Anda di halaman 1dari 7

Ibenzani Usman

Ibenzani Usman adalah seorang pencipta lagu, komponis, pendidik dan

seniman unggul yang pernah lahir dari Sumatra Barat. Karya-karyanya dan

keharuman namanya sampai hari ini masih mendapat tempat berarti dalam

khazanah musik, pendidikan dan dunia kesenian di negeri ini. Orang

terpesona dengan lirik lagunya Lintuah yang pertama kali dinyanyikan sekitar

tahun 1965. Lirik lagu ini merupakan ekspresi kesungguhan cinta sang

pengarangnya pada seorang gadis.

“ Beliau menempati posisi tersendiri di hati kami, di tengah keluarga kami.

Beliau amat bersahaja, berjiwa tenang, tak banyak cingcong, tidak banyak

menuntut, malah hampir tidak pernah marah. Beliau terlalu pendiam untuk

ukuran budaya kita sekarang, ungkap Femmi, istrinya kepada Fauzul el Nurca

dari Jurnal Genta Budaya pada tahun 1995 lalu.

Ibenzani Usman yang lahir pada 15 April 1937 di Padang adalah putra dari

Usman Kagami dan Dinar Halimahtusaadiah. Kedua orangtuanya berasal dari

Padang. Berdasarkan garis keturunan ibunya, Ibenzani Usman bergelar Rajo

Endah. Usman Kagami sang ayah lebih dikenal sebagai guru menggambar

yang pernah mengajar di Perguruan Menengah Indonesia (Permindo) dan

mempunyai studio gambar. Sang ibu meninggal dunia di saat Ibenzani baru

berusia 8 tahun. Selanjutnya ia besar bersama istri ayahnya yang kedua yang

tak lain adalah bibinya sendiri Marlis Uska.

Ibenzani dibesarkan dalam keluarga yang memang berdarah seni. Dorongan

dan bimbingan ayahnya berpengaruh besar dalam pengembangan bakatnya

di bidang seni musik dan seni lukis. Bakatnya dalam bermain musik juga
diasah oleh seorang guru musik bernama Hasan Basri. Kemampuannya

dalam penguasaan alat musik sangat baik. Pada usia belum 10 tahun ia

sudah sanggup memainkan piano.

Pengajaran sang ayah kepada Ibenzani untuk mengutamakan ilmu

pengetahuan memacunya dalam menuntut ilmu, baik melalui pendidikan

formal maupun non formal. Ia menamatkan sekolah dasarnya pada tahun

1950 di Padang. Pendidikannya kemudian diteruskan ke Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Negeri 1 Padang yang ditamatkan pada tahun 1953.

Kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Padang

pada jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Pada masa SMA inilah ia mulai

mewujudkan langsung kemampuannya dalam bermain musik. Dengan

beberapa teman, Ibenzani membentuk sebuah grup band dan sering unjuk

kebolehan dalam kegiatan-kegiatan kesenian baik di lingkungan sekolah

maupun di luar sekolah. Sebetulnya cita-citanya adalah menjadi dokter.

Namun atas anjuran ayahnya, setamat SMA pada tahun 1953, ia memilih

kuliah di di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).

Setamat dari ITB pada tahun 1962, ia tidak langsung kembali ke Padang. Tapi

selama setahun ia mengajar dulu di ITB. Salah seorang mahasiswanya ketika

itu adalah Syam Bimbo—yang belakangan juga sangat populer sebagai

seniman musik. Setahun kemudian, bersama rekannya Adrin Kahar dan

Sumarjadi ia mendapat tugas mengembangkan Jurusan Seni Rupa di Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Andalas. Sekalian ia juga

menjadi dosen di FPBS IKIP Padang. Dari tahun 1965-1969 dan 1973-1977

Ibenzani Usman ditunjuk sebagai Ketua Jurusan Seni Rupa di FKIP Universitas

Andalas dan dipercaya sebagai Ketua Jurusan Seni dan Kerajinan FKSS IKIP
Padang (1969-1973 dan 1977-1979). Pada Periode 1987-1990 ia ditunjuk

pula sebagai Ketua Jurusan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) FPBS IKIP

Padang, pada saat yang sama ia juga menjabat sebagai Direktur Akademi

Pariwisata Bunda Padang. Jabatan terakhir yang ia pegang adalah sebagai

Rektor Institut Sains dan Teknologi Pembangunan Nusantara (ISTPN) Padang,

sejak 1992 sampai akhir hayatnya.

Jenjang pendidikan tertinggi yang diraih Ibenzani adalah gelar Doktor Sejarah

Seni di ITB pada tahun 1986 dengan disertasi “Seni Ukir Tradisional pada

Rumah Adat Minangkabau; Teknik, Pola dan Fungsinya”. Topik disertasinya ini

adalah yang pertama kalinya menjadi obyek penelitian dalam meraih gelar

doktor di Indonesia. Ini adalah upaya akademis yang besar artinya bagi

Sumatra Barat yang dilakukan Ibenzani, khususnya dalam pendokumentasian

dan legalisasi seni ukir tradisional Minangkabau dalam kacamata akademik,

setidaknya secara nasional.

Walau kesehariannya dalam pendidikan formal ia menempuh jalur seni rupa,

namun darah musiknya tetap harus disalurkan. Memasuki tahun 1960-an,

beberapa karyanya mulai mendapat perhatian pengamat musik nasional.

Pada tahun 1964, dua lagu berirama seriosanya Ajakan Suci dan Putra

Persada dipilih dan dinyanyikan dalam ajang Pemilihan Bintang Radio se-

Indonesia. Begitu pula pada ajang yang sama tahun 1965, dua karya

seriosanya kembali mengudara yaitu Pesan Kartini dan Bahana Revolusi.

Lagunya Desaku mengudara pada tahun 1975 pada acara yang sama.

Kepada almamaternya pun Ibenzani telah menyumbangkan dua buah lagu

Selamat Datang Tunas Warga ITB dan Selamat Jalan Sarjana ITB yang sejak
tahun 1961 menjadi lagu abadi, yang setidaknya berkumandang dua kali

dalam setahun pada saat wisuda mahasiswa ITB hingga sekarang.

Ibenzani tak hanya handal dalam mencipta lagu, tapi ia juga piawai dalam

mengolah komposisi paduan suara. Ini terbukti saat ia meraih gelar Juara

Harapan Komposisi Paduan Suara di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun

1975 dan 1978.

Sedikit sekali di antara pengarang lagu dan komponis yang beroleh

pengakuan formal, salah satu dari yang sedikit itu adalah Ibenzani. Bersama

Trisuci Kamal, Slamet Abdul Syukur dan FX. Sutopo yang tergabung dalam

Ikatan Komponis Indonesia (IKI) Jakarta, Ibenzani Usman memperoleh

kesempatan mengikuti “Fifth Asian Komposer League Conference”, yang

berlangsung di Bangkok, Thailand pada bulan Maret 1978.

Latar belakang pendidikan non formalnya dalam bermusik sangat

memengaruhi permainan musik Ibenzani sebagai komponis. Ia lebih

cenderung menggunakan alat musik piano dan biola terutama dalam

menciptakan lagu, bukannya menggunakan alat musik tradisional seperti

saluang atau rebab.

Dalam seni musik terdapat sejumlah karya Ibenzani yang masih legendaris

sampai hari ini. Ia menghasilkan banyak lagu baik dalam bahasa Minang,

bahasa Indonesia bahkan dalam bahasa asing. Lagu-lagunya dalam bahasa

Minang di antaranya: Lintuah, Pulanglah Yuang, Sadiah, Pasan Bundo, Molah

Manari, Lambok Malam, dan sebuah lagu khusus berjudul Minang Rhapsody.

Selanjutnya ia juga menciptakan lagu berbahasa Indonesia seperti Padang

Kota Tercinta, Mars Universitas Andalas, Taman Seruni, Baiduri Permata,

Dambaan Kasih, Kembalilah Sayang, Senja Indah, Gita Pribadi, Putra Persada,
Ajakan Suci, Untuk Putriku, Pahlawan Revolusi, Bisikan Sukma Satria, Pesan

Kartini, Fajar Menyingsing, Sayang Ibu dan Ayah, Indonesia Kubanggakan,

Angkatan 66 dan sejumlah lagu lainnya. Sementara lagu ciptaannya dalam

bahasa Inggris adalah Indang (Indan) dan Love and Beauty.

Walau Ibenzani mungkin lebih dikenang orang karena lagu-lagu ciptaannya,

namun kehandalan kreativitasnya sebagai seniman dalam bidang seni rupa

juga terbukti. Pada tahun 1975-1976, ia ikut Pameran Seni Rupa Bersama

Pelukis-Pelukis Sumatra Barat di Padang dan Jakarta. Malahan sebelumnya,

pada tahun 1961 ia berhasil memenangkan Sayembara Logo Kotamadya

Padang dan logo Hotel Indonesia Jakarta. Dalam pembuatan lambang daerah

Sumatra Barat yang sekarang dikenal dengan sebutan Tuah Sakato juga tak

lepas dari andil dan saran-saran Ibenzani Usman. Pembuatan elemen estetika

Auditorium STSI Padang Panjang (dulu ASKI) pada tahun 1970 merupakan

saksi sebagai karya olahan Ibenzani bersama teman-temannya. Lambang

PLTA Batang Agam (1975) dan PT. Semen Padang (1979) juga merupakan

hasil olahan Ibenzani Usman.

Selain disertasinya tentang rumah adat Minang yang cukup penting sebagai

bahan kajian, karya tulisnya yang lain juga menunjukkan kemampuan

Ibenzani dalam menulis gagasan dan pandangannya tentang kesenian.

Dalam sebuah tulisannya di harian Merdeka, Jakarta, Minggu 24 Agustus

1986 berjudul Konsep Estetika Barat tak Berlaku untuk Budaya Minang,

merupakan pandangan yang menarik dan menukik tentang filosofi estika

kesenian. Ada bebarapa lagi makalahnya seperti Seni Budaya Tradisional di

Minangkabau Dipandang dari Sudut Adat dan Agama yang disampaikan pada

seminar di Kantor Gubernur Sumatra Barat pada 9 Juli 1994. Tulisan


terakhirnya adalah Nilai-nilai Estetika dalam Kaligrafi Islam yang mestinya ia

sajikan dalam Seminar Sehari Kontribusi Kaligrafi Islam dalam Pembangunan

Kotamadya Padang yang diadakan di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang,

tak jadi ia bawakan karena saat itu Ibenzani sudah sakit-sakitan dan dan

akhirnya dibawakan oleh rekannya Ady Rosa.

Karena penyakit jantung yang dideritanya, di RSUP dr. M. Djamil Padang,

pada hari Sabtu (28 Juli 1995) pukul 21.15 WIB, Ibenzani Usman menghadap

Sang Khalik untuk selama-lamanya. Ibenzani Usaman meninggalkan seorang

istri Femmy Frieda Olivia Sy., serta empat orang anak; Ir. Nancy Felizia, Selvi

Irzani, Iverzuni Freddy, dan Wieke Ferraniza.

Keberadaan Ibenzani Usman sebagai seorang seniman diakui banyak orang

dan lembaga. Sebagai komposer ia diakui Dewan Kesenian Jakarta semenjak

tahun 1975, namanya masuk ke dalam manuskrip organisasi kesenian

terhormat itu.

Dalam sebuah wawancara dengan Emil Mahmud dari harian Singgalang yang

dimuat pada 13 Februari 1994, Ibenzani menguraikan bahwa dalam

memahami kesenian hendaknya: Kita lebih dulu paham bahwa dalam seni

ada dua faktor penting yaitu; pertama kultural (culture), maksudnya karya

seni yang memiliki cita rasa tinggi tapi cuma bisa dipahami kalangan tertentu

karena menyangkut seni tradisional murni, seperti contoh di Minangkabau;

saluang, dendang, dan banyak lagi yang belum terungkap. Kedua adalah

menyangkut komersial, yang tergantung selera pasar.

Prof. Dr. Ibenzani Usman adalah cerminan keberadaan seorang seniman yang

tekun dan seorang tokoh pendidik yang pernah dimiliki dan banyak

memberikan andil besar bagi Sumatra Barat. Ia adalah pribadi yang banyak
berkarya namun tetap hidup bersahaja. Sampai ia meninggal dunia, Ibenzani

Usman adalah satu-satunya akademikus seni rupa tamatan dalam negeri. Ia

juga mungkin satu-satunya seorang profesor yang tak pernah mempunyai

rumah milik pribadi.

Maya Lestari Gf

Anda mungkin juga menyukai