Anda di halaman 1dari 34

MUDHARABAH PERBANKAN SYARIAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah yang diampu oleh

Bapak Ahmad Fauzi, M.H.I

Di susun oleh :

Kelompok 2

1. Wulan Wahyu Ning Tias (1860402231039)

2. Zulia Alfi Nur Aini (1860402231040)

3. Manda Nala Amprita (1860402231041)

EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

FEBRUARI 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia, serta
taufik hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah dengan tema
“Mudharabah Perbankan Syariah” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya, baik
dari segi isi maupun penulisan. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Ahmad Fauzi,
M.H.I selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Muamalah. Dan tidak lupa pula penulis
ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan atas kerjasamanya sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini.
Penulis sangat berharap karya tulis ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi yang penulis paparkan. Sekiranya karya tulis
yang disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Bahkan
kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Dan semoga dengan selesainnya makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua.

Tulungagung, 15 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ..............................................................................................................................

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1

C. Tujuan............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

A. Pengertian Mudharabah ................................................................................................. 3

B. Dasar Hukum Mudharabah ............................................................................................ 4

C. Jenis-jenis Mudharabah .................................................................................................. 6

D. Rukun Dan Syarat Mudharabah ..................................................................................... 7

E. Mudharabah Berdasarkan Fatwa DSN ........................................................................... 9

F. Mudharabah Berdasarkan Standar OJK.......................................................................... 12

G. Skema Mudharabah........................................................................................................ 15

H. Standar Akuntansi Mudharabah ..................................................................................... 23

I. Akad Notaris .................................................................................................................... 24

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 26

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 26

B. Saran ............................................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mudharabah merupakan wahana utama bagi perbankan syariah untuk mobilisasi dana
masyarakat yang terserak dalam jumlah besar dan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara
lain fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha. Mudharabah merupakan salah satu akad
kerjasama kemitraan berdasarkan prinsip bagi hasil dilakukan sekurang-kurangnya oleh dua
pihak, dimana pihak pertama memiliki dan menyediakan modal, sedangkan pihak kedua
memiliki keahlian dan bertanggungjawab atas pengelolaan dana atau manajemen usaha halal
tertentu disebut mudharib. Konsep ini terdapat unsur keadilan, dimana tidak ada suatu pihak
yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara pemilik dana dan pengelola dana.
Distribusi pembagian hasil usaha hanya didasarkan pada akad mudharabah, dimana pembagian
hasil usaha didasarkan pada nisbah yang telah disepakati di awal akad. Apabila terjadi kerugian
dan kerugian tersebut merupakan konsekuensi bisnis maka pihak penyedia dana akan
menanggung kerugian manakala mudharib akan menanggung kerugian managerial skill dan
waktu serta nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya. Pihak yang melakukan
perhitungan distribusi hasil usaha adalah “selalu mudharib”, karena salah satu aturan dalam
prinsip mudharabah mutlaqah pemilik dana memberi kuasa penuh kepada mudharib untuk
mengelola dana untuk mendapatkan hasil usaha. Kepercayaan ini penting dalam akad
mudharabah karena pemilik dana tidak boleh ikut campur di dalam manajemen proyek yang
dibiayai dengan dana pemilik dana tersebut, kecuali sebatas memberikan saran-saran dan
melakukan pengawasan pada pengelola dana. Oleh karena itu, mudharib sebagai pihak yang
diberi amanah dan dipercaya untuk mengelola usaha hendaknya dapat meneladani sifat
Rasulullah SAW yaitu shiddiq, tabligh, amanah, dan fathonah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Dari Mudharabah?

2. Jelaskan Dasar Hukum Mudharabah?

3. Sebutkan Jenis-jenis Mudharabah?

1
4. Sebutkan Rukun Dan Syarat Mudharabah?

5. Beri Penjelasan Mengenai Mudharabah Berdasarkan Fatwa DSN?

6. Beri Penjelasan Mengenai Mudharabah Berdasarkan Standar OJK?

7. Bagaimana Skema Mudharabah?

8. Jelaskan Standar Akuntansi Mudharabah?

9. Jelaskan Tentang Akad Notaris?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari mudharabah.

2. Untuk mengetahui dasar hukum mudharabah.

3. Untuk mengetahui jenis-jenis mudharabah.

4. Untuk mengetahui rukun dan syarat mudharabah.

5. Untuk mengetahui mudharabah berdasarkan fatwa DSN.

6. Untuk mengetahui mudharabah berdasarkan standar OJK.

7. Untuk mengetahui penjelasam dari skema mudharabah.

8. Untuk mengetahui standar akuntansi mudharabah.

9. Untuk mengetahui penjelasan dari akad notaris.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata al-darbu fi ardhi yaitu berpergian untuk urusan
perdagangan. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u
(potongan), karena pemilik pemotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian. Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak yang mana salah
satu pihak menyerahkan uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan oleh pihak yang melakukan akad. Menurut istilah mudharabah
dikemukakan oleh para ulama:

1. Menurut fuqaha adalah akad antara dua pihak orang saling menanggung, salah satu pihak
menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah
ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat yang telah
ditentukan.

2. Hanafiyah menurutnya mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba) karena harta yang diserahkan pada orang lain yang
punya jasa dalam mengelola harta. Maka mudharabah adalah akad syirkah dalam laba oleh
pemilik harta dan pemilik jasa.

3. Malikiyah berpendapat mudharabah adalah akad perwakilan, dimana pemilik harta


mengeluarkan hartanya kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang
ditentukan (emas atau perak).

4. Imam Hanabilah menyatakan mudharabah adalah ibarat pemilik harta menyerahkan


hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian dari
keuntungan yang diketahui.

5. Ulama Syafi’i berpendapat mudharabbah adalah akad yang menentukan seseorang


menyerahkan hartanya kepada yang lain ntuk ditijarahkan.1

1
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 135-137

3
B. Dasar Hukum Mudharabah

Dasar hukum mudharabah yaitu Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an tidak disebutkan dengan
jelas tentang mudharabah, walaupun demikian ulama’ di kalangan kaum muslimin telah
sepakat tentang bolehnya melakukan kerjasama semacam perniagaan ini. Istilah mudharabah
sesunggungnya muncul pada masa Nabi Muhammad, tapi jauh sebelum Nabi Muhammad lahir
pun sudah ada. Kerjasama perniagaan ini di zaman Jahiliyah telah dikenal kemudian
dilestarikan oleh Islam karena membawa kemaslahatan. Mudharabah menurut ulama fiqh
adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk
diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut
kesepakatan bersama. Hal ini menunjukan bahwa mudharabah itu suatu bentuk kerjasama
dalam bidang perniagaan yang mana salah satu pihak menyerahkan modal dan pihak lain untuk
dikelola dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan dan bila rugi ditanggung oleh pemilik
modal. Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena ada kebaikannya yaitu saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Atas dasar
saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberi kesempatan untuk saling
bekerja sama antara pemilik modal dengan seorang yang trampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal.

Dasar hukum mudharabah yang kedua adalah al-Sunnah. Selain al-Quran, hadits sebagai
salah satu sumber hukum Islam juga memberikan landasan tentang mudharabah, atau Qiradh.
Adapun hadits tentang mudharabah atau Qirdh yang artinya; “Hadits dari Hasan bin Ali al-
Khallal, Hadits dari Basyar bin Tsabit alBazar, hadits dari Natsir bin al-Qosim dari
Abdurrahman (Abdurrohim) bin Dawud dari Shalih bin Shuhaib dari Ayahnya, berkata
rosulullah SAW, bersabda: Tiga hal yang didalamnya ada berkah, jual beli yang temponya
tertentu, muqaradlah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur antara burr dengan syair
untuk rumahtangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

Dasar mudharabah yang ketiga adalah Ijma’, Berdasarkan Ijma’ golongan sahabat yang
sesungguhnya tidak menolak harta anak yatim untuk dilakukan mudharabah yang berdasarkan
pada ijtihad Umar bin Khatab.Diriwayatkan oleh Abdillah bin Zaid bin Aslam yang
mengatakani bahwa Abdullah dan Ubaidillah Purta-putra Umar bin Khatab r.a. keluar bersama
pasukan Irak. Ketika mereka kembali, mereka singgah pada bawahan Umar, yaitu Musa al-
Asya’ri, Gubernur Bashrah ia memerima mereka dengan senang hati dan berkata, sekiranya
aku dapat memberikan pekerjaan kepada kalian yang bermanfaat, aku akan melakukannya

4
kemudian ia berkata: sebetulnya bagian ini adalah sebagian dari harta Allah yang aku ingin
kirimkan kepada Amirulmu’minin. Aku pinjamkan kalian untuk dipakai membeli barang yang
ada di irak. Kemudian kalian jual diMadinah. Kalian serahkan modal pokoknya kepada
Amirulmu’minin, dengan demikian kalianmendapatkan keuntungan keduanya berkata; kami
senang melakukannya, kemudian Abu Musa melakukannya dan menulis surat kepada Umar
agar beliau mengambil harta dari keduanya. Setelah mereka tiba, mereka menjual barang
tersebut dan mendapatkan keuntungan, Umar berkata: Adakah semua pasukan telah pinjamkan
uang seperti kamu? Mereka menjawab tidak, kemudian Umar berkata: Dua anak
Amirulmu’minin, karena mereka meminjamkan kepada keduanya, serahkanlah harta dan
labanya. Abdullah diam saja, tetapi Ubaidillah menjawab: Wahai Amirulmu’minin, kalau harta
itu binasa (habis) kami menjaminnya. Umar terus berkata: serahkanlah, Abdullah diam saja
Dan Ubaidillah tetap mendebatkannya. Salah seorang yang hadir dimajelis Umar tersebut
berkata: Wahai Amirulmu’minin, bagaimana sekiranya harta itu anda anggap Qiradh? Umar
lantas menyetujui pendapat ini dan mengambil modal berfikut setengah dari labanya.

Dasar mudharabah yang keempat adalah Qiyas. mudharabah dapat diqiyaskan sebagi
bentuk interaksi antara sesama manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial,
kebutuhan akan kerjasama antara satu pihak dengan pihak lain guna meningkatkan taraf
perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan lain, tidak bisa diabaikan.
Kenyataan menunjukkan bahwa diantara sebagian manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa
menjalankan usahausaha produktif, tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang
mampu dengan jalan mengalihkan sebagian modalnya kepada pihak yang memerlukan. Disisi
lain, tidak jarang pula ditemui orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan berusaha
secara produktif, tetapi tidak memiliki atau keterangan modal usaha. Berdasarkan kenyataan
itu, sangat diperlukan adanya kerjasama pemilik modal dengan orang-orang yang tidak
mempunyai atau kekurangan modal. Pada bentuk kerjasama seperti ini, pihak miskin yang
kekurangan modal itu akan sangat terbantu, dan para pemilik modalpun tidak pula dirugikan
karena pemindahan modalnya kepada pihak lain tersebut.2

2
Helmi Karim, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993) hal. 12 - 13

5
C. Jenis-jenis Mudharabah

Secara umum, berdasarkan kewenangan yang diberikan pada mudharib, akad


mudharabah yang dilakukan oleh pemilik modal (shahibul mal) dengan pekerja (mudharib),
mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Mudharabah Muthlaqah yaitu mudharabah tanpa syarat, pekerja bebas mengolah modal itu
dengan usaha apa saja yang menurut perhitungannya akan mendatangkan keuntungan dari arah
mana saja yang diinginkan. Misalnya jenis barang apa saja, didaerah mana saja, dengan siapa
saja, asal saja apa yang dilakukan itu diperkirakan akan mendapatkan keuntungan. Mudharib
diberikan otoritas oleh shahibul mal untuk menginvestasikan modal ke dalam usaha yang dirasa
cocok dan tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu.3

2. Mudharabah Muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat- syarat tertentu, pekerja
mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian yang dikemukanan oleh pemilik
modal. Misalnya harus memperdagangkan barang-barang tertentu, di daerah tertentu, dan
membeli barang pada toko (pabrik) tertentu. 58 Shahibul mal boleh melakukan hal ini guna
menyelamatkan modalnya reisiko kerugian. Apabila mudharib melanggar syarat-
syarat/batasan maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. 4 Dalam
praktik perbankan syariah modern, kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyadah yaitu :

a. Mudharabah muqayyadah on balance sheet Mudharabah muqayyadah on balance sheet


(investasi terikat) yaitu aliran dana dari shahibul mal kepada mudharib dan shahibul mal
mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor tertentu,
misalnya pertanian, pertambangan.59

b. Mudharabah muqayyadah of balance sheet Mudharabah muqayyadah of balance sheet ini


merupakan jenis mudharabah di mana penyaluran dana mudharabah langsung kepada
pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang
mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. 60 Pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan
usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.5

3
Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan
sosial), Bogor : Ghalia Indonesia, 2012, hlm. 143.
4
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 172.
5
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : PT RajaGrafino Persada,
2014, hlm. 212.

6
D. Rukun Dan Syarat Mudharabah

Mengenai rukun akad mudharabah terdapat perbedaan pandangan antara para ulama’
(jumhur ulama’). Menurut mazdhab Hanafi (al-Hanafiyah) dan Hambali (al-Hanabilah) yang
menjadi rukun akad mudharabah adalah ijab dan qabul. Secara umum, jumhur ulama’
menyatakan bahwa rukun dan syarat mudharabah terdiri atas:

1. Ijab dan qabul

Ijab dan Qabul yaitu persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip
antaradhin minkum. Disini kedua belah pihak secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri
dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan
dana, sementara pelaksana usaha setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Peryataan kehendak yang berupa Ijab dan Qabul antara kedua belah pihak memiliki syarat-
syarat yaitu:

a. Ijab dan Qabul itu harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan
mudharabah. Dalam menjelaskan maksud tersebut bisa menggunakan kata mudharabah,
Qiradh, Muqaradhah, Muamalah, atau semua kata yang semakna dengannya.

b. Ijab dan Qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama sampai dan diketahui
oleh pihak kedua, artinya ijab yang diucapkan pihak pertama harus diterima dan disetujui
oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaannya.

c. Ijab dan Qabul harus sesuai maksud pihak pertama cocok dengan keinginan pihak
kedua.6

2. Dua orang yang melakukan kerjasama (al-’Aqidain)

Dalam akad mudharabah harus ada mininmal dua pelaku pihak pertama bertindak
sebagai pemilik modal “Shahib al-mal”, sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana
usaha “Mudharib atau ‘Amil”. Para pihak shahib al-mal dan mudharib disyaratkan:

a. Cakap bertindak hukum secara Syar’i, artinya shahib al-mal memiliki kapasitas untuk
menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi pengelola.

6
Adiwarman karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: The International Institut Of
Islamic Thought, 2003), hlm.182

7
b. Memiliki kewenangan mewakilkan atau memberi kuasa dan menerima pemberian
kuasa, karena penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal
merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal tersebut.

c. Pemilik modal (shahib al-mal) adalah orang yang mempunyai kebebasan memilih,
artinya tidak dalam keadaan terpaksa atau kehendaknya sendiri. Sedangkan bagi orang
yang menjalankan pekerjaannya (mudharib ) selain cakap, seperti yang telah disebutkan
diatas, ia juga harus merupakan orang yang jujur dan pandai berdagang, diharuskan juga
sebab ia memegang uang dengan izin pemilik modal, dengan kata lain ia adalah orang
yang membawa amanah dari orang yang memiliki harta tersebut.

3. Adanya modal.

Adapun dalam modal disyaratkan :

a. Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada waktu
dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba
karena ketidakjelasan jumlah.

b. Harus berupa uang bukan barang.

c. Uang bersifat tunai bukan hutang.

d. Modal diserahkan kepada pengelola secara langsung, tidak dengan cara diangsur.

e. Modal harusnya ditentukan dan merupakan hak pemilik untuk memungkinkannya terus
memberinya kepada mudharib dan seharusnya modal diserahkan kepada mudharib
suapaya dia tidak dapat menggunakannya sendiri.

4. Adanya pekerjaan atau usaha (Al-’aml)


Mengenai jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama’, khususnya Syafi’i dan Maliki,
mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang. Mereka menolak kegiatan usaha
yang berjenis kegiatan industri. Dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk
dalam kontrak persewaan yang mana semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh
pemilik modal. Sementara para pegawainya digaji secara tetap. Tetapi Abu Hanifah
membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajianan atau industri.
Seseorang dapat memberikan modalnya kepada pekerja yang akan digunakannya untuk
membeli bahan mentah untuk dibuat sebuah produk dan kemudian dijualnya. Tetapi hal
tersebut dapat dibenarkan sebab persekutuan antara modal dan tenaga terjadi dalam kegiatan

8
ini, bahkan mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat dipastikan sehingga bagi hasil
akan selalu dapat diwujudkan. Tampaknya semua kegiatan ekonomi itu mengandung unsur
perdagangan. Jadi sesungguhnya, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang
diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya menguntungkan etapi harus
sesuai dengan ketentuan Syari’ah sehingga merupakan usaha yang halal.7

5. Nisbah keuntungan

Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang
bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal
mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah
terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenaicara pembagian keuntungan.
Mengenai keuntungan disyaratkan:

1. Keuntungan dalam perjanjian mudharabah disyaratkan harus jelas ketentuannya,


misalnya setengah atau seperemapat dari keuntungan. Hal ini diharapkan ada kejelasan dan
kepastian diantara kedua belah pihak. Selain itu mudharib akan menerima bagiannya dari
keuntungan bukan dari jumlah modal.

2. Keuntungan dikhususkan kepada kedua belah pihak yang melakukan kerja sama oleh
karena itu tidak sah apabila sebagian keuntungan tersebut untuk orang yang selain mereka
(dua pihak) kecuali untuk kedua orang dari budak mereka apa yang disyaratkan untuk salah
satu dari dua orang budak haruslah dipadukan kepada apa yang disyaratkan untuk tuanya.

E. Mudharabah Berdasarkan Fatwa DSN


Akad mudharabah adalah jenis akad yang ditawarkan oleh bank syariah baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Berdasarkan pengertian dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), akad mudharabah diterapkan pada salah satu produk bank syariah untuk
pembiayaan. Pembiayaan mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola’. Keuntungan dari hasil usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam

7
Muhammad ridwan, Menejemen Baitul Maal wa Tanwil, (Yogyakarta: VII press, 2004), hlm. 60-64

9
akad yang telah disepakati dan harus dilakukan pada awal ketika akad mudharabah dilakukan
secara perjajian yang dilakukan antara kedua belah pihak.8

Berdasarkan fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan


Mudharabah (Qiradh), disebutkan sebagai berikut :

1. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain
untuk usaha yang produktif.

2. Pembiayaan oleh LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) yang membiayai 100%
kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan mudharib (nasabah) bertindak sebagai
pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana dan pembagian keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan
sesuai dengan syariah, dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan/ proyek tetapi
mempunyai hak dalam pembinaan dan pengawasan

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.

6. LKS sebagai pemilik dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali
jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian.

7. Prinsip dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak
melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.
Jaminan hanya dapat dicairkan apabila mudharib melakukan pelanggaran terhadap hal-hal
yang telah disepakati bersama dalam akad.

8
Marleni, I., & Kasnelly, S. 2019. Penerapan Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah. Jurnal
Ekonomi Syariah, 2 (2), hal. 4

10
Berdasarkan Fatwa No. 2/DSNMUI/IV/2000 tentang Tabungan disebutkan sebagai
berikut:

Pertama : Tabungan ada dua jenis:

1. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu tabungan yang berdasarkan
perhitungan bunga.

2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan
Wadi’ah.

Kedua : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:

1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.

2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha
yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.

3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam
akad pembukaan rekening.

5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan


nisbah keuntungan yang menjadi haknya.

6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan


yang bersangkutan.

Ketiga : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadi’ah:

1. Bersifat simpanan.

2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan.

3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.

11
F. Mudharabah Berdasarkan Standar OJK

1. Kualifikasi nasabah :

Mikro Kecil, yaitu :

a. Memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah).

b. Memiliki kekayaan bersih sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

c. Bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi baik langsung, maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha
besar.

d. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha
yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

Kualifikasi Menengah, yaitu :

a. Memiliki hasil penjualan tahunan ≥ Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta
rupiah) sampai dengan Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).

b. Memiliki kekayaan bersih antara di atas Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.

c. Diberikan kepada nasabah berbadan hukum, termasuk koperasi.

2. Persyaratan Nasabah Pembiayaan Mudharabah :


a. Usaha telah berjalan minimum selama 2 tahun untuk nasabah Walk in Client.

b. Menjalankan usaha selama minimum 1 tahun berdasarkan rekomendasi dari nasabah


eksisting serta memiliki manajemen yang baik.

c. Memiliki (Kollektibilitas 1) atau lancar selama 6 bulan berturut-turut dan apabila


memiliki pembiayaan di bank lain atau di lembaga pembiayaan lainnya.

d. Memiliki rekening Giro di Bank yang bersangkutan.

e. Usaha Nasabah memenuhi prinsipprinsip syariah dan tidak termasuk usaha yang masuk
dalam daftar hitam Bank Indonesia.

12
3. Ketentuan Transaksi Pembiayaan

a. Pembiayaan mudharabah yang diberikan oleh bank kepada nasabah untuk memenuhi
kebutuhan modal kerja dan investasi Nasabah yang disesuaikan dengan kebutuhan riil dan
kemampuan nasabah untuk mengelola pembiayaan.

b. Akad yang digunakan adalah mudharabah, yang merupakan akad kerjasama dalam suatu
usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal
sedangkan pihak kedua (mudharib) bertindak selaku pengelola dana yang mempunyai
keahlian sesuai usaha yang akan dijalankan.

c. Jumlah dana dari pembiayaan mudharabah harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk
tunai dan merupakan modal yang dikelola oleh Nasabah.

d. Bank sebagai pemilik modal dapat memberikan modal bantuan berupa barang/aset,
namun harus dinilai terlebih dahulu oleh pihak Bank sebelum akad ditandatangani. Jika
modal yang diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai
berdasarkan harga pasar yang berlaku dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.

e. Modal yang diberikan oleh Bank dalam pembiayaan mudharabah tidak boleh berbentuk
piutang.

f. Modal yang dibayarkan kepada mudharib dapat dibayarkan secara bertahap maupun
sesuai kesepakatan dalam akad.

g. Jangka waktu pemberian pembiayaan mudharabah, perlu dibatasi minimal sesuai jangka
waktu usaha atau mencapai break even.

h. Bank dan Nasabah menyepakati tata cara pengembalian modal serta nisbah bagi hasil
dalam pembagian keuntungan.

i. Pengelolaan usaha yang dijalankan, mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha
yang telah disepakati bersama yang sesuai dengan prinsip syariah, dimana pihak Bank
tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk
melakukan pembinaan dan pengarahan serta pengawasan terhadap usaha yang dikerjakan.

j. Keuntungan dari hasil usaha adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal,
dan diperuntukkan untuk kedua pihak yang berakad (Bank dan Nasabah).

13
k. Dalam keadaan usaha yang dijalankan oleh Nasabah mengalami kerugian yang bukan
disebabkan oleh kelalaian Nasabah, maka jumlah kerugian yang dapat ditanggung oleh
pemilik dana yaitu Bank (shahibul maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan
yang diberikan kepada Nasabah. Bank menanggung semua kerugian yang muncul dalam
pembiayaan mudharabah dan Nasabah sebagai mudharib tidak boleh menanggung
kerugian apapun yang terjadi dalam pembiayaan mudharabah tersebut.

l. Nasabah sebagai mudharib menanggung kerugian apabila kerugian tersebut disebabkan


oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan yang dilakukan
Nasabah dalam mengelola usaha yang dikerjakan.

m. Kelalaian atas pegelolaan dana Nasabah, dapat ditunjukkan oleh:

1) Nasabah mengingkari persyaratan yang terdapat di dalam akad.

2) Nasabah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh Nasabah.

3) Nasabah tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh Nasabah.

4) Hasil keputusan dari institusi yang berwenang.

n. Pembiayaan mudharabah tidak boleh mensyaratkan adanya jaminan, namun untuk


memastikan agar mudharib tidak melakukan penyimpangan dalam mengelola dana yang
diberikan oleh Bank sebagai shahibul maal, maka Bank dapat meminta jaminan kepada
mudharib atau pihak ketiga yang disepakati.

o. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti secara sah dan sesuai
hukum yang berlaku melakukan pelanggaran terhadap halhal yang telah disepakati
bersama oleh para pihak dalam akad.

4. Ketentuan Penentuan

Nisbah Mudharabah Keuntungan usaha yang dibagikan kepada Bank dari usaha yang
dijalankan oleh Nasabah harus sesuai nisbah bagi hasil yang telah disepakati. Nisbah bagi
hasil harus disepakati oleh para pihak di awal akad, karena termasuk dalam rukun yang
harus dipenuhi di dalam akad. Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan proyeksi
pendapatan. Pembayaran bagi hasil ditentukan berdasarkan nilai realisasi pendapatan, bukan
berdasarkan nilai proyeksi pendapatan. Penentuan nisbah bagi hasil dalam akad mudharabah
dapat menggunakan dua metode yakni profit sharing dan net revenue sharing. Hal ini
mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

14
Nomor 15 Tahun 2000 yang mengatur tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha sebagai
berikut :

a. Metode profit sharing adalah metode perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada hasil
bersih total pendapatan setelah dikurangi dengan beban atau biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh pendapatan tersebut.

b. Metode penghitungan bagi hasil menggunakan net revenue sharing adalah metode
perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada total seluruh pendapatan sebelum dikurangi
dengan beban atau biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

G. Skema Mudharabah

Koperasi syariah (shahibul mal) dan nasabah (mudharib) menyepakati akad


mudharabahuntuk usaha yang akan dijalankan. Modal 100 % dari koperasi syariah dan nasabah
sebagai pengelola usaha. Sebelum mencairkan dananya, koperasi syariah mengajukan agar
pembiayaan yang akan dilakukan tersebut diasuransikan. Proyek usaha menghasilkan laba atau
rugi. Jika laba, dibagi sesuai nisbah. Jika rugi ditanggung pemilik dana (bank). Disinilah
asuransi berperan. Koperasi syariah tidak mungkin menanggung sendiri kerugian tersebut.

Asuransi jenis ini termasuk dalam kategori asuransi umum/asuransi pembiayaan/asuransi


kerugian. Asuransi yang dikaitkan dengan lembaga keuangan lebih dititikberatkan pada
asuransi jaminan pembiayaan yang merupakan bidang asuransi kerugian (general insurance).
Asuransi pembiayaan adalah proteksi yang diberikan oleh pihak asuransi kepada bank
umum/lembaga pembiayaan keuangan atas resiko kegagalan debitur dalam melunasi fasilitas
pembiayaan atau pinjaman tunai (cash loan) seperti pembiayaan modal kerja, pembiayaan

15
perdagangan dan lain-lain yang diberikan oleh bank umum atau lembaga pembiayaan
keuangan.

Asuransi Pembiayaan merupakan proteksi yang diberikan selaku “PENANGGUNG”


kepada Bank/Lembaga Keuangan Non Bank selaku “TERTANGGUNG” atas risiko kegagalan
Debitur di dalam melunasi fasilitas pembiayaan atau pinjaman tunai (cash loan) yang diberikan
oleh Bank/Non Bank. Bersifat bi-party agreement antara Bank/Non Bank dengan Asuransi.
Dalam hal ini Debitur tidak termasuk para pihak dalam perjanjian pertanggungan Asuransi atas
pembiayaan yang disalurkan Bank / Non Bank kepada Debitur. Ganti Rugi Asuransi berkisar
antara 70% sampai dengan 80% dari besarnya Kerugian Bank / Non Bank.

Asuransi pembiayaan berkaitan erat dengan jasa keuangan terutama di bidang


pembiayaan yang selalu dikaitkan dengan jaminan pembiayaan berupa barang-barang bergerak
dan barang-barang tidak bergerak yang suatu saat dapat tertimpa risiko yang dapat
menyebabkan kerugian kepada pemilik barang dan lembaga keuangan sebagai pemberi
pembiayaan. Asuransi pembiayaan bertujuan :

1. Melindungi pemberi pembiayaan dari kemungkinan tidak diprolehnya kembali


pembiayaan yang diberikan kepada nasabahnya

2. Membantu kegiatan, pengarahan, dan keamanan perpembiayaanan baik pembiayaan


perbankan maupun pembiayaan lainnya di luar perbankan.

Pada asuransi pembiayaan yang menjadi tertanggung adalah bank umum/lembaga


pembiayaan keuangan yang mengajukan permintaan asuransi pembiayaan bukan debitur yang
meminjam dana dari bank umum atau lembaga pembiayaan keuangan tersebut. Dengan
demikian asuransi pembiayaan merupakan bi-party agreement dimana hanya ada 2 pihak yang
terlibat yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung dan bank umum/lembaga pembiayaan
sebagai tertanggung. Objek pertanggungan pada asuransi pembiayaan adalah risiko timbulnya
kerugian yang dialami oleh bank umum/ lembaga pembiayaan keuangan karena adanya
pembiayaan macet dari debitur.

Dengan bekerja sama pada asuransi maka diharapkan koperasi syariah tidak perlu
khawatir lagi dalam mengaplikasikan akad mudharabahdalam produk pembiayaannya.
Mengingat akad mudharabahmerupakan core product dari keuangan syariah. Hal ini dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat mengenai koperasi syariah yang menjalankan prinsip
prinsip sesuai dengan syariah Islam. Akad mudharabahmerupakan akad bagi hasil yang tidak

16
didapatkan pada keuangan konvensional, tidak seperti dengan akad mura>bah}ah (jual-beli)
yang konsepnya juga diterapkan pada keuangan konvensional. Proses pengajuan pembiayaan
mudharabah yaitu:

1. Pendaftaran Anggota

Nasabah harus menyediakan fotokopi kartu Identitas (KTP/SIM) kemudian membayar


biaya administrasi sebagai simpanan pokok sebesar Rp 5.000,00. Setelah itu mengisi
formulir permohonan menjadi anggota KSPPS. Adapun data pribadi yang harus diisi dalama
formulir tersebut adalah nama, alamat, nomor telepon, status pernikahan, jenis pekerjaan,
agama, tempat, tanggal lahir, identitas, nomor identitas, pendidikan, penghasilan, nama ibu
kandung, nama ahli waris, dan hubungan keluarga.

Tahap selanjutnya adalah mengisi formulir pembiayaan sesuai jenis akad mudharabahyang
dipilih. Adapun formulir yang disediakan pihak costumer service, sebagai berikut;

a. Data Diri Meliputi nama sesuai KTP, nomor KTP, alamat KTP, alamat tempat tinggal,
status kepemilikan, agama, jemaah masjid, nomor telepon, nama pasangan, nomor KTP
pasangang, alamat KTP pasangan, alamat tempat tinggal pasangan, agama pasangan, nomor
telepon pasangan, dan jumlah anak.

b. Data Penghasilan Meliputi tipe penghasilan, pekerjaan, nama perusahaan, jabatan,


gaji/penghasilan, tipe penghasilan pasangan, pekerjaan pasangan, nama perusahaan
pasangan, penghasilan pasangan, angsuran per bulan yang telah dimiliki, kebutuhan hidup
perbulan, nominal pengajuan, jangka waktu, dan penggunaan.

c. Data Jaminan Meliputi jenis jaminan, nomor sertifikat, alamat persil, jenis kendaraan (jika
berupa kendaraan), nomor polisi serta melampirkan fotokopi KTP suami istri rangkap dua,
Kartu Keluarga (KK), Surat Nikah, sertifikat, BPKB dan STNK, dan slip gaji dua bulan
terakhir.

2. Survei Pengajuan Pembiayaan Mudharabah

Pada tahap ini marketing lending akan menganalisis formulir pengajuan pembiayaan sesuai
dengan jenis pembiayaan mudharabah yang dikehendaki nasabah. Dalam hal ini, terbuka
ruang negosiasi anatara mudharib dan pihak marketing lending. Idealnya, pihak mudharib
harus membuat proposal yang akan dianalisis pihak marketing lending, namun tanpa

17
proposal juga diperbolehkan mengingat segmen pasar KSPPS adalah masyarakat mikro,
kecil dan menengah yang notabenenya minim ilmu administrasi.

Pihak marketing lending akan membantu calon mudarib dalam penyusunan proposal kerja
sama bisnis sesuai dengan kesepakatan bersama. Setelah itu marketing lending akan
mempresentasikan kesepakatan kerja sama mudarabah tersebut pada jajaran pengurus untuk
disetujui pendanaannya. Dalam hal ini, marketing lending harus meyakinkan pengurus agar
mau menyetujui kerja sama mudharabah tersebut.

3. Mekanisme Realisasi

Pembiayaan etelah disetujui maka nasabah akan diberikan buku tabungan yang berisi uang
pembiayaan. Biasanya akan cair setelah tiga hari kontrak kerja sama disetujui. Buku
tabungan tersebut juga berfungsi untuk melakukan pembiayaan pembayaran.

4. Mekanisme Pemeriksaan Usaha

Ada dua kategori dalam pemeriksaan pembiayaan, yakni jangka pendek dan jangka panjang.
Jika kontraknya merupakan kontrak jangka pendek maka pemeriksaannya cukup pada akhir
proyek. Pihak mudharib akan melaporkan semua kegiatan bisnisnya secara administrasi
ketika proyek telah selesai. Tidak ada pemeriksaan khusus dari pihak marketing. Hanya
ketika dibutuhkan saja, marketing akan mengamati jalannya proyek di lapangan. Jika
kontrak mudharabah-nya adalah jangka panjang, maka pihak marketing memeriksanya
sesuai dengan siklus perputaran uang atau keuntungan, bisa per hari, bulan atau beberapa
bulan. Tahap pemeriksaan ini sekaligus sebagai waktu penarikan bagi hasil. Pelaporan
dilakukan secara sederhana dan dilakukan dengan asas kepercayaan antara pihak KSPPS
dan mudharib. Namun hal ini sudah jarang dilakukan pihak KSPPS, kalaupun dilakukan,
modal yang dikeluarkan KSPPS tidaklah besar. Akad ini akan berjalan terus sampai modal
masih ada pada mudharib. Namun praktik seperti ini sudah jarang dipakai KSPPS, pihak
KSPPS lebih memilih kerja sama mudharabah jangka pendek berupa proyek maupun tender.
Praktik mudharabah jangka panjang sudah tidak dipakai lagi untuk saat ini. Model seperti
itu hanya dipakai pada periode awal-awal KSPPS berdiri, sebelum memiliki cabang.

5. Mekanisme Pembagian Nisbah

Semua akad mudharabah di KSPPS menggunakan model bagi hasil revenue sharing, baik
dalam hal pembiayaan maupun tabungan. Namun revenue sharing yang diterapkan tidak
seperti teori revenue sharing pada umumnya. Nisbah diambil dari keuntungan yang sudah

18
dikurangi biaya pokok namun belum dikurangi biaya operasional atau administrasi. Padahal
semestinya revenue sharing merupakan sistem bagi hasil yang tanpa pengurangan biaya
pokok dan operasional. Persentase nisbah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Selain itu, hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dengan cara
mengunakan konsep skema bagi hasil yang terbukti dapat meredam instabilitas sistem
keuangan, memperbaiki distribusi pendapatan dan dapat pula meningkatkan pertumbuhan
ekonomi melalui kuatnya hubungan antara sektor keuangan dan sektor riil pada penggunaan
skema bagi hasil dapat diperhitungkan dengan cara, yakni:

1. Skema bagi hasil revenue sharing

Skema Revenue Sharing System atau Sharing System for Based of Revenue adalah
system bagi hasil yang didasarkan atas pendapatan (revenue) yang diperoleh sebelum biaya-
biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Skema revenue sharing yang dijadikan dasar
perhitungan adalah penjualan/pendapatan usaha. Dengan demikian risiko yang dihadapi
pihak-pihak yang berkontrak rendah. Pemilik dana hanya menghadapi ketidakpastian atas
tinggi rendahnya pendapatan usaha dan tidak menghadapi ketidakpastian atas biaya usaha
(harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan dan biaya umum serta
administrasi). Rendahnya risiko pada skema revenue sharing tersebut tentunya disertai pula
dengan berkurangnya potensi bagi pemilik dana untuk menikmati surplus yang lebih tinggi
yang dikonstribusikan oleh efisiensi biaya-biaya usaha ataupun turunnya biaya-biaya
tersebut pada saat kegiatan usaha turun. Sementara menurut Perloff (2005), revenue sharing
akan memberikan insentif yang tidak tepat dan akan menurunkan laba gabungan.
Penyebabnya adalah skema bagi hasil seperti ini penjualan akan lebih kecil.9 Model bagi
hasil ini digunakan dengan beberapa pertimbangan:

a. Posisi lembaga pembiayaan pada saat negosiasi akad lebih kuat dari pada penerima
pembiayaan. Posisi ini berbalik setelah akad terjadi. Penerima pembiayaan lebih kuat dari
pada pemberi pembiayaan. Sebab, saat pembagian bagi hasil usaha penerima pembiayaan
berubah menjadi pemberi hasil usaha dan pemberi pembiayaan berubah menjadi penerima
hasil usaha.

9
Muhammad Nafiq, Bursa Efek & Investasi Syariah, (Jakarta: Serambi, Cet I, 2009), hal. 116.

19
b. Mengurangi moral hazard dari penerima pembiayaan yang akan merugikan pemberi
pembiayaan, misalnya manipulasi laporan keuangan yang cenderung membesarkan biaya
biaya yang dikeluarkan untuk menghindari pembayaran bagi hasil.

c. Antara penerima dan pemberi pembiayaan belum terbentuk hubungan saling percaya.

Skema Revenue sharing untuk sekarang ini dianggap sebagai system bagi hasil yang
paling efektif untuk mengantisipasi moral hazard sehingga Dewan Syariah Nasional (DSN)
dalam fatwanya No. 15/DSN-MUI/I/IX/2000 menetapkan bahwa bagi hasil boleh
dilaksanakan berdasarkan profit dan pendapatan pengelolaan dana yang diperoleh. Karena
pertimbangan demi kemaslahatan, sebaiknya system yang digunakan memang skema
revenue sharing. Pada praktiknya bagi hasil yang umum digunakan memang skema revenue
sharing karena modelnya yang sederhana dan mudah baik bagi pemilik maupun pengelola
dana. Dan dengan skema revenue sharing pula kemungkinan terjadinya hasil negatif dapat
dieliminir.10

Rumus Revenue Sharing:

Keterangan:

XRSS = Nisbah bagi hasil bagi penerima pembiayaan pada skema revenue sharing

YRSS = Nisbah bagi hasil bagi pemberi pembiayaan pada skema revenue sharing

HXRSS = besarnya pembayaran bagi hasil dari penerima pembiayaan kepada pemberi
pembiayaan.

rm = Tingkat pengembalian pasar dalam presentase.

N p = besarnya nilai pembiayaan yang diberikan dalam rupiah

10
Iggi Ahsin dalam Asfi Manzilati, Pembiayaan Murbahah Sebagai Prasyarat Pembiayaan
Mudharabah Dalam Kerangka The Generalized Others (Malang: Prosiding Simposium Nasional Sistem
Ekonomi Islam), hal. 28-29

20
Q = jumlah unit yang terjual satu periode atau kapasitas produksi dalam periode, atau
kapasitas produksi dalam satu periode satuan dalam unit. Periode yang dipakai umunya
periode tahunan

P = Harga persatuan unit produk dalam rupiah

M = Tingkat margin keuntungan per unit produk (mark up harga per unit produk) yang
diinginkan dalam persentase.

C = Total biaya per unit produk = variabel cost ditambah biaya tetap per unit produk (vc +
fc).

2. Skema Gross Profit Sharing


Dalam hal ini yang dijadikan dasar perhitungan dalam skema gross profit sharing
adalah laba kotor, yakni penjualan/ pendapatan usaha dikurangi dengan harga pokok
penjualan/ biaya produksi. Dengan skema tersebut, pihak-pihak yang berkontrak tidak
menghadapi ketidakpastian di sisi biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi. Oleh
karena itu risiko pada skema gross profit sharing tersebut lebih rendah dibandingkan pada
skema profit sharing. Namun tentunya potensi bagi pemilik dana untuk menikmati surplus
juga lebih rendah karena tidak dapat turut menikmati hasil dari efisiensi biaya penjualan dan
biaya umum dan administrasi, atau pun turunnya kedua jenis biaya usaha tersebut pada saat
kegiatan usaha turun.

Rumus Gross Profit Sharing:

3. Skema Net Profit Sharing


Dalam hal ini yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah profit yang diperoleh
dari usaha yang dibiayai dengan kredit atau pembiayaan. Profit merupakan selisih antara
penjualan/pendapatan usaha dan biaya-biaya usaha, baik berupa harga pokok
penjualan/biaya produksi, biaya penjualan, dan biaya umum dan administrasi. Penggunaan
istilah profit sharing dalam hal ini merujuk pula pada istilah profit and loss sharing,
mengingat besaran profit yang bisa bertanda positif (untung) atau negatif (rugi).

21
Ketidakpastian (hasil dan risiko) pada penggunaan skema profit sharing dapat dibedakan
dalam tiga area kategori, yakni:11

a. Penjualan/Pendapatan Usaha Dalam hal ini terdapat ketidakpastian naik turunnya


penjualan/pendapatan usaha, baik dalam volume maupun harganya. Hal tersebut dapat
diprediksi dari data penjualan/ pendapatan usaha periode sebelumnya dan analisis atas
kondisi perekonomian dan industri saat ini.

b. Harga Pokok Penjualan/biaya produksi Ketidakpastian berupa naik turunnya biaya bahan
baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead, baik yang terjadi karena naik turunnya harga
maupun tingkat efisiensi dan produktivitasnya. Hal tersebut dapat diprediksi melalui analisis
atas pergerakan harga dari beberapa komponen utama biaya produksi dan pengukuran
tingkat efisiensi dan produktivitas enterpreneur.

c. Biaya Penjualan dan biaya umum dan Administrasi Ketidakpastian berupa naik turunnya
biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi juga dapat disebabkan oleh faktor harga
dan tingkat efisiensinya. Dengan demikian pada skema profit sharing terdapat tiga kategori
dimana risiko kemungkinan timbul, dalam hal tersebutlah yang seringkali mendasari
pemikiran bahwa skema net profit sharing tersebut berisiko tinggi bagi pemilik dana.
Namun disisi lain, pada ketiga area kategori tersebut terdapat pula kemungkinan pemilik
dana bisa memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Misalnya, ketika volume dan harga
penjualan/pendapatan usaha naik dan harga bahan baku turun, meningkatnya efisiensi dan
produktivitas dalam menghasilkan produk dan turunnya biaya-biaya usaha. Dalam hal ini
penurunan biayabiaya usaha tidak hanya dapat diartikan sebagai turun dari sisi nominalnya,
tetapi juga bisa berupa turunnya dari sisi rasionya terhadap penjualan/pendapatan usaha.
Dengan demikian bisa saja dari sisi nominalnya tidak turun tapi dari sisi rasionya turun; hal
tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat efisiensi enterpreneur. Penurunan
biayabiaya usaha biasanya juga menyertai penurunan penjualan/ pendapat usaha sebagai
implikasi dari turunnya kegiatan usaha.12

Skema profit sharing merupakan skema bagi hasil yang seharusnya digunakan pada
perbankan syariah ataupun lembaga keuangan mikro syariah (BMT) seperti pembiayaan

11
Tarsidin, Bagi Hasil Konsep dan Analisis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2010),
hal. 21
12
Tarsidin, Bagi Hasil Konsep dan Analisis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2010),
hal. 22

22
mudharabah atau musyarakah. Pada pembiayaan mudharabah paling tidak skema gross
profit sharing. Namun saat ini skema profit sharing tersebut tidak banyak digunakan karena
sebagian bank syariah beranggapan bahwa risikomya tinggi. Disamping itu juga bank
syariah masih sulit mengaplikasikan skema profit sharing karena kenyataannya tidak
membangkitkan antusiasme yang besar pada para depositor yang takut kehilangan tabungan
mereka. Dimana Bank Syariah di Indonesia saat ini lebih banyak menggunakan skema
revenue sharing. Dalam menghitung terdapat tiga skema perhitungan nisbah berdasarkan
net profit sharing dapat dilakukan dengan varian:13

a. Berdasarkan laba operasi bersih dikurangi pajak dan tidak membayar zakat

b. Berdasarkan laba operasi bersih dikurangi zakat kemudian dikurangi pajak

c. Berdasarkan laba operasi bersih dikurangi pajak kemudian dikurangi zakat

H. Standar Akuntansi Mudharabah


Akuntansi untuk Mudharabah dan penghimpunan dana bentuk lainnya yang
menggunakan akad mudharabah pada dasarnya mengacu pada PSAK 105 tentang
akuntansi mudharabah, khususnya nyang terkait dengan akuntansi untuk penegelolaan
dana. Berdasarkan PSAK 105 paragraf 25, dinyatakan bahwa dana yang diterima
dari pemilik dana (nasabah) dalam akad mudharabahdiakui sebagai dana syirkahtemporer
sebesar jumlah kas atau nilai wajar asset non kas yang diterima. Pada akhir periode
akuntansi, dana syirkah temporer diakui sebagai nilai tercatatnya.14

13
Ibrahim Warde, Islamic Finance: Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, Terj. Andriadi Ramli,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 162.
14 Yaya, Martawireja, Abdurahim. Akuntansi Perbankan Syari’ah. (Jakarta: Salemba Empat, 2004) hal. 92-93

23
Ketentuan tentang akuntansi Mudaharabah diatur dalam PSAK 105 tahun 2007 tentang
Akuntansi mudharabah. Standar ini mengatur pengakuan dan pengukuran transaksi, baik
sisi pemilik dana maupun pengelola dana. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pengakuan dan pengukuran transaksi adalah mengenal dana mudharabah yang
disalurkan, jenis investasai berupa kas maupun non kas, penurunan nilai investasi
sebelum usaha dimulai, dana penghasilan usaha, kerugian akibat kelalaian pengelola, hak
pihak ketiga atas dana bagi hasil syirkah, penyertaan dana pengelola dalam skema
musyarakah, dan pembagian hasil pada mudharabah musyarakah. Perlakuan akuntansi
pembiayaan mudharabah meliputi:

a. Pengakuan akuntansi terhadap pembiayaan mudharabah yang terdiri dari pengakuan


investasi, pengakuan kerugian, pengakuan piutang dan pengakuan beban telah sesuai
dengan PSAK No. 59 dan PSAK No. 105.

b. Pengukuran akuntansi terhadap pembiayaan mudharabah telah sesuai dengan PSAK No.
59 dan PSAK No. 105

c. Penyajian akuntansi terhadap pembiayaan mudharabah telah sesuai dengan PSAK No. 59
dan PSAK No. 105.

d. Pengungkapan akuntansi terhadap pembiayaan mudharabah belum sepenuhnya sesuai


dengan PSAK No. 59 dan PSAK No. 105.

Ketidaksesuaian tersebut yaitu tidak adanya pengungkapan penyisihan kerugian investasi


mudharabah dan pengungkapan kerugian akibat penurunan nilai aktiva mudharabah.15

I. Akad Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik
sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan
hukum dalam kehidupan masyarakat. Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris
(jabatan) dalam masyarakat hingga sekarang masih disegani. Seorang notaris biasanya

15
Wahyu Astri Kusniasari, Evaluasi Penerapan Akuntansi Pembiayaan Mudharabah dengan PSAK no.
59 dan PSAK no. 105 pada Kjks-BMT Bina Ummat Sejahtera Yogyakarta, (Skripsi, Fakultas Ekonomi,
Jurusan Pendidikan Akuntansi, Program Studi Akuntansi, 2013)

24
dianggap sebagai seorang pejabat tempat seorang dapat memperoleh nasihat, segala sesuatu
yang ditulis dan ditetapkannya (konstatir) adalah benar, hal ini dikarenakan notaris merupakan
pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum, sehingga perlu kecerdasan,
kecermatan dan kehaati-hatian dalam proses pembuatan akta agar tidak terjadi kesalahan yang
akan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.16

Akad menjadi sesuatu yang penting dalam setiap transaksi, termasuk akad atau transaksi
dalam bisnis syariah. Agar suatu perjanjian mendapatkan kekuatan hukum, maka harus tercatat
di hadapan Notaris. Karena itu, setiap bisnis termasuk di dalamnya adalah bisnis syariah selalu
membutuhkan Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik sesuai dengan
tugasnya yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.17

16
M. Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, (Yogyakarta: UII Press
2017), hal. 7-10

17
Ustad Aidil, Mengenal Notaris Syariah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hal. 40

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mudharabah berasal dari kata al-darbu fi ardhi yaitu berpergian untuk urusan perdagangan.
Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qath’u (potongan), karena
pemilik pemotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian.
Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak yang mana salah satu pihak menyerahkan
uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan oleh pihak yang melakukan akad.

2. Dasar hukum mudharabah yaitu Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an tidak disebutkan dengan jelas
tentang mudharabah, walaupun demikian ulama’ di kalangan kaum muslimin telah sepakat
tentang bolehnya melakukan kerjasama semacam perniagaan ini. Dasar hukum mudharabah
yang kedua adalah al-Sunnah. Selain al-Quran, hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam
juga memberikan landasan tentang mudharabah, atau Qiradh. Dasar mudharabah yang ketiga
adalah Ijma’. Dasar mudharabah yang keempat adalah Qiyas. mudharabah dapat diqiyaskan
sebagi bentuk interaksi antara sesama manusia sebagai makhluk sosial.

3. Jenis-jenis mudharabah secara umum, berdasarkan kewenangan yang diberikan pada


mudharib, akad mudharabah yang dilakukan oleh pemilik modal (shahibul mal) dengan pekerja
(mudharib), mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah.

4. Secara umum jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun dan syarat mudharabah terdiri atas:
Ijab dan qabul, Dua orang yang melakukan kerjasama (al-’Aqidain), Adanya modal, Adanya
pekerjaan atau usaha (Al-’aml), Nisbah keuntungan.

5. Akad mudharabah adalah jenis akad yang ditawarkan oleh bank syariah baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Berdasarkan pengertian dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), akad mudharabah diterapkan pada salah satu produk bank syariah untuk
pembiayaan. Pembiayaan mudharabah merupakan akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola’. Keuntungan dari hasil usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam

26
akad yang telah disepakati dan harus dilakukan pada awal ketika akad mudharabah dilakukan
secara perjajian yang dilakukan antara kedua belah pihak

6. Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpanan atau deposan bertindak


sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut
digunakan bank untuk melakukan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan
terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua.
Hasil usaha ini akan dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank
menggunakannya untuk melakukan mudharabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh
atas kerugian yang terjadi.

7. Koperasi syariah (shahibul mal) dan nasabah (mudharib) menyepakati akad


mudharabahuntuk usaha yang akan dijalankan. Modal 100 % dari koperasi syariah dan nasabah
sebagai pengelola usaha. Sebelum mencairkan dananya, koperasi syariah mengajukan agar
pembiayaan yang akan dilakukan tersebut diasuransikan. Proyek usaha menghasilkan laba atau
rugi. Jika laba, dibagi sesuai nisbah. Jika rugi ditanggung pemilik dana (bank). Disinilah
asuransi berperan. Koperasi syariah tidak mungkin menanggung sendiri kerugian tersebut.

8. Akuntansi untuk Mudharabah dan penghimpunan dana bentuk lainnya yang menggunakan
akad mudharabah pada dasarnya mengacu pada PSAK 105 tentang akuntansi
mudharabah, khususnya nyang terkait dengan akuntansi untuk penegelolaan dana.
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 25, dinyatakan bahwa dana yang diterima dari
pemilik dana (nasabah) dalam akad mudharabahdiakui sebagai dana syirkahtemporer sebesar
jumlah kas atau nilai wajar asset non kas yang diterima. Pada akhir periode akuntansi,
dana syirkah temporer diakui sebagai nilai tercatatnya.

9. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Kedudukan
seorang notaris sebagai suatu fungsionaris (jabatan) dalam masyarakat hingga sekarang masih
disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seorang dapat
memperoleh nasihat, segala sesuatu yang ditulis dan ditetapkannya (konstatir) adalah benar,
hal ini dikarenakan notaris merupakan pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum,
sehingga perlu kecerdasan, kecermatan dan kehaati-hatian dalam proses pembuatan akta agar
tidak terjadi kesalahan yang akan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.

27
B. Saran

Dalam menjalankan akad mudharabah mengharuskan setiap individu-individu baik yang


menjalankannya sebagai pemilik modal (shahibul mal) ataupun pengelola modal (mudharib)
untuk memperhatikan rukun-rukun, syarat-syarat sertakeadaan yang membatalkan akad salah
satunya misalnya pemilik modalmeninggal, sehingga setiap individu-individu yang
menjalankan serta memahamiakad mudharabah tersebut tetap dalam jalur syariat agama dan
tidak melanggarhukum islam.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahim, Yaya, Martawireja. 2004. Akuntansi Perbankan Syari’ah. Jakarta: Salemba


Empat.

Aidil, Ustad, Mengenal Notaris Syariah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.

A. Karim, Adiwarman. 2014. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja
Grafino Persada.
Darus, M. Luthfan Hadi., Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, Yogyakarta,
UII Press, 2017.

Hasan , M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat),
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Karim, Adiwarman. 2003. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: The International
Institut Of Islamic Thought (IIIT).

Karim, Helmi. 1993. Fiqih Mu’amalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kusniasari,Wahyu Astri.Evaluasi Penerapan Akuntansi Pembiayaan Mudharabah dengan


PSAK no. 59 dan PSAK no. 105 pada Kjks-Bmt Bina Ummat Sejahtera Yogyakarta.
(Skripsi, Fakultas Ekonomi, Jurusan Pendidikan Akuntansi, Program Studi Akuntansi,
2013)

Manzilati, Asfi, Pembiayaan Murbahah Sebagai Prasyarat Pembiayaan Mudharabah Dalam


Kerangka The Generalized Others, Prosiding Simposium Nasional Sistem Ekonomi
Islam, Malang, 28- 29.

Marleni, I., & Kasnelly, S. (2019). Penerapan Akad Mudharabah Pada Perbankan Syariah.
Jurnal Ekonomi Syariah, 2(2), 2685–4228.

Nafiq, Muhammad, Bursa Efek & Investasi Syariah, (Jakarta: Serambi, Cet I, 2009).

Nawawi, Ismali. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian,
Ekonomi, Bisnis dan sosial), Bogor: Ghalia Indonesia.

Ridwan, M. 2004. Menejemen Baitul Maal wa Tanwil. Yogyakarta: VII press.

29
Tarsidin, Bagi Hasil Konsep dan Analisis, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,
2010.

Warde, Ibrahim, Islamic Finance: Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, Terj. Andriadi
Ramli Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

30
31

Anda mungkin juga menyukai