal ngasih
sendiri.”

“Enggak ada kok,” ucapku. “By the way, emang


lu kemana selama menghilang?”

Wajah Luna yang tadi sangat sumringah seketika


menjadi murung dan sulit untuk bicara. Ia hanya
menarik napas dengan berat dan, “Ayah gue meninggal,
Phi. Gue sama Mama terpaksa ke Jepang. Waktu Kak
Akira datang ke sini sama keluarganya, itu dia niatnya
mau jemput gue sama Mama. Gue kira datang ke sini
buat liburan.”

Sahabatku kini merasakan apa yang aku


rasakan. Berat memang rasanya ketika kita kehilangan
orang yang amat kita cintai, namun kembali lagi ke
konsep awal penciptaan, yakni “Apa yang diciptakan
olehNya, suatu saat pasti akan kembali kepadaNya”.

73
PHILOSOPHIA

Merasa sedih itu sangat manusiawi, namun jangan


terus-menerus. Jangan pernah menyalahkan apa yang
telah ditetapkan oleh Tuhan. Kematian itu pasti, jangan
takut akan kedatangannya.

“My deep condolence. So sorry for you,” ucapku.


“Ayah lu udah bahagia di alam sana.”

“Iya, Phi.”

“Phi,” Mahdi tiba-tiba datang kembali dan


membawa banyak sekali kertas dalam genggamannya.
“Dari ‘Bapak Ganteng’ nih.”

“Siapa? Pak Dharma?”

“Yeuh, apaan sih,” Mahdi terlihat kesal dengan


perkataanku. “Pak Dharma gantengnya di sebelah
mananya sih? Ini dari Pak Ardee.”

“Emangnya kertas apaan dah?” tanyaku


penasaran.

“Ngisi form, buat semester depan bimbingan,”


jawab Mahdi. “Biasa sih, tentang ekspektasi sama realita
kita semester ini. Semua anak bimbingannya Pak Ardee
besok disuruh ke ruangannya sama bawa kertas ini.
Malem ini isi, besok bawa.”

“Oke,” ucapku. “Thanks, Di.”

74
Erika Fridadixa

“Yoi, sama-sama. By the way, Lun, lu dipanggil


sama Pak Dharma tuh. Disuruh ke ruangannya Pak
Nabil. Eh, gue duluan ya. Abang gue nungguin di bawah,
minta temenin ngerjain skripsi.”

Mahdi kemudian pergi dari hadapan kami,


namun kata-kata yang keluar dari mulutnya barusan
membuat pikiranku bertambah. Apa yang menyebabkan
Pak Dharma memanggil Luna? Apakah karena masalah
absen? Hmm...

Dua jam berlalu, Luna keluar dari ruangan Pak Nabil


dengan wajah sembab. Kedua matanya merah dan
bengkak. Masih terdengar jelas olehku suara
sesenggukan dari setiap tarikan napasnya. Tanpa basa-
basi, aku memeluk sahabatku itu ketika ia masih
berusaha menutupi wajahnya dengan rambut hitamnya
yang panjang.

“Udah ah,” tidak banyak yang bisa aku lakukan,


melainkan hanya mengelus punggungnya. Jujur, aku
takut salah bicara. “Cerita ayo, Lun. Biar lega.”

“Gue enggak salah, Phi,” tangisnya makin


kencang dan jujur sebenarnya aku tidak tahu apa yang
dilakukan Pak Nabil di ruangannya terhadap Luna. “Lu

75
PHILOSOPHIA

tahu sendiri kan gue kalau ngomong kayak enggak


disaring.”

“Ada apa sih sebenarnya? Masalah absen?”

“Enggak, Phi. Enggak bisa berhenti nangis gue.


Sakit hati gue, sakiiiittt.”

Baru saja aku ingin mengeluarkan sepatah kata


dari mulut, tiba-tiba kami berdua dikejutkan oleh Pak
Dharma dan Pak Raynold yang keluar dari ruangan Pak
Nabil.

“Udah, enggak usah nangislah,” ucap Pak


Raynold dari balik maskernya. Ya, aku tidak
menyalahkan Luna sih. Waktu itu Luna pernah berkata
padaku kalau Pak Raynold menawan, namun sedikit
creepy. Visualnya mengingatkanku pada salah satu aktor
serial Riverdale, Charles Melton, namun lebih berisi.
“Phi, Luna, udah. Enggak usah dipikirin. Mending
pulang aja, sudah sore.”

Aku tidak menyangka bahwa dosen yang selalu


memakai pakaian serba hitam ini bisa jadi orang yang
lembut sekali. Namun, entah mengapa ia masih saja
meninggalkan kesan creepy bagiku.

“Wis, wis. Wis sore. Ini gedung bentar lagi mau


tutup,” Pak Dharma mengingatkan kami dengan nada

76
Erika Fridadixa

bicaranya yang medhok dengan aksen Jawa. “Ndak usah


nangis eh, Luna.”

Luna kemudian berhenti menangis dan


mengusap air matanya. “Permisi, Pak.” Ia masih saja
berbicara dengan sesenggukan. Apa yang telah
dilakukan para dosen di ruangan Pak Nabil kepadanya?
Apakah sahabatku ini dihakimi habis-habisan? Hmm...

Kuantarkan Luna keluar dari Gedung G dan


kududukkan ia di taman instalasi seni dekat gedung
tersebut. “Lu diapain, Lun? Kok masih aja lu nangis?”

“G-gue e-enggak s-salah k-k-kok, Phi,” ucap Luna


terbata-bata sambil mengelap air matanya. “Pak Raynold
e-enggak m-marah. E-enggak a-ada yang m-marahin gue
t-tadi di r-ruangan P-Pak Nabil, t-tapi... Phi....”

“Iya,” volume suaraku tiba-tiba naik. “Iya,


kenapa? Cerita!”

“B-biru ngerekam p-percakapan k-kita tentang,


yang ka-kata gue ngomong s-sama lu t-tentang Pak R-
Raynold y-yang s-seksi.”

“Lun,” ucapku. “Don’t give a damn, okay? Who is


he anyway? Kuliah ya kuliah aja udah ya. Biru siapa sih
emangnya? Enggak usah peduliin, toh Pak Raynoldnya
sendiri okay aja tuh. Inget kasusnya Mahdi enggak
semester tiga kemarin?” ya, Mahdi pernah memiliki

77
PHILOSOPHIA

kasus yang lebih parah dari ini. Aku tidak ingin


membicarakannya.

“I-iya, Phi,” ucap Luna yang kemudian


memelukku erat seperti di akhir kelas tadi. “Phi,
makasih ya selama ini selalu ada buat gue.”

“Lu yang selalu ada buat gue kok.”

“LUNA ONEE-SAN!” panggil seorang lelaki dari


balik instalasi seni. Aku tidak terlalu melihat jelas wujud
lelaki tersebut karena hari semakin sore dan rabun
senjaku tidak bisa diajak kompromi. Pria itu mendekat
dan segera memeluk Luna.

“Ferisu,” lirih Luna. Dari caranya menyebutkan


nama, aku tebak pria ini Felix. Namun, ada hubungan
apa ia dengan Luna? Hmm. “Shinpaishinaide, Ferisu.
Daijōbudesu.”

“Enggak, ini mana ‘OK’nya sih. Lu diapain sih


tadi? Tadi ada yang cerita ke gue kalau lu diapa-apain?”

“Siapa? Albiruni Waylon?” celetukku. “Ck...


Males.”

“Eh, Phi?” jujur, aku tidak mengenalnya begitu


dekat, namun ia seperti sudah dekat sekali denganku
ketika memanggilku ‘Phi’. “Makasih ya udah nemenin
Luna.”

78
Erika Fridadixa

“Lun, dia siapa?” aku tidak berbasa-basi lagi. Aku


bingung sebenarnya Luna ini menyukai Hada atau Felix.

“Felix ini sepupu gue. Ibunya itu adiknya ayah


gue.” Oh pantas saja aku dapat melihat kemiripannya
dari bentuk wajah mereka berdua. “Lu dari mana,
Ferisu? Kok belum pulang?”

“Jadi asdos,” jawab Felix sembari merapikan


rambutnya yang dicat cokelat itu. “Soalnya hari ini Sir
Affan enggak bisa datang, dan gue yang gantiin.”

Ya, terlihat jelas dari tampangnya itu Felix


merupakan mahasiswa cerdas. Aku tidak tahu kalau ia
merupakan asisten Pak Affan, dosen Sastra Inggris yang
juga mengajar Korespondensi Bisnis, kelas eksternal
Sastra Inggris yang pernah aku ambil semester empat
lalu.

“Lu ngampu apa deh tadi?” tanya Luna.

“Oh,” ucap Felix. “Metode Penelitian buat anak-


anak semester tiga. Sebenarnya gue enggak mau, tapi ya
bayarannya gede sih. Lumayan.”

“Yaudahlah,” ucapku, menyela percakapan


mereka. Aku tahu ini tidak sopan. “Udah sore nih.
Pulang yuk sebelum kita diusir satpam.”

79
PHILOSOPHIA

“Ya siapa yang mau nginep sih, Phi?” goda Luna.


“Nanti gue ke rumah lu ya, Phi.”

“Lu kan sudah janji mau ke rumah gue, Onee-


san.” Syukurlah Felix mengingatkannya. Aku sedang
tidak selera untuk menerima tamu.

“Yaudah iya,” kesal Luna. “Padahal gue mau


ngerjain tugas bareng sama Philo.”

“Hahaha, don’t you dare to say she has more than


one thousand books.”

“In fact, she actually has it,” jawab Luna.


“Makanya gue demennya nugas di rumah Philo.”

“Udahlah,” aku tidak tahu harus berkata apa.


Perutku mulai perih dan tubuhku mulai lelah. “Gue
duluan ya. Ngejar kereta nih.”

“Iya, hati-hati, Phi!” Luna dan Felix melambaikan


tangannya kepadaku dan entah ke mana mereka pergi
setelah itu.

Hari semakin sore, dan aku tidak bisa berlama-


lama di kampus karena kereta ke arah rumahku akan
ada lagi pukul tujuh malam. Aku tidak bisa menunggu
selama itu. Aku terpaksa harus berjalan kaki ke stasiun
demi mengejar kereta pukul lima sore yang sepuluh
menit lagi akan datang karena bus kampus sedang

80
Erika Fridadixa

beristirahat dan akan berangkat lagi setelah selesai


Maghrib.

Tiba-tiba...

Yap, aku hampir tertabrak oleh sebuah sepeda


motor besar. Kuperhatikan motor itu keluaran Honda
dan mirip sekali dengan motor Mahdi yang rusak karena
kecelakaan saat ia touring ke Bali pada liburan semester
lalu. “Lu punya mata enggak sih?!”

“Punya kok,” ucap si pengemudi seraya membuka


helm full facenya. Ia ternyata adalah Avi. “Kaget?”

“Enggak,” jujur, iya, gue kaget. “Biasa aja.”

“Ngaku aja udah,” ia menggodaku. “Mau ke


mana?”

“Pulang, ngejar kereta,” jawabku ketus, entah


mengapa ada sesuatu yang menahan diriku untuk
bersikap ramah kepadanya. “Maaf nih buru-buru.”

Baru saja aku ingin menyebrang, Avi dengan


secepat kilat turun dari motornya dan memasang
standarnya hanya untuk mengejarku. “Ikut sama gue.
Gue anterin pulang.”

Cengkramannya begitu kuat, dan aku tidak tahu


akan dibawa ke mana. Apakah benar ia mengantarku

81
PHILOSOPHIA

pulang atau tidak sama sekali? Ya Tuhan, aku punya


banyak tugas yang harus dikumpulkan esok hari.

Aku tidak banyak bicara selama berada di motor. Aku


takut akan mengganggu konsentrasinya mengendarai
motor sebesar ini, akan tetapi, ia bodoh. Mengapa? Ia
sama sekali tidak memberiku helm. Iya, aku tahu ia ini
bukan tukang ojek, namun apa salahnya punya helm
cadangan di dalam box motornya itu? Huft.

Avi tiba-tiba menghentikan motornya di depan


sebuah restoran yang dari namanya terlihat jelas
menyediakan masakan Jepang. “Turun duluan, Philo.”

“Ini bukan rumah gue,” kataku. “Tadi katanya


mau nganterin gue ke rumah?”

“Iya,” jawabnya singkat. “Nanti abis ini. Lu belum


makan kan? Lu abis nemenin temen lu yang orang
Jepang itu dari kantor kaprodi lu?”

Astaga, orang ini bahkan lebih seram daripada


Biru. “Stalker!”

“Ain’t a stalker, Sis,” godanya. “Just a boy who


happens to share the same f–”

“–fate?”

82
Erika Fridadixa

“Yeah, fate.”

“What kind of fate?”

“Dunno. Guess it.” Ia kemudian meninggalkanku


masuk ke dalam restoran itu. Langkahnya terhenti
ketika ia menyadari bahwa aku masih berdiri di samping
motornya. “Lu mau jadi tukang parkir apa gimana?
Masuk!”

Tidak, ia tidak membentak, hanya suaranya


terdengar lebih keras daripada biasanya. Daripada
membuat masalah, aku segera mengikuti saja
permintaannya.

Avi memesan banyak sekali makanan, mulai dari ramen,


sushi, hingga okonomiyaki. Aku tidak tahu apakah aku
mampu menghabiskan semua ini, atau mungkin porsi
makan Avi saja yang besar, maka dari itu ia memesan
sebanyak ini seperti orang yang tidak makan selama tiga
bulan.

“Makan,” ucap Avi sambil mengunyah


okonomiyaki yang dipotong terlalu besar olehnya. “Nanti
sakit.”

“Sorry,” lidahku kelu, suasanya juga sangat


canggung. Aku tidak biasa makan berdua dengan lelaki

83
PHILOSOPHIA

sebayaku. “Gue enggak pernah makan semua ini


sebelumnya. Emang enak apa?”

Dia hanya tertawa kecil, namun itu tidak


menghinaku sama sekali. Jujur, aku sangat malas ketika
mengeluarkan uang sampai ratusan ribu hanya untuk
makanan. Aku lebih suka membeli nasi bungkus atau
ayam geprek yang harganya masih nyaman sekali di
kantong. “Cobain aja. Enggak bakal rugi. Enak kok.”

“Lu ngekos kan?”

“Iya,” matanya membelalak. aku tahu pertanyaan


itu tidak sopan sekali, hanya saja aku tidak enak jika ia
harus membayar semua ini, sementara untuk makan
saja susah karena harus dibagi dengan biaya kost.
“Santai. UKT gue cuma seratus ribu.”

“SERIUSAN?!”

“Bapak gue enggak kerja, Phi,” ia kembali


mengunyah okonomiyakinya. “Enggak punya
penghasilan. Gue dibayarin sama om gue, tapi ya gue
juga kerja kok. Kan di kampus kita bisa tuh milih dari
range nol sampai dua belas juta, ya gue pilih nol lah. Eh,
taunya dapetnya yang UKT seratus ribu. Om gue sendiri
masih nyusun skripsi, dia kuliah di Solo, ngambil Teknik
Sipil.”

84
Erika Fridadixa

“Lah, terus uangnya dia dari mana kalau masih


kuliah?”

“Part-time,” jawab Avi santai. “Jadi barista dia tiap


hari Senin sama Selasa, setiap habis kuliah. Sabtu sama
Minggu jadi supir ojek online. Lumayan buat dia sama
gue.”

“Lu aslinya dari mana?”

“Gimana ya,” ia terlihat kesulitan menjawab


pertanyaanku kali ini. “Gue lahir di sini, tapi bapak gue
sama om gue aslinya orang Jogja.”

“Ibu lu?” tanyaku sambil memberanikan diri


untuk menyicip sushi. “My apologize if it’s getting more
private.”

“No, it’s okay,” ia tersenyum kepadaku. “Ibu gue


orang Solo, dulu teman kuliahnya bapak gue. Rumit deh
ceritanya. Ibu gue kabur setelah melahirkan gue karena
enggak terbiasa sama kehidupan begitu. Akhirnya,
bapak gue terpaksa ngebesarin gue sendirian, plus om
gue cuma beda dua tahun umurnya dari gue karena om
gue ini lahir dari ibu yang berbeda tapi satu bapak
dengan bapak gue. Ibunya meninggal dan kakek gue
males ngurusinnya. Alhasil, bapak gue harus ngebesarin
dua orang. Kakek gue tanggung jawabnya cuma ngasih
uang doang ke bapak gue buat biaya kuliahnya, biaya

85
PHILOSOPHIA

gue, sama biaya om gue. Bapak gue ngebesarin kita


berdua sambil kuliah sama kerja part-time.
Alhamdulillah, lulus dari kuliah, langsung kerja sampai
tahun 2014 kemarin, menderita kelumpuhan, jadi
terpaksa berhenti.”

“Apakah lu memaafkan bapak lu ketika ibu lu


pergi entah ke mana? I mean... bapak lu enggak ngejegat
ibu lu untuk pergi.”

“Tentu,” jawabnya cepat. “Buat apa sih dendam


sama orang tua? Pun gue enggak bisa nyalahin ibu gue.
Beliau berhak pergi daripada enggak bahagia.”

“Lu tahu rupa dan nama ibu lu?”

“Orvienna Larasati,” lirihnya. “Cuma itu yang gue


tahu. Enggak ada foto, enggak ada kabar sama sekali.
Udah lupa kali kalau dia punya anak.”

“Lu ada niatan nyari?”

“Ada. Ada kok. I’m dying to know my mother.”

Me too. I’m dying to know my father. I know how it


feels like to have only one parent while seeing your friends
around you have a complete and seems-to-be-perfect
family. Not gonna lie, it’s stressful to live this life
sometimes. It’s full of mystery but kind of worth living for if
you curious about what shall happen next.

86
Erika Fridadixa

“Well,” Avi menyadarkanku dari lamunanku.


“Cepat habiskan. Udah jam tujuh malem, katanya lu
mau ngerjain tugas kan? Yaudah. Nanti gue anterin
pulang kok.”

Aku turuti saja permintaannya. Entah mengapa


aku merasa nyaman dengannya. Nyaman ini tidak dapat
kudeskripsikan sebagai perasaan cinta, namun aku
merasa seperti aku ini adalah keluarganya, bukan orang
lain. Seperti aku sudah mengenalnya seumur hidup,
namun nyatanya tidak.

Selesai makan, Avi membayar semua makanan yang


dipesannya. Total harganya lumayan membuatku kaget,
yakni seratus lima puluh ribu rupiah. Tetapi kalau
dipikir lagi, dengan porsi yang begitu banyak seperti itu
wajar saja lah.

Avi kemudian mengantarkanku pulang dengan


berbekal arahan dari Google Maps karena aku sendiri
tidak tahu cara mengarahkan jalan dengan benar ke
arah rumahku.

Tiga puluh menit di perjalanan tanpa


perbincangan di antara kami berdua telah
mengantarkanku ke rumah dengan selamat. Sebenarnya,
selama di motor itu, aku agak sedikit takut karena baru

87
PHILOSOPHIA

kali itu aku menaiki motor sebesar milik Avi. Biasanya


juga naik motor matic milik Mahdi atau Zuhair kalau
misalnya mereka mengajakku pulang bersama. Namun,
aku tidak ingin memberitahukannya kepada Avi, karena
aku takut menyinggung perasaannya.

“Dah,” Avi melepas helmnya dan merapikan


rambutnya di hadapanku. “Jangan tidur kemaleman, lu
bukan kelelawar.”

“Iy–”

“Loh? Phi? Kok baru pulang?” lagi-lagi Bunda


muncul secara tiba-tiba, seperti hantu saja. “Loh,
DAMARA?!”

“Eh, Phi, gue duluan ya. Pulang dulu, Tante.” Avi


dengan terburu-buru langsung kembali memakai
helmnya dan menancap gas, pergi dari rumahku. Aku
juga tidak mengerti mengapa Bunda tiba-tiba histeris
ketika melihat Avi serta meneriakkan nama Ayah.

“Bunda?”

“Eh? Aduh! Itu siapa sih?!”

“Tenang,” kataku sembari menghampiri Bunda


yang masih terlihat sangat shock. “Itu tadi temen Philo,
namanya Avi. Ayo kita masuk, Bun. Banyak nyamuk.
Enggak usah dipikirin dia ya.”

88
Erika Fridadixa

“I-iya.”

Aku tidak paham apa yang terjadi sebenarnya di


antara Bunda dan Ayah, namun aku yakin pasti itu
sesuatu yang buruk sampai Bunda terlihat sangat
histeris ketika melihat Avi yang ia yakini mirip sekali
dengan Ayah.

Ah, sudahlah.

VIII

PEKAN UAS tiba, sangat amat tidak terasa sekali


kedatangannya. Aku bahkan tidak tahu apa yang
kupelajari selama semester lima ini karena banyak sekali
drama dan konflik yang membuatku terkejut dan
terdistraksi dari wacana yang sudah kubuat sejak

89
PHILOSOPHIA

sebelum semester ini dibuat–become a study oriented


person.

Luna hari ini mengajakku belajar bersama karena


besok kami berdua akan menempuh UAS Filsafat Seni.
Iya, aku tahu kalau dosen pengampu Filsafat Seni
adalah Pak Ardee yang terkenal santai, namun aku
tekankan sekali lagi bahwa beliau sedikit pelit terhadap
nilai. Meskipun aku ketakutan karena Filsafat Seni sulit
bagiku, memang sudah sewajibnya sebagai seorang
mahasiswa kita harus banyak belajar dengan mengulang
materi yang sudah diberikan. Bukan hanya saat UTS
atau UAS saja, melainkan setiap selesai perkuliahan.
Lagi-lagi, semua itu–aku yakin–akan menjadi wacana
saja, hahaha.

“Jadi mau belajar di mana?” tanyaku.

“Fer... Maksud gue Felix udah nungguin gue di


kantin Pusat Studi Jerman,” jawab Luna tanpa
menatapku. Ia masih terpaku ke ponselnya untuk
membalas pesan Felix. “Kayaknya Felix juga mau belajar
sih di sana. Dia sama Gillian yang anaknya Pak Kris,
Phi.”

“Oh,” ucapku datar. “Yaudah. Ayok.”

“Lu enggak keberatan kan?”

“Tas gue ringan hari ini kok, Lun.”

90
Erika Fridadixa

“Ih, bukan,” kesal Luna. “Maksud gue lu enggak


kenapa kan kalau kita belajar bareng Ferisu sama Gill?”

Aku menghela napas. Sebenarnya tidak


keberatan sama sekali, namun Luna ini orangnya
khawatiran sekali. “Enggak, Lun. Enggak keberatan.
Chill.”

Luna tidak merespon, melainkan ia segera meraih


tanganku dan dengan semangatnya membawaku lari
keluar Gedung D.

Tiba-tiba...

BRAAAKKKK!!!

“Eh, gomen, gomen,” orang yang ditabrak Luna


kali ini untungnya bukan dosen, melainkan Hada. Alat
lukis yang ia bawa pun jatuh berserakan ke lantai.
Sebenarnya aku penasaran mengapa anak ini setiap hari
membawa peralatan lukis ke kampus? Hmm, entahlah.
Ingin rasanya bertanya tapi ada perasaan segan. “Aku
buru-buru, maaf yo. Awak nak ke mano, Lun?”

“Eh, ano, i-itu...” Luna terbata-bata


menjawabnya, namun ia seperti tidak berani menatap
Hada yang membereskan alat lukisnya sendiri. “Permisi
deh.”

91
PHILOSOPHIA

“Maaf ya, Da.” Teriakku seraya Luna menarikku


kembali dan meninggalkan Hada dengan tidak sopannya.
Mungkin Luna sudah tidak ingin berbicara kepada Hada
sejak dirinya tertolak.

Sesampainya di kantin Pusat Studi Jerman, Luna dan


aku segera menghampiri Felix dan Gill yang sedang asyik
membaca banyak sekali artikel.

“Ferisu, maaf ya lama,” sesal Luna sambil


menarik bangku di sebelah Felix. “Tadi ada aja
halangan.”

“Let me guess,” Felix menatap Luna dengan


curiga. “You meet that dude, right?”

“Siapa?” Gill menyela sembari menyeruput jus


tomatnya. Aku terpaksa duduk di samping Gill karena
aku kira Gill akan duduk di sebelah Felix tadinya.
Mengapa mereka selalu terlihat berdua? Apabila orang
tidak mengenal mereka dengan baik, mungkin akan
menyangka mereka kembar. “Siapa, Fel?”

92
Erika Fridadixa

“Sepupu gue suka sama itu si jangkung yang


sering bawa alat lukis,” ketus Felix. “Yang anak Sastra
Arab.”

“Oh, Al-Farabi?”

“Iya.”

“Ih, enggak,” Luna menyangkal. “Enggak ada apa-


apa. Cuma gue sama Philo tadi ke toilet dulu.”

“Bohong,” kesal Felix. “Tuh lengan baju lo tuh,


kenapa ada cat warna hijau toska? Gue enggak suka ya,
Lun.”

“Iya udah,” ucap Luna yang berusaha tenang,


meski aku tahu ia sudah emosi dan daritadi mengepal-
ngepal tinju tangan kirinya. “Iya. Kita niatnya di sini mau
belajar bareng, bukan berantem.”

“Duh gini ya,” Felix yang semakin kesal pun tidak


sengaja merobek artikel yang sedang ia baca itu. “Lun,
dengerin.”

“Sabar woy. Sabar,” Gill yang sudah tidak kuat


dengan perlakuan Felix ke Luna kemudian beranjak dari
kursinya dan menahan tubuh Felix. Luna hanya
menatap Felix tajam dan begitu pun sebaliknya. “Ini mau
belajar apa ribut sih? Gua pulang nih kalau kayak gini
caranya.”

93
PHILOSOPHIA

“BERISIIIKKK!!!”

Aku yang tidak terlalu fokus kepada pertengkaran


mereka lagi tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan seorang
perempuan dari arah meja yang di belakang kami.
Karena penasaran, aku memastikan dugaanku benar
dan ternyata teriakan tersebut adalah teriakan Puri,
salah satu anak Sastra Jepang yang sering sekali terlihat
bersama salah satu teman dekat Hada selain mendiang
Azwar, yaitu Ave.

“Pur, Puri dengerin gue dulu,” tahan Ave yang


terduduk di samping Puri yang hendak pergi. “Dengerin
dulu. Jangan emosi.”

Ya, aku tidak terlalu terkejut ketika ada Ave,


karena di mana Puri berada, pasti ada Ave. Seakan-akan
dunia hanya milik Puri dan Ave, dan yang lainnya hanya
menyewa saja dari mereka. Seingatku, Puri pernah
bercerita padaku kalau Ave adalah temannya dari
Sekolah Dasar sampai saat ini mereka berada di fakultas
yang sama. Entah mengapa, menurut Puri, Ave seakan-
akan mengikutinya kemana pun ia pergi.

“Udah lu pergi aja deh,” Puri yang dikuasai


amarahnya pun menampar Ave dengan keras. “Bosen
banget gue dikit-dikit harus gue terus yang nyisihin
waktu gue buat lu, tapi lu enggak pernah punya waktu

94
Erika Fridadixa

buat gue. Udah, mending kita temenan aja kayak dulu.


Enggak usah pacaran kayak gini.”

“Pur!”

“Berisik ah!” Puri dengan wajah masam


meninggalkan Ave sendirian. Makan siangnya juga sama
sekali belum ia makan. Ave hanya memandangi
makanan tersebut, kemudian terduduk lesu serta
menangis.

“Udah, biarin aja nangis dulu,” ucap Gill. “Nanti


kalau kita tenangin, kesannya kayak ikut campur. Toh,
kita enggak kenal sama dia kan?”

Aku tidak mengindahkan kata-kata tersebut


melainkan segera menghampiri Ave dan mengelus
lembut punggungnya. “Pur, gue tahu lu bakal balik, Pur.
Dengerin dulu penjelasan gue.”

“Gue bukan Puri,” ucapku lembut. “Sorry, tapi


gue enggak tega lihat lu nangis begini. Nama gue Philo.
Salam kenal.” Entah mengapa aku merasakan rasa
nyaman, seperti ketika aku berada di dekat Avi. Jika
diperhatikan baik-baik, sekilas Ave memiliki kemiripan
fisik dengan Avi, namun wajahnya oriental sekali
dibandingkan Avi yang cenderung seperti keturunan
Timur Tengah.

95
PHILOSOPHIA

“Eh,” Ave dengan segera menghapus air matanya.


Pipinya merona merah, pertanda ia malu sekali karena
salah mengira aku adalah Puri. “Maaf. Temennya
Azwar?”

“Iya.”

“Averous Delvin Fletcher.”

“Iya, udah tahu kok nama lu,” aku tersenyum


dan memberikannya tisu. Aku baru kali ini melihat
seorang lelaki yang benar-benar sedih karena cinta.
Biasanya selalu pihak perempuan yang dibuat
menderita. “Udah. Tenangin pikiran lu dulu ya. Puri
mungkin cuma lagi emosi.”

“Phi!” panggil Luna.

“Iya, sebentar,” sahutku. “Ave, gue balik ke


tempat gue ya. Gue saranin kalau misalnya Puri sudah
bisa diajak bicara, bicarakan masalah ini. Jangan emosi,
dan maaf kalau kesannya agak ikut campur.”

“Enggak. Sama sekali enggak ikut campur,” Ave


kembali tersenyum meskipun matanya masih bengkak
dan berair selekas menangis tadi. “Thanks, Phi.”

Aku meninggalkannya segera dan entah rasa apa


ini. Seperti seorang kakak yang menyenangkan adiknya

96
Erika Fridadixa

yang sedang bersedih. Ah, konyol. Aku ini anak tunggal,


dan mana mungkin juga Ave itu saudaraku.

“Enggak gue sangka, Phi,” kagum Felix. “Bakat


banget lu nenangin orang.”

“Bukan apa-apa,” kataku yang kembali terduduk


di bangku sebelah Gill. “Ngomong-ngomong, kalian ini
belajar apa?”

“Tematis,” jawab Gill. “It’s kind of like... umm... an


implied philosophy class. We are now discussing about
spirituality and religion, but I kinda don’t like the lecturer
since he’s all about Felix, Felix, and Felix. His Golden
Boy.”

“Dude, come on. Sir Affan literally always says


that you must be active in his classes, not only in this
one.”

“Ya kan lu asistennya Sir Affan, Ferisuuu


Gozaliiiiii!! Makanya disayang. Ah, gue toyor juga nih
pake botol saos!”

“Bapak lu bukannya dosen peminatan Ontologi


ya? Yang tentang agama-agama gitu?” tanya Felix, ia
menyeringai. “Kenapa enggak belajar sama bapak lu aja,
Gill?”

97
PHILOSOPHIA

“Bapak gue lagi. Hufftttt,” Gill memotong


steaknya dengan kekuatan penuh. Terlihat sekali ia
kesal ketika Felix menyeret ayahnya ke urusan ini. Pak
Kris sendiri pernah berkata di kelas Pengantar Ilmu
Filsafat saat semester satu lalu kalau anaknya sendiri
tidak pernah ia manjakan, termasuk dalam bidang
akademiknya. “Gue nanya, enggak pernah dijawab.”

“Asli deh,” Luna menyela perbincangan mereka.


“Pak Kris tuh sebenernya kalau ngejelasin enak banget
dibandingkan Pak Raynold, tapi ya begitu kalau misalnya
kita kurang paham, disuruh baca sendiri.”

“Noh, bukti konkretnya ya, Fel.”

“Yeh, baper dah lu.”

“Avi ke mana?” tiada angin dan hujan, tiba-tiba


mulutku menanyakan keberadaan Avi yang biasanya
bersama Gillian.

“Ck... Avi lagi,” ketus Gill. “Avi tuh mana mau


kumpul sama kita.”

“Avi kalau belajar begini biasanya sama Kelvin,


Renaldy, John,” jawab Felix. “Mereka lebih seringnya
belajar di perpustakaan.”

“I see.”

98
Erika Fridadixa

Tidak ada lagi pertanyaan dan perbincangan,


semuanya fokus kembali ke bahan bacaan dan makanan
masing-masing. Aku tidak memesan makanan,
melainkan hanya membeli jus alpukat saja karena
uangku pas-pasan.

Tiga puluh menit berlalu, dan aku melihat Ave


sudah bisa bangkit kembali dan kini tengah membayar
makanannya di kasir.

“Orang yang menjadi bijak biasanya karena patah


hati,” tidak kusadari Felix juga memerhatikan kepergian
Ave, tetapi aku tidak tahu maksud perkataannya tadi
apa. “Orang yang jatuh cinta biasanya yang paling tuli,
dan orang yang tidak peduli biasanya lebih buta
daripada mereka yang benar-benar terlahir buta.”

“Maksudnya?” tanya Luna.

“Ya lu pertanyakan ke diri lu sendiri, Lun,” sindir


Felix. “Lu kalau udah cinta sama orang, tuli banget
dikasih tahu kebenaran tentang orang yang lagi lu cinta.
Lun, denger nih. Gue tahu kok lu kakak sepupu gue,
tapi di sini gue baik, masih mau ngasih tahu lu.”

“Ya gimana ya, Fel. Kan–”

“Udah, enggak ada ‘gimana-gimana’ ya,” Felix


menutup mulut Luna dengan tangannya. “Lu lihat
sendiri tadi buktinya kan tuh si Puri sama Ave yang tadi

99
PHILOSOPHIA

berantem. Nah, enaknya tuh emang pas kuliah, kita


semua temenan aja. Fokus belajar. Cinta-cintaan cuma
bikin capek, Lun.”

Ada benarnya perkataan Felix tadi. Memang


sepatutnya kita hanya fokus belajar saja. Melayani ego
tidak akan ada habisnya. Lebih baik sendiri daripada
melalaikan kewajiban kita sebagai mahasiswa hanya
untuk menyerahkan perhatian kita ke satu orang yang
belum tentu akan terus bersama kita sampai esok hari.

“Lun, Phi, bukannya gue sok tahu ya. Gue cuma


mau ngasih tahu aja,” aku tidak tahu kalau aku akan
dilibatkan dalam percakapan mereka. Atau mungkin
Felix mengira kalau aku menyukai Avi? Ih, tidak.
“Kesepian dan kesendirian itu dua konsep yang berbeda.
kesepian adalah ketika lu cemas saat lu cuma seorang
diri dan enggak ada yang menemani, sementara
kesendirian adalah keadaan di mana lu banyak
menikmati waktu lu seorang diri dan lebih banyakin
waktu lu untuk introspeksi diri lu sendiri.”

“Omongan lu, Fel,” celetuk Gill sembari tertawa


kecil dan membenarkan posisi kacamatanya yang
berlensa amat tebal itu. “Sulit banget kayak chance
survive gue di kelasnya Sir Affan.”

“Gue enggak larang lu, Lun,” Felix seakan-akan


tidak menghiraukan celetukan Gill dan kembali fokus ke

100
Erika Fridadixa

Luna. “Gue enggak larang lu mau deket sama Hada, tapi


gue mohon kurangin kadar obsesi lu ke dia. Gue enggak
mau kalau dia hanya bisa janjiin lu ketika lu udah
obsesi berat ke dia, terus janjinya enggak ditepati. Apa
yang lu dapet? Sakit hati. Lu kesepian, Lun. Lu cemas
karena Hada enggak mau sama lu, tapi lu enggak nyadar
kalau sebenernya banyak yang sayang dan mau nemenin
lu, Lun. Jangan bikin malu atau hancurin diri lu hanya
untuk satu orang lelaki. Banyak yang lebih worthy.”

Luna hanya mengangguk seakan-akan ia


mencerna perkataan adik sepupunya tersebut. Ngomong-
ngomong, sepanjang percakapan Felix dan Luna, aku
beberapa kali memergoki Gill melihat Luna dengan
tatapan yang berbeda. Ketika Felix menyebut nama
‘Hada’, aku juga kedapatan melihat Gill mengepal jari-
jari tangannya seakan siap untuk meninju Hada. Apakah
mungkin Gill menyukai Luna dan cemburu ketika Felix
terus menerus menyebut nama seorang Al-Farabi Hada
Khair? Entahlah. Aku harap masalah ini cepat selesai
saja.

Hari semakin sore, Gill memutuskan untuk pulang


terlebih dahulu. Ia berdalih harus pergi mengantar
ayahnya untuk check up. Apapun itu, semoga benar dan
semoga cepat sembuh untuk Pak Kris.

“Ini kita enggak pulang?” tanya Luna.

101
PHILOSOPHIA

“Ayo deh,” jawab Felix. “Kasihan juga Philo nanti


ketinggalan kereta.”

“Ah iya.”

Aku tidak mengeluarkan pendapatku, melainkan


menuruti mereka. Kami membereskan sisa makanan,
buku, dan alat-alat tulis kami yang berserakan di meja.

Hari ini benar-benar aku akhiri dengan masih


dihantui rasa penasaran tentang perasaan nyaman
terhadap Ave.

IX

HARI terakhir pekan UAS diakhiri dengan UAS Filsafat


Timur. Pak Dharma, selaku dosen pengampu mata

102
Erika Fridadixa

kuliah Filsafat Timur, hari ini mengawas bukan hanya


seorang diri, melainkan bersama Pak Ardee. Tidak mau
kalah dengan Pak Ardee yang membawa Jojo, Pak
Dharma juga membawa anak perempuannya yang
sepantaran usianya dengan Jojo, yakni Mila.
“Pertemuan terakhir di pekan UAS,” ucap Pak
Dharma seraya masih membagikan lembar jawaban dan
soal kepada semua mahasiswa di kelas. “Saya sengaja
ajak Pak Ardee ngawas di sini. Kalian boleh open book
tapi jangan browsing ya.”
“Pak, mohon maaf nih,” celetuk Mahdi. “Perasaan
di matkul ini, bapak cuma ceramah doang. Enggak
nampilin PowerPoint. Catetannya dari mana?”
“Bagus,” Pak Dharma menyeringai. “Padahal
semua ceramah saya itu saya jadiin bahan UAS loh.
Ketahuan kan sekarang kamu enggak pernah nyatet.”
Semua yang ada di kelas, tidak terkecuali aku,
tidak ada yang menertawakan Mahdi, melainkan juga
sama kecewanya dengan Mahdi. Untungnya aku sempat
mencatat sebagian ceramah Pak Dharma saat minggu
terakhir pertemuan di kelas.
“Buka lembar soalnya semua,” perintah Pak
Dharma. “Nomor satu sampai tiga coba perhatikan.”
Sontak satu kelas menuruti kata-kata Pak
Dharma dan menemukan soal nomor satu sampai tiga
memang benar-benar bersumber dari ceramah
pertemuan terakhir. Memang kadang dosenku yang satu

103
PHILOSOPHIA

ini senang sekali mengerjai mahasiswanya, baik ketika


sedang ujian maupun tidak. Akhir cerita? Selalu diakhiri
dengan kami semua mendapat nilai B- karena tidak
sesuai dengan ekspektasi beliau.
“Kerjakan sebaik mungkin dan jangan browsing,”
perintah Pak Dharma sekali lagi. “Ponsel semua harap
taruh di dalam tas.”
Tidak ada kata-kata lagi keluar dari mulut Pak
Dharma. Beliau segera duduk dan bermain dengan Mila
serta Jojo, sementara kuperhatikan Pak Ardee hanya
sibuk mengoreksi hasil ujian dari beberapa kelas yang
diampunya. Teman-temanku terlihat sibuk sekali
menjawab tiga pertanyaan yang tersedia, sementara
Mahdi dengan sempatnya tertidur pulas.

Tiga puluh menit berlalu, aku masih mengerjakan soal


nomor dua, dan waktu hanya tersisa satu jam lagi. Aku
masih melihat Mahdi belum juga terbangun dari
tidurnya. Bodohnya, tidak ada yang peduli maupun
berani membangunkannya.
“Lazuardi Mahdi Haaryis?” panggil Pak Dharma
yang mulai kesal. “Anda menghargai kami tidak? Anda
kalau tidak ingin lulus atau tidak suka dengan mata
kuliah ini, silahkan keluar saja. Jangan tidur saat
sedang ujian.”
“BERISIK BANGET, JAMET! BACOT!” Mahdi yang
mukanya terlihat masam sekali itu pun segera

104
Erika Fridadixa

memasukkan kembali alat tulis dan buku catatannya ke


dalam tas dan pergi keluar.
“Pusing saya ngadepinnya,” ucap Pak Dharma.
“Kalian semua lanjutkan pekerjaannya. Sisa waktu
kalian lima puluh menit ya.”
Kami semua kembali mengerjakan soal ujian,
namun aku tidak bisa mengalihkan perhatianku ke arah
jendela kelas. Terlihat jelas Mahdi yang hari ini
mengenakan jaket merah dan topi kupluk biru itu masih
berdiri di depan kelas, entah untuk apa.

Waktu ujian telah habis, kami semua mengumpulkan


lembar jawaban ujian kami beserta lembar soal. Satu
persatu dari kami mulai meninggalkan kelas, tetapi
masih ada sebagian dari kami yang tinggal di kelas
untuk mengusili Mila dan Jojo. Aku tidak terlalu peduli
dengan mereka melainkan Mahdi yang tidak beranjak
pergi dari depan kelas.
“Di?”
“Sssttt... enggak, jangan ke sini, Phi.”
“Di, tinggal setengah jalan lagi,” ucapku. “Sayang
kalau lu gagal.”
Ia berbalik untuk melihatku. “Ck... gue emang
dari awal emang enggak minat di sini, Phi. Semua karena
Bang Dani, dan orang tua gue maksa semua anaknya
harus lulusan yang sama dengan Bang Dani.”

105
PHILOSOPHIA

“Udah,” aku menghampirinya dan menepuk


pundaknya. “Lu bisa. Nanti, janji sama gue, minta maaf
sama Pak Dharma. Samperin kalau bisa. Tadi dilihat
sama Pak Ardee juga, PA kita. Enggak enak loh, Di.”
“Iya, gue tahu itu bodoh banget,” Mahdi hampir
menangis. “Gue cuma udah enggak kuat, Phi. Itu aja.”
“Iya, paham. Bisa kok bisa.”
Mahdi, layaknya anak kecil berusia lima tahun,
menuruti saja kata-kataku. Dengan sungkan ia
menghampiri kedua dosen kami yang masih di dalam
kelas sembari merapikan lembaran-lembaran kertas
yang ada di meja mereka, dan setelahnya, aku tidak tahu
lagi apa yang ia katakan.
Luna dan Sagitta mengajakku untuk pergi makan
siang. Tidak lupa mereka mengajak Sonya, namun entah
ada angin apa, Sonya lebih memilih untuk menemani
Mahdi menghadapi Pak Dharma dan Pak Ardee.
Sesampainya di kantin, aku tidak langsung memesan
makanan, melainkan berbincang dulu dengan Luna
selaku perempuan yang pernah hampir jadian dengan
Mahdi, sementara Sagitta memesan makanan di kantin
nomor 14 yang menjual chicken katsu.
“Kasihan gue sama dia, Phi,” ucap Luna berat.
“Kasihan dia terus menerus diteror sama Pak Raynold
kalau enggak bakal lulus di Teori Keadilan. Kesalnya
sama Pak Raynold, pelampiasannya ke Pak Dharma
sama Pak Ardee. Emang udah kehabisan akal kali ya.”

106
Erika Fridadixa

“Jangan gitu,” ucapku yang tidak menatap lawan


bicaraku, Luna karena masih sibuk membalas pesan
WhatsApp dari Bunda. “Mahdi emang lagi ada masalah,
tapi enggak seharusnya kita ngehakimin dia udah
kehilangan akal. Orang kalau udah kayak gitu biasanya
mumet sendiri, emosi sendiri, jadi ya sudah semua
diserang.”
“Iya kali ya, Phi.”
“Lu dulu kenapa enggak jadi sama dia?” aku
tidak menyadari bahwa aku bisa bertanya hal sesensitif
itu, yang bahkan biasanya aku tidak mau tahu.
Luna tidak menjawab melainkan mengeluarkan
sebuah buku catatan ukuran B5 berwarna merah muda.
“Dari Mahdi. Mahdi dulu beliin gue ini, katanya simpen
aja. Terus dua hari sesudah itu, dia ajak gue jalan dan
nembak gue, Phi. Sorry kalau enggak cerita-cerita ya.”
“Enggak peduli banget sih gue lu mau cerita apa
enggak,” ucapku. “Itu hak lu, Lun. Terus, kalau boleh
tahu, kelanjutannya gimana?”
Luna menghela napasnya. “Mas Evan tiba-tiba
deketin gue dan nyatain kalau dia suka sama gue, tapi
guenya masih mau sama Mahdi. Mas Evan enggak
terima dan bilang ke Bung Fais kalau Mahdi udah berani
apa-apain gue. Marah-marahlah Bung Fais ke adeknya
sendiri sambil teriak-teriak di Gedung D, dan pas banget
Pak Dharma sama Pak Raynold lewat dong. Jadilah
reputasinya Mahdi jelek banget di prodi. Some of our

107
PHILOSOPHIA

friends say people who belong to this faculty ain’t giving a


damn to other people’s business yet they give a damn to
Mahdi’s, even if it’s only an insult from a senior. Gimme a
break.”
“Mas Evan ya mulutnya, hahahaha,” celetukku.
“Terus lu berani ngelapor ke Felix enggak?”
“Enggak semua yang gue alami harus dilaporin ke
Felix, Phi.”
“Hmm...”
“Ketika kenyataan enggak sesuai sama ekspektasi
kita,” Luna menghembuskan napasnya dengan berat. “Di
situ gue mikir mungkin Tuhan pengen kita lebih
semangat lagi buat berjuang dan mungkin sesuatu yang
kita pengen banget itu nyatanya enggak baik.”
“Oh, okay.” Aku kembali memainkan ponselku
dan tidak menanyakan apapun lagi kepada Luna soal
kehidupan percintaannya. Aku juga sadar kalau
perasaan Luna ke Mahdi sudah tidak lagi seiring dengan
giatnya ia mengejar Hada yang amat pendiam dan kaku
sampai-sampai kehabisan uang banyak.
Jika kelak aku jatuh cinta, aku tidak ingin
menjadi orang yang mengejar. Aku ingin menjadi
seseorang yang dikejar atau diperjuangkan, karena
menurutku, perempuan yang mengejar laki-laki, seperti
Luna mengejar Hada, hanya untuk dicintai sama saja
merendahkan diri, dan itu juga sebuah tanda bahwa
kamu tidak mencintai dirimu sendiri, melainkan butuh

108
Erika Fridadixa

cinta dari orang lain. Aku tidak mau menjadi orang


seperti itu.
“Phi, Luna, aku boleh duduk di sini?” tanya
seorang lelaki. Iya benar, itu Hada. “Idak ado kursi
kosong lagi.”
“Boleh,” ucapku. “Duduk sebelah Luna aja. Ini
sebelah gue udah ada Sagitta.”
“Sagitta? Pacarnyo Biru?” ucap Biru seraya
menaruh nampannya yang berisi semangkuk soto betawi
dan segelas es teh.
Hah? Apaan? Enggak salah denger nih gue? Hada
enggak salah ngomong? Terus Hada tahu Biru dari mana?
“Enggak tahu,” ucap Luna. “Julid juga ya awak.”
“Biru sendiri yang ngomong ke aku, Lun,” jawab
Hada sembari menyuap soto betawi ke mulutnya.
“Kemarin ketemu Biru, kita bercakap bahaso Jepang. Dio
takut nak bercakap Jepang dengan awak.”
Aku tidak tahu apa yang dimaksud Hada. Sejak
kapan anak ini bisa fasih berbahasa Jepang sementara
logat Palembangnya masih kental sekali? Hmm...
“Oh, Philo mungkin enggak ngerti, Da,” ucap
Luna. “Coba jelasin.”
“Enggak ngerti apa? Gue biasa aja.”
“Hada sama gue sama-sama keturunan Jepang,”
Luna tertawa kecil sembari menepuk pundak Hada. Well,
tidak usah diberitahu, aku juga sudah mengira. Memang
sebagian orang Palembang terlihat oriental tapi Hada

109
PHILOSOPHIA

berbeda. “Hada kayak Felix, enggak dapat marga karena


pihak ibunya yang Jepang. Felix mah emang sengaja
pakai nama keluarga biar ada yang notice, padahal mah
‘Gozali’ juga nama keluarga dari pihak bapaknya. Kalau
gue dari keluarga Horikawa, kalau Hada, ibunya dari
keluarga Yamazaki.”
“Oh, kayak gitu.” Aku pura-pura mengerti saja.
“Biru kan lu tahu sendiri. Proud to be a Weeb, nah
not a Weeb actually, but a Wapanese since he declares
himself as a Caucasian due to his father being a British
Pakistani, lol.”
Aku menolak bereaksi atas kata-kata Luna
barusan. Aku tidak ingin ikut campur kalau nanti ada
pertikaian antara Luna dan Biru. Seingatku, Mahdi
pernah secara tidak sengaja memanggil Biru ‘bodoh’, dan
Biru dengan angkuhnya tidak mau memaafkan Mahdi. Ia
terus menerus show off tentang kemampuannya di kelas
yang tentu saja dapat dikalahkan oleh Mahdi.
Mahdi, meskipun bebal begitu, dapat
mengalahkan seorang Biru ketika ada sesi debat di kelas
Etika. Bukan karena dosen pengampu kala itu adalah
Pak Ardee yang merupakan pembimbing akademisnya
dan dapat menjamin ia selamat, namun karena memang
Mahdi menguasai sekali materi pada debat kali itu.
“Ngomong-ngomong,” ucap Biru tiba-tiba. “Ado
orang semalam kirim LINE, bilangnyo dio sepupu awak,
Lun.”

110
Erika Fridadixa

Haduh, drama lagi. Felix enggak ada habisnya


ngusik Luna sama Hada.
“Terus lu jawab enggak?” tanya Luna yang
ketakutan. Aku tahu Luna ketakutan seperti itu
mengapa. Jum’at kemarin, seusai shalat Jum’at, Felix
menampar Hada dan tidak lupa mengancamnya. Luna
dan aku kebetulan lewat ketika hal tersebut terjadi. Luna
sangat terkejut juga sedih ketika melihat sepupunya
sendiri sangat kasar terhadap orang lain, terlepas dari
konteks bahwa Hada merupakan seseorang yang saat ini
sedang disukai Luna.
“Idak,” jawab Hada tersenyum. “Shinpaishinaide,
Luna. Kadang kalanya kita harus cuek, karena
perkataan orang lain dan ancaman orang lain enggak
menentukan kamu siapa.”
“Loh? Itu lu bisa fasih bahasa Indonesia tanpa
logat Palembang?” tanyaku.
“Kadang,” Hada menyeringai. “Aku hanya ingin
melestarikan bahasa daerahku. Itu saja. Sebenarnya
ngerti kok kalian ngomong apa, tapi maaf ya kalau tiba-
tiba aku ngomong pakai bahasa Palembang.”
Hada, seorang keturunan Indonesia-Jepang yang
sangat mencintai budaya asli kota kelahirannya. Ia
bahkan berusaha keras untuk selalu berbicara
menggunakan bahasa Palembang, meskipun ia tahu
banyak yang kesulitan memahami bahasa yang ia pakai.

111
PHILOSOPHIA

Tak jarang juga menemukan orang-orang di sekitarnya


yang naik pitam akibat hal tersebut.
“Udah minggu terakhir UAS,” Hada mengakhiri
makannya. “Kalian mau liburan ke mana?”
“Entah,” jawab Luna. “Paling pulang ke Osaka.
Lu?”
“Pastinya pulang ke Palembang. Kalau kamu,
Phi?”
Bingung aku menjawabnya karena seumur hidup,
aku tidak pernah jalan ke luar kota. Mungkin hanya
akan bertahan di sekitar sini saja, di dalam kamarku
dan menambah koleksi baru buku-buku yang ada di
perpustakaan pribadi milik Bunda dan juga diriku.
“Hnngg... Enggak tahu,” canggung. Canggung
sekali. Aku takut mereka menghinaku karena tidak akan
ke mana-mana. “Paling ke Jogja.”
“HWWHHAAATT?!” Luna terdengar sangat
terkejut ketika mendengar jawabanku yang aku yakini
bukan aku yang menjawab, melainkan setan di dalam
pikiranku. “Gila, beneran lu mau ke Jogja? I mean,
seorang Philo mau ke Jogja, seorang diri?”
“Apa salahnya, Lun?” tanya Hada. “Mendiang
Azwar juga sering.”
“Iya, I know,” Luna masih saja menyangkal. “I
KNOW, tapi Philo cewek, dan gue takut Philo kenapa-
kenapa gitu.”

112
Erika Fridadixa

“Ucapan itu doa, Lun,” kesalku. “Enggak boleh


kayak gitu. Doakan saja gue yang baik-baik sampai di
Jogja sana ya.”
Tiada bahan bahasan lagi, maka dari itu kami
yang sudah selesai makan semua memutuskan untuk
pulang dan tentu saja tidak lupa mengucapkan selamat
liburan. Apakah aku akan mewujudkan kata-kata asal
ceplosku tadi? Lihat saja.

AKHIR Desember 2019, aku memutuskan untuk


menuruti kata-kata isengku, yakni bepergian ke
Yogyakarta seorang diri. Aku juga sebenarnya ada niatan
tersendiri, yakni ingin mencari ayahku yang aku yakini
pulang ke kampung halamannya yang entah ada di Jogja

113
PHILOSOPHIA

atau Solo. Dengan berbekal informasi sedikit dari Pak


Ardee dan Pak Dharma yang ternyata merupakan adik
tingkat ayahku selama kuliah, aku nekat mencari
keberadaan beliau. Yang masih membuatku terkejut
sampai sekarang ialah kenyataan kedua dosenku itu
tahu tentang ayahku dan juga kisah kelam yang dialami
oleh orang tuaku, namun mereka hanya sedikit
memberitahuku tentang hal itu. Ngomong-ngomong,
tenang saja, aku sudah meminta izin kepada Bunda
untuk melakukan trip ini. Dengan berbekal uang
seadanya, aku nekat memesan tiket bus dan bodohnya
uangnya tidak cukup untuk membeli makanan. Entah
apakah aku akan mati di sana atau mungkin
diselamatkan oleh orang baik. Doakan saja yang terbaik.
Bus yang aku tumpangi ke Yogyakarta berhenti di
Terminal Giwangan, dan aku tidak tahu harus tidur di
mana karena uang yang tersisa di dompetku hanya
sebesar lima puluh ribu rupiah, dan uang itu juga sisa
kembalian tiket bus. Jam menunjukkan pukul sepuluh
malam dan perutku sudah mulai keroncongan. Entah
dengan cara apa aku bisa bertahan hidup di kota orang
tanpa sanak saudara.
Ya Allah, bodoh banget gue ya. Modal nekat ke
kota orang.
Kulihat ada sebuah warung kopi yang masih
buka. Masih banyak juga yang sekadar makan atau
mengopi di sana. Kuberanikan diri untuk mencoba

114
Erika Fridadixa

menawar makanan di sana agar rasa perih di perutku


agak sedikit berkurang.
“Mbak, tempe mendoannya harga satunya
berapa?”
“Telung ewu, Mbak,” ucap si Mbak pemilik
warung dengan ramahnya. Berbekal kemampuan
berbahasa Jawa yang tidak terlalu minim namun juga
tidak fasih, aku tahu bahwa harga satu lembar tempe
mendoan itu tiga ribu rupiah, namun aku
mengurungkan niatku untuk membelinya. Aku takut
tidak tahu diri kalau makan, mengingat uangku sangat
amat sedikit. “Jadi tuku ndak, Mbak?”
“Enggak, Mbak,” jawabku. “Uang saya enggak
cukup. Permisi.”
Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku juga
malu sekali rasanya ketika tidak jadi membeli tempe
mendoan di warung tersebut. Sedari di warung tadi, ada
seorang pemuda yang sekiranya berbeda usia dua tahun
atau tiga tahun dariku yang memperhatikanku. Aku
bukannya berniat untuk berpikir buruk tentangnya, tapi
di sini aku hanya seorang diri, tidak ada saudara. Mau
bagaimana lagi? Harus waspada.
“Dek?” sapa seorang pria dari belakang.
Kuberanikan diri untuk melihatnya, dan ia
pemuda yang tadi. “Eh,” ucapku canggung. “Iya, Mas.
Ada apa?”

115
PHILOSOPHIA

Kenapa Mas ini kayak familiar ya? Kayak pernah


lihat, tapi... di mana?
“Kamu belum makan?” tanya ia yang belum
kuketahui namanya itu. “Maaf ya lancang, tapi ini aku
belikan nasi buat kamu.” Ia kemudian menyerahkan
bungkusan makanan tersebut. Aku tidak tahu apa
isinya, yang penting semoga ia tulus membelikanku
makanan ini.
“Makasih banyak ya, Mas.”
“Sama-sama,” ucapnya.
Astaga, aku baru teringat. Sekilas memang ia
mirip sekali dengan Avi, namun tubuhnya lebih tambun,
rambutnya ikal, dan kulitnya sawo matang dibandingkan
dengan Avi yang cenderung kuning langsat. Ia juga
memiliki brewok yang sangat lebat. “Kamu mau ke mana
sehabis dari sini? Pulang kampung atau pelancong?”
“Saya enggak punya siapa-siapa di sini.”
“NO WAY!” Ia terkejut mendengar jawabanku.
Memang benar aku tidak punya siapa-siapa di sini. Aku
ke sini karena rasa penasaranku yang akhirnya tahu
siapa sebenarnya ayahku. “You’re kidding right? I mean
what’s with a girl like you, doing a solo travelling like this?
Homeless? No money? No way! So brave yet so dumb!”
“Aku mau cari ayahku, Mas,” ucapku. “Ayahku
pergi ninggalin aku cuma sama Bunda.”
“Siapa nama ayahmu emangnya? Kok sampe ke
sini-sini sih? Kaburnya kurang jauh. Kabur tuh ya

116
Erika Fridadixa

aturan kayak Eddy Tansil, jauh sekalian ampe ke luar


negeri.” Dari cara bicaranya, bisa aku katakan kalau ia
orang yang lucu.
“Romy Damara,” jawabku jelas. “Nama ayahku
Romy Damara.”
Ia tidak lagi bersuara, melainkan seperti terkejut.
Aku rasa ia mengenal ayahku, tapi apakah mungkin itu?
Apakah juga mungkin kalau ia kerabat dekat ayahku?
Usia ayahku kan tidak jauh berbeda dengan Bunda yang
sekarang berusia empat puluh tahun.
“Dek?” ia memecah keheningan di antara kami.
“Iya?”
“Nama kamu siapa?”
“Phi... Umm... Sophia.” Hanya di kota ini, aku
takut memberitahukan orang-orang tentang nama
asliku. Tentu saja Sophia itu nama asliku juga, namun
aku tidak pernah merasa nyaman dipanggil dengan
nama itu. Mau tidak mau, kini aku harus terbiasa.
“Hmm, oke. Salam kenal ya.”
“Iya.” Dengan terburu-buru aku membuka
bungkus nasi tersebut dan menyantap makanan yang ia
belikan. Aku bahkan belum mengetahui namanya,
namun aku merasa sangat familiar dengannya.
“Oh, umm, where are my manners? Namaku
Helmy Baskara. Panggil saja ‘Baskara’ ya. Entah kenapa
dari kecil enggak ada yang manggil ‘Helmy’, hahaha.”
“Oalah.”

117
PHILOSOPHIA

“Iya, Dek,” ucap Mas Baskara. “By the way, kalau


mau, ayo tinggal di rumahku untuk sementara waktu.
Santai, enggak cuma kita berdua, tapi ada kakakku
sama ART di sana, hehehe.”
Dari nada bicara, kata-katanya cukup
meyakinkan. Akan tetapi, aku harus tetap waspada.
“Ayok,” ajaknya sembari menjulurkan tangannya
ke arahku. “Aku enggak mau kamu kayak gembel di sini.
Ikut aja. Aku nanti kenalin ke keponakan aku, umurnya
sama kayaknya sama kamu.”
Keponakan? Siapa? Jangan-jangan...
“Kamu kok diem?” Mas Baskara membuyarkan
lamunanku. Bukan, aku bukan terdiam karena tidak
ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi aku hanya
terkejut saja sesaat setelah ia berkata kalau ia memiliki
keponakan yang umurnya sama dengan umurku.
Apakah yang dimaksud adalah Avi?
“Sophia, ayok,” entah kapan Mas Baskara
memesan taksi online yang tiba-tiba sudah berada di
depan kami berdua. “Keburu dikunciin sama Mbak
Yana.”
Ampun, siapa lagi itu, Mbak Yana?! Mengapa
banyak sekali orang yang harus aku kenal?
“Iya, Mas.”

Selama di perjalanan, aku tidak banyak bicara kepada


Mas Baskara atau ke pak supir. Bukan karena rasa lapar

118
Erika Fridadixa

yang masih menyerang, melainkan juga karena aku tidak


terbiasa berbicara banyak dengan orang yang baru saja
aku kenal, apalagi kalau usianya jauh lebih senior di
atas usiaku.
Mas Baskara dipersilahkan oleh pak sopir yang
aku tidak ketahui namanya untuk menyambungkan
Spotifynya ke radio mobil. Ia menyetel banyak sekali lagu
Maroon 5 dan terakhir ditutup dengan lagu Bruno Mars
yang aku bahkan tidak tahu apa judulnya. Bukan,
bukan Versace on The Floor, tapi masih dari album yang
sama dengan lagu tersebut.
Sekitar dua puluh lima menit atau mungkin
setengah jam kami berada di jalan, akhirnya sampai juga
di tempat tujuan. Aku lupa apa nama tempat ini, kalau
tidak salah Pogung Lor dari yang aku dengar selama
percakapan Mas Baskara dengan pak sopir.
“Sophia, udah sampe nih,” ucap Mas Baskara
yang tersenyum manis dengan suara lembutnya itu.
“Rumah pager hitam itu rumahku. Kamu tunggu di situ
aja ya. Aku sama Pak Bambang mau nurunin barang-
barangku di bagasi.”
Oh, jadi namanya Pak Bambang.
“Iya, Mas.” Kuturuti saja perkataan Mas Baskara
dengan segera turun dari mobil dengan menggendong
tasku yang tidak begitu berat dan berjalan perlahan ke
arah rumah dengan pagar hitam yang tinggi itu.

119
PHILOSOPHIA

Mas Baskara dan Pak Bambang satu persatu


membawa barang-barang Mas Baskara yang terdiri dari
kardus, koper, dan sebuah tas ransel besar berwarna
hijau. “Terima kasih ya, Pak,” Mas Baskara berkata
seraya memberi sejumlah uang dalam genggamannya
kepada Pak Bambang. “Pas ya, Pak. Ada tambahan buat
jajan anak bapak.”
“Oh, iya, Mas,” tidak bisa dipungkiri kalau Pak
Bambang sangat senang menerima uang yang entah
berapa jumlahnya itu dari Mas Baskara. “Lancar terus
rejekinya ya, Mas. Mari, Mas. Saya tak pergi dulu, nyari
penumpang lagi.”
“Aamiin, Pak. Bapak juga. Semangat, Pak!”
Tiada kata-kata lagi dari Pak Bambang,
melainkan beliau langsung berlari ke arah mobilnya dan
menancap gas lalu pergi meninggalkan perumahan ini.
“Mas,” ucapku. “Ini boleh aku numpang di sini
buat tidur? Besok pagi aku pergi kok. Aku mau nyari
ayahku lagi.”
“Boleh kok, cantik,” jawabnya seraya terus
menekan bel rumah yang ada di balik pagar. “Jangan
buru-buru. Kenalan dulu besok sama keponakan aku.
Kali kamu mau jadi temen deketnya? Dia juga nyari
kakak perempuannya yang udah lama hilang.”
“Kakak perempuan?”

120
Erika Fridadixa

“Panjang ceritanya,” jawabnya sambil


menyeringai. “Kalau diceritain, udah kayak novel
Breaking Dawn. Tebel, enggak bakal kelar tiga hari.”
“Oh.”
Baru saja Mas Baskara hendak mengatakan
sesuatu, tiba-tiba seorang wanita memakai daster batik
berwarna merah muda dan sekira berusia tiga puluh
tahunan keluar dan membukakan pagar untuk kami
berdua.
“Loh, Mas? Sapa iki?” Aku yakini beliau adalah
orang yang dipanggil Mas Baskara dengan sebutan
‘Mbak Yana’.
“Iya, Mbak Yana. Dia Sophia,” jawab Mas Baskara
seraya ia menjawab rasa penasaranku terhadap wanita
ini. “Aku tadi ketemu dia di Giwangan sendirian, dan dia
bilang enggak ada saudara di sini. Aku suruh tidur di
sini aja malam ini. Kasihan, dia enggak ada uang juga
buat sewa hotel, Mbak. Boleh ya? Avicenna juga masih di
perjalanan pulang kok.”
Ketika Mas Baskara menyebut nama ‘Avicenna’,
seketika aku benar-benar tidak bisa memalingkan
pikiranku dari Avi. Apa benar Mas Baskara adalah
paman yang Avi ceritakan dan apakah ‘Avicenna’ yang
disebut tadi adalah benar Avi yang selama ini secara
misterius dan menyebalkan bertindak sebagai Guardian
Angel untukku?

121
PHILOSOPHIA

“Walah,” reaksi Mbak Yana sungguh datar sekali.


Kulihat dari wajahnya kalau ia nampak sangat lelah.
“Wis, masuk, Mas. Wis wengi iki loh.”
“Iya,” Mas Baskara kemudian menggendong tas
ransel birunya dan mendorong kopernya. Sementara
kardus besar yang entah apa itu isinya dibiarkan di
depan pagar rumah. “Nanti itu kardus biar aku aja yang
bawa. Aku aja yang ngunci pintu sama pagar. Kamu
masuk duluan sama Mbak Yana ya, Sophia.”
Sebenarnya ingin sekali aku membantu
membawakan kardus tersebut, namun ada rasa tidak
enak juga untuk menolak permintaannya. Ia sangat
peduli padaku, meskipun ia baru mengenalku beberapa
menit yang lalu.
“Ayo, Mbak,” ajak Mbak Yana. “Itu biarin Mas
Helmy sing bawa barang-barang masuk. Mbaknya duduk
aja di ruang tamu ya. Mau teh apa es sirup?”
“Aduh,” rasanya canggung sekali. “Enggak usah,
Mbak.”
“Kok ndak usah iku loh? Lambemu garing loh,
Mbak. Tak bikinin teh yo. Duduk nang ruang tamu yo,
Mbak. Tunggu nang kono.”
Aduh, rasanya tidak enak sama sekali. Sungguh,
keluarga ini baik sekali. Aku hanya orang asing, namun
dilayani sekali bagai seorang Putri dari kerajaan yang
sangat sangat jauh.

122
Erika Fridadixa

Aku menuruti kata-kata Mbak Yana untuk duduk


di ruang tamu. Terbelalak mataku dibuat oleh foto
keluarga yang dipajang di ruangan itu dengan ukuran
sangat besar dengan bingkai berwarna hitam. Di foto itu
terdapat tiga orang lelaki yang salah satunya adalah...
“Avicenna Lesmana...” gumamku.
“Kamu kenal sama Avi?” Mas Baskara tiba-tiba
sudah berada di ruang tamu dengan semua barangnya.
Aku tidak tahu harus menjawab apa, dan jujur saja aku
sangat takut untuk menjawab pertanyaan semudah itu.
Tinggal menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’ saja susah sekali.
Hufftt...
“Sophia?”
“I-i-iya, Mas?”
“Aku ulangin sekali lagi ya pertanyaannya,” kata
Mas Baskara tersenyum. “Kamu kenal sama Avi?”
“I-i-iya.”
“Baguslah,” tidak ada amarah yang keluar,
seperti yang aku bayangkan. “Nanti aku ceritain apa
yang sebenarnya terjadi sama dia ya. Itu juga kalau
kamu mau dengar.”
Entah mengapa Mas Baskara seperti tidak bisa
menjaga rahasia, terlebih rahasia keluarganya. Mengapa
ia bisa sangat cepat percaya padaku yang notabene baru
saja dikenalnya?
“Mbak Sophia, iki tehnya,” Mbak Yana tiba-tiba
mengejutkanku. Ia membawa secangkir teh hangat

123
PHILOSOPHIA

untukku, entah rasanya akan manis atau tidak memakai


gula. “Minum, nanti keburu dingin.”
“Iya, Mbak.”
“Oh iya, Sophia,” Mas Baskara menyela. “Kamu
tidur di kamarnya Avi aja ya. Enggak ada kamar lagi
soalnya. Mbak Yana di belakang udah sama anaknya,
Anjani. Masa iya tidur sama aku. Ngaco.”
Yang mau tidur sama lo juga siapa?
“Iya, Mas,” jawabku. “Di ruang tamu ini juga
boleh kok.”
“Heh,” mata Mas Baskara membelalak ke arahku.
“Enggak boleh. Tamu kok tidur di ruang tamu. Udah, it’s
OK kok di kamarnya Avi. Avi-nya juga belom ada kan?
Hehehe.”
Ya sudah, apa boleh buat. Aku turuti saja
perkataan Mas Baskara, dan dengan dituntun oleh Mbak
Yana ke lantai atas, kutemukan kamar daripada seorang
Avicenna Lesmana. Kamar dengan pintu bercat biru
dongker dan dihiasi banyak stiker ini ternyata cukup
rapi dan luas. Kasurnya berukuran king size dan
terdapat banyak sekali rak buku di dinding.
“Mas Avi suka koleksi buku, Mbak,” ucap Mbak
Yana memberitahuku soal hobby Avi yang tidak jauh
berbeda denganku–dan juga Biru. “Kalau Mbak Sophia
mau baca, silahkan. Jangan dihamburin aja tapi. Kalau
sudah selesai, taruh lagi sesuai abjad buku ya, Mbak.”
“Iya, Mbak,” responku. “Paham.”

124
Erika Fridadixa

“Yowis, tak tinggal dulu yo. Ndak tak kunci.”


“Iya, Mbak,” ucapku seraya menaruh tasku di
lantai. “Makasih, Mbak. Pelan-pelan turun tangganya.”
Mbak Yana tidak meresponku. Mungkin ia tidak
mendengar. Ah, sudahlah.

Pukul empat pagi, aku terbangun dari tidurku. Ponselku


berdering dan ternyata banyak sekali panggilan masuk
dari Bunda. Kutelepon kembali Bunda untuk
memberitahunya akan kabarku.
Bunda?
Heh, kamu ya! Kenapa baru sekarang jawabnya?
Baru banget sampe, Bun.
Oh. Udah makan tapi, Phi?
Udah, Bun. Bunda gimana?
Udah juga. Ya sudah, tidur, Phi.
Bentar lagi shalat Subuh, Bun. Tanggung.
Iya. Ya sudah ya. Baterai hape Bunda lowbat.
Iya.
Bunda kemudian mematikan teleponnya dan
menyudahi percakapan kami berdua. Sama sepertiku,
Bunda tidak terlalu suka banyak bercakap-cakap. Harus
straight to the point karena kami berdua orangnya
cenderung bosanan.
Ingin sekali rasanya kembali tidur, namun
tanggung sekali ketika melihat jam sudah menunjukkan
waktu hampir shalat Subuh. Terpaksa aku mencari cara

125
PHILOSOPHIA

lain agar bisa terjaga. Kuberanikan diri untuk membaca


salah satu buku Avi yang berada di rak yang ada di
samping meja belajarnya. Buku yang membuatku
penasaran adalah buku catatan dengan sampul kulit
berwarna biru dongker sama seperti kamarnya. Avi ini
fanatik sekali dengan warna ini ya, hmm.
Aku mengambil buku tersebut dengan perlahan
karena ketat sekali jarak antara buku satu dan yang
lainnya, dan agak sedikit susah ketika menariknya
keluar. Setelah berhasil, kubuka buku tersebut dan
mulai membaca satu persatu halamannya. Dosanya aku
ketika mengetahui bahwa buku tersebut merupakan
jurnal harian seorang Avicenna Lesmana.
Salah satu tulisannya yang membuatku tertarik
adalah tulisan pada tanggal 19 Desember 2017, yang
menceritakan tentang hari ulang tahunnya yang ke-18
tahun dan juga tentang sang ayah yang menguak
rahasia tentang bagaimana ia bisa memiliki saudari tiri
dan ibu tiri yang tinggal jauh dari Yogyakarta. Semakin
terkejut aku dibuat oleh tulisannya ketika ia menulis
“...kakakku bernama Philosophia Damara. Setidaknya
itu yang Ayah ingat dari surat yang ditulis Mama Keila.”
“Enggak mungkin,” gumamku. “Lucu banget ini.
Enggak mungkin. Masa iya sih? Berarti kemarin Avi pas
ketemu Bunda, dia udah tahu dong kalau Bunda siapa?”
Karena aku menolak percaya begitu saja, aku
kembali membaca semua tulisannya sampai ke halaman

126
Erika Fridadixa

di mana terakhir kali ia menulis, yakni pada tanggal 1


Agustus 2019 lalu.
Dear Diary...
Hello, it’s been a while. Been a little bit, no, extremely
busy helping Mas Baskara, so I didn’t have much time
to pay an attention for you. Guess what? I finally figure
it out. My older sister belongs to the department of
Philosophy, just like her name ‘Philosophia’. I wonder if
I could approach her, but guess that it’d be creepy. Oh
my Dear Sister, can you just say ‘hi’ to me, at least? I
wonder if I could meet her in person. I only can see her
through a photograph that I screenshooted from her
Instagram account. I’ve discussed it with Luna and
Mahdi. I believe they won’t tell her, and I’d let her know
the answer later if I had a chance. So then... till we
meet again, Diary.
Seperti itulah bunyi daripada curhatannya.
Terlihat sekali bahwa Avi sangat jarang menggunakan
bahasa Indonesia. Berbicara denganku saja kadang
diselipkannya kosakata bahasa Inggris. Aku juga masih
tidak bisa percaya bahwa Avi merupakan saudara tiriku.
Aku tidak akan memanggilnya adik karena usia kami
tidak jauh berbeda, sama-sama dua puluh tahun pada
tahun ini, meskipun Avi lahir pada Desember tanggal 20.
“Phi,” suara Mas Baskara terdengar dari balik
pintu seraya ia masih terus menerus mengetuknya.
“Belom tidur kan kamu? Mas tahu kok.”

127
PHILOSOPHIA

Memang kamar Avi dan kamar Mas Baskara


berdempetan. Aku yakin Mas Baskara sengaja
mengupingku tadi. “Iya,” ucapku keras. “Nanggung,
bentar lagi adzan.”
“Oh, oke.” Tidak kudengar lagi suaranya.

Adzan subuh telah berkumandang, dan telah tiba


saatnya melaksanakan ibadah wajib shalat Subuh.
Setelah selesai, aku tidak kembali tidur meskipun
kepalaku sudah sangat pening. Aku malah duduk di
ruang tamu sembari menemani Mas Baskara yang
sedang minum secangkir kopi hitam pahit.
“Jadi,” ucap Mas Baskara memulai percakapan di
antara kami. “Kamu kenal sama Avi udah berapa lama?”
“Baru-baru aja,” jawabku. “Aku kenal dia gara-
gara dia nyegat aku pas mau nerobos hujan.”
“Baguslah. Biar enggak sakit, Phi.”
Phi? Hah? Aku tidak pernah memberitahunya
nama asliku, tetapi dari mana ia mengetahui namaku?
Atau Avi pernah bercerita sebelumnya?
“Philosophia Damara,” Mas Baskara
mengucapkan nama lengkapku tanpa salah sedikitpun.
“Itu kan namamu?”
“I-i-iya.”
“Welcome home, Sweetheart. We have been
waiting for you.”

128
Erika Fridadixa

“Maksudnya?” aku masih berusaha


menyangkalnya.
“Ya, ini rumah kamu. Rumah ayah kamu sih,”
jawab Mas Baskara. “Romy Damara itu ayah kamu kan?
Iya, rumahnya di sini. Aku adiknya. Well, technically his
half-brother because I was not born from the same mother
as his. Kalau Avicenna, ceritanya panjang deh. Tapi yang
pasti he is your half-brother.”
“Sekarang Ayah ada di mana, Mas?”
“Ada,” Mas Baskara kembali menyeruput kopinya
yang masih terlihat panas itu. “Di kamar. Udah enggak
bisa jalan gara-gara jatuh dari kamar mandi pas aku
sama Avi lagi enggak di sini. Sekarang pake kursi roda
kalau mau aktivitas. Kasihan.”
Aku tahu pasti Bunda tidak mau tahu tentang
Ayah lagi, tetapi aku yakin Bunda masih memiliki rasa
kasihan di lubuk hatinya yang paling dalam kalau aku
mengatakan tentang kondisi ayah yang sesungguhnya.
Suara klakson tidak henti-hentinya berbunyi dari
luar pagar rumah ini. Siapa orang yang pagi-pagi buta
seperti ini datang untuk bertamu?
“Sebentar ya,” ucap Mas Baskara sembari
membenarkan sarungnya. “Berisik banget si Avi kalau
dateng.”
Mas Baskara keluar dan membukakan pagar
untuk orang yang diyakininya adalah Avi. Kulihat dari
balik jendela, ternyata benar itu Avi. Motor Hondanya

129
PHILOSOPHIA

yang menjadi ciri khasnya itulah yang membuatku yakin


kalau itu dia.
“Lama banget sih, Mas,” protes Avi seraya
membuka helm full facenya. “Sampe pegel tahu enggak?”
“Ya sabarlah. Ngopi dulu kan kita.”
“Ngopi mulu,” ketus Avi. “Bisa ginjal loh nanti.”
“Sakit, mati di tangan Tuhan, Vi.”
“Yaudahlah,” Avi terlihat cukup kesal. “Percuma
juga diingetin. Masuk dulu dah.”
“Mandi langsung woy!”
Avi tidak menjawab lagi, melainkan langsung
masuk ke dalam dan menemukanku yang tengah
terduduk di ruang tamu.
“P-p-phi?!”
“Hai!”
Avi terlihat sulit untuk berkata-kata lagi. Aku
yakin ia pasti bingung mengapa aku bisa ada di sini.
“Baru mau bilang,” ucap Mas Baskara yang
memecah keheningan. “Avi, itu dia yang kamu tunggu-
tunggu kan? Tuh, Mas ketemu dia di Giwangan tadi
malem, cuma bawa uang lima puluh ribu.
Avi tidak berbicara tentang apapun melainkan
langsung pergi meninggalkan aku dan Mas Baskara ke
kamarnya di lantai atas. Sialnya, aku belum merapikan
tempat tidurnya.
“Kamu wis rapiin kamarnya kan?” tanya Mas
Baskara. Pertanyaan yang membuatku tiba-tiba takut

130
Erika Fridadixa

setengah mati, karena aku takut Avi akan marah ketika


menemukan kamarnya seperti kapal pecah.
“Kok diem? Belom ya?” goda Mas Baskara.
“Tenang aja sih, enggak usah takut. Avi enggak pernah
marah kalau ada yang tidur di kamarnya, apalagi
berantakin kamarnya. Asal jangan nyentuh rak bukunya
aja.”
Sial, aku lupa mengembalikan buku harian Avi ke
rak buku. Apakah...
“Mas Baskaraaaaa!!! Dibilangin jangan ngusik rak
buku! Kepo banget dah ah!” teriak Avi dari arah
kamarnya. Pintu tidak ia tutup, maka dari itu terdengar
jelas suaranya yang berteriak itu.
Segera saja aku menaiki tangga dan
menghampirinya. Ia yang masih terlihat marah pun tidak
berani menatap ke arahku. “Mas, dibilangin ratusan kali
sampe capek jangan–”
“–usik rak buku. Paham kok,” ucapku. Ia mengira
aku adalah Mas Baskara sebelum ia membalikkan
tubuhnya untuk menghadapku. “Hai? Apa kabar... uh...
Dek Avi?”
“Jadi... Lu udah tahu semuanya?”
“Yap. Kenapa?”
“Gue takut lu enggak bakal bisa nerima gue,”
ucap Avi berat. “Ada banyak hal rumit yang harus gue
kasih tahu ke lu tentang siapa gue dan kenapa kita bisa
lahir dari ibu yang berbeda. Care to listen?”

131
PHILOSOPHIA

“Sure go ahead,” ucapku. “Let’s just sit first, shall


we?”
Avi kemudian terduduk di atas kasurnya, dan
aku terduduk di sofa kecil di samping pintu kamarnya.
Tak lupa aku menutup pintu karena aku yakin Avi tidak
suka jika Mas Baskara atau siapapun di rumah ini
menguping percakapan ini.
“Ayah dulu senior dosen lu, Pak Ardee dan Pak
Dharma. Di saat kuliah, ayah punya pacar, dan dia
Mama Keila yang kuliah di Sastra Inggris. Namun, di
saat itu juga, ada anak Sastra Perancis, yakni ibu gue
yang juga demen sama Ayah, meskipun Ayah
nganggepnya cuma temen doang. Pas lulus, Ayah
ngelamar Mama Keila dan menikah beberapa hari setelah
kelulusan. Ayah lalu kerja dan ketemu lagi sama ibu
gue. Hal mengerikan terjadi pas lu udah lahir, umur
enam bulan, tiba-tiba ibu gue melahirkan gue. Ayah
menolak setiap kali gue nanya tentang apa yang
sebenarnya terjadi.”
“Lalu?”
“Ibu gue nyerahin gue ke Ayah ketika Ayah masih
tinggal sama Mama Keila,” Avi terlihat sekali menahan
sekuat tenaga air matanya. Ia tidak mau terlihat
menangis di hadapanku. Menurutku tidak apa-apa kalau
laki-laki menangis. Kita manusia, semua sama, kuat
atau tidaknya tidak didasarkan pada gender kita.
“Karena ngerasa bersalah, Ayah ninggalin Mama Keila

132
Erika Fridadixa

dan lu. Gue pribadi minta maaf karena kelakuan ibu


gue, hidup lu dan Ayah jadi berantakan, Phi.”
“Lah? Di sini enggak ada yang salah,” responku.
“Kayak yang selalu gue bilang ke Luna, yakni orang
kalau udah jatuh cinta jadi bodoh. Bukan gue ngelarang,
tapi sisain sedikit logika lu ketika mencintai seseorang.
Karena kalau lu berharap banyak sama manusia, sama
aja lu enggak percaya banget sama rencana Tuhan yang
sebenarnya mungkin lebih baik daripada ekspektasi lu.”
“Terus?”
“Mama Vienna enggak salah,” ucapku. “Yang
salah adalah ketika Ayah kenapa mau berhubungan...
uh... badan dengan beliau. Gue enggak tahu siapa yang
ngajak duluan, tubuh kan otoritas masing-masing,
enggak bisa ada yang larang, cuma bisa peringatin aja
kalau seks bebas or say ‘pre-marital sex’ or ‘sex before
marriage’ is kinda dangerous. Therefore, if you wanna do
something harmful, think about the consequences first.”
“Iya. Gue enggak tahu mau ngomong tentang apa
setelah ini,” Avi masih terlihat menahan tangisnya.
Hidungnya sampai memerah. “Gue cuma takut lu bakal
benci gue.”
Benci? Tidak. Bunda tidak pernah
mengajarkanku untuk membenci orang yang telah
berbuat salah kepada kita. Ini bukan salah Avi juga,
memang sudah takdirnya begini. Mau dicegah cuma
percuma, sudah terjadi.

133
PHILOSOPHIA

Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan


memeluknya. Aku tidak peduli apabila ia tidak
menyukainya, karena aku hanya ingin menenangkannya.
“Lu kok meluk gue? Gue malu, Phi.”
“Malu kenapa? Karena gue cewek dan lu enggak
biasa dipeluk cewek?”
“Bukan. Gue malu sama lu, gara-gara gue
keluarga lu–”
“Aishhh, udah lah! Bunda juga udah lupa kali.”
Aku terpaksa berbohong. Sebenarnya Bunda masih
ingat, terbukti dari saat itu, ketika Bunda terlihat
ketakutan dengan kehadiran Avi yang menurutnya mirip
dengan Ayah.
“Lu enggak malu punya adek kayak gue?”
“Ngapain malu,” ucapku. “Biasa aja kali ah. Lebay
dah lu. Melankolis banget. Seharusnya gue yang
melankolis juga, hahaha.”
“Phi,” lirihnya yang memelukku erat. “Makasih.”
Dari awal aku bertemu dengannya, sebenarnya
perasaan ini lebih daripada sekadar jatuh cinta. Aku
tidak jatuh cinta pada orang dengan mudahnya, apalagi
orang itu ternyata adalah adikku sendiri. Perasaan yang
aku rasakan kepadanya adalah rasa sayang sebagai
saudara. Avi benar-benar pembuka jalanku menemukan
ayahku sendiri, meskipun ia tidak secara langsung
menuntunku.
“Lu mau nyari ibu lu enggak?”

134
Erika Fridadixa

“Mau,” jawab Avi. “Gue udah pernah jawab kan


kalau gue mau banget. Tapi gue enggak tahu beliau di
mana.”
Benar juga apa yang dikatakan Avi. Aku–apalagi
ia–tidak tahu di mana Mama Vienna berada. Yang bisa
aku harapkan sekarang adalah semoga kelak Avi bisa
menemukan cara untuk bertemu ibunya.
“Vi? Avi?” panggil seorang pria dari luar. Tidak,
bukan di depan pintu, melainkan dari bawah tangga
rumah. Suaranya tidak terdengar seperti suara Mas
Baskara. Jangan-jangan...
“Mau ketemu Ayah enggak?” ajak Avi. Tanpa
menunggu jawaban dariku, ia dengan segera menarikku
ke luar kamar dan turun dari tangga. Betapa terkejutnya
aku melihat seorang pria yang sekiranya berusia empat
puluh tahunan, berkepala plontos, memakai kacamata,
terduduk di kursi roda berada di hadapanku dan juga
Avi.
Avi melepaskan genggaman tangannya dariku
dan menghampiri pria di kursi roda itu. Aku masih
belum bisa menyangka bahwa beliau yang dimaksud
ayahku oleh Mas Baskara dan Avi.
“Ayah,” ucap Avi seraya mendorong kursi roda
beliau untuk mendekatkannya padaku. “Yang Ayah
tunggu dan cari selama ini, akhirnya menemukan jalan
pulang. She’s home, your daughter, my sister.”

135
PHILOSOPHIA

Terlihat sangat jelas mata beliau berkaca-kaca.


Aku dapat merasakan kesedihan bercampur
kebahagiaan dan penyesalan dari sorot matanya yang
mirip sekali dengan mataku dan juga Avi.
“Phi?” ucap beliau yang menahan air matanya
seraya memanggil namaku. “Philo?”
Lidahku kelu. Aku tidak pernah terbiasa
mengucap kata ‘Ayah’, dan tiba-tiba hari ini, aku
ditemukan dengan orang yang selama ini menjadi misteri
besar di hidupku.
“Iya... Ayah?” aku gugup.
“Hug him. Go ahead. I won’t bother.” Avi berbisik
padaku seraya meninggalkanku hanya berdua dengan
Ayah.
Tidak tinggal diam, aku menuruti kata-kata Avi
dan tangisku pecah seketika. “Jangan pernah
menghilang lagi,” bisikku. “Bunda baik-baik saja. Jangan
bertanya lagi tentang kabarnya, karena beliau tidak ingin
mengetahui tentangmu juga.”
“Ayah paham,”

136
Erika Fridadixa

XI

Tentang Penulis

ERIKA FRIDADIXA. Lahir di Tarakan, 25 Juni 1999.


Kesibukannya saat ini hanya menjalani kuliahnya
sebagai mahasiswi Program Studi Inggris di salah satu
Perguruan Tinggi Negeri dan menjadi tentor paruh waktu
yang mengajar Bahasa Inggris di salah satu Lembaga
Bimbingan Belajar yang ada di dekat kampusnya. Erika
bercita-cita ingin menjadi arsitek ketika kecil, namun ia
juga memiliki hobi menulis sejak sekolah dasar dan baru
berani untuk mewujudkannya ketika kuliah.

137
PHILOSOPHIA

Sinopsis

138

Anda mungkin juga menyukai