Anda di halaman 1dari 9

Pertempuran Ambarawa

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran besar pasca kemerdekaan Indonesia yang


terjadi antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pasukan Belanda dan Inggris atau sekutu
di Ambarawa, Jawa Tengah. Peristiwa Ambarawa disebut juga dengan Palagan Ambarawa.
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 November - 15 Desember 1945. Peristiwa
Ambarawa dipicu oleh kedatangan pasukan Inggris di Semarang pada 20 Oktober 1945. Pada
awalnya, kedatangan pasukan Inggris disambut baik karena dinilai tak memiliki maksud buruk.
Namun ternyata, tentara Inggris menunggu kedatangan Netherlands Indies Civiele
Administration (NICA) untuk membebaskan tawanan perang. Setelah tawanan perang
dibebaskan, Inggris pun mempersenjatai mereka. Tentara sekutu itu juga melucuti senjata TKR.
TKR dan masyarakat Ambarawa pun marah besar. Situasi yang gaduh pun berujung pada
pertempuran.
Puncak Pertempuran Ambarawa
Letkol M. Sarbini mengerahkan pasukan untuk mengepung sekutu dari segala penjuru.
Situasi ini sempat mereda saat Presiden Soekarno turun tangan menenangkan suasana dan
memerintahkan untuk gencatan senjata. Namun, sekutu melanggar aturan tersebut. Pasukan
sekutu diam-diam bergerak meninggalkan Magelang menuju Ambarawa.
Letkol Isdiman mengadang pasukan sekutu. Namun sayang, usaha Letkol Isdiman
membebaskan dua desa yang dikuasai sekutu dibayar dengan nyawanya. Setelah Letkol Isdiman
tewas, komando perang diambil alih oleh Kolonel Soedirman. Kehadiran Soedirman di garis
depan perang memberikan semangat bagi para pasukan TKR. Soedirman menyusun strategi
dengan mencari titik lemah sekutu.
Soedirman menggunakan taktik gelar supit urang atau pengepungan rangkap dari kedua
sisi agar musuh tidak dapat melarikan diri. Jalur komunikasi dan logistik pasukan sekutu juga
diputus untuk mengurangi kekuatan militer. Kolonel Soedirman dan pasukannya berhasil
mendesak pasukan sekutu yang bersembunyi di Benteng Willem selama empat hari.
Pertarungan di Benteng Willem pada 15 Desember 1945 menjadi tanda kemenangan
Indonesia atas pasukan sekutu. Sisa pasukan sekutu yang kalah mundur ke Semarang.
Keberhasilan para pejuang mempertahankan Ambarawa dari sekutu diperingati menjadi Hari
Juang Kartika. Hari Juang Kartika atau Hari Infanteri merupakan simbol kekuatan militer
Angkatan Darat Indonesia. Selain itu, sejarah Pertempuran Ambarawa diabadikan di Monumen
Palagan Ambarawa, museum yang berisikan barang-barang perang selama pertempuran
Ambarawa.
Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Pasukan
Sekutu yang terjadi di kawasan Medan, Sumatra Utara.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu
(Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden terjadi
di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota Medan, Sumatra Utara pada tanggal 13 Oktober 1945.
Saat itu, seorang penghuni merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang
dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia. Pada tanggal 13
Oktober 1945, barisan pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya
merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang.
Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata
kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu
memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan)
di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada
bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki Kota Medan. Untuk sementara waktu pusat
perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Siantar, sementara itu perlawanan para
laskar pemuda dipindahkan keluar Kota Medan. Perlawanan terhadap sekutu semakin sengit
pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi.
Kemudian diadakanlah pertemuan di antara para Komandan pasukan yang berjuang di
Medan Area dan memutuskan dibentuk nya satu komando yang bernama Komando Resimen
Laskar Rakyat untuk memperkuat perlawanan di Kota Medan. Setelah pertemuan para komando
itu, pada tanggal 19 Agustus 1946 di Kabanjahe telah terbentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI)
dan berganti nama menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat cabang Tanah Karo, dipimpin oleh
Matang Sitepu sebagai ketua umum, dan dibantu oleh Tama Ginting, Payung Bangun, Selamat
Ginting, Rakutta Sembiring, R.M. Pandia dari N.V Mas Persada Koran Karo-karo dan
Keterangan Sebayang.
Di dalam Barisan Laskar Rakyat ini semua potensi pimpinan pemuda dengan berisan-
barisan perjuangannya dirangkul dan digabung ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk
bekas Gyugun atau Heiho seperti: Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting. Sedangkan
yang berasal dari Talapeta: Payung Bangun, Gandil Bangun, Meriam Ginting, Tampe Malem
Sinulingga. Sedangkan yang berasal dari N.V. Mas Persada: Koran Karo-karo. Yang berasal dari
Pusera Medan: Selamat Ginting, Rakutta Sembiring dan Tampak Sebayang. Demikian pula dari
potensi-potensi pemuda lain seperti: Tama Ginting, Matang Sitepu.
Dalam proses sejarah selanjutnya, Komando Laskar Rakyat kemudian berubah menjadi
BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang merupakan tentara resmi pemerintah, di mana Djamin
Ginting ditetapkan sebagai Komandan Pasukan Teras bersama-sama Nelang Sembiring dan Bom
Ginting dan anggota lain seperti: Selamat Ginting, Nahud Bangun, Rimrim Ginting, Kapiten
Purba, Tampak Sebayang dan lain-lain.
Pada umumnya, yang menjadi anggota BKR ini adalah para bekas anggota Gyugun atau
Heiho dan berisan-barisan bentukan Jepang. Djamin Ginting merupakan bekas komandan pleton
Gyugun yang ditunjuk menjadi Komandan Batalyon BKR Tanah Karo. Untuk melanjutkan
perjuangan di Medan, maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar
Rakyat Medan Area. Komando resimen ini terus mengadakan serangan terhadap Sekutu di
wilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatra terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang,
Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi di beberapa wilayah kawasan Berastagi, Padang,
dan Bukit Tinggi.
Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di Bandung,
provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Sekitar 200.000 penduduk Bandung
membakar kediaman mereka sendiri dalam peristiwa tersebut [1], kemudian meninggalkan kota
menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara
Sekutu yang dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12
Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka
menuntut agar semua senjata api yang digunakan dalam perang di tangan penduduk, kecuali
TKR (Tentara Keamanan Rakyat), diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru
dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu
keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
tidak dapat dihindari. Selain itu, Adapun salah satu markas peninggalan persenjataan Jepang Di
bandung yang ingin di perebutkan juga oleh Inggris.
Pertempuran dan Pembumi-hangusan.
Malam tanggal 21 November 1945, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan badan-badan
perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara,
termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas Inggris. Tiga
hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar
Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada
saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumi hangus". Para
pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan
NICA. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak
Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.[3] Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku
Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan
evakuasi Kota Bandung.[4] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam
mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang
sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot,
sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam
pertempuran ini Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan
Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad
Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan
terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada
mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul
21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang
lebih pukul 12 Malam, Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Namun, api masih
membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumi-hangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam
Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan
kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama
milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
menginspirasi Ismail Marzuki beserta para pejuang Indonesia saat itu untuk mengubah dua baris
terakhir dari lirik lagu Halo, Halo Bandung menjadi lebih patriotis dan membakar semangat
perjuangan. Beberapa tahun kemudian, lagu Halo, Halo Bandung menjadi kenangan akan emosi
yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap
Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi Produk
merupakan istilah yang dibuat oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang
menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.
[1] Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam
rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang
Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Meja
Bundar.
Kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus
meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Setelah itu, Indonesia dijajah oleh Jepang hingga pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Kemerdekaannya. Pada tanggal 23 Agustus
1945, Pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Mereka tiba di Jakarta pada 15
September 1945. Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di
bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda membawa kepentingan lain, yaitu
menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait konsepsi kenegaraan di Indonesia.Pidato pada
tanggal 6 Desember 1942 melalui siaran radio menyebutkan bahwa di kemudian hari akan
dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah
naungan Kerajaan Belanda.
Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan
adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda,
sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K.
Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn. Namun, realisasi di lapangan
tidak sepenuhnya berjalan mulus hingga Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan
ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Pimpinan RI
menolak permintaan Belanda tersebut. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan melalui
siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24
jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan
daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia
internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan
tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai
lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang
dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Dimulainya operasi militer.
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal Ilham Ard
mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama . Serangan
di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak
tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I
dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh
Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa
Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah
wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu
Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan
Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari
DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi
lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatra Barat.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia


yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan
pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak
jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus
Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I
Adisumarno Wiryokusumo.
Campur tangan PBB
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer yang dilakukan
oleh Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian
Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi
keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara
militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang
dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. PBB langsung
merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan
agar konflik bersenjata dihentikan. PBB mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama
“Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan
resminya.[1]
Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi
No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi
No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara
Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan Dewan
Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan
menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda
menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus
1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara
Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for
Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara
(KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia
yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh
Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr.
Frank Graham.
Gencatan senjata akhirnya tercipta, akan tapi hanya untuk sementara. Belanda kembali
mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan operasi
militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. operasi militer tersebut dikenal dengan Agresi
Militer Belanda II.
Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (bahasa Belanda: Operatie Kraai) terjadi
pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia
saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia
di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di
Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibu kota RI di Yogyakarta. Kabinet
mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap
tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak
diplomatik dapat diadakan.
Serangan ke Maguwo
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio selang dari Jakarta menyebutkan,
bahwa esok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang
penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana
pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada semua tentara Belanda di Jawa dan Sumatera
untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dikata "Operasi Kraai".
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir mendapat parasut
mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilaksanakan
briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, disertai oleh
Jenderal Spoor 15 menit selanjutnya. Dia melaksanakan inspeksi dan mengucapkan pidato
singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan
pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju
Maguwo diambil menempuh Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot
pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat digunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai
diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19
Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat
dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan
Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang selanjutnya diketahui untuk
Serangan Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan serangan
militer ini untuk "Sikap yang dibuat Polisional".
Penyerangan terhadap ibu kota republik, diawali dengan pengeboman atas lapangan
terbang Maguwo di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan
tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di
Maguwo hanya terdiri atas 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan
yang sangat minim, sebagian senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat masih
dalam kondisi rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata
lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo.
Pertempuran merebut Maguwo hanya berlanjut lebih kurang 25 menit. Pukul 7.10 bandara
Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak republik tercatat 128 tentara
tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Anda mungkin juga menyukai