Anda di halaman 1dari 20

ISTILAH – ISTILAH DALAM ILMU

FIQIH
Di
S
U
S
U
N
OLEH

KELOMPOK : 2
NAMA : ALFIONI ADITIYA
EFI SUKMAYANI
TURSINA NUR AKMALIA
UNIT/SEMESTER : III/I
PRODI : S-1 HES
MATA KULIAH : FIQIH
DOSEN : MUSLIADI FARDAN,M.SH

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’A


PERGURUAN TINGGI ISLAM
ALHILAL SIGLI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin. Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT. Karena


rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Istilah-Istilah dalam ilmu
Fiqih” dengan baik dan benar.

Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih, selain itu tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memperdalam wawasan terhadap cakupan pembahasan
taklif dan mukallaf dan wadhi. Salah satu pembahasan yang sangat penting dalam Islam.

Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun pasti selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata, kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Sigli, 27 September 2021

Kelompok II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………...…... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………...…………………………….
……………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………..
………………………………………………….. 1
C. Tujuan………………………………………………..
………………........................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukallaf Dan Pembagiannya…………………….…….
………………………. 2
B. Hukum Wadhi Dan Pembagiannya………………………………..
………………………….. 5
C. Hukum Taklifi Dan Pembagiannya…………………….……..
…………………………….. 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ……………………………………………………..
……………………………………….. 15
B. Saran……………………………………………………………..
………………………………………….. 15
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
………………………………………………… 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut hukum Islam. Hukum
fiqih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan kongkrit,
mungkin berubah dari masa kemasa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ketempat
lain. Ini sesuai dengan ketentuan yang disebut juga dengan kaidah hukum fiqih yang
menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum.
Perubahan tempat dan waktu yang menyebabkan perubahan hukum itu, dalam sistem
hukum Islam itu illat (latar belakang yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum
atas suatu hal).
Konsep hukum Islam meletakkan predikat taklif sebagai batasan dalam
peletakkan hukum. Seseorang yang belum mukallaf tidaklah terbebani oleh hukum-
hukum yang taklifi. Tentu dasar hukum ini memiliki filsafat dibaliknya, yaitu seseorang
yang sudah mukallaf dapat dibebani oleh hukum-hukum taklifi tersebut. Manusia adalah
sosok yang berperan penting dalam kehidupan dan segala apa yang dilakukan selalu ada
konsekuensinya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa manusia ditugaskan sebagai
khalifah di bumi ini dan semua perbuatannya tak dapat lepas dari pertanggungjawaban.
Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni
ketetapan Allah yang berhubungan dengan pebuatan orang-orang mukallaf, baik
berupa iqtidha' (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa
wadh'i (sebab akibat). Yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah
diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab,
halangan (mani') dan ungkapan-ungkapan lain yang dijelaskan pada pembahasan berikut.
Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul Fiqih.
Oleh karena itu tentunya kita harus tau apa-apa saja yang dapat menjadikan
seseorang dapat dikatakan sebagai mukallaf yang dapat dibebani oleh hukum-hukum
taklif yang telah ditetapkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Mukallaf dan sebutkan pembagianya?
2. Apa pengertian Wadhi dan sebutkan pembagiannya?
3. Apa pengertian Taklifi dan sebutkan pembagiannya?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Mukallaf dan pembagianya?
2. Untuk mengetahui pengertian Wadhi dan pembagiannya?
3. Untuk mengetahui pengertian Taklifi dan sebutkan pembagiannya?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mukallaf Dan Pembagiannya


1. Pengertian
Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk ism al-maf’ûl dari fi’il al-mâdli “kallafa” ( َ‫) َكلَّف‬,
yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani. Secara
istilah, mukallaf adalah: ‫حكمه‬ ‫أو‬ ‫الشارع‬ ‫خطاب‬ ‫بفعله‬ ‫تعلق‬ ‫الذي‬ ‫”اإلنسان‬
“Seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan al-Syâri’ atau
hukumnya”.
Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-
Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-
jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan
perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT,
begitu seterusnya sesuai dengan krateria hukum taklîfî yang sudah diterangkan.
Sebagian besar ulama Usul Fiqh mengatakan bahwa dasar adanya taklîf (pembebanan
hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal (‫ )العقل‬dan pemahaman (‫)الفهم‬. Seorang
mukallaf dapat dibebani hukum apabila ia telah berakal dan dapat memahami taklîf secara
baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang tidak atau belum berakal tidak
dikenai taklîf karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklîf dari al-Syâri’. Termasuk
ke dalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan
lupa. Pendapat ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:

‫داوو‬ ‫و‬pp‫وأب‬ ‫البخاري‬ ‫)رواه‬ ‫يفيق‬ ‫حتي‬ ‫المجنون‬ ‫وعن‬ ‫يحتلم‬ ‫حتي‬ ‫الصبي‬ ‫عن‬ ‫و‬ ‫يستيقظ‬ ‫حتي‬ ‫النائم‬ ‫عن‬ :‫ثالث‬ ‫عن‬ ‫القلم‬ ‫رفع‬
”)‫والدارقطني‬ ‫ماجة‬ ‫وابن‬ ‫والنسائ‬ ‫والترمذي‬ ‫د‬

“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (orang); orang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai baligh, dan orang gila sampai sembuh”

”(‫والطبراني‬ ‫ماجة‬ ‫ابن‬ ‫(رواه‬ ‫له‬ ‫استكره‬ ‫وما‬ ‫والنسيان‬ ‫الخطأ‬ ‫عن‬ ‫أمتي‬ ‫رفع‬

“Beban hukum diangkat dari umatku apabila mereka khilaf, lupa dan terpaksa”.

2. Pembagian
Ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau
masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat:
a. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklîf. Ini dikarenakan taklîf itu
adalah khitâb, sedangkan khitâb orang yang tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas
tidak mungkin (‫)محال‬. Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu
adalah alat untuk memahami dan menemukan ide (‫)اإلدراك‬. Hanya saja akal itu adalah
sebuah perkara yang abstrak (‫)الخفية‬. Maka al-Syâri’ sudah menentukan batas taklîf
dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (‫ )منضبط‬yaitu sifat baligh seseorang. Sifat
baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan
bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak
memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga
dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk seperti hadis yang di atas.
b. Seseorang telah mampu bertindak hukum/mempunyai kecakapan hukum (‫)أهلية‬. Secara
istilahi, ahliyyah didefinisikan sebagai: “Kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa
hak dan melakukan beberapa transaksi”.

Dari sini, ulama membagi sifat ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujûb dan
Ahliyyah Adâ`.
a. Ahliyyah Wujûb
Definisi Ahliyyah Wujûb adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak
yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban. Dasar adanya
kecakapan ini adalah adanya kehidupan / nyawa
Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut “‫”ذمة‬, yaitu suatu sifat yang secara
hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk
menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (‫ )إنسانية‬yang tidak dibatasi umur,
baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia
sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang
apabila nyawanya hilang atau meninggal dunia.
Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-Wujûb ini menjadi dua bagian:
1) Ahliyyah al-Wujûb al-Nâqishah (‫الناقصة‬ ‫وب‬pp‫الوج‬ ‫ة‬pp‫)أهلي‬, yaitu: ketika seseorang masih
berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-Wujûb yang
belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya
secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak
seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
 Hak keturunan ayahnya.
 Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
 Wasiat yang ditujukan kepadanya.
 Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2) Ahliyyah al-Wujûb al-Kâmilah (‫الكاملة‬ ‫الوجوب‬ ‫)أهلية‬, yaitu kecakapan menerima hak bagi
seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih
kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban
tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang
berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang
diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain.
b. Ahliyyah Adâ`
Ahliyyah al-`Adâ` juga terbagi menjadi dua:
1) Ahliyyah al-`Adâ` al-Nâqishah (‫الناقصة‬ ‫األداء‬ ‫ة‬pp‫ )أهلي‬yaitu, ketika seseorang masih kecil
sampai dengan mencapai masa baligh dan berakal secara sempurna. Pada periode ini
tindakan atau perbuatan hukum seseorang dalam hal-hal tertentu dianggap sah, seperti
transaksi-transaksi yang semata-mata menguntungkan.
2) Ahliyyah al-`Adâ` al-Kâmilah (‫الكاملة‬ ‫األداء‬ ‫ )أهلية‬yaitu, periode di mana seseorang telah
baligh dan berakal sempurna. Pada periode ini seluruh tindakan atau perbuatan hukum
seseorang harus dipertanggung jawabkan, baik melaksakan tuntutan Syari’ maupun
meninggalkan tuntutan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Transaksi-transaksi yang
dilakukannya juga mengikat secara sempurna. Perpindahan seseorang dari periode
sebelumnya menuju periode ini ditandai secara fisik, bagi laki-laki apabila telah mimpi
basah dan bagi wanita apabila telah haid.

Terkadang, beberapa penghalang dapat menghilangkan, mengurangi, atau merubah


hukum-hukum ahliyyah (‫)أهلية‬. Penghalang ini dibagi menjadi dua:
1) ‘Awâridl Samâwiyyah (‫سماوية‬ ‫ )عوارض‬yaitu, halangan kecakapan yang datangnya dari
Allah, seperti gila, dungu, sakit keras yang berakibat kematian, dan lupa.
2) ‘Awâridl Muktasabah (‫مكتسبة‬ ‫ )عوارض‬yaitu, halangan kecakapan yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, khilaf, bodoh, dan berada di bawah
pengampuan.

Sedangkan dilihat dari segi obyeknya, maka halangan kecakapan dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk:
1) Halangan kecakapan yang mengakibatkan kecakapan berbuat hukum secara sempurna (
‫األداء‬ ‫ )أهلية‬akan hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
2) Halangan kecakapan yang dapat mengurangi kecakapan berbuat hukum secara sempurna
(‫األداء‬ ‫)أهلية‬, seperti dungu.
3) Halangan kecakapan yang dapat mengubah sebagian kecakapan berbuat hukum secara
sempurna (‫األداء‬ ‫)أهلية‬, seperti orang yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, khilaf,
dan tolol.
B. Hukum Wadhi Dan Pembagiannya
1. Pengertian
Sebelumnya telah disinggung secara umum, yang dimaksud dengan hukum wadh'i adalah
sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain, menjadi syarat
baginya, penghalang baginya atau sebagai keringanan baginya.
2. Pembagian
Hukum wadh'i terbagi dalam lima bagian, di antaranya : sebab, syarat, mani', rukhshah
dan 'azimah, sah dan bathal.
a.  Sebab dan macamnya
Sabab secara lughowi berarti sesuatuyang dapat menyampaikan kepada apa yang
dimaksud. Dalam arti istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:[8]
‫زَ ُم ِم ْن‬RR‫ب اَوْ ْال ُح ْك ِم َويَ ْل‬
ِ َّ‫ْث يَ ْل َز ُم ِم ْن ُوجُوْ ِد ِه ُوجُوْ ُد ْال ُم َسب‬
ُ ‫ع اَ َما َرةً ِل ُوجُوْ ِد ْال ُح ْك ِم بِ َحي‬ ِ ‫ضبِطُ الَّ ِذىْ َج َعلهُ ال َّش‬
ُ ‫ار‬ َ ‫اَالَ ْم ُر الظَّا ِه ُر ْال َم ْن‬
‫ب اَوْ ْال ُح ْك ِم‬
ِ َّ‫َع َد ِم ِه َع َد ُم ْال ُم َسب‬
                  
Artinya : Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda
adanya hukum, lazim dengan adanya hukum itu ada hukum dan dengan tidak adanya,
tidak ada hukum.
Macam-macam sebab:
1) Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf
Sebab yang di jadikan Allah SWT.sebagai pertanda atas adanya hukum.kita tidak
dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan pertanda untuk hukum oleh Allah
SWT. Umpamanya tergelincirnua matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur
sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra:78
2) Sebab yang berasal dari perbuatan manusia
Sebab dalam bebtuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat
hukumnya. Artinya, perbuatan mukallaf yang nyata dijadikan pertanda adanya hukum. 
Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-
qasar shalat. Perjalanan itu disebut sebab ia adalah perbuatan mukallaf yang
dilakukannya dengan sadar dalam kemampuannya. Akibat adanya sebab ini dijadikan
Allah adanya rukhsah melakukan shalat.
b. Syarat dan macamnya
Abu zahrah mengemukakan definisi Syarat yang lebih mudah dimengerti, yaitu:
[9]

‫ يَ ْل َز ُم ِم ْن ُوجُوْ ِد ِه ُوجُوْ ُد ْال ُح ْك ِم‬ َ‫ َوال‬،‫اَالَ ْم ُر الَّ ِذىْ يَتَ َوقَّفُ َعلَ ْي ِه ُوجُوْ ُد ْال ُح ْك ِم يَ ْل َز ُم ِم ْن َع َد ِم ِه َع َد ُم ْال ُح ْك ِم‬
Artinya : Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya huku; lazim dengan tidak adanya,
tidak ada hukum, tapi tidaklah lazim dengan adanya, ada hukum.
Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hokum tergantung kepada
adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hokum pun tidak ada. Perbedaan antara
keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya
melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
Contohnya syarat wali dalam pernikahan yang menurut jumhur ulama merupakan
syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali
belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya.
Contoh sebab umpamanya masuk waktu bagi datangnya kewajiban shalat; dan dengan
masuknya waktu pasti dating kewajiban shalat.
Syarat itu ada tiga bentuk:
1) syarat ‘aqly ( ‫)الشرط العقلى‬   
Seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paha menjadi
syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
2) syarat ‘ady ( ‫)الشرط العادى‬
Berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan barang
yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3) syarat syar’I  ( ‫)الشرط الشرعى‬
Syarat berdasarkan penetapan syara’, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk
shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat. Bentuk yang ketiga inilah yang menjadi
pokok pembahasan di sini.
c. Mani' dan macamnya
‫ب اَ ِو ْال ُح ْك ِم‬
ِ َ‫ض ْال َم ْقصُوْ َد ِمنَ ال َّسب‬
َ ‫اَ ْم ُر ال َّشرْ ِع ِّي الَّ ِذىْ يُنَافِ ْي ُوحُوْ ُدهُ ْال َغ َر‬                
Artinya : Sesuatu yang dari segi hukum, keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud
dari sebab atau hukum.
Telah dijelaskan bahwa sebab mempunyai kaitan erat dengan hokum yang
menjadi akibat dari sebab itu. Artinya, bila sudah terdapat seba, maka hokum pun pasti
ada. Keberadaan hokum pun masih bergantung kepada hal-hal lain yang harus di penuhi
untuk sahnya kelangsungan hokum itu.
   Meskipun sudah terdapat sebab dan terpenuhi syarat belum tentu dapat dipastikan
berlangsungnya hokum, karena mungkin ada hal-hal lain yang menyebabkan sebabnya
menjadi tidak berarti atau hukumnya dianggap tidak terlaksana. Umpamanya hubungan
kerabat dengan seseorang yang mati menyebabkan berlakunya suatu hokum, yaituhak
kewarisan. Tetapi bila kematian yang mati itu disebabkan oleh perbuatan kerabatnya
yang hidup itu, maka hubungan kewarisan tidak berlaku. Perbuatan pembunuhan itu
dinamai mani’ atau penghalang terhadap kelangsungan hokum.
Dari definisi di atas tersebut ada dua macam mani’  bila dilihat dari segi sasaran
yang dikenai pengaruhnya, yaitu:
1) Mani' yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya mani’ mengakibatkan
“sebab” tidak dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu dengan
sendirinya musabab atau hukumpuntidak akan ada karena dia mengikut kepada sebab.
Umpamanya dalam masalah “utang”. Keadaan berutang itu menyebabkan kekayaan
se-nisab yang menjadi sebab diwajibkanya zakat tidak lagi perlu diperhatikan.
2) Mani' yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum meskipun
ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya keadaan pembunuh
adalah ayah si korban menghalangi atau menolak berlakunya
hukum qishash meskipun sebab untuk adanya hukum qishash yaitu pembunuhan tetap
berlaku dalam kasus ini. Semestinya dengan adanya sebab itu (pembunuhan), tentu ada
hukumnya (wajib qishash). Namun hukum dalam hal ini tidak ada karena
adanya mani’ (si pembunuh adalah ayah si korban), sebagaimana hadits Nabi yang
berbunyi: “Tidaklah diqishash seseorang ayah karena membunuh anaknya”
d. Rukhshah dan 'Azimah serrta macamnya
1) Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhsah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan
karena adanyahal-hal yang memberatkan dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata
lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).[10]
‫ َما ُش ِر َع ِمنَ ااْل َحْ َك ِام للتخفيف عن العباد فياحوال خاصة‬                              
Artinya: Hukum-hukum yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam
keaadan tertentu.
Rukhsah  diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka
bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah  itu
diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan
lain. Ulama Ushul Fiqih mengelompokkan rukhsah menjadi empat bagian, yaitu:[11]
a) Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena ada
hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf. Misalnya, barang siapa
yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya
mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal ini
sesuai dengan firman Allah: (QS. An Nahl:106)
b) Pembolehan meninggalkan yang wajib karena udzur, dimana jika melaksanakan
kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukallaf. Misalnya, orang sakit atau
sedang bepergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan
firman Allah (QS. Al Baqarah: 184)
c) Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat
dalam kehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jual –beli yang belum ada
pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada
prinsipnya, jual-beli seperti ini tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu
transaksi jual-beli yaitu barang yang akan diperjualbelikan itu ada di saat transaksi
dilakukan, tetapi karena hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka
perikatan tersebut disahkan secara rukhsah. Ini sesuai dengan hadits Nabi:
‫ عن بيع اإلنسان ما ليس عنده‬:‫ صلى هللا عليه وسلم‬ ‫نهى رسول هللا‬
 ‫و رخص فى السلم‬
Artinya : “Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat
transaksi, namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli pesanan”
d) Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat
terdahulu, misalnya kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak
boleh shalat selain di masjid, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lagi berlaku
terhadap umat islam, sebagai rukhsah bagi mereka. Karena itu, kalau ketentuan bagi umat
terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam, mereka akan banyak sekali menemukan
kesulitan yang memberatkan.hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam (QS. Al Baqarah: 286)
2) ‘Azimah
 ‫شرع من االحكام الكلية ابتداء‬ ‫ما‬                  
Artinya : Suatu ketentuan yang sejak semula disyari'atkan sebagai ketentuan hukum yang
umum
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas
hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf
dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain)
yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai- menurut hukum asalnya- adalah haram
dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.[12]
3) Hukum ‘Azimah dan Rukhsah
Selama tidakada hal-halyang menyebabkan adanya rukhsah seorang mukallaf
diharuskan mengambil ‘azimah, karena memang begitulah ketentuan-keentuan pokok
dari Allah dalam mensyari’atkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang memberatkan
sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhsah. Misalnya, seseorang
yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hokum asalnya adalah
haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan
bangkai sehingga memakan bangkai itu hukumnya haram bagi orang tersebut. Maka
dengan sendirinya hukum rukhsoh tersebut   adalah mubah. Ketentuan ini terdapat dalam
firman Allah dalam surat Al-Baqarah:173
e. Sah dan Bathal
1) Sah
Sah secara harfiah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban dunia
serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Umpamanya shalat yang dilaksanakan
sesuai dengan yang diperintahkan syara’, jadi sah juga berarti suatu perbuatan yang
dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu
harus disesuaikan dengan perintah Allah dan tidak dilanggar.
2) Bathal
Batal merupakan kebalikan dari sah,  yang dapat diartikan tidak melepaskan
tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di akhirat pun tidak
memperoleh pahala. Setiap perbuatan yang kurang rukun dan syaratnya serta
bertentangan dengan ketentuan syara’ dinamakan batal.

C. Hukum Taklifi Dan Pembagiannya


1. Pengertian
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu
pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya
antara melakukan dan meninggalkannya. Sedang bentuk perintah atau larangan itu ada yang
pasti dan ada juga yang tidak pasti jika perintah itu berbentuk pasti, maka disebut wajib, jika
tidak pasti disebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan, bila berbentuk pasti
maka disebut haram, bila tidak pasti disebut makruh. Sedang yang
dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah.
2. Pembagian
Penjelasan yang terperinci mengenai hukum taklifi di atas dapat dibagi menjadi lima
macam yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
a. Wajib dan macamnya
Secara etimologi wajib berarti tetap. Sedangkan secara terminologi:
ِ ‫ْث فَا ِعلُهُ َويُ َعاقَبُ ت‬
]2[ ُ‫َاركه‬ ْ ‫اَ ْلفِ ْع ُل ْال َم‬                               
ُ ‫طلُوْ بُ َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم بِ َحي‬
Artinya : Wajib adalah perbuatan yang dituntut Allah SWT untuk dilakukan oleh mukallaf
dengan sifat mesti (tidak boleh tidak ) dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan,
maka pelakunya diberi pahala, dan jika ia meninggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
1) Wajib ditinjau dari segi pelaksanaannya
Ditinjau dari segi orang yang melaksanakan hukum wajib, maka wajib  dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-'aini dan al-wajib al-kafa'i.
a)   Al-Wajib al-'aini  ‫الواجب العيني‬
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i (Allah dan RasulNya) untuk dikerjakan oleh
setiap individu mukallaf. Kewajiban itu harus dilakukan sendiri dan tidak mungkin
dilakukan oleh orang lainatau karena perbuatan orang lain. Umpamanya shalat dan puasa.
b)   Al-Wajib al-kafa'i  ‫الواجب الكفائ‬ 
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf,
bukan oleh setiap individu mukallaf. Umpamanya melaksanakan amar ma’ruf nahi
mungkar, sholat jenazah dan lain-lain.
2) Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib
al-muthlaq dan wajib al-mu'aqqat.
a)   Al-Wajib al-muthlaq( ‫)الواجب المطلق‬
Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila
waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya.
Umpamanya meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena udzur. Ia wajib
melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b)  Al-Wajib al-mu'aqqat  ( ‫)الواجب المؤقت‬
Kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah
dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu.
Dalam pada itu, wajb mu'aqqat ini dibagi pula kepada tiga macam, antara lain: al-wajib
al-muwassa', al-wajib al-mudhayyaq, dan al-wajib zu syabhain.
 al-wajib al-muwassa' (‫)الواجب الوسع‬
Suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya lebih luas daripada ukuran waktu
pelaksanaannya perbuatan yang diwajibkan. Umpamanya shalat zuhur. Waktu yang
disediakan untuk shalat zuhur itu ialah dari tergelincir matahari sampai ukuran baying-
bayang sepanjang badan; atau sekitar tiga jam; sedangkan waktu untuk melaksanaakan
shalat zuhur hanya sekitar 10 menit. Dalam bentuk wajib muwassa’ ini diberi kelapangan
bagi mukallaf untuk melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu yang ditentukan
itu.
 al-wajib al-mudhayyaq(‫)الواجب المضيق‬
Suatu kewajiban yang panjang waktunya sama dengan waktu yang diperlukan untuk
pelaksanaannya perbuatan yang diwajibkan. Umpamanya puasa Ramadhan. Waktu
melaksanakan puasa Ramadhan itu adalah satu bulan, yaitu selama bulan Ramadhan itu.
Dalam hal ini puasa wajib Ramadhan tidak dapat dilakukan di luar Ramadhan; sedangkan
dalam bulan Ramadhan itu tidak dapat dilakukanpuasa lain selain puasa Ramadhan.hal
ini telah disepakati oleh ulama ushul.
 al-wajib zu syabhain (‫)الواجب ذو شهين‬
Suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya jika ditinjau dari satu sisi bersifat
muwassa’, tetapi jika ditinjau dari sisi lain bersifat mudhayyaq. Umpamanya ibadah haji.
Bahwa ibadah haji hanya satu kali dalam setahun dan tidak dapat dalam tahun itu
dilaksanakan haji lainnya, disebut mudhayyaq, dari segi pelaksanaannya, ibadah haji
lebih sempit waktunya dari pada waktu yang disediakan untuk melaksanakan rangkaian
ibadah haji, ia disebut muwassa’. Dengan demikian. Ia memiliki titik kesamaan dengan
dua bentuk tersebut. Karenanya di kalangan ulama disebut dzu syahhaini.
3) Wajib ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan
Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan, wajib dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: al-wajib al-mu'ayyan dan al-wajib al-mukhayyar.
a) Al-Wajib al-mu'ayyan
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu. Artinya, subyek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila suatu
yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang
lainya. Umpamanya membayar utang. Yang harus dilakukan oleh orang yang berutang
adalah melunasi utangnya.
b)   Al-Wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan salah satu dari
beberapa perbuatan tertentu. Contohnya pilihan diantara tiga kemungkinan adalah pilihan
di antara memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian untuk 10 orang miskin
atau memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarat karena pelanggaran sumpah. Firman
Allah (QS. Almaidah: 89)
4) Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
Ditinjau daari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, wajib dibagi menadi dua macam,
yaitu: al-wajib al-muhaddad dan al-wajib ghair al-muhaddad.
a) Al-Wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan
kadar/ukuran tertentu. dengan arti bahwa mukallaf belum terlepas dari tanggung
jawabnya bila ia telah melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah kecuali
melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukn oleh syari'. Umpamanya
zakat yang telah ditentukan dan zakat fitrah. Kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah
ditentukan kadarnya, dalam arti bila telah terpenuhi syarat-syarat wajib, seseorang harus
melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan. Ia belum dianggap melaksanakan
kewajibannya kecuali kadar yang sudah ditentukan telah dilaksanakannya.
b) Al-wajib ghair al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara
tertentu. Umpamanya nafkah untuk kerabat. Nafkah kerabat termasuk kewajiban yang
tidak ditentukan kadarnya sebelum hakim menyatakan ukuran kewajibannya, yang
menjadi prinsip dalam penetapan kewajiban dalam hal ini adalah menutupi kebutuhan
kerabat yang miskin, sekadar kemampuan yang terpikul oleh orang yang wajib
menafkahinya.
5) Wajib ditinjau dari segi pertanggungjawaban pelaksanaannya
Ditinjau dari segi dapat tidaknya suatu kewajiban dimintakan pertanggungjawaban
pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-wajib al-qadha'i dan al-
wajib ad-diyani.
a)   Al-Wajib al-qadha'i
Suatu yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya di dunia melalui
kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan. Contoh, kewajiban membayar zakat.
b)   Al-Wajib ad-diyani
Kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia akan disiksa di akhirat, tetapi kewajiban
tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya di dunia. Contoh, kewajiban seorang ibu
untuk menyusukan anaknya untuk pertama kali setelah anak itu lahir.
b. Sunnah dan macamnya
Sunnah secara etimologi adalah sesuatu yang dianjurkan karena bersifat penting.
Sedangkan secara terminologi, mandub adalah:
ِ ‫ َما يُثَابُ َعلَى فَا ِعلِ ِه َوالَ يُ َعاقَبُ َعلَى ت‬                                              
‫َار ِك ِه‬
Artinya : Sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak disiksa orang
yang meninggalkannnya.[3]
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa segi, yaitu:
1) Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melaksanakan perbuatan   sunnah
a)   Al- sunnah al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dijalankan oleh Rasulluah SAW secara kontinyu, tetapi beliau
menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dilaksanakan. Umpamanya
shalat witir, dua rakaat fajar sebelum shalat shubuh.
b) Al-sunnah ghair al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW, tetapi frekuensi perbuatan
tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekali dilakukan, sehingga bukan merupakan
kebiasaan beliau. Umpamanya memberikan sedekah kepada orang miskin, shalat sunnah
empat rakaat sebelum Zuhur dan sebelum Asar.
2) Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
a) Sunnah hadyu
Perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat
darinya dan orang yang meninggalkannya dianngap sesat atau tercela. Umpamanya
shalat berjamaah, shalat hari raya, adzan dan iqomah.
b) Sunnah zaidah
Perbuatan yang jika dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik, tetapi bila ditinggalkan,
yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa, seperti cara-cara yang biasa
dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan sehari-harinya.
c) Sunnah nafal
Perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib. Seperti shalat sunnah
2 rakaat yang mengiringi shalat wajib (rawatib), shalat tahajud, witir, dan yang lainnya
yang dalam kata lain disebut sunnah ghairu muakkadah.
c. Haram dan macamnya
Secara etimologi haram berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya., terkadang
juga digunakan dalam arti larangan. Sedangkan secara terminologi haram adalah:
‫َار ِك ِه َويُ َعقَابُ َعلَى فَا ِعلِ ِه‬
ِ ‫ َمايُثَابُ َعلَى ت‬                                                     
Artinya: Sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai dosa
bagi orang yang menjalankannya.
Hukum haram dapat dibagi berdasarkan:
1) Haram ditinjau dari segi sumber dalil penetapan hukum haramnya
a)   Larangan yang bersumber dari dalil qathi'
Misalnya, larangan memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya yang
disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah : 3
b) Larangan yang bersumber dari dalil dzanni
Misalnya, larangan memakan keledai peliharaan yang ditetapkan dengan Hadits Ahad,
diriwayatkan oleh Bukhari[4] :
Dari Ali r.a. berkata : “ Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada tahun khaibar
dan (melarang memakan) daging keledai jinak.”
2) Haram ditinjau dari segi esensi perbuatan yang dilarang
a)   Haram dzati
Suatu perbuatan yang disengaja oleh Allah SWT mengharamkannya karena terdapat
unsur perusak yang langsung mengenai  dharuriyat yang lima.
b)   Haram ghairu dzati/'ardhi
Haram yang larangannya bukan karena dzatnya; tidak lansung mengenai
unsur dharuriyat. Suatu perbuatan yang hukum syar’inya pada mulanya wujud, nadb,
atau ibahah, akan tetapi ada sesuatu hal yang baru menyertainya yang menjadikannya
sebagi sesuatu yang haram.[5]
d. Makruh dan macamnya
Makruh secara etimologi berarti sesuatu yang tidak disenangi atau dijahui. Sedangkan
secara terminologi, makruh adalah:
ِ َ‫َار ِك ِه َوالَ يُ َعاقَبُ َعلَى ف‬
‫اعلِ ِه‬ ِ ‫ َمايُثَابُ َعلَى ت‬                                                      
Artinya: Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti.
Menurut ulama Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Makruh tahrim
Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukannya
bersifat zhanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari wajib.
2) Makruh tanzih
Segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakannya. Makruh
tanzih ini kebalikan dari hukum mandub.[6]
e. Mubah dan macamnya
Secara etimologi mubah adalah menjelaskan, memberitahukan, melepaskan, dan
mengijinkan. Sedangkan secara terminologi, muba adalah :
ِ ْ‫ع ْال ُم َكلِّفَ بَ ْينَ ْالفِع ِْل َوالتَّر‬
‫ك فَلَهُ اَ ْن يَ ْف َع َل َولَهُ اَ ْن الَ يَ ْف َع َل‬ ِ ‫ َما خَ يَّ َر ال َّش‬                     
ُ ‫ار‬
Artinya: Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara
mmemperbuat dan meninggalkan, ia boleh melakukan atau tidak.
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan untuk
memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga
halal atau jaiz.[7]
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
1) Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara', dan manusia diberi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.
2) Perbuatan yang tidak ada dalil syara' menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah
melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah (tanda-
tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
3) Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syari' tentang kebolehan atau
ketidak bolehannya. Contohnya, mendengarkan dan mempergunakan radio.
Imam Asy Syatibi membagi mubah ditinjau dari segi penggunaannya menjadi empat
bagian, yaitu:
1) Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut
dengan mubah juz'i (temporer), tapi secara kully (keseluruhan) diperintahkan seperti
makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan selama-lamanya.
2) Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang dilarang. Secara
temporer perbuatan tersebut diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan dikerjakan terus
menerus. Seperti bergurau, mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi
seorang yang berakal sehat tidak boleh menghabiskan waktunya untuk senda gurau,
mendengarkan radio, rekreasi dan sebagainya.
3) Mubah yang dipergunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
4) Mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.
Hanya saja, menurut Imam Asy Syatibi, bagian yang ketiga dan keempatini tidak ada
wujudnnya secara nyata (al-muwafaqat, juz I, hal, 141-142).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fiqih adalah istilah lain yang digunakan untuk menyebut hukum Islam. Hukum fiqih, sebagai
hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan kongkrit, mungkin berubah dari masa
kemasa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ketempat lain.
Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-sumbernya,
sementara ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan pebuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha' (tuntutan
perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh'i (sebab akibat). Yang dimaksud
dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,
sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan-ungkapan lain yang
dijelaskan pada pembahasan berikut. Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul
Fiqih.

B. Saran
Semoga Makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang apa-apa saja Hukum Syara’
dan semoga kita dapat mengambil mamfaatnya. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah
berusaha memaparkan dan menjelaskan materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup
kemungkinan adanya kekeliruan dalam penyusunannya, baik dari segi materi, maupun
penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapakan pembaca untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga makalah ini dapat memberi manfaat
dalam proses evaluasi pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu, 1995,Ushul al-fiqh,  Jakarta:Pustaka Firdaus.

Syarifuddin, Amir, 2009 ushul Fiqh Jakarta:Kencana.

Koto, Alaiddin,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004.Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Uman,Khaeruldkk, ushul fiqih,  1998. Bandung:Pustaka Setia.

Khallaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, 1994, Dina Utama: Semarang

Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqh, 2010, Amzah : Jakarta

http://tafsirhadits2012.blogspot.com/2013/05/hukum-syari-dan-pembagiannya.html

Anda mungkin juga menyukai