KELAS : XI IPS 1
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945.
Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara jepang. Berita
tersebut dibawa leh Mr. Teuku M.Hasan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra.
Pemerintah menugaskan Mr. Teuku M.Hasan untuk menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia di Sumatra dan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, pasuka Sekutu mendarat di Sumatra Utara di bawah
pimpinan Brigadir Jenderal E. T. D Kelly. Sekutu membawa satu brigade, yaitu Brigade 4
dari Divisi India ke-26. Kedatangan brigade itu turut dibocengi oleh orang-
orang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang diam-diam dipersiapkan untuk
mengambil alih Pemerintahan Indonesia. Pada awalnya pemerintah RI di Sumatra Utara
memperkenankan mereka menempati beberapa hotel di kota Medan, seperti Hotel de Boer,
Grand Hotel, Hotel Astoria dll. Pejabat Sumatra Utara tidak mengetahui tujuan mereka
sebenarnya, melainkan semata-mata ingin menghormati tugas mereka untuk mengurus
tawanan perang yang ditahan oleh Jepang. Sebagian anggota Sekutu dan NICA kemudian
ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa, dan beberapa tempat lainnya dengan memasang
tenda-tenda lapangan. Sehari setelah mendarat di Medan, tim dari Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees (RAPWI) telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulau
Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk membantu
membebaskan tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hassan.
Tanpa disangka, para tawanan perang itu justru langsung dibentuk menjadi batalyon
KNIL. Perubahan sikap pun langsung tampak dari para bekas tawanan tersebut. Mereka
bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Dalam
mengantisipasi kedatangan Sekutu dan NICA, para pemuda segera membentuk Divisi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di kota Medan pada 13 September 1945. Sikap congkak
dari bekas tawanan itu memicu timbulnya berbagai insiden dengan para pemuda Sumatra
Utara. Insiden pertama pecah di hotel di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945.
Insiden itu diawali dengan adanya seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-
nginjak lencana merah-putih yang dipakai oleh seorang pemuda.
Dimulainya Pertempuran Medan Area
Insiden lencana itu sekaligus menandai dimulainya Pertempuran Medan Area. Hotel
tersebut diserang dan dirusak oleh para pemuda. Dalam insiden ini jatuh sekitar 96 orang
mengalami luka-luka, sebagian besar adalah orang-orang NICA. Insiden kemudian menjalar
di beberapa kota lainnya seperti Pematang Siantar dan Berastagi. Sebagaimana di kota-
kota lain di Indonesia, Inggris memulai aksinya untuk memperlemah kekuatan para
pejuang dengan melakukan intimidasi melalui pamflet kepada bangsa Indonesia agar
menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu. Usaha yang sedemikian rupa juga dilakukan
oleh Brigadier Jenderal T. E. D. Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18 Oktober
1945. Sejak saat itu pula pasukan Sekutu dan NICA mulai melakukan aksi-aksi teror di kota
Medan, sehingga permusuhan dengan kalangan pemuda pun tidak terhindarkan. Di sisi
lain, akibat permusuhan dengan kalangan pemuda, patroli-patroli Inggris ke luar kota tidak
pernah merasa aman. Keselamatan mereka tidak dijamin oleh pemerintah RI.
Bertambahnya korban di pihak Inggris, menyebabkan mereka memperkuat kedudukannya
dan menentukan sendiri secara sepihak batas kekuasaan.
Pada bulan April 1946, tentara Inggris mulai berusaha mendesak pemerintah RI di
Medan untuk ke luar dari kota. Gubernur, Makras Divisi TKR, Walikota RI akhirnya
dipindahkan ke Pematang Siantar. Dengan demikian, Inggris berhasil menguasai kota
Medan. Tanpa adanya komando kesatuan, mustahil dapat melakukan serangan efektif
terhadap kedudukan-kedudukan pasukan Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Agustus 1946,
di Tebing tinggi, diadakan suatu pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang
berjuang di Medan Area. Pertemuan itu memutuskan untuk membentuk satu komando
yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area yang dibagi atas 4 sektor dan
setiap sektor dibagi atas 4 sub sektor. Setiap sektor berkekuatan 1 batalyon.
Markas komano ini berkedudukan di Sudi Mengerti (Trepes). Di bawah komando baru
itulah perjuangan di Medan Area diteruskan.
1. Pihak Sekutu dan para pasukannya akan tetap ditempatkan di Magelang. Dengan
tujuan untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan
Sekutu yang ditawan oleh pasukan Jepang (RAPWI).
4. Pihak Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan di bawahnya.
5. Jalan Raya Ambarawa hingga Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia
dan Sekutu.
Puncak Pertempuran Ambarawa
1. Serangan akan dilakukan secara serentak dan mendadak dari semua sektor.
4. Waktu serangan akan dilangsungkan pada 12 Desember 1945 pukul 04.30 pagi.
Pada 12 Desember dini hari dalam peristiwa Ambarawa, pasukan TKR mulai bergerak
menuju pos masing – masing dan dalam waktu setengah jam berhasil mengepung pasukan
musuh di dalam kota. Benteng Willem yang terletak di tengah kota Ambarawa diperkirakan
menjadi tempat pertahanan sekutu yang terkuat. Satu setengah jam kemudian jalan raya
Semarang – Ambarawa berhasil dikuasai oleh pasukan TKR. Kolonel Sudirman segera
memerintahkan pasukan untuk menggunakan taktik Supit Urang berupa pengepungan
ganda di kedua sisi yang akan benar – benar mengepung musuh. Tujuan pengepungan
tersebut adalah untuk memutus komunikasi dan pasukan dari pusat musuh. Peristiwa
Ambarawa terjadi selama empat hari empat malam ketika TKR mengepung musuh pada
kurun waktu itu. Pada tanggal 14 Desember 1945 pasukan sekutu mulai mundur karena
terus disudutkan oleh pasukan Indonesia sehingga persediaan logistik dan amunisi mereka
mulai menipis. Pada tanggal 15 Desember 1945 pukul 17.30, dampak pertempuran
Ambarawa dirasakan oleh sekutu yang benar – benar menyerah ketika Indonesia berhasil
merebut Ambarawa dari pasukan Sekutu dan memukul mereka mundur ke
Semarang. Sejarah Monumen Palagan Ambarawa dan sejarah museum Ambarawa berawal
dari misi untuk mengenang peristiwa Ambarawa tersebut dan ditetapkan peringatan Hari
Jadi TNI AD atau Hari Juang Kartika.
Adapun tokoh – tokoh terkenal yang terlibat dalam pertempuran di Ambarawa adalah
sebagai berikut:
Istilah Perang Puputan dipakai karena peperangan tersebut dilakukan sampai pada titik
darah penghabisan. Kata puputan sendiri mengandung makna moral, karena dalam ajaran
agama Hindu, kematian seorang prajurit dalam kondisi seperti itu adalah sebuah
kehormatan bagi keluarganya. Akhirnya, I Gusti Ngurah Rai dan sekitar 96 pasukannya
gugur, sedangkan di pihak sekutu sekitar 400 orang tewas dalam Perang Puputan
Margarana itu. Untuk mengenang peristiwa itu, di bekas arena pertempuran itu kini
didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Setiap 20 November juga diperingati
sebagai hari Perang Puputan Margarana.
Pada sekitar pertengahan November 1946, I Gusti Ngurah Rai kemudian memberikan
perintah kepada pasukannya yang bernama Ciung Wanara untuk melucuti persenjataan
polisi NICA yang menduduki Kota Tabanan. Perintah tersebut terlaksana tiga hari
kemudian, persisnya pada 19 November 1946. Pada operasi tersebut, pasukan Ciung
Wanara berhasil menguasai detasemen polisi NICA di Tabanan serta merebut puluhan
senjata lengkap sekaligus dengan artilerinya. Setelah itu, pasukan Ciung Wanara kembali
ke Desa Adeng, Marga, Tabanan. Tak pelak, peristiwa itu memicu amarah Belanda. Pada 20
November 1946, Belanda mengerahkan seluruh pasukannya yang tersebar di seluruh
wilayah Bali dan Lombok untuk mengisolasi Desa Adeng-Marga. Belanda juga
mendatangkan pesawat pengebomnya dari Makassar untuk menghadapi pasukan I Gusti
Ngurah Rai. Menjelang siang, sekitar pukul 09.00 sampai 10.00 WITA, pasukan Ciung
Wanara baru menyadari bahwa mereka dalam posisi terkepung oleh serdadu Belanda.
Enggan menyerah, aksi tembak-tembakan pun tidak terelakkan.
Sebenarnya sebelumnya I Gusti Ngurah Rai sempat mencium pergerakan Belanda dan
langsung memindahkan pasukannya ke Desa Marga. Mereka menyusuri wilayah ujung
timur Pulau Bali, termasuk melintasi Gunung Agung. Namun upaya itu dapat diendus
Belanda yang kemudian berhasil mengejar pasukan Ciung Wanara. Dalam pertempuran itu,
pasukan Ciung Wanara sebenarnya sempat berahasil memukul mundur pasukan Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum selesai, sebab bala bantuan pasukan Belanda datang
dengan jumlah lebih besar. Tidak hanya itu, mereka juga dilengkapi dengan persenjataan
yang lebih modern, termasuk pesawat tempur. Situasi akhirnya berbalik, pasukan I Gusti
Ngurah Rai justru terdesak karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang.
Menjelang malam, pertempuran tak kunjung usai. Pasukan Belanda kian brutal
menyerbu pasukan Ciung Wanara dengan Meriam dan bom dari pesawat tempur. Hingga
akhirnya pasukan Ciung Wanara di bawah I Gusti Ngurah Rai terdesak di wilayah terbuka
di area persawahan dan ladang jagung di kawasan Kelaci, Desa Marga. Dalam kondisi
terdesak itulah I Gusti Ngurah Rai kemudian mengeluarkan instruksi Puputan atau
pertempuran habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Dalam pandangan pejuang
Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria dari pada jatuh ke tangan musuh.
Akhirnya pada 20 November 1946 malam, I Gusti Ngurah Rai gugur bersama
pasukannya. Peristiwa itu kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana, sebuah
sejarah penting tonggak perjuangan rakyat Indonesia. Kekalahan pasukan I Gusti Ngurah
Rai itu kemudian semakin memperlancar usaha Belanda untuk mendirikan Negara
Indonesia Timur (NIT). Beruntung, usaha itu kembali gagal setelah Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan pada 1950. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya,
Perang Puputan Margarana membuat I Gusti Ngurah Rai dan 69 anggota pasukannya
gugur. Sedangkan di kubu lawan, sekitar 400 orang tewas dalam peperangan itu.
4. PERTEMPURAN SURABAYA
Latar belakang terjadinya pertempuran Surabaya yang merupakan salah
satu pertempuran fisik untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu sebagai berikut :
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan
sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Aulbertin Walter
Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke dalam kota dan
mendirikan pos pertahanan di delapan tempat. Awalnya, mereka ingin segera melucuti
semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat, namun karena memperoleh tetangan keras
dari pemimpin Indonesia di Surabaya, akhirnya mereka mengalah. Tanggal 26 Oktober
1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan Brigadir Mallaby, yang
isinya antara lain:
Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru mengingkarinya. Pada malam hari
tanggal 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang penjara Kalisolok. Tentara Sekutu
membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta beberapa tentara Belanda
yang ditawan pasukan Indonesia.
Pada tanggal 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota melintas dari
Jakarta, atas perintah Mayjen Hawthorn pesawat itu menyebarkan pamflet yan isinya
adalah perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada Tentara Sekutu.
Dalam waktu 2×24 jam seluruh senjata harus sudah diserahkan, dan bagi yang masih
membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal ini jelas
bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet tersebut, tetapi ia tetap
mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan segera memerintahkan pasukannya untuk
melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar
perjanjian. Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu
seluruh pos pertahanan Inggris. Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin
Nahdlatul Ulama dan Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia adalah Perang Sabil, maka suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim.
Para Kyai dan santri kemudian mulai bergerak dari pesantren-pesantren di Jawa Timur
menuju ke Surabaya.
Pasca Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta, di beberapa tempat masih terjadi
pertempuran, sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata. Untuk menghentikan
pertempuran, para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak mulai mendatangi lokasi-
lokasi yang masih terjadi pertempuran. Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh
anggota Kontak Biro pergi bersama-sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat
terakhir ini adalah Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki
pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih mengepungnya. Setibanya di lokasi
pertempuran, pemuda-pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby menyerah. Mallaby
tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi insiden baku tembak
yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49 di Surabaya. Inggris
menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan senjata dan membunuh
Mallaby. Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat kejadian, ternyata yang
memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian Mayor Gopal tahun 1974.
Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan tertusuk
bayonet dan bambu runcing pemuda, namun berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada
Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena ledakan granat
yang dilempar pengawalnya sendiri.
Mendapatkan ultimatum sedemikian rupa, para pemuda yang sudah siap siaga
membuat pertahanan di dalam kota. Komandan Pertahanan Kota, Soengkono, pada tanggal
9 November pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari
komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, TKR Laut untuk
berkumpul di Markas Pregolan 4. Soengkono mempersilakan siapa pun yang ingin
meninggalkan kota. Namun, mereka bertekad untuk mempertahankan kota Surabaya.
Mereka membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebagai tanda setuju, dan
diteruskan dengan ikrar bersama. Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya
mengadakan pertemuan. Mereka melaporkan kepada presiden, namun hanya diterima oleh
Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan kepada
rakyat Surabaya. Secara resmi pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio,
menyatakan menolak ultimatum Inggris. Sebelum waktu ultimatum habis, kota Surabaya
telah dibagi menjadi 3 sektor pertahanan. Garis pertahanan ditentukan dari Jalan Jakarta,
tetapi penempatan pasukan agak mundur ke Krembangan, Kapasan, dan Kedungcowek.
Garis kedua di sekitar Viaduct. Garis ketiga di daerah Darmo. Sementara itu, radio
perlawanan yang dipimpin oleh Bung Tomo membakar semangat juang rakyat. Siaran ini
dipancarkan dari Jln. Mawar No. 4.
Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum, Inggris
mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara. Pemboman
secara brutal di hari pertama telah menimbulkan korban yang sangat besar. Di pasar Turi,
ratusan orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil menguasai garis pertama
pertahanan rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan atas serangan
tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan
sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Selain
itu, diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya, yang hampir
hancur total terkena serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500 tentara
Inggris tewas, hilang, dan luka-luka.
Hal yang melatar belakangi terjadinya KMB adalah kegagalan Belanda untuk meredam
kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan karena adanya kecaman dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk
melakukan penyelsaian secara diplomasi. Sebelumnya telah terjadi beberapa perundingan
antara pihak Belanda dan Indonesia lewat perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville.
Tujuan KMB
2. Dengan tercapainya kesepakatan Meja Bundar, maka Indonesia telah diakui sebagai
negara yang berdaulat penuh oleh Belanda, walaupun tanpa Irian Barat.
Tokoh Konferensi Meja Bundar
Ada tiga pihak yang terlibat dalam konferensi Meja Bundar, yakni pihak Indonesia,
pihak Belanda yang diwakili BFO dan pihak UNCI (United Nations Comissioner for
Indonesia) selaku penengah.
1. Pihak Indonesia
Pihak Indonesia diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta dan terdiri dari 12 delegasi secara
keseluruhan, yaitu:
2. Pihak Belanda
Dalam KMB, pihak Belanda diwakili oleh BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)
yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.
Perwakilan BFO ini dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Perwakilan Belanda
dipimpin oleh Mr. van Maarseveen dan UNCI diwakili Chritchley.
3. Pihak UNCI
Pihak UNCI atau United Nations Comissioner for Indonesia bertindak sebagai penengah
jalannya konferensi antara Indonesia dan Belanda. Pembentukan UNCI dilakukan sebagai
penengah dan mediator perdamaian perselisihan Indonesia dan Belanda.
1. Belanda mengakui RIS sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat. RIS terdiri dari
Republik Indonesia dan 15 negara bagian/daerah yang pernah dibentuk Belanda.
2. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah
pengakuan kedaulatan RIS.
3. Coral pemerintahan RIS akan diatur dengan konstitusi yang dibuat oleh para
delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung.
4. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubugan Uni Indonesia Belanda
yang dikepalai Raja Belanda.
5. RIS harus membayar utang-utang Hindia Belanda sampai waktu pengakuan
kedaulatan.
6. RIS akan mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan izin baru untuk
perusahaan-perusahaan Belanda.
Pengesahan dan penandatanganan isi Konferensi Meja Bundar dilakukan pada tanggal
29 Oktober 1949. Hasil KMB ini kemudian disampaikan kepada Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). Selanjutnya KNIP melakukan sidang pada tanggal 6-14 Desember 1949
untuk membahas hasil dari KMB. Pada akhirnya KNIP menyetujui hasil KMB. Pada 15
Desember 1949, Soekarno sebagai calon tunggal terpilih sebagai presiden Republik
Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang
terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Kabinet RIS terbentuk di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta yang menjadi Perdana Menteri.
Penyerahan Kedaulatan Belanda terhadap Indonesia akhirnya disahkan pada tanggal 27
Desember 1949.
2. PERUNDINGAN ROEM-ROYEN
Latar Belakang Perjanjian Roem Royen
Perjanjian Roem-Royen ternyata diambil dari nama belakang pemimpin delegasi kedua
belah pihak, yakni Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman van Roijen dari Belanda.
Perjanjian ini merupakan deal antara Indonesia dan Belanda sebelum KMB (Konferensi
Meja Bundar) berlangsung. Perjanjian ini dimulai dari tanggal 14 April 1949 dan akhirnya
disepakati dan ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Hal yang melatarbelakangi dibuatnya perjanjian ini adalah adanya serangan Belanda ke
Yogyakarta dan juga berhasilnya Serangan Umum I yang dilakukan pasca proklamasi
kemerdekaan. Selain itu, Belanda juga menahan para pemimpin Indonesia dan menuai
kecaman dunia internasional, terutama Amerika Serikat dan Dewan PBB. Akhirnya, setelah
didesak tekanan dari luar negeri, perundingan Roem Royen pun dilaksanakan di bawah
pengawasan UNCI (United Nations Commission for Indonesia) perubahan dari KTN
(Komisi Tiga Negara).
Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia,
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB
yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan ,yaitu
sebagai berikut:
KTN beranggotakan tiga negara yang dipilih oleh beberapa perwakilan Negara, yaitu
sebagai berikut :
Isi dari Komisi Tiga Negara sama dengan Isi dari perjanjian Renville, berikut ini
penjelasannya :
1. Belanda hanya mengakui 3 daerah yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera
sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
2. Disepakatinya sebuah garis demarkasi yang berguna untuk memisahkan wilayah
bangsa Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan
di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Dibawah ini terdapat beberapa Dampak KTN Bagi Bangsa Indonesia, yaitu antara lain :
4. PERJANJIAN LINGGARJATI
Perundingan Linggarjati adalah Perundingan yang terjadi antara pihak Indonesia dan
Belanda yang ditengahi oleh Inggris. Hasil perundingan yang terjadi di awal-awal masa
kemerdekaan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yang kemudian dinamakan
“Perjanjian Linggarjati”.
Linggarjati atau Linggajati sendiri adalah nama sebuah desa yang secara geografis
berada antara Cirebon dan Kuningan dan terletak di kaki gunung Ciremai. Pemilihan
Linggarjati sebagai tempat perundingan dikarenakan tempat ini netral bagi kedua belah
pihak. Pada saat itu Belanda dan sekutu menguasai Jakarta, sedangkan Indonesia sendiri
menguasai Yogyakarta. Tempat jalannya perundingan masih ada hingga saat ini dan
dijadikan museum yang dinamai “Museum Linggarjati”.
Delegasi dari kedua belah pihak yang mewakili Indonesia, Belanda dan Inggris sebagai
penengah diantaranya:
1. Belanda mengaku secara “de Facto” bahwa wilayah RI meliputi pulau Jawa, pulau
Sumatra dan pulau Madura.
2. Belanda harus menarik pasukan dan meninggalkan wilayah NKRI dan diberi tempo
paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Indonesia dan Belanda sepakat untuk membentuk Republik Indonesia Seikat
(RIS).
4. Dikarenakan bentuk Negara Indonesia adalah RIS maka Indonesia harus taat pada
Commonwealth atau lebih dikenal dengan persemakmuran Indonesia Belanda
dengan belanda sebagai pemimpin.
Perjanjian linggarjati memberikan dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Berikut
diantara dampak atau efek dari perjanjian tersebut adalah:
Hasil Perundingan