Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu titik penting dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan pengosongan dan pembakaran Bandung
oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA (Belanda).
Aksi bumi hangus di Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal dalam
situasi saat itu karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan
Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik dalam
sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam berbagai bentuk
karya seni, seperti lagu atau film.
Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik dalam sejarah
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam berbagai bentuk karya seni,
seperti lagu atau film.
Latar Belakang dan Penyebab
Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2008)
menuliskan bahwa peristiwa Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan
Sekutu/Inggris pada 12 Oktober 1945. Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI,
pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
datang ke Indonesia usai memenangkan Perang Dunia II melawan Jepang. Mohamad Ully
Purwasatria dalam penelitian bertajuk "Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di
Bandung Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1948" (2014),
menyampaikan, awalnya kedatangan mereka hanya untuk membebaskan tentara Sekutu dari
tahanan Jepang. Namun, ternyata Belanda atau NICA membonceng pasukan Sekutu dan
ingin menguasai Indonesia lagi. Bergolaklah perlawanan dari prajurit dan rakyat Indonesia
atas kehadiran Belanda.
Tanggal 17 Maret 1946, Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu
Stopford, memperingatkan kepada Soetan Sjahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer
Indonesia segera meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat kota.
Hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal.
Menindaklanjuti ultimatum tersebut, pada 24 Maret 1946 pukul 10.00, Tentara Republik
Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution memutuskan untuk
membumihanguskan Bandung. Rakyat mulai diungsikan. Sebagian besar bergerak dari
selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer. Gelombang pengungsian semakin
membesar setelah matahari tenggelam.
Pasukan itu tiba di Magelang pada 26 Oktober 1945. Magelang diduduki, walau katanya
hanya untuk mengevakuasi tawanan-tawanan perang yang disekap bertahun-tahun oleh
serdadu Jepang. Banyak dari tawanan tersebut adalah orang Indonesia.
“Perselisihan timbul karena sikap orang-orang Belanda tertentu yang diperbantukan kepada
RAPWI, dan pemboikotan dilancarkan sebagai tindakan balasan oleh pemuda setempat,” tulis
Ben. Bentrokan antara tentara Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-
laskar pemuda memang tak bisa dihindari. Namun, pasukan Inggris, termasuk di dalamnya
dari unit-unit Gurkha, bisa dipukul mundur pada 21 November 1945. Meski sudah pergi dari
Magelang, pasukan Sekutu yang mundur ke Ambarawa terus didesak pasukan Republik.
Bahkan Ambarawa berhasil dikepung pasukan Republik.
Salah satu pasukan pemukul dari arah selatan berasal dari Divisi V Kedu. Komandan Divisi-
nya adalah Kolonel Sudirman. Sebelum memukul mundur pasukan Sekutu, pada 12
November 1945, Sudirman sudah terpilih menjadi Panglima TKR dalam sebuah rapat yang
semula hendak membahas strategi perang. Setelah terpilih, Sudirman tidak langsung dilantik
jadi panglima.
Dua minggu kemudian, salah seorang bawahannya terbunuh, yakni Komandan Resimen
Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman. Perwira andalan Sudirman itu terbunuh di daerah
Jambu, selatan Ambarawa.
Isdiman terbunuh pada 26 November 1945, “Ketika tank-tank Sekutu menyerbu kedudukan
pasukan TKR yang dipimpinnya. Pasukan TKR dan Laskar-laskar rakyat yang juga memiliki
meriam-meriam, memberikan perlawanan yang hebat. Tetapi di tengah-tengah api
pertempuran Sekutu mendatangkan beberapa pesawat terbang pemburu (cocor merah),” catat
Radik Utoyo Sudirjo dalam Panglima Besar Sudirman: Sebuah Kenangan Perjuangan(1985:
57). Betapa tidak main-mainnya pasukan sekutu di hari-hari pengepungan kota Ambarawa.
Kematian Isdiman disusul dengan turun langsungnya Sudirman memimpin pasukan Republik
untuk memukul mundur Sekutu. Pertempuran di sekitar Ambarawa itu seolah menjadi ujian
bagi Sudirman sebagai komandan. Di front utara Ambarawa, sekutu berusaha
mempertahankan jalur Ambarawa-Semarang.
Kapal penjelajah Inggris HMS Sussex bahkan ikut menembakkan meriam artilerinya ke
pegunungan Ungaran. Namun, hal itu tidak membuat militer mereka nyaman di Ambarawa.
Dalam Ignatius Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS (2008:35),
Julius Pour mengutip kesaksian Komodor Tull dari tim RAPWI. “Pertempuran Ambarawa
sangat mengerikan. Setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh kedua belah
pihak. Ini benar-benar Total War,” aku Tull (hlm. 35). Sampai-sampai, 75 orang bekas
tawanan perang pun harus ikut bertempur melawan tentara Republik.
Untuk menggempur serdadu-serdadu Inggris yang sudah terkepung di Ambarawa, “Kolonel
Sudirman merencanakan akan melancarkan serangan serentak. Rencana itu disetujui oleh
komandan-komandan yang lain,” tulis Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman (2001:
30). TKR berusaha tak memberi celah pada militer Sekutu untuk mundur. Kepungan itu
berakhir pada 15 Desember 1945, di mana pasukan Sekutu hanya bisa mundur ke Semarang.
Kehadiran Sekutu di Jawa Tengah pun terpaksa hanya sebatas di Semarang. Di pihak
Republik, Sudirman tentu jadi pahlawan. Tak ada lagi alasan untuk tidak menjadikannya
sebagai Panglima. Ben mencatat, “Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka
menganggap bahwa pengundurun terpaksa dari pihak sekutu itu adalah suatu kemenangan
taktis militer.” Meskipun, menurut Tull, Indonesia kehilangan 2.000 orang, baik dari laskar
maupun TKR. Sementara itu, pihak Inggris kehilangan 100 orang prajurit.
Banyaknya korban di pihak Indonesia termaklumi karena terampilnya militer Inggris.
Apalagi terdapat orang-orang Gurkha yang dikenal jago perang. Sudah pasti dengan senjata
modernnya, Inggris juga lebih unggul. TKR dan laskar-laskar Indonesia tentu sebaliknya.
Baik dalam kelengkapan senjata maupun keterampilan militer.
Pertempuran tersebut dikenang orang Indonesia sebagai Palagan Ambarawa. Lalu, oleh
Angkatan Darat, diperingati sebagai Hari Infantri, dan belakangan menjadi Hari Juang
Kartika TNI-AD.
Inggris Ngamuk dan Republik Remuk dalam Pertempuran Surabaya Senja Terakhir Brigadir
Mallaby Usaha Mempertahankan Surabaya tanpa Komandan Terlatih Kotoran Sapi di Taman
Bunga Pertempuran Surabaya Apa yang terjadi di Ambarawa pada 15 Desember 1945 itu
terulang lagi di Dien Bien Phu, Vietnam, pada 7 Mei 1954. Begitu menurut Radik Utoyo
Sudirjo (1985), yang menyebut Ambarawa adalah Dien Bien Phu-nya Indonesia (hlm. 51).
Setelah dua bulan lebih bertempur mengepung kota Dien Bien Phu, pasukan Vietnam
berhasil memukul mundur Prancis.
Sama seperti Indonesia, persenjataan Vietnam juga minim dan banyak jatuh korban jiwa.
Sementara Prancis mirip Inggris yang punya persenjataan lengkap. Para pemimpin militer
yang sukses mengusir tentara asing itu juga bernasib hampir mirip: masing-masing jadi
panglima tertinggi dan sempat menghadapi invasi militer asing lagi.
Vo Nguyen Giap memimpin pengusiran tentara Amerika pada 1975, Sudirman memimpin
perang melawan tentara Belanda pada 1948; dua-duanya lewat gerilya. Belakangan,
keduanya juga jadi Jenderal Bintang Lima di negaranya masing-masing. Kemiripan lain:
Sudirman dan Vo Nguyen Giap sama-sama pernah jadi guru sebelum memasuki dunia
militer.
Pertempuran Surabaya