Anda di halaman 1dari 194

Sekeluarga Cerita Pendek

#betahdirumah

Harun Malaia – Puput Mei – Rosita Amalia – Faris Rega – Liya Elfiya – Denisa –
Jenur Rohman – Themercyw – Naya Na – Nanou – Hani Hanifah – Hasna D. R. – Lacahya
– Jein Oktaviany – Puan Alya – Adri A Lubis – Fasihi Ad Zemrat – Sakti Ramadhan – Yoga
Palwaguna – Safa Fadhilla R. – Sabrina Lasama – Tegar Tri Pamungkas – Nabilah Shazkya
Farid Hilabi – Hiday Nur – Putri Mawadah.

2
Sekeluarga Cerita Pendek #betahdirumah
Copyright © Prosatujuh 2020

Penyunting
Adri A Lubis
Harun Malaia
Hiday Nur
Jein Oktaviany
Lacahya
Nabilah Shazkya Farid Hilabi
Yoga Palwaguna

Tata Letak
Sakti Ramadhan

Desain Sampul
Tesalonika Sastrawidjaja

Terbit April, 2020

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Pasal 1 ayat (4):

Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang
menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima
lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.

Buku digital ini dengan sengaja dipublikasikan untuk umum secara


gratis atas kesepakatan semua penulis di dalamnya.

3
Kata Pengantar

Beberapa hari lalu, di masa karantina ini, seorang anggota keluarga


prosatujuh bertanya, “Jika musisi bisa bikin konser daring gratis, apa yang
bisa penulis lakukan?” Ketika itu, grup keluarga Prosatujuh memang
sedang bising, karena sepertinya kami semua bosan. Saat itu pula, banyak
sekali ebook ilegal yang disebar lewat WA. Pada saat itu juga, beberapa
penulis membuat proyek untuk mengumpulkan terjemahan serta tulisan
mereka dan dibagikan secara gratis.
Saya pikir penulis bisa melakukan itu. Membuat sebuah aksi
solidaritas—semacam itulah, untuk menemani masa-masa seperti ini.
Membuat satu hal yang bisa dibaca orang lain, dan tentu saja: legal. Maka,
saya iseng mengajak teman-teman lain, untuk membuat karya kolektif.
Lagipula, saya merasa kurang kerjaan, dan saya pikir teman-teman yang
lain pun sama. Akhirnya, jadilah apa yang sedang Anda baca.
Alasan di atas adalah alasan yang teman-teman Prosatujuh tahu,
bahwa Jein sedang gabut dan ingin melakukan sesuatu. Yang mereka
tidak tahu adalah bahwa Jein sebenarnya telah merencanakan sesuatu:
membuat kopdar semua anggota keluarga prosatujuh. Kami semua
adalah orang-orang lintas kota, bahkan lintas pulau yang terbiasa bertemu
daring, dan tak pernah benar-benar ada agenda tatap muka langsung.

4
Rencananya, awal April ini akan saya sebutkan ‘keinginan saya’ itu,
lalu mendiskusikan perihal kapan-di mana-dan-tektekbengek lainnya.
Namun, dengan kondisi yang seperti ini, saya tidak jadi mendiskusikan
itu dengan yang lain. Saya kecewa karena rencana saya harus gagal
bahkan sebelum itu dimulai. Jadi, saya merencanakan hal lain. Ya,
setidaknya kami bisa bertemu lewat karya di sini. Itulah alasan
sebenarnya. Tidak penting memang. Tak filosofis dan tak bermanfaat.
Kurang lebih begitulah. Di akhir kata pengantar ini, saya ingin
ucapkan pada Anda, “Selamat membaca karya-karya kami, semoga
membuat betah di rumah, meski saya harap ketika Anda membaca ini
Anda sudah boleh keluar rumah.”

Jein Oktaviany

5
Daftar Isi
CUBIT
Harun Malaia – 9
Ibu (Tidak) Hilang
Puput Mei – 14
Zubaidah Mencari Suaminya
Rosita Amalia – 21
Mama Tidak Perlu Laporan
Faris Rega – 29
Pubertas Kedua
Liya Elfiya – 37
I Love You, My Teacher
Denisa – 46
Tong Sampah yang Dipukul
Jenur Rohman – 52
Tak Abadinya Hidup Seorang Pelawak
Themercyw – 58
Ellen
Naya Na – 65
Sejumput Tanah Juang
Nanou – 72
Prepararse para La Felicidad
Hani Hanifah – 80
Jerboa: Percakapan Bawah Tanah
Hasna D. R. – 86
Tentangku yang Melahap Mimpi
Lacahya – 92

6
Enam Hal yang Terjadi Sebelum Anjani Mati
Jein Oktaviany – 98
Katarsis
Puan Alya – 103
RIDA
Adri A Lubis – 114
Petuah Kaum Sarungan
Fasihi Ad Zemrat – 121
Gagang Pancing Mahmod
Sakti Ramadhan – 133
Jurnal Mimpi: Naga, Rumah Salju, dan Misi Membunuh Raksasa
Yoga Palwaguna – 141
Menilik
Safa Fadhilla R. – 148
Batas Netral
Sabrina Lasama – 150
Jangan Macam-Macam kalau Mau Aman
Tegar Tri Pamungkas – 164
Yang Sudah, Biarlah Jadi Sejarah
Nabilah Shazkya Farid Hilabi – 174
Jangan Tidur di Malam Hari
Hiday Nur – 182
Sebuah Khilaf
Putri Mawadah – 188

7
8
CUBIT
--Harun Malaia

Anak itu penurut sekali, sekali dipanggil pasti langsung datang.


Sebenarnya perempuan itu sayang padanya. Apalagi itu memang
anaknya sendiri. Namun, jika sakit kepalanya sedang kumat ia jadi
gampang marah-marah sehingga sedikit saja anak itu bertingkah, sudah
cukup memberi alasan untuk mencubitnya.
Cubitan pertama membuat anak itu berjengit dan beringsut pergi,
tetapi ia akan segera memberikan cubitan kedua yang lebih keras dan
menggigit, membuat pecah tangisnya. Untuk pekikan yang begitu lantang,
biasanya ia kembali memberi cubitan terakhir—paling tipis, tetapi paling
lama meninggalkan bekas.
Jika sudah begitu, anak itu biasanya tergolek takut dengan kepala
tertunduk, tangisnya tinggal isakan, dan air matanya kental mengalir dari
hidung. Dengan jari-jari mungilnya ia akan mengusap bekas cubitan
seakan itu bisa menghilangkan sakitnya. Bisa jadi, karena sejurus
kemudian anak itu kembali ceria. Tertawa-tawa memainkan bungkus
permen atau kulit bawang yang ditemukan di lantai. Ia sering iri
karenanya: betapa cepat anak itu kembali berbahagia?

9
Jika sakit kepalanya masih bersisa, ia bisa saja mengulangi ritual tiga
cubitan di paha.
Ia sengaja mencubit paha, karena biru-biru itu tertutupi celana. Meski
tak banyak, semua celana anaknya menutupi paha. Ia tak suka anaknya
hanya memakai kolor meski di dalam rumah.
"Ma-ma ...."
Ia ingat anak itu pernah bisa memanggilnya ‘mama’, tetapi karena
seringnya diulang-ulang, bukan lagi terdengar sedap di telinga, malah
menulikannya. Sehingga ia kembali marah-marah dan menyuruh anak
itu diam. Anak itu penurut sekali, sekarang tak pernah lagi ia bicara

‘mama’. Hanya diam dan tersenyum, seakan apa pun tampak lucu di
matanya. Tentu sambil sesekali mengusap biru-biru di pahanya.
Hanya dalam tidurnya anak itu sering bersedih. Kadang jika
terbangun di tengah malam dan mendapati anak itu sesenggukan,
perempuan itu ikut merasakan sesak yang merambat naik di dada, tetapi
kantuk akan segera mengambil alih, dan ia tak segan-segan
membangunkan anak itu, mengguncangnya. Langkah itu selalu berhasil,
bahkan sejak anak itu baru belajar merangkak. Entah insting atau apa,
biasanya anak itu akan merangkak menjauh, mengendap di sudut tempat
tidur, jauh dari jangkauan tangan—atau kakinya.
Mungkin karena ia pernah menendang anak itu. Tidak keras padahal.
Namun, anak itu memang masih kecil jadi gampang sekali terpelanting.
Ia ingat waktu itu sedang kerepotan mengepel lantai yang tergenang banjir
setelah hujan turun semalaman; anak itu baru belajar merangkak dan
mulai merayap tak tentu arah. Sudah ia peringatkan agar menjauhi air,

10
alih-alih manut, anak itu justru mencelupkan tangan mungilnya di air
keruh. Spontan ia menyentil pantat anak itu dengan ujung jari kaki. Anak
itu terjerembap dengan wajah dan rambut basah kuyup. Ia tak menangis
karena melihat gagang sapunya diangkat. Ajaib sekali. Ia ingat anak itu
susah payah merangkak naik dari genangan air dan duduk di lantai,
terpekur menyadari kini celana dan bajunya basah.
Tentu ada hadiah untuk itu. Tiga cubitan di paha.
Kadang ia berpikir, apa ia gemar mencubit karena anak itu tak pernah
tampak melawan? Suaminya dulu akan balas menempeleng jika sedikit
saja ia mengeluh, padahal yang ia sampaikan benar adanya: uang belanja
kurang, atap bocor, atau celana dalamnya robek.
Hingga suatu malam, tak tahan lagi, dibungkusnya beberapa potong
pakaian dan pergi.
Untuk kemudian menyadari bahwa ia hamil.
Sialan sekali.
Mencari pekerjaan sangat sulit saat mereka tahu ia sedang berbadan
dua. Ada saja alasan untuk menolaknya. Maka ia pulang ke rumah
ibunya. Ia diterima di sana. Sampai tiga hari kemudian ia mendapati
ibunya menelepon suaminya agar menjemputnya.
Maka ia kabur lagi. Setelah sebelumnya mengutip beberapa lembar
uang dan dua kalung emas ibunya. Ia tahu ibunya tak akan mengadu pada
polisi. Dari dulu selalu begitu.
Kali ini ia pergi lebih jauh, berharap tak ada yang mencarinya. Nasib
baik menghampirinya karena selentingan kabar menyampaikan bahwa
suaminya kini membiarkan seorang pelacur mendiami kamarnya yang

11
dulu. Ia ingat sempat bersyukur luar biasa akan berita itu. Tanpa sadar
dielus-elusnya perutnya yang mulai membesar.
Melahirkan bukan perkara gampang karena tak banyak orang mau
membantu tanpa bayaran. Jadi ia mengikat janji dengan seorang dukun
yang matanya hampir buta, bahwa ia akan mencarikan pengobatan
katarak gratis jika dukun itu membantunya mengeluarkan bayi dari
dalam perutnya. Perjanjiannya berhasil, meski tentu ia belum berhasil
membayar dengan operasi katarak gratis—ia tak benar-benar sempat
melakukannya.
Jika melahirkan tak gampang maka mengurus bayi yang keluar
setelahnya jauh lebih tak mudah. Ia sempat kebingungan mengapa bayi
selalu lapar. Apa pun akan segera hilang dalam mulutnya. Suatu ketika,
beberapa bulan kemudian, saking jengkelnya, ia mengganti puting
susunya dengan jempol yang diolesi sambal. Bayi itu menjerit luar biasa
kencang.
Ia ingat itu pertama kali mencubitnya.
Bayi itu tak mau lagi menyusu. Meski dipaksa. Mungkin trauma. Kini
ia tersiksa dengan bengkak sebesar kepala dua buah di dada.
Nasib baik karena salah seorang tetangganya juga punya bayi dan mau
saja disusukan olehnya. Sekadar berterima kasih, ia diberikan beberapa
lembar uang setiap kali melakukannya.
Sampai kini ia melakukannya: menyusui anak tetangga. Sementara
anak itu hanya minum teh hampir basi yang ia sediakan di pagi hari. Anak
itu menurut saja. Kadang ia lebih memilih air putih. Diminum langsung
dari gelas, karena ia trauma puting meski hanya puting palsu. Lebih

12
banyak yang tumpah daripada yang masuk ke dalam mulut kecilnya. Hal
itu biasanya berbuah tiga cubitan di paha.
Kabar tentang ia memiliki air susu berlimpah cepat menyebar di
kalangan tetangga. Kini ia punya tiga orang langganan—rata-rata ibu muda
yang takut payudaranya benyek. Meski awalnya repot karena mereka
banyak bertanya tentang status kesehatannya, tetapi setelah semuanya
beres, ia kini menikmati jerih payah setelah hamil sembilan bulan.
Karena ia memang bukan tipe pemboros, kini ia punya tabungan, dan
tak perlu membeli pakaian bayi karena pelanggannya akan tersentuh
mendengar cerita hidupnya dan memberikan baju bekas pada anaknya
dengan cuma-cuma.
Untuk sesaat ia merasa hidupnya akan lebih bahagia.
Sampai pada pagi celaka itu, dadanya tak lagi bengkak. Ia bingung dan
segera menyadari air susunya telah habis. Sempat dipaksanya anak itu
untuk mengisapnya, guna memancing air susunya keluar. Mungkin
karena trauma, anak itu justru menggigitnya.
Ia menjerit kesakitan dan mendorong kepala anak itu. Tidak keras
padahal. Namun, anak itu memang masih kecil jadi gampang sekali
terpelanting. Didengarnya suara anak itu jatuh dari tempat tidur dengan
suara kepala lebih dulu membentur lantai. Ditunggunya anak itu
merangkak naik. Dipanggilnya.
Namun, tak kunjung anak itu datang.

-----------------------------
Harun Malaia. Sebuah nama pena, karena nama asli sering dikira wanita.
Tulisan lainnya dapat dibaca di harunmalaia.blog
13
Ibu (Tidak) Hilang
--Puput Mei

Borno tidak tahu mengapa Surti menangis. Entah bentakan atau


pertanyaan yang membuat ia sesenggukan. Barusan Borno memang
membentak, dengan sekelumit tanya tentang ke mana ibunya.
Dua jam yang lalu, ia pulang sehabis mengais rupiah di negeri
tetangga. Ia merantau selama sepuluh tahun genap tiga bulan. Sudah
lama sekali ia tak melihat Surti. Istrinya tampak langsing karena sebelum
keberangkatan tuk bekerja jauh, perut Surti membuncit. Namun sama
seperti sebelum Borno meninggalkannya, mata satunya cepat sekali
menghasilkan air mata.
Uang segepok yang didapat Borno sama sekali tak disentuh Surti.
Hanya tergeletak di samping singkong rebus bersama lalat yang
mengerubungi. Baginya tak ada kata menunggu untuk sepuluh tahun
yang ia lalui dengan kesanggupannya seorang diri. Kepulangan Borno tak
ada makna berarti baginya.
Borno mengecek ke kamar kosong tempat kardus-kardus, botol
plastik, buku-buku, serta beraneka ragam sampah kering di sekitarnya.
Rupanya selama Borno merantau Surti bekerja sebagai pemulung. Ia

14
menggigit bibir. Bukan karena melihat pemandangan tak elok di kamar
kosong itu. Atau merasa prihatin dengan istrinya yang banting tulang tuk
berjuang hidup. Namun karena ibunya tak terlihat di sana.
Borno menghela napas panjang. Ingin sekali ia membentak Surti
sekali lagi yang tak becus menemani ibunya. Surti bilang ibunya
meninggalkan rumah.
“Buat apa pula ibu meninggalkan rumah!” teriak Borno.
“Barangkali ibumu menyusul anak bajingannya yang tak kunjung
pulang!” Balas Surti.
Bertahun-tahun di negeri orang, tanpa sepucuk surat mampir pada
Surti dan ibunya, tanpa desas-desus apakah Borno masih hidup atau
sudah mati di sana. Wajar jika Surti susah hati tuk menerima kepulangan
Borno. Ia lantas beringsut, menarik sapu tangan untuk mengelap
ingusnya. Surti berjanji, air mata itu akan menjadi terakhir kalinya
bertandang di pipinya.
Sementara itu, Borno juga beranjak meninggalkan Surti. Ia
mengambil air dari kendi di depan rumah lalu membasuhkan wajahnya
yang kebas. Berharap setan dalam pikirannya, yang menyuruhnya tuk
mencekik Surti hilang seketika.
Dia tak percaya jika ibu berusaha menyusulnya ke Malaysia. Ibu
bukan tipe manusia yang tak penyabar. Dia sering ditinggal merantau
oleh ayah Borno bertahun-tahun, dan dia sanggup menanti kepulangan
ayahnya tanpa harus menyusul.
Sebab ia menampung rindu yang begitu menyesak, Borno segera
mencari sosok kesayangannya. Mula-mula ia pergi ke kantor polisi, lantas

15
melaporkan dengan kasus orang hilang. Surti berkata, ibu meninggalkan
rumah lima tahun yang lalu.
“Mohon maaf mas Borno, untuk kasus pencarian orang hilang
setidaknya dilaporkan 24 jam setelah orang tersebut hilang atau tidak ada.
Sedangkan ibu Mas Borno telah hilang lima tahun lamanya, kami tentu
akan sulit mencari.” Begitu respon Pak Polisi ketika Borno mencoba
mengadu. Untuk kesekian kalinya Borno menelan ludah dengan susah
payah. Ia pikir segala urusan bisa diselesaikan bila melibatkan pihak
berwajib.
Kemudian ia kembali ke rumah. Menemukan Surti menjemur buku-
buku yang basah. Borno tak menghiraukan ketika Surti memaki-maki
sembari melempar tatapan kesal kepadanya.
“Tak perlulah kau cari ibumu, buang-buang waktu saja. Mungkin dia
sudah mati dimakan ikan paus saat berenang untuk menyusul kau,” tukas
Surti.
“Lebih baik urus badanmu biar lebih berisi daripada mencaci ibu!”
ucap Borno.
“Heh, siapa yang tak menafkahiku selama ini? Kaulah biang
keladinya. Ambil itu uang di meja, aku tak butuh duitmu. Pergi saja kau
ke Malaysia!” teriak Surti seraya menahan tangis.
Borno dengan sigap menyambar baju bersih. Ini rumahku, tak akan
pernah aku pergi dari sini. Aku akan membuat ibu kembali ke rumah.
Itu adalah jawaban untuk Surti yang ia simpan dalam hatinya.
Hari ini malam ketiga Borno menempelkan kertas bergambar wajah
ibunya. Pada tembok-tembok bersebelahan dengan potret calon

16
legislatif, pada tiang-tiang listrik, pada papan-papan rumah makan di
pinggir jalan, bahkan di dinding WC umum sekitar pasar. Dia sangat
berharap ada manusia yang mengenal paras ibunya. Meskipun Borno
menyadari kemungkinan itu terlalu kecil.
Besoknya, Borno mendatangi panti jompo, bertanya perihal
kehadiran Kartini. Barangkali nama itu pernah tersemat di daftar panjang
katalog bersama nama orang-orang yang terlupakan oleh keluarga.
“Betul mas Borno, ibu Kartini sempat tinggal di panti ini. Namun dia
sepertinya tidak betah, beliau kabur saat malam hari dan pulang ke
rumah.” Penuturan pemilik panti menimbulkan sedikit kegamangan di
benaknya. Sebelum mengambil langkah, Borno mengucap terima kasih
pada pemilik panti.
Dia tiba di rumah lagi. Hendak menodong Surti dengan pertanyaan
yang menuntut jawaban. Akan tetapi istrinya tak ada di rumah. Borno
membuang tatapannya pada seorang gadis kecil yang tengah berada di
dapur. Bibir serta hidungnya mirip Surti. Namun keseluruhan wajahnya
tampak mirip dengannya.
“Apa kau tahu ibumu ada di mana?” tanya Borno selepas dia terkejut
mendapati anaknya di hadapannya. Seorang anak yang baru pertama kali
bertemu ayahnya. Seorang ayah yang baru pertama kali berjumpa dengan
anaknya. Borno lupa bahwa perut Surti yang membuncit dulu itu tengah
mengandung.
“Aku baru pulang, jadi aku tidak tahu ibu di mana. Biasanya dia pergi
membeli makanan, menjual rongsokan atau mandi di sungai,” jawab
gadis kecil itu sembari menyipitkan mata. Tanda dia segan terhadap

17
orang asing di rumahnya. Gadis kecil itu dititipkan ibunya di panti
asuhan. “Apa ada sesuatu yang ingin disampaikan?” Gadis kecil itu
belajar menerima tamu dengan baik. Terlepas dari kenyataan bahwa
Borno ayahnya.
“Ada. Apakah kau mau menceritakan tentang nenek?” tanya Borno.
“Nenek?” ucap gadis kecil itu berusaha mencerna. “Dia tidak kembali
lagi setelah lima tahun yang lalu.” ujarnya.
“Lima tahun yang lalu? Ke mana dia, apakah benar dia menyusul
Ayah?” Borno benar-benar menelan perkataan Surti.
Gadis kecil itu terkejut mendengar ‘Ayah’ keluar dari mulut Borno.
Namun cengkeraman tangan Borno memaksa ia untuk memulai cerita.
“Waktu itu ... ah, aku tidak benar-benar ingat karena usiaku lima
tahun saat itu. Ibu mengajakku berjalan-jalan bersama nenek sampai di
tempat yang banyak pohon-pohon tinggi. Aku tidak tahu di mana tempat
itu,” tukas gadis kecil itu.
“Terima kasih Nak,”ucap Borno sembari mengusap kepala anaknya.
Borno berlari dengan suasana hati yang bergegas penuh harap. Dia
tahu di mana tempat yang dijelaskan gadis kecilnya. Hutan yang berjarak
sekitar 20 km dari kota tempat tinggalnya. Hutan yang harus ditempuh
dengan melewati Gunung Mas. Satu-satunya hutan yang paling dekat
dengan kota tempat tinggalnya. Tak ada kendaraan yang lalu lalang saat
hari sudah senja.
Di tengah malam yang berselimut kabut tebal, Borno tiada henti
menyusuri rimba yang seolah telah menjadi karibnya. Di negeri
perantauan, dia setiap hari bekerja di tengah hutan mencari pohon sawit.

18
Borno tidak tahu, pikiran dia antara setuju dan tidak setuju. Bagaimana
kalau ibunya tetap tak ditemukan. Dia punya tekad baja untuk
melakukan sesuatu entah hasil yang diharapkan terjadi atau tidak.
Borno menyadari, lima tahun adalah waktu yang sangat terlambat
untuk mencari ibunya. Dan sekarang dia paham siapa manusia terkutuk
yang telah membuat ibu tak ada di rumah.
Dia terbatuk. Dan ia berterimakasih pada suara burung hantu yang
mau menemani seiring ia melangkah. Borno tahu, ada beberapa pasang
mata tengah mengawasinya. Tak apa, selagi itu bukan binatang bertaring,
dia tak takut.
Borno tak habis pikir, bagaimana tekad kejamnya Surti yang berusaha
menelantarkan ibu sejauh ini. Seberapa besar rasa bencinya?
Lalu apa? Setelah beberapa jam menaklukkan tanah yang susah
dilewati, seraya melibas daun-daun rendah yang menghalangi jalannya,
Borno tiba di sebuah gubuk yang hampir roboh. Di depan gubuk itu,
terdapat seseorang dengan rambut setengah beruban tak terawat,
mengenakan baju terusan bergambar batik. Dia sibuk mengupas buah
rambai, yang hanya jatuh dari tangkainya satu tahun sekali. Ibu tak
menyadari keberadaan Borno, namun dia menoleh tatkala langkah kaki
Borno mendekat.
Ibu mematung melihat Borno. Ia tak berkedip selama beberapa
detik. Sampai ada air hangat di pelupuk matanya. Menderas ke pipinya
ketika Borno menumpahkan rindu ke dalam pelukan.
“Surti itu berkali-kali menelantarkan ibu. Aku pernah ditinggalkan di
stasiun, di jalanan, di kota yang begitu jauh. Tapi ibu berhasil kembali ke

19
rumah. Sekarang dia berhasil membuang ibu ke tengah hutan. Dan aku
percaya kau akan menjemputku, Nak.”
Borno mendengar ibu tergeragap menjelaskan sesuatu, akan tetapi ia
tidak dapat memahami.
Sekarang ia punya alasan untuk menyesal, juga sangat bersalah pada
diri sendiri, karena telah meninggalkan ibunya begitu lama. Pertama, ibu
dulu tak bisu. Kedua, ia dulu tak pakai kursi roda.

-----------------------------
Puput Mei. Lahir pada bulan Mei, penyuka drama Korea dan merupakan
seorang Sijeuni. Aktif di komunitas menulis Prosatujuh.
20
Zubaidah Mencari Suaminya
--Rosita Amalia

Mata kelabu seorang penumpang—yang duduk di pojok sebuah


angkutan kota—membasah. Namun, baik sang sopir yang bau tengik
karena seharian kejar setoran dan tak sempat mandi, maupun seorang
penumpang lain yang tak henti mengernyitkan hidung sebab duduk di
samping sopir, tak menyadarinya. Kerudung putih yang ia kenakan
menyembunyikan rambut perak dan sebagian wajahnya. Sesekali bahu
layu itu naik turun. Di lain waktu terdengar suara sedotan ingus yang
meleleh. Zubaidah nama perempuan tua itu.
Semua bermula kala ayam jantan tetangga Zubaidah ngeluruk pagi
tadi dan membuatnya membuka mata hanya demi menemukan bantal,
juga guling yang kapuknya sudah lama mengempis lantas membuat kain
pelapisnya kedodoran, terkapar di sisinya. Bukan, bukan karena ia
menginginkan bantal atau guling baru. Hanya saja pagi itu tak ia temukan
sang suami di sana. Bukankah sudah beberapa hari ia belum juga pulang?
Cemas melanda, tetapi ia harus segera terjaga. Rumah berantakan
minta ia bereskan, nasi harus tanak, panci sayur mesti mengepul. Mana
tahu hari ini sang suami memutuskan pulang? Siapa pula tahu anak

21
perempuan semata wayang yang merantau demi pendidikan tinggi juga
datang?
Memikirkan daftar rutinitas yang minta segera ditunaikan, Zubaidah
bangkit dari kasur kapuk apaknya. Bergegas ke kamar mandi untuk
buang tahi terlebih dahulu. Sementara menunggu dengan tabah
urusannya tuntas, nelangsa datang menemaninya. Abai dengan bau
busuk yang tereguk.
Datanglah pula kenangan tentang diri sang suami. Baginya, Marlan
yang adalah seorang pegawai bank itu, selalu tampil menawan. Zubaidah
suka mencuri-curi pandang melihatnya berangkat kantor. Kebetulan
mereka satu kampung. Rumah mereka hanya berjarak dua tiang listrik
saja. Dan Marlan, dengan motor bebeknya kerap lalu lalang depan
rumah Zubaidah. Kemeja biru masuk celana, ikat pinggang kulit bergigi
emas melilit celana panjang hitam licinnya. Belum lagi rambut kelimis,
kumis tipis, dan senyum manis yang selalu membuat perawan mana pun
kembang kempis. Termasuk Zubaidah yang tentunya saat itu masih
kinyis-kinyis.
“Kau menyukainya?”
Zubaidah belia terkejut tepergok bapaknya tengah memandangi. Pipi
segarnya bersemu merah jambu.
“Bapak setuju kalau kamu kawin sama dia.”
Gayung bersambut. Profesi pegawai bank di kampung Zubaidah tak
bisa dipandang sebelah mata, apa pun posisinya. Bapak Zubaidah yang
adalah priyayi di kota kecil itu pun disegani. Ajakan menjodohkan

22
Zubaidah dengan Marlan mana patut ditolak. Tak perlu waktu lama
untuk mengesahkan hubungan mereka.
Belum juga sebulan pernikahan, dari kabar yang dibawa angin melalui
mulut-mulut tetangga, sampailah pada telinga Zubaidah bahwa sang
suami pernah punya kekasih sebelum menikah dengannya. Dan mereka
masih sesekali bertemu diam-diam. Kata mereka, Marlan hanyalah anak
penurut yang tak tega menolak titah orang tuanya untuk dijodohkan.
Tapi ia masih tak sanggup sepenuhnya berpisah dengan sang kekasih.
Maisaroh namanya. Perempuan berkulit legam, namun semanis gendis.
Kabar itu teramini tatkala tanpa sengaja Zubaidah yang baru kembali
pengajian suatu sore, memergoki dua orang itu di bawah rimbun
dedaunan pisang di kebun tetangga. Ia sangka mereka hanyalah remaja-
remaja ingusan yang tengah kasmaran lantas pacaran sembunyi-sembunyi
agar tak ketahuan. Mulanya ia tak mau risau, tapi begitu mengenali tubuh
sang pria di bawah langit sore itu, serta pakaian yang melekat di
badannya, mata Zubaidah membeliak. Gemetaran, ia pulang membawa
hati yang porak-poranda.
Zubaidah tersentak dari lamunan saat mendengar pintu rumahnya
diketuk. Bayangan sang suami yang ada di depan pintu, membuatnya
buru-buru cebok lalu bangkit. Tak peduli kesemutan di kaki menggigit-
gigit. Ia bahkan berlari. Mengharap rengkuh rindu sang suami.
Senyumnya berseri. Pintu ia buka. Detik itu juga, senyumnya sirna.
Mendapati perempuan separuh baya berbadan tambun, tetangga sebelah
yang memang kerap mengunjungi, datang membawa panci.
“Yu, ini mau saya kembalikan,” katanya dengan cengir basa-basi.

23
Zubaidah ber-o singkat. Menerima panci kosong itu. Berusaha
menutupi kecewa dengan esem tipis.
“Maaf Yu, baru bisa kembalikan ini.” Ia nyengir lagi, “Yang kemarin-
kemarin itu, belum bisa dikembalikan.”
“Ya. Tak masalah. Pakai sajalah dulu. Tak usah khawatir mengem-
balikan,” timpal Zubaidah tak banyak peduli.
Segera setelah tamunya pergi, ia bergegas ke dapur. Memulai aksi
menanak nasi. Sembari menunggu, ia membereskan rumah. Seperti
biasa, kamar sang anak di urutan pertama. Kasur yang lama kosong itu
membuat Zubaidah berpikir untuk menunda niatnya sejenak. Matanya
berkeliling, memindai setiap sudut ruang dan merasakan rindu yang
teramat. Sang anak adalah penyelamat pernikahan mereka.
Kehadirannya yang membuat Marlan berhenti menemui Maisaroh dan
mulai membanjiri Zubaidah dengan kasih. Tak pernah ia merasa
sedemikian bahagia. Musnah pulalah segala cemas.
Hingga beberapa waktu lalu yang tak ia ingat kapan tepatnya,
berembus kabar Maisaroh kembali ke kampung halaman. Dan kini,
terang-terangan sang suami tak pulang-pulang. Rasa cemas yang ia kira
telah dilupakannya, menyerang kembali. Apalagi dirinya tak lagi muda.
Tak pernah ia tahu bahwa menua akan menjadi begitu mengerikan.
Ia beranikan melihat pantulan diri di cermin yang menganggur di
dinding kamar anaknya. Ia tergugu mendapati keriput berkembang biak
pesat di wajahnya. Tak tersisa barang sejejak pun kejelitaan yang segar di
sana. Ia pandangi tangannya. Kulitnya mengendur seperti kulit ayam yang
terlalu lama direbus. Urat-urat biru menonjol, bercabang-cabang

24
menyerupai aliran sungai. Begitu matanya hinggap di jemari tangan
kanan, Zubaidah terkesiap. Cincin kawinnya lenyap.
Panik, ia berlalu ke kamar sendiri. Membuka almari, mencari-cari ke
dalam laci, tempat yang ia yakini di mana emas-emasan tersimpan rapi.
Barangkali ia lupa sempat melepas, lalu menyimpannya di sana saat
berniat mengosek kamar mandi. Begitu laci terbuka, lemas seluruh sendi
keroposnya. Ia hanya menemukan kutang-kutang yang kaitnya telah
digantikan peniti-peniti. Ia bongkar laci itu. Tak ada apa pun. Belum mau
menyerah, ia obrak-abrik seluruh almari hanya untuk berakhir duduk
ambruk di lantai. Tak tersisa barang segiwang pun di sana. Tak pula ia
temukan sehelai pun baju sang suami.
Zubaidah tak lagi ragu. Marlan pasti telah kabur dengan sang mantan
kekasih. Tak tahu dirinya ke mana harus mencari, tapi ia tahu ke mana
mesti melapor.
Begitulah bagaimana akhirnya ia tiba di depan sebuah kantor bank
plat merah. Zubaidah yang berkebaya jingga keluar dari angkutan kota
yang juga jingga itu. Air matanya telah kering, yang tinggal kini hanya
amarah. Siap membuat perhitungan.
Zubaidah pastinya tergeragap ketika mendapati bangunan kantor
telah banyak berubah. Ia hampir saja tak mengenali itu kantor sang suami
apabila ia tak melihat logo bank yang sama. Maka ia hampiri pos satpam
berniat untuk bertanya. Dan makin dibuat bingung karena niatnya itu
justru membuat dirinya ditangkap dan digiring ke kantin belakang kantor
untuk menemui saya, sopir yang diterima bekerja tanpa tes berkat
kekerabatan.

25
Kira-kira demikian kisah yang saya dengar darinya, lalu saya bangun
lagi sendiri dengan sedikit bumbu di sana-sini. Mendengar ceritanya, saya
selalu bingung, tak tahu apa mesti saya katakan. Maka saya ajak saja ia
pulang, seperti biasa.
“Saya ini mau ketemu bos di sini. Saya mau lapor suami saya
berselingkuh. Lama tidak pulang. Kamu ini siapa?”
Saya menggeleng. Mendesah panjang. Lantas berkata untuk ke sekian
kali, “Saya mantu Ibu.”
“Mantu? Anak saya masih kuliah. Belum kawin.”
Apa mau dikata? Iya. Anaknya memang pernah kuliah keperawatan
di kota. Bertahun-tahun lalu. Belum tamat kuliah, ia bertemu saya dan
pulang minta dikawinkan karena bunting. Tolong, jangan hakimi saya.
Setidaknya, saya tidak lari dari tanggung jawab, bukan?
“Bu, ayo, tinggal sama saya saja. Nanti bisa main sama putu.” Saya
lembutkan suara saya. Berharap ia luluh mendengar kata putu.
Di luar dugaan ia malah memelotot. Saya menepok jidat. Ah, ya
anaknya belum kawin.
“Kamu sembunyikan suami saya ya? Ke mana ia? Emas-emasanku ia
gasak semua.”
Ah. Emas-emasan ibu mertuaku bukannya hilang. Perlahan saya coba
jelaskan padanya, “Ada, Bu, emas-emasan Ibu. Disimpan anak Ibu,
sebab para tetangga suka meminjamnya dan sering tak kembali. Tak
hanya emas, Bu. Uang, panci, wajan, kutang juga. Sudah lama kami tak
membiarkan Ibu menyimpan emas, atau uang pensiun Bapak.”

26
Saya meneguk ludah. Atau lebih tepatnya meneguk segumpal
pengakuan yang sudah sekian lama tertunda-tunda untuk disampaikan.
Mau bagaimana lagi, penghasilan pas-pasan seorang sopir dengan istri tak
bekerja menyebabkan lubang-lubang utang kian hari kian beranak-pinak.
Saya pakai sedikit uang, juga emas ibu mertua saya. Belum lagi, beberapa
hari lalu, anak ketiga kami sempat opname karena diare.
Ibu mertua saya tergugu, “Suami saya lari sama mantan kekasihnya,
Maisaroh. Ia kembali dan menggondol suamiku.”
“Duh, Ibu. Maisaroh memang dibawa pulang oleh anaknya ke tanah
kelahiran. Tapi untuk dimakamkan. Ia pulang karena mati.”
Kian jadi sesengguknya. “Lalu ke mana suamiku?” rintihnya
mengibakan.
Saya makin tak tega untuk menyampaikan keseluruhan kebenaran
bahwa bapak mertuaku sudah lama terkena stroke. Ibu tak pernah
beranjak dari sandingnya sampai ajal menjelang, tujuh tahun silam.
Semenjak itu, perlahan Ibu mulai pikun. Dokter memvonis kondisinya
tak akan membaik dan akan terus menurun. Hanya memori jangka
panjang juga rutinitas lama yang akan awet.
Benar saja. Sudah tiga kali dalam seminggu ini, Ibu datang ke kantor
mencari Bapak. Dengan tangis, dan protes yang sama. Maka, saya
biarkan ia merasa tuntas.
Reda tangisnya, ia termenung. Hanya duduk memandangi gelas berisi
air putih hangat yang saya suguhkan dan ia biarkan tak tersentuh.
“Ibu, sudah enakan?” tanya saya beberapa hela napas kemudian.

27
Ia menoleh dan terkejut. Memandang saya dengan tanda tanya tercap
jelas di dahi.
“Siapa kamu?” Matanya berkeliling, “Sudah sore.” Ia bangkit.
“Mau ke mana lagi, Bu?”
“Pulang. Saya belum menanak nasi. Suamiku sebentar lagi pulang.”

-----------------------------
Rosita Amalia. Penulis lahir di Semarang. Selain membaca, ia juga hobi menulis
dan melukis.

28
Mama Tidak Perlu Laporan
--Faris Rega

“Saya tidak sengaja membunuh adik.”


“Saya hanya mengajaknya berenang di sungai, lalu adik hanyut dan
saya memungut jasadnya.”
“Kalau adik mati karena saya, saya benar-benar tidak sengaja.”
“Ma, saya tidak mungkin membunuh adik, saya betul-betul tidak
sengaja.”
Saya berlari mengelilingi jasad adik sambil memegangi kepala yang
rasanya sudah mau pecah dan menghamburkan otak saya yang kata
orang isinya adalah kosong. Saya sudah latihan berbicara agar dapat
memberikan laporan terbaik pada mama. Adik mati saat bermain
dengan saya. Mama sayang adik. Dan mama tidak akan menyayangi
seseorang yang membunuh adik.
“Tapi saya tidak membunuh adik. Adik hanyut.” Saya menanamkan
keyakinan itu di diri saya. Walaupun di hati kecil saya, saya masih
menyalahkan diri sendiri. Adik mati karena bermain dengan saya.
Air sungai yang deras memperdengarkan jeritan adik, jeritan adik
yang tertahan-tahan karena mulutnya kemasukan air setiap kali ia

29
menjerit. Sedangkan saya, saya hanya mengejarnya di pinggiran sungai,
saya tidak berniat untuk berenang atau menyentuh air sungai, saya juga
takut tertelan air sungai seperti adik, makanya saya lari di pinggiran sungai
saja. Lalu, adik berhenti menjerit-jerit, saya tegang, saya takut.
“Adik, jangan putus semangat! Cepat menjerit lagi, saya akan
mengejarmu.”
Adik tidak mendengarkan perintah saya.
Saking derasnya air sungai, sebentar saja sudah membawa adik
sampai ke surga. Saya baru tahu hari ini bahwa kecepatan terdahsyat
dimiliki oleh air sungai, tentu saja jarak sungai dan surga sangat jauh, dan
sungai berhasil membawa adik ke surga hanya dalam hitungan menit saja.
Dan saya yakin saya tidak akan dapat membawa adik pulang ke rumah
sesuai janji saya pada mama sebelum kami berangkat bermain, meskipun
saya susul adik ke sana.
Saya menangis. Meraung-raung sambil mencari kayu untuk
menggapai jasad adik. Saya berlari mengikuti arus sungai, mata saya
berlari mencari kayu panjang, dan otak saya pun berlari mencari cara
menjelaskan semua ini kepada mama. Mama memang baik, tetapi saya
tidak yakin kalau hari ini mama akan memaafkan kesalahan saya. Mama
memang tidak pernah marah, tetapi saya tidak yakin kalau hari ini mama
akan mengelus kepala saya dan bilang tidak apa-apa sayang. Mama
memang selalu menenangkan saya kalau saya berbuat kesalahan, tetapi
saya tidak yakin hari ini mama akan membuatkan saya susu dan
menyediakan biskuit cokelat untuk saya. Mama memang berpikiran

30
jernih, tetapi saya tidak yakin pula kalau hari ini mama akan menganggap
membunuh adik bukanlah sebuah kesalahan besar.
Saya sering sekali membuat kesalahan yang menurut saya memang
sangat kacau. Saya pernah memukuli teman sekolah saya karena kami
rebutan tempat duduk. Saat itu saya masih kelas tiga SD. Ada seorang
anak baru yang mainannya banyak sekali, ia duduk di belakang. Saya
ingin duduk bersama anak itu, dengan begitu saya bisa meminjam
mainannya dan bermain sepuasnya. Tapi, teman saya sudah mendahului,
ia sudah duduk bersama si anak baru. Saya marah bukan main. Saya
tantang dia ribut, yang menang boleh duduk bersama si anak baru. Dia
setuju dan kami berkelahi. Tentu saja saya memenangkan pertarungan,
teman saya sampai mimisan karena saya tendang wajahnya. Tapi, alih-
alih duduk dengan si anak baru, saya malah duduk di ruang kepala
sekolah, guru saya menyeret saya ke sana. Si anak baru pun duduk
bersama orang lain, ia takut duduk bersama saya. Mama saya dipanggil
dan diceritakan semua kejadiannya. Tapi mama tidak memarahi saya,
Mama justru meminta maaf atas apa yang tidak mama lakukan. Saya lalu
pulang bersama mama. Hari itu saya tidak masuk sekolah, baguslah, saya
bisa main di rumah bersama adik yang masih kecil.
Mama menyuruh saya duduk dan meminta penjelasan saya mengenai
kejadian itu.
“Tidak apa-apa, katakan saja. Mama pasti mempercayaimu.” Mama
meletakkan biskuit dan susu di meja di depanku.
“Anak itu merebut tempat dudukku.”
“Seharusnya tidak boleh merebut hak orang lain.”

31
“Makanya aku hajar dia.”
“Tapi berkelahi juga tidak boleh.”
Aku tidak menjawab. Aku lebih memilih untuk memakan biskuit saja.
Pikiranku jadi tenang.
Keesokan harinya aku kembali bersekolah. Temanku yang lemah itu
tidak terlihat sekolah hari ini. Dan si anak baru tampak takut padaku. Ia
selalu mencoba memalingkan wajahnya kalau-kalau tidak sengaja mata
kami berpapasan. Aku merasa baik-baik saja. Toh hari ini aku membawa
mainanku sendiri, Mama membelikannya kemarin. Persis sekali seperti
milik si anak baru. Mama memang sangat baik dan pengertian.
Sebenarnya saya pernah berpikir bagaimana mama bisa mengetahui
permasalahan ini padahal tidak saya ceritakan. Seperti mainan itu, saya
kan tidak bercerita saya berkelahi karena ingin mainan, tapi mama
langsung membelikan mainan yang sama persis dengan si anak baru.
Pernah pula sekali waktu saya dan teman-teman mencuri mangga
milik seorang nenek yang rumahnya jauh dari rumah saya. Kami
mencurinya karena hari itu si nenek yang rumahnya jauh dari rumah saya
tidak kelihatan, mungkin ia sedang keluar rumah dan meninggalkan
pohon mangganya yang sangat lebat itu. Kami memutuskan untuk
memanjat pohon itu. Saat itu saya sudah kelas empat SD dan sudah bisa
memanjat pohon. Tapi sialnya, di pohon itu si nenek yang rumahnya
jauh dari rumah saya menyimpan perangkap. Di pohon itu terdapat
sarang tawon yang cukup besar dan tidak sengaja saya melihatnya, saya
memang tidak menyenggolnya, tapi saya sangat ketakutan dan akhirnya
saya jatuh. Kaki saya patah dan saya pulang sambil menangis dan

32
dibopong teman saya. Dalam hati saya mengutuk nenek yang rumahnya
jauh dari rumah saya, semoga saja ia akan gatal-gatal semalaman karena
telah berbuat jahil pada kami. Dan sampai mencelakakan pula.
Sesampainya di rumah, saya langsung menagis di depan mama yang
sedang membaca koran. Teman-teman saya sudah pulang. Mereka
hanya mengantar sampai depan rumah. Saya berjalan pincang lalu
menangis sekeras-kerasnya. Mama tampak terkejut.
“Kenapa, Sayang?”
“Kaki saya sepertinya patah.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Saya jatuh saat memanjat. Pohonnya membuat saya takut.”
Mama lalu mengelus kepala saya, “Tidak apa-apa. Kau kan anak
kuat.”
Mama lalu pergi ke dapur dan kembali dengan nampan yang berisi
biskuit, susu, dan kotak P3K. Mama merawat saya dengan baik. Adik
hanya memerhatikan saya yang menangis, sesekali adik menghampiri
untuk meminta biskuit saya. Setelah itu saya tertidur karena kelelahan.
Mama sudah menggantikan pakaian saya saat saya tidur. Betapa
bahagianya memiliki mama yang penyayang.
Saat saya terbangun, saya sudah berada di kamar yang penuh oleh
keranjang buah mangga. Lagi-lagi, mama memang sangat pengertian.
Ternyata kaki saya tidak parah, tidak sampai patah, hanya terkilir saja.
Jadi dalam waktu tiga hari saya sudah bisa sekolah, bahkan sudah bisa
berlari lagi, dan saya yakin saya bisa memanjat lagi. Saya mengajak teman-
teman untuk kembali ke pohon mangga si nenek yang rumahnya jauh

33
dari rumah saya. Kali ini, saya harus berhasil mencuri mangganya,
walaupun di rumah saya banyak mangga, tapi ini adalah seperti
pembalasan dendam untuk si nenek yang rumahnya jauh dari rumah
saya. Betapa terkejutnya! Buahnya sudah habis! Memang si nenek yang
rumahnya dari rumah saya rakus sekali. Sudah rakus, jahil pula.
Akhirnya saya pulang dengan tangan kosong dan dendam yang masih
belum terbalaskan.
Saya beristirahat di rumah karena kelelahan oleh misi balas dendam
yang gagal itu. Tapi kelelahan itu rasanya sudah hilang saat melihat foto
mama yang tergantung di dinding. Banyak sekali kebaikan mama yang
membuat saya bahagia dan ingin selamanya hidup di dunia. Walaupun
mama hanya bekerja sendiri, tanpa ayah, tapi mama sangat hebat. Saya
tidak ingin menceritakan ayah, mama tidak menyukainya. Mama tidak
menyukai seorang lelaki yang suka bermain dengan perempuan.
Makanya teman-teman saya lelaki semua.
Tunggu, mama juga tidak suka seorang pembunuh. Saya tahu itu
karena pernah melihat mama menangis sambil mengoceh saat menonton
televisi. Saat saya bertanya ada apa dan kenapa, mama menjawab tokoh
kesayangannya dibunuh dan mama benci pada pembunuhnya. Dan, saya
yakin betul, adik merupakan tokoh kesayangan mama. Saya yakin sekali.
Saya kelelahan berlari sambil mengingat-ingat kebaikan mama yang
agak membuat saya tenang, setidaknya saya yakin mama tidak akan
terlalu marah, toh saya pun pasti tokoh kesayangan mama juga. Kalau
mama benci tidak akan benci sekali. Saya pasti dapat memperbaikinya.

34
Saya juga kan tidak sengaja membunuh adik. Adik hanyut saat kami
berenang di sungai. Saya tidak sengaja, benar-benar tidak sengaja.
Jasad Adik tersangkut di batu yang besar. Syukurlah, saya bisa
menariknya dari pinggiran kali. Saya tidak mau berenang, takut
tenggelam. Walaupun sekarang airnya sudah tenang, tapi saya tidak suka
berenang di sungai dan saya tidak mau pakaian kesayangan saya basah,
juga mainan peninggalan adik yang saya pegang ini, saya tidak mau
kenang-kenangan ini basah apalagi hanyut. Saya menarik kaki adik, dan
akhirnya saya mendapatkannya. Saya biarkan dulu sampai pakaian adik
cukup kering, setelah itu saya gendong adik menuju ke rumah.
Di depan rumah saya sudah menyiapkan kata-kata terbaik jika nanti
mama bertanya, “ada apa, Sayang?” atau minta penjelasan seperti “tidak
apa-apa, katakan saja. Mama pasti memercayaimu.”
“Saya tidak sengaja membunuh adik.”
“Saya hanya mengajaknya berenang di sungai, lalu adik hanyut dan
saya memungut jasadnya.”
“Kalau adik mati karena saya, saya benar-benar tidak sengaja.”
“Ma, saya tidak mungkin membunuh adik, saya betul-betul tidak
sengaja.”
Semua kalimat itu seolah sudah tertanam di otak saya. Saya hanya
tidak yakin mama akan begitu saja memaafkan saya. Setidaknya mama
pasti memarahi saya dalam waktu paling lama satu minggu.
Saat saya semakin dekat ke rumah, saya rasa rumah saya kosong. Dan
terlihat seperti kapal pecah. Ada air mata mama mengalir dan
menggenang di teras. Saya masuk, tapi mama tidak ada. Saya berteriak

35
memanggil nama mama, saya takut, rumah saya sangat menyeramkan.
Seperti telah dihancurkan. Foto mama hilang. Bingkainya sudah
tergeletak di bawah, saya mengambilnya dan di sana ada mama. Walau
hanya suaranya saja.
“Ambil biskuit dan susumu sendiri. Mama sedang ke surga
menjemput adik.” Saya sedikit heran. Kenapa kali ini tebakan Mama
meleset? Kenapa mama harus menjemput adik.
Ya, Tuhan! Saya baru sadar, ternyata di sebelahnya ada mainan yang
sama persis dengan mainan adik. Ternyata, mainan itu ada dua. Dan saya
menyesal.
Mama benar-benar begitu mengerti, padahal untuk dua kejadian ini,
saya belum mengatakan apa-apa pada mama. Tapi mama sudah tahu.
Namun, saya tidak yakin, apakah kali ini mama akan pulang dan
membawa adik?

-----------------------------
Faris Rega. Lahir di Sukabumi pada Maret, 2001. Ia menulis dan berkembang
bersama Prosatujuh. Dapat dihubungi melaluiWA (081386123515); Instagram
Fr.rega; atau surel fregariswana09@gmail.com.

36
Pubertas Kedua
--Liya Elfiya

Bunyi alarm di atas meja belajarku petanda jatah tidurku sudah habis
sekarang. Perlahan aku mencoba membuka mataku, “Ah iya pagi ini
harus ke kampus,” lirihku sembari mengumpulkan nyawa yang
separuhnya masih berada di mimpi barusan. Kemudian aku bergegas
menuju kamar mandi dengan membawa handuk biru mudaku.
Setelah mandi dan sarapan, aku langsung berpamitan dengan ibu dan
ayahku yang masih khusyuk menyantap menu pagi ini. Kuhampiri juga
Dion, adikku yang usianya setengah dari umurku, 10 tahun. Ia masih
betah juga duduk di atas kursi makan sambil menggenggam robot
Ultraman kesayangannya. Seperti biasa aku mencuri lauk di atas
piringnya, lalu kumakan lantas pergi.
“Ibu …. Kakak, Bu,” rengek Dion dengan wajah yang masam.
“Kebiasaan ini anak, jahil banget sama adiknya sendiri,” teriak ibuku
melihat tingkahku yang tidak pernah berubah. Ayahku hanya geleng-
geleng kepala saja sambil ketawa ringan.
Ayahku adalah seorang pengusaha busana, di mana pakaian-pakaian
yang terjual di kantornya kebanyakan digunakan untuk pemotretan para

37
model. Ada juga jasa penyewaan, tetapi diletakkan terpisah dari kantor
pusat ayahku. Sedangkan ibuku adalah ibu rumah tangga yang waktunya
dihabiskan untuk menyiapkan keperluan ayah, Dion, dan aku pastinya.
Selain itu, ibuku juga yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Lariku terhenti di depan mobil ayah yang sudah bersih dicucikan oleh
Pak Tito, tukang kebun rumahku. Pak Tito ini selain membersihkan
kebun rumahku, ia juga rajin mengerjakan pekerjaan lainnya, seperti
mencucikan mobil ayahku meskipun tidak ada yang menyuruhnya.
“Pak Tito, makasih, ya, sudah mencucikan mobil ayah.”
“Iya, Mas, sama-sama. Sekalian olahraga pagi,” tuturnya dengan
menggerakkan kedua tangannya ke samping punggungnya.
“Ya sudah, Pak, saya pamit ya mau ke kampus. Jangan lupa nanti
ngopi bareng sambil nonton Moto GP.”
“Iya, siap, Mas. Hati-hati, ya, di jalan.”
“Baik, Pak,” kataku sambil tersenyum tengil.
Aku ambil sepeda United Dominate-ku, sahabat perjalananku ke
kampus. Sepeda ini yang menjadi alasanku agar tidak menolak
berolahraga setiap hari, meskipun di rumah ayah sudah membelikanku
motor, tetapi aku rasa lebih menyenangkan jika bersepeda.
Ketika sedang asyik mengayuh sepedaku, pandanganku nyaris
terlewatkan ketika aku melihat seorang kakek tua yang berjualan
peralatan dapur, ia duduk bersandar di bawah pohon rindang.
Pakaiannya yang kusut dan terlihat banyak bercak noda yang menempel
di setiap sudut bajunya, hal tersebut membuat aku merasa iba ingin
bertanya tentang kondisinya. Rasanya aku ingin mencoba mendekati

38
kakek tua itu. Tetapi, sayangnya waktu sudah pukul 07.20 WIB, artinya
sepuluh menit lagi pintu kelas akan ditutup. Niatku untuk mendekati
kakek tua itu akhirnya tertunda.
Sampai di kelas, aku langsung mengarahkan pandanganku ke arah
meja dosen. “Huffff … untung belum datang.”
Selesai sudah perkuliahan hari ini dan waktunya aku pulang. Sore ini
ada tontonan yang aku sukai bersama Pak Tito. Di perjalanan pulang aku
tidak lagi melihat sosok kakek tua yang tadi pagi aku lihat. Waktu tak
terasa terus berlalu. Aku masih saja penasaran dengan perginya kakek
tua yang hanya aku lihat setiap pagi saja, tetapi setiap aku pulang dari
kampus pasti kakek itu sudah tidak ada. Apa aku harus mendatanginya
saat akhir pekan?
Akhir pekan pun tiba, Aku pun pergi ke tempat di mana aku biasa
melihat kakek tua itu. Benar saja ternyata dirinya berjualan setiap hari,
nampaknya tidak ada waktu libur berdagang baginya.
“Kakek, ini berapa?” Awal obrolanku dengan memegang piring rotan
yang sedikit berdebu.
“Iya, Nak, itu satuannya sepuluh ribu,” jawab kakek dengan senyum
sambil memandangi wajahku yang juga tersenyum.
“Kakek udah lama berjualan di sini?” tanyaku.
“Sebenarnya jualannya sudah lama, cuma mangkal di sininya sudah
sekitar dua mingguan.” Rupanya setiap zuhur tiba, kakek pergi menuju
lapak selanjutnya, karena ia tahu tempat ini sering didatangi Sapol PP
menjelang siang hari.
“Kakek masih punya istri atau anak di sini?” tanyaku penasaran.

39
“Kakek sudah tidak tahu kabar dari istri dan anak-anak kakek, Nak.”
“Loh, kenapa, Kek?”
Kakek hanya kembali tersenyum kepadaku. Aku salut dengan
ketabahan kakek yang aku sendiri saja masih belum mampu
membayangkan jika aku berada di posisinya. Segala kebutuhanku
tercukupi, tetapi terkadang aku tidak pandai untuk bersyukur. Obrolan
kami pun semakin menyenangkan dan kakek juga selalu banyak
memberiku nasehat.
Hari demi hari tak terasa kian berlalu, kami pun semakin dekat.
Semenjak aku mengetahui rumah kakek, aku selalu sempatkan waktu
luangku untuk ke rumahnya.
***
“Dion,” panggilku sambil melihat dirinya yang sedari tadi bermain
robot Ultraman di ruang tengah.
“Iya, Kak,” jawabnya.
“Ambil buku belajarmu. Sini belajar sama kakak. Soalnya sudah lama
kakak tidak memarahimu, jika kamu ketahuan tidak bisa menyelesaikan
soal yang kakak berikan. Cepat! Kita belajar di kamar kakak saja.”
Kulihat Dion yang bergegas pergi ke kamarnya dengan membiarkan
robot Ultraman-nya tergeletak di meja tengah. Nampaknya dia lebih
takut dengan perintah kakaknya daripada mengamankan robot
kesayangannya.
“Dion! Ini apa-apaan? Kenapa buku tulismu ini lebih banyak gambar-
gambar tidak jelas seperti ini? Catatan matematikamu cuma segini saja?”
Amarahku mulai berkobar-kobar ketika membuka buku catatan Dion.

40
Dion hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan yang barusan aku
katakan.
“Ya sudah. Jika kamu masih diam saja seperti ini. Kakak mau kamu
coba mengerjakan soal halaman sepuluh. Ini pasti sudah pernah dibahas
sebelumnya.” Kuberikan buku paket Pelajaran Matematika kepadanya.
Benar saja setelah beberapa menit dia mengerjakan soalnya, dia
masih belum bisa menyelesaikannya.
“Dion, dengerin kakak, ya! Pokoknya kalau kamu enggak mau
berubah. Dan masih saja seperti ini. Kakak akan bilang ke ayah dan ibu
biar uang jajan kamu dikurangi ….”
“Pyaarrr!”
Belum sempat kulanjutkan perkataanku kepada Dion. Seketika aku
dan Dion kaget mendengar suara barang pecah terjatuh. Kemudian kami
tengok ke sumber suara tersebut. Ternyata suara tersebut berasal dari
kamar ayah dan ibu, kami melihat beling-beling kaca dari vas bunga yang
sudah tergeletak di lantai.
“Jadi kamu sudah tidak percaya dengan aku? Iya?” Tiba-tiba ayah
marah sambil memandangi wajah ibu.
“Yah, bagaimana aku bisa percaya denganmu sekarang, jika aku
melihat semua ini!” pungkas ibu yang juga sama marahnya seperti ayah.
Kami hanya diam mematung. Tidak menyangka bisa melihat
perkelahian mereka yang bagi kami ini yang pertama kalinya. Kami tatap
mereka berdua yang berjalan beriringan ke arah ruang tengah. Tidak
sadar pula ibu membuat robot Dion terjatuh dari meja yang kemudian

41
diinjak oleh kaki ayah. Nampaknya robot Dion terlontar-lantir oleh kaki
mereka.
Kami masih berada di kamar. Aku memeluk Dion, mencoba untuk
menenangkannya, terlebih untuk mengikhlaskan rusaknya robot
kesayangannya. Aku takut peristiwa ini membuatnya menjadi trauma.
Usianya yang masih kecil, seharusnya tidak melihat perkelahian orang
tuanya sendiri.
Malam itu menjadi momok yang cukup mencekam bagiku. Awalnya
aku sedang memarahi Dion, tetapi seketika itu amarahku reda dengan
kekecewaan dari orang tuaku sendiri. Meskipun aku tak tahu pasti apa
yang sedang mereka permasalahkan, tetapi aku mulai bertanya-tanya
dengan majalah yang ibu pegang barusan.
“Bukankah itu majalah yang rutin ibu baca setiap sore? Tunggu, itu
kan majalah dari klien ayah? Setahuku bukankah pakaian-pakaian para
model yang ada di majalah itu dari kantor ayah?” lirihku dalam hati.
Kemudian aku memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja ayah.
Aku ingin mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku memulainya dengan
membuka lemari kerja ayah, mencoba membuka rentetan map yang
tertata rapi di sana. Tatapanku beralih ke laci bawah lemari ini. Setelah
kubuka, benar saja aku menemukan sebuah foto ayah bersama seorang
wanita. Rupanya wanita tersebut model majalah milik klien ayah yang
pernah kulihat juga di kantor ayah. Di balik foto tersebut tertulis kata
“love”.
“Apa ini yang membuat mereka bertengkar?” Tatapan sinisku
melihat potret wanita tersebut.

42
Semenjak peristiwa pertengkaran kedua orang tuaku, rumah menjadi
sunyi. Tidak ada lagi canda tawa yang selalu menghiasi wajah kami.
Kemudian sore itu, aku putuskan untuk ke rumah kakek. Berharap
ketika aku bertemu dan bersenda-gurau dengannya, kesedihanku
menjadi berkurang. Tetapi, tidak bisa aku pungkiri ketika kakek mulai
menanyakan keadaanku yang tidak biasanya. Aku pun terpaksa
menceritakan semuanya kepada kakek.
“Kamu tahu kenapa kakek sekarang sebatang kara?” Kakek mulai
bercerita.
Ternyata Kakek pernah diam-diam berselingkuh dengan asisten
rumah tangganya, hingga keduanya memiliki seorang anak. Karena
merasa sakit hati, istri dan anaknya meninggalkannya seorang diri.
Kemudian dirinya menikah dengan asistennya tersebut. Malang, ternyata
istri barunya hanya ingin menguras habis hartanya. Masa lalunya tersebut
yang membuatnya sekarang menjadi sebatang kara.
“Nak, seburuk apapun kelakuan ayahmu, ia tetaplah ayahmu. Yang
jelas, dia sudah banyak berkorban untuk hidupmu. Cobalah kau bujuk
ibumu bicara baik-baik ke ayahmu, carilah solusi bersama,” kata kakek
sambil mengusap-usap pundakku.
“Iya, Kek.” Nasihat kakek yang membuatku menunduk merenung.
Sepulang dari rumah kakek, aku langsung menemui ibu. Ia rupanya
sedang menyiapkan makan malam di dapur. Kulihat dirinya sedang
menggoreng ayam kesukaanku.
“Ibu, ayah tidak pulang lagi malam ini? Apa gak sebaiknya
dibicarakan baik-baik dengan ayah, Bu.”

43
“Ibu juga maunya seperti itu, tapi setiap melihat ayahmu, ibu bawa-
annya emosi terus.”
“Ayolah, Bu, demi aku dan Dion.” Ibu tersenyum sambil menu-
angkan jus jambu kesukaan Dion.
***
Ibu mengirimi sebuah pesan WhatshApp untukku, ia berpesan,
sepertinya jam makan siang nanti ia masih ada urusan di luar. Ia juga
berpesan, agar aku tidak mengganggu Dion saat dirinya sedang makan.
Aku hanya membalasnya ‘ya’.
“Mas.” Aku dikagetkan dengan kedatangan suara Pak Tito.
“Ah, Bapak, mengagetkanku saja.” Kemudian Pak Tito pergi setelah
berbicara mengenai ayah kepadaku. Beberapa hari yang lalu, Pak Tito
melihat ayah menangis di kebun belakang rumah. Entah apa yang
membuatnya menangis, tapi yang jelas menurut pengakuan Pak Tito,
ayah menangis setelah bertengkar dengan ibu.
Malam yang sunyi terasa amat sepi, ditambah ibu pergi dan belum
kembali. Aku dan Dion duduk di sofa ruang tengah, memandangi
tontonan animasi di layar televisi. Tiba-tiba saja Dion mendekatiku,
memelukku dan menangis.
“Kak, maafkan Dion, ya. Dion janji akan rajin menulis di sekolah,
rajin belajar juga di rumah.” Aku menghapus air matanya, memberinya
senyuman agar dia bisa tenang. Aku rasa ada pikiran yang meng-
ganggunya, membuatnya tiba-tiba berkata demikian. Mungkin saja ia
teringat di malam mencekam itu saat setelah aku memarahinya.

44
Kemudian mataku dan Dion menoleh melihat kepulangan ibu, yang
kemudian disusul dengan kedatangan ayah di belakang ibu. Mereka
berdua memeluk kami, mencium kening kami dan duduk bersamaan di
sofa.
Mereka berdua tersenyum lebar, seolah-olah tidak terjadi sesuatu
sebelumnya kepada mereka. “Ibu dan ayah memutuskan untuk
melupakan masalah yang terjadi sekarang. Hidup bersama kembali
seperti sedia kala,” kata ibu sambil memandangi aku dan Dion.
Ayah dan Ibu pun meminta maaf kepadaku dan Dion, karena
membiarkan aku dan Dion menyaksikan perdebatan mereka berdua.
Mereka menyesal sudah membuatku dan Dion bersedih, terlebih ayah
yang menjadi sebab kami bersedih. Ayah khilaf sudah membuat
kesalahan fatal dengan berselingkuh dengan rekan kerjanya, tidak
seharusnya malam itu ayah mengelak menutupinya.
Ketika kami sedang asyik bercengkerama, tiba-tiba aku spontan
berkata, “Oh iya, apakah ayah sudah membuang foto yang berada di
bawah laci lemari kerja ayah?”

-----------------------------
Liya Elfiya. Penulis lahir di Pemalang. Saat ini ia aktif berstatus sebagai
mahasiswi. Selain sedang berkutat mencari referensi untuk skripsinya, ia juga
turut berkegiatan di Forum Lingkar Pena (FLP) serta Prosatujuh. Baginya,
menulis merupakan fase terbaik untuk mengekspresikan lamunan. So, writing is
valuable.

45
I Love You, My Teacher
--Denisa

Jam di pergelangan tanganku telah menunjukkan pukul lima sore. Itu


artinya sudah tiga puluh menit aku menunggu di kursi taman ini. Jika
harus menunggu seharian pun rasanya aku tidak akan keberatan sama
sekali demi bertemu kembali dengannya. Meski kami tetap
berkomunikasi lewat media sosial selepas kelulusanku, tetap saja rasa
rindu itu tak kunjung reda. Rindu yang sudah memenuhi rongga dadaku
harus dibayar dengan sebuah pertemuan, dan inilah waktu yang
kutunggu. Ya, ia adalah seseorang yang begitu spesial bagiku.
Sejujurnya, laki-laki yang kumaksud itu tidak lain adalah guru SMA-
ku. Lebih tepatnya dia guru musik. Dialah yang mengubah kehidupan
SMA-ku yang awalnya terasa seperti neraka menjadi layaknya nirwana.
Aku yang awalnya menjadi korban perisakan akhirnya menjadi bintang
sekolah berkat bimbingannya mengembangkan bakat terpendamku
dalam bidang musik. Berkat kebaikan-kebaikan yang dilakukannya
untukku, benih-benih yang orang lain sebut dengan kata cinta itu lambat
laun tumbuh di hati seorang anak SMA. Gadis remaja itu diam-diam

46
menyimpan perasaan pada seorang guru yang usianya terpaut jauh
darinya, bahkan guru itu telah mempunyai seorang kekasih.
Betapa sakitnya hatiku ketika ia mengajak kekasihnya datang
mendukungku di sebuah kompetisi bernyanyi. Saat itu aku betul-betul
patah hati. Aku mengutuk diriku sendiri karena membiarkan perasaan-
perasaan itu tumbuh subur. Mana mungkin seorang remaja berkulit sawo
matang dapat bersatu dengan seorang guru muda tampan dan begitu
sempurna. Ya, wanita cantik itu jauh lebih cocok bersanding dengannya.
Sejak itulah aku hanya bisa memendam perasaanku hingga detik ini.
“Hai, Ola. Maaf ya, aku terlambat.” Sebuah suara membuyarkan
lamunanku. Seseorang yang kutunggu telah tiba. Ya Tuhan, kakiku
mendadak lemas. Ia duduk di sampingku tanpa permisi, membuat
jantungku semakin berdegup kencang. Jarak di antara kami yang begitu
dekat membuatku dapat melihat dengan jelas bulu mata lentik yang
menghiasi wajahnya. Ia tampak begitu sempurna seperti biasa.
“Bagaimana kabar Bapak? Bagaimana kabarnya sekolah?” Aku
sedikit bergeser untuk memberikan ruang lebih banyak untuknya dan
memulai percakapan.
“Seperti yang kau lihat, aku dalam keadaan baik. Begitu pun dengan
sekolah. Maaf aku tiba-tiba mengajakmu bertemu, karena aku bingung
harus menghabiskan waktu kosong dengan kegiatan apa di sela-sela
kegiatan pelatihan sepekan ini di kampusmu.” Ia menggaruk kepalanya
yang mungkin sebetulnya tidak gatal.

47
“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat wisata, Pak? Ada tempat
menarik yang tidak jauh dari sini,” usulku. Kupikir itu akan membuatnya
tertarik.
Aku bangkit dari kursi tapi tangannya menggenggam tanganku,
mencoba menahan langkahku.
“Aku ingin di sini saja, cukup bersamamu.”
Apa? Kalimatnya membuat hatiku hampir melompat. Jika saja tangan
ini tidak sedang digenggamnya mungkin tubuhku sudah terbang tinggi ke
angkasa. Aku bingung harus mengatakan apa. Akhirnya aku hanya
kembali duduk dan terdiam membisu. Ia lekat menatapku cukup lama.
Membuatku salah tingkah. Kemudian ia tersenyum, kedua matanya
tenggelam. “Mengapa diam saja? Apa kau tidak suka duduk di taman ini
bersamaku?” tanyanya.
“Padahal aku rindu. Rindu sekali padamu, Ola,” lanjutnya sambil
menatap langit yang berwarna biru-jingga. “Semenjak kau lulus dari
sekolah, aku merasa ada yang hilang. Tak ada lagi Ola yang selalu datang
mengunjungi ruang musik, tak ada lagi suara piano yang dimainkan Ola
setiap Kamis di jam istirahat, tak ada lagi Ola yang minta dibimbing untuk
latihan vokal. Ruang musik terasa hampa semenjak kepergianmu dari
sekolah.”
Mataku membulat mendengar tutur kata yang ia sampaikan.
“Oh, ya. Ini tahun keempatmu kuliah, ya?”
“Iya, bulan depan aku wisuda.” Aku tersenyum bahagia
membayangkan saat aku diwisuda kelak.

48
“Wah, itu kabar bagus. Mengapa sebelumnya tidak pernah
memberitahuku?” Raut wajahnya terlihat sedikit kesal. Sudah lama sekali
aku tidak melihat ekspresinya yang seperti ini. Biasanya ekspresi kesalnya
ia tunjukkan jika aku terlalu asyik bermain piano sampai mengabaikan
pertanyaannya.
“Bagiku kabar itu mungkin tidak terlalu penting bagi Bapak. Maka
dari itulah aku tidak membagikannya. Lagipula apa kata Kak Sela nanti
jika ia tahu aku mengabari hal semacam itu?” Kak Sela adalah nama
kekasihnya yang pernah ia bawa di kompetisi itu.
Raut wajahnya berubah menjadi sendu, sedetik kemudian ia
tersenyum. “Hubungan kami sudah berakhir sejak dua tahun lalu.”
Seketika aku terkejut mendengar pengakuannya. Mungkin terdengar
jahat, tapi aku bahagia mengetahui fakta ini. “Maaf, Pak. Aku tidak
bermaksud membuat Bapak kembali bersedih.” Aku sedikit tidak enak.
“Hahaha tidak apa-apa. Mungkin dia bukan yang terbaik. Dia telah
mengkhianatiku, Ola. Dia menikah saat kami masih berpacaran.”
Tawanya mengangkasa. Telapak tangannya mengusap rambutnya ke
belakang.
“Aku tidak menyangka, Pak. Semoga Bapak segera menemukan
seseorang yang terbaik itu.” Aku mendoakan yang terbaik untuknya
meski aku berharap akulah seseorang yang dapat menggantikan
perempuan itu. Tapi fakta bahwa usia kami yang terpaut jauh mungkin
membuatnya merasa aku hanyalah seorang anak-anak. Mana mungkin
aku yang ia pilih. Aku hanyalah pantas menjadi seorang pemuja
rahasianya saja.

49
“Kabar baiknya aku sudah menemukannya, Ola.” Senyumnya
semakin lebar. Tatap matanya bertemu dengan tatap mataku, terasa
penuh arti.
“Syukurlah kalau begitu. Siapakah orangnya? Apakah aku
mengenalnya?”
“Tentu. Kau sangat mengenal orang itu.”
“Siapa?”
“Ola Anastasia. Aku baru menyadarinya. Rekaman lagu yang
kauberikan di saat hari pelulusanmu adalah isi hati yang ingin
kausampaikan padaku, bukan? Maaf jika aku terlambat menyadarinya.”
Tangannya menggenggam tanganku yang kuletakkan di samping. Kali ini
sepertinya jantungku akan berhenti berdegup.
Ia mengeluarkan ponselnya, memasangkan sebelah earphone di
telinga kirinya dan memasangkan sebelah laginya di telinga kananku.
Kemudian ia memutar rekaman lagu yang kuberikan dulu. Ternyata ia
masih menyimpannya. Ia melemparkan senyum terhangatnya ke arahku
dan kubalas senyum itu.

You are the one girl


And you know that it's true
I'm feeling younger
Every time that I'm alone with you

We were sitting in a parked car


Stealing kisses in the front yard

50
We got questions we should not ask but

How would you feel, if I told you I loved you?


It's just something that I want to do
I'll be taking my time, spending my life
Falling deeper in love with you
So tell me that you love me too ….1

-----------------------------
Denisa. Penulis ikut berkontribusi dalam proyek #betahdirumah bersama
anggota Prosatujuh lainnya demi menemani teman-teman pembaca mengisi
kejemuan #dirumahaja. Selain suka membaca dan menulis puisi, ia juga suka
menonton anime.

1
How Would You Feel, lagu dari Ed Sheeran
51
Tong Sampah yang Dipukul
--Jenur Rohman

Aku harus segera tidur. Aku melempar sebungkus roti ke tong


sampah sambil menaiki tangga menuju kamar kontrakan. Setelah masuk,
keadaan kamar begitu gelap, lebih gelap dari malam di luar sana. Aku
membanting badanku ke kasur setelah melepas sepatu. Tak ada suara
apa pun, suasana begitu senyap, gelap, dan tenang. Ada cahaya redup
dari lampu teras yang menerobos celah-celah ventilasi udara dan
menyinari kamarku. Aku memperhatikan garis-garis sinar kuning yang
menempel di dinding. Dengan begitu, aku harap mataku segera
terpejam.
Ada bungkus rokok kosong di lantai, aku menendangnya dengan kaki
kananku. Aku memejamkan mata kembali dan berusaha sekuat tenaga
agar segera terlelap. Aneh sekali, mataku terpejam, tapi pikiranku ke
mana saja. Aku tahu ini persoalan klasik. Aku teringat Mayang,
berengsek memang. Setiap kali aku mengingatnya, pasti tak bisa tidur.
Aku mencoba melupakannya dengan memikirkan hal-hal lain. Aku
memikirkan ayam yang punya sayap, tapi tak pernah bisa terbang.
Kenapa harus ada kehidupan, jika manusia satu dengan yang lainnya
saling beradu. Mengapa juga harus ada negara, padahal manusia dapat
52
hidup hanya dengan bercocok tanam. Ah, ini pertanyaan-pertanyaan
bodoh dan spontan yang selalu merusak jam tidurku.
Tak terasa, aku mulai mengantuk. Ini saat-saat yang menyenangkan.
Aku mulai kehilangan kesadaran, otot-ototku mengendur dan tubuhku
terasa enteng. Beberapa detik lagi aku akan tertidur dengan sangat pulas.
Begitu kantuk ini sampai pada puncaknya, aku terkejut, mendengar
suara tong sampah yang dipukul. Semuanya buyar, kantukku hilang, otot-
ototku kembali mengencang dan mataku terbelalak!
Tong sampah itu terus berbunyi, kali ini lebih berisik. Aku dapat
menduga seseorang sedang mengorek sampah atau menaiki tong itu
untuk melihat sesuatu yang dapat ia bawa pulang. Aku duduk, menunggu
suara berisik itu hilang. Ini benar-benar menggangguku. Aku menatap
jam dinding. Ya ampun, sudah pukul dua kurang lima menit dan suara-
suara itu masih saja menggangguku. Aku beranjak dan membuka pintu,
mencondongkan kepalaku keluar dan benar saja, kudapati seorang lelaki
tua di bawah tangga sedang mengorek sampah dengan tongkat besinya.
Tak begitu tampak wajahnya di rembang malam. Aku berdeham, lelaki
itu melihat ke atas, menatapku, dan menghentikan pekerjaannya.
Kupikir lelaki itu paham dan segera pergi.
Aku membanting tubuhku kembali dan kudengar lagi tong itu
berbunyi. Justru sekarang seperti dipukul keras-keras. Ia sengaja
memukulnya, pasti! Emosiku membuncah! Aku membuka pintu dan
berjalan menuruni tangga, mendekati lelaki itu. Ia menatapku lagi,
tubuhnya terhalang tong sampah di depannya.

53
“Kau mencurigaiku, Nak?” katanya sambil berdiri. Aku dapat melihat
air mukanya di bawah terjangan sinar rembulan. Wajahnya dipenuhi
cambang putih dan semrawut.
“Ya, tentu saja, Pak Tua! Kau sengaja memukul tong itu.” Aku berdiri
dua meter di depannya.
“O, rupanya telingamu terganggu oleh bunyi kaleng besar ini.” Ia
memukulnya. "Apa yang kau lakukan malam-malam begini?”
“Aku tidak melakukan apa pun, justru kau yang tampak sibuk, Pak
Tua,”
“Jangan marah begitu.” Ia tertawa. “Sudah, pergi tidur sana, tak baik
berkeliaran malam-malam untuk anak seusiamu!" Ia tertawa lagi. Aku
geram dan meninggalkannya begitu saja.
Sesampai di depan pintu, saat aku hendak masuk, lelaki itu memukul
tong sampah itu lagi. Kini lebih keras, suaranya berdengung selingkungan
kontrakan. Aku tahu apa yang harus aku perbuat.
“Hei!” Aku memelototinya, “sekali lagi kau pukul tong itu, aku akan
meneriakimu maling!” Tanganku menunjuk lurus ke bawah, ke muka
lelaki itu. Dia tertawa terbahak-bahak. Aku mendekatinya lagi.
“Apa yang kau inginkan, Pak, ini sudah larut malam,”
“Baiklah-baiklah aku mengerti, kemarilah, Nak, aku ingin
menanyakan sesuatu padamu.” Lelaki itu berjalan terpincang-pincang
untuk dapat duduk di atas beton. Aku terkejut, kaki lelaki itu kecil satu.
Kaki kanannya normal, kaki kirinya seukuran kaki anak sepuluh tahun.
Sepertinya ia kena polio sejak kecil. Aku mengikutinya.
“Apa pertanyaanmu? Aku tak punya banyak waktu.”

54
“Kau tahu alamat ini?” Ia merogoh saku celana kaki kecilnya dan
mengeluarkan selembar kertas terlipat. Aku membacanya, tertera
‘Kampung Laut, Nusakambangan, Kabupaten Cilacap’ ditulis dengan
pensil seperti tulisan anak kecil.
“Ah, aku tak tahu, tapi aku bisa mengantarmu ke terminal, naik bis
jurusan Cilacap, besok pagi jam tujuh,"
“Tidak, tidak usah, aku hanya ingin memberi tahu, asalku dari alamat
itu.” Ia tersenyum menatapku.
“Aku tahu, kau cuma bergurau.” Aku berdiri, tapi tanganku digapai
dan aku kembali duduk.
“Aku bersungguh-sungguh, itu asalku.”
“Lalu apa urusannya denganku?”
“Tidak ada, tenanglah, aku ada satu pertanyaan lagi.” Ia menatapku
dengan serius, sehingga membuatku kikuk.
“Apa kau punya teman, Nak?”
“Ada, banyak, aku punya banyak sekali teman.” Suaraku agak
meninggi.
“Tidak, tidak, bukan begitu maksudku, apa kau punya teman?”
Lelaki itu mengulanginya lagi. Kali ini ia tampak lebih serius dan kami
hening sesaat.
"Sekarang kita adalah teman," katanya, ia tersenyum, menampakkan
gigi-giginya yang kuning dan kotor. Aku memandangi cambang putihnya
yang semrawut dan kaki kiri kecilnya tampak menggantung.
"Kenapa tadi kau memukul tong sampah itu?" Aku menunjuk tong
sampah yang teronggok di sisi kanan kami.

55
"Sudahlah lupakan saja!" Ia tertawa terbahak sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Aku hanya pemulung tua.” Wajahnya berubah.
"Begitu banyak orang bertahan hidup dari sampah di kota ini, siapa
pemilik kota ini sebenarnya, tentu saja bukan para pemulung, tentu saja
bukan politisi, dan tentu saja bukan presiden. Kau tahu, tentu saja Tuhan
pemilik semua kota, kau tahu, Tuhan tak ada di kota. Ya, kalau Tuhan
ada di kota, tak akan pernah ada pemulung-pemulung baru yang lahir."
Ia terus berbicara, aku tak mengerti maksudnya.
"Tuhan ada di mana saja," kataku.
Lelaki Tua itu mencongkel-congkel tanah dengan tongkat besinya dan
merogoh sakunya lagi, mengeluarkan sebungkus roti. Aku seperti
mengenali roti itu. Tak salah lagi, roti yang kubuang tadi diambilnya dan
sekarang ia menggigitnya dengan pelan.
“Kau mau?” Ia menawarkan roti itu kepadaku.
“Aku ada makanan di kamar, kuambilkan untukmu.”
“Tidak usah, ini cukup untuk dua kali makan. Rasanya enak sekali.”
“Aku ambil sekarang.” Aku berbalik, tanganku digapai lagi.
“Duduklah.” Ia membujukku, “Aku tersesat.” Ia melanjutkan.
“Sebulan yang lalu, keponakanku mengajakku ke Jakarta, kami pergi
dengan kereta. Sesampainya di stasiun, aku tak tahu nama stasiun itu.
Aku kehilangan dia setelah ia bilang pergi sebentar mencari makanan.
Dia meninggalkan alamat ini di saku bajuku.” Ia menepuk dadanya,
“setelah itu entah ke mana perginya, kau tahu, aku mengkhawatirkannya.
Tapi kalau dipikir-pikir, dia akan baik-baik saja, dia bisa pulang kapan
pun,” lanjutnya.

56
“Lalu, kau tak ingin pulang?”
“Aku belum menyelesaikan ceritaku,”
“Baiklah, lanjutkan.”
“Aku tinggal bersama keponakanku setelah istriku meninggal.
Anakku, tentu dia sudah besar, ia menikah dan tinggal bersama
suaminya.” Lelaki Tua itu mencongkel-congkel tanah lagi.
“Aku ambilkan makanan sebentar, Pak.” Aku berjalan menuju
kamarku. Di tangga, aku menengok ke bawah, ia sedang menunduk,
mencongkel-congkel tanah sambil terus bicara.
Di dalam kamar, kudapati lima lembar roti tawar terbungkus plastik
di laci lemariku. Aku keluar, memandangi beton tempat kami duduk tadi
dan si tua itu tak ada. Aku mencarinya di dekat tong sampah juga tak ada.
Aku menyusuri lingkungan kontrakan pun tak melihat lelaki tua itu. Tak
ada bekas jejak kaki pincangnya. Hanya ada bekas congkelan-congkelan
tanah tadi. Aku berhenti mencari dan hendak masuk ke kamar dengan
harapan akan dikejutkan lagi dengan bunyi tong sampah yang dipukul.
Ternyata tidak ada suara apa pun. Lelaki tua itu benar-benar menghilang.
Ada sedikit kecemasan yang tiba-tiba menyeruak di dalam dadaku.
Beruntung, kantuk ini datang lagi setelah beberapa menit tubuhku
kurebahkan di kasur. Dengan begini, aku harap dapat segera tidur
nyenyak. Saat kantukku memuncak, tong sampah itu dipukul lagi.
Bangsat!
Cikarang, Ramadan 1440
-----------------------------
Jenur Rohman. Pencinta sepi dan anti kemapanan.

57
Tidak Abadinya Hidup Seorang
Pelawak
--Themercyw

“Hari inilah harinya!”


Aku bangun dengan segar dan semangat. Energi meluap-luap
memenuhi rongga hatiku yang hitam dan busuk ini. Ya, ya, sudah tidak
ada kehormatan untuk pensiunan prajurit. Semua jasa mereka
dilupakan, dan yang rakyat lihat hanya bekas pembunuh tanpa belas
kasihan. Tidak tahu diri! Gelar kebangsaan Filistin sajalah yang
membuatku tetap tinggal di sini. Sejujurnya, aku cukup bangga dengan
kebangsaanku. Bangsa Filistin, bangsa yang besar! Bangsa yang
menaklukkan Israel, mengalahkan Yehuda. Bangsa yang kepadanya
seluruh bumi sujud menyembah! Dan siapa yang mengusahakan
kejayaan-kejayaan itu, tak lain adalah aku, sang mantan prajurit garis
depan!
Aku mengeringkan rambutku yang basah dengan kain. Rambut
model pria yang pendek begini mudah sekali dikeringkan, jauh berbeda
dengan mereka yang memeliharanya sampai panjang menjuntai. Pasti
58
butuh berjam-jam, mungkin berhari-hari. Aku ambil roti ragi di meja dan
segera mengenakan pakaian terbaikku, bersiap-siap untuk suatu acara
besar yang sudah kutunggu-tunggu sejak lama.
Hari ini bangsa Filistin bersukaria!
“Selamat pagi, Freya!” sapaku. Freya, anak tetanggaku, tersenyum
malu-malu dan segera berlari memasuki rumah. Aku tertawa kecil
melihat tingkahnya. Nak, sepuluh tahun lagi kau tidak akan dimaklumi
bila menjawab sapaan seseorang seperti itu.
Aku mengenakan kasutku dan segera menyusuri jalanan berbatu
negara Filistin. Jalannya agak curam, namun aku sudah pernah
menghadapi kondisi yang jauh lebih sulit sebelumnya. Tujuanku hari ini
adalah Gaza. Di sana, berdiri sebuah gedung pertunjukan tempat raja,
para bangsawan, dan orang-orang terhormat menonton pertunjukan-
pertunjukan untuk memuaskan hati mereka. Ternyata aku dihitung
sebagai salah satu dari tiga ribu orang kehormatan bangsa Filistin. Ya,
aku, pensiunan prajurit!
Matahari belum meninggi, udara sejuk, bayang-bayang pepohonan
membuat jalan kaki pagi ini terasa menyenangkan. Hari ini jalanan curam
itu cukup ramai. Tak sedikit orang yang tujuannya sama denganku,
gedung pertunjukan Gaza. Aku memperhatikan rambut mereka,
terutama para pria, yang berpotongan pendek sebahu atau sekuping dan
tertata dengan rapi. Tentu saja, kering. Begitulah seorang terhormat
bangsa Filistin seharusnya berdandan. Ya, ya, aku setuju!
Hanya dibutuhkan waktu lima belas menit sampai aku tiba di gedung
pertunjukan Gaza. Seluruh gedung ramai dan penuh, suara ingar-bingar

59
dan lampu terang menyorot setiap orang yang datang. Setiap yang datang
disambut tarian para wanita-wanita Filistin yang jelita, yang menjadi
pujaan banyak bangsa. Kursi-kursi tamu yang putih memberikan kesan
megah yang serasi dengan penampilan gedung ini. Kami semua
berkumpul di teras bawah, sedang teras atas dipenuhi oleh kaum pejabat
serta raja. Setelah sepuluh menit, akhirnya pintu masuk mulai ditutup.
Acara akan dimulai.
Dengan kesunyian yang aneh dan asing, seluruh gedung serempak
berdiri. Beginilah prosesi yang selalu dilaksanakan di setiap pertemuan
dan pertunjukan yang dihadiri oleh orang-orang terhormat. Suara
dengung-dengung halus mengalun di udara, mengisi atmosfer udara
dengan rasa khusyuk yang menggigit.
“Telah diserahkan oleh Allah kita ....”
Jemaah mulai bernyanyi. Korban sembelihan berupa hewan-hewan
berkaki empat dibawa maju ke depan teras pertunjukan. Dengung-
dengung di udara itu semakin keras kedengaran.
“Telah diserahkan oleh Allah kita ke dalam tangan kita ....”
Ini upacara perayaan korban sembelihan yang besar! Terpuja Dagon,
Allah kami, yang untuknya kami bersukaria! Para imam terhormat
berdiri di depan dan mulai menyembelih, mengolah daging itu dan
menyebar darahnya.
“Telah diserahkan oleh Allah kita ke dalam tangan kita Simson,
musuh kita!”
“Simson, musuh kita!”

“Simson, musuh kita!”


60
Kerumunan meledak dalam sorak dan tawa. Semua orang bersuara!
Aku tak kalah ikut mendengungkan pekik kemenangan ala prajurit
perang. Ya, ya, biar semua orang tahu aku ini pensiunan prajurit garis
depan!
Kemudian, diiringi bising yang memekakkan telinga itu, Simson yang
dari tadi disebut-sebut menampakkan diri. Ia didorong keluar oleh
seorang imam penyembelih korban dan jatuh terpeleset darah korban
yang masih tercecer di teras. Tawa para terhormat membahana. Simson
kemudian bangun, berdiri, dan memperbaiki pakaiannya. Semua orang
duduk dengan tak tenang menunggu aksi Simson selanjutnya yang akan
menggelitik perut mereka. Simson itu berjalan lagi, entah mencari apa,
kemudian menabrak meja tempat kurban disembelih dan jatuh
terjerembap. Seluruh tubuhnya bernoda darah. Kerumunan kembali
meledak dengan tawa dan ejekan.
“Telah diserahkan oleh Allah kita ke dalam tangan kita musuh kita,
perusak tanah kita, dan yang membunuh banyak teman kita!”
Hatiku riang gembira menyaksikan Simson kepayahan berdiri, takut-
takut menabrak sesuatu yang lain lagi. Wajahnya sudah pasi dan tidak
bercahaya. Padahal dulu, dia adalah salah satu lawanku. Seseorang
seperti dia, melawan prajurit terlatih dari Filistin!
Rambutnya yang terurai panjang basah oleh keringat. Aku mengerling
jijik ketika melihatnya. Begitulah penampakan seseorang yang sudah
terhina, dicampakkan dan diasingkan dari negerinya. Israel pasti tidak
mengakui Simson sebagai rakyat. Dahulu memang ia kebanggaan,
dengan kekuatan yang dapat memindahkan gunung, tak sesuatu pun

61
dapat menghentikannya. Begitu Simson berkehendak, seluruh dunia
bisa direngkuhnya. Namun, aku membuktikan kalau bangsa Filistin tak
hanya berotot, namun juga berotak. Kami tahu kelemahan Simson,
kelemahan yang sangat fatal: wanita.
Simson pernah jatuh cinta kepada seorang wanita Filistin. Saat pesta
pernikahannya, ia membuat sebuah teka-teki dan bertaruh bila ada
seseorang yang bisa menjawabnya akan mendapatkan tiga puluh pakaian
lenan dan tiga puluh pakaian kebesaran. Malang bagi Simson, wanita
pujaan hatinya begitu pandai merayu di tempat tidur sampai Simson
memberi tahu jawaban teka-teki tersebut. Jawaban itu disebarkan lagi
kepada teman-teman Simson dari bangsa Filistin, kemudian Simson
harus membayar taruhan yang ia janjikan di awal permainan. Ah, bangsa
Filistin yang cerdas!
Tapi demi membayar taruhan itu, Simson memporak-porandakan
kemah kami, membunuh tiga puluh orang prajurit terpilih, dan
mengambil pakaian-pakaian mereka. Hanya demi mengambil tiga puluh
pakaian mereka! Dengan demikian ia memuaskan istrinya dan
meninggalkannya, segera setelah pesta perkawinan mereka selesai.
Di lain waktu ia juga pernah melepas tiga ratus anjing hutan yang
diikat dengan obor ke ladang gandum kami yang belum dituai, sehingga
membuat tumpukan gandum dan gandum yang masih berdiri di atas
akarnya terbakar habis. Kerugian di pihak kami! Simson yang malang,
Simson yang malang. Dia melakukan itu karena perempuan Timna yang
ia jadikan istri telah diambil oleh kawannya, sesama bangsa Filistin.

62
Memang seluruh bangsa merasa Simson tidak layak bagi seorang
perempuan Filistin. Kalian lihat, lagi-lagi, wanita menjadi kelemahannya!
Akhirnya, dengan wanitalah kami menyerang dia. Setelah tiga kali
menipu, ia berhasil dirayu, dan kami tahu bagaimana membuat
kekuatannya hancur: rambut! Ia sudah bernazar kepada Tuhan untuk
tidak mencukur rambutnya, agar kekuatannya terus ada dalam dia.
Perempuan yang ia ajak bercengkerama, perempuan yang ia cinta,
perempuan itulah bangsa Filistin yang terhormat. Dengan memotong
rambutnya saja, waduh, tamatlah sudah riwayatnya!
Sekarang lihat Simson. Ditertawakan sekelompok bangsa asing yang
pernah ia musuhi, bola matanya dicungkil sampai buta, kekuatan hilang,
dan rambut lusuh tak terawat. Ke mana Simson yang dielu-elukan
kejayaannya?
“Lepaskan aku dan biarkanlah aku meraba-raba tiang penyangga
rumah ini, supaya aku dapat bersandar padanya,” kata Simson.
“Biarlah kiranya aku mati bersama-sama orang Filistin ini!”
Aku tidak mengerti untuk apa dia mengatakannya. Ia hanya sedang
bersender di tiang itu. Ia hanya sedang bersender...
***
Seorang anak kecil sedang memejamkan matanya. Ia duduk di antara
reruntuhan dengan tangis sesenggukan. Beberapa orang mendengarkan
dengan seksama. Mereka percaya penuh, siaga penuh. Banyak orang lain
simpang-siur di sekitar tempat kejadian. Hari itu, cuaca sedang cerah.
Masih siang. Tiga ribu korban jiwa sudah berjatuhan. Dan Freya inilah
satu-satunya informan terpercaya, yang bisa memberikan informasi

63
terkait siapa-siapa saja yang harus dicari di antara reruntuhan. Ia hadir di
sana saat mempersembahkan korban kepada Dagon, Allah bangsa
Filistin.
“Raja ada di teras atas, barisan paling depan. Aku yakin ia mudah
ditemukan. Di teras atas pula duduk sekitar lima puluh pejabat, dalam
baris-baris berisi sepuluh kursi. Hik, hik. Totalnya lima baris, ya, ya, aku
yakin tak salah ingat. Kebanyakan dari mereka berambut pirang,
dipotong pendek rapi dan kering, ya, benar-benar kering. Mereka tak
mengenakan topi. Bajunya sedikit kebesaran namun tidak sampai
menyentuh lantai. Ya, ya, kau harus temukan mereka. Di teras bawah
lebih banyak orang, lebih ramai. Kursinya disusun berbanjar mengikuti
dinding. Agak di sebelah kanan, ya, di kanan lebih banyak orang.
Mungkin mayat mereka bertumpuk-tumpuk ditimpa reruntuhan teras
atas, lebih sulit ditemukan. Hari ini hanya bisa menemukan pejabat-
pejabat teras atas. Coba saja dulu ya, coba saja. Aku yakin hanya lima
puluh orang selain raja. Ya, ya, Simson itu memang gila. Dia jadi mayat
yang paling tidak berbentuk sekarang. Yaaaa! Merangkul kedua tiang
utama dan merubuhkannya! Lebih banyak yang ia bunuh sekarang
daripada seluruh kematian yang ia buat seumur hidupnya. Ya, Simson
yang malang. Pelawak itu kini sudah menemui ajalnya.”
-----------------------------
Themercyw. Telah berulang tahun ketujuh belas pada Februari 2020 lalu. Kini
aktif berkegiatan di komunitas literasi Gita Grahita, Prosatujuh, dan Menjadi
Manusia. Karyanya dapat dibaca di Storial @themercyw, blog
themercyw.wordpress.com, dan Instagram @themercyw

64
Ellen
--Naya Na

Aroma melati masih menguar segar saat Sarah bersimpuh di hadapan


makam yang masih basah itu. Mata dan hidungnya terlihat memerah.
Isakan kecil juga masih terdengar dari bibirnya yang pucat. Di tangannya
ada sekeranjang bunga berbagai jenis. Ada mawar, melati, kertas dan
kenanga, serta daun pandan yang dibentuk berupa anyaman tikar
menjadi satu dalam wadah kecil itu.
Sarah berjongkok di depan makam, menumpukan lututnya di
gundukan tanah becek itu. Seperti inilah keadaan tanah pemakaman di
tempat tinggalnya.
Tanah makam yang terletak tepat di samping kiri rumahnya itu,
bukan tempat pemakaman umum seperti di kota-kota yang pernah Sarah
lihat. Di desanya ini, makam-makam terletak di samping, di depan,
maupun di belakang rumah warga. Tidak ada area pemakaman khusus.
Area pemakaman di samping rumah Sarah ditumbuhi oleh pohon
rumbia yang menaungi makam-makam di sana, sekaligus menjadi
pemisah antara rumahnya dengan rumah tetangga. Sedangkan di
belakang rumah Sarah, terdapat area persawahan cukup luas yang

65
terbelah oleh sebuah aliran sungai. Sungai itu mengalami pasang surut
setiap hari dengan waktu yang tidak sama.
Ketika musim hujan, air sungai akan meluap, membanjiri area
makam, bahkan terkadang rumah Sarah pun ikut terendam bersama
rumah warga lainya. Beruntung, saat kematian Ellen, musim kemarau
masih berlangsung, sehingga tanah pemakaman itu tidak kebanjiran.
Melainkan hanya becek, bekas penggalian tanah yang dalamnya banyak
mengandung air.
Wanita berusia lebih dari tiga puluh tahun itu membuka buku Yasin
dalam genggaman, dan membacanya dengan lirih disertai isakan kecil.
Ada penyesalan yang begitu dalam dia rasakan.
Sarah menggenggam erat buku di tangannya. Suaranya beradu
bersama isakan yang makin terdengar jelas di pemakaman sunyi itu.
Seandainya saat itu Ellen dibawa ke dokter, mungkin hal yang tidak
diinginkannya tidak akan terjadi.
Seandainya dia mendengarkan kata-kata saudara iparnya.
Seandainya dia tidak bersikeras dengan kemauannya.
Seandainya, ah, berapa banyak kata seandainya yang harus dia
ucapkan? Namun semuanya tak berguna sama sekali, karena nasi sudah
menjadi bubur.
***
Bayi berusia sembilan bulan itu masih menangis sejak beberapa jam
lalu. Dia tidak lepas sedikit pun dari gendongan Sarah. Mata dan
hidungnya tampak memerah dan bengkak. Tak ada lagi tawa ceria yang
keluar dari bibir mungilnya.

66
Bunyi motor yang baru datang, mengalihkan sedikit perhatian Sarah.
Dia melihat adik iparnya—Lia—baru pulang kerja dan tersenyum ke
arahnya. Lia tampak bertanya-tanya melihat Ellen yang tak berhenti
menangis. Dia lalu mendekat ke arah Sarah setelah melepas sepatu dan
memegang dahi bayi mungil itu. Dia tersentak kaget saat mengetahui
betapa panas suhu tubuh Ellen.
“Sudah minum obat?” Adik iparnya itu bertanya penuh kekha-
watiran.
Sarah mengangguk. Dia berjalan ke sana kemari, berusaha
menenangkan tangis dari anak semata wayangnya.
“Dari kapan dia kayak gini, Mbak?” tanya Lia ikut prihatin. Hatinya
sungguh tidak tega melihat bayi menggemaskan itu menangis. Seingatnya,
pagi tadi Ellen masih baik-baik saja, tidak rewel seperti sekarang.
“Sudah dari tadi siang.”
“Ya Allah, Mbak. Kita bawa Ellen ke dokter saja!” kata Lia panik. Dia
bergegas mengganti baju dan meletakkan tasnya di kamar, lalu
mengambil dompet.
“Nggak usah, Ya. Tadi bapaknya Ellen udah berangkat ngejemput
tukang urut," kata Sarah ketika melihat Lia keluar kamar dengan dompet
di tangannya. Dia tidak ingin membebankan tanggung jawabnya kepada
Lia. Sudah terlalu banyak uang adik iparnya itu dia pinjam, dan belum
bisa mengembalikannya sampai sekarang.
Penghasilan Fadhil yang tidak menentu setiap harinya sebagai tukang
bangunan, terkadang memaksa Sarah memakai uang dari adik iparnya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski Lia mengatakan tidak

67
perlu mengganti, tapi Sarah menganggap utang tetaplah utang. Semenjak
orang tua Fadhil meninggal dua tahun lalu, Lia diajak suaminya untuk
tinggal dengannya. Sarah menyambut baik kedatangan Lia yang saat itu
masih sekolah, dan memperlakukan Lia seperti adik kandungnya
sendiri.
"Loh, cuma diurut? Nggak ke dokter?" tanya Lia bingung.
Sarah mengangguk. Tidak ada lagi simpanan uangnya untuk
membawa Ellen ke dokter.
"Tapi badan Ellen panas banget, Mbak!" seru Lia tidak percaya.
Sarah meringis. Dia tahu kalau Ellen seharusnya memang dibawa ke
dokter. Namun, dia masih memikirkan biaya yang akan dikeluarkan.
Pasti banyak. Setidaknya seratus sampai dua ratus ribu rupiah hanya
untuk membayar dokter dan menebus obat. Beda halnya kalau hanya
membayar tukang urut. Paling, Sarah hanya mengeluarkan dua puluh
sampai tiga puluh ribu saja, untuk sekali urut. Berbeda jauh, bukan?
Karena itulah, kalau keadaannya tidak mendesak, Sarah tidak ingin
membawa Ellen ke dokter.
“Mau gimana lagi? Selagi masih bisa diobati dengan cara kampung,
kita nggak perlu ke dokter dulu. Toh, di sini juga jarang ada yang ke
dokter, sakit mereka bisa sembuh sendiri.”
Lia tidak bisa berkomentar apa-apa lagi kalau Sarah sudah
mengeluarkan kata-kata sakti itu. Seandainya Sarah terkendala uang, dia
bisa meminjamkan uangnya. Tapi Lia tahu, Sarah pasti menolak dengan
berbagai alasan.
***

68
Sudah dua hari sejak Ellen diurut, panasnya tidak juga turun. Malah
keadaan Ellen semakin memprihatinkan. Sarah panik. Dia menelepon
Fadhil yang masih di tempat kerja dan menyuruhnya cepat pulang.
Namun, pekerjaan Fadhil tidak bisa ditinggalkan.
Sarah tidak habis akal. Berhubung Lia belum pulang bekerja, dia
meminta bantuan tetangga untuk membawa anaknya ke orang pintar. Di
desanya memang ada orang yang bisa mengobati sakit apa pun hanya
dengan diberi air dan semacamnya.
Dengan uang lima puluh ribu, Sarah berangkat bersama seorang
tetangganya ke rumah orang pintar itu. Hanya butuh lima belas menit,
Sarah sudah sampai di rumah orang yang biasa masyarakat sebut Guru
Baihaki.
Keadaan di tempat itu cukup ramai. Silih berganti orang meminta
berbagai macam pada Guru Baihaki, seperti meminta penglaris buat
dagangannya atau meminta obat tradisional buat segala macam penyakit
yang diderita. Selayaknya Sarah saat ini, yang ingin meminta obat pada
orang tua itu.
Sarah harus mengantri beberapa menit, dan tibalah gilirannya.
Dengan membawa sebotol air, dia mulai bercerita apa saja yang dialami
Ellen.
Guru Baihaki menyimak dengan baik cerita yang disampaikan Sarah.
Dia manggut-manggut, seolah mengerti sekali keadaan Ellen.
"Dia kena kura, " kata Guru Baihaki itu mantap.
"Terus apa yang harus saya lakukan, Guru?" tanya Sarah mulai
khawatir.

69
“Kura itu istilah medisnya tyfus. Tapi, kita orang kampung sini
nyebutnya kura.” Guru Baihaki mulai menjelaskan. Dia lalu membuka
tutup botol yang dibawa Sarah, lalu mencelupkan jari telunjuknya.
Kemudian mengukir tulisan yang Sarah tahu seperti tulisan arab pada
bagian luar dekat tutup botol.
“Nanti, pas matahari mau terbenam ambil dua biji cabai merah besar,
campur sama sarang angkut-angkut, lalu tumbuk. Oleskan itu pada
bagian perut,” jelas Guru Baihaki sambil menunjuk perut Ellen.
Sarah hanya mengangguk. Setelah menyerahkan amplop, dia
langsung pulang. Sepanjang perjalanan, Ellen masih saja menangis dalam
gendongam Sarah. Berbagai cara sudah Sarah lakukan agar bayi itu bisa
tenang, tetapi usaha yang dilakukan Ellen tidak berhasil. Beruntung,
ketika dia sampai rumah, dia melihat Lia di teras dengan wajah penuh
kekhawatiran.
"Mbak dari mana?" tanya Lia seraya melirik Ellen yang tak berhenti
menangis. Dia kembali memeriksa demam keponakannya itu, dan
sejauh ini tidak pernah benar-benar turun.
Demam Ellen turun hanya ketika dia minum obat, setelah reaksi obat
habis, demamnya akan naik lagi. Keadaan Ellen seperti itu benar-benar
membuat Lia khawatir.
“Baru dari rumah Guru Baihaki,” jawab Sarah sambil berusaha
menenangkan Ellen.
“Kita ke dokter aja, Mbak,” ajak Lia sekali lagi.
Lagi-lagi Sarah menggeleng dan berkata, “Kita tunggu reaksi air dan
obat dari Guru Baihaki dulu.”

70
Lia hanya menghela napas. Tidak tahu lagi harus berbuat apa.
***
Tiga hari setelah kembalinya Sarah dari rumah Guru Baihaki,
keadaan Ellen semakin memburuk. Panasnya makin tinggi disertai
dengan muntah-muntah dan diare. Wajah bayi mungil itu terlihat makin
pucat. Tak ada lagi tangis kencang yang terdengar dari bibirnya. Mungkin
bayi itu juga merasa lelah menangis terus-menerus selama hampir
seminggu ini. Hanya matanya yang terlihat makin sayu, seolah cahaya
kehidupan menghilang.
Melihat keadaan Ellen yang mengerikan itu, Sarah berniat membawa
bayi mungil itu ke puskesmas terdekat. Dia meminta bantuan Lia, karena
Fadhil tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Namun, pihak puskesmas angkat tangan untuk menangani Ellen.
Mereka malah menyuruh Sarah membawa Ellen ke rumah sakit setelah
memberi surat rujukan.
Kondisi Ellen makin memprihatinkan tatkala dimasukkan ke dalam
ambulans. Anak itu kehilangan kesadaran sepanjang perjalanan.
Dan ketika tubuh Ellen dikeluarkan dari ambulans, nyawanya sudah
menghilang.

-----------------------------
Naya Na. Seorang ibu dengan satu putri ini, menulis untuk mengisi waktu luang.
Sangat menyukai warna abu-abu dan cokelat. Tidak suka kopi atau teh, tapi
sangat menyukai makanan berbau cokelat.

71
Sejumput Tanah Juang
--Nanou

Tanah yang kauambil dari ibu kota dua puluh satu tahun silam yang
kau titipkan padaku itu, katamu di dalamnya terkandung air mata dan
darah kawan yang jantungnya koyak setelah sebutir peluru mengetuk
dada kirinya. Kawan yang rebah dan beberapa lainnya bertumbangan.
Kau sempatkan membungkus sejumput tanah yang memerah bekas
darah teman berjuang yang jasadnya digotong tiga orang menuju mushola
kampus, sebelum sembunyi dari desing peluru yang entah dari mana
datangnya dan bergulung gas air mata. Aku tidak paham apa maksudmu,
apalagi ketika menitipkan jumputan tanah itu padaku. Yang aku tahu,
kita hanya sekumpulan orang yang mencari perlindungan dari rangsekan
aparat yang menghalau unjuk rasa kita. Kita hanya beruntung, dari
potensi kematian yang menggunung, selamat dari riuh tubuh berlarian.
Beberapa tumbang, beberapa menghilang.
“Reformasi, reformasi…!!” pekik ribuan suara yang jiwanya menyatu
dalam satu semangat perubahan.
“Mundur…! Mundur…! Aparat merangsek….!! Sembunyi dulu
sembunyi…!”

72
Sementara nyanyian perjuangan tidak juga surut, memompa
semangat melecut.
“Revolusi, revolusi, revolusi sampai mati!”
Kita sama-sama berjuang waktu itu. Darah kita menggelora sewaktu
jengah dengan tingkah rezim yang masih hendak membiakkan
kekuasaan bahkan mungkin sampai pada turunan ketujuh.
Seharusnya kau tidak perlu seperti sekarang ini. Kau bisa saja
sepertiku, seandainya kau terima pinangan dari partai penguasa waktu itu
saat mencari aktor-aktor aktivis untuk dijadikan kader partainya, sekian
tahun setelah tragedi. Kau bisa saja menikmati buah kritismu dengan
beberapa aktivis yang sekarang sudah menjadi anggota parlemen atau
orang-orang pemerintahan. Meski terpisah di berbagai partai yang
berbeda, bahkan berseberangan.
Kau memilih tidak menerima tawaran partai-partai sebagai buah daya
kritik dan keberanianmu bersuara. Kau pilih menyingkir dan menyepi di
pinggiran kota, beternak ayam dan bertani bersama puluhan warga
perkampungan. Sebagian orang menganggapmu bodoh, sebagian lagi
mengacungkan jempol dan mengangkat topi untukmu.
Sempat terpikir, aku yang kini terjebak di lingkaran politik, di
seputaran pemerintah dan lingkup parlemen. Dan kau yang menjadi
seperti seorang begawan buatku, memilih hidup sederhana, menjauh
dari dunia yang membuatku menggadaikan idealisme kita dahulu.
“Kenapa bengong, Dri? Terima kasih sudah menyempatkan datang
di sela jadwalmu yang padat,” ucapmu.
“Aku tidak lupa dengan teman berjuang, Lang.”

73
“Dri, masih kau simpan sejumput tanah yang kutitipkan padamu
waktu itu?”
“Tentu masih. Meskipun sampai sekarang aku tidak paham maksud
kau menyuruhku menyimpannya. Atau kau sedang berfilosofi sendiri
dengan sejumput tanah itu? Sungguh aku belum juga paham.”
Kau hanya melengus, diikuti dengan senyum khasmu yang hemat itu.
Sementara teriak dari gawai membuatku menghentikan pembicaraan
dan memaksa bergegas pamit setelah meladeni pembicaraan kolega
partaiku melalui telepon.
“Aku pamit dulu ya, ada jadwal undangan siaran langsung diskusi di
Mitra malam ini. Kau tahu lah, mereka masih mengandalkan
argumentasiku yang keras untuk menghadapi banjir kritik kepada
pemerintah dan parlemen. Semoga anakmu cepat pulih.” pamitku.
***

“Gimana anakmu, Lang? Apa sudah membaik? Maaf belum sempat


jenguk, masih harus merampungkan kerjaan.”
“Tidak apa-apa, terimakasih sudah menelepon. Dia masih koma,
setelah menjalani serangkaian operasi di kepala. Telinganya masih
mengeluarkan darah. Retakan tulang tengkoraknya menekan otak bagian
belakang. Minta doanya saja, Riz!”
“Semoga anakmu lekas pulih, Lang. Oh ya, apa Adrian sudah ke situ?
Kemarin dia telepon, bilang padaku mau ketemu, menjenguk anakmu
sekalian mau menanyakan sesuatu. Apakah soal maksud sejumput tanah
yang dulu kau titipkan padanya itu? Sepertinya kebiasaan guyonan hal-

74
hal mistikmu membuat dia makin menaruh penasaran, padahal aku tahu
itu tidak ada hubungannya dengan hal mistik apa pun. Aku tahu kau
hanya ingin mengekspresikan hobi keteateranmu pada sesuatu yang pas
dengan cara berbeda.”
“Sudah. Kemarin sudah ke sini. Hanya sebentar, sebelum dia
ditelepon kolega partainya, menyiapkan materi diskusi di Mitra
semalam. Aku belum sempat bicara banyak, apalagi soal pesan dalam
sejumput tanah yang kutitipkan padanya itu, Riz. Kau dan aku sama-sama
tahu. Adrian adalah salah satu dari kita yang paling lantang bersuara.
Ambisinya yang menyamudera itu pasti menarik perhatian banyak orang,
tidak luput juga partai-partai politik, baik yang sehaluan dengan
idealismenya saat itu atau yang berseberangan. Aku yakin dari kita dan
kawan-kawan lain yang bersuara, dia adalah kandidat paling kuat untuk
dijadikan sasaran pencarian anggota partai-partai politik. Di sisi lain, aku
memang tidak yakin jika dia adalah orang yang kuat iman untuk melawan
godaan jabatan jika ditawari pinangan politik di pemerintahan atau wakil
partai-partai di parlemen.
Seperti yang sudah aku katakan sedari dulu Riz. Seiring waktu,
fanatisme sering berakhir di ujung kelamin dan idealisme sering berakhir
di ujung perut. Dan kau lihat sendiri pada Adrian sekarang kan?
Beberapa waktu ini, ada perbedaan 180 derajat antara Adrian yang
dulu dengan yang sekarang setelah menjadi bagian dari partai penguasa.
Pernyataan-pernyataannya tidak mencerminkan sama sekali dirinya
yang dulu, sewaktu kita sama-sama berjuang menumbangkan rezim yang
sudah lumutan berkuasa.

75
Dia dulu yang paling lantang dan paling ekstrim menunjukkan
pendapatnya, seperti soal kenaikan harga bahan bakar minyak, kini dia
berargumen mati-matian membela keputusan pemerintah yang
menaikkan harga berulangkali.
Dulu dia pasti berontak, mengekspresikan dengan ajakan berunjuk
rasa yang masif kepada kawan-kawan mahasiswa lain untuk turun ke
jalan, jika ada kebijakan yang dinilai memberatkan rakyat. Namun, kini
dia adalah orang yang terdepan membela keputusan-keputusan
kontroversial pemerintah yang dirasa memberatkan masyarakat banyak.
Dan yang paling membuat aku berpikir bahwa dia adalah bukan
orang yang dulu kita kenal adalah sikapnya yang tidak peduli sama sekali
waktu adik-adik mahasiswa yang kemarin juga menginspirasi pelajar-
pelajar turun ke jalan. Termasuk anakku yang akhirnya tumbang,
terpelanting membentur lengan selokan sewaktu menghindari kejaran
aparat. Di mana dia waktu itu, Riz. Dengan kapasitasnya sebagai orang
penting di pemerintahan dan juga dengan darah juang yang seharusnya
masih mengalir di sepanjang pembuluh darahnya sebagai mantan aktivis
mahasiswa seperti kita dua puluh tahun silam.
Di mana dia dengan kesempatan membisikkan kepada pengambil
keputusan untuk tidak mengulangi tragedi yang memilukan itu.
Dia sudah berbeda. Dia bukan lagi Adrian yang dulu, Riz.
Dan tanah yang kutitipkan padanya sebenarnya adalah sebuah
prediksi tentangnya di masa sekarang. Agar bisa jadi pengingat bahwa
dalam darahnya mengalir darah juang seorang aktivis yang lantang
menyuarakan idealismenya.”

76
“Sudahlah Lang, aku tahu kau sedang bersedih atas anakmu yang
sedang terbaring berjuang untuk kesembuhan. Mari kita berdoa saja
semoga anakmu secepatnya sehat.“
***
Gerimis mengalir di kedua sisi pipimu pelan. Setelah sebelumnya tak
mampu kau bendung air mata yang menggantung di kedua kelopak
matamu. Kau sesenggukan, sementara mantan istrimu meledak tangis
setelah pembacaan doa penutup prosesi penguburan selesai.
Di samping nisan bagian atas tersandar pigura setinggi lutut, berisi foto
remaja mengenakan celana abu-abu dan jumper warna biru laut,
menggenggam selembar kain berwarna merah dan putih di tangan kiri,
sementara tangan kanan menutupi kedua matanya.
Aku berdiri di belakang kerumunan, di balik dahan kamboja yang
berdaun lebih rimbun. Kau melirikku dingin. Aku bergidik.
Kerumunan berangsur mundur. Setelah hujan di hatimu sedikit reda,
kau menujuku pelan. Diremasnya pundak kiriku, kautekan perlahan
membuatku bersandar pada pokok pohon kamboja. Kau merendah dan
bersandar pula di sebelah. Ada kebekuan yang kau hembuskan di hela
berat napasmu.
Aku merasa seperti dihakimi suasana. Diposisikan pada salah dan
benar selama ini. Pada idealisme dan tuntutan peran.
“Aku turut berbela sungkawa, Lang. Yang sabar dan tabah. Anakmu
gugur sebagai pejuang. Semalam Ariz meneleponku. Marahnya
membuncah, dia meluapkannya padaku. Dua jam lebih dia berceramah

77
panjang lebar soal kita, soal idealisme kita, soal filosofi sejumput tanah
yang kautitipkan padaku. Aku sudah paham maksudmu.”
“Syukurlah jika kau sudah paham. Jika kaubawa sejumput tanah itu,
tolong taburkan separuhnya di atas tanah makam anakku. Dia yang ikut
terinspirasi bergerak tanpa aku kasih tahu apa pun soal politik. Dia yang
tulus bersuara tanpa tendensi apa pun. Dia yang angin, kita yang sekarang
hanya sisa-sisa udara ibu kota. Letakkan di sana, biar pesan yang kutanam
di tanah itu bisa melesap bersama ruhnya menuju dunianya yang baru.
Pulanglah, Dri, biar aku sendiri dulu, menunggui hikmah di sini.” kau
berucap pelan sambil menahan bendung air mata di kedua kelopak
matamu.
Aku beranjak pamit, setelah menabur sebagian tanah sesuai
permintaanmu. Gerimis turun, menyeka debu-debu di dedaunan
kamboja. Mengalir ke serasah, membasahi tanah merah di atas makam
anakmu. Ini aroma yang sama seperti dua puluh satu tahun silam. Aroma
tanah basah dan air mata yang mengalir, menyatu dengan bulir gerimis.
Kau berdiri menyongsong air yang jatuh, mendongak ke langit yang abu-
abu itu. Matamu terpejam, tanganmu menggenggam kencang.
“Anakmu, Lang. Aku seperti punya peran dalam kematiannya. Aku
menyesal. Aku malu.” gumamku membatin.
***
Hari ini pada gawai di genggam tangan kiri kudapati pesan
pertamamu, sejak dua puluh tujuh hari semenjak penguburan,
“Dri, aku sudah tahu tentang mundurnya kau dari parlemen.
Sekaligus penarikan dirimu dari keanggotaan partai penguasa. Aku juga

78
sudah dikabari bahwa Bimo, Aryo dan beberapa kawan seperjuangan
kita dulu yang sudah duduk di parlemen dan di lingkungan pemerintahan
memutuskan mengundurkan diri. Besok malam kami tunggu kau di
Kedai Kopi Jelata, samping kampus kita dulu. Bawa serta sisa jumputan
tanah yang kutitipkan padamu itu. Besok malam kita tumbuhkan
pergerakan.”

Purwokerto, 31 Oktober 2019

-----------------------------
Nanou. Penulis berdomisili di Purwokerto, Jawa Tengah. Menulis adalah jalan
lain menyampaikan perasaan, menelurkan ide, membebaskan ekspresi, dan
menyajikan karya selain memotret. Kesehariannya berprofesi sebagai seorang
Fotografer.

79
Prepararse para La Felicidad
--Hani Hanifah

Belum ada tanda-tanda kemunculan matahari, alarm pun belum


berbunyi untuk membangunkan Galenia dari perjalanan mimpinya.
Sebenarnya, alarm di kamarnya hanya seremonial pagi belaka. Meminta
tangannya menjelajah menangkap bunyi yang membunuh mati suara
sepi. Tak lama kemudian pohon-pohon akan menciutkan diri dan
menjatuhkan Galenia dari dahannya. Lalu ia akan bangun dan memaki
pohon sambil mengepakkan bajunya yang dipenuhi dedaunan. Begitulah
ritual pagi Galenia, dewi kecil yang disimpan di tengah hutan dan
menjalani hidup sebagai manusia.
Galenia. Ia lebih terlihat seperti manusia dibandingkan dewi lain yang
hidup dengan sayap-sayap mereka. Tinggal pada sebuah dahan yang
disulap menjadi tempat tidur dan dahan di sekelilingnya saling
merangkul membentuk sebuah rumah tak berpintu. Selalu menutup dan
membuka dengan sendirinya seperti halnya membangunkan Galenia di
pagi hari.
Pada malam hari, dahan-dahan itu akan dipenuhi bintang-bintang
yang ia keluarkan dari telapak tangannya sebagai lampu alami. Cukup

80
mengucapkan, “prepararse para la felicidad,” lalu bintang-bintang itu
akan keluar dari tangannya yang gemulai menuju dedahanan.
Untuk melakukan ritual-ritual magis di kesehariannya ia kerap
ditemani sebuah sepeda tua. Sepeda yang terlalu besar untuk tubuhnya
yang mungil. Untunglah sepeda itu bisa digerakkan oleh pikirannya.
Hidupnya tak terlalu rumit meski sendirian di tengah hutan. Seluruh
benda yang ada di sekitarnya akan bergerak mengikuti pikirannya.
Kecuali hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Misal, Galenia tetap harus mandi agar badannya bersih. Ia tak bisa
meminta kuman-kuman yang ada dalam dirinya untuk pergi dengan
sendirinya. Atau ia tetap harus makan untuk menjaga tubuhnya tetap
sehat. Ia juga berolahraga dan olahraga yang paling ia sukai adalah
berimajinasi. Hal yang perlu dilakukannya agar pikirannya tetap stabil
demi keberlangsungan hidupnya.
Setiap hari ia diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi, tapi tak
jarang ia harus pergi ke luar angkasa menjalankan tugas khusus. Seperti
perjalanan terakhirnya untuk pergi ke bulan. Tempat yang selalu ia
kunjungi di pertengahan bulan orang-orang Islam. Sebab di tanggal itu
bulan akan bulat sempurna tanpa pelindung. Jika dibiarkan ini akan
berbahaya bagi orang-orang di pesisir. Sebab bulan akan begitu haus dan
menarik-narik air laut tanpa kendali.
Ritual berangkat ke bulan harus selalu disiapkan dengan matang.
Pikiran-pikirannya harus bersih sebab meminta sepeda untuk mengayuh
sendiri perlu konsentrasi yang kuat. Selain itu sejak tanggal sepuluh
sampai dua belas ada ritual khusus yang harus dijalankannya, yakni tak

81
memasukkan sedikit makanan pun ke dalam perutnya. Tubuhnya
dibiarkan bersih dan kosong. Karena nantinya ia akan menyimpan
cahaya-cahaya bintang ke dalam tubuhnya.
Ia akan berangkat setiap tanggal empat belas dan membutuhkan
waktu kurang lebih semalaman. Persiapan bekal seperti daun-daun, air
pohon, jubah, topi, kacamata, tentu juga kamera. Tapi ia tak perlu
membawa payung, sebab ia bisa saja meminta hujan untuk sedikit
menyingkir dan memberikan jalan seperti yang selalu dilakukannya.
Ia akan tertawa melihat orang-orang yang keheranan dengan jas hujan
yang kuyup tapi tak lama tiba-tiba mengering atau sebaliknya. Atau jika
matahari terlalu terik, ia akan menggulung awan untuk melindunginya.
Itu sebabnya kenapa terkadang di langit yang sama sebagian awan
mendung dan sebagiannya lagi cerah benderang. Jika dilihat lebih jeli
akan terlihat sesosok tubuh kecil menunggangi sepeda. Namun, itu pun
jika Galenia sedang ingin bercanda dan tak tergesa-gesa.
Perjalanannya memang terlihat menyenangkan tanpa tahu rasa sepi
apa yang sebenarnya sering ia alami. Sehingga membuatnya bersedia
ketika diberikan tugas untuk hidup seperti ini. Sebab apalagi yang bisa ia
lakukan, selain melaksanakan kewajibannya kepada Sang Pencipta,
pikirnya.
Selain sepeda dan pepohonan yang hidup di sekelilingnya ia adalah
makhluk yang sendirian. Tak selalu menemukan keberanian untuk
menunjukkan diri di hadapan manusia lain sebab tak ingin diketahui sifat
kedewiannya.

82
Dulu, saat pertama kali ia diturunkan ke bumi ia meminta agar seekor
gajahlah yang disiapkan untuk membantu dan menemaninya. Ia tetap
gajah biasa dengan kulitnya yang kasar dan selera makan yang tinggi.
Tapi, Galenia bisa memberikan kelebihan dengan menyisipkan bintang-
bintang di setiap kulitnya agar ia bisa terbang sesuai pikiran Galenia.
Sampai suatu hari gajah itu ditakdirkan mati. Siapa tak sedih ditinggal
pergi oleh yang disayangi. Bayangkan saja selama berpuluh-puluh tahun
sejak tubuh Galenia dan gajah itu hampir sama sampai gajah tumbuh
besar berlipat-lipat dari Galenia. Galenia tak memiliki kekuatan untuk
menghidupkan kembali apa yang sudah mati. Ia hanya memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan seluruh benda yang ada di bumi.
Kejadian itulah yang membuat Galenia tak lagi memilih makhluk untuk
mendampingi dalam melakukan tugasnya. Tapi tak jarang ia
mengunjungi hewan-hewan sekadar menjalankan tugas.
Perjalanannya menuju bulan membutuhkan konsentrasi tinggi supaya
sepedanya tak bertabrakan dengan asteroid sembari sesekali akan
menyebut nama Zeureos. Seorang teman yang kerap menemaninya di
bulan. Ia adalah makhluk langit yang bahkan bentuknya lebih mirip
dengan anak ayam gemuk. Cara komunikasi yang biasa dilakukan untuk
mengisyaratkan bahwa Galenia akan segera datang.
Tak ada komunikasi lewat mulut. Semua percakapan dilakukan
dengan pikiran dan ekspresi muka saja. Termasuk seluruh bintang yang
ada di angkasa. Jika manusia melihat bintang yang berkedip-kedip,
ketahuilah bahwa sebenarnya mereka sedang tertawa. Begitulah cara
mereka tertawa.

83
Sesampainya di bulan Zeureos biasanya sudah menunggu. Ialah yang
kerap mengantar Galenia berjalan-jalan di bulan. Melakukan seluruh
aktivitasnya untuk menghabiskan hari sembari melaksanakan tugas. Jika
tidak berkeliling angkasa dengan sepeda tuanya itu biasanya mereka
duduk dan memerhatikan bumi sembari mengobrol.
Ada kekuatan lain yang dimilikinya ketika berada di luar angkasa.
Matanya seolah memiliki lensa fokus dan pembesar otomatis sehingga
bisa melihat jelas di bagian bumi mana pun ketika ia melemparkan
pandangnya. Sehingga ia bisa melihat riak air laut saling mengejar,
bagaimana kendaraan melaju, hutan yang ia tinggali dan beberapa orang
yang khusyuk memandangi bulan.
Terkadang ingin sekali rasanya mengajak satu dari mereka semua
yang memandangi bulan penuh harap. Ia paham, betapa ingin sekali
orang melihat bagaimana sebenarnya bulan ini jika dipijaki kaki atau
melihat bagaimana sebenarnya bintang-bintang bersinar. Bahkan
mungkin tak pernah manusia bayangkan tetapi Galenia bisa menyentuh
bintang-bintang tersebut dengan jarinya bahkan meraup cahayanya oleh
tangan. Itulah sebabnya ia tak pernah kehabisan cahaya dalam tangan dan
dirinya.
Ketika mengunjungi bulan ia akan meraup beberapa cahaya bintang.
Meninggalkan beberapa dedaunan di bulan supaya bulan tetap dapat
hidup dan bersinar dengan kesadaran.
Di tanggal lima belas cahaya bulan akan sampai sempurna di bumi
sebab tak ada yang melindunginya. Itulah sebabnya Galenia membawa
dedaunan untuk membantu menutupinya. Setiap harinya daun itu akan

84
bergerak sedikit demi sedikit untuk menutupi bulan sampai bulan
tertutup sempurna. Lalu energi daun akan habis hingga membuat bulan
sedikit demi sedikit kembali terlihat.
Pernah Galenia berkunjung ketika bulan lebih terlihat seperti sabit.
Beberapa manusia sekarang sering menggambarkan bahwa ketika bulan
sedang sabit ada seorang perempuan atau bahkan anak kecil sedang
bersandar. Mungkin dahulunya ada orang yang memang pernah benar-
benar melihat Galenia sedang duduk di bulan yang sabit.
Jika kunjungannya sudah dirasa cukup, Galenia akan kembali dengan
sepeda tuanya menuruni bumi. Di bumi ia akan kembali dengan
kehidupannya. Membaca buku-buku dongeng yang dibuat manusia
terutama perihal bulan atau sesekali menjadi manusia biasa hanya untuk
menghilangkan perasaan sepinya.
“Prepararse para La Felicidad,” ucapnya jika sedang merasa kesepian
dan sepeda tua itu akan menemani untuk melakukan petualangan
berikutnya.

-----------------------------
Hani Hanifah. Seorang perempuan kelahiran 1998 ini berdomisili di
Tasikmalaya. Penulis yang lebih senang berimajinasi dengan peri-peri ini
merupakan mahasiswa di jurusan Akuntansi. Bisa dihubungi melalui Instagram
@hanihanf atau surel haneehanf@gmail.com
85
Jerboa: Percakapan Bawah
Tanah
--Hasna D. R.

Jauh di bawah pasir, hiduplah para hewan penghuni gurun yang tidak
lebih bodoh dari manusia yang hidup di atas pasir. Tidak ada yang tahu
persis tempat tinggal kami di bawah pasir seperti apa. Bisa jadi
membentuk lorong-lorong seperti rumah semut atau bisa juga hanya
berbentuk lubang kecil di dalam tanah buatan kelinci yang hanya muat
sendiri. Yang pasti, tempat tinggal tersebut cukup nyaman bagi kami para
penghuni bawah tanah. Kupikir pembaca bisa lebih pintar berimajinasi
sendiri tentang ini. Jadi, tak perlulah aku jelaskan soal rupa tempat
tinggalku (padahal sebenarnya malas saja). Intinya, aku hanyalah satu dari
sekian penghuni bawah tanah dan kisahku di bawah hanyalah sebuah
percakapan sia-sia yang membuatku hampir mati. Semoga tidak ada yang
menyesal setelah membacanya.
***

86
Sebutir semangka baru saja dibawa temanku. Ia meletakkannya begitu
saja di tengah-tengah ruangan seolah menyajikan hidangan penutup
malam ini. Sebenarnya, aku tidak mengerti bagaimana cara ia membawa
buah tersebut ke dalam tanah atau pasir lebih tepatnya. Badannya terlalu
mungil untuk ukuran buah yang dua kali lipat lebih besar darinya.
Mungkin dia sudah lebih cerdas sekarang, pikirku.
“Jadi, bagaimana kawan-kawan? Apakah kalian setuju dengan
ideku?” Pertanyaan dariku membuat kunyahan dua makhluk di
hadapanku tiba-tiba terhenti. Mereka saling pandang lalu memutuskan
untuk melanjutkan makan kembali seakan tidak mendengar apa-apa.
“Hei! Aku tidak serta-merta mengundang kalian makan di sini begitu
saja. Kalian harus tahu betapa sulitnya aku memperoleh makanan favorit
kalian.” Aku mulai menggerutu karena sikap mereka yang acuh tak acuh.
Sampai-sampai aku berpikir bahwa aku salah memilih kawan untuk
diajak kerja sama.
Salah satu dari mereka menjulurkan lidahnya lalu mengangkat badan
dan kepalanya sambil meliuk-liuk memperhatikan tingkahku yang mulai
kesal. Akhirnya, ia angkat bicara. “Maksudmu kita menyelinap masuk ke
dalam kantong saat ada manusia yang berhenti sejenak di atas rumah
kita? Setelah itu barulah kita akan bisa sampai di kota yang katamu
terdapat segala-galanya, terutama makanan-makanan yang kita idam-
idamkan.”
“Benar sekali!”

87
“Bukankah berbahaya bila manusia menemukan salah satu dari kita
tiba-tiba berada di kantongnya. Bisa mati kita!” Kawanku yang lain
menanggapi setelah menghabiskan sepiring serangga kesukaannya.
“Kalian ingin bisa merasakan makan sepuasnya, kan? Coba
bayangkan bisa makan enak seperti ini setiap hari. Tapi tunggu dulu,
semua pasti ada risikonya. Kalian mengerti?” ujarku mencoba
meyakinkan.
Memang kurang ajar aku ini. Sudah dikutuk menjadi seekor jerboa
pun masih saja menipu seperti ini. Mungkin bagi kalian, nama ‘Jerboa’
masih terdengar asing. Baiklah, akan kujelaskan sedikit. Pernah melihat
tikus? Kelinci? Hampir setiap orang pernah bertemu dengan kedua
hewan tersebut. Bayangkan aku adalah sesosok makhluk bertubuh kecil
seperti tikus tetapi bertelinga panjang seperti kelinci. Jangan terlalu jauh
mengkhayal, aku bukanlah seekor tikus gempal yang biasanya kalian
temukan di got tetapi anggaplah aku seperti Jerry dalam serial kartun
‘Tom and Jerry’ dengan tubuh yang lebih kurus dan warna yang berbeda
yaitu abu-abu. Kakiku berjumlah tiga. Adakah yang pernah bertemu
langsung dengan kanguru? Kalau pun tidak, bayangkan saja dengan dua
kaki belakangku aku bisa melompat jauh seperti kanguru. Begitulah
kurang lebih bentuk fisikku sekarang. Meski tidak buruk rupa dan
menyeramkan tetap saja aku tampak seperti makhluk menjijikkan.
Tiba-tiba kawanku berdesis lalu menyenggol tubuhku dengan
kepalanya. “Aku setuju dengan idemu untuk pergi ke pusat kota.
Namun, aku masih tidak mengerti kenapa kamu harus membawa serta

88
kami? Bukankah kau adalah makhluk paling cerdas di seantero gurun?
Seharusnya kau bisa pergi sendiri.”
Aku termenung. Aku ingat dulu saat menjadi manusia aku berhasil
membodohi ratusan juta orang di negara tropis itu sebelum terlempar ke
gurun yang kering kerontang ini. Berapa ratus manusia yang kuajari
untuk mengikuti jalan kotorku dalam mendapat jabatan, mungkin bukan
mengajari tapi mempengaruhi. Berapa puluh orang telah kusumpal
mulutnya pula dengan mudah dan mungkin berapa banyak jiwa pula
yang terenggut nyawanya akibat dari permainan yang aku lakukan. Ah,
dasar makhluk paling berdosa aku ini. Pantas saja Tuhan mengubahku
menjadi seekor jerboa. Ya, jerboa! Makhluk kecil yang kutahu namanya
setelah diriku sendiri dipanggil oleh hewan lain. Syukur otakku tidak
diubah menjadi seperti binatang. Jadi, aku masih punya kecerdasan dan
ingatan seorang manusia. Ular itu betul, aku memang cerdas tapi aku
tidak mau membahayakan nyawa sendiri jika sewaktu-waktu aku
tertangkap. Lagipula aku tidak memiliki senjata apa pun, sedangkan si
ular punya bisa dan gigitan yang mematikan.
“Ya, tentu saja aku bisa pergi sendiri tapi bukankah membawa serta
kalian itu tandanya aku setia kawan. Kalian dua makhluk pertama yang
kukenal di gurun ini, aku sangat menghargai keberadaan kalian.”
“Memangnya apa yang akan kau lakukan di sana?” tanya si pemakan
serangga.
“Seperti yang sudah aku bilang tadi, aku hanya ingin menemui
kembali keluargaku.”

89
Omong kosong. Keluargaku tidak mungkin berada di negeri paling
kering sedunia ini. Mereka hidup nyaman di negeri angin sepoi-sepoi
dengan mataharinya yang hangat. Lagi pula kalaupun bertemu, mereka
pasti tidak akan mengenaliku. Kutebak, sekarang mereka dan semua
orang yang mengenalku pasti sedang panik dengan berita kehilanganku.
Jadi, bisa kalian simpulkan, aku memang sedang berbohong. Sudah tahu
bohong itu salah satu perbuatan dosa dan aku malah terus melakoninya.
Aku muak tinggal di gurun yang sepi karena terbiasa hidup dengan ingar-
bingar. Barangkali di kota sana lebih ramai.
“Baiklah kalau niatmu begitu. Tapi aku ingin bertanya sekali lagi,
memangnya aman jika kami ikut dalam rencanamu itu?” Mudah saja
bagiku untuk menjawab pertanyaan tersebut tetapi seketika temannya
menanggapi.
“Kau percaya sajalah pada si Jerboa.” Ternyata ular yang kukira
makhluk licik tersebut lebih mudah teperdaya.
Ngomong-ngomong, soal dua temanku itu belum kuperkenalkan. Si
ular yang dari tadi mendukungku adalah seekor ular jenis viper. Ia salah
satu makhluk yang paling disegani karena dengan taringnya yang runcing,
ia bisa dengan mudah merobek dagingmu. Satu lagi, si kadal penyuka
serangga adalah seekor kadal gurun. Sebenarnya ia makhluk yang biasa
saja tetapi setelah kulihat dia bisa juga membawa beban dua kali berat
tubuhnya saat membawa semangka tadi, aku bisa anggap dia makhluk
kecil yang cukup tangguh dan memang punya pendirian teguh meski
kurang cerdas.

90
Mengenal mereka ternyata seperti halnya mengenal manusia di
kehidupanku sebelumnya. Si ular viper bisa diasosiasikan dengan
seorang pejabat yang memiliki kedudukan tinggi. Dengan jabatannya itu
ia bisa menebas siapa saja. Kemudian, aku melihat si kadal gurun seperti
melihat bawahanku sendiri. Pekerja-pekerja yang meski rakyat jelata dan
kurang cerdas tapi cukup tangguh diberi beban kerja yang banyak meski
terkadang mereka keras kepala pada keyakinannya masing-masing saat
aku ajak bermain.
Tak berapa lama aku diserahkan sepotong semangka yang dari tadi
sudah disiapkan. “Makanlah.” Si Kadal mempersilakanku mencicipi
buah segar itu. Tanpa berpikir panjang aku langsung memakannya.
Hanya satu gigitan, pandanganku langsung kabur, aku merasakan mual
yang luar biasa, detak jantungku mulai melemah.
“Ternyata dia tak lebih cerdas dari seekor unta gurun. Pergilah kau
ke neraka wahai makhluk pembual!”
Aku tidak yakin siapa yang mengatakannya, yang pasti aku akan
membalasnya. Barulah kusadari setelah beberapa menit penuh
penderitaan, aku merasa mati perlahan. Tentu saja! Ah, ya aku baru tahu
kalau itu tak lebih dari racun labu gurun bukan semangka seperti yang
kusangka!

-----------------------------
Hasna D. R.. Hanya seorang manusia yang mudah bosan dengan rutinitas dan
merutuki kondisi saat ini, tetapi tentu saja tidak berhenti berdoa untuk kepulihan
negeri.

91
Tentangku yang Melahap
Mimpi
--Lacahya

“Kemarilah, untuk sekarang dan yang mungkin tumbuh.”*

Kiss me like you miss me.


Adalah sepenggal dialog dari film Deadpool yang kutonton beberapa
minggu lalu bersama adikku. Kalimat sederhana, tapi entah kenapa
maknanya tidak sederhana. Mungkin aku mengharap akan ada
perempuan yang menyambutku seperti adegan film itu nantinya. Atau
mungkin, aku hanya membayangkan kalau aku menginginkan hal
tersebut. Entahlah, di antara keduanya, jelas aku mendambamu,
Kekasih.
Menarik juga, membayangkan nanti sepulang lelahku dari kantor,
kausambut aku dengan kalimat itu. Lalu kau lari ke dalam pelukanku,
kemudian kita saling lumat. Lama. Seperti sepasang kekasih yang
tenggelam dalam rindu tak berkesudah. Namun dibanding semua,
rasanya aku lebih suka berandai-andai menghabiskan waktu bersamamu.

92
Melepas penat dan bosan setelah mencumbu tugas-tugas kantor yang
tiada akhir. Mengobrol dan membicarakan segala hal lalu diakhiri
mencumbumu juga, kalau perlu.
Bayangkan saja, Kekasih. Selain membicarakan tentang pajak dan
utang negara, dolar yang naik turun layaknya keimanan manusia, pilpres
yang selalu saja berdrama tiap lima tahun, kelucuan-kelucuan para
pejabat yang melebihi komika, kita akan membicarakan hal-hal sepele
lainnya. Seperti sudah berapa kali anak kita berak dalam sehari ini, dan
bisa saja kita bicarakan harga bawang yang kian naik (apakah ini berkaitan
dengan utang negara yang entah kapan lunas, Kekasih?), atau tentang
kecewamu saat kubelikan lipstik titipanmu dengan warna yang salah.
Yah, aku lelaki yang sulit membedakan warna merah keunguan atau
ungu kemerahan, kau paham bagaimana aku, bukan?
Hari-hari akan kita lewati dengan tawa dan tangis. Kita yang pernah
jatuh dan patah di masa lalu, berdiri sendiri, lalu saling temu. Hingga
kelak kita ajari bersama anak-anak kita untuk menyukai buku-buku.
Puisi-puisiku, juga cerpen-cerpenmu. Nanti akan ada waktunya kita
mengajari mereka kalimat legenda: ini bapak Budi—meski kita berdua
tak pernah tahu siapa Budi maupun bapaknya. Mungkin juga akan ada
masanya aku tergelak saat kau marah ketika kubilang ada panu di
punggungmu. Sungguh, membayangkan semua itu membuatku
bersemangat dan tabah menjalani segalanya sendiri, kini.
Bukankah cinta itu pendulum, Kekasih? Tiap detik bercorak bunga
dalam sebuah pigura. Pelan-pelan saja, biar kumaknai hadirmu lewat
celah jemari yang kugunakan untuk bertukar pesan denganmu. Biar

93
sekat misteri terbuka perlahan seiring waktu. Jangan terburu-buru, biar
aku nikmati tiga pagi dengan membaca ulang semua pesanmu, juga
mengirimkan ucapan selamat tidur yang sudah sangat terlambat untuk
kukirim.
Aku lelaki yang menikmati kesendirianku. Menghabisi malam
ditemani berbatang-batang rokok, cangkir-cangkir kopi, sesekali diiringi
gitar dan lagu-lagu indie, dengan kawan-kawanku. Menikmati kebebasan
tanpa ada perempuan yang merewelkan ini-itu padaku, bilang begini tapi
maunya begitu, atau memintaku melakukan hal-hal konyol demi
menyenangkan hatinya. Tak ada orang yang senang diminta tidur
sebelum waktunya mengantuk, sesibuk apa pun esok menjelang. Begitu
juga aku.
Kemudian kau datang.
Di persimpangan jalan perkenalanku dengan orang-orang baru,
kulihat kau yang mengenakan daster sederhana bercorak seroja—(yang
akhirnya kutahu bahwa seroja adalah bunga kesukaanmu). Perempuan
yang membiarkan angin merayu rambutnya hingga pesai tanpa peduli.
Tak seperti perempuan lainnya, yang begitu memerhatikan penampilan
dan terus-menerus bersolek. Percayalah, Kekasih, kau keanggunan
dalam wujud kesederhanaan yang manis.
Tadinya, aku tak pernah percaya cinta pada pandangan pertama. Eh,
yah, setelah bertemu denganmu juga aku masih belum percaya,
sejujurnya. Hanya saja, ada rasa yang kuyakini pelan-pelan akan hadir
bersamamu. Karenamu. Ini…imprint?
“Being in love with you seems like a really bad idea.”

94
Adalah lagu yang sering kauputar dan kaudendangkan. Dari film
Tom and Jerry di YouTube, katamu. Namun aku paham, Kekasih, lagu
yang sengaja kaudendangkan saat bersamaku memiliki arti. Setelah patah
hatimu yang terakhir, jatuh hati tak lagi terasa menyenangkan. Cenderung
menakutkan, mungkin. Dikhianati sedemikian rupa atas apa yang telah
kaujaga sedemikian kuat. Dan aku meyakini waktu akan menyembuhkan
segala bagian-bagian menyakitkan di hidupmu. Membuatmu membaik,
meski aku tahu kau tak akan lupa pada apa-apa yang bikin luka. Semoga
saja, hadirku membuatmu lebih sering mengingat segala yang indah.
Jangan terburu-buru, Kekasih. Biar waktu memainkan perannya. Semua
akan membaik, akan membaik. Aku akan menemani hingga gelombang-
gelombang kacaumu bukan apa-apa lagi bagi sunyimu yang tapa.
Jangan terburu-buru, Kekasih. Biar waktu memainkan perannya
dengan baik. Meski entah, nanti aku yang mendatangimu atau kau yang
menungguku.
Kemarilah.
Kiss me like you miss me.
Sepenggal dialog dari film Deadpool membuatku tersenyum kecil
ketika mengingatnya. Kalimat sederhana, yang tidak sesederhana
kelihatannya. Mungkin aku mengharapkan kamu yang menyambutku
seperti adegan dalam film itu. Atau mungkin, aku hanya membayangkan
kalau aku menginginkan hal tersebut. Entahlah, yang jelas: aku memang
mendambamu, Kekasih.
Menyenangkan membayangkan kedekatan kita akan berakhir baik.
Sudah kubilang, aku meyakini apa-apa yang diniati baik akan memiliki

95
akhir yang baik. Menjauh dengan baik, atau betah berbaik-baik.
Denganmu, jelas kuusahakan opsi yang kedua. Beberapa bulan ini
memang bukan waktu yang lama untuk menjadi dekat hingga memahami
segalamu. Sejak pertemuanku kali pertama denganmu yang memakai
daster bermotif seroja, ada nyaman yang menjelma betah. Betah
membicarakan segala hal. Mimpiku-mimpimu. Tentang dirimu-diriku.
Bahkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah bisa kita
utarakan pada orang lain sebelumnya.
Mungkin, kita memang telah saling meng-imprint. Di matamu aku
bisa melihat diriku, beberapa tahun mendatang. Bekerja sama denganmu
membangun kebersamaan. Semacam: kita sudah sama lelah sepulang
dari kantor, lalu aku menjerang air agar kau bisa menyeduh minuman
panas. Kopi hitam untukku, dengan perbandingan dua sendok kopi dan
satu sendok gula, dan teh kamomil dengan sedikit gula untukmu. Aku
belanja dan kau memasak—setelah kuterima sedikit omelan darimu
sebab membeli sayur dengan harga mahal, atau tak cermat waktu
membeli cabai segar. Kemudian kau membersihkan meja makan dan
aku yang mencuci piring-piring. Bisa juga nanti kau mencuci baju dan
aku yang melipatnya—ini juga setelah kita berdebat perkara kau dan aku
yang sama enggannya bila berurusan dengan setrika yang membuat
gerah. Atau menikmati hari libur tanpa melakukan apa-apa, hanya
bergelung di sofa berdua; menonton film atau mendengarkan lagu yang
romantis menurut kita dalam balutan piama sepanjang hari. Dan
malamnya sebelum lelap, kita berjanji untuk bertemu di Channel 9
dalam mimpi.

96
Demi mewujudkan lamunanku menjadi nyata, rasa-rasanya aku bisa
betah menemani saat kau butuh aku, dan menyanyikan lagu-lagu yang
kamu minta. Aku ingin menua bersamamu, Kekasih. Mengubah nama
terakhirmu menjadi namaku. Sebelum mengenalmu, aku tak pernah
menyangka sendiri bisa membuatku merasa sesepi ini.
Maka, kemarilah, Kekasih. Jangan dengan keinginanmu, nantinya.
Namun dengan tekad petani untuk menanam padi di musim kemarau.
Aku pikir, tak ada kebenaran dalam diriku, pada kata-kataku, sebab
selama ini aku selalu mencoba bersikap sesuai keadaan, tanpa pernah
aku berharap pada apa-apa. Semua terjadi begitu saja mengikuti alur.
Namun, kalau segala yang kurasakan sekarang bukanlah kebenaran,
maka aku tak lagi tahu seperti apa wujud kebenaran yang nyata.
Maka, kemarilah, Kekasih. Untuk yang ada sekarang dan yang
mungkin tumbuh, sebelum kita sama-sama lenguh.

2018

(*) Penggalan puisi Khodyani Achmad, Aku yang Mendatangimu. Atau Kau yang
Menungguku?'

(**) Cerpen ini pernah terbit di antologi Mazaya Publishing House dalam buku berjudul
Pesta Tengah Malam

-----------------------------
Lacahya. Amatir yang masih terus belajar menulis. Suka bingung kalau diminta
menulis biodata. Hasil latihannya bisa diintip di artefaklacahya.wordpress.com
dan di Instagram @lacahya. Mencoba aktif mengajak pembaca untuk peduli
kesehatan mental.

97
Enam Hal yang Terjadi
Sebelum Anjani Mati
--Jein Oktaviany

0.
Anjani, pelacur yang mati karena diperkosa itu sangat menyukai angka
genap.
1.
Anjani tidak tahu jam berapa dia bangun, apakah ini siang atau malam.
Saat dia terbangun, matanya hanya melihat kegelapan karena ditutup
oleh kain. Mulutnya mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar
karena mulutnya pun ditutup oleh kain. Dia mencoba menggerakkan
tangannya, kakinya, seluruh tubuhnya. Namun, tidak bergerak sedikit
pun karena seluruh tubuhnya telah diikat. Yang dia tahu ini adalah hari
Rabu, karena kemarin malam Anjani ingat tidur di mana dan bersama
siapa yang menyewanya di hari apa. Terdengar suara pintu dibuka
dengan pelan, lalu ditutup dengan keras. Anjani terkaget. Mungkinkah
lelaki itu? batinnya. Sesuatu masuk ke dalam lubang depan Anjani,

98
membuat Anjani terkaget. Dia pun kembali diguncang-guncang tanpa
bisa mendesah dan melenguh seperti yang biasa dia lakukan.
2.
Minggu malam, saat sedang mabuk berat di sebuah pesta seks, Anjani
mengatakan pada temannya yang tentu saja sesama pelacur, bahwa dia
takkan pernah mau dibeli atau dipakai oleh orang yang punya kelamin
kecil. Saat itu, dia menunjuk seorang laki-laki berjanggut panjang. Seperti
orang itu, katanya. Lalu dia tertawa terbahak-bahak. Temannya bertanya,
bagaimana kamu tahu dia punya titit kecil? Jawaban Anjani sederhana,
bukankah setiap tukang bata tahu mana bata yang berkualitas dan tidak
hanya dengan melihatnya? Temannya mengangguk dan tertawa-tawa.
Anjani menatap si janggut panjang yang perlahan memperhatikannya.
Sebelum ingat apa yang terjadi, Anjani telah ditarik oleh orang lain untuk
ke ranjang.
3.
Tidak ada yang Anjani ingat kecuali rasa sakit yang terasa di sekujur
tubuhnya. Dia bukan hanya dimasuki. Namun dipecut, dipanaskan,
didinginkan, digampar, dipukul. Tubuhnya sudah tidak lagi kuat
menahan sakit yang dia alami. Anjani memang terbiasa untuk melayani
hasrat birahi kaum Ares, tapi dia tak biasa melayani hasrat berperangnya.
Anjani sudah tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya sekarang.
Telebih setiap ada kesakitan-kesakitan lain, Anjani semakin lupa akan
sesuatu yang sedang dia ingat. Anjani hanya menghitung setiap siksaan
yang hadir ke tubuhnya dalam hati. Dari hitungan per hitungan, Anjani
mencoba mengingat beberapa hal penting dalam kepalanya. Semakin

99
diingat, semakin terlupa. Di ujung rasa sakitnya, dia mengingat sesuatu,
mungkin ini Kamis, hanya itu yang Anjani batinkan.
4.
Senin pagi, setelah semalaman merasa terguncang-guncang. Anjani tidak
mengingat sedikit pun yang terjadi pada malam harinya. Rasanya semua
seakan-akan buram seperti sebuah film porno Jepang yang disensor. Hal
itu biasa baginya yang memang setiap malam selalu ditindih oleh tubuh
lain. Karena terkadang, hal itu membuat kepalanya terbentur lalu pusing
dan tak ingat tentang beberapa hal. Anjani bangun dari ranjangnya,
menyingkirkan tubuh pasangan semalam. Dia mencoba meregangkan
badannya, membetulkan posisi pakaian dalamnya, lalu berjalan untuk
mencari minuman. Saat dia menuangkan air dalam gelas, dia merasa ada
seseorang yang mengamatinya. Anjani mencoba menatap pada arah yang
dia curigai, maka terlihatlah lelaki berjanggut panjang yang telah
berpakaian lengkap, tidak seperti lelaki yang biasa mondar-mandir di
sekitar sini. Ia pun menghampiri Anjani lalu bertanya, Berapa satu
malam? Anjani merasa lelaki tersebut tidak asing, tapi dia juga percaya
bahwa laki-laki itu asing. Anjani menjawab dengan sebuah pertanyaan,
Untuk kapan? Terkadang aku sudah di-booking orang lain. Lelaki itu
menjawab singkat, Besok. Anjani pun menyerahkan kartu namanya. Di
sana ada nomerku, nomer rekeningku, dan hargaku dalam semalam.
Kau harus transfer setengahnya dulu, lalu mengirimku pesan tentang di
mana dan jam berapa. Besok aku kosong.

100
5.
Rasa lapar mulai menggerogoti Anjani. Ia bahkan tak tahu lagi apakah
perutnya masih utuh atau sudah sobek dan berdarah. Sakit seluruh
tubuhnya sudah tidak terasa. Beberapa pukulan, hentakan, dan siksaan-
siksaan lain membuat Anjani semakin lemah. Dia sudah tidak bisa ingat
apa pun yang terjadi beberapa hari ke belakang, atau hari apa ini. Anjani
hanya mengingat ibunya yang menggendongnya saat dia kecil. Maafkan
Anjani kecilmu ini, Mama, batinnya. Dan sesuatu yang dingin masuk
dalam lubang depan Anjani yang telah lecet dan berdarah. Sesuatu itu
kecil, terlalu kecil menusuk lubang kenikmataan tersebut. Selamat hari
Jumat, ucap seorang laki-laki. Anjani sekarang ingat segalanya. Dor.
Hanya itu suara terakhir yang didengar Anjani.
6.
Malam itu, Anjani sangat terburu-buru. Dia adalah seorang pelacur kelas
atas. Hanya beberapa orang yang berani menyewanya secara pribadi alias
bukan untuk bersama-sama. Namun, baru kali ini, ada orang yang
langsung melunasi biaya seperti pria yang akan dia datangi. Terlebih yang
anehnya, penyewanya kali ini menyewa pada Selasa malam, padahal
mereka baru bertemu dan berjanji saat Senin pagi. Biasanya, penyewa
Anjani, khsususnya yang pribadi, tidak pernah meminta dilayani Anjani
jika besoknya adalah hari kerja. Mereka kebanyakan adalah pejabat atau
petinggi negara dan akan pergi ke kantor. Anjani telah terlambat
beberapa menit, dan itu mungkin bisa membuat penyewanya marah
karena telah membayar mahal. Maka, Anjani berjanji akan memberikan
gaya terbaik bagi penyewa tersebut. Sesampainya di kamar hotel, Anjani

101
langsung masuk dan memeluk sang pemiliknya kali ini. Dia menelanjangi
dan ditelanjangi. Dia meniduri dan ditiduri. Dia memuaskan dan
anehnya dipuaskan. Saat malam telah begitu larut, Anjani sangat
kelelahan walaupun pemiliknya masih begitu bersemangat. Anjani
merasa baru kali ini dia melayani seorang setangguh ini. Pertama kali
Anjani sepuas ini, selelah ini, dan sesakit ini. Ah, desahnya.
0.
Anjani, yang mendapatkan uang dari lubangnya, juga mendapatkan ajal
dari lubangnya, ditemukan tewas tanpa busana, bermandikan peluh dan
darah di sebuah kamar hotel, pada hari Sabtu, tanggal enam.
*
Atas permintaan Anjani yang entah sedang di surga atau neraka, cerita ini
harus dibaca dari angka genap lebih dulu dan angka ganjil kemudian.
Sedangkan angka nol, bisa dibaca bisa tidak, karena nol tidak berharga.

-----------------------------
Jein Oktaviany. Lahir di Ciwidey saat Friday’s 13th. Aktif di grup kepenulisan
Prosatujuh dan Kawah Sastra Ciwidey. Beberapa karyanya telah dimuat di
beberapa media dan buku antologi. Satu-satunya penulis di
jeinoktaviany.wordpress.com dan di Instagram @oktavianyjein.

102
Katarsis2
--Puan Alya

Kota Kansas, 28 September 2018.

Sudah sepuluh menit Stone Walter, tersangka pembunuhan sadis


keenam puluh delapan gadis-gadis belia yang meresahkan negara bagian,
berada di ruang interogasi. Opsir Brown dari kepolisian New York
bersama rekannya, Stevenson Joseph, agen rahasia yang menyewa
apartemen di sebelah sang tersangka, memerhatikan layar-layar dengan
saksama di ruang perekam.
“Kau lihat? Sangat tenang tetapi terasa janggal.” Telunjuk sang opsir
menunjuk ke layar yang memproyeksikan rekaman di dalam ruang
interogasi. “Sepertinya Kansas harus menyisihkan anggaran belanja kota
untuk mengganti semua perangkat kuno di sini.”
“Tidak perlu karena kamera-kamera itu dikirim langsung dari markas
besar, salah satu perangkat paling mutakhir,” balas Agen Steve disertai

2
Katarsis (n, Psi) pengobatan orang berpenyakit saraf dengan membiarkannya
menuangkan segala isi hati
103
penjelasan detail cara kerja peralatan yang terpasang. “Memang ada yang
aneh dengannya.”
Pukul 21.30 Agen Steve memasuki ruang interogasi, menekan sakelar
utama, dan menarik kursi besi yang alasnya sudah tipis. Sangat tidak
menyenangkan. Ia menggerutu dalam hati beberapa saat setelah
memerhatikan tersangka yang telah lama buron itu.
“Get ready, Brown.” Agen Steve mengedikkan dagu tanpa mengubah
pandang, sebuah interuksi pada Opsir Brown untuk memulai
penyelidikan.
“Tersangka nomor 068S, Walter Stone, take record.” Agen Brown
mengaba-aba dari mikrofon.
“Stone Walter3, pria 28 tahun, berkebangsaan Amerika, tinggal di
East Village Apartment. Oh, wow! Sangat dekat dengan Gedung
Pengadilan Negeri.” Steve membalikkan halaman berisi profil singkat
buruannya dengan setengah menggeram. “Ck! Bagaimana bisa penegak
hukum gagal menemukan pelanggar hukum yang jaraknya hanya
beberapa blok saja?”
“Stone Walter, orang Inggris biasa mengatakannya seperti air. Lebih
aneh, bukan? Batu Air.” Pertanyaan itu dijawab dengan sangat tenang
dan santai selayaknya memperkenalkan diri di sekolah baru.
Tenangkan dirimu Steve, dia hanya bajingan manipulatif . Steve
memejamkan mata, mengatur napas. Ia tidak boleh kehilangan
pengendalian diri saat menghadapi pesakitan seperti Stone Walter.

3
Walter (Woltah) jika diucapkan dengan aksen Inggris British, terdengar seperti
‘Wotah’
104
“Ada apa, Agen Steve? Atau boleh kupanggil Johanson si tetangga
baru? Ah, selalu ada sepotong “son” pada nama orang Irlandia.” Si
tersangka terkekeh dan tetap santai. Memanglah batu tidak akan hilang
keangkuhannya jika belum terkena erosi.
“Jadi, apa motif pembunuhan-pembunuhan yang kaulakukan itu,
Tuan Walter?” Tidak ingin berlama-lama, Agen Steve langsung
menanyakan poin utama dari interogasi ini.
“Ceritanya panjang, Johan. Mungkin dimulai saat usiaku baru delapan
tahun dan cerita membosankan ini membutuhkan waktu lebih dari satu
malam untuk selesai.” Tangannya mengibas beberapa kali.
“Katakan saja semuanya ... dengan jujur.” Dari telinga Stone,
terdengar Agen Steve memberikan sedikit penekanan di akhir
kalimatnya.
“Kau terlalu kaku dengan arti harfiah jujur, Johan. Aku adalah orang
yang berterus terang seperti, ‘hei, aku menyukai otot wajah jengkelmu,
bisakah aku mendapatkannya untuk koleksi terakhir? Aku akan sangat
bahagia dalam kematianku jika bisa memiliki itu.’” Stone mengetukkan
jari pada permukaan meja besi. “Opsir, bolehkah aku meminta Mozart
March Turkish atau musik Rock supaya tidak mengantuk? Sangat
membosankan di dalam sini!”
“Kau lebih cocok disebut bajingan munafik yang manipulatif, Walter.
Apa kau tahu betapa konyol hasil pemeriksaan kejiwaanmu ini? Alter
ego, GKG4, Bipolar, dan ... apa ini dibaca Skizofernia? Tujuh kali

4
GKG, Gangguan Kepribadian Ganda.

105
pemeriksaan dan tujuh hasil berbeda pula.” Steve mengusap janggutnya
gemas, ia sungguh muak berada di satu ruangan—berbagi udara yang
sama— dengan seseorang yang lebih cocok mendapatkan rehabilitasi di
rumah sakit jiwa.
Bagi Stone sendiri, ia sudah sangat terbiasa dengan orang yang jijik
padanya sehingga yang ia lakukan hanyalah menikmati reaksi-reaksi yang
diberikan Johan—atau Stevenson—baik dari gerak tubuh maupun
ekspresi mikro di wajah sang agen—ini bagian yang paling memikatnya,.
“Skizofrenia, Johan. Sebuah kelainan mental akibat depresi berat.”
Lagi, penjelasan yang memperpanjang waktu penyelidikan. “Omong-
omong, aku tidak menyukai sebutan ‘manipulatif’ yang kauberikan
karena aku menyebutnya 'hasil dari rangsangan' seperti … kau tahu
hukum sebab-akibat, bukan? Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan
dokter dan kemudian mendapatkan hasil berupa praduga yang tidak
tepat—“
“Kau mempermainkan mereka, kau mempermainkan penegak
hukum!” sela Agen Steve tidak sabaran, pengendalian dirinya telah ia
tanggalkan. “Tidak ada sidik jari yang tertinggal di mayat-mayat itu,
berganti-ganti modus, dan bahkan mereka tidak memiliki sedikit pun
hubungan denganmu, kecuali yang terakhir, Elise Gregory.”
“Semakin asing semakin bagus. Bukan begitu, Johan?” Hampir saja
pecah tawa Stone karena aparat di hadapannya terlihat sangat frustrasi.
“Lagipula untuk sesuatu yang murni seperti kerut wajah dan otot yang
mengejang alami diperlukan hal yang murni pula, bukan? Aku
memberikan mereka kematian yang damai bebas teror.”

106
“Brengsek!” Habis sudah kesabaran agen muda itu kala kakinya—yang
sedari tadi gatal—berhasil menjatuhkan Stone dari duduknya dan
memberikan tendangan beberapa kali sebelum Opsir Brown datang
untuk melerai.
“Tenanglah, Steve. Jangan kotori kakimu untuk menendangi
makhluk tidak tahu diri ini karena ….”
Buk!
Buk!
Buk!
Tiga hantaman. Kursi lipat besi itu dihantamkan Opsir Brown—
dengan sengaja dan keras—pada tubuh sang tersangka hingga mungkin
kau bisa mendengar retakan—tulang atau kursi lipat malang—di tengah
kekacauan.
“Aku akan menghapus bagian ini,” pamit Opsir Brown sebelum
keluar dari ruang interogasi. Meninggalkan seorang aparat yang masih
geram dan psikopat yang tertawa-tawa sinting.
Penyelidikan berlanjut. Stone akhirnya membuka mulut untuk
menceritakan segala hal yang dibutuhkan para agen tanpa perlawanan
lebih lanjut.
Pukul sepuluh tepat, Steve sangat yakin jika semua ini tidak akan
selesai dengan cepat seperti dugaannya karena tidak ada rincian penting
yang ia catat—sudah satu lembar HVS ukuran A4.
“Apa kau masih mempermainkanku, Stone?” Sepertinya ia tidak
menyadari jika titik balik kehidupan sang tersangka berawal di usia muda
saat dunia tidak lagi sama dalam pandangannya yang menjadi salah satu

107
korban kecelakaan terparah sepanjang sejarah lalu lintas Kota Kansas.
Peristiwa itu menewaskan ratusan pengguna kendaraan termasuk kedua
orang tua dan saraf-saraf renik di lobus frontalnya. Ia kehilangan seluruh
dunia dalam keheningan.
Kemudian James Walter, dokter pediatri5 tua yang merawatnya
selama di rumah sakit, memberikan nama Stone Walter—dengan
harapan agar dirinya jadi setangguh batu—di surat permohonan adopsi.
Ia tertarik pada bakat luar biasa Stone sekaligus merasa kasihan karena
anak perwaliannya itu tidak lagi dapat merasakan keceriaan.
Stone kecil begitu tertarik pada dunia kedokteran. Buku-buku, jurnal-
jurnal sulit yang diberikan James untuk mengusir kebosanan Stone selagi
ia melakukan terapi—yang sebenarnya adalah penelitian ilegal oleh tim
peneliti rumah sakit yang tertarik pada kasusnya—Stone lahap habis
dengan suka cita.
Sterben6. Usia Stone muda bertambah bertepatan dengan Natal yang
dingin sekaligus membahagiakan karena pada hari itu ia diperkenalkan
pada hal baru yang menghadirkan euforia di hati kecilnya. Ajal yang
menjemput salah satu pasien sang Ayah, entah mengapa membuatnya
merasa ada sesuatu yang mengisi kekosongan dirinya. Seperti hal magis
yang menakjubkan.
“Dad, bisakah kau mengajakku setiap kali ada pasienmu yang
meninggal?” Bagi Stone kecil mungkin permintaan itu sepele layaknya

5
Dokter pediatri, dokter spesialis anak.
6
Sterben (Stea;ben) dalam Bahasa Jerman berarti mati. Digunakan dalam istilah
kedokteran yang berarti adalah kondisi di mana pasien meninggal di rumah sakit saat
menjalani perawatan.
108
meminta mobil mainan, tetapi memberi efek ngeri bagi James. Ia
ketakutan, merinding dan berkeringat dingin saat menatap netra biru
anak angkatnya sambil bersumpah dalam hati tidak akan membawa
Stone ke rumah sakit lagi.
Kejadian itu terpatri kuat dalam ingatan. Jiwa muda Stone yang cerdas
dan penuh rasa ingin tahu begitu penasaran. Apakah ia bisa merasakan
sensasi luar biasa itu lagi suatu saat nanti?
Tapi mengapa harus ‘suatu saat nanti’? Pemikiran primordial dari sisi
primitif manusia—yang mengadopsi kutipan ‘dimangsa atau memangsa’—
menghasut dirinya.
Asa yang tidak sampai, cita yang ingin diwujudkan itu meledakkan diri
dalam wujud mimpi. Lucid dream7. Stone mempelajarinya setelah
menemukan istilah asing tersebut di buku James.
“Napas terhela patah-patah di dalam masker oksigen dan wajah
kepuasan saat terbebas dari penderitaan.” Detail itu ia sampaikan pada
Agen Steve yang juga merasa ngeri saat melihat pesakitan di hadapannya
yang berbahagia sendiri. Sebuah kengerian tak terbantahkan. “Tapi lucid
dream menjadi membosankan bagiku karena aku tidak memiliki ingatan
kematian yang lain.”
“Apakah kemudian kau melakukan pembunuhan pertamamu?”
“Iya,” jawabnya sebelum meneruskan cerita yang terjadi di usianya
yang kedua belas tahun. “Tapi kurasa kematian James bukan karena

7
Lucid dream adalah kondisi di mana seseorang menyadari jika dirinya sedang
bermimpi. Lucid dream dapat dipelajari untuk memanipulasi mimpi.

109
pembunuhan melainkan lutut asam urat yang sudah tidak kuat
menopang tubuhnya menaiki tangga. Ia mengalami kematian yang
mudah dan menenangkan, sangat tidak menarik,” jelasnya.
“Dasar sinting!” umpat Agen Steve dalam hati karena sama sekali
tidak mendapatkan raut bersalah di wajah datar dan menjengkelkan si
tersangka. Jelas-jelas dia tidak menelepon tenaga medis atau membantu
ayahnya yang sekarat.
Stone remaja tumbuh menjadi pujaan setiap orang. Guru-guru
memujinya di setiap kesempatan yang mereka bisa, anak-anak
perempuan menjatuhkan hati dengan mudah pada sosoknya yang
menawan, cerdas, dan berlatar belakang malang. Seluruh dunia berpusat
pada dirinya seolah tidak lagi membutuhkan matahari untuk hidup.
Namun malang bagi Cecilia—anak Dokter Hart. “Ia melihatku
mencekik anjingnya yang menggigit jaket pemberian James. Untung saja
anjing sial itu tidak rabies.” Stone menceritakan korban pertama yang ia
cekik. “Denyut nadinya yang makin lemah, napasnya yang terputus-putus
dan agak mendengkur … ah, begitulah leher Cecilia terasa bagiku.”
Walau tidak ada yang wajar dari sebuah pembunuhan, alasan untuk
menghilangkan bukti kejahatan adalah hal yang sangat wajar dilakukan.
Logika pertama Agen Steve memainkan perannya.
“Mata melotot, ajal yang sulit dengan suara napas seperti orang asma.
Cecilia mengisi mimpiku selama beberapa minggu,” jelas Stone dengan
pandangan menerawang.

110
Waktu berjalan dengan membosankan bagi Stone. Hari berganti
bulan, bulan berganti tahun, dan tahun berlipat lagi pengulangannya
tanpa ada yang menarik baginya yang masih waras.
Di perpustakaan kota, saat Stone sudah kehabisan buku di rumah, ia
menemukan sebuah novel—paling luar biasa sepanjang masa
menurutnya—Perfume: The Story of a Murderer8. Novel itu
mengisahkan petualangan seorang yatim piatu bernama Grenouille
mencari esensi ke-13, aroma inti dari dirinya, yang membuat ia
membunuh tiga belas perawan dengan tidak wajar.
Stone menarik beberapa kesamaan antara dirinya dengan sang tokoh
utama yang sama-sama malang dan cacat. Grenouille yang memiliki
penciuman luar biasa memberikan inspirasi bagi Stone yang mengalami
kerusakan saraf di otak—bagian lobus frontal9—setelah kecelakaan itu,
sehingga ia tidak bisa merasakan emosi dan berekspresi.
Kemudian Stone bergegas pulang dan mencari-cari segala hal yang ia
butuhkan untuk memenuhi keinginannya, sama dengan kisah Grenouille
yang berguru pada Baldini untuk mempertahankan segala aroma setelah
pembunuhan pertama.
“Hal ini membuatku senang dan bahagia, kali kedua aku merasakan
sesuatu yang mampu meledakkan gairah.” Stone tertawa puas di akhir

8
Perfume: The Story of a Murderer adalah film yang menyadur novel dengan
judul asli Das Parfum: Die Geschichte eines Mörders yang dikarang oleh Patrick
Suskind. Terbit di Indonesia pada tahun 2006 dengan judul yang sama dengan film.

9
Lobus frontal, bagian otak yang mengendalikan gerakan, ucapan, perilaku,
memori, emosi, kepribadian, dan fungsi intelektual.
111
ucapannya. “Patrick Suskind sangat luar biasa dengan Grenouille sebagai
mahakaryanya.”
Mempelajari ilmu kedokteran, seni, dan psikologi, Stone muda
adalah sarjana cemerlang—sangat siap menjadi pembunuh paling
terpelajar abad ini. “Aku tidak lagi menggunakan kadaver10 sebagai
patung-patung di galeriku karena otot wajah mereka yang kaku.”
“Aku membutuhkan sesuatu yang murni seperti wajah ketakutan
Cecilia.”
Stone kembali menceritakan pembunuhan-pembunuhan lainnya.
Pembunuhan kedua pada gadis cengeng yang ia temui di festival. “Wajah
anak-anak memang sangat murni tanpa kerut bekas emosi tidak perlu
yang dikumpulkan manusia sepanjang hidupnya. Namun, tetap saja
bocah lolipop itu tidak membuatku puas.”
Pembunuhan ketiga, keempat, dan lainnya—lebih dari dua puluh jari
yang kaumiliki. Stone mengumpulkan pelbagai ekspresi paling murni
dari para gadis yang hidupnya ia renggut paksa untuk koleksi galeri dan
catatan pribadinya.
Satu poin penting yang disimpulkan Agen Steve adalah, bajingan di
hadapannya ini memang benar-benar psikopat cerdas. Tidak ada
kesamaan modus antara korban satu dan lainnya. Potasium, virus, dan
manipulasi sel. Berbagai cara ia lakukan demi mendapatkan kematian
murni untuk dimumifikasi dan dipajang di galerinya.

10
Kadaver, mayat tanpa identitas yang digunakan untuk praktik dokter.

112
Stone pun mengakui jika disertasi yang ia ajukan dengan ekspresi
mikro sebagai variabel—kemudian memperoleh penghargaan paling
bergengsi di dunia kejiwaan—bersumber dari catatannya selama ini.
“Karya terakhirku, karena setelah ini aku mati, adalah Fur Elise yang
berarti untuk Elise. Kekasihku yang sedih saat tahu prianya adalah
pembunuh berdarah dingin.”
Diam menjadi penengah di antara keduanya. Agen Steve merasa
geram sekaligus kasihan pada Stone yang akhirnya berhasil mengerti
emosi-emosi yang dimiliki manusia setelah merasakan kehilangan Elise.
Sesuatu yang tidak lagi ia miliki selama dua puluh tahun terakhir
hidupnya.
“Jadi … apa semua yang kaukatakan adalah kejujuran?” Agen Steve
berdeham sedikit untuk melonggarkan kerongkongan yang hanya teraliri
kopi.
“Kebenaran yang bersih.”
“Mengapa?”
“Katarsis, kau tahu? Agar tidak ada penyesalan dalam kekalahanku di
kehidupan ini.”
Karena hidup hanya menunda kekalahan, Stone mengutip puisi
terakhir yang dibacakan Elise di dalam hatinya.

-----------------------------
Puan Alya Rachmah. Ia menyukai kemalasan. Karena adanya lockdown, bakat
malas penulis menjadi semakin terasah.

113
RIDA
--Adri A Lubis

Lorong-lorong dosa, lorong-lorong suci. Kamar-kamar dosa, kamar-


kamar suci. Bagi tubuh yang ditinggalkan, jiwa seperti harmoni yang
keluar dari rongga udara seruling. Siapa yang menghendaki nada-nada
itu keluar? Mengembara ke mana-mana. Tertangkap telinga yang peka,
terbuang telinga yang enggan.

Maafkan aku, Mak. Permintaan maaf itu tertahan di hatinya, tanpa


bisa keluar. Hati seorang pesakit. Seorang yang mungkin saat itu sudah
tahu, atau sekadar menduga-duga bahwa, hidupnya tak lama lagi. Hari
itu merupakan tahun ke-37 selama Sugi hidup dalam kelumpuhan.
Tidak dapat berdiri, tidak pula dapat duduk dengan sempurna, tidak
dapat menggunakan tangannya untuk makan sendiri, bahkan untuk
memegang benda-benda kecil pun jarinya tampak tak punya daya.
Ia pernah menjadi manusia yang sehat, tapi hanya sepuluh tahun
pertama sejak ia lahir. Ada banyak saraf yang rusak setelah dulu ia pernah
terjatuh dari sepeda. Nahas, saat terjatuh tulang belakangnya keras

114
mendarat paling pertama ke muka batu-batu tajam. Sial lagi itu merusak
banyak saraf yang lain.
Televisi di ruang kamar sebuah rumah sakit bicara sendiri, ihwal
banyak soal yang terjadi di luar sana. Suaranya samar terdengar seperti
bisik. Antara hampir menuju pada kelegaan atau barangkali duka,
mamak sulit menjelaskan perasaannya sendiri. Sudah 47 tahun mamak
merawat Sugi dalam keadaan apa saja. Sejak itu mamak tak lagi peduli
pada dirinya. Waktu luang yang teramat singkat hanya berguna untuk
tidur dan ibadah. Sejak lama hidup jadi orang tua tunggal, mamak sibuk
mencari nafkah dan mengurus Sugi. Hingga perlahan keriput pipi dan di
tubuh mana saja, tampak terbit jadi saksi kesenjaan sendiri.
Antara kematian yang dinantikan dan kematian yang tak diharapkan
itu kini bersarang di dada mamak. Bagaimana pun seiring waktu aku tak
akan lagi sanggup mengurusnya. Tenagaku perlahan hilang, mataku
pelan merabun. Tangan kananku ini … aduh, lihatlah, Tuhan, ini kaku
dan tak bisa digerakkan. Mati rasa sudah. Bagaimana bisa aku
mengurusnya jika aku sendiri pun harusnya perlu diurus?
Tuhan, nanti ambillah kasihku itu lebih dulu.
Sebagai orang tua tunggal, penghasilan mamak hanya didapat dari
kerja kerasnya menjadi buruh cuci pakaian. Penghasilan itu tak akan
cukup memenuhi segala kebutuhan Sugi. Mamak bisa memaklumi jika
biaya pengobatan anaknya sangat mahal, tapi yang sukar ia pahami,
kenapa seorang yang sakit harus dikenakan biaya kamar pula? Baru
hitungan minggu Sugi dirawat di rumah sakit sudah banyak
menghabiskan biaya ini dan itu. Beruntunglah sejauh ini banyak para

115
dermawan dan beberapa tetangganya yang ringan tangan. Mereka turut
membantu mamak memenuhi kebutuhan Sugi. Tapi tentu mamak tak
ingin menanggung utang budi, tak sanggup dada dan pikirannya untuk
dapat melunasi itu semua. Meski orang-orang ikhlas, tetap saja, hati
mamak merasa tak enak. Lagi, batin mamak berkata, Tuhan, ambillah
kasihku ini.
Dari apa yang ketahui mengenai kondisi Sugi, seorang dokter pernah
mengatakan kepadanya agar Sugi sebaiknya dirawat di rumah sakit, sebab
kondisi Sugi bertambah parah. Mamak tahu, hanya ada sedikit harapan.
Penyakit yang namanya tak bisa diingat mamak itu merupakan alasan
yang mengharuskan Sugi untuk diinap-rawatkan di rumah sakit.
Jauh dari kata membaik, semakin lama Sugi dirawat, keadaannya
semakin memprihatinkan. Sangat pilu jika harus membiarkannya hidup
lebih lama, begitu pikir mamak. Perut Sugi semakin hari semakin besar
dan membesar. Ia tak lagi dapat buang air pada tempat yang seharusnya.
Beberapa kali keluar tanpa kehendak dan tanpa sempat menggelagati
bantuan. Namun, meski perutnya membesar, tubuh Sugi bertambah
cengkar. Seolah balon udara yang sedang ditiup dan terus ditiup, melihat
itu mamak berdebar-debar sendiri seakan siap menanti semua pecah
menjadi entah. Tak jarang mamak mempertanyakan keadlian Tuhan
tentang hukuman, “Apa salah anakku!”

Sugi, apakah kau tahu bahwa kau sedang sakit?


Mamak bertanya-tanya pada dirinya sendiri tak lama setelah seorang
perawat mengatakan, “Permisi, Ibu. Maaf, saya ingin meminta izin

116
sekaligus menyarankan sesuatu, “Bolehkah kami mengikat tangan Bapak
Sugi? Demi kebaikan yang bersangkutan, sebab ini sudah ke berapa
kalinya Pak Sugi berusaha menarik selang infus, mencabut jarum suntik
di nadinya, atau menarik selang yang ada di hidungnya, bahkan beberapa
kali meronta-ronta hingga membahayakan kondisi Bapak Sugi. Sekali
lagi, kami meminta izin kepada Ibu, sebab jika dibiarkan terjadi, ini justru
akan memperparah kondisi kesehatan Pak Sugi, Bu.”
Bagaimana bisa dibayangkan! Dada mamak seolah sengaja diempas
Tuhan berkali-kali! Bagaimana bentuk perasaan seorang Ibu
menampung bayangan anaknya diikat di atas ranjang! Terpasung dalam
hidupnya yang cacat! Ini hidup tak pernah lari dari pahit!

Mungkinkah barangkali bagi tubuh yang telah lama menderita, sakit


bukan lagi merupakan penderitaan?

“Mak ... Sugi akan pulang, Mak,” batin Sugi mengucap firasat pisah.
Jikalah dapat Sugi bicara dengan mulutnya, barangkali bukan raung dan
isak yang paling ingin ia keluarkan di saat-saat seperti itu, melainkan maki
untuk diri sendiri dan ucap terima kasih terpenuh kepada ibunya.
Berpuluh tahun ia menahan banyak kata tenggelam di dadanya. Apa yang
bisa dibanggakan dari aku yang cacat ini!

O, Sugi yang Mamak sayang


Sugi yang tercinta
sabarlah, Nak, biar maut itu tega buatmu menunggu

117
tapi percaya Tuhan dan alam mati sana
tak sabar pula menanti anak mamak yang tampan
yang tahan menggugurkan dosanya
selama hidup di tahun-tahun yang kejam.
Di kursi sakit ini tiap keluhmu jadi saksi
di sana doamu sampai ke ujung jauh yang abadi
di sana nanti kau berdiri, di sana nanti kau berlari, Nak.

Ratap mamak dalam hatinya sembari mengelus-lembuti telapaknya


ke kening Sugi. Air mata mamak mengalir di sela pipinya yang petang.
Dadanya terus merapal doa, “Ya Tuhan, ambillah kasihku dengan segala
kemudahan. Harus sampai kapan tubuhnya terus dipeluk siksa?
Ambillah kasihku ini, Tuhan. Ambil dan jemputlah ia ke taman tempat
orang-orang bahagia berada.”
Seolah menangkap gelagat mamaknya yang menyedihi doa, di jauh
hati Sugi ia terus menebak amin dari doa-doa apa saja yang dibatinkan
mamak, “Tuhan, kabulkanlah doa mamak ….”

Air mata ialah pintu masuk dan keluar jiwa-jiwa yang datang dan kembali
pulang.

Di sebuah tempat yang entah ada di mana, Sugi di sana bersama


dengan beberapa orang yang tampaknya bernasib sama. Sudah bertahun-
tahun Sugi di sana. Ingatan terakhir yang dapat diingatnya ihwal dunia
adalah saat-saat ia terjatuh dari sepeda—saat itu usianya hampir sebelas

118
tahun. Tak lama setelah jatuh, ia ingat waktu itu ia tiba-tiba melemah,
tubuhnya memanas, dan pandangannya pelan mengabur. Ia juga ingat, ia
sempat dibawa ke segala tempat-tempat pengobatan.
Sejak semua kejadian itu, pendengarannya berkurang, tubuhnya
menjadi sangat tak berdaya. Ia bahkan perlahan kesulitan untuk dapat
berdiri. Ia tak lagi bisa berjalan. Lalu pada suatu malam, dalam tidurnya
ia seolah melihat seseorang tanpa perawakan yang jelas, datang mendekat
dan mengajaknya pergi ke suatu tempat yang ia tak tahu itu ada di mana.
Dalam ingatannya, Sugi mendengar orang itu berkata, “Setelah malam
ini, untuk 37 tahun ke depan, kau akan menjadi sebuah pohon bagi siapa
saja yang berada di sekitarmu, bagi yang pernah, atau yang akan
menjumpaimu di waktu-waktu yang akan datang. Jika mereka pandai
merawat pohon itu, maka manislah buah yang mereka terima, rimbunlah
daun meneduhi mereka. Namun, jika pohon itu ditelantarkan, maka
kesia-siaanlah yang mereka dapati.
“Jiwamu, hanya jiwamu saja, mulai malam ini, akan diangkat ke suatu
tempat. Tempat di mana orang-orang bahagia ditakdirkan berada. Di
tempat itu, kau hanya menunggu kedamaian yang sejati.
Sedangkan tubuhmu nantinya akan diisi oleh jiwa yang menyerupai
jiwamu yang sebenarnya. Jiwa yang menyerupai jiwamu itu, akan
ditakdirkan menerima penderitaan yang panjang dan tak bisa melakukan
apa-apa, terkecuali hanya sifat-sifat yang ada di dalam diri. Maka itu akan
jadi ujian bagi orang-orang untuk bersabar.”

119
Kepada seseorang itu, Sugi menanyakan satu pertanyaan, “Bisakah
jiwa itu ikut berdoa mendoakan mamak?”

Lorong-lorong dosa, lorong-lorong suci. Kamar-kamar dosa, kamar-


kamar suci. Bagi tubuh yang ditinggalkan, jiwa seperti harmoni yang
keluar dari rongga udara seruling. Siapa yang menghendaki nada-nada
itu keluar? Mengembara ke mana-mana. Tertangkap telinga yang peka,
terbuang telinga yang enggan. Melayang tanpa seorang pun yang tahu di
mana harmoni itu akan berkediaman. Di tempat-tempat yang selalu
dipertanyakan.

Medan, 2018

(*) Cerpen RIDA mendapat penghargaan juara 1 cipta cerpen umum Syukuran Sastra,
2018.

-----------------------------
Adri A Lubis. Penulis kelahiran Medan ini sekarang berdomisili di Yogyakarta
dan berprofesi sebagai Advokat. Ia dapat dihubungi melalui surel
adrilubiss@gmail.com atau akun media sosial Instagram adrilubis

120
Petuah Kaum Sarungan
--Fasihi Ad Zemrat

“Dalam waktu dekat, lidahnya akan kelu dan sarafnya akan kaku. Jadi,
jangan heran kalau nanti perilakunya akan berubah dan tidak akan ada
suara yang keluar dari mulutnya.”
Vonis dokter itu, meruntuhkan tembok terakhir ketegaran Jimli. Ia
tak tahu harus memandang dunia seperti apa lagi. Bahkan dia sendiri
sudah tergolek lemah manakala dokter berkata demikian. Hanya istrinya
yang bicara dengan dokter.
“Apa sih, penyakitnya, Dok?”
“Sarafnya tertekan. Suami Ibu terlalu banyak mengalami tekanan
sehingga aliran darahnya tidak lancar, bahkan beberapa sudah
menggumpal,” kemudian dokter memperlihatkan pantauan aliran darah
milik Jimli yang berhasil direkam Digital Substraction Angiography
(DSA) sebuah alat pendeteksi stroke.
“Apa bisa disembuhkan, Dok?” Laura mulai cemas.
“Tergantung bagaimana suami Ibu menyikapi hidup. Obat-obat yang
diberikan hanya bersifat membantu.”

121
Laura diam, pasrah. Jimli pun pasrah. Ia sadar, sikapnya yang
pemarah dan pendendam kini menjadi bumerang bagi dirinya.
Dari dokter itu, seminggu kemudian Laura mengajak suaminya ke
dokter lain. Parahnya, dokter kedua mengatakan: “Umur suami Ibu
tinggal sebentar lagi. Ada semacam bibit kanker yang mulai tumbuh di
otaknya.” Lalu dokter itu menunjukkan hasil rontgen. Laura menutup
mulutnya seraya tak percaya apa yang telah dialami suaminya.
Tak puas dengan keterangan itu, mereka ke dokter yang lain lagi dan
lagi dan seterusnya. Bahkan entah pada dokter ke berapa, mereka tetap
mendapatkan vonis yang sama. Semenjak saat itu, tubuh Jimli mulai layu
dan bicaranya mengacau. Setiap hari, penyakitnya berbanding lurus
dengan kemarahannya yang terus-menerus bertambah.
Karena tak banyak yang bisa Laura lakukan, ia hanya menangis
menatap nanar suaminya yang kian rapuh dan layu. Bahkan sekarang,
tangan kirinya tak bisa ia gerakkan. Setiap hari, Jimli marah-marah,
istrinya mencoba menenangkan tapi percuma. Tiba-tiba rumah
tangganya serasa menjadi ruang penyiksaan paling pedih.
Setiap hari, HP-nya berdering menerima pesan simpati dari
kerabatnya yang bahkan ia tak tahu siapa. Hutan beton yang bernama
Jakarta ini terlalu kaku, bahkan untuk sekadar mengenal kerabat. Banyak
tetangga hilir mudik membuang tatapan menyedihkan sembari
mengumpat.
Laura menangis. Suaminya menghampiri dan memeluknya.
“Sudahlah, Sayang, kita pasrahkan saja apa yang akan terjadi.”

122
“Tapi, aku ingin Mas sembuh. Apa pun caranya. Kalau saja kota ini
tak sekeras batu dan sedingin es, aku yakin Mas akan sembuh.”
Mereka terdiam. Sibuk menyelami pikiran masing-masing.
Laura menyeka air matanya dan berusaha mengukir senyum walau
bibirnya terlipat. “Mas sekarang siap-siap senam, ya! Kita sama-sama
senam di bawah sinar matahari pagi.”
Jimli mengangguk.
***
Sabtu sore, saat Laura dan Jimli sedang bersantai, telepon berdering.
“Halo? Jeng Laura?” sapa lawan bicara dengan semangat. Namun
suara itu sangat asing di telinga Laura. Aneh, tapi dia kenal Laura.
“Iya, saya sendiri. Maaf ini siapa, ya?”
Gelegar tawa terdengar di sana. Baru setelah puas, si penelepon
memperkenalkan diri dan apa hubungannya dengan Laura. Laura baru
sadar bahwa itu adalah kerabat jauhnya yang tinggal di Jember. Entahlah,
kapan terakhir kali Laura berhubungan dengannya, ia pun tak tahu.
“Iya, Paman. Kami sudah berusaha tapi belum ada perkembangan,”
ucap Laura, ketika kerabatnya itu bertanya kondisi suaminya. Tiba-tiba
ada rasa sesal yang menyembul dari dalam hatinya. Ia merasa telah
diperbudak oleh zaman. Mengapa ia begitu sibuk dengan dirinya
sendiri? Sampai-sampai dia tak hapal dengan kerabatnya sendiri.
“Mampirlah ke sini! Siapa tahu bisa bantu. Ya ... hitung-hitung untuk
menjaga silaturahmi.”
“Terima kasih atas ajakannya Paman, tapi maaf saya harus berdiskusi
dulu dengan Mas Jimli. Sekali lagi terima kasih.”

123
Laura menutup telepon dan kembali menyenderkan kepalanya di
samping Jimli.
“Siapa?”
“Kerabat jauh kita di Jember. Katanya dia bisa bantu kamu. Mas, mau
ke sana?”
“Aku mau sembuh demi kamu. Ayo kita ke sana!”
***
Stasiun Jember dibalut keramaian. Banyak orang hilir mudik
menebar haru ketika bertemu keluarga. Pemandangan yang sungguh
mengharukan sekaligus menyakitkan bagi Laura. Demi menghilangkan
pikiran yang antah berantah itu, dia celingukan mencari seseorang yang
bernama Paman Galih. Tiba-tiba saja seseorang berbaju batik dengan
celana kain datang menghampirinya. Dengan ringannya, dia
membawakan barang bawaan Laura dan Jimli ke atas bentor (becak
motor).
“Maaf, saya jemput pake bentor. Kebetulan saya tukang bentor, jadi
sekalian saja saya jemput pake kendaraan ini.”
“Terima kasih, Paman. Ini lebih dari cukup. Tapi ini bukannya
becak?”
“Bukan. Kalau becak, kita perlu mengayuhnya, tapi kalau bentor
cukup dikendarai seperti motor. Lihat! Mesinnya juga seperti motor.
Inilah salah satu kendaraan khas Indonesia.”
Laura dan Jimli hanya terangguk-angguk tak paham. Otak mereka
terlalu penuh dengan taktik untuk memperkaya diri.
“Ayo naik!”

124
Jember, Jawa Timur. Sebuah kota yang sangat berbeda jauh dengan
Jakarta. Di sini walau tak saling kenal, orang-orang menganggukkan
kepala sebagai pengganti salam. Bahkan ketika Paman Galih menyapa
orang di pinggir jalan. Sontak, orang yang disapa langsung berteriak “Hei
Lih?! Mau ke mana?” Laura dan Jimli saling bersitatap. Suasana di sini
sungguh berbanding terbalik dengan Jakarta. Di sini, tidak ada image
sama sekali. Semuanya ramah dan apa adanya. Suasana ini berhasil
menyemaikan sebutir kenyamanan di hati Jimli dan membuatnya damai
berada di daerah ini.
“Nah, kita sudah sampai. Inilah rumah Paman.”
“Sunyi sekali,” tanggap Laura.
“Namanya juga dusun. Ayo masuk!”
Jimli terhenti. Ia dalami kesunyian dusun ini. Sunyi. Benar-benar
sunyi. Hanya angin gunung yang lewat membawa wangi asap daun yang
dibakar, samar-samar entah dari mana. Jimli beralih duduk di dipan
bambu yang berdiri kokoh di bawah pohon. Dia tersenyum.
Hati Laura serasa tersiram embun. Ia sadar bahwa itu adalah senyum
pertama suaminya semenjak ‘vonis’ itu diberikan. Hampir saja air
matanya menetes menyaksikan senyum Jimli yang menyingsing indah.
“Hmm ... di sini damai sekali, kecium nggak bau daun yang dibakar?”
ucapnya sembari mengendus-endus udara kosong di depannya.
“Mbak, Mas, ayo masuk, makan dulu!” seru seorang wanita tua dari
daun pintu. Di belakangnya muncul seorang anak kecil yang polos.
“Ayo, Mas!” ajak Laura lembut.

125
Jimli menyeringai seraya turun dari dipan. Ia gandeng tangan istrinya
dan beranjak masuk rumah yang masih berbilik bambu.
Nasi berlauk sayur melinjo, sambal bawang, dan ikan asin,
memekarkan senyuman Jimli. Wajahnya bercahaya.
“Kok nggak ada sendok?” Jimli mengedarkan pandangan mencari
sendok.
“Mas!” Laura menyenggol tangan suaminya. Mukanya memerah,
malu.
“Nggak apa-apa kok, Jeng. Mas Jimli ... di sini kami makannya pake
tangan. Lebih nikmat lho ....”
Jimli mengangkat alisnya. Ia ragu makan langsung dengan tangan.
Namun, tidak ada cara lain. Dia pun pasrah dan mulai memuluk nasi
beserta lauknya.
Tubuhnya merinding. Kenikmatan yang berbeda menggoyang
lidahnya sehingga tangan Jimli memuluk lagi dan lagi.
“Enak, ya? Hahaha ... maaf, Bibi ndak pernah masak makanan kota.
Ayo, Mas Jimli, tambah lagi ....”
“Sayurnya enak. Sambalnya pun kerasa banget, Bi, sampai keringatan
nih ....” ucap Jimli sambil menyeka peluh.
“Bagus, bagus ... habiskan, itu memang buat tamu kita ya, Pak.”
“Bener benget. Ayo habiskan Mas! Jeng Laura jangan diam saja, ayo
itu ikan asinnya.”
Paman Galih mengambilkan ikan asin dan menaruhnya di piring
Laura. Laura hanya bisa senyum dan mengucapkan terima kasih.

126
Ruang makan beralas tikar anyaman pandan, terasa begitu hangat.
Ruangan itu dipenuhi gelak tawa lantaran Paman Galih terus bercerita
tentang masa lalu kehidupannya.
“Saya dan Ayahnya Laura adalah kakak beradik yang bandel. Dulu
ketika Ramadan, kami sama-sama nyamar jadi hantu. Jaman dulu kan
belum ada lampu tuh, lah ketika ada cewe lewat, kami kagetkan mereka.
Apesnya, kakakku kecebur empang. Hahaha ... ya, jadinya bukan horor
tapi lawakan. Apesnya lagi, cewe-cewe itu melapor ke Bapak. Kami pun
dapat hukuman dari beliau habis-habisan. Apes-apes. Eh tak tahunya,
salah satu dari cewe pelapor itu, jadi istri Paman.”
Jimli tertawa lepas. Laura pun turut tertawa. Ia tak menyangka
ayahnya senakal itu waktu kecil.
Malam itu, mereka menginap dengan suasana hati lega. Sebelum
tidur, Paman Galih mampir ke kamar Jimli. Ia teliti ujung jari Jimli, dan
mulailah ia memijit. “Biasanya ada aliran darah yang kurang lancar. Cara
ampuh agar dapat lancar lagi, ya dipijit telapak tangannya.” Paman Galih
dengan cekatan memijat Jimli.
Paman Galih mulai memijit-mijit telapak kaki, punggung kaki, betis,
punggung, tulang punggung, naik terus hingga ke pangkal leher dan
terakhir beralih ke kepala. Paman Galih perlahan mengurut ujung
jempol hingga paha. Kiri, kanan, atas dan bawah. Jimli beberapa kali
berteriak, tapi di balik ngilu itu, ada kesegaran di setiap pembuluh
darahnya.
“Nah, setelah ini, Mas Jimli minum wedang jahe ini, ya?”
“Terima kasih banyak, Paman.”

127
“Sudah sewajarnya sesama kerabat saling membantu.”
Kata itu berhasil memungut jiwa sosial Jimli yang telah lama jadi
sampah di Jakarta. Perlahan sikap arogannya luntur akan ajaran Paman
Galih.
***
Pagi buta, Jimli terjaga. Kabut kemarau masih kentara mengambang
di atas hamparan rumput bebatuan. Samar-samar, terdengar kebisingan
dari dapur. Jimli telisik suara itu yang ternyata adalah Paman Galih.
“Mau ke mana, Paman? Ini masih pagi buta, lho.”
“Saya mau ke ladang. Mas Jimli mau ikut?”
“Apa tidak mengganggu?”
“Wah, sama sekali tidak. Justru kalau ke ladang harus ramai-ramai.
Seperti pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”
Jimli akhirnya ikut. Ia juga ikut berjalan tanpa alas kaki seperti Paman
Galih. Kakinya menyaruk-nyaruk rumput berselimut kabut tipis putih
susu. Dirasakannya kesegaran menjalar di telapak kakinya. Angin pagi,
samar-samar menaburkan kesegaran pesawahan yang menghalau kantuk
Jimli. Indrawinya meriap-riap, dan sambil memejamkan mata, ia hirup
kesegaran yang indah ini dalam-dalam.
Tumbuhan palawija dan beberapa sayur-mayur memenuhi
pandangan Jimli. Ia tak bisa membayangkan betapa uletnya Paman Galih
bekerja. Tumbuhan itu sangat asri. Jimli ikut menyiangi ladang.
Bertahap-tahap, keringat di dadanya mengalir begitu saja. Ada rasa penat,
tetapi ada juga kelegaan ketika menatap tanaman yang berbuah lebat dan
hijau segar.

128
Kegiatan di ladang itu sebentar saja. Paman Galih hanya menyiangi
dan memanen cabai serta sayur-mayur lalu pulang.
Di perjalanan pulang, mereka mencabut beberapa tanaman jahe.
Mereka juga memetik daun melinjo beserta buah dan uceng. Jimli
terhenyak. Ia baru sadar, ternyata bahan makanan yang kemarin ia
makan, semuanya berasal dari ladang ini. Mereka berjalan kembali
melewati ladang-ladang orang lain, yang sebenarnya tak terlihat sama
sekali di mana batasnya.
“Hai, Galih!” seru seseorang dari kejauhan.
Paman Galih mendekat “Hai, Ndes. Panenmu banyak juga ya.”
“Alhamdulilah. Sampean mau ke mana?”
“Pulang.”
“Bawa dulu, nih, hasil panenku.” Gandes membuka karung dan
mengambilkan banyak sekali jagung manis.
Jimli melompong. Dia sama sekali tak percaya apa yang dia lihat.
Jagung yang hanya sekarung, seperempatnya diberikan secara percuma.
“Ini kebanyakan, Pak,” usul Jimli.
“Aah, ini ndak seberapa.”
“Terima kasih, Ndes. Semoga tahun depan panenmu makin banyak.
Nanti karungmu aku kembalikan.”
Jimli memikul jagung manis itu. Saat itu juga dia baru sadar, ternyata
tangan kirinya sudah normal.
Mereka sampai. Daripada menganggur, Jimli membantu memasak di
dapur. Ketika ia melihat sebilah kayu yang hampir keluar dari tungku,
kakinya menyorong sebilah kayu itu.

129
“Mas Jimli, ora ilok,” cegah istri Paman Galih.
Jimli kikuk. Dia pun jongkok dan menyorongkan kayu lainnya
dengan tangan, tapi bahan bakar di tungku mulai habis dan persediaan
kayu bakar pun tinggal sedikit. Akhirnya Jimli memutuskan keluar
mencari kayu bakar lain.
“Mau ke mana, Mas?” tanya Paman Galih.
“Mau cari kayu bakar, Paman.”
Paman Galih meraih golok dan menyarungkannya di baju belakang.
“Ayo!”
“Kita cari di sana, Paman!” Jimli menunjuk area pemakaman.
“Mas, ora ilok menunjuk area pemakaman nanti jarimu busuk. Cepat
jilat!”
Jimli melakukan hal yang Paman Galih katakan. Sempat ia menolak,
tapi kata itu seperti menyihirnya.
“Paman, itu banyak kayu di atas!” Jimli memandang ke atas. Kini ia
tak berani menunjuk apa pun di area pemakaman ini.
“Ora ilok. Tidak sopan memanjat pohon di atas makam. Kita punguti
yang jatuh saja, kalau kurang cari lagi di ladang.”
Jimli melongo. Berapa pun usahanya untuk menampar kata itu, tetap
tak bisa. Malah kata itu yang kian memperbudaknya.
***
Malam harinya, di saat bintang-gemintang bertebaran di tirai malam,
Jimli memeluk istrinya. Sempat mereka berbincang tentang hal-hal yang
telah mereka lalui, termasuk kejadian mencari kayu bakar di makam tadi

130
yang kini membuat mereka berdua tertawa geli. Banyak sekali kejadian
yang mungkin tak akan pernah mereka temukan di Jakarta.
“Hal yang paling aneh, tanganku sudah sembuh,” ungkap Jimli.
Laura kaget. Dia baru menyadari bahwa kesehatan suaminya telah
pulih. Wanita itu seketika terisak dan menatap lekat suaminya.
“Ada apa?”
“Aku senang, sikap dan kesehatan Mas telah membaik. Baru kali ini,
aku merasakan kebahagiaan kita utuh.”
Hingga tahun berikutnya, Jimli tak mudah emosi. Sikapnya berubah
total. Peristiwa yang dia alami di rumah Paman Galih membuatnya
bangkit dan sehat kembali. Ia baru sadar ternyata semua makanan yang
diberikan Paman Galih adalah obat herbal untuk penyakit stroke.
“Kaum sarungan!” ucap seorang dosen ketika Jimli menceritakan
kehidupan Paman Galih.
“Eh?”
“Kaum sarungan adalah kaum yang sering memakai sehelai kain
untuk menutupi tubuhnya. Mereka biasanya mempunyai satu pemimpin
yang mereka taati. Pemimpin mereka sangat alim dan bijaksana, sehingga
mereka hidup nyaman, penuh dengan tradisi. Mereka juga disebut
masyarakat tradisi karena kehidupan mereka sepenuhnya memanfaatkan
alam. Mungkin kalau tidak ada mereka, Indonesia tidak akan bertahan
dari krisis ekonomi tahun 1998.”
Jimli hanya mangut-mangut. Ia sama sekali tak mengharapkan
penjelasan itu, yang ia ingin hanya berbagi kisah dengan teman dosennya
ini. Eh, malah diberi penjelasan. Menyebalkan.

131
-----------------------------
Fasihi Ad Zemrat. Merupakan nama pena dari Amin Arifin yang lahir di
Kebumen pada tanggal 13 Desember 1998. Penulis yang bermoto hidup
‘Tambah umur, tambah ilmu’ ini berdomisili di PP. Nurul Ummah Kotagede
dan aktif sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Ia dapat dihubungi melalui
Facebook: Amin Arifin; Instagram: @fasihiadzemrat, atau surel:
aminarifin13121998@gmail.com.

132
Gagang Pancing Mahmod
--Sakti Ramadhan

Ikan berkecipak bagai konser rampak beduk di sepanjang akar


sungai. Tepian akan penuh oleh anak-anak bertengik matahari sambil
membawa gagang pancing jagoannya. Barangkali, mereka sudah
berjampi sebagaimana mereka memohon rezeki, gagang pancing itu
diharapkan bisa mengaitkan ikan sebanyak-banyaknya.
Bulan pancing, begitu orang-orang menyebutnya, muncul selama
musim hujan saat air sungai mulai menenggelamkan batas tangga
pertama sawah. Begitu kiranya untuk mengetahui bahwa air sudah naik
sekitar satu meter dan beriak telah memberi tumpangan pada ikan lele
atau ikan gabus untuk mengembara.
Dan siapa pun akan teringat pada gagang pancing milik Pak Mahmod.
Kesaktiannya menyebar luas seperti dibantu oleh hanyut sungai dan
menyampaikannya kepada para pemancing di tepian: tak ada ikan yang
tak jatuh cinta pada gagang pancing itu. Entah telah dijampi apa dan oleh
siapa, ikan akan dengan senang hati melukai mulutnya demi terkait
dengan kail di gagang pancing itu. Ketika Pak Mahmod datang, para
133
pemancing lain baik anak-anak hingga dewasa akan menggulung benang
dan mundur teratur. Untuk apa tetap berada dalam barisan memancing
sementara ikan-ikan hanya jatuh cinta pada satu gagang pancing?
Sungguhlah dalam hal ini, orang masih ragu, siapa yang sebenarnya
sakti; Pak Mahmod atau gagang pancingnya. Sebab tak pernah sekali pun
Pak Mahmod mengadu peruntungan di tepian sungai tanpa gagang
pancingnya. Begitu juga sebaliknya, tak pernah ujung gagang pancing itu
digenggam selain oleh tangan Pak Mahmod.
Tapi, Pak Mahmod dengan gagang pancingnya hanyalah kisah di
musim hujan. Di waktu-waktu lainnya, ia lebih dikenal sebagai penderma
ketimbang pemancing meski hidupnya tak kaya-kaya amat. Ia selalu saja
membawakan sayur-mayur yang masih segar kepada para peminta di
lekukan pasar. Juga ketika musim hujan, ikan-ikan yang jatuh cinta dan
pasrah di dalam jaring penampungan tak serta merta masuk ke ususnya.
Ia juga akan mendermakan ikan-ikan itu kepada siapa saja yang dikiranya
lapar. Dan khusus untuk ikan, seorang fakir sudah amat dikenalnya. Ibu
Marhah, yang barang tiga hari sekali datang ke rumah Pak Mahmod
untuk meminta ikan.
“Sepanjang kemarau, aku sudah berpuasa menahan keinginan untuk
makan ikan kuah asam pedas, sudikah kiranya Pak Mahmod memberiku
barang seekor untuk berbuka puasa?”
Dan Pak Mahmod sudah hapal dan ia akan memberinya lima sampai
sepuluh ikan sebesar lengan. Dengan begitu, Bu Marhah akan berterima
kasih dan suaranya seperti orang yang menyembah-syukur. Barangkali
jika tidak dilarang, ia mungkin akan mencium kaki-kaki Pak Mahmod.

134
Namun, kisah berubah cepat dan tak pasti seperti musim—hanya
butuh satu kali musim bibit berjalan (musim bibit adalah musim di mana
para warga melempar benih ikan ke sungai. Dan dalam waktu tersebut,
adat telah melarang masyarakat untuk mancing)—gagang pancing yang
tersohor sepanjang tepian sungai itu, tak lagi membuat ikan-ikan
dimabuk asmara. Ikan-ikan pun sepertinya kehilangan pujangga hatinya
karena, sekarang, gagang pancing itu hanya teronggok di kamar tidur Pak
Mahmod. Tak lagi sama sekali disentuhnya. Hanya menempel di
tembok seperti pigura lusuh seorang pahlawan yang menyimpan
kedigdayaan di masa lampau.
Semenjak perang yang memutus dan merusak aliran sungai—jalan-
jalan dibuat dadakan dengan menimbun sungai agar kendaraan berbesi
tebal itu bisa lewat, tak pernah ada lagi pemancing yang menggelar
peruntungannya di tepian. Mereka lebih memilih meringkuk di bawah
kasur sebab selain kerbau besi itu telah merampas waktu memancing,
kadang mereka pun mampir ke rumah-rumah warga untuk merampas
satu atau dua orang lelaki—semua orang tahu kenapa, tapi tidak setiap
orang punya keinginan untuk mengorek alasan yang ada di dalamnya.
Begitu pun dengan Zahwan, putra semata wayang Pak Mahmod yang
juga tak mau mencari-cari alasan itu. Ia baru saja merayakan ulang tahun
yang kelima belas di musim hujan bulan Desember tahun ini. Tapi, inilah
ulang tahun paling miskin sepanjang hidupnya. Di rumahnya, dengan
gorden dan pintu yang tertutup, Zahwan dan ibunya merapal doa untuk
keberkahan umur serta rezeki—serta memohon dengan sangat sebuah
perlindungan, karena hal itulah yang paling dibutuhkan saat ini.

135
“Ibu, apa Bapak juga perlu didoakan?” tanya Zahwan, tangannya
masih menadah ke awan.
Ibunya tersenyum, lantas menjawab, “Sudah pasti, kita doakan
semoga Bapak juga diberikan perlindungan, semoga baik-baik saja dan
cepat pulang.”
“Aamiin,” jawab Zahwan hanya menjawab tuntunan doa ibunya.
Ia hendak bertanya sekali lagi, kapan Bapak pulang dan pergi
memancing lagi di musim hujan ini. Ikan-ikan sudah pasti rindu dengan
gagang pancingnya. Terlebih, ia juga mendengar dari sejawat, bahwa
sungai semakin sepi. Otomatis ikan akan semakin banyak. Andai saja
Bapak berada di sini sekarang, ia mungkin bisa menangkap ikan bahkan
lebih banyak dibanding nelayan sekali pelayaran. Tapi, Bapak tak ada di
sini. Hanya pancingnya yang tertempel di dinding yang mungkin, tidak
sesakti jika digunakan orang lain.
Pertanyaan itu sudah muncul sejak bulan kemarau sebenarnya. Tapi,
ibu selalu jawab, “Bapakmu sedang bekerja di tempat yang jauh sekali.
Maklum, kemarau bikin sawah tak subur dan air sungai juga jadi
menyusut. Jadi, terpaksa dia pergi ke tempat yang jauh. Kita doakan saja,
dia pulang membawa uang yang banyak dan kebutuhan makanan bisa
terpenuhi. Juga uang sekolahmu. Namun, tenang, sebelum Bapak pergi,
dia sudah meninggalkan untuk kebutuhan kita. Barangkali cukup sampai
kau ulang tahun.”
Kini, persediaan sudah benar-benar habis. Tinggal sejumput beras
yang kini sudah menjadi nasi di piring untuk berdua, beserta segenggam
garam dan beberapa tetes kecap. Entahlah, Zahwan belum pernah

136
mendengar kedua barang itu bisa dijadikan lauk-pauk. Mereka
bersitatap, menatap jauh ke dalam mata lawan bicaranya masing-masing.
“Apa orang-orang berbadan besar yang waktu itu datang menjemput
Bapak, adalah teman kerja Bapak?”
Hening merebak seperti aroma parfum yang disemprot ke langit-
langit ruangan. Tak ada jawaban dari mulut ibunya. Dan Ibu teringat
sesuatu, jelas di suatu malam di saat gorden dan pintu tertutup rapat,
Mahmod mengatakan: "Sepertinya besok atau lusa aku akan dijemput,"
nada suaranya tenang dan menuju pasrah. "sudah dapat tanda-tandanya
sejak ke pasar tadi. Aku merasa dikuntit. Tapi jangan khawatir. Aku
percaya kau bisa merawat Zahwan."
"Kau kan tidak terikat apa pun dengan gerakan itu?" jawab istrinya,
sudah pasti dengan gemetar.
"Tapi, para pemancing kebanyakan adalah petani, dan seleksi itulah
yang digunakan mereka untuk menelusuri siapa saja yang terikat dalam
gerakan itu," jawab Mahmod. "Sudah jangan khawatir. Aku sudah
menyiapkan semuanya. Tugasmu merawat Zahwan. Dan gagang pancing
itu, taruh saja di tembok, jangan diapa-apakan. Orang-orang itu agaknya
sedikit sensitif dengan pemancing."
Hanya itu yang bisa diingat Ibu sebelum Pak Mahmod benar-benar
dijemput oleh mereka. Semua berawal dari ketukan pintu. Dan seka-
rang, ia juga mendengar pintu rumahnya kembali diketuk. Makin lama
makin cepat temponya. Ketukan pintu itu, benar nyata atau hanya
bayangan karena mengingat Mahmod?

137
Segeralah Ibu membuka pintu itu. Zahwan mengekor. Tumben
sekali pintunya diketuk, terakhir kali yang mengetuk pintunya adalah
mereka yang dulu datang menjemput Pak Mahmod. Akankah kali ini ia
pulang? Atau ada orang lain yang menjemput kembali? Merampas sisa
yang entah apa?
“Pak Mahmod, sepanjang kemarau aku sudah berpuasa menahan
keinginan untuk makan ikan kuah asam pedas, sudikah kiranya Pak
Mahmod memberiku barang seekor untuk berbuka puasa?” Suara itu
keluar dari balik pintu bahkan sebelum Ibu membuka pintu.
“Marhah,” ibunya bergumam. Zahwan mengenal nama itu. Nama di
kala musim hujan dan identik dengan beberapa ekor ikan dari tangan
bapak. Ibu membuka pintu setelah dirasa perlu.
“Sudah dua musim saya berpuasa, dan tak ada ikan untuk dibikin ikan
kuah asam pedas. Sudikah kiranya tahun ini Pak Mahmod memberiku
setengah ekor saja? Jika masih keberatan, tak apalah saya diberi sedikit
dan memasaknya di sini. Supaya bisa makan bersama dengan kalian.
Saya khawatir ikan di sungai makin sedikit dan hasil tangkapan Pak
Mahmod hanya cukup untuk sekeluarga.”
“Tapi, sekarang masih belum ada ikan. Maaf sekali, mungkin musim
hujan selanjutnya ada.”
“Saya sudah terlalu tua dan sudah terlalu lama berpuasa. Saya tidak
yakin masih hidup jika harus berpuasa satu musim lagi.”
Ibu terdiam menatap mata dan seluruh tubuh Marhah yang meminta
iba. Tak rela juga ia membiarkan Marhah mati dalam keadaan hati yang
berutang keinginan menyantap ikan kuah asam pedas. Tapi, mau apa

138
dikata, jangankan menjadi derma seperti sebelumnya. Sekarang mereka
sudah sama fakirnya. Meskipun Marhah belum tahu itu.
“Saya dengar, Pak Mahmod memiliki gagang pancing yang sangat
sakti. Yang jika dilempar ke sungai akan membuat seluruh ikan jatuh
cinta dan ikhlas terkait dengan mata pancingnya. Apa betul begitu? Kalau
begitu, jika tak ada pemberian ikan lagi tahun ini, sudikah kalian
meminjamkan gagang pancing itu?”
“Iya … iya ….” Tiba-tiba Zahwan menjawab dengan riang. Sudah lama
ia juga penasaran dengan kesaktian gagang pancing itu. Tapi, sejauh ia
menemani mancing, tak pernah sekali pun ia mendapat pinjam barang
sekali tarik. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk meminjam gagang
pancing itu. Tak akan ada yang melarangnya, sebab bapaknya tak ada
dan ibunya tak akan bisa menahan mata lapar Marhah lebih lama.
“Bolehkah saya pinjam gagang pancing itu?” Marhah mengemis sekali
lagi.
Ibu benar-benar mematung. Tanpa diketahuinya, Zahwan sudah lari
ke kamar dan mengambil gagang pancing yang sudah seperti pigura
pahlawan itu. Ia kembali ke depan dengan senyuman yang mengembang.
“Ibu, sebagai hadiah ulang tahun, aku ingin mancing. Aku juga ingin
mengajak Nek Marhah mancing. Semoga dapat banyak.”
Tidak ada yang bisa menahan Zahwan berlari sebagaimana tak ada
yang bisa menahan lapar Marhah.
Kini, di pelupuk mata ibu, hanya tersorot Zahwan dan Marhah yang
makin lama makin kecil. Cuaca mendung. Tersisa ia seorang diri,
membatu di depan pintu. Menunggu semuanya pulang.

139
Tangerang, Desember 2018.

-----------------------------
Sakti Ramadhan. Gemar membaca dan kadang menulis. Kesehariannya sebagai
guru komputer di salah satu sekolah dasar. Sedang menempuh pendidikan S-1
Sastra Inggris di Universitas Pamulang. Aktif di grup menulis Prosatujuh.

140
Jurnal Mimpi: Naga, Rumah
Salju, dan Misi Membunuh
Raksasa
--Yoga Palwaguna

Moncong naga mengarah tanah seraya tubuhnya mulai menukik


tajam. Sejodoh sayapnya masih mengepak sesekali. Kudengar embusan
napas dari liang hidungnya yang keras layaknya dua liang gua batu.
Tanganku yang terletak pada masing-masing sisi leher sang naga dengan
jelas merasakan deras arus darahnya, seolah tak ada kulit dan sisik antara
telapakku dengan pembuluh di sepanjang leher tegap itu.
Diiringi sebuah dentum dan dengusan keras, kaki sang naga mantap
menjejak tanah. Sisa-sisa angin dari kepak sayapnya membuat debu-debu
beterbangan membentuk awan kecokelatan. Kulindungi mataku yang
sebelah buta dengan punggung tangan. Debu yang merangsek ke lubang
hidung membuatku terbatuk-batuk.

141
Naga itu perlahan-lahan kembali mengangkasa setelah aku turun dari
punggungnya. Namun kali ini, ia tidak kelihatan sedang terbang, hanya
melayang. Sayapnya bergerak lemah seolah terlalu lemas untuk
menghentak udara, kehilangan kegagahannya. Meski begitu, ia terus
meninggi seraya jarak senantiasa menyusutkan ukuran. Hingga ketika ia
tak lebih besar dari kepalan tanganku, kulihat sayapnya mulai bersinar.
Setiap keping sisik di kulitnya merona dalam gradasi merah kuning yang
nyalang, berubah menjadi lelatu. Tubuhnya pecah menjelma gerombol-
gerombol bunga api yang menyebar di udara. Sebagian mengikuti angin,
sebagian menyusupi awan. Dan hilanglah ia, naga itu. Menyisakan kusam
awan dan langit kelabu.
Kualihkan fokusku pada sebuah bangunan tua berjarak kira-kira
seratus langkah dari tempatku. Sebagian besar dinding luar ditutupi
sulur-sulur tanaman rambat yang gundul, mengingatkanku pada keriput
yang menutupi tubuh manusia dewasa. Keduanya membuat objek yang
ditutupi terlihat tua dan menyeramkan. Nyaliku sempat sedikit menciut,
tetapi aku tahu tak ada pilihan lain. Aku tetap harus ke sana.
Aku berpegangan pada ulir ornamen-ornamen pagar besi tinggi yang
membatasi rumah seram itu dari dunia luar lalu melompat ke sisi dalam.
Bisa kubayangkan area luas antara pagar dan teras yang sekarang kulintasi
ini dulunya adalah taman asri. Namun, yang tertinggal hanya daun-daun
kering dan batang-batang pohon yang telah ranggas sempurna.
Kekeringan yang berwarna cokelat telah lama mengusir segarnya hijau.
Di atas, langit seolah berdenyut. Nyala keperakan kulihat muncul-
menghilang di dalam buntalan-buntalan awan yang warnanya semakin

142
kelam. Ah, rupanya bukan aku saja yang gugup. Hawa dingin kian
kencang menerpa daratan. Daun-daun kering terpontang-panting diseret
aliran angin. Di depan undakan-undakan teras menuju pintu masuk, aku
memeriksa belati yang kuselipkan di ikat pinggang dan kututupi dengan
jubah.
Pada permukaan pintu kayu berukuran raksasa itu, mencuat pahatan
ratusan pasang tangan manusia yang jarinya kurus dan terbengkok-
bengkok, seolah sedang merasakan sakit yang sangat. Tangan-tangan itu
menutupi seluruh bagian pinggir pintu dalam berbagai ukuran, kurus-
gemuk, besar-mungil, pendek-panjang, bayi-dewasa. Sedangkan di bagian
tengah, terpahat puluhan wajah yang saling tumpang-tindih. Setiap mulut
pada semua wajah itu terbuka lebar, meneriakkan jeritan yang bisu.
Setiap mata pada semua wajah itu terbelalak, seperti berusaha kabur dari
sakit yang menjajah. Tapi mereka tak akan bisa menyelamatkan diri.
Siksaan itu telah diabadikan dalam tubuh mereka. Sakit, jerit, dan ngeri
itu terpahat untuk selamanya.
Di antara wajah-wajah itu ada satu yang kukenali. Terletak di tengah-
tengah, matanya mengarah tepat padaku. Kuusap keningnya yang
bergurat, juga pipinya yang bergelayut. Dengan belati aku menatah wajah
Ibu, mencongkelnya dari badan pintu. Aku lantas menyimpannya di
dadaku. Perlahan-lahan, seperti naga yang tadi kutunggangi, wajah Ibu
pun berubah jadi lelatu. Kuning-merah menyala di antara semesta yang
cokelat kelabu. Sekejap, ia pun hilang. Tetapi dadaku menjadi hangat.
Suara derak yang berat dan keras bergaung ketika pintu itu bergerak
ke arah dalam, menciptakan segaris celah gelap yang hanya cukup

143
dimasuki tubuhku. Begitu aku berada di dalam, pintu menutup kembali
dengan suara yang tak kalah ribut.
Tubuhku menggigil karena yang ada di balik pintu adalah hamparan
salju. Jubah yang kupakai perlahan-lahan ikut berubah. Warna putih
menyebar mengikuti jalinan serat-serat kain. Seiring dengan warnanya
yang memutih, jubah itu juga terasa semakin berat dan dingin.
Dengan langkah-langkah yang kaku, aku memaksakan diri untuk
maju, maju dan terus maju. Semakin lama aku berada di sana, salju turun
semakin lebat. Langkahku semakin lambat. Bisa kurasakan bibir dan
kulitku menjadi kering.
Aku terus maju, maju, dan maju. Tetapi yang kutemukan masih putih
dan putih salju. Tenagaku sudah semakin habis, tapi aku seolah tak
beranjak ke mana-mana. Tak ada perubahan lanskap yang bisa menandai
jauhnya perjalanan. Di sini, segala usaha untuk berpindah adalah sesuatu
yang sia-sia.
Hawa dingin akhirnya berjaya membekukan tubuhku. Aku terbaring
di lantai salju dengan mulut menganga dan mata yang membelalak. Dari
liang mulutku yang telah mengeras seperti gua batu, aku melata keluar
dalam wujud ular salju bertanduk.
Dengan lidah putih yang panjang nan lincah, kubaui letak musuhku.
Begitu dapat kurasakan anyir aroma darah yang mengaliri tubuh buruan,
badan ularku meluncur gesit tanpa gagap. Hawa beku dan dingin salju
kini terlalu akrab untuk menjadi lawanku. Mereka kehilangan misteri
dan keasingan yang mereka perlu untuk membuatku merasa
terintimidasi.

144
Tanpa perlu waktu lama, aku telah sampai di tempat musuhku
berada.
Dia berdiri menjulang, meraksasa. Seperti menara. Menara yang
dipakai untuk memenjara dan menyiksa manusia-manusia. Lihatlah
mulutnya yang terbuka, ada darah yang mengalir dari sana. Itulah darah
para manusia yang dipotong-potong tubuhnya. Dan coba lihat matanya,
putih itu tak lain adalah tumpukan tulang-belulang para tahanan yang
sudah tak mampu menahan siksaan. Jika jalur kuping terbuka lebar, dari
setiap pori-pori si raksasa akan terdengar jerit-jerit yang saling sahut,
saling sambung, menembangkan kengerian panjang tak berkesudahan.
Dari perutku tumbuh dua pasang tungkai, sepasang ditumbuhi jejari
yang pendek-pendek, sepasang yang lain ditumbuhi jejari yang lebih
panjang. Ekorku menyusut, hingga tinggal tersisa sepotong tulang di
dekat anus. Tulang punggungku mengeras, hingga aku bisa berdiri tegak.
Sisik-sisik meluruh meninggalkan kulit berwarna coklat mulus. Gurat-
gurat pada perut naik membentuk rusuk. Lidahku memendek. Rahang
melebar maju ke arah depan, membawa sepasang mata jadi sejajar
letaknya, membingkai kepala yang mulai ditumbuhi rambut. Tengah
wajahku sedikit maju membangun jembatan hidung yang tak terlalu
mancung. Rongga telinga mengulir ke luar menjadi cuping yang rawan.
Sebelum gigi taringku menyusut, kuambil sebagian dan kujadikan belati.
Raksasa itu mengamatiku dengan sikap tenang yang meremehkan.
Sepertinya ia berpikir bahwa aku datang untuk menyerahkan diri, masuk
ke dalam mulutnya untuk kembali menerima siksaan. Tentu saja tidak.
Aku datang ke sini untuk membunuhnya. Secara menyakitkan, pada

145
sekujur tubuhku muncul berbagai memar dan bekas sayatan. Sebagian
membiru dan menghitam, sebagian mengucurkan darah segar. Nyeri
kurasakan di ulu hati. Dadaku babak belur. Beberapa gigiku tanggal.
Sejumput rambut tercerabut dari tempatnya tumbuh. Dan air mata
mengaliri pipiku yang perih.
Kuangkat belati yang kubuat dari taringku sendiri. Sebelum tatapan
mata raksasa itu menyayatkan luka baru di atas luka lama, aku bilang
padanya, “Kali ini aku tak akan kembali menyerahkan diri. Aku akan
membebaskan diri.”
Dengan sekali ayunan, kutebaskan belati ke leherku sendiri. Darah
muncrat ke atas salju. Tubuhku yang telanjang jatuh terkapar. Sakit yang
kurasakan perlahan-lahan memudar. Biru dan hitam menghilang.
Sayatan-sayatan kembali rapat seolah kulit sama sekali tak pernah
disentuh. Gigi kembali lengkap, rambut kembali lebat. Air mata berhenti
mengalir meski yang sudah jatuh tak kembali masuk ke dalam
kelenjarnya.
Dari mulut raksasa itu berhamburan tubuh-tubuh yang
membebaskan diri, melompat lalu berubah jadi lelatu. Tulang belulang
dalam rongga matanya berubah menjadi abu kemudian terbang menuju
langit. Raksasa itu sendiri berubah menjadi patung salju yang kemudian
runtuh sebagai butir-butir yang berjatuhan tanpa daya, melapisi
tumpukan-tumpukan salju yang sejajar dengan tubuhku. Darah dari
leherku terus mengalir menuju salju itu. Dari area putih yang telah
tertutup merah, tumbuhlah rumput berbunga.
Hangat darah berhasil mencairkan angkuhnya salju.

146
Aku menutup mataku. Misiku telah usai. Sekarang, saatnya bangun.
***
Aku masih agak menggigil ketika terbangun di ruang tidurku.
Badanku terasa pegal-pegal, dan kepalaku pening. Tetapi suara ribut
yang menggema di luar membuatku penasaran. Hati-hati kulangkahkan
kakiku ke luar kamar, menyusuri koridor kemudian menuruni tangga
menuju ruang keluarga. Di sana ada banyak laki-laki berkumpul,
melingkar dan sibuk membaca doa. Di tengah lingkaran itu ada Bapak
yang terbujur kaku, mata dan mulutnya tak lagi menganga. Kain putih
membebat sekujur tubuhnya.
“Ah, Dia telah berubah menjadi salju,” kataku.
Sejak saat itu, aku bisa merasakan sesuatu yang aneh dengan cara
orang-orang memandangku.

-----------------------------
Yoga Palwaguna. Penulis dan editor lepas, tinggal di Alamendah, Bandung. Aktif
di komunitas Kawah Sastra Ciwidey dan Prosatujuh. Bisa ditemukan di
Instagram pada akun @ypalwaguna.
147
Menilik
Safa Fadhilla R.

Ia menghela napas ketika lagi-lagi ia tak bisa mengendalikan suara


bising yang ada di kepalanya. Ingin rasanya membenturkan kepala,
mengeluarkan bising yang sejak lama menguasai. Berapa banyak lagi
lukisan yang harus ditorehkan? Berapa lama lagi ia harus menunggu
catnya mengering? Atau bagaimana caranya ia bisa menemukan kanvas
yang baru? Ia hanya tertawa mengetahui fakta bahwa dirinya tak mampu
menemukan jawaban akan hal itu.
“Apa ada yang menginginkan kamu di sini?”
“Apa ada yang berharap kamu tetap di sini?”
“Jangan berharap pada sesuatu yang tidak mengharapkanmu.”
“Pergi! Dunia akan lebih bersahabat tanpa orang sepertimu.”
Kemudian, suara bising itu mampu menguasainya, menyuruhnya
untuk membuat lukisan baru pada kanvas yang bahkan belum mengering
catnya. Setetes demi setetes cairan merah yang jatuh ke lantai mampu
mewakili kekalutan dirinya. Apa yang harus ia persiapkan ketika gelap
mungkin akan sepenuhnya menguasai? Atau bahkan ia sama sekali tak
punya waktu untuk bersiap? Lagi-lagi ia hanya bisa tertawa, memupuk
semua pertanyaan tersebut di dalam benaknya yang sewaktu-waktu akan
meledak.

148
Ia berpikir bahwa ia memerlukan lebih banyak baju panjang, seakan-
akan tahu bahwa lukisan yang ia buat akan membawa petaka untuk
dirinya. Terkadang yang menenangkan bisa menjadi yang paling
membahayakan bukan? Atau hanya dirinya yang terlalu cemas akan hal
itu?
“Tidak-tidak, ini hanya untuk berjaga-jaga. Dunia tak sebaik
kelihatannya bukan?” Ia berusaha meyakinkan bahwa sedia payung
sebelum hujan lebih baik dibandingkan harus menerjang derasnya hujan.
“Tapi … orang-orang pasti curiga, kenapa aku selalu memakai baju
lengan panjang. Padahal cuaca sedang panas-panasnya. Pasti aku terlalu
berlebihan.” Sedetik kemudian ia ragu dengan tindakannya.
“Tenang saja, lebih baik kamu membeli obat merah untuk membuat
lukisanmu cepat mengering.”
Lagi-lagi ia menghela napas dan memilih untuk membeli obat merah
di apotek dekat rumah. Semakin cepat lukisannya mengering, semakin
cepat ia memperoleh kanvas yang baru. Kanvas baru, lukisan baru, suara
bising yang baru, dan dirinya yang baru. Melukislah sebaik mungkin
sehingga kamu memiliki pesan, bahwa terkadang kamu bisa mendahului
takdir untuk membuatmu merasa lebih tenang.

Sukabumi, 09 April 2020


-----------------------------
Safa Fadhilla. Seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta,
sangat menyukai alat musik piano dan biola walaupun tidak bisa memainkannya.
Dapat ditemui di Instagram: safadhilla.

149
Batas Netral
--Sabrina Lasama

Aku tahu ini hanya mimpi. Seorang gadis tengah berbicara padaku.
Tanpa suara, dalam keheningan. Mataku fokus tertuju pada laut lepas.
Sebuah kapal berisi penuh pengungsi terombang-ambing di atasnya. Laut
itu kemudian menjelma menjadi sepasang mata. Biru dan dalam. Mata
seorang gadis.
Mata biru itu menatapku lekat, mempersalahkan kedatanganku yang
tidak dari dulu-dulu. “Diak ka lae?11” Gadis itu berbicara padaku. Aku
tidak menyahut. Ia mengulang kalimat yang sama. Bahasa Tetun yang
familiar di telingaku.
“Kenapa kau baru datang sekarang Gandi? Katamu dulu kau
mencintaiku, katamu dulu akan datang menjemputku lagi.” Suara parau
kembali keluar dari bibir tipis itu disusul butiran-butiran air yang
mengaliri hidung mancungnya sebelum jatuh ke tanah. Aku hanya bisa

11
Diak ka lae? (Tetun): Apa kabar?

150
menatap mata biru itu hingga sosoknya kemudian melumat dalam garis
horizon yang menyatukan laut dan langit.
“Tunggu! Tunggu dulu! Kamu mau ke mana?” Aku ingin
menyuarakan itu dengan lantang namun hanya tertahan di tenggorokan.
Tanganku menggapai ingin merengkuhnya ke dalam pelukanku. Sosok
itu lambat laun memudar dan menghilang.
Sedetik kemudian guncangan keras menyadarkanku dari tidur.
Rupanya aku bermimpi. Gadis itu lagi.
“Tampaknya Pak Gandi kelelahan menempuh perjalanan jauh ke
sini.” Petrus, supir perusahaan kantor cabang Kupang yang tadi
menjemputku di bandara, berseru.
“Iya nih Petrus. Capek duduk di pesawat tiga jam, sekarang mesti
duduk lagi di mobil,” balasku sambil mengedarkan pandangan ke luar
jendela jeep yang dikendarai oleh Petrus. Kota Kupang di musim
kemarau benar-benar membuat dehidrasi.
Petrus tersenyum sambil menyodorkanku sebotol air mineral seolah
dapat membaca pikiranku. “Bapak baru pertama kali ke sini?”
“Saya baru pertama kali ke Kupang. Tapi dulunya saya pernah tinggal
di Timor Timur. Sekitar lima belas tahun lalu saat Timor Timur masih
jadi bagian Indonesia. “
Petrus tampak kaget dengan pernyataanku barusan. “Saya punya
banyak saudara di Timor Timur. Mereka waktu jajak pendapat dulu
memilih Timor Timur jadi sampai sekarang masih tinggal di sana. Cuma
saya yang memilih Indonesia, Pak. Saya cinta sekali sama Indonesia,
tidak bisa saya bayangkan menjadi warga negara lain selain Indonesia.”

151
“Jadi rupanya kau sebatang kara di Indonesia ini?” tanyaku sambil
tertawa mendengar kecintaan Petrus yang sedemikian besarnya pada
Indonesia. “Kamu tidak rindu sama keluarga-keluargamu yang di Timor
Timur? Bagaimana caranya kalian bertemu? Kamu punya paspor untuk
masuk ke sana?”
“Istri dan anak saya tinggal di Desa Napan, itu perbatasan Timor
Timur dengan Indonesia. Di sana kami bisa saling bertemu dengan
keluarga yang di Timor Timur. Kadang-kadang kalau ada upacara
kematian kami bahkan bisa masuk ke sana tanpa harus memiliki
paspor.”
“Oh ya? Kalau begitu ayo kita ke sana!” seruku membuat Petrus
kaget. Dorongan itu begitu kuat. Seperti halnya Mas Rama, kakakku,
yang merasa harus mendaki Rinjani terlebih dahulu sebelum menikah,
rasanya aku pun harus menyelesaikan urusanku yang belum selesai di
masa lalu agar lebih siap untuk menjalani masa depanku. “Ayo kita ke
Napan!”
“Tapi itu seratus dua puluh kilometer dari sini, Pak. Apa tidak
sebaiknya istirahat dulu di mes dan kita ke sana kapan-kapan saja?”
Petrus berusaha mencegahku. Mungkin dilihatnya aku terlalu lelah.
“Saya ingin ke sana sekarang!” Petrus tidak menyahuti omonganku
lagi tapi roda jeep berbalik arah menjauhi mes perusahaan dan melaju
menuju Desa Napan.
Sepanjang perjalanan, Petrus, pribumi Timor Timur itu bercerita
tentang betapa mencekamnya detik-detik menuju hari jajak pendapat. Itu
adalah masa di mana penduduk Timor-Timur akan memilih untuk tetap

152
menjadi bagian dari Indonesia atau melepas diri dan menjadi negara
sendiri. Suara dentuman senjata lebih sering terdengar dibanding hari-
hari sebelumnya. Jam malam semakin ketat diberlakukan. Pukul delapan
malam, Dili–Ibu Kota Timor Timur–seperti kota mati. Beberapa
kompleks perumahan mewah yang dulunya didominasi pendatang
sepertiku bahkan benar-benar tak berpenghuni. Penghuninya telah jauh
hari meninggalkan rumah mereka tanpa membawa sepeser pun harta
benda. Hanya nyawa dan pakaian seperlunya.
Aku teringat peristiwa lima belas tahun lalu saat adik bungsuku,
Yudhistira, menangis di pelukan Ibu. Mas Rama menjinjing dos berisi
pakaian kami secukupnya. Ayah membawa beberapa dokumen kantor
yang akan dia perlukan untuk pengurusan kepindahannya nanti. Ibu
sesenggukan. Aku tahu ia pun pasti menangis harus meninggalkan rumah
mungil kami di kota Dili demi naik Kapal Pelni bersama pengungsi lain
yang harus bergegas meninggalkan Timor Timur. Aku tahu hatinya patah
harus meninggalkan kebun kecil di halaman rumah kami yang
ditanaminya dengan sunkist dan tumbuhan rempah.
Hatiku juga patah demi menanggung kenyataan harus berpisah
dengan Terezina Da Gomez. Gadis bermata biru yang sangat aku puja.
Cinta pertamaku. Bertahun-tahun kemudian aku dicekam rasa bersalah
dan menyesal. Pertunangan dengan calon istriku sekarang memperburuk
keadaan. Aku memimpikan Terezina hampir setiap malam usai prosesi
lamaranku beberapa bulan lalu.
Meninggalkan Terezina adalah pilihan pahit yang harus aku terima
karena ia dan keluarganya memutuskan untuk tinggal dan menjadi bagian

153
dari negara Timor Leste yang kemudian terbentuk usai jajak pendapat.
Masih jelas percakapan terakhir kami ketika itu.
“Papa Tetua di kampung. Ia memilih tetap berada di tanah tumpah
darahnya apa pun status Timor Timur ini nanti.” Mata biru Terezina
digenangi air. Tanganku masih menggenggam erat tangan Terezina, tidak
ingin melepaskannya. Patung Kristus Raja di kejauhan sana seolah turut
bersedih menyaksikan detik-detik perpisahan kami.
“Aku ingin kamu pergi bersamaku, Tere. Tapi kalau tetap di sini
adalah pilihanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Atau aku tinggal
saja di sini dan ....” ucapanku terhenti karena telunjuk Terezina
menempel di bibirku.
“Kita sudah membicarakan ini ratusan kali. Ayah dan Ibumu tidak
setuju kamu tetap di sini. Selain itu tidak ada yang menjamin
keselamatanmu.”
Aku terdiam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Terezina.
Dengan wajah Jawa dan status pendatang di Timor-Timur, maka tidak
ada yang akan menjamin keselamatanku. Jangankan di masa-masa jajak
pendapat, jauh sebelum konflik itu dimulai pun seringkali terjadi
pertikaian antara penduduk pribumi dan pendatang. Kejadian itu pula
yang mengantarkanku mengenal sosok Terezina.
Ketika itu aku duduk di kelas dua di SMA Negeri 1 Dili. Suatu ketika
saat di angkutan umum sepulang sekolah, seorang pelajar pribumi
menghampiriku dan tanpa tedeng aling-aling meninju perutku hingga aku
tersungkur di lantai angkutan umum. Sedetik kemudian pemuda lain
menghampiri dan mulai memukuliku. Penumpang lain yang kebanyakan

154
pendatang hanya menjerit tanpa ada keberanian melerai. Supir angkutan
umum yang pribumi hanya melirik dari kaca depan. Kejadian seperti ini
sudah sangat lazim terjadi.
“Hau sala saida?12” teriakku di sela-sela pukulan mereka sambil
menahan sakit.
“Karena kau pendatang!” sahut salah satu di antara mereka.
Mungkin aku sudah pingsan kesakitan kalau saat itu Terezina tidak
naik ke atas angkutan umum tersebut dan melerai kami.
“Benicio, Arthur, imi bele baku sira seluk, maibe, imi baku Gandi,
Hare deit!133” seru Terezina tegas. Matanya menyala mengisyaratkan
kesungguhan kata-katanya. Detik itu juga pemuda-pemuda tersebut
berhenti memukuliku. Detik itu juga aku jatuh cinta pada Terezina.
Terezina teman sekelasku, tapi kami jarang sekali bicara. Ia adalah
gadis yang sangat cantik. Rambut ikal bergelombang, kulit coklat
menawan dan lebih dari semua itu, matanya biru. Mungkin karena ia
adalah kaum Mestizo, keturunan kawin campur Portugis dan Flores yang
telah turun-temurun mendiami Timor Timur. Ia anak tetua desa. Desas-
desusnya masih keturunan Raja Larantuka. Raja yang di abad 17 lalu
menguasai hampir seluruh wilayah Timor ini. Untuk itulah keluarganya
dihormati. Dan untuk itulah juga ia sangat dihargai di antara siswa-siswa
pribumi. Ia adalah seluruh yang kudambakan ada pada seorang wanita.
Seluruhnya kecuali kenyataan bahwa aku pendatang dan dia pribumi.

12
Hau sala saida? (Tetun): Apa salahku?
13
Benicio, Arthur, imi bele baku sira seluk, maibe, imi baku Gandi, Hare deit!
(Tetun) : Benecio, Arthur, kalian boleh pukul yang lain, tapi kalian pukul Gandi, lihat
saja!
155
Peristiwa jajak pendapat tahun 1999 itulah puncak hubungan kami.
Satu tahun sudah kami menjalin hubungan diam-diam karena
keluarganya tidak terlalu suka dengan pendatang begitu pun dengan
keluargaku yang menolak terang-terangan hubunganku dengan Tere.
Aku masih ingat wajah Ayah yang menegang ketika aku mengutarakan
niatku untuk tetap tinggal di Timor Timur usai jajak pendapat.
“Kamu sudah dibutakan sama cinta monyet yang bodoh! Kalau kamu
keras kepala tetap mau tinggal, silakan! Tapi jangan harap lagi aku masih
mau menganggapmu anak!”
Yang aku risaukan bukan ancaman ayah. Yang aku risaukan justru ibu
yang mungkin akan menanggung beribu-ribu kecewa mendapati sikapku.
Maka aku memutuskan untuk pergi.
“Aku akan kembali lagi menjemputmu, Tere,” bisikku kala itu ketika
kami duduk di atas pasir putih di Pantai Fatucama, sisi timur kota Dili.
Di kejauhan sana Patung Yesus terbesar kedua di dunia seolah-olah turut
terpaku memandang kami. “Maukah kamu menungguku?”
Terezina menarik tangannya perlahan lepas dari genggamanku. Ia
beranjak sambil membersihkan pasir yang melekat pada roknya. “Aku
akan menunggu,” ujarnya sembari tersenyum. “Sekarang pulanglah!” Ia
berbalik meninggalkanku yang masih duduk termangu. Jejak-jejak
sepatunya terukir di atas pasir putih. Bayangannya semakin menjauh dan
menghilang. Itulah kali terakhir aku melihatnya.
“Kita sudah hampir sampai, Pak,” seruan Petrus mengejutkan
lamunanku. “Sekarang Timor Timur sudah semakin aman. Sudah
banyak juga perantau dari Jawa dan Makassar yang usaha kecil-kecilan di

156
perbatasan. Apalagi sekarang hari Sabtu. Banyak warga dari kedua negara
janjian ketemu di sini.”
Petrus menepikan Jeep-nya di sebuah rumah kecil. Dari dalam
seorang wanita berparas Timor dan seorang anak kecil yang kemudian
diperkenalkan Petrus sebagai anak dan istrinya keluar menyambut
kedatangan kami.
“Selamat datang di batas netral,” ujar Petrus lagi. “Di sini setiap cinta
bertemu tanpa memandang perbedaan.”
“Batas netral?” tanyaku heran.
“Ya. Dulu desa kami ini masuk berita di koran. Ada wartawan yang
menyebut-nyebut tempat ini sebagai batas netral. Tempat bertemunya
warga dari dua negara yang pernah berkonflik.”
Aku hanya tersenyum menanggapi kata-kata Petrus. Aku alihkan
mataku sejauh mungkin. Memang ramai. Berbagai bahasa terdengar.
Berbagai makanan ringan dijajakan. Aku berjalan ke arah pos penjaga
perbatasan. Tampak beberapa polisi perbatasan dari kedua negara saling
bertukar cerita sambil bermain catur. Aku memandangi sebuah gerbang
yang dijaga sekenanya oleh beberapa aparat. Di temboknya tertulis
‘NKRI Harga Mati’ dua puluh meter dari gerbang itu ada sebuah gerbang
lagi bertuliskan ‘Republika Demokratika Timor Leste’ di antara kedua
gerbang itulah terdapat batas netral antara kedua negara.
Tidak ada hawa mencekam seperti lima belas tahun lalu. Tidak ada
tanda-tanda peperangan. Yang ada hanya kedamaian memenuhi
atmosfer Desa Napan karena telah mempertemukan harapan antara dua

157
keluarga yang terpisah secara demografi. Mempertemukan ibu dan
anaknya, mempertemukan adik dan kakaknya.
Aku melangkahkan kaki memasuki batas netral. Di balik gerbang itu
entah di mana kini Terezina hidup. Aku kehilangan kontak sama sekali
dengannya begitu kakiku menginjak dek kapal yang membawaku
meninggalkan Timor Timur. Hatiku terombang-ambing memendam
sesuatu yang aku yakini itu cinta. Terombang-ambing bersama kapal
Pelni di atas Laut Flores. Menanggung rasa sakit yang tidak bisa aku
gambarkan.
Aku bukannya tidak mencoba mengakses keberadaan Terezina. Aku
bahkan sengaja menghadiri sebuah kuliah umum beberapa waktu lalu
saat kutahu yang menjadi pembicara adalah Xanana Gusmao, orang
nomor satu di Timor Leste, demi mengendus jejak-jejaknya. Berharap
dia ada di antara beberapa mahasiswa atau staf pengajar Universidade
Nacional Timor Lorosa'e14 yang juga hadir kala itu. Aku tetap berusaha
mengakses keberadaannya bahkan ketika tengah berhubungan serius
dengan Tenri, gadis yang sebentar lagi menjadi istriku. Tapi semuanya
nihil.
Bukan tanpa alasan pula ketika aku memutuskan untuk meng-handle
langsung site visit ke daerah eksplorasi bijih besi di NTT ini. Aku
melakukannya karena Terezina hadir lagi enam bulan belakangan dalam

14
Universidade Nacional Timor Lorosa'e : Universitas Nasional Timor Lorasae.

158
mimpi-mimpiku setelah lima belas tahun menghilang. Aku berharap bisa
mencari jejak-jejak Terezina dari NTT.
“Bagaimana Bapak Gandi? Apakah Timor-Timur masih seperti
dalam ingatan Bapak?” Petrus menghampiriku. Angin sore berembus
pelan menyapu wajahku, membuat dedaunan dari pohon cendana tua
bergemerisik.
“Benarkah kita tidak boleh masuk tanpa paspor?” Aku bertanya
tanpa menjawab pertanyaan basa-basi Petrus.
“Tidak bisa Pak. Apa bapak ada urusan di Timor Leste?”
“Aku ingin mencari sesorang,” jawabku. “Tapi aku tidak yakin apakah
dia ada di Timor Leste, atau di Indonesia, ataukah di belahan dunia yang
mana.”
Petrus terdiam menyimak setiap kata-kata yang keluar dari mulutku.
“Terezina Da Gomez. Aku ada urusan yang belum terselesaikan
dengannya,” sambungku.
“Apakah itu soal cinta?” Petrus menggoda. Hatiku berdesir. “Mari
kita lihat apakah mereka mengenal orang yang Bapak cari.”
Petrus lalu berjalan menghampiri pos penjaga perbatasan. Dari
tempatku berdiri aku masih bisa mendengarnya menanyai salah satu
polisi perbatasan dengan bahasa Tetun yang sangat fasih. Aku masih
ingat ketika saat sekolah dulu salah satu pelajaran di kelasku adalah
pelajaran bahasa daerah dan yang diajarkan adalah bahasa Tetun, bahasa
daerah Timor Timur.

159
Beberapa saat kemudian Petrus kembali ke tempatku. “Sepertinya
urusan cinta ini akan segera menemui akhirnya. Semoga ini akhir yang
bahagia ya Pak Gandi.” Lelaki Timor itu terus menggodaku.
“Jangan mengada-ada Petrus. Mana mungkin itu urusan cinta. Dia
hanya salah satu sahabat dari masa lalu. Lagipula aku akan menikah
bulan depan,” sangkalku.
“Sayang sekali,” gumamnya. Lalu ia cepat menambahkan, “Maksud
saya, selamat untuk rencana pernikahan pak Gandi. Tapi salah satu dari
polisi perbatasan itu mengenal keluarga Da Gomez dan seingat dia
mereka memiliki anak gadis yang bernama Terezina. Mereka tinggal di
Dili.”
“Benarkah?!” Aku terkejut demi mendengar kata-kata Petrus.
“Iya, Pak. Saya sudah sampaikan ada orang yang ingin bertemu. Polisi
itu bilang akan disampaikan kepada Terezina untuk datang besok pagi
menemui bapak di batas netral. Kita lihat apakah itu Terezina yang bapak
maksud. Nah, sekarang kita ke mes?”
“Tidak Petrus. Saya menginap di rumahmu saja. Bolehkah?”
“Tapi rumah saya jelek, Pak.”
“Tidak apa. Saya bisa tidur di mana saja. Di lantai juga tidak masalah,”
ujarku sambil merangkul pundak Petrus, menggiringnya menuju
rumahnya saat matahari baru saja terbenam.
***
“Bapak Gandi! Bapak Gandi!” Petrus mengetuk pintu kamarku.
Malam itu di rumah Petrus aku menginap di kamar utama dan satu-
satunya di rumah mungil mereka. Sebagai gantinya Petrus, istri dan

160
anaknya tidur di ruang tengah beralaskan karpet di depan televisi. Aku
sebenarnya tidak enak karena telah menjadi tamu yang tidak tahu diri,
tapi karena Petrus memaksa dan mengancam akan mengantarku ke mes
perusahaan malam itu juga jika aku menolak tidur di kamar, maka
akhirnya aku mengalah.
“Ada apa, Petrus?” Aku membuka pintu lalu menarik zipper jaketku
lebih tinggi. Ekor mataku menangkap jam di dinding rumah Petrus yang
menunjukkan pukul enam pagi.
“Nona Terezina Da Gomez menunggu Bapak di batas netral.”
“Apa?” seruku terkejut. Sepagi ini?
“Tadi polisi perbatasan itu datang ke rumah. Dia cerita katanya
kemarin malam ketika singgah di rumah keluarga Da Gomez untuk
menyampaikan pesan Bapak, Nona Terezina langsung minta ikut ke
Napan. Dini hari mereka berangkat dari Dili. Mari kita ke batas netral
menemui mereka.”
Petrus melangkah ke luar rumah menuju ke pos penjaga perbatasan.
Aku mengikutinya di belakang. Kabut masih menggantung di udara Desa
Napan. Pagi masih begitu dingin. Roh-roh pohon cendana masih
terlelap. Nun jauh di ufuk timur sana sinar matahari malu-malu.
Kuedarkan pandangan sejauh jangkauan retina. Lalu pada satu titik aku
hanya terpaku. Lidahku tiba-tiba kelu. Seluruh pori-poriku rasanya
remang. Benarkah takdir yang mengantarku kemari?
Lima meter dari tempatku berdiri sosok itu ada di sana, sedang
membeli sesuatu di salah satu penjaja kaki lima. Ia tengah membayar apa
yang baru saja dibelinya. Entah dengan rupiah atau dengan dollar US.

161
Satu detik. Dua detik. Tiga detik terlama dalam hidupku berlalu
ketika wanita itu berbalik menghadap ke arahku. Kini bergantian dia yang
terpaku di tempatnya berdiri. Jemarinya bergetar nyaris menjatuhkan
penganan yang baru saja dibelinya.
“Gandi,” Bibirnya bergerak tanpa suara.
Lama kami terdiam. Saling menatap sambil berusaha mengumpulkan
kenangan-kenangan lima belas tahun silam yang berserakan dalam
memori. Satu detik. Dua detik. Ia berjalan cepat ke arahku untuk
mempersempit jarak lima meter yang tadi menganga di antara kami.
Beberapa detik kemudian jarak tubuhnya hanya terpaut beberapa
sentimeter dariku.
Aku menatapnya lekat. Kulit itu masih secokelat dulu, mata itu masih
sebiru dulu. Bahkan kini tampaknya jauh lebih biru dari samudra di
belahan dunia mana pun. Ini Tereku, sedang berdiri menatapku. Ia jauh
lebih cantik dan lebih dewasa dibanding terakhir kali kami bertemu.
Lima belas tahun benar-benar telah bekerja membentuk gadis yang
kukenal dahulu menjadi sesosok wanita anggun di hadapanku kini.
“Aku tahu kamu pasti kembali menepati janjimu menjemputku. Aku
tahu saat seperti ini akan tiba,” bisiknya lagi. Kalimatnya memburu.
Aku diam. Dadaku beregup? Pikiranku berkecamuk.
“Aku sudah siap untuk pergi bersamamu sekarang,” katanya.
Aku tersenyum mengantarkan air mata yang jatuh sebagai buncah
kerinduanku yang teramat sangat pada wanita bermata biru ini. Inikah
yang harus kuselesaikan sebelum memulai babak baru dalam hidupku?

162
Pikiranku melayang bersamaan dengan tubuhnya yang melayang ke
dalam rengkuhanku.
Selamat datang di batas netral. Di sini setiap cinta yang terserak
dipertemukan kembali.

Batas Netral merupakan salah satu cerpen di buku kumpulan cerpen berjudul
Mantu yang diterbitkan oleh Penerbit LovRinz Publishing pada tahun 2017.
Ditulis kembali dengan beberapa perubahan untuk proyek #betahdirumah

-----------------------------
Sabrina Lasama. Penulis bergiat di komunitas menulis Prosatujuh. Tulisannya
telah telah tersiar di beberapa media cetak maupun online, yaitu Manado Post,
Femina, Chic, kurungbuka.com, jangan.id dan detik.com. Sabrina bisa disapa
melalui FB: Sabrina Anggraeni Lasama dan Instagram @sabrinalasama.

163
Jangan Macam-Macam kalau
Mau Aman
--Tegar Tri Pamungkas

Cahaya bulan turun perlahan melalui jendela yang tirainya kusam.


Oleh karenanya, ruangan itu sedikit samar. Di dalamnya ada seorang pria
berbaring di atas kasur lapuk―bagian busanya menonjol dan sobek. Pria
itu berpakaian compang-camping, penuh darah. Mukanya rusak,
beberapa bagiannya lebam kebiruan, paling parah di sekitar mata serta
mulut yang membengkak dua kali lebih besar dari bagian lainnya. Semua
tetangga tahu bahwa pria itu bernama Dion, ia pemilik ruangan ini.
Namun karena kejadian itu, ia seolah-olah tidak mengerti apa yang telah
terjadi.
***
Ketika Dion terbangun dari mimpinya yang kelam, tiba-tiba seluruh
badannya terasa sakit. Dengan pencahayaan minim Dion memandangi
sekitar ruangan, ia hanya menangkap bayangan. Ia berusaha untuk
duduk, tetapi badannya sukar sekali digerakkan. Ia sempat berpikir,

164
mungkin ini adalah akhir dari kehidupannya. Di sisi lain, ia malah
berpikir bahwa ini adalah awal dari penderitaannya.
Sekali lagi ia berusaha bangkit, dengan usaha yang lebih keras dari
sebelumnya, ia pun berhasil duduk―meskipun rasanya beberapa
tulangnya sudah tidak lagi menyatu. Sedari tadi, ia tidak mendengar apa
pun. Tidak ada suara jangkrik, burung, atau bisingnya jalanan yang padat
oleh kendaraan. Ia menerka di mana ia berada saat ini. Rasanya tidak
begitu asing. Ia mencoba menjelajahi otaknya sendiri, namun ia hanya
mengingat peristiwa yang terjadi siang tadi.
Ia dikunjungi Yoko, sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu Yoko. Ia
ingat bagaimana sahabatnya itu mati―di tangannya sendiri. Yoko
meminta Dion untuk membunuhnya, lalu Dion melakukannya lebih dari
satu kali. Ia menikam dengan sebuah pisau, lalu menggotongnya ke
sebuah jendela, kemudian ia melempar mayat temannya dari lantai tiga,
seketika mayat itu langsung dihantam oleh mobil besar yang lajunya tidak
terlalu cepat.
Sebelumnya, ketika Dion sedang membaca koran di sofa―ia
mendengar pintu itu diketuk keras, tiga kali ketuk mungkin, bisa saja
lebih. Dion tidak terlalu mengingat berapa ketukannya secara pasti. Ia
segera bangkit menuju pintu lalu membukanya, Dion tidak terkejut
dijumpai sahabat lamanya—Yoko―dalam keadaan napas yang tidak
teratur.
Yoko melempar senyum dan Dion acuh tak acuh. Dion
menyuruhnya masuk, lalu ia masuk dengan keadaan was-was, matanya
mengamati seluruh isi ruangan secara detail. Ruangan itu kumuh,

165
sawangnya menempel di mana-mana, buku-buku berserakan, serta
beberapa pakaian yang ada di lantai, sofa, di atas televisi serta di kolong
meja―semuanya seolah-olah habis diterjang angin.
“Kau seharusnya bisa merapikan tempat ini,” ujar Yoko kesal karena
memiliki sahabat yang jorok. Suaranya lemah, seperti suara orang sedang
mengantuk, tapi itu suara normalnya.
“Jika kau peduli, silakan bereskan tempat ini,” jawab Dion ketus. Lalu
berjalan ke sofa yang ia duduki tadi.
“Tidak, aku tidak peduli. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu dan
meminta pertolonganmu.”
Dion diam, tidak berkata apa pun. Mungkin juga ia tidak peduli
dengan suara yang keluar dari mulut Yoko. Dion duduk di sofa, ia
meletakkan kakinya di atas meja kecil penuh dengan buku-buku―begitu
pula dengan sahabatnya itu.
“Kehidupanku dipenuhi orang-orang tolol, kau pun termasuk.
Meskipun kita tidak pernah bertemu selama dua tahun, tapi kau
termasuk. Mengapa kau pun termasuk? Karena kau memang tolol. Ya,
ya. Kau memang orang tolol, Dion. Kau tahu, kalau aku sedang
membangun negara sendiri? Tapi aku belum mendeklarasikannya secara
resmi. Aku telah mengumpulkan 1.200 orang untuk mengikutiku dan
semuanya ikut bergabung,” kata Yoko sambil tertawa serta mengambil
rokok dari kantung jas yang ia kenakan.
“Ya, aku tahu. Kau menjadi public figure sekarang,” ujar Dion dengan
ekspresi datar.

166
“Sedari dulu kau memang tidak berubah, kau masih tidak mau
berbicara panjang. Apa karena keheningan ini yang membuat kata-
katamu terkikis?”
“Tidak, bila terkikis aku tidak akan menulis sebuah buku dan mana
mungkin semua bukuku digandrungi banyak orang,” jawab Dion masih
dengan ekspresi datar, ia mengambil rokok di atas meja lalu
menyulutnya.
“Itu karena rendahnya tingkatan bacaan masyarakat di sekitar sini,
aku pernah membaca bukumu dan menurutku tidak menarik. Kau
hanya mencoba menulis beberapa kata-kata yang digemari masyarakat
sekitar, begitulah caramu terkenal. Aku pikir, itu hal yang sangat
membosankan―karena tiap hari kau akan melihat tulisanmu sendiri di
setiap instastory,” seru Yoko agak meninggi.
“Aku tidak peduli. Selagi bukuku laku, aku akan merasa senang.
Karena bagaimana pun aku selalu dikelilingi banyak uang,” balas Dion
sembari mengisap rokok dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya
begitu menikmati.
“Apa kau tidak ada keinginan untuk meningkatkan tulisanmu?
Karena aku pikir, bukumu hanya mengikuti pasar. Dan jika kau mati,
bukumu tidak akan melegenda―bisa jadi tenggelam,” kata Yoko, lalu ia
menyelipkan rokoknya di antara bibir. Dengan segera korek terpantik.
“Ada. Sebelum jauh ke sana, aku ingin bertanya satu hal. Menurutmu,
standarisasi kebudayaan itu ada atau tidak?” tanyanya. Ini pertama
kalinya Dion menanyakan sesuatu yang serius di beberapa bulan ini.

167
“Aku tidak tahu,” jawab Yoko disertai dengan gerakan kepala
menggeleng, bahunya agak ke atas serta tangannya mengangkat seakan
meminta pelukan.
“Kau kan ahli sejarah, buktinya kau berani memanipulasi sejarah
demi mendapatkan massa. Jangan tanyakan kenapa aku menanyakan ini.
Sebelum kau menanyakannya, aku akan memberitahu sesuatu yang
sedang aku sesali sekarang. Kau tahu kan, pemerintah berkeinginan
melestarikan budaya? Dan budaya yang ingin dilestarikan ini pernah kita
lakukan selagi kita kecil dulu, itu pun terpaksa―karena kita merasa
lapar. Masa kebiasaan bisa disebut budaya? Itu kebiasaan meminta, loh.
Masih perlu dilestarikan? Di mana letak penyaringan antara kebudayaan
dan kebiasaan?”
Ini pertama kalinya Dion berbicara panjang, Yoko terdiam. Mata
Yoko mengarah ke asbak, seolah-olah sedang memikirkan jawaban yang
sekiranya tepat. Yoko mengisap rokok, begitu pula dengan Dion.
Pembicaraan itu terhenti. Kini pandangan Yoko beralih ke arah jendela,
seakan sedang meminta bisingnya suara kendaraan yang menderu―tapi
ia hanya mendengar kekosongan.
“Budaya apa yang ingin kau lestarikan?” tanya Yoko tiba-tiba, sontak
mengejutkan Dion.
“Sesuatu yang tidak merugikan sebuah pihak, misalnya upacara adat
atau rasa syukur kepada Tuhan, bisa berupa tarian atau sesembahan yang
telah dilakukan leluhur kita secara turun-menurun."
“Bukankah itu juga bentuk dari kebiasaan leluhur kita?” tanya Yoko
kembali.

168
Dion bungkam, kali ini ia yang merasa pusing. Ia mengisap lagi
rokoknya, kemudian mematikannya dengan kasar. Begitu pula dengan
sahabatnya. Kini Yoko memandangi Dion, dari atas hingga bawah.
Penampilan Dion begitu berantakan. Terlihat jelas dari janggut dan
kumisnya yang agak tebal. Rambutnya terkuncir bagai air mancur yang
berada di taman kota. Dion memakai kaus putih polos, dan celana bahan
hitam. Ia terlihat lebih dewasa.
Dion pun memandangi Yoko pula, dari ujung rambut hingga ke
bawah. Rambutnya rapi, seperti para tentara. Wajah keturunan Cina itu
sudah mulai menua, terdapat kerutan di beberapa bagian, misalnya di
atas alis atau di samping mata. Dion mengamati bagian tubuh Yoko, ia
terlihat lebih kurus dari sebelumnya, tapi karena ia memakai jas, ia
terlihat lebih gagah―padahal ia tidak gagah. Jasnya seperti para pejabat.
Celana bahan yang dikenakan mengikuti warna jasnya, cokelat muda.
Dan ia mengenakan kaus berwarna hitam yang bergambar, bintang
mungkin atau entah apa. Karena meskipun ia duduk, ia tidak
melepaskan kancing itu, sehingga hanya terlipat dan tidak begitu jelas
kaus di dalamnya.
“Mengapa kau membangun negara sendiri?” tanya Dion
mengalihkan pembicaraan.
“Aku hanya ingin menggertak pemerintah. Dan cukup berhasil, aku
tidak suka dengan presiden yang otoriter. Bagaimana pun aku membenci
sistem kekuasaan seperti itu. Aku pun kesal jika melihat banyak sekali
penggusuran, pengalihan isu, penderitaan, dan sebagainya."

169
“Bagaimana kau mendapatkan massa sebanyak itu?” tanya Dion
kembali.
“Itu hal yang mudah, kau pun pasti tahu. Jadi aku tidak perlu
mengatakannya. Apakah kau tidak keberatan jika aku tidak
mengatakannya?”
“Tentu aku keberatan, aku ingin menuliskan kehidupanmu.”
“Sebegitu pentingkah kehidupanku?” tanya Yoko.
“Ya,” jawab Dion singkat.
“Aku bukan orang penting, buktinya aku menjadi buronan para
polisi. Aku tidak bebas sekarang, aku selalu ketakutan.”
“Bagaimana kau memanipulasi mereka?”
“Mudah saja, aku beri contoh dari negeri leluhurku. Misalnya,
runtuhnya dinasti Qing itu ketika Raja Aisin Gorou Fuyi dinobatkan
sebagai raja. Dan orang yang membaca pasti akan tahu bahwa Fuyi telah
dinobatkan saat dia berusia dua setengah tahun. Empat tahun setelah
Fuyi dinobatkan, nasionalis Cina menggulingkan sistem monarki dan
memaksanya turun tahta. Tapi kita bisa memanipulasinya, begini kira-
kira; Fuyi sebagai raja ke-12 sangatlah tangguh sehingga kaum nasionalis
Cina tidak sanggup menggulingkannya."
“Lantas apa yang membuatmu kemari? Kau ingin bersembunyi?”
“Lebih dari itu.”
“Apa yang kau maksud? Kau menyuruhku untuk menggantikanmu
sebagai presiden?”
“Tidak, kamu tidak harus melakukan hal itu. Aku ingin kamu
menghapus jejakku. Aku ingin kamu segera membunuhku, itu pun kalau

170
kamu merasa kasihan padaku. Karena kalau aku sampai tertangkap, aku
akan mendapat hukuman mati. Itu sama saja dengan tidak memiliki
kesempatan untuk tetap hidup. Aku ingin mati di tangan sahabatku,
bukan di tangan penguasa yang licik dan kejam.”
“Aku tidak bisa melakukan hal itu,” ujar Dion dingin.
“Tapi kau harus melakukannya.”
Yoko lalu berdiri, berjalan menuju dapur. Ia melepas kancingnya.
Ketika berbalik arah dan berjalan menuju sofa, Dion melihat gambar
bintang merah dan tulisannya seperti ini: REVOLUSI BUKAN ILUSI.
Tulisan itu ditulis menggunakan huruf latin, dan letaknya tepat di tengah-
tengah bintang merah.
Sebelum ia mati, ia ingin menyicipi rokok terakhir. Ia mematikan
rokok lamanya, dengan gerakan yang tangkas, ia menyulutnya kembali.
“Ketahuilah, aku tidak dapat membawa rokok ini. Mungkin jika aku
membawanya, pasti kena razia, seperti halnya ketika kamu memasuki
bioskop―kamu tidak diperbolehkan membawa makanan dari luar, jika
tidak dititipkan, ya, dihabiskan. Tapi, aku tidak memiliki waktu lama.
Hal yang mustahil jika aku menghabiskan rokok ini semuanya. Jadi aku
menitipkannya kepadamu, kau boleh menghabiskannya. Sisakan satu
untuk rohku nanti.”
“Aku tidak sanggup,” ujar Dion mengeluh.
Tiba-tiba air mata Dion perlahan keluar. Yoko pun tertawa. Dion
tidak tahu mengapa ia tertawa. Tapi mungkin, ia akan merasa memiliki
sahabat yang lemah. Setelah rokok tersisa sedikit, ia mematikannya di
asbak. Lalu ia berdiri, begitu pun dengan Dion.

171
“Ketahuilah, bahwa aku berjiwa nasionalis. Aku memimpikan sebuah
perubahan di negeri ini,” ujar Yoko sambil tersenyum.
“Kau benar-benar pria sejati,” ujar Dion, air matanya mengalir di pipi.
Lalu masuk ke mulut. “Air mataku terlalu asin untuk mengenangmu,
Kamerad!”
“Cepatlah, kau membuang waktuku.”
Lalu Dion menggerakkan pisau itu ke jantung Yoko. Darahnya keluar
melalui lubang yang Dion buat. Perlahan darah itu jatuh ke lantai. Setelah
beberapa menit ia pun ikut terjatuh ke lantai. Ia sekarat, sambil
mengerang dia berkata, “Terima kasih, Kamerad!”
Yoko menutup mata untuk selamanya. Dion mengambil rokok Yoko
yang tersisa sedikit, ia menyelipkannya ke dalam mulut Yoko, kemudian
korek itu dipantik.
“Sialan, rokoknya mati,” ujar Dion. Ia baru sadar jika ingin
menyalakan rokok, ia harus sambil mengisapnya. Maka ia mengambil
kembali rokok yang berada di mulut Yoko, lalu menyulutnya melalui
bibirnya sendiri, kemudian ia menyelipkan batang rokok itu ke mulut
sahabatnya.
Setelah beberapa menit, ia sedikit bingung dengan mayat sahabatnya.
Tidak ada tempat. Namun, ia harus segera membuangnya. Ketika ia
mengangkat tubuh Yoko, rokoknya terjatuh. Dion kesal, dan menjadi
tidak peduli perihal rokok. Dia menuju jendela sembari menggotong
Yoko, dan aku telah menerangkan kematian Yoko di atas. Jadi aku rasa
tidak perlu mengulangi bagian ini.

172
Dion pun teringat, kenapa dia berada di ruangan itu. Saat itu, selang
beberapa jam kematian Yoko, ia didatangi tiga atau lima orang
berperawakan kekar, ototnya tiga kali lebih besar darinya serta
rambutnya tak ada. Mungkin mereka petinju. Tapi, kenapa petinju
datang kemari? Dion pun tak tahu.
Salah satu dari mereka, menonjok kepala Dion. Ia terjengkang, lalu
ia mencoba untuk lari. Menuju kamar, beberapa orang itu mengejarnya.
Dion pun tertangkap. Ia ditonjok kembali secara berulang.
Pandangannya menjadi samar, tubuhnya penuh dengan memar. Tiba-
tiba ia kehilangan kesadaran.
Begitulah kejadian yang sebenarnya. Aku menuliskannya sesuai
dengan apa yang Dion ceritakan. Ia bercerita setelah beberapa hari
kematian sahabatnya. Dion tak lagi sanggup menulis. Ia trauma―karena
ketika ia menulis, ia akan selalu teringat Yoko. Maka mau tidak mau, aku
yang menuliskannya.

Cirebon, 28 Januari 2020

-----------------------------
Tegar Tri Pamungkas. Penulis lahir di Cirebon, 27 Agustus 2001. Rumor terkini
yang diterima, beliau suka Drama Korea. Oleh karenanya, impiannya hanya
ingin makan sambel goreng bersama Park Min-young. Penulis suka sekali
berteman. Dengan begitu, kalian bisa mengikuti akun media sosialnya.
@tegartp_.

173
Yang Sudah, Biarlah Jadi
Sejarah
--Nabilah Shazkya Farid Hilabi

Tubuh yang mengantuk dan pelayan tak lekas lelah mengantar


pesanan para pelanggan. Termasuk kali kedua pada gelas berisi kopi
untuk lelaki di hadapannya. Malam masih betah mengistirahatkan diri
sejenak, tetapi Ambiya selalu memiliki waktu tersendiri untuk menikmati
sepi yang menyelimuti.
Ambiya terus menatap lelaki yang bersandar di kursi seberang, yang
sedang menelanjangi kata per kata pada halaman buku yang terbuka.
“Wan, aku ....”
***
November yang tak lagi muda, dua tahun lalu. Pukul 22:04 WIB
Ambiya telah menebas segala tugas, menutup halaman demi halaman
yang membuat isi kepalanya menjadi pening. Biya menghamburkan diri
ke dalam pelukan ranjang, berteman bantal dan guling dirinya
menjemput mimpi-mimpi. Mata yang sudah terpejam memaksa Biya
untuk melewatkan panggilan masuk dari Nawan—kekasihnya.
174
Sudah tiga kali terdengar dering panggilan masuk dari gawai Biya,
Rendra yang mengetahuinya semakin penasaran siapakah gerangan
makhluk yang menelepon tengah malam kepada kekasihnya, “Halo.”
Suara lantang Rendra terseru di telinga seberang. Kemudian hening
menjadi teman setia selama beberapa detik. “Ini siapa, sih? Jam segini
ganggu orang tidur aja, punya sopan santun, engga? Temen kuliah? Kan
bisa ketemu besok. Biya lagi tidur. Dia kecapekan, bisa tolong engga usah
diganggu?”
“Bukan, saya bukan teman kuliahnya,” jawab suara di seberang sana.
“Oh, cowok. Cowok murah macam apa yang jam segini gangguin
pacar orang yang lagi tidur? Untung saya yang angkat, jadi saya tahu ada
cowok yang enggak segan ngeganggu Biya.” Hanya embusan napas yang
terdengar, seperti menahan amarah yang hendak meledak-ledak.
“Hoy! Budek, ya? Ini siapa, sih? Ada urusan apa?” Lagi-lagi Rendra
menggertak.
“Bukan siapa-siapa. Cuma mau titip pesan.”
“Apa?” tanya Rendra nyalang.
“Besok pagi, kalau dia sudah bangun, tolong sampaikan, kekasih
lamanya sudah mati. Terhitung dari hari ini, ketika tepat dua tahun
mereka saling menukar gelisah.” Lalu Nawan mengakhiri telepon
tersebut.
Rendra yang tidak ambil pusing segera meletakan gawai Ambiya pada
tempatnya semula, merebahkan diri ke ranjang yang sama dan
menjemput mimpi-mimpi yang sempat tiada kala matahari terjaga.

175
Pagi itu, tepat ketika Ambiya menyambar gawainya yang tergeletak,
dirinya mendapati panggilan masuk dari Nawan—kekasihnya. Dengan
perasaan gusar menyetubuhi, Ambiya membangunkan Rendra. Sebab
dia yakin, Rendralah yang membuka obrolan dengan Nawan malam tadi.
“Ada apa, Biya? Aku baru saja tertidur beberapa jam dan kau sudah
mengganggu. Tunggulah, beberapa menit lagi.” Tanpa bisa menunggu,
Ambiya menarik paksa Rendra hingga terduduk dan membuka mata.
“Bicara apa dengan Nawan semalam?”
“Oh, cowok engga tahu diri yang nelepon pacar orang tengah malam
itu? Kubilang kekasihku tengah asyik bermimpi, maka kusuruh dia
bicara padaku saja,” jawab Rendra sembari memandangi wajah Biya yang
mulai memerah, pertanda menahan amarah. “Lalu dia menitip pesan,
katanya, kekasih lamamu sudah mati. Terhitung hari ini tepat kalian dua
tahun menukar gelisah.” Senyum kemenangan tercetak jelas di bibir
Rendra, dia yakin bahwa kekasihnya merasa hal serupa ketika melihat
dari matanya yang berkaca dengan lengkung manis di bibir sebagi teman
setia.
“Kau pikir aku akan sudi meninggalkan Nawan demi dirimu? Jangan
bermimpi. Persetan dengan kejadian semalam dan sebelumnya, aku
masih dan akan tetap selalu mencintai Nawan. Bukan kau!” tegas Ambiya
dengan sesal yang menggebu di jiwanya, berharap bisa memutar waktu
maka dia tidak akan bermain api dengan lelaki di hadapannya kini.
Tidak ada lagi puisi-puisi yang dilahirkan sebab senyum Ambiya yang
tertangkap oleh manik mata Nawan, tulisan-tulisan yang bernamakan
dirinya kini serasa menghujam. Mengingatkan Ambiya pada seorang

176
Nawan, kekasih yang rela membagi gundah dan gelisah kepadanya,
namun ia khianati sedemikian rupa.
Ketika kesibukan mengiringi langkah Ambiya ke mana pun ia pergi,
Nida, sahabatnya, turut mengganggu dengan terus memanggil nama
Ambiya agar duduk di sofa tempatnya berada. Nida yang gugup sebab
tanggal pernikahan yang bisa dihitung jari menginginkan Ambiya untuk
datang, dan tanpa ragu sedikit pun, Ambiya sodorkan angguk dengan
mantap pada sahabatnya. Tanpa Ambiya sadar, Nida yang sedari tadi
memerhatikannya merasakan hal serupa. Gadis yang menjadi sahabatnya
ini tidak pernah mampu berpura-pura dalam keadaan seperti apa pun
kepada Nida, sebagaimana pandai Biya berbohong, Nida akan tepat
sasaran menebaknya.
Selepas menemui Nida dan suami barunya di pelaminan, Biya pamit
untuk mencari ketenangan. Seperti Nawan, dia adalah gadis yang
menyukai sepi dibanding keramaian. Langkah kaki yang bertuju entah
membawanya ke satu kedai dekat stasiun kota, memandanginya cukup
lama dari luar membuat Biya terpaksa mengingat Nawan, “Lelaki itu
selalu mencari ketenangan dan segelas kopi di mana pun dia berada,”
pikirnya.
Didudukinya sebuah bangku di pojok ruang, tempat jendela
memamerkan dirinya, memunggungi jalanan kota yang ramai oleh ingar-
bingar. Biya mencari ketenangan dengan segelas teh hangat dan sepiring
kue jahe khas kedai tersebut. Berteman sweater abu-abu kesukaannya,
dan rambut sebahu, dirinya menyemu di antara banyaknya pasang mata
yang berada di kedai tersebut.

177
Beberapa saat kemudian, Biya mendengar suara yang sangat dikenali.
Hingga kini, suara Nawan masih yang paling menggema di hatinya, sebab
bagaimana pun, lelaki itu pernah bersamanya menuju bahagia empat
tahun lalu. Pun dengan kebodohannya yang amat, meleburkan Nawan
dalam kolam luka dua tahun lalu.
“Nawan.” Biya membuka suara, menyapa lelaki itu setelah memutar
badan ke arah Nawan. Biya segera bergegas berpindah duduk ke
seberang Nawan, setelah panggilannya tidak digubris sama sekali.
“Wan, aku ... aku kangen kamu.” Ambiya mencoba mengusir sepi di
meja tempat keduanya bertemu. “Aku ... aku emang enggak tau persis
gimana sakitnya kamu, tapi yang aku tahu hal itu udah ngancurin apa
yang pernah kita punya dan kita jaga. Aku ... aku udah coba hubungin
kamu semenjak itu, tapi selalu gak bisa, aku udah cari kamu ke tempat-
tempat yang pernah kamu ceritain ke aku, tapi gak ada kamu. Sekarang
kita ketemu di sini, Wan. Dan aku ... aku mau perbaikin kita.” Ambiya
melanjutkan dengan nada berduka dan terisak yang entah keberapa kali
mampu menyesakkan dadanya.
Ambiya menatap Nawan dengan senyum penuh harap, menginginkan
lelaki ini untuk kali kedua tentu bukanlah perkara mudah. Biya paham
betul bagaimana Nawan dan hatinya bekerja. Sekali luka tertoreh, maka
tiada ruang baginya—lagi. Namun dengan keinginan yang gigih, Ambiya
tetap tenang agar mampu menang melawan ketidak pedulian Nawan
akan kehadirannya di sini, “Soal Rendra, aku udah gak ada apa-apa sama
dia, pagi itu juga aku selesaiin semuanya. Aku sadar ulah aku bener-bener
gak terkontrol, tapi aku mau perbaikin semua, aku mau bertanggung

178
jawab sama kerusakan yang udah aku buat, aku ... aku sayang kamu,
Wan.”
Ambiya tidak percaya dengan tindakan Nawan yang seolah tidak
menganggap dirinya ada, sibuk dengan pena dan kertasnya, Nawan hanya
sesekali menyesap kopi keduanya.
“Dan kamu inget gak, kita pernah punya keinginan buat ngelaluin satu
hari di Peidmont dengan Alpen sebagai mata yang menyaksikan,
kemudian aku bakal suapin kamu sebuah Barolo, dan kamu suapin aku
sebuah Barbera. Kita bakal lebih bersinar ketimbang danau di Lake
Como. Terus malamnya kita ke Verona. Kita bakal berkunjung ke
rumah Juliet. Lalu menceritakan ke banyaknya surat cinta di sana bahwa
ada cinta yang lebih mengesankan daripada mereka. Sebelum akhirnya
kita bakal menyambut pagi di Piazza delle Erbe, dengan membiarkan
Roman Theatre dan Giardino Giusti menyaksikan lidah kita saling
memahat basah di bibir, kamu inget, kan?” Ambiya membuka kembali
sederet ingin yang pernah tertera pada daftar angan mereka berdua.
“Wan, tolong, jangan diem aja. Aku tau kesalahan aku sulit dimaafin.
Tapi aku janji aku gak bakal ngelakuin hal begitu lagi. Aku janji buat lebih
hebat jaga hati dan kepercayaan kamu. Aku janji akan jadi orang yang
lebih hebat buat kamu.” Suara Ambiya mulai memelas.
“Apa kekasihmu lupa menyampaikan bahwa aku yang dulu yang
kamu cintai sudah mati?” Tanpa memandang Biya sedikit pun, Nawan
menjawab semua perkataan Biya sembari terus membubuhkan kata
dengan pena—yang entah apa ditulisnya.

179
“Wan, kamu gak pernah mati. Kamu tetep kamu yang kucintai.
Kamu gak pernah mati, Wan! Kamu gak pernah mati!” Isak yang tak
henti menyelimuti Biya dibalas dengan tawa Nawan dan gelengan kepala.
Setelah rampung menulis, Nawan bergegas meninggalkan Ambiya
yang menatap punggung Nawan, tak mampu menahan langkah lelaki itu,
dengan mengumpulkan tenaga dan menyeka air yang masih mengalir,
Biya membaca apa yang menjadi pusat perhatian Nawan sedari tadi:

Puan yang maha menyakiti


Tenggelamlah dan jangan timbul lagi
Lukaku tak terbatas dan tak terbalas
Ia mencekik dan sulit dibuat pulas

Puan yang maha menyakiti


Seseorang yang ada di kepalamu yang
perginya kau sesali itu sudah mati
Ia hanya meninggalkan puisi-puisi yang
cidera pada buku ini

Puan yang maha menyakiti


Pulanglah, pulang
Nina bobokan kata-kata yang tak
pernah berhasil menerjemahkan cinta
Petik segala lelah yang mengudara dan
rebahkan mereka di amben.

180
Pulanglah, pulang
Tak perlu ada upaya-upaya menangkap
apa-apa yang pergi dan terlepas dari hati
Karena yang kembali bukan berarti
ingin bersama lagi.

Puan yang maha menyakiti


Pulanglah, pulang
Aku bukan lagi rumahmu.”

Ambiya tak mampu berkata, hanya sepasang matanya saja yang kian
deras. Dua kali lebih deras ketimbang hujan di mata Nawan yang jatuh
di dada stasiun.

“Berbahagialah,” kata keduanya bersamaan dengan ketabahan yang


tinggal tiada.

-----------------------------
Nabilah Shazkya Farid Hilabi. Penulis lahir di Karawang pada 06 April 1998.
Kini menempuh S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Singaperbangsa Karawang. Bisa ditemui lewat akun Instagram @yaudahsibil atau
alamat surelnya nshazkya@gmail.com. Bergabung di komunitas Prosatujuh sejak
Januari 2019.

181
Jangan Tidur di Malam Hari
--Hiday Nur

Jangan tidur di malam hari! Kau tak akan tahu apa yang terjadi jika
matamu mengatup.
“Tuan Hugo hilang!”
“Tuan Hugo menghilang!”
Ya, kau bisa kehilangan apa saja saat terbangun. Makanan dicuri tikus,
pasangan diambil orang, bahkan nyawa dicatut Tuhan. Hal ini memang
bukan sejenis masalah dari ketiganya, tapi percayalah, ini lebih rumit. Jika
kau mati, seharian ditangisi saja sudah bagus. Namun, ini Tuan Hugo
yang pergi. Tuan Hugo yang disembah kaumnya sehari-hari. Kampung
pasti gempar. Banyak yang akan menangis, sepanjang kaulihat. Namun,
di sudut yang lain, mungkin, banyak tertawa.
Tentang siapa dan bagaimana Tuan Hugo bisa menjadi masyhur,
baiklah akan kuceritakan ihwalnya. Dulunya Tuan Hugo hanyalah
pendatang yang tiba-tiba saja muncul. Pada suatu subuh sebelum ramai
suara-suara, dia sudah ada dengan sendirinya ketika penduduk pertama
terjaga dari tidurnya. Tampangnya semrawut, luka di tungkainya, luka di
kepalanya, luka di sana, di sini, di sekujur tubuhnya.

182
Penduduk yang pertama kali menemukannya itu, lalu merawatnya,
tak butuh waktu lama untuk terpikat pada budinya. Jika ada yang
bersedih, dia menghibur. Jika ada yang bertikai, dia melerai. Jika tak ada
apa-apa, dia membuat-buat banyolan agar kampung penuh tawa. Jika
mendapatkan banyak rezeki, dia memberi. Jika tak ada banyak rezeki,
ah tak pernah terjadi, entah dari mana dia selalu punya apa saja untuk
dibagi-bagi. Hugo pandai menyenangkan hati.
Karena tabiatnya itu, Tuan Hugo tidak hanya disayangi. Dia bahkan
menjadi junjungan. Setiap petuahnya dipedulikan. Kepala Suku yang
dulunya merepet kesal karena terancam dominasinya, diam-diam kini
merapat. Suara Tuan Hugo cukup mujarab menggerakkan kaumnya.
Biar saja, asalkan Hugo sialan itu bisa diaturnya, Kepala Suku pikir.
Tentu saja Kepala Suku tak menduga. Si bocah Hugo sialan itu mulai
merampas popularitas yang tak pernah dimilikinya, bahkan popularitas
para pemuka agama. Jika saja daftar nabi-nabi belum dipungkasi, bisa
jadi Tuan Hugo ini akan didaftar sebagai anggotanya. Bagaimana tidak,
hidupnya yang sahaja, tuturnya yang welas asih, mengajarkan hidup
beradab, tolong menolong, berbagi, lemah lembut, dan haram menyakiti.
Yang utama, dia melarang siapa saja menurut untuk diadu domba.
Disabung, diadu, berarti kehilangan hak hidup paling hakiki, yakni
merdeka. Meski hanya makhluk kecil yang tak mampu terbang, mereka
punya harga diri, berdaulat.
Jika ada satu yang belum dipunyai Tuan Hugo ini, ialah legitimasi
untuk membuat kewenangan. Yang mutlak, yang dengan sekali sabda,
siapa saja berhak dihukum jika tak menaati kaidah.

183
Setelah sekian waktu larut dalam kehilangan, mereka sekampung
teringat Chickgo, anak asuh Tuan Hugo. Chickgo adalah yatim piatu
yang ditemukan Tuan Hugo pada suatu subuh yang hening, saat dirinya
terjaga di ujung tidurnya. Pasti karena teringat muasalnya yang dulu
ditemukan dan dibesarkan, Tuan Hugo lalu mengasuh Chickgo.
Si Chickgo itu, yang ternyata kini mulai beranjak dewasa, berkerisut
tersedu di pojok tempat tinggalnya.
“Hidup harus berjalan, anakku Chickgo,” kata setiap mulut, yang
tampaknya telah berevolusi menyaru kebijaksanaan Tuan Hugo.
Lalu pada subuh hening yang lainnya, keributan diserukan kembali
oleh mata pertama yang terjaga dari tidur semalamnya. Seperti dulu dia
tiba-tiba menghilang, Tuan Hugo, kini tahu-tahu datang.
Berdiri tegap, gagah, perkasa, sehat walafiat. Tanpa bekas noda atau
luka. Setiap yang menyadari kehadirannya kembali, seketika
memeluknya penuh dendam kerinduan. Beberapa meneteskan air mata,
tenggelam dalam haru. Semua, terlebih Chickgo si anak asuh, yang
menggugu melampiaskan kumulasi khawatir yang sekian hari mendera.
Semua bersuka cita, kecuali satu, yang hilang dan tak dihiraukan.
Dengan diiringi tatapan takzim yang menuntut jawab atas dirinya
selama ini, Tuan Hugo menaiki podium kehormatan tempat sang kepala
suku biasanya bersabda.
Hening sekian detik, aura sakral yang magis.
“Aku datang untuk menjadi utusan kalian.”
Setiap mata bersitatap dengan tampang sama bertanya. Mencoba
memahami seruan sang tuan.

184
“Suatu malam aku diculik. Begitu pula nasib membawanya ke
tempatku berada. Tapi sang kepala tak beruntung.”
Setiap raut beradu takjub. Sepanjang mata memandang, sang kepala
tak nampak di mana pun. Mereka baru sadar. Entah kapan, sang kepala
telah hilang. Tentu saja, Tuan Hugo tak pernah salah ucap. Mereka
hanya terkejut oleh ketiba-tibaan yang silih berganti.
“Aku hanya mampu membawa jasadnya.” Tuan Hugo berujar dalam
tangis pilu. “Di ujung hidupnya, kalian diserahkannya kepadaku.”
Hari berjajar menjadi minggu. Kesedihan, entah sungguhan atau
sekadar pantas-pantasan pada hari pemakaman sang kepala yang telah
berlalu, diganti upacara pergantian pimpinan.
Pada penobatan Tuan Hugo yang disayangi, hampir setiap wajah
menerbitkan cahaya. Euforia. Pesta paling meriah sepanjang zaman
diadakan untuk menyambut pimpinan baru. Sesekali, boleh saja lupa
sejenak pada ajaran kesahajaan Tuan Hugo selama ini.
Minggu berkumpul dengan minggu lagi, bulan berganti. Tuan Hugo
mengganti semua jajaran abdi masyarakat, layaknya pimpinan baru yang
lahir akibat perebutan rezim. Demi niat mulia, seorang pemimpin hanya
boleh dikelilingi oleh orang-orang yang mengerti strategi dan konsep
kemajuan yang digagasnya.
Belum seratus hari, Tuan pemimpin baru mulai merancang agenda
kemaslahatan. Untuk itu, praktik jimpitan harus ditingkatkan, kualitas
maupun kuantitas. Semua bersorak. Tuan memang pintar, pantas
mengurus rakyat. Berdasar pikirannya yang berkemajuan, di kemudian
hari, Tuan mencabut beberapa subsidi, agar kas rakyat semakin tinggi

185
dan bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Jalan yang rusak diperbaiki,
kemudian dibangun lagi meski warna aspalnya baru sedikit pudar. Yang
lalu-lalu jangan sampai terjadi lagi, kan? Kenyamanan bersama adalah
prioritas.
Semakin lama, kau sadar semakin aneh saja program tuan pemimpin
ini. Namun sebentar, Tuan kan dari kita untuk kita. Jikalau tak paham
maunya, pastinya karena Tuan kelewat cerdas, otakmu yang kurang
suplemen.
Tetapi hidup semakin berkeringat. Meski Tuan tak luput
menyerukan semangat, “Pikirkan yang harusnya kau beri, bukan apa
yang ingin kau dapat!”
Diam-diam kau dengar para pengagumnya yang dulu, mulai berbisik-
bisik di belakangmu. Hidup rasanya tak lagi mudah. Bahkan beberapa
muda-mudi yang tak pernah sekolah pun kasak-kusuk. Otak mereka
yang murahan mulai lancang mengotak-atik: dulu, apa penyebab
kematian sang kepala suku, sesungguhnya?
Apa yang hilang?
Ada yang berlubang.
Apa?
Rakyat jelata tak tahu banyak tentang nama-nama. Pokoknya, sakit
rasanya.
Seperti kubilang, kau jangan tidur di malam hari. Kau tak akan tahu
apa yang terjadi jika matamu mengatup.

186
Dan tahu-tahu kau hanya akan melihat Chickgo yang sekarang gagah
perkasa menaiki podium kebesaran Tuan Hugo saat kalian membuka
mata.
“Dia telah mati!” serunya. “Dia yang mencuri kepercayaan kita selama
ini!”
Semua bersitatap. Bukan soal siapa yang mati.
Kepercayaan.
Jadi itu nama dari perasaan yang hilang selama ini?
Apa mungkin yang hilang itu bisa kembali?
Hilang di mana, ada yang tahu?
Chickgo masih bicara tentang kedamaian, keadilan, wzwkk, abjbyazw,
sfgghhjj. Rasanya lebih mudah menjadi makhluk bebas berkotek dan
berkokok seperti dulu.
“Hsst! Kau jangan tidur di malam hari! Kau tak akan tahu apa yang
terjadi jika matamu mengatup.” Diam-diam kau bisiki siapa saja, siapa
saja, satu per satu.

Tuban, 2017

-----------------------------

Hiday Nur. Penulis bergiat di komunitas Prosatujuh dan mengelola taman baca
Sanggar Caraka. Suka martabak, tidak suka bubur, apalagi yang diaduk.

187
Sebuah Khilaf
--Putri Mawadah

Kemarin telah dilangsungkan pesta besar-besaran di Kampung


Kenanga ini. Yakni pesta pernikahan gadis cantik bernama Rahayu
dengan duda tua—yang ditinggal mati istrinya, nan kaya raya bernama Pak
Priyai. Ihwal pesta yang kian megah ini diadakan karena yang ia
persunting adalah gadis pujaan hampir semua kaum adam di kampung
ini. Tak heran mengapa Rahayu menerima lamaran Pak Priyai, karena
mahar yang ditawarkan berupa sebagian harta yang dimiliki Pak Priyai.
Rahayu adalah sosok gadis yang diinginkan oleh banyak pria di
wilayahnya. Wajahnya yang ayu—dalam bahasa Jawa memiliki arti
cantik—serupa dengan namanya. Bibirnya yang mungil, tatapannya yang
penuh mau malu, rambutnya yang selalu diurai, juga bentuk tubuh yang
nyaris sempurna, mampu meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya. Itu
pula yang menjadi alasan Pak Priyai ingin segera memilikinya. Rahayu
juga hanya tinggal sendiri. Tidak banyak yang tahu dari mana asal
Rahayu. Dia bak bidadari yang hadir tanpa diminta, dan langsung
menetap di hati para pria di kampung.

188
Pesta berlangsung dengan meriah kemarin, melebihi pesta pada
umumnya. Para pria yang menghadiri pesta dibuat iri serta menghujat
dalam hati masing-masing, mengutuk sumpahi agar duda tua itu cepat
mati. Agar kelak mereka—bagi yang merasa pantas—bisa meminang
Rahayu ke pangkuan.
Sepasang yang tidak pernah disebut kekasih itu tampak bahagia di atas
puadai. Senyum mereka selalu mengarah kepada mata siapa saja yang
tengah menatap. Pesta berjalan dengan semestinya.
Pada malam harinya, yang merupakan malam pertama bagi setiap
pengantin baru, banyak pria di luar sana yang sedang memikirkan nasib
Rahayu. Bagaimana tidak? Mereka membayangkan apa yang selalu
mereka banggakan dari Rahayu kini akan direnggut oleh duda tua itu,
pikir mereka.
Ada yang duduk-duduk di luar rumah sambil harap-harap cemas
sembari memikirkan Rahayu. Ada juga yang berkumpul di pos ronda
lalu dilanjut dengan membicarakan soal Rahayu yang tidak lagi bisa
dinikmati keindahannya. Ada juga yang sampai menyumpahi duda tua
itu agar mati sebelum menikmati keindahan Rahayu. Bahkan sampai ada
yang ingin merencanakan menjahili rumah Pak Priyai agar tidak bisa
menelan malam bersama Rahayu. Tapi sayangnya, semua itu hanya
wacana saja. Mereka hanya berbicara sepanjang malam tanpa tahu apa
yang tengah terjadi di antara Pak Priyai juga Rahayu.
***
Kicau burung juga kokok ayam menyadarkan bahwa hari telah pagi.
Pak Priyai dibuatnya mendongak ke arah jam pada dinding. Sejak

189
semalam ia tidak dapat tidur. Bukan hanya dia, tapi juga Rahayu—
istrinya—sepanjang malam hanya menangis, dan tidak lagi ditemuinya
saat terangnya mentari.
Tidak ada keramaian yang semestinya untuk menyambut anggota
keluarga baru. Semua terlihat diam, tak ada yang berani bicara. Hening.
BRAK!!!
Mata Pak Priyai menyala. Tidak ada lagi teduh di sana, seperti saat
menggoda Rahayu dulu. Sanak saudara Pak Priyai tampak kaget karena
meja itu dibaliknya dengan kencang. Setelah habis mengeluarkan
amarahnya, Pak Priyai memutuskan untuk masuk kembali ke kamarnya.
Berharap bahwa kejadian memalukan yang terjadi ini hanya mimpi
belaka. Ia pun tertidur.
Jam pada dinding menunjukkan pukul 13.00 hari ini. Pak Priyai
mengerjapkan matanya sebentar, lalu bangun dan terduduk di atas
dipannya.
"Arrghh!"
Rupanya suasana pesta masih ada di kamarnya. Ia sadar bahwa
pernikahannya dengan Rahayu bukan mimpi. Itu adalah nyata yang
sebentar. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan
kencang. Matanya terpejam. Mengingat sebentar, mengulang ingatan
pada kejadian semalam.
***
Pak Priyai menjauh ke ambang pintu. Saat itu jam menunjukkan
pukul 01.00 dini hari. Badannya gemetar. Bukan lagi ingin menangis, tapi
air matanya sudah berjatuhan. Terdengar juga isak tangis dari Rahayu

190
yang semakin kencang. Rahayu mendekat pada Pak Priyai. Dijatuhkan
tubuhnya tersungkur di lantai. Hingga wajahnya berhadapan dengan kaki
Pak Priyai. Terlontar kalimat ampun, maaf, dan maaf dari bibir Rahayu.
Pak Priyai mengalihkan pandang, ia tidak mau melihat lagi muka Rahayu
setelah pengakuan yang telah dilakukannya.
Bak ditusuk seribu jarum. Hatinya remuk. Mengutuk dirinya sendiri.
Menghujat dalam hati ihwal kebodohan yang sudah dia lakukan. Tatkala
kata maaf tidak lagi diberi belas kasih, jangankan ditengok, sudi
memandang Rahayu juga tidak akan pernah.
Sebelum akhirnya Rahayu tertelan malam di luar rumah.
***
Di luar sana masih saja banyak yang bergunjing tentang apa yang
terjadi pada Pak Priyai, juga Rahayu. Bukan hanya ibu-ibu tapi juga
sebagian bapak-bapak pun bergosip tentang ini. Seperti halnya para artis
yang beritanya langsung tersebar, begitu juga kejadian yang dialami Pak
Priyai.
"Eh, tapi Rahayu sudah tidak di rumah Pak Priyai?"
"Ya jelas tidak ada. Sudah diusir saat itu juga."
"Kasian sekali, ya. Duh, malu banget pasti."
"Ha ha ha. Lucu saja sih, ya. Seumur-umur baru kali ini ada kejadian
kayak gini di sini."
"Ah ... sudah, sudah. Kasian Rahayu kalau kita bicarain terus!"
"Loh, kasian? Gimana bisa kasian? Dia aja tega kok. Nerima lamaran
Pak Priyai. Harusnya dia sadar, kalau dia itu waria, ya ngga usah terima
lamaran siapa-siapa."

191
"Ya, mungkin dia cinta sama Pak Priyai."
"Cinta sama hartanya mungkin. Ha ha ha."

-----------------------------
Putri Mawadah. Perempuan berkelahiran 16 Desember ini merupakan pencinta
kucing, makan, tidur, mendengarkan lagu, bernyanyi, dan diri sendiri.

192

Terima kasih telah membaca karya kami.

Semoga kita selalu dalam keadaan sehat dan tetap baik-baik saja.
Segera membaik dan pulih, Indonesia.

193
194

Anda mungkin juga menyukai