Anda di halaman 1dari 132

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Oleh: Dr. Paisal Burlian, SH, M.Hum


FILSAFAT HUKUM ISLAM
 FHI : dari FILSAFAT (Philo + Shopia), HUKUM,dan ISLAM.

 FHI: filsafat yg diterapkan pd hukum Islam. Ia mrpkn filsafat


khusus dan obyeknya tertentu, yaituhkm Islam. Jd, FHI adl
filsafat yg menganalisishkm Islam scr metodis dan sistematis
shgmendapatkan keterangan yg mendasar, ataumenganalisis
hukum Islam scr ilmiah dg filsafatsbg alatnya.

 Dengan demikian, FHI obyek kajiannya adl hukum Islam,


baik dlm konteks syariah, fiqh, danatau hukum Islam.
 FHI : pemikiran secara ilmiah, sistematis,
dptdiertanggungjawabkan dan radikal ttg
hukumIslam.

 FHI : pengetahuan ttg hakekat, rahasia, dantujuan


hukum Islam baik yg menyangkutmaterinya
maupun proses penetapannya,

 FHI : filsafat yg digunakan utk


memancarkan,menguatkan, memelihara hukum
Islam, shgmaksud dan tujuan Allah
menetapkannya di mukabumi, utk kesejahteraan
manusia seluruhnya
 Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang
diterapkan pada hukum Islam, ia merupakan
filsafat khusus dan obyeknnya tertentu, yaitu
hukum Islam, maka, filsafat hukumIslam adalah
filsafat yang meng analisis hukumIslam secara
metodis dan sistematis sehinnga mendapat
keterangan yang mendasar, atau menganalisis
hukum secara ilmiah dengan filsafat sebagai
alatnya
      Menurut Azhar ba’asyir, filsafat hukum Islam
adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis,
dapat dipertanggung jawabkan dan radikal
tentang hukum Islam, filsafat hukum Islam
merupakan anak sulung dari filsafat Islam
Dengan rumusan lain Filsafat hukum Islam
adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia,
dan tujuan Islam baik yang menyangkut
materinya maupun proses penetapannya, atau
filsafat yang digunakan untuk memancarkan,
meguatkan, dan memelihara hukum Islam,
sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan
Allah SWT menetapkannya di muka bumi yaitu
untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya.
Dengan filsafat ini hukum Islam akan benar-
benar “cocok sepanjang masa di semesta alam”
 Apabila kita mengikuti pendapat al-Jurjawi
bahwa yang dihasilkan oleh ahli pikir adalah
filsafat dan yang dihasilkan orang yang
mendapat kasyf dari Allah SWT sehingga
menemukan kebenaran adalah hikmah.
 Istilah filsafat (philosophy = Bahasa Inggris)
atau falsafat, berasal dari kata Arab yaitu
falsafah yang diturunkan dari kata Yunani
yaitu: Philein yang berarti mencintai,
atau Philia yang berarti cinta, atau Philos yang
berarti kekasih, dan Sophia atau Sophos yang
berarti kebijaksanaan, kearifan, pengetahuan.
Jadi secara harfiah filsafat atau falsafat
mempunyai arti cinta / mencintai kebijaksanaan
(hubbul hikmah) atau sahabat pengetahuan.
Dalam penggunaannya, ketiga kata ini (filsafat,
falsafat, falsafat) bisa digunakan, karena dalam
Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S.
Poerwadarminta digunakan semuanya.
Adapun pengertian filsafat dari segi
terminologis, sebagaimana diungkapkan oleh
D.C. Mulder, adalah cara berfikir secara
ilmiah. Sedangkan cara berfikir ilmiah
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Menentukan sasaran pemikiran
(Gegenstand) tertentu.
2. Bertanya terus sampai batas terakhir
sedalam-dalamnya (radikal).
3. Selalu mempertanggung jawabkan dengan
bukti-bukti.
4. Harus sistematik.
Latar Belakang Pengembangan
Filsafat Hukum Islam
 Filsafat adalah berfikir mendalam mengenai
hakikat kebenaran suatu yang
ada atau mungkin ada. Filsafat Hukum adalah
berfikir mendalam mengenai hakikat hukum
sebenarnya. Filsafat Hukum Islam adalah
berfikir mendalam mengenai Hakikat Hukum
Islamyang sebenarnya. Sedangkan berfikir
mendalam adalah berfikir yang hasil
pemikirannya tersebut setara dengan dalil.
 Perbedaan antara pengetahuan “biasa” dan

pengetahuan “filsafat” adalah sebagai berikut:


Aspek Pengetahuan “biasa” Pengetahuan “filsafat”

Wilayah Kajian Semua Semua


yang “ada” atau “mung yang “ada” atau “mung
kin ada” sesuai kin ada” dalam segala
bidangnya masing- bidang.
masing.
Sumber atau Dunia empiris atau pe Akal atau spekulasi
metodologi nelitian empiris

Tujuan Kebenaran “biasa” kes Kebenaran “mendalam


esuaian pengetahuan ”
dengan (setaraf  “dalil”) kebal f
kenyataan empiris terk alsifikasi dan verifikasi
ena berdasarkan kenyataa
hukum falsifikasi dan  n empiris, dan hanya
verifikasiberdasarkan terkena falsifikasi dan 
kenyataan. verifikasi logis
 Filsafat Hukum Islam perlu di bahas kembali karena adanya
kebingungan epistimologi dalam Umat Islam yang mana Umat Islam bingung
apa Sumber Hukum Islam yang sebenarnya.
 Para Fuqoha’ menetapkan sumber hukum ada 2, yaitu wahyu dan akal yang direstui
oleh wahyu. Tetapi perkembangan terbaru mendesak Hukum Islam untuk hanya
memilih akal (ro’yu atau maslahah). Desakan ini dihembuskan secara keras
oleh Kaum Orientalis yang hanya memilih akal.
 Pada dasarnya Hukum Islam saat ini dalam persimpangan jalan, dan harus memilih
salah satu dari dua sumber, yaitu antara wahyu dan akal. Padahal tradisi
pemikiran Hukum Islam selama ini adalah menggunakan keduanya secara terpadu.
Jadi yang dimaksud dengan kebingungan Epistimologi pada hal ini adalah
kebingungan antara penggunaan wahyu dan akal dalam penentuan hukum. Dalam
kenyataannya saat ini mereka sedang terdorong untuk hanya menggunakan akal saja
dengan meninggalkan makna harfiyah dengan dalih maslahah, mengikuti
jiwa ayat dan hadits, mengikuti tuntutan keadilan atau alasan lainnya.
 Mempertimbangkan hal-hal diatas maka tujuan mempelajari Filsafat Hukum
Islam bukanlah menemukan Hakikat Hukum Islam melainkan menjelaskan
kembali Hakikat Hukum Islam dalam bahasa filsafat.
Hakikat Hukum Islam
‫ال ال ُم َكلِّفِي َْن‬ ِ َّ‫ع ال ُمتَ َعل‬
ِ ‫ف بِا َ ْف َع‬ ِ ْ‫ِخطَابُ ال َّشر‬ 

 Yang artinya: “Titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”.

  ْ‫ ِخطَاب‬artinya komunikasi, jadi Hakikat
Hukum dalam Islam adalah komunikasi Tuhan, artinya pembicaraan duah
arah yang berasal dari Allah kepada manusia.  Hasil dari memahami isi
komunikasi itu dibentuk menjadi rumusan, aturan tingkah laku yang
menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu sesuai
dengan pemahamannya terhadap kata-kata  Tuhan. Akan tetapi, rumusan
hukum tidak bisa lepas dari rumusan dalam sumbernya. Apa yang
dirumusankan sumbernya harus terbaca dengan jelas dalam  rumusan
hukum. Jika ada rumusan hukum yang tidak sesuai dengan rumusan
sumbernya maka hukum tersebut tidak setia kepada sumbernya.
Hakikat Hukum Islam
Semisal yang dijelaskan dibawah ini:

Sumber Hukum Kriteria

َّ ‫َو اَقِ ْي ُم ْو ال‬


َ‫صاَل ة‬ Shalat itu wajib Setia
Shalat itu pilihan, Tidak setia
boleh dilakukan boleh
tidak

‫َواَل تَ ْق َرب ُْو ال ِّزنَا‬ Zina itu haram Setia


Zina itu haram tetapi Tidak setia
sesekali tidak masalah
 Dengan rumusan  ‫ع‬ ِ ْ‫ابا''ل َّشر‬
   ُ َ‫ ِخط‬berarti dalam Islam kekuatan hukum satu-satunya
adalah Allah, artinya hanya Allah satu-satunya sumber hukum yang sah dengan
sendirinya. Sedangkan sumberhukum lainnya menjadi sah karena semata-mata
disahkan oleh Allah. Secara umum Sumber Hukum Islam ada 2,
yaitu wahyu dan akal. Wahyu menjadi sumber hukum karena dirinya sendiri,
sedangkan akal sah menjadi sumber hukum karena disahkan wahyu. Dengan
kata lain dalam tradisi Islam, wahyu berada di atas akal, wahyumemimpin akal,
sedangkan akal bertugas memahami  dan mengabdi kepada kehendak  wahyu.
Maka jika ada pertentangan antara kehendak  wahyu dan akal maka akan
dimenangkan wahyu. Inilah Hakikat Hukum Islam.
 Pada dasarnya Hakikat Hukum Islam sangat sulit dipahami oleh orang
Barat karna beberapa aspek diantaranya:
 1)  Bahwa Tuhan aktif mengatur segala hal secara rinci dalam kehidupan
manusia,
 2) Bahwa gaya pengaturan atas manusia tidak cukup dengan  ajaran moral saja,
tetapi juga disertai dengan rincian aturan tingkah laku,
 3) Bahwa hukum merupakan aspek yang tek terpisahkan dari Agama.
 Selama ini sering terjadi penghujatan terhadap ketentuan-ketentuan dalam
Islam biasanya dari Dunia Barat yang memiliki tradisi Kristiani dalam
berfikir tentang hukum. Hal ini terutama berkaitan dengan
masalah jender. Penghujatan tersebut bernada ajakan untuk meninggalkan
bunyi harfiyah dari nash, ajakan yang aneh dalam Islam.
 Hujatan tradisi Keilmuan Barat terhadap Islam disebabkan oleh
perbedaan fondamental antara keduanya mengenai hakikat. Dunia Barat
Kristen hanya hanya mengenal hukum sebagai ciptaan manusia belaka,
Tuhan hanya menetapkan garis-garis moralitastanpa rincian hukum. Barat
juga mengatakan hukum adalah terpisah dari Agama. Sedangkan
dalam tradisi Islam, hukum adalah badan integral dari agama. Tradisi Barat
Kristen tidak memiliki sumber hukum yang memadai
dari wahyu, sedangkan Islam dianugrahi sumber hukum yang cukup.
 Berikut ini adalah perbandingan antara tradisi pemikiran hukum dalam
Islam dan Kristen;
Aspek Islam Kristen
Hakikat Hukum Hukum Tuhan hukum Tuhan “akal”
Sumber Hukum Wahyu “moral dan per Wahyu “moral”
aturan” Akal “peraturan”

Otoritas Hukum Wahyu Akal


Tertinggi
Kandungan Hukum Prinsip moral dan Prinsip moral tanpa
detai pedoman hukum detail pedoman
hukum
Tingkat Hukum memimpin Hukum mengikuti
Keseimbangan “equilib zaman zaman
irium”
Watak Hukum Mengagamakan Membiarkan duniawi
duniawi tanpa duniawi
Fungsi Akal Mengabdi kepada Melepaskan diri dari
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
 A. Pengertian
Asas berasal dari kata asasun yang artinya dasar,
basis, pondasi. Secara terminologi asas adalah
landasan berpikir yang sangat mendasar. Jika
dihubungkan dengan hukum, asas adalah kebenaran
yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
berpendapat, terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum. Asas hukum berfungsi sebagai
rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang
berkenaan dengan hukum.
 B. Beberapa Asas Hukum Islam
Menurut Tim Pengkajian Hukum Islam Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman bahwa asas hukum islam terdi-ri
dari (1) bersifat umum, (2)lapangan hukum
pidana, (3) lapangan hukum perdata.
Mengenai asas-asas hukum yang lain seperti
lapangan tata negara, internasional dan lain-
lain tidak disebutkan dalam laporan mereka.
a. Asas keadilan
Dalam al quran, kata ini disebut 1000 kali. term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam
penetapan hukum atau kebijakan pemwrintah. Konsep keadilan meliputi berbagai hubungan,
misalanya; hubungan individu dengan dirinya sendiri, hubungan antara individu dan yang
berpekara serta hubungan-hubungan dengan berbagai pihak yang terkait. Keadilan dalam hukum
islam berarti keseimbangan antara kewajiban dan harus dipenuhi oleh manusia dengan
kemammpuan manusia untuk menuanaikan kewajiban itu.
Etika keadilan; berlaku adil dlam menjatuhi hukuman, menjauhi suap dan hadiah, keburukan
tyergesa-gesa dalam menjatuhi hukuman, keputusan hukum bersandar pada apa yang nampak,
kewajiban menggunakan hukum agama.
b. Asas kepastian hukum
Dalam syariat Islam asas ini disebut ‫ ق''بلورود ا''لنصالحكم' أل'فع'ا''لا''لعقا''الء‬artinya sebelum ada nas, tidak ada
hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat. Bahwa pada dasarnya semua perbuatan
dan perkara diperbolehkan. Jadi selama belum ada nas yang melarang, maka tidak ada tuntutan
ataupun hukuman atas pelakunya
Dasar hukumnya asas ini ialah QS Al Isro' 15 ;

 َ ‫َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذ ِبينَ َحتَّى نَ ْب َع‬


‫ث َرسُوال‬
"…. Dan kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul."
c. Asas kemanfatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi keadilan
dan kepastian hukum tersebut diatas. Dalam
melaksanakan asas keadilan dan kepastiann hukum
hendaknya memperhatikan manfaat bagi terpidana atau
masyarakat umum. Contoh hukuman mati, ketika dalam
pertimbangan hukuman mati lebih bermanfaat bagi
masyarakat, misal efek jera, maka hukuman itu
dijatuhkan. Jika hukuman itu bermanfaat bagi terpidana,
maka hukuman mati itu dapat diganti dgengan denda.
Asas-asas hukum pidana
a. Asas legalitas
Asas legalitas maksudnya tidak ada hukum bagi tindakan manusia
sebelum ada aturan. Asas legalitas ini mengenal ini juga asas teritorial
dan non teritorial. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana islam
hanya berlaku di wilayah di mana hukum islam diberlakukan.
b. Tidak berlaku surut
Hukum pidana Islam tidak menganut sistem berlaku surut ( ‫ع'دم' رجعي'ة ا''لعقوب'ة‬
) artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan
seorang tidak bisa dianggap suatu jarimah, sehingga ia tidak dapat
dijatuhi hukuman. Dasar hukum dari asas ini ialah {‫ } َعفَ'ا هَّللا ُ َع َّم'ا َس 'لَف‬، { ‫ُق'' ْللِ 'لَّ ِذ َين‬
‫ } َك'فَرُوا ِإ ْن' َي'' ْنتَه'ُوا ُي'' ْغفَرْ لَ 'ه ُْم''' َم''ا َق'' ْد َس 'ل َف‬bahwasannya Allah SWT mengampuni
perbuatan yang telah lalu, Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu:
"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan
mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika
mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka)
sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ."
Tetapi ada pengecualian tidak berlaku surut, karena pada
jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila
tidak diterapkan berlaku surut. seperti halnya; jarimah qozf,
jarimah hirabah (perampokan, terorisme). Jika kedua
jarimah berlaku hukum tidak berlaku surut, maka banyak
kekacauan dan fitnah pada masyarakat.
c. Bersifat pribadi
Dalam syariah Islam hukuman dapat dijatuhkan hanya
kepada orang yang melakukan perbuatan jinayah dan orang
lain ataupun kerabatnya tidak dapat menggantikan
hukuman pelaku jinayah. 
SIFAT DASAR FILSAFAT
 1. Bersifat Radikal
 Berfilsafat berarti berfikir secara radikal dengan maksud
senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan
akar seluruh kenyataan. Berfikir radikal tidak berarti
hendak mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan
segala sesuatu, melainkan dalam arti yang sebenarnya,
yaitu berfikir secara mendalam, untuk mencapai akar
persoalan yang dipermasalahkan.
 Berfikir radikal justeru hendak memperjelas realitas, lewat
penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
2. Mencari Asas
Dalam memandang keseluruhan realitas,
filsafat senantiasa berupaya mencari asas
yang paling hakiki dari keseluruhan realitas.
Seorang filosof akan selalu berupaya untuk
menemukan asas yang paling hakiki dari
realitas.
3. Memburu Hakikat Kebenaran
Kebenaran yang diburu oleh filsafat adalah
kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan
setiap hal yang dapat dipersoalkan.
4. Mencari Kejelasan
Berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan dan
penjelasan mengenai seluruh realitas. Adapula yang
mengatakan bahwa filosof senantiasa
mengejar kejelasan pengertian (clarity of understanding).
Bahkan menurut Geiser dan Feinberg, ciri khas penelitian
filosofis adalah adanya usaha keras demi
meraih kejelasan intelektual (intellectual clarity). Dengan
demikian, berfikir secara filosofis berarti berusaha
mencari kejelasan.
5. Berfikir Rasional
Berfikir radikal, mencari asas, memburu hakikat
kebenaran, dan mencari kejelasan, tidak mungkin dapat
berhasil dengan baik tanpa berfikir secara rasional.
Berfikir secara rasional berarti berfikir logis, sistematis,
dan kritis.
TUGAS FILSAFAT HUKUM ISLAM
Dalam kiprahnya Filsafat Hukum Islam mempunyai 2
(dua) tugas, yaitu:
1. Tugas Kritis
Tugas kritis Filsafat Hukum Islam ialah
mempertanyakan kembali paradigma-paradigma
yang telah mapan di dalam Hukum Islam.
2. Tugas Konstruktif
Tugas Konstruktif Filsafat Hukum Islam ialah
mempersatukan cabang-cabang Hukum Islam dalam
kesatuan system Hukum Islam sehingga nampak
bahwa antara satu cabang Hukum Islam dengan
lainnya tidak terpisahkan.
OBYEK FILSAFAT HUKUM ISLAM
Adapun obyek Filsafat Hukum Islam meliputi:
1. Obyek Teoritis
Yaitu obyek kajian yang merupakan teori-
teori Hukum Islam yang meliputi:
a. Prinsip-prinsip Hukum Islam
b. Dasar-dasar dan Sumber-sumber Hukum
Islam
c. Tujuan Hukum Islam
d. Asas-asas Hukum Islam
e. Kaidah-kaidah Hukum Islam
2. Obyek Praktis
Obyek praktis atau yang sering disebut
obyek Falsafat at-Tasyri`, meliputi jawaban-
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti:
a. Mengapa manusia melakukan mu`amalah?
b. Mengapa manusia harus diatur oleh Hukum
Islam?
c. Apa rahasia atau hikmah melakukan ibadah?
d. Apa rahasia Shalat, Zakat, Puasa, dsb?
e. Apa hakikat hukum?
f. Apa hakikat keadilan?
g. Dlsb.
MANFAAT STUDI FILSAFAT HUKUM
ISLAM
Di antara manfaat studi Filsafat Hukum Islam, ialah:
1. Kajian Filsafat Hukum Islam dapat memberikan
pengetahuan Hukum Islam secara utuh kepada ahli
hukum yang mengkajinya.
2. Filsafat Hukum Islam diperlukan bagi pengkajian
mendalam setiap cabang ilmu Hukum Islam.
3. Pengkajian Filsafat Hukum Islam memungkinkan
pemahaman Islam secara
menyeluruh (kaffah) dengan keterkaitan dan
hubungan yang terjalin dengan ilmu-ilmu agama
lainnya, baik Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Ilmu Al-
Qur`an dan Al-Hadits.
 Al quran telah menjelaskan dalam QS al an'am
164 ;
‫س ِإاَّل َعلَ ْيهَا َواَل تَ ِز ُر‬ ٍ ‫قُلْ َأ َغ ْي َر هَّللا ِ َأ ْب ِغي َربًّا َوهُ َو َربُّ ُكلِّ َش ْي ٍء َواَل تَ ْك ِسبُ ُكلُّ نَ ْف‬
َ ُ‫از َرةٌ ِو ْز َر ُأ ْخ َرى ثُ َّم ِإلَى َربِّ ُك ْم َمرْ ِج ُع ُك ْم فَيُنَبُِّئ ُك ْم بِ َما ُك ْنتُ ْم فِي ِه تَ ْختَلِف‬
‫ون‬ ِ ‫َو‬
. Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan
selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala
sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada
dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-
Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
d. Hukum bersifat umum
Hukuman harus berlaku umum maksudnya setiap
orang itu sama dihadapan hukum (equal before
the law) walaupun budak, tuan, kaya, miskin, pria,
wanita, tua, muda, suku berbeda. Contoh ketika
masa Rasulullah ada seorang wanita yang didakwa
mencuri, kemudian keluarganya meminta
Rasulullah membebaskan dari hukuman.
Rasulullah dengan tegas menolak perantaraan itu
dengan menyatakan "seandainya Fatimah Binti
Muhammad mencuri, ikatan keluarganya tidak
dapat menyelamatkannya dari hukuman hadd".
e. Hukuman tidak sah karena keraguan
 Keraguan di sini berarti segala yang kelihatan seperti sesuatu yang

terbukti, padahal dalam kenyataannya tidak terbukti. Atau segala


hal yang menurut hukum yang mungkin secara konkrit muncul,
padahal tidak ada ketentuan untuk itu dan tidak ada dalam
kenyataan itu sendiri. Putusan untuk menjatuhkan hukuman harus
dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan. Sebuah hadis
menerangkan "hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik
salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum".
 Seperti halnya kasus yang dicontohkan Abdul Qodir Audah dalam

kasus pencurian, misalnya kecurigaan mengenai kepemilikan


dalam pencurian harta bersama. Jika seorang mencuri sesuatu yang
dia miliki bersama orang lain, hukuman hadd bagi pencuri menjadi
tidak valid, karena dalam kasus harta itu tidak secara khusus
dimiliki orang, tetapi melibatkan persangkaan adanya kepemilikan
juga dari pelaku perbuatan itu.
Asas-asas mmuamalat
a. Asas taba,dulul mana'fi'
Asas taba,dulul mana'fi' berrti bahwa segala bentuk kegitan
muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi
pihak-pihak yang terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip
atta'awun sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar
individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling
memenuhi keperluanya masing-masing dalam rangka kesejahteraaan
bersama.
b. Asas pemerataan
Asas pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang
muamalat yang menjhendaki agar harta tidak diuasai oleh segelintir
orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata di
antara masyarakat, baik kaya maupun miskin. Oleh karena itu dibuat
hukum zakat, shodaqoh, infaq, dsb. Selain itu islam juga
menghalalkan bentuk-bentuk pemindahan pemilikan harta dengan
cara yang sah seperti jual beli, sewa menyewa dsb.
c. Asas suka sama suka
Asas ini menyatakan bahwa segala jenis bentuk muamalat
antar individu atau antar pihak harus berdasarkan
kerelaan masing-masing. Kerelaan disiini dapat berarti
kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun
kerelaan dalam menerima atu menyerahkan harta yang
dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalat lainya.
d. Asas adamul gurur
Asas adamul gurur berarti bahwa setiap bentuk muamalat
tidak boleh ada gurur, yaitu tipu daya atau sesuatu yang
menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh
pihak lainya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur
kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu
transaksi atau perikatan.
e. Asas al-birri wa al-taqwa
Asas ini menekankan bentuk muamalat yang
termasuk dalam kategori suka sama suka ialah
sepanjang bentuk muamlat dan pertukaran manfaat
itu dalam rangka pelaksanaan saling menolong antar
sesama manusia untuk al-birr wa taqwa, yakin
kebajikan danm ketqwaan dalam berbagai bentuknya.
f. Asas musyarokah
Asas musyarakah, yakni kerjasama antar pihak yang
saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang
terlibat melainkan juga bagi keseluruhan masyarakat
manusia.
Asas-asas kewarisan
a. Asas ijbari
Asas ijbari secara harfiah berarti memaksa. Unsur memaksa
dalam hukum waris ini karena kaum muslimin terikat untuk
taat kepada hukum allah sebagai konsekwensi logis dari
pengakuannya kepada ke-Esaan Allah dan kerasulan
muhammad.
b. Asas individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-
bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perorangan. Dalam pelaksanaanya seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing.
c. Asas bilateral
Seseorang menerima hak kewarisan kedua belah pihak yaitu
pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak perempuan.
d. Asas keadilan yang berimbang
Asas keadilan atau keseimbangan disni mengandung arti
bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan
kewajiban; antara hak yang diperoleh seseorang dengan
kewajiban yang harus ditunaikanya. Dalam hukum kewarisan
islam, harta peninggalan yang diterima ahli waris dari pewaris
merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap
keluarganya.
e. Asas akibat kematian
Kewarisan terjadi jikalau ada pihak yang meninggal dunia. Jika
peralihan harta sebelum kematian, berarti bukan kewarisan.
Asas-asas hukum perkawinan
a. Asas kesukarelaan
Kesukarelaan berarti saling menerima baik kekurangan maupun
kelebihan antara kedua calon. Kesukarelaan itu tidak harus terdpat
diantara kedua calon suami isteri, tetapi juga diantara kedua orang tua
kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang
wanita, merupakan sendi asasi perkawinan islam.
b. Asas persetujuan kedua belah pihak
Tidak boleh ada permaksaan dalam melangsungkan sebuah
pernikahan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan
seorang pemuda,misalnya harus diminta dulu oleh wali atau orang
tuanya.
c. Asas kebebasan memilih pasangan
Seorang laki-laki dan perwmpuan berhak untuk memilih calon
pasangannya. Ketika terjadi suatu pemaksaan dalam sebuah
pernikahan, ada pilihan untuk meneruskan pernikahan itu atau tidak.
d. Asas kemitraan suami isteri
Kedudukan seorang suami dan isteri dalam beberapa hal
sama dan dalam hal lain berbeda; suami menjadi kepala
keluarga, istri penanggung jwab masalah rumah tangga.
e. Untuk selama-lamanya.
Perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan
keturunan dan membina cinta serta kasih sayang
serlamanya. Oleh karena itu perkawinan mut'ah dilarang,
karena tidam sesuai dengan tujuan pernikahan.
f. Monogami terbuka
Perkawinan di dalam islam bersifat monogami. Karena
beberapa hal seorang suami dapat menikah lagi, atas
persetuuan isterinya.
Kaidah-Kaidah Fiqh
Secara terminlogi kaidah berarti asas, pondasi, atau fondamen

segala sesuatu. Secara terminologi dalah segala ketentuan-


ketentuan umum yang bersifat tetap dan kully (menyeluruh) yang
mencakup semua masalah-masalah partikular (juziyah)yang
sumber hukumnya bisa diambil dari hukum kully tersebut.dengan
menguasai kaidah fiqh maka kita kan mengetahui hakekat fiqh,
dasar-dasar hukumnya, landasan pemikiran dan rahasia-rahasisa
terdalamnya.
Contoh; (1) hukum berrputar di sekitar illatnya. Ada illat ada

hukum, tidak illat tidak ada hukumnya. (2) hukum berubah karena
perubahan waktu dan tempat (3) adat yang baik dapat dijadikan
hukum. (4) orang yang menentut sesuatu hak atau menuduh
seseorang melakukan sesuatu harus membuktikan hak atau
tuduhanya. (5) tertuduh dapat mengingkari tuduhan yang
ditunjukkan padanya dengan sumpah.
OBYEK KAJIAN DANKEGUNAAN FHI
Obyek kajian FHI adl hukum Islam yg bersifat teologis (dunia
dan akhirat). Dalam kaitan hukum wadl‟iy, spirit atau ruhnya tetap
merujuk pada alQur‟an dan alSunnah.

Tujuan hukum Islam adl manifestasi rahman dan


rahim Allah, atau
rahmatan lil ‘alamin, yang biasanya digunakanterm mashlahat.
Al-Muhafadhah ‘ala alDlaruriyat al-Khams (Hifdh al-Din, Hifdh al-
Nafs, Hifdh al-‟Aql, Hifdh al-Nasl, dan Hifdh al-‟Irdl).

Karena itu, Hukum Islam harus sanggup merespon


danmemberikan jawaban terhadap berbagai persoalan baru,
shg prinsip rahmatan lil „alamin akan senantiasa
memberikan makna bagi kehidupan manusia
 Untuk memahami, mengetahui, dan menggali
filsafat hukum Islam diperlukan sebuah kerangka
metodologi. Artinya, metodologi digunakan
sebagai rentetan dalam membangun suatu
tatanan teori dalam hukum Islam bahkan sampai
membangun tatanan peraturan dalam pemikiran.
Dalam hal ini, metodologi yang digunakan ialah
falsafah al-tasyri’ dan falsafah al-syari’ah yang
dari dua pembagian ini dapat diketahui beberapa
hikmah disyariatkannya hukum (hikmah al-
tasyri’) serta tujuan hukum dan rahasia-rahasia
hukum (asrar al-ahkam). Dua hal ini juga yang
menjadi kerangka dasar dan platform dari
konstruksi hukum Islam
Falsafah al-tasyri’ adalah filsafat yang
memancarkan, menguatkan, dan memelihara
hukum Islam atau filsafat yang membicarakan
hakikat dan tujuan penetapan hukum Islam.
Falsafah tasyri’ dibagi menjadi:
Pertama, da’aim al-ahkam al-Islam (dasar-
dasar hukum Islam). Asas-asas pembinaan
hukum Islam yang dikatakan da’aim al-
tasyri’ atau al-hukm antara lain adalah:
a). Menghilangkan kesulitan (nafyu al-haraj).
Keadaan ini sangat diperhatikan oleh pengatur
hukum Islam. Karenanya, segala pembebanan
hukum (taklif) Islam berada dalam batas-batas
kemampuan para mukallaf. Hal ini berarti bahwa
taklif al-syar’i tidak mengandung kesukaran
barang sedikit juga;
b). Menyedikitkan beban (qillah al-taklif). Asas kedua
dari asas-asas hukum Islam adalah tidak
membanyakkan hukum taklifi, agar tidak
memberatkan pundak mukallaf dan tidak
menyukarkan;
c). Membina hukum dengan menempuh jalan tadarruj
(gradual). Artinya, hukum tidak dilimpahkan
sekaligus, akan tetapi satu
demi satu atau tahap demi tahap yang nantinya
tidak “merasa berat” untuk melaksanakannya. Hal ini
memberikan ilustrasi bahwa hukum-hukum taklif
datang beriringan sesudah berakar hukum-hukum
yang telah ditetapkan, baru kemudian datang
hukum lain;
d). Seiring dengan kemaslahatan manusia. Pembina
hukum memerhatikan kemaslahatan masing-
masing mereka sesuai dengan adat dan kebudayaan
mereka serta iklim yang menyelubunginya. Jika
kemaslahatan tersebut bertentangan satu sama lain,
maka pada masa itu didahulukan maslahat ‘amm
(umum) atas maslahat khas (khusus) dan diharuskan
menolak kemudharatan yang lebih besar dengan
jalan mengerjakan kemudharatan yang lebih kecil;
e). Syara‟ yang menjadi sifat zatiyyah Islam.
Dengan kerangka ini, kebanyakan hukumnya
diturunkan secara mujmal sehingga memberi
lapangan luas kepada para mujtahid untuk
berijtihad dan di sisi lain memberikan bahan
penyelidikan dan pemikiran dengan bebas
dan supaya hukum Islam itu menjadi elastis
sesuai dengan tabiat perkembangan manusia
yang berangsur-angsur.
Kedua, mabadi’ al-ahkam al-Islam (prinsip-
prinsip hukum Islam). Titik tolak atau prinsip-
prinsip hukum Islam ialah:
a). Prinsip tauhid;
b). Prinsip masing-masing hamba berhubungan
langsung dengan Allah;
c). Prinsip menghadapkan khittab kepada akal;
d). Prinsip memagari akidah dengan akhlak
(moral) yang utama sehingga dapat mensucikan
jiwa dan meluruskan kepribadian seseorang;
e). Prinsip menjadikan segala macam beban
hukum demi untuk kebaikan jiwa dan
kesuciannya.
f). Prinsip mengawinkan agama dengan dunia
dalam masalah hukum;
g). Prinsip persamaan. Hukum Islam
menyamaratakan manusia dan tidak ada
perbedaan antara suatu bangsa dengan
bangsa yang lain, antara individu dengan
individu yang lain;
h). Prinsip menyerahkan masalah ta’zir kepada
pertimbangan penguasa atau para hakim;
i). Prinsip tahkim. Masalah tahkim hanya dapat
diperbolehkan dalam masalah-masalah
kehartaan;
j. Prinsip menyuruh ma‘ruf dan mencegah
munkar;
k). Prinsip toleransi (tasammuh);
l). Prinsip kemerdekaan; dan
m). Prinsip hidup bergotong-royong, jamin-
menjamin kehidupan bersama, bantu
membantu antar sesama anggota
masyarakat
Ketiga, usul al-ahkam al-Islam (sumber-sumber
hukum Islam atau pokok-pokok hukum Islam)
atau masadir al-ahkam (sumber-sumber Hukum
Islam). Mengenai usul al-ahkam atau masadir
al-ahkam al-Islami yang paling utama adalah al-
Qur‟an dan al-Sunnah yang tidak diragukan lagi
ke-qat’i-annya. Lalu berkembang beberapa
metode istinbat hukum Islam yang dijadikan
pegangan dalam menentukan sebuah hukum,
meskipun beberapa metode hukum tersebut
masih dipertentangkan ulama, di antaranya ialah
ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
istishab, ‘urf, saddud zari’ah, syar‘u man
qablana, dan lain sebagainya.
Keempat, qawa‘id al-ahkam al-Islam (kaidah-kaidah
hukum Islam). Ini adalah berupa kaidah-kaidah
istinbat yaitu „amr, nahyu, ‘amm, khas, mutlaq,
muqayyad, mujmal, dan mufassar atau segala
kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan,
yang dipetik dari kaidah-kaidah bahasa Arab,
uslub-uslub dan tarkib-tarkib-nya. Kemudian
kaidah fiqhiyyah, yaitu kaidah-kaidah kulliyyah
yang digali dari nas-nas al-Qur‟an, al-Hadis dan
dari ruh al-syari’ah (jiwa syariat). Sedangkan
kelima, maqasid al-ahkam al-Islam yang
merupakan tujuan-tujuan hukum yang karena
tujuan-tujuan tersebut hukum disyariatkan dan
diharuskan bagi para mukallaf untuk menaatinya
Sedangkan falsafah al-syari’ah adalah filsafat
yang diungkapkan dari materi hukum Islam,
seperi ibadah, mu‘amalah, jinayah, ‘uqubah, dan
sebagainya. Filsafat ini membicarakan tentang
hakikat, rahasia, kelebihan kebaikan, keindahan,
dan kemaslahatan hukum Islam dibandingkan
dengan hukum yang lain. Untuk konteks ini,
kajian yang komprehensif dapat dibagi dalam
empat bagian. Pertama, asrar al-ahkam al-Islami
(rahasiarahasia hukum). Filsafat ini merupakan
bagian urgen dan patut diberikan perhatian,
karena dengan filsafat ini kita akan mampu
menanggapi rahasia/sirr dari perintah-perintah
syara‟ dan larangan-larangannya.
Untuk memperdalam hal ini, perlu dilakukan
kajian seperti:
a). Ahdaf al-ahkam (tujuan-tujuan akhir Islam)
yang merupakan salah satu cara untuk
memahami asrar alahkam. Dalam hal ini,
terdapat dua jalan yang perlu dipahami, yaitu
„illat hukum dan hikmah hukum. Untuk
memahami ini, para ulama berbeda pendapat
terkait dengan apakah hukum itu mempunyai
„illat atau tidak, atau apakah hukum itu
semuanya ma‘qul al-ma‘na atau ghairu ma‘qul
al-ma‘na; dan
b). Pandangan ulama dalam mengungkap rahasia
hukum
Kedua, khasais al-ahkam al-Islami (karakteristik
hukum Islam) yang terdiri dari:
a). rabbaniyyah (ketuhanan), artinya Allah yang
mengatur perjalanan hidup dan kehidupan manusia
agar dapat membina hubungan antar individu
maupun jamaah di atas landasan yang kokoh, jauh
dari kekerdilan, ekstremitas, hawa nafsu, dan
pertentangan manusia;
b). insaniyyah (kemanusiaan). Ciri kemanusiaan
(humanisme) dalam pandangan Islam tidak
bertentangan dengan ciri rabbaniyyah, karena takdir
manusia memiliki kedudukan dalam pencapaian
tujuan-tujuan Islam yang begitu tinggi, yakni
keberuntungan dan kebahagiaan manusia;
c). Syumul.
Ke-syumul-an Islam, termasuk di dalamnya
syari‟at (hukum), berlaku di segala zaman,
kehidupan, dan eksistensi manusia;
d). Waqi’iyyah (realistis). Artinya, tidak
mengabaikan konteks atau realitas yang
terjadi, yang ada pada setiap sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan; dan
e). Tanasuk (keteraturan), yakni bekerjanya
semua individu dengan teratur dan saling
bersinergi untuk mencapai tujuan bersama,
dengan tidak saling benci dan
menghancurkan.
Ketiga, mahasin al-ahkam al-Islami (keutamaan hukum
Islam). Pada tataran ini, hukum Islam yang meliputi
aspek kebutuhan masyarakat, memiliki mahasin atau
keistimewaankeistimewaan yang apabila diterapkan
dalam kehidupan masyarakat secara bersama-sama
akan membentuk masyarakat yang ideal, yakni
masyarakat adil, kesetaraan, kebebasan, dan
sebagainya. Sedangkan yang keempat, tabiat dan watak
hukum Islam. Hukum Islam mempunyai watak (tabiat)
yang merupakan ketentuan-ketentuan yang tidak
berubah-ubah. Watak atau tabiat dan ciri khas tersebut
adalah: a). Takamul, artinya sempurna bentuknya dan
tuntas; b). Wasatiyyah, yang berarti imbang harmonis,
ifrat dan tafrit; dan c). Harakah, yang berarti bergerak
dan berkembang, serta ber-tatawwur sesuai dengan
perkembangan zaman
KONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang
hayat, bahkan merupakan suatu proses atau
kegiatan yang diarahkan untuk mengubah tabiat
(behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior
adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang,
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Namun,
yang paling utama adalah membangun moralitas
manusia modern dalam menggapai peradaban
madani. Oleh sebab itu, bagi masyarakat Islam,
mengkaji dan mengembangkan pendidikan untuk
melahirkan manusia-manusia unggul (insan kamil)
dengan berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan
Sunnah.
FILSAFAT HUKUM ISLAM DIBAGI :
1). Falsafat al-tasyri‟, yg membahas hakikat
dan tujuan penetapan hukum Islam, meliputi:
 Da‟aim al-ahkam(dasar-dasar hukum Islam)
 Mabadi‟ al-ahkam(prinsip-prinsip hukum

Islam)
 Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum Islam)

ataumashadir al-ahkam (sumber2 hukum


Islam)
 Maqashid al-Ahkam(tujuan2 hukum Islam)

Qawa‟id al-ahkam(kaidah2 hukum Islam)


LANJUTAN…

2). Falsafah syari‟ah : filsafat yg diungkapkan dr


 materi2 hkm Islam, spt ibadah, muamalah, jinayah,

„uqubah, dll. Filsafat ini membahas ttg hakikat dan


rahasia hkm Islam, yg meliputi : 
 Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam)

 Khashaish al-ahkam (ciri-ciri hukum Islam)

 Mahasin al-ahkam atau mazaya al-

ahkam(keutamaan2 hukum Islam)


 Thawabi‟ al-ahkam (karakteristik hukum Islam)
SYARI‟AH, FIQH, DAN HUKUM
ISLAM

 SYARI‟AH : yg menetapkan al-Syari‟ (Allah),


kebenarannya absolut/mutlak, mengikat,
ideal,satu (unity).

 FIQH : yg menetapkan manusia, kebenarannya


relatif/nisby, tidak mengikat, riil, bervariasi.

 HUKUM ISLAM : formulasi hukum


(ttgucapan/prilaku) baik atau tidak baik,
dandikenakan sanksi bagi pelanggarnya. Ada
Islamiclaw dan Islamic jurisprudence
FORMULASI HUKUM SYARA‟
 AMAR (AL-AWAMIR) Perintah Allah intinya
adalahkemashlahatan. Apabila
dikuantitatifkan,
maka:Wajib/Fardlu (mashlahat 76-99%)
Sunnah/mandub/mustahab (66-75%)Ma
baina al-amr wa al-nahy : al-jawaz/al-ibahah
(46-55%). AL-NAHY (AL-
NAWAHY) :Makruh (26-45 %)Haram (2-25
%) Apabila dibalik, kemafsadatan akan lebih
dominan padalarangan (al-nawahy)
BEBERAPA JUDUL MAKALAH(1) :
1. Ushul Fiqh : Urgensi, Sejarah pertumbuhan,dan
perkembangannya
2. Filsafat Hukum Islam : LandasanEpistemologis,
Ontologis, dan Aksiologis
3. FHI : Urgensi dan Keterkaitannya dg UshulFiqh
4. Asbab al-Nuzul / Asbab al-Wurud danImplikasinya
dlm pemahamanMaqashid al_Syari‟ah 
5. Menelusuri akar sejarah perintisan Ushul Fiqhdan
Kategorisasinya
Lanjutan…
6. Konsep al-tahsin wa al-taqbih dalam
legislasihukum Islam
7. Al-Sunnah, Otentisitas, dan Kedudukannya
dlmlegislasi hukum Islam
8. Ijtihad „Umar ibn al-Khaththab dan
Manhajijtihadnya
9. Fuqaha‟ al-Sab‟ah dan Manhaj ijtihadnya
10. Ijma‟ (Amal Ahli Madinah) dan implikasi
formulasi hukumnya
11.Qiyas : Membatasi Ijtihad atau Alternatif ?
Lanjutan…
12. Istidlal dan istishhab : Formulasi metodologi
ijtihad
13. Istihsan dan formulasinya : Mengapa
ditentang al-Syafi‟i ? 
14. Mashlahat al-mursalah dan aplikasinya
dlmformulasi hukum Islam.
15. Al-Dzari‟ah dan Hilah hukum : Masihkah
dibutuhkan ?
16. Al-„Urf dan Al-„Adah : local wisdom
menjawab problema hukum Islam
Lanjutan…
 

17. Kedudukan Maqashid al_Syari‟ah dalam


penetapan hukum dan cara mengetahuinya
18. Ijtihad pd masa
munculnya“gerakan”Penutupan pintu ijtihad
19.Hikmah dan„illat : mencari sandaran
formulasihukum Islam
20.Ta‟wil dan problema penerapannya
21. Hilah hukum dan kemungkinan penerapannya
22. Al-Ta‟abbud wa al-ta‟aqqul dlm penetapan
hukum Islam
Lanjutan…
23. Revitalisasi nasakh : Perspektif Ahmad al-
Na‟im 
24.Teori gerak dlm pandangan Fazlur Rahman
25.Teori limitasi (nadhariyah al-hudud) dlm
perspektif Muhammad Syahrur
26. Kritik Nalar Islam : Telaah pemikiran hukum
Nashr Abu Zaid
27. Hukum Islam menjawab tantangan
Modernitas :Kajian Metodologis
Karakteristik Hukum Islam

Pertama, sempurna. Artinya syari’at itu akan selalu


sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia,
dimana dan kapanpun, baik sendiri maupun
berkelompok. Hal ini didasarkan pada bahwa
syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum
dan garis besar permasalahan, sehingga hukum-
hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan
tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang
bersifat global oleh al-Qur’an tersebut
dimaksudkan untuk memberikan kebabasan
kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad
sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu
Kedua, Universal. Syari’at Islam meliputi
seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku,
ras, bangsa, dan bahasa. Universal ini pula
tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak
hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-
VII saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman.
Hukum Islam menghimpun segala sudut dan
segi yang berbeda-beda di dalam suatu
kesatuan, dan ia akan senantiasa cocok
dengan masyarakat yang menghendaki tradisi
lama atau pun modern, seperti halnya ia dapat
melayani para ahli aql dan ahl naql, ahl al-
ra’y atau ahl al-hadits
Ketiga, elastis, dinamis, dan fleksibel, dan tidak
kaku. Karena hukum Islam merupakan syariat
yang universal dan sempurna, maka tak dapat
dipungkiri pula kesempurnaannya ini
membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan
dinamis dalam perkembangan zaman, karena
jika hukum Islam menjadi sesuatu yang kaku
jutsru akan menjadikannya tak relevan pada
masa atau ruang tertentu. Bila syariat diyakini
sebagai sesuatu yang baku dan tidak pernah
berubah, maka fiqih menjembatani antara
sesuatu yang baku (syariat) dan sesuatu yang
relatif dan terus berubah tersebut (ruang dan
waktu)
Syari’at Islam hanya memberikan kaidah dan
patokan dasar yang umum dan global.
Perinciannya dapat disesuaikan dengan
kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan
diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula
dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai
daya gerak dan hidup yang dapat membentuk
diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan,
melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam
ijitihad – yang menjadi hak bagi setiap muslim
untuk melakukannya – merupakan prinsip gerak
dalam Islam yang akan mengarahkan Islam
kepada suatu perkembangan dan bersifat aktif,
produktif serta konstruktif
Keempat, sistematis. Artinya antara satu
doktrin dengan doktrin yang lain bertautan,
bertalian dan berhubungan satu sama lain
secara logis. Kelogisan ini terlihat dari
beberapa ayat dalam al-Qur’an yang selalu
menghubungkan antara satu institusi dengan
institusi yang lain. Selain itu, syariat Islam
yang mendorong umatnya untuk beribadah di
satu sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya
untuk mengurusi kehidupan duniawi
Kelima, bersifat Ta’abuddi dan ta’aqulli. Warna
Syari’at Islam dapat dibedakan dengan dua
warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang
fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia
ِ ‫س اَّل لِ 'يَ ْعبُ ُد‬
kepada Allah (‫ون‬ ْ ‫) َو َما َخلَ ْق ُت‬. Bentuk
‫ا''ل ِج َّن َوا''ِإْلْن َ ِإ‬
ibadah seperti ini sudah given, taken from
granted, makna yang terkandung didalamnya
tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah
rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah
bersifat duniawi yang maknanya dapat
difahami oleh nalar manusia, rasional.
Keenam, menegakkan Maslahat. Karena seluruh
hukum itu harus bertumpu pada maslahat dan
dasar dari semua kaidah yang dikembangkan dari
seluruh hukum Islam harus bersimpul pada
maslahat. Syariat berurusan dngan perlindungan
maslahat entah dengan cara yang positif,misalnya
dengan tindakan untuk menopang landasan-
landasan mashalih, syariat mengambil tindakan-
tindakan untuk menopang landasan-landasan
mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif,
yaitu untuk mencegah hilangnya mashalih, ia
mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan
unsure apa pun yang secara actual atau potensial
merusak mashalih
Ketujuh, menegakkan Keadilan. Keadilan dalam
arti perimbangan atau keadaan seimbang
(mauzun) antonimnya ketidakadilan,
kerancuan (at-tanasub), persamaan
(musawah), tidak diskriminatif, egaliter,
penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang
diemban (keadilan distributif), serta keadilan
Allah yaitu kemurahan-Nya dalam
melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia
sesuai dengan tingkat kesediaan yang
dimilikinya.
Kedelapan, tidak Menyulitkan (‘adamul kharaj).
Yang disebut dengan tidak menyulitkan
adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak
tidak memaksa dan tidak memberatkan. Di
antara cara meniadakan kesulitan itu ada
beberapa bentuk:
1. Pengguguran kewajiban, yaitu dalam
keadaan tertentu kewajiban ditiadakan
seperti gugurnya kewajiban shalat jum’at
dan gugurnya kewajiban puasa dibulan
Ramadhan bagi orang yang sedang dalam
perjalanan atau sakit.
2. Pengurangan kadar yang telah ditentukan,
seperti qasharshalat dari yang jumlahnya
empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu
shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’.
3. Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban
dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi
besar ditukar dengan tayammum., atau
menukar kewajiban berpuasa di bulan
Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang
mempunyai halangan puasa Ramadhan.
4. Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu
kewajiban sebelum waktunya hadir seperti
shalat jama takdim, shalat Ashar yang
dilaksanakan pada waktu Dzuhur,
melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat
Magrib.
5. Menangguhkan atau mentakhirkan
kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban
setelah waktunya tidak ada seperti shalat
jama takhir. mengerjakan shalat Dzuhur
diwaktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat
Magrib di waktu shalat Isya.
6. Mengubah dengan bentuk lain, seperti
merubah perbuatan shalat dengan shalat
khauf karena alasan keamanan. atau
mengganti kewajiban puasa bagi orang yang
sudah tidak kuat lagi puasa dengan
membayar fidyah.
7. Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu
dengan menyedikitkan tuntutan Allah untuk
berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
Kesembilan, berangsur-angsur atau tadrij. Hukum Islam
dibentuk secara gradual tidak sekaligus. Diantara
hukum Islam yang diturunkan secara gradual adalah
shalat, pertama hanya dua waktu (Hud : 114) kemudian
tiga waktu (al-Isra: 78),  dan akhirnya lima waktu.
Kemudian larangan riba, pertama hanya dikatakan
sebagai perbuatan tercela (QS. al-Rum: 39),  kemudian
riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (QS. Ali
Imran: 130)  terakhir dikatakan haram secara mutlak
(QS. al-Baqarah: 275, 278). Demikian juga dalam
pelarangan minuman keras, awalnya hanya dikatakan
bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS.
al-Baqarah: 219), kemudian larangan untuk mendekati
shalat dalam keadaan mabuk (QS. al-Nisa: 43),  dan
terakhir diharamkan secara mutlak bahkan dikatakan
sebagai perbuatan syetan (al-Ma’idah : 90).
Pertumbuhan dan Perkembangan
Filsafat Hukum Islam
1. Pertumbuhan Filsafat Hukum Islam
 Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-

Sunnah terhadap segala masalah yang tidak


diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum
mmuslimin diperbolehkan berijtihad dengan
mempergunakan akalnya guna menentukan
ketentuan hukum. Berijtihad dengan mempergunakan
akal dalam permasalahan hukum islam, yang pada
hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui
oleh Rasulullah SAW, bahkan Allah menyebutkan
bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu
sangat perlu memaham dalam berbagai persoalan.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad merupakan
awal dari lahirnya filsafat hukum Islam pada masa
Rasulullah segala persoalan diselesaikan dengan wahyu,
pemikiran falsafi yang salah di benarkan oleh wahyu,
ketika Rasulullah telah wafat dan wahyupun telah usai
maka akal dengan pemikiran falsafinya berperan baik
dalam perkara yang ada Nashnya maupun yang tidak ada.
Pemikiran falsafi terhadap hukum islam yang ada nashnya
bermula pada masa khulafaurasyidin terutama umar bin
khattab. Penghapusan hukum potong tangan bagi pencuri,
zakat bagi muallaf, dll. Yang dilakukan oleh umar
bedasarkan kesesuaian zaman untukk menjamin
menegakkan keadilan yang menjadi asas hukum islam,
merupakan conto penerapan hukum berdasarkan hukum
manusia. Jadi penerapan hukum harus dapat meneggakkan
kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari
hukum islam
2. Perkembangan Filsafat Hukum Islam
 Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum
(Maqasid Al-Syariah) telah dilakukan oleh para
ahli ushul fiqih terdahulu, Al-Juwaini dapat
diakatakan sebagai ahli Ushul fiqih pertama
yang menekankan pentingnya
memahami Maqashid Syariah dalam
penetapan Hukum ia menyatakan bahwa
seseoarang tidak dikatakan mampu
menetapakan hukum dalam Islam sebelum ia
dapat memahami benar tujuan Allah
Menetapkan perintah-perintah dan larangan-
larangan-Nya
Al-juawaini mengelaborasi lebih lanjut Maqashid Al-
Syariah dalam kaitannya dalam pembahasan illat  pada
masalah Qiyas. menurut Pendapatnya, dalam kaitannya
dengan Illat, ashl dapat dijadikan 5 kelompok, yaitu
kelompok darruriyat, al-hajjiyyat al-ammat,
makramat, sesuatu yang tidak termasuk
kelompok Darruiyat dan Hajjiyat dan sesuatu yang tidak
termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya Al-
Juwaini mengelompok ashl atau tujuan hukum menjadi 3
kelompok yaitu Darruriyat, Hajjiyat, Makramat yang terakhir
dalam istilah lain disebut Tahsiniyyat. Pemikiran Al-juwaini
dikembangkan oleh muridnya yaitu al-Ghazali, beliau
menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dalam
pembahasan al-Mnasabat al-maslahiyyat dalam Qiyas.
Sementara dalam kitab yang lain ia membicarakannya dalam
pembahasan Istishlah. Ia menrincikan maslahat itu menjadi
lima, memlihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
 Ahli ushul fiqih yang membahas secara khusus
aspek utama Maqashid al-syariahadalah Izz al-Din
Ibn Abdal-Salam dari kalangan mazhab Syafii.
Dalam kitabnya Qawaid al-ahkam fi mashalih al-
anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat
maslahat yang dijawantahkan dalam bentuk Dar’u
al-mafasid wa Jalbu al-manafi (menghindari
mafsadat dan menarik manfaat). Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa taklif bermuara pada
kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba
mengembangkan prinsip mashlahat yang
merupakan inti pembahasan dalam Maqashid al-
syariah.
 Ahli Ushul fiqih yang membahas teori Maqashid
Al-Syariah secara khusus, sistematis dan jelas
adalah, al-Syahtibi dari kalangan madzhab Maliki,
dalam kitabnya Al-Muwafaqad ia menghabiskan
kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam
masalah ini, ia secara tegas bahwa tujuan Allah
SWT. Mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
 Karena itu taklik dalam bidang hukum harus
bermuara pada tujuan hukum tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya para penulis Filsafat
Hukum Islam mencoba menonjolkan istilah filsafat
hukum Islam ketimbang menggunakan Istilah
Hikmah atau tujuan disyariatkan hukum Islam.
Metode Pembaharuan Hukum Islam
Untuk melakukan
suatu pembaharuan hukum Islam harus ditempuh
melalui beberapa metode.dalam hal ini ibrahim hosen
seorang ahli hukum Islam Indonesia menawarkan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Pemahaman baru terhadap Kitabullah
Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam,hal ini
dilakukan dengan direkonstruksi dengan jalan
mengartikan al-qur’an dalamkonteks dan
jiwanya.pemahaman melalui konteks berarti mengetahui
asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya
berarti memperhatikan makna atau substansi ayat
tersebut.
2) Pemahaman baru terhadap Sunah
Dilakukan dengan caramengklasifikasikan sunnah, mana yang
dilakkan Rasulullah dalam rangkka Tasyri’ Al-Ahkam
(penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia
biasa sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat
dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangkaTasyri’ Al-
Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya sebagai manusia biasa tidak
wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah SAW kepada makanan yang
manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu
sebagaimana aal-Qur’an, Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa
dan semangat atau substansi yang terkandung didalamnya.
3)  Pendekatan ta’aqquli (rasional)
Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi
yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas
illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyakk tidak terungkap. Oleh
karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam
rangka pembaharuan hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan
pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna
umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.
4) Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir
berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan
diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana
harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan
potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan
didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat
jera pelaku pidana sehingga tidak mengulanginya lagi.
Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus
ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat
pada apa yang tertera dalam nash.
5) Masalah ijmak
Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijamak
harus dirubah dengan menerima ijmak sarih,yang terjadi dikalangan
sahabat (ijmak sahabat) saja,sebagai mana yang dikemukakan oleh asy-
syafi’i.kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat sulit,sedangkanijmak
sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu,ijmak yang
dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada hakikatnya
kekuatan hukumnya bukan kepada ijmak itu sendiri,tetapi pada dali yang
menjadi sandaranya. Sedangkan ijmak yang mempunyai sandaran dalil
zanni sangat sulit terjadi.
6) Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)
Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi
ilat hukum yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan kias.
Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai
dengan ilatnya”. Ini fitempuh dengan merumuskan kaidah dan
mencari serta menguji alit yang benar-benar baru.
7) Masalih mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah
ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih
mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini,dapat
ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak
disinggung oleh al-qur’an dan sunah.
8) Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang
haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan tetapi
karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram,maka
sarana itu diharamkan. Dalam
rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
9) Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat
dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya
perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena
pihak musuh menyerang,maka boleh dibalas dengan
berdasarkan kaidah tersebut,karena serangan musuh dapat
menggangu eksistensi agama Islam.
10) Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau
penguasa,mulai dari tingkat yang rendah sampai yang
paling tinggi. Segala peraturan Undang-Undangan wajib
ditaati selama tidak bertentangan dengan
agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahakn
hukumnya mubah. Contohnya,pemerintah atas dasar
masalih mursalah menetapkan bahwa penjualan hasil
pertanian harus melalui koperasi dengan tujuan agar petani
terhindar dari tipu muslihat lintah darat.
11)Memfiqhkan hukum qat’i
Kebenaran qat’i bersifat absolut. Sedangkan
kebenaran fiqh relative.menurut para fukaha, tidak
ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas yang tidak dapat
diganggu gugat). Tetapi kalau demikian
halnya,maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan
kita perpegang pada moto: al-Islam salih li kulli
zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi
tagayyur al-amkinah wa al-zaman.untk menghadapi
masalah ini qat’i diklasifikasikan menjadi:Qat’I fi
jami’ al-ahwal dan Qot’i fi ba’d al-ahwal. Pada qot’I
fi al-ahwal tidak berlaku ijtihad,sedangkan pada
qot’I fi ba’d al-ahwal ijtihad dapat
diberlakukan.tidak semua hukum qat’I dari segi
penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman
Ijtihad Masa Kini dilakukan dengan
dua cara
1. Ijtihad inthiqai atau ijtihad tarjihi

Yang dimaksud dengan ijmtihad ini ialah ijtihad yang


dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih
pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-
masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqih
dan menyeleksi mana dalil yang lebih kuat. Kemungkinan
besar pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah
yang sedan dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal ini
mujtahid munthaqi bertugas untuk mempertimbangkan dan
menyeleksi dalil-dalil dan argumentasi dari setiap pendapat
itu, kemudian memberikan pemikiran terhadap pendapat
yang dianggap kuat dan dapat diterima.
Mujtahid ini disewbut juga dengan ahli tarjih.
Tarjih pada periode ini berarti menyeleksi
berbagai pendapat dari mazhab apapun,
kemudian diambil pendapat yang rajih,
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
Pendapat ahli fiqih terdahulu dinyatakn rajah
apabila pendapat itu didasarkan oleh dalil yang
kuat, cocok dengan zaman sekarang, dan sesuai
tujuan disyariatkannya hukum islam.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan
oleh mujtahid munthaqi, diantaranya adalah
perubahan social budaya, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan kesesuaian
dengan tuntutan zaman.
2. Ijtihad insya’i
 Yang dimaksud denagn ijtihad ini adalah usaha untuyk menetapkan

kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum


diselesaikan para ahli fiqih terdahulu. Dalam ijtihad ini diperlukan
pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus baru yang akan
ditetapkan hukumnya. Dalam masalah ini ijtihad jama’I sangat
diperlukan karena keterbatasan pengetahuan seseorang disertai
semakin ketatnya disiplin ilmu pada masa sekarang ini, maka ijtihad
fardi mengenai kasus yang sama szekali baru, kemungkinan akan
besar akan membawa kepada kekeliruan.
 Dalam ijtihad insya’I diperlukan pemahaman yang baik tentang

metode penetapan hukum. Ada beberapa metode yang telah


dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu. Diantara metode itu
adalah qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan sad adz-zariah. Hal
lain yang perlu mendapat perhatian dari orang yang akan melakukan
ijtihad insya’I adalah pengetahuan tentang tujuan disyariatkan hukum
Islam, sebab pada dasarnya semua metode penetapan hukum islam
bermuara pada hal tersebut.
Filsafat hukum islam pada bidang
ibadah
a) Pengertian ibadah
Kata ibadah terambil dari kata ‘abada yang artinya mengabdi,
tunduk, taat. Sedangkan menurut Mahmud syaltut dalm formasi
yang singkat mengemukakan arti ibadah sebagai:

‫خضوع ال تحد لعظمة ال تحد‬


“ketundukan yang tidak terbatas bagi (pemilik) keagungan
yang tidak terbatas pula.”

Hal ini menurut syaltut lebih jauh menunjukkan puncak


tertinggi dan kerendahan hati kecintaan batin, serta peleburan
diri kepada keagungan dan kecantikan siapa yang kepadanya
seseorang beribadat, peleburan yang tidak dicapai oleh
peleburan apapun.
Oleh syekh jafar subhani mengemukakan tiga formulasi
ibadat yaitu ketundukkan dan ketaatan yang berbentuk
lisan dan praktek yang timbul akibat keyakinan tentang
ketuhanan siapa yang kepadanya seseorang tunduk.
Menurut m. al-ghazali hakikat ibadah akan terwujud
apabila memenuhio tiga hal: 1. Tidak menganggap apa
yang berada dibawah kekuasaan atau wewenangnya
sebagai milki pribadinya, karena yang dinamai (hamba
sahaya) tidak memiliki sesuatu, 2. Menjadikan segala
aktifitasnya berkisar pada pelaksanaanya apa yang
diperintahkan kepadanya, serta ,menjauhi apa yang
dilarangnya, 3. Tidak mendahuluinya dalam mengambil
suatu keputusan atau dengan kata lain mengaitkan
segala apa yang hendak dilakukannya dengan seizing
dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi
Perintah ibadah dalam al-qur’an selalu dikaitkan dengan :
a. Sifat rububiyah (pemeliharaan tuhan) seperti dalam surat
al-baqarah:21

َ ‫يخ لَقَ ُك ْم َوا َّل ِذ َين ِم ْنقَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ تَّ ُق‬
‫ون‬ َ ‫اعبُ ُدوا َربَّ ُك ُم ا َّل ِذ‬ ُ َّ‫يَ ا َأ ُّي َها ا لن‬
ْ ‫اس‬
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa,
b. Tawakkal kepada allah (penyerahan diri kepada Allah
setelah usaha maksimal) terdapat dalam surat al-fatihah
ayat 5-6

ْ َ‫ِإيَّ َاك نَ ْعبُ ُد وَِإيَّ َاك ن‬


‫ستَ ِع ُين‬
  Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan tunjukilah kami
jalan yang lurus,
Ibadah dalam pengertian sempit
Ibadah dalam pengertian sempit menurut Muh. Al-Ghazali
adalah:

‫ما ا'نشاء ا''لشارع حقيقته' و ص''ورته' ف'''ليسي''ع'رفا''العنطريقه' ك'ا ا'صالة وا''لصيام' و غيرهما‬

apa yang ditetapkan hakikat dan bentuknya oleh Allah dan


Rasulullah sehingga tidak diketahui kecuali melalui jalan tersebut
seperti shalat, puasa dan yang lainnya.

            Arti ibadah dalam pengertian yang sempit inilah yang


sering digunakan oleh orang dalam memahami ibadah. Tata cara
ibadah yang telah ditetapkan itu harus diterima dan diamalkan
sebagaimana adanya, karena keberatan tentang bentuk atau cara
tertentu dengan maksud mengubahnya dengan cara lain, tidak
menghalangi adanya keberatan baru bagi cara yang telah diubah
itu.         
Dalam masalah ibadat nampak secara jelas manfaat
wahyu dan kebutuhan manusia terhadap bimbingan-Nya,
yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal
manusia, sebab seandainya hal-hal tersebut dapat
dijangkau maka itupun di dukung oleh para nabi dan
wahyu Allah.
b) Tujuan ibadah
Abbas Al-Aqqad menyimpulkan dua tujuan pokok ibadah
yaitu:
a. Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam
dirinya, yang juga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang
berbeda dengan kebutuhan- kebutuhan jasmaniahnya.
b. Mengingatkannya bahwa di balik kehidupan yang fana
ini, masih ada lagi kehidupan berikut yang bersifat abadi.
Dan kita akan mencoba membahas filasat ibadah
tersebut.
1. Falsafah shalat
Shalat merupakan tiang agama serta kewajiban pokok yang diletakkan Tuhan di
atas pundak hamba-hambanya. Mengapa demikian?[15]
Pertama: dari satu sisi kebesaran dan keagungan Tuhan, shalat merupakan
konsekuensi dari keyakinan-keyakinan tentang sifat-sifat Allah yang menguasai
alam raya ini, termasuk manusia serta yang kepadanya bergantuing segala sesuatu.
Kedua: dari sisis lain yakni sisi manusia, ia adalah makhluk yang memiliki naluri
antara lain cemas dan mengharap, sehingga ia membutuhkan sandaran dan
pegangan dalam hidupnya.
Ketiga: alam raya ini berjalan di bawah satu kesatuan sistem yang dikendalikan
oleh satu kekuatan yang maha dashyat yaitu Allah. Manusia lebih-lebih lagi
ilmuan-ilmuan, membutuhkan kepastian tentang tat kerja ala mini dalam rangka
pengembangan ilmu dan penerapannya. Kepastian tersebut tidak dapat
diperolehnya kecuali dengan keyakinan tentang adanya pengendali dan pengatur
alam raya ini yang bersifat esa tidak berbilang.
            Jadi shalat kepada penguasa yang esa itu menggambarkan pemahaman
seseorang tentang tata kerja alam raya.
Keempat: terlepas apakah shalat mengakibatkan terpenuhinya permohonan
seseorang atau tidak, namun paling tidak shalat merupakan hubungan manusia
dengan tuhan.
2. Falsafat zakat
Ada tiga alasan menggambarkan landasan pilosofis dan
kewajiban zakat:[16]
Pertama: istiklaf  (penugasan sebagai khalifah di muka bumi)
           Konsekuensi terhadap harta benda yang dimiliki adalah
bahwa manusia yang dititipkan harat harus memenuhi ketetapan
tuhan baik dalam pengembangan maupun dalam
penggunaannya, antara lain kewajiban dalam mengeluarkan
zakat. Karena sejak semula Allah menetapkan bahwa harta
tersebut dijadikannya untuk kepentiongan bersama.
Kedua: solidaritas social
Karena manusia adalah makhluk social maka ia diharuskan juga
untuk membantu sesama yang bertujuan untuk sosialisasi.
Ketiga: persaudaraan
Manusia berasal dari adam dan hawa maka sesame manusia itu
bersaudara.
Dampak positif zakat:
a) Mengikis sifat-sifat kekikiran dalam jiwa
seseorang.
b) Zakat menciptakan ketenangan dan ketentramam
bukan hanya kepada penerimanya tapi juga
pemberinya.
c) Zakat mengembangkan harta benda,
pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi
spiritual keagamaan berdasarkan:

ٍ ‫ات َوهَّللا ُ اَل يُ ِح ُّب ُك َّل َك فَّا ٍر َأ ِث‬


‫يم‬ ۗ ِ َ‫ص َدق‬
َّ ‫يَ ْم َح ُق هَّللا ُ ا ل ِّربَا َويُ ْر ِبيا ل‬
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa. 
3.  Falsafat puasa[17]
a. Aspek kejiwaan
Seseorang yang berpuasa dengan penuh kesabara menanti saat
berbuka bahkan lebih jauh bersabar dalam menghadapi
gangguan dan caci maki yang mungkin ditunjukkan kepadanya.
Kesabaran ini akibat dorongan ketaatan kepada Tuhan yang
memerintahkan berlaku demikian.
b. Aspek-aspek social
Karena diwajibkan puasa secara serentak maka manusia akan
hidup dalam satu kondisi yang sama antara yang kaya dan
miskin akan merasakan hal yang sama. Dan pada waktu malam
bersama-sama pula pergi ke masjid.
c. Aspek kesehatan
Puasa secara umum membatasi aktivitas pencernaan. Dan hal ini
mempunyai dampak positif bagi kesehatan, sehingga puasa
dapat menjadi terapi bagi banyak penyakit, bahkan dapat
merupakan faktor penyembuhan bagi penyakit-penyakit tertentu.
4. Falsafat haji
a. Aspek social politik
Berkumpulnya umat islam dari seluruh penjuru
dunia, dengan berbagai ras, bangsa, merupakan
satu cara untuk mempererat tali persaudaraan
sesame muslim. Dan manampakkan pada dunia
luar syi’ar islam.
b. Aspek ekonomi
Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa
berjual beli dibolehkan pada musim haji,
sehingga berkumpulnya umat muslim dalam satu
keadaan tertentu akan memberikan kesempatan
untuk mengadakan hubungan perdagangan baik
secara langsung maupun tidak.
c. Aspek kejiwaan
Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan
jiwa, karena seseorang berada dalam lingkungan
ka’bah, yang merupakan tempat untuk
menyampaikan keluh kesah kepada Allah.
d. Aspek ibadah
Dalam ibadah haji nampak sekali ibadah di
dalamnya yang dapat dilihat dari tata cara yang
ditetapkan. Tata cara tersebut apabila ditinjau secara
lahiriah tanpa memperhatikan makna-makna yang
terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan
kesalahpahaman, seperti berkeliling di ka’bah, sya’i
dan sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut
tidak dipahami dia harus melaksanakannya sebagai
tanda tunduk kepada Allah.
Aliran-aliran Hukum Islam
Dalam kajian hukum Islam terdapat dua aliran
hukum yang sudah melahirkan teori hukum Islam,
yaitu aliran mutakallimin dan aliran fuqaha`. Kedua
aliran hukum itu akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Aliran Mutakallimin (Syafi’iyyah)
Aliran ini, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Zahrah,
adalah aliran teoritis murni. Perumusan kaidah
ushulnya tidak terpengaruh oleh detil-detil fiqh
(furu’) mazhab manapun, dan juga didasarkan pada
al-istidlal al-‘aqli (penalaran yang bersifat rasional),
serta mem-prioritaskan teori atas reaalita fiqh.
Dalam memformulasikan ilmu ushul fiqh,
aliran mutakallimin lebih mencurahkan
perhatian pada penguraian masalah-masalah,
menetapkan ushul (kaidah-kaidah), dan
memposisikannya sebagai landasan yang
bersifat teoritis. Hal ini tentunya disesuaikan
dengan akal dan didukung oleh bukti-bukti,
tanpa terpengaruh oleh kasus-kasus furu’
yang sudah mendapatkan jawaban hukum.
Kaidah-kaidah yang didukung oleh akal dan
argument-argumen itu dijadikan dan dibuat
untuk menjadi pedoman dalam istinbath
hukum. Sebaliknya jika suatu kaidah
bertentangan dengan akal dan tidak didukung
argument, maka hal seperti ini mereka tolak.
Dalam aliran ini, kasus-kasus furu’ yang sudah
dirinci dalam kitab-kitab fiqh hanya akan
dilihat sekedar untuk memberikan contoh atau
penjelasan. Oleh karena itu ushul fiqhnya
betul-betul dapat digunakan sebagai alat uji
kebenaran hasil ijtihad yang sudah ada, tanpa
bertujuan menguatkan atau membatalkan
praktek-praktek mazhab atau aliran lainnya
Kitab-kitan ushul fiqh yang ditulis oleh ulama
dari kalangan mutakallimin cukup banyak, di
antaranya menjadi kitab standar yang penting
dalam khazanah ilmu ushul fiqh, seperti al-
Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh karya Abu Husein
al-Bashri al-Mu’tazili, al-Burhan fi Ushul al-
Fiqh karya Imam al-Haramain al-Juwaini, al-
Mustashfa min ‘Ilm al-ushul, al-Mankhul
minTa’liqat al-Ushul dan Syifa` al-Ghalil fi
bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-
Ta’lil yang merupakan karya Imam al-Ghazali.
2. Aliran Fuqaha` (Hanafiyyah)
Aliran ini dianut oleh ulama mazhab Hanafi,
dan dinamakan aliran fuqaha` karena mereka
membangun teori ushul fiqhnya banyak
dipengaruhi oleh masalah furu’ (fiqh) mazhab
Hanafi. Hal ini berarti mereka hanya
membangun teori setelah menganalisis
masalah-masalah furu’ dalam mazhab
mereka sendiri. Dengan demikian mereka
berusaha mengaitkan teori ushul fiqh secara
lebih dekat kepada masalah-masalah fiqh.
Apabila ulama Hanafi menemukan suatu prinsip
yang tidak sesuai dengan prinsip fiqh yang telah
mapan, maka mereka cenderung menyelaraskan
teori agar pertentangan itu berakhir. Jika hal ini
tidak mungkin dilakukan, maka dibuatlah
pengecualian yang bisa mengkompromikan. Hal
ini dilakukan agar seluruh kaidah bisa
diaplikasikan. Dengan demikian seolah-olah
mereka menetapkan kaidah-kaidah (teori
ushulnya) di atas furu’ yang telah dibangun oleh
para imam mereka (Hasaballah 1971:7).
Penyebabnya dimungkinkan karena para imam
mazhab ini tidak mewariskan koleksi kaidah-
kaidah yang terkodifikasikan kepada generasi
selanjut
nya, sebagaimana yang dilakukan oleh al-
Syafi’i yang mewariskan hal demikian kepada
muridnya.
Kaidah-kaidah Hukum Islam
Kaidah ini menjadi sangat penting dalam
membangun khazanah fiqh Islam dari semua
bentuk perbuatan hukum yang dilakukan.
Kaidah ‫ ا''ألمور ب'''مقاصدها‬ini diinduksi dari hadis
yang sudah populer di kalangan umat Islam,
di mana Nabi SAW bersabda:
 ‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كان هجرته لدنيا‬

‫يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ماهجر‬


 ‫( (إليه )رواه ستة‬al-Suyuthi 1987:7)
"Sesungguhnya setiap amal itu tergantung
kepada niatnya, dan sesungguhnya seseorang
akan mendapatkan seperti yang ia niatkan.
Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka ia (akan mendapatkan)
hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrah karena dunia, maka
ia juga akan mendapatkannya, atau karena
wanita, ia akan (dapat) menikahinya. (oleh
karena itu) hijrah itu (tergantung) ke mana
tujuannya berhijrah. (HR Sittah).
Diletakkannya kaidah tersebut dalam
naungan hadis Nabi di atas adalah dalam
rangka memberikan penjelasan mengenai
berbagai tindakan dan perbuatan manusia
yang beragam dan berbeda dengan niat
(tujuan) masing-masing. Oleh karenanya
kaidah ini sejalan dengan apa yang dimaksud
dalam hadis di atas.
Kaidah al-umur bi maqashidiha ini selain
didukung oleh hadis tentang niat, juga
dideduksi dari ayat al-Qur`an yang relevan,
misalnya firman Allah SWT dalam surat al-
Baqarah ayat 225 yang artinya:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu
disebabkan (sumpahmu) yang disengaja
(untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun".
Dari kaidah ini lahir kaidah cabang sebagai
penjabarannya sebagaimana diungkapkan oleh
Imam Musbikin (Musbikin 2001:44-49), yaitu:
)‫ال ث'''وا'بإالب'''ا''لني‬
"Tidak ada pahala tanpa didahului oleh niat".
Misalnya ibadah puasa seseorang tidak ada
artinya jika tidak didahului oleh niat, artinya
untuk apa ia berpuasa, apakah ada syariat yang
memerintahkan berpuasa, dan sebagainya.
‫العبرة فى العقود للمقاصد والمعانى الللأللفاظ والمبانى‬
"Yang menjadi ukuran dalam suatu akad adalah
maksud [dari akad itu], bukan lafaz-lafaznya
dan bukan pula bentuk-bentuk perkataannya".
Misalnya dalam akad jual beli, yang menjadi patokan
sahnya jual beli bukan karena ada lafaz jual beli
dalam shighatnya, tetapi tercapainya maksud jual beli
karena satu pihak menyerahkan uang dan satu pihak
lagi menyerahkan benda yang menjadi objek jual beli.
)‫مايشترط ف'''يه' ا''لتعيينف'''ا''لخطأ ف'''يه' مبطل‬
"Pada suatu amal yang disyaratkan menyatakan niat
dengan jelas, maka kekeliruan [dalam
menyatakannya] membatalkan amalan". Misalnya
dalam melaksanakan akad pernikahan, di mana
dalam pernikahan harus dengan niat yang baik,
membina rumah tangga bahagia dan kekal. Jika
dalam akad terdapat niat untuk bermain-main dalam
nikah, atau niat untuk menceraikannnya setelah akad,
maka akadnya tidak diakui oleh syara'.
) ‫مقاصد ا''للفظ علىن''ية ا''لالفظ‬
"Maksud suatu lafaz [ucapan] itu tergantung
kepada orang yang mengatakannya".
Misalnya dalam melakukan thalaq dengan
kinayah [sindiran], maka yang menjadi
patokan dalam hukum adalah niat orang yang
menthalaq, karena bisa saja ucapannya tidak
dipahami menurut kebiasaan sebagai ucapan
thalaq.
2. Kaidah Kedua, ‫ا''لمشقة ت'''جلبا''لتيسير‬
Maksudnya, kesulitan itu membawa kepada
kemudahan. Kaidah ini memberi pengertian
bahwa kesulitan itu menjadi sebab bagi
kemudahan, dan harus ada toleransi pada
saat ada kesempitan di dalam melakukan
suatu perintah agama. Kesulitan yang
dimaksud di sini tentunya kesulitan yang di
luar kebiasaan yang biasa, bukan kesulitan
yang biasa-biasa saja. Hal ini agar tidak
terjadi perbuatan yang berkonotasi
mempermudah-mudah agama.
Al-Syathibiy membagi kesulitan itu kepada dua
bentuk. Yang pertama adalah al-masyaqqah
al-mu'tadah atau al-ma'lufah (kesulitan biasa),
yaitu masyaqqah yang dialami manusia di
mana ia mampu menghadapinya tanpa
mendapatkan kemudaratan. Kesulitan jenis ini
tidaklah membuat keringanan hukum dalam
hukum syara', dan biasanya tidak melepaskan
ibadah. Taklif (pembebanan) dengan berbagai
tuntutan syara' yang di dalamnya terdapat
kesulitan al-mu'tadah merupakan hal yang
benar-benar harus dilakukan karena setiap
aktifitas manusia tidak akan pernah terlepas
dari kesulitan (al-Syathibi
Yang kedua, al-masyaqqah ghair al-
mu'tadah[yang tak biasa], yaitu kesulitan yang
lebih berat yang biasanya tidak terpikul oleh
manusia, seperti menjalankannya dapat
merusak jiwa, merusak tata kehidupan,
menghambat terlaksananya pekerjaan-
pekerjaan yang bermanfaat secara rasional.
Sebenarnya adanya taklif dalam kondisi seperti
ini tidak ada halangannya, tetapi dalam hukum
syara' tidak pernah ada taklif yang
mengandung kesulitan dalam bentuk ini,
seperti tidak pernah ada taklif untuk
melakukan puasa sepanjang waktu atau shalat
sepanjang malam
Kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir ini
diinduksi dari berbagai ayat al-Qur`an dan
hadis-hadis Nabi SAW, antara lain sebagai
berikut:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur."
Adapun hadis-hadis Nabi SAW yang
menginspirasi lahirnya kaidah ini di antaranya
dikutip dari Jalal al-Din al-Suyuthiy dalam
kitabnya al-Asybah wa al-Nazha`ir sebagai
berikut:
"Asal dari kaidah ini adalah hadis Nabi SAW
yang berbunyi ‫( ب'''عثتب'''ا''لحنفية ا''لسمحة‬Aku diutus
untuk agama yang membawa kemudahan)
yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab
Musnadnya, juga berasal dari riwayat Jabir ibn
Abd Allah, dari hadis riwayat Abu Umamah
dan al-Dailamiy dan juga dalam kitab
musnad al-Firdaus dari Aisyah ra.
3. Kaidah Ketiga, ‫ا''ليقيناليزا''لب'''ا''لشك‬
(Sesuatu yang sudah diyakini tidak dapat
dihapuskan dengan suatu keraguan). Contoh
yang populer dalam hal ini adalah jika
seseorang telah berwudhu` namun ia merasa
ragu apakah ia telah buang angina atau
belum, maka dalam kasus ini keraguannya itu
tidak bias mengalahkan keyakinan bahwa
wudhu`nya masih utuh (belum batal), sebab
dipastikan ia telah berwudhu`, sedangkan
status buang anginnya masih diragukan.
Sumber kaidah ini antara lain tercantum dalam
hadis Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh al-
Suyuthiy (1987:38) sebagai berikut:
"Sabda Rasulullah SAW, "Apabila seseorang
merasakan sesuatu terhadap perutnya, lalu ia
ragu [dengan yang ia rasaakan itu], apakah
telah keluar sesuatu {buang angin] atau tidak,
maka janganlah dulu keluar dari masjid [untuk
berwudhu`] sampai betul-betul terdengar suara
[kentut] atau mencium aromanya. Hadis ini
bersumber dari riwayat dalam dua kitab shahih
[Bukhariy dan Muslim], bahwa ada seseorang
yang melapor kepada Nabi SAW yang mengira ia
telah mengalami
sesuatu [buang angin] dalam shalatnya, lalu Nabi SAW
bersabda, "Janganlah beranjak [dari tempat shalat]
sampai betul-betul terdengar suara [kentut] atau terasa
baunya". Imam Muslim juga meriwayatkan sabda Nabi
SAW yang berbunyi, "Jika seseorang ragu dalam
shalatnya apakah sudah berada pada rakaat ketiga atau
keempat, maka abaikan keraguan [rakaat keempat] dan
pertahankan apa yang meyakinkan [rakaat ketiga]. Al-
Turmudzi juga meriwayatkan hadis yang berbunyi, "Jika
seseorang lupa dalam shalatnya apakah satu rakaat
atau sudah dua rakaat, maka tetapkan [hati] pada satu
rakaat, jika ia ragu apakah dua atau tiga rakaat, maka
tetapkan [hati] pada dua rakaat, dan jika ia lupa apakah
tiga atau empat rakaat, maka tetapkan [hati] pada tiga
rakaat, dan akhirilah shalat dengan melakukan dua kali
sujud sebelum salam".
4. Kaidah keempat,‫ا''لضرر ي''زا''ل‬
(Segala bentuk kemudaratan harus
dihilangkan). Kaidah ini menempati posisi
yang penting dan agung dalam khzanah fikih
Islam. Kaidah ini memiliki ruang lingkup yang
luas pada seluruh bab-bab fikih. Hal ini
karena tujuan hukum Islam itu adalah
melahirkan manfaat dan menolak segala yang
berpotensi menimbulkan kemudaratan yang
dapat menimpa agama, jiwa, harta, akal, dan
nasab [dharuriyah al-khamsah).
Kaidah al-dharar yuzalu ini bersumber dari hadis
Nabi SAW sebagai berikut: (Musbikin 2001:288)
"Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Tidak
boleh memudharatkan orang lain dan tidak boleh
dimudharatkan oleh orang lain, siapa yang
memberi kemudharatan kepada orang lain, maka
Allah pun akan membalasnya dengan
kemudharatan, dan siapa yang mempersulit
orang lain, Allah pun akan mempersulitnya (HR
Hakim dari Abu Sa'id al-Khudriy). Dalam kitab
Shahih Bukhariy hadis ini diriwayatkan dengan
lafaz, "Siapa yang mempersulit orang lain, maka
Allah akan mempersulitnya pada hari kiamat
nanti".
5. Kaidah kelima, ‫ا''لع'ادة محكمة‬
(Adat itu dapat menjadi dasar dalam
menetapkan hukum). Sebelumnya perlu
diketahui bahwa adat ialah apa yang telah
dikenal orang sehingga menjadi suatu
kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan
mereka (Hasaballah 1971:311).
Kaidah ini bersumber dari dari teks-teks ayat
al-Qur`an dan juga hadis-haids Nabi SAW. Di
antara ayat-ayat al-Qur`an yang
mengindikasikan adat sebagai dasar
penetapan hukum di antaranya:
"… dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS al-Baqarah: 228)

Anda mungkin juga menyukai