Anda di halaman 1dari 4

• Isim = kata yang bermakna dengan sendirinya, seperti ٌ‫ كتاب‬maknanya sudah

jelas.

• Harf = kata yang tidak bermakna dengan sendirinya, seperti ‫ ِمن‬tidak

bermakna kecuali bersama isim. Meskipun banyak yang mengartikannya

“dari” tapi itu hanya makna perkiraan karena itulah makna asalnya: ibtida.

Misal ada yang mengatakan: ‫ ذهبتُ ٌإلىٌالمدينة‬kemudian ditanya: ‫ ِمن؟‬secara nahwu

salah. Padahal faktanya ‫ ٌِمن‬tidak selalu bermakna “dari”.

• Disebutkan oleh Ibnu Hisyam maknanya ada 15:

• Jika setelahnya isim makan maka maknanya “dari”.

• Jika setelahnya dhomir maka maknanya “diantara”.

• Jika setelahnya isim jinsi nakiroh maknanya bayanul jinsi: ‫عنديٌخاتمٌمنٌحديد‬

• Jika setelahnya dzhorof zaman bermakna ‫في‬: ‫إذاٌنوديٌللصالةٌمنٌيومٌالجمعة‬

• Jika setelahnya marfu’at maknanya taukid: ٌ‫ماٌجاءنيٌمنٌأحد‬

• Karena isim bermakna dengan sendirinya maka ia memiliki fungsi di dalam

kalimat. Karena ia memiliki fungsi di dalam kalimat, maka ia mu’rob untuk

menunjukkan fungsi tersebut. Rofa’ untuk menunjukkan bahwa ia inti

kalimat. Nashob untuk menunjukkan bahwa ia ekstra dalam kalimat. Jarr

kadang menunjukkan inti dan kadang menunjukkan tambahan.

• Sebaliknya harf, karena ia tidak bermakna dengan sendirinya maka ia tidak

memiliki fungsi apapun di dalam kalimat, kecuali ketika ia sudah dilengkapi

dengan kata lain. Karena ia tidak memiliki fungsi dalam kalimat maka ia

berhak mabni.

• Bukti lainnya bahwa isim bermakna dengan sendirinya, misalnya ‫مؤمن‬


ِ orang

yang beriman: ia bisa diberi ta’nits sebagai makna tambahan nau’, bisa dibuat

mutsanna maupun jamak sebagai makna tambahan ‘adad, bisa diberi tanda

ta’rif baik dengan al atau idhofah sebagai makna tambahan ta’yin.

• Sedangkan harf tidak bisa karena makna intinya saja belum ada. Sehingga

ia tidak bisa diberi ta’nits, tidak bisa dibuat mutsanna atau jamak, tidak
bisa bersambung dengan al atau mudhof ilaih, ia tidak bisa diberi tambahan

makna karena makna pokoknya saja belum punya.

• Bagaimana dengan fi’il? Apakah ia bermakna dengan sendirinya atau tidak?

• Ulama berselisih pendapat. Dan saya memilih fi’il membutuhkan isim agar ia

bisa bermakna.

• Soal 1: Bukankah fi’il memiliki makna hadats dan zaman?

• Jawab: Iya betul ia memiliki makna hadats, dan makna hadats tersebut akan

muncul hanya ketika bersambung dengan isim sebagaimana ‫ ِمن‬bermakna

ibtida ketika bersambung dengan isim.

• Soal 2: bukankah fi’il memiliki fungsi di dalam kalimat sebagaimana isim?

• Jawab: iya fi’il memiliki fungsi di dalam kalimat, kata Sibawaih fungsi fi’il

adalah predikat, ia tidak bisa menjadi subjek, objek, keterangan. Dan fungsi

predikat adalah fungsi yang selalu bersandar kepada subjek, itu sebabnya

predikat disebut musnad (yang bersandar), sedangkan subjek disebut

musnad ilaih (tempat bersandar). Karena tidak mungkin ada hadats yang

terjadi dengan sendirinya tanpa ada sesuatu yang melakukannya.

• Itu sebabnya fi’il berhak mabni karena tidak membutuhkan akhiran yang

berbeda untuk membedakan fungsi satu fi’il dengan fi’il yang lain.

• Soal 3: mengapa fi’il ada yang mu’rob?

• Jawab: karena lafadznya mirip isim, semata-mata bukan karena fungsinya

di dalam kalimat.

• Soal 4: kebutuhan fi’il kepada isim tidak sama dengan kebutuhan harf

kepada isim, sebab fi’il bersama isim menjadi kalimat, sedangkan harf

bersama isim tidak menjadi kalimat. Maka semestinya fi’il bermakna dengan

sendirinya, bermakna hadats dan zaman.

• Jawab: Maka perlu kita bedakan antara kebutuhan fi’il kepada isim untuk

menggenapi maknanya, dengan kebutuhan isim kepada fi’il untuk menjadi

sebuah kalimat. Saya beri ilustrasi: jika ada 2 orang mau membeli motor
saya, anggap saja A dan B sama-sama membutuhkan motor saya, namun saya

memilih A sebagai pembeli dengan beberapa alasan. Dengan saya memilih A

sebagai pembeli tidak mempengaruhi kebutuhan keduanya kepada motor

saya. Begitu juga dengan isim, kebutuhan ia kepada fi’il untuk melengkapi

unsur kalimat tidak mempengaruhi kebutuhan fi’il dan harf kepada isim

untuk melengkapi maknanya. 2 hal yang berbeda.

• Soal 5: apa buktinya bahwa fi’il membutuhkan isim untuk melengkapi

maknanya?

• Jawab: buktinya adalah fi’il selalu beramal kepada isim, sebagaimana

sebagian harf beramal kepada isim yang menyempurnakan maknanya. Amalan

fi’il kepada isim (yaitu merofa’kan isim dan menashobkan maf’ul bih) adalah

simbol bahwa maknanya sudah sempurna. Karena setiap perubahan lafadz

menunjukkan makna. Sebagaimana huruf jarr selalu beramal kepada isim

yang menyempurnakan maknanya yaitu isim majrur. Adapun fi’il pasti

beramal, karena ia selalu membutuhkan isim.

• Itulah sebabnya mengapa isim pada asalnya tidak beramal, dikarenakan

makna isim sudah sempurna dengan sendirinya. Kecuali isim-isim yang belum

sempurna maknanya, maka ia bisa beramal, seperti mudhof beramal kepada

mudhof ilaih, mumayyaz mufrod beramal kepada tamyiz.

• Soal 6: mengapa ada harf yang tidak beramal? Apakah artinya harf tersebut

bisa bermakna dengan sendirinya?

• Jawab: Jika kita dapati ada harf yang tidak beramal, maka sejatinya harf

tersebut masuk kepada kalimat yang sudah sempurna sebelumnya,1 seperti

huruf istifham, lam ibtida. Atau huruf tersebut memberi makna tambahan

kepada isim, seperti harf ta’rif, alif itsnain, wawul jam’i, harf ta’nits. Atau

1
Nataijul fikri: 59
kepada fi’il, seperti harf tanfis, qod. Dan asalnya amalan harf kepada isim

adalah menjarrkan, sedangkan kepada fi’il menjazmkan.

• Soal 7: mengapa ada harf yang menashobkan isim?

• Jawab: ada 3 kemungkinan:

1. ketika huruf tersebut beramal bersama-sama dengan fi’il seperti wawul

ma’iyyah atau adawatul istitsna.

2. ketika huruf tersebut menggantikan fi’il seperti adawatun nida.

3. ketika huruf tersebut menyerupai fi’il seperti inna wa akhowatuha atau

akhowatu laisa.

• Soal 8: mengapa ada harf yang menashobkan fi’il?

• Jawab: sebelumnya perlu diketahui huruf-huruf yang menjazmkan fi’il

adalah huruf yang mampu mengubah waktu fi’il. Adawatul jazm terbagi

menjadi 2 kelompok: menjazmkan 1 fi’il dan 2 fi’il. Keduanya memiliki prinsip

yang sama yaitu mengubah waktu fi’ilnya. ‫ لم‬mengubah mustaqbal menjadi

madhi, sedangkan ‫ إن‬mengubah madhi menjadi mustaqbal. Karena kemampuan

adawatul jazm yang bisa mengubah waktu maka diberikan amalan khas fi’il

yaitu menjazmkan.

• Berbeda dengan adawatun nashbi dimana asalnya adalah ‫ أن‬dimana fi’il

mudhori setelahnya tetap bermakna mustaqbal maka tanda i’robnya pun

tanda yang ringan. Disamping itu ia menashobkan fi’il karena lafadznya mirip

dengan ٌ‫ أن‬dimana ia menashobkan isim. Dan nawashib yang lain juga

mengandung makna ‫ أن‬bahkan kata al-Khalil ‫ لن‬itu berasal dari kata ٌ‫الٌأن‬.

• Maka kesimpulannya fi’il sebagaimana harf ia tidak bermakna melainkan

membutuhkan isim2.

2
ibid

Anda mungkin juga menyukai