Anda di halaman 1dari 9

Peristiwa Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 23 Maret 1946. Salah satu titik penting dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia ini ditandai dengan pengosongan dan pembakaran Bandung
oleh rakyat dan tentara agar tidak dijadikan markas pasukan Sekutu dan NICA (Belanda).
Aksi bumi hangus di Bandung dipandang sebagai taktik yang dirasa paling ideal dalam
situasi saat itu karena kekuatan pasukan Republik Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan
Sekutu dan NICA. Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik dalam
sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam berbagai bentuk
karya seni, seperti lagu atau film.
Bandung Lautan Api menjadi salah satu peristiwa paling heroik dalam sejarah
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam berbagai bentuk karya seni,
seperti lagu atau film.
Latar Belakang dan Penyebab
Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2008)
menuliskan bahwa peristiwa Bandung Lautan Api diawali dengan datangnya pasukan
Sekutu/Inggris pada 12 Oktober 1945. Beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI,
pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
datang ke Indonesia usai memenangkan Perang Dunia II melawan Jepang. Mohamad Ully
Purwasatria dalam penelitian bertajuk "Peranan Sukanda Bratamanggala dan Sewaka di
Bandung Utara dalam Mempertahankan Kemerdekaan Tahun 1945-1948" (2014),
menyampaikan, awalnya kedatangan mereka hanya untuk membebaskan tentara Sekutu dari
tahanan Jepang. Namun, ternyata Belanda atau NICA membonceng pasukan Sekutu dan
ingin menguasai Indonesia lagi. Bergolaklah perlawanan dari prajurit dan rakyat Indonesia
atas kehadiran Belanda.

Kronologi Peristiwa Bandung Lautan Api


Pasukan Sekutu mulai melancarkan propaganda. Rakyat Indonesia diperingatkan agar
meletakkan senjata dan menyerahkannya kepada Sekutu. Pihak Indonesia tidak menggubris
ultimatum tersebut. Angkatan perang RI merespons dengan melakukan penyerangan terhadap
markas–markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger
yang menjadi markas besar Sekutu, pada malam tanggal 24 November 1945. Pada 27
November 1945, Kolonel MacDonald selaku panglima perang Sekutu sekali lagi
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk Djamin, agar rakyat dan
tentara segera mengosongkan wilayah Bandung Utara. Peringatan yang berlaku sampai
tanggal 29 November 1945 pukul 12.00 harus dipenuhi. Jika tidak, maka Sekutu akan
bertindak keras. Ultimatum kedua itu pun tidak digubris sama sekali. Beberapa pertempuran
terjadi di Bandung Utara. Pos-pos Sekutu di Bandung menjadi sasaran penyerbuan.

Tanggal 17 Maret 1946, Panglima Tertinggi AFNEI di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu
Stopford, memperingatkan kepada Soetan Sjahrir selaku Perdana Menteri RI agar militer
Indonesia segera meninggalkan Bandung Selatan sampai radius 11 kilometer dari pusat kota.
Hanya pemerintah sipil, polisi, dan penduduk sipil yang diperbolehkan tinggal.
Menindaklanjuti ultimatum tersebut, pada 24 Maret 1946 pukul 10.00, Tentara Republik
Indonesia (TRI) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution memutuskan untuk
membumihanguskan Bandung. Rakyat mulai diungsikan. Sebagian besar bergerak dari
selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer. Gelombang pengungsian semakin
membesar setelah matahari tenggelam.

Pembumihangusan Bandung pun dimulai. Warga yang hendak meninggalkan rumah


membakarnya terlebih dahulu. Pasukan TRI punya rencana yang lebih besar lagi. TRI
merencanakan pembakaran total pada 24 Maret 1945 pukul 24.00, namun rencana ini tidak
berjalan mulus karena pada pukul 20.00 dinamit pertama telah meledak di Gedung Indische
Restaurant. Lantaran tidak sesuai rencana, pasukan TRI melanjutkan aksinya dengan
meledakkan gedung-gedung dan membakar rumah-rumah warga di Bandung Utara. Malam
itu, Bandung terbakar dan peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan Bandung Lautan
Api.

Tokoh Bandung Lautan Api


Dari Indonesia: Mohammad Endang Karmas, Moeljono, Datuk Djamin, Soetan Sjahrir,
Kolonel A.H. Nasution. Dari Belanda: Brigadir MacDonald, Letnan Jenderal Montagu
Stophord
Pertempuran Ambarawa
Sedari zaman kolonial, Ambarawa adalah kota militer bagi Hindia Belanda. Ada Benteng
Willem I, yang disebut juga Benteng Pendem, di sana. Lokasinya tak jauh dari Museum
Kereta Api Ambarawa, yang dulunya stasiun.
Pada masa pendudukan Jepang, Ambarawa memiliki sebuah kamp yang berisikan khusus
perempuan dan anak-anak Belanda. Seperti diungkap Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil
Petite Histoire Indonesia Volume I (2004:192), di antara perempuan-perempuan itu dijadikan
budak nafsu militer Jepang.
Data tersebut dipetik Rosihan dari De Japanse bezetting in dagboeken — Vrouwenkamp
Ambarawa 6 (2001) yang disusun Mariska Heijmans van Bruggen. Buku ini adalah
kumpulan catatan harian seorang perempuan di Kamp Ambarawa pada zaman Jepang
Sebagai kota yang ada kamp tawanannya, Ambarawa pun didatangi pasukan sekutu setelah
Jepang menyerah kalah. Mereka datang atas nama Rehabilitation of Allied Prisoners of War
and Internees (RAPWI), yang tugasnya melakukan rehabilitasi tawanan perang dan internir.
RAPWI tak melulu datang sebagai tim medis. Pasukan bersenjata bersama mereka.
Pada 19 Oktober 1945, militer Inggris di bawah pimpinan Brigadier R.G. Bethell, "dikirim ke
Semarang satu brigade campuran yang diberi nama CRA's Brigade," tulis R.H.A. Saleh
dalam Mari Bung Rebut Kembali (2000: 77). CRA's Brigade bukan kesatuan organik,
melainkan campuran dari satuan-satuan infanteri. Brigadier Bethell sendiri sejatinya
Komandan Satuan Artileri Divisi 23 militer Inggris. Pasukan inilah yang ikut mengurusi
pembebasan tawanan di sekitar Semarang, Ambarawa, dan Magelang.
Tak hanya Ambarawa yang menjadi sasaran RAPWI, mereka merangsek lebih dalam lagi ke
tengah pulau Jawa. “Kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan Gurkha bergerak ke suatu tempat
di selatan Ambarawa, dan Magelang, di mana lebih dari 10.000 tahanan, terutama wanita dan
anak-anak, sedang menunggu,” catat Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan
Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 174).

Pasukan itu tiba di Magelang pada 26 Oktober 1945. Magelang diduduki, walau katanya
hanya untuk mengevakuasi tawanan-tawanan perang yang disekap bertahun-tahun oleh
serdadu Jepang. Banyak dari tawanan tersebut adalah orang Indonesia.
“Perselisihan timbul karena sikap orang-orang Belanda tertentu yang diperbantukan kepada
RAPWI, dan pemboikotan dilancarkan sebagai tindakan balasan oleh pemuda setempat,” tulis
Ben. Bentrokan antara tentara Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-
laskar pemuda memang tak bisa dihindari. Namun, pasukan Inggris, termasuk di dalamnya
dari unit-unit Gurkha, bisa dipukul mundur pada 21 November 1945. Meski sudah pergi dari
Magelang, pasukan Sekutu yang mundur ke Ambarawa terus didesak pasukan Republik.
Bahkan Ambarawa berhasil dikepung pasukan Republik.
Salah satu pasukan pemukul dari arah selatan berasal dari Divisi V Kedu. Komandan Divisi-
nya adalah Kolonel Sudirman. Sebelum memukul mundur pasukan Sekutu, pada 12
November 1945, Sudirman sudah terpilih menjadi Panglima TKR dalam sebuah rapat yang
semula hendak membahas strategi perang. Setelah terpilih, Sudirman tidak langsung dilantik
jadi panglima.
Dua minggu kemudian, salah seorang bawahannya terbunuh, yakni Komandan Resimen
Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman. Perwira andalan Sudirman itu terbunuh di daerah
Jambu, selatan Ambarawa.

Isdiman terbunuh pada 26 November 1945, “Ketika tank-tank Sekutu menyerbu kedudukan
pasukan TKR yang dipimpinnya. Pasukan TKR dan Laskar-laskar rakyat yang juga memiliki
meriam-meriam, memberikan perlawanan yang hebat. Tetapi di tengah-tengah api
pertempuran Sekutu mendatangkan beberapa pesawat terbang pemburu (cocor merah),” catat
Radik Utoyo Sudirjo dalam Panglima Besar Sudirman: Sebuah Kenangan Perjuangan(1985:
57). Betapa tidak main-mainnya pasukan sekutu di hari-hari pengepungan kota Ambarawa.
Kematian Isdiman disusul dengan turun langsungnya Sudirman memimpin pasukan Republik
untuk memukul mundur Sekutu. Pertempuran di sekitar Ambarawa itu seolah menjadi ujian
bagi Sudirman sebagai komandan. Di front utara Ambarawa, sekutu berusaha
mempertahankan jalur Ambarawa-Semarang.
Kapal penjelajah Inggris HMS Sussex bahkan ikut menembakkan meriam artilerinya ke
pegunungan Ungaran. Namun, hal itu tidak membuat militer mereka nyaman di Ambarawa.
Dalam Ignatius Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS (2008:35),
Julius Pour mengutip kesaksian Komodor Tull dari tim RAPWI. “Pertempuran Ambarawa
sangat mengerikan. Setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh kedua belah
pihak. Ini benar-benar Total War,” aku Tull (hlm. 35). Sampai-sampai, 75 orang bekas
tawanan perang pun harus ikut bertempur melawan tentara Republik.
Untuk menggempur serdadu-serdadu Inggris yang sudah terkepung di Ambarawa, “Kolonel
Sudirman merencanakan akan melancarkan serangan serentak. Rencana itu disetujui oleh
komandan-komandan yang lain,” tulis Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman (2001:
30). TKR berusaha tak memberi celah pada militer Sekutu untuk mundur. Kepungan itu
berakhir pada 15 Desember 1945, di mana pasukan Sekutu hanya bisa mundur ke Semarang.
Kehadiran Sekutu di Jawa Tengah pun terpaksa hanya sebatas di Semarang. Di pihak
Republik, Sudirman tentu jadi pahlawan. Tak ada lagi alasan untuk tidak menjadikannya
sebagai Panglima. Ben mencatat, “Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka
menganggap bahwa pengundurun terpaksa dari pihak sekutu itu adalah suatu kemenangan
taktis militer.” Meskipun, menurut Tull, Indonesia kehilangan 2.000 orang, baik dari laskar
maupun TKR. Sementara itu, pihak Inggris kehilangan 100 orang prajurit.
Banyaknya korban di pihak Indonesia termaklumi karena terampilnya militer Inggris.
Apalagi terdapat orang-orang Gurkha yang dikenal jago perang. Sudah pasti dengan senjata
modernnya, Inggris juga lebih unggul. TKR dan laskar-laskar Indonesia tentu sebaliknya.
Baik dalam kelengkapan senjata maupun keterampilan militer.
Pertempuran tersebut dikenang orang Indonesia sebagai Palagan Ambarawa. Lalu, oleh
Angkatan Darat, diperingati sebagai Hari Infantri, dan belakangan menjadi Hari Juang
Kartika TNI-AD.
Inggris Ngamuk dan Republik Remuk dalam Pertempuran Surabaya Senja Terakhir Brigadir
Mallaby Usaha Mempertahankan Surabaya tanpa Komandan Terlatih Kotoran Sapi di Taman
Bunga Pertempuran Surabaya Apa yang terjadi di Ambarawa pada 15 Desember 1945 itu
terulang lagi di Dien Bien Phu, Vietnam, pada 7 Mei 1954. Begitu menurut Radik Utoyo
Sudirjo (1985), yang menyebut Ambarawa adalah Dien Bien Phu-nya Indonesia (hlm. 51).
Setelah dua bulan lebih bertempur mengepung kota Dien Bien Phu, pasukan Vietnam
berhasil memukul mundur Prancis.
Sama seperti Indonesia, persenjataan Vietnam juga minim dan banyak jatuh korban jiwa.
Sementara Prancis mirip Inggris yang punya persenjataan lengkap. Para pemimpin militer
yang sukses mengusir tentara asing itu juga bernasib hampir mirip: masing-masing jadi
panglima tertinggi dan sempat menghadapi invasi militer asing lagi.
Vo Nguyen Giap memimpin pengusiran tentara Amerika pada 1975, Sudirman memimpin
perang melawan tentara Belanda pada 1948; dua-duanya lewat gerilya. Belakangan,
keduanya juga jadi Jenderal Bintang Lima di negaranya masing-masing. Kemiripan lain:
Sudirman dan Vo Nguyen Giap sama-sama pernah jadi guru sebelum memasuki dunia
militer.
Pertempuran Surabaya

Sejarah Pertempuran Surabaya melawan Inggris mencapai puncaknya tanggal 10 November


1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Ini merupakan perang pertama
bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 5: Gerak Maju Jalur Pemikiran Abad ke 21 Homo
Sapiens Modern Kembali ke Benua Afrika (2009) menggambarkan Pertempuran Surabaya 10
November 1945 lewat tulisan sebagai berikut: “Tiap kali kita merayakan Hari Pahlawan, 10
November, kita menyatakan supaya kita membangkitkan semangat seperti pada waktu 10
November 1945, di mana rakyat Kota Surabaya melawan tentara Inggris yang ingin
menghukum dan menundukkan penduduk Kota Surabaya. Sebuah pertempuran besar yang
terkenal secara internasional.” “Rakyat kampung-kampung Surabaya telah mengorbankan
20.000 jiwa penduduknya dan Inggris kehilangan serdadunya dalam pertempuran dengan
senjata modern pada waktu itu.”
Latar Belakang, Kronologi, Dampak Sejarah
Tanggal 31 Agustus 1945 atau kurang lebih setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan,
pemerintah menyerukan bahwa mulai 1 September 1945, bendera merah putih dikibarkan di
seluruh wilayah Indonesia.
Dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro
dan Nugroho Notosusanto, para pemuda dan pejuang di Surabaya menurunkan dan merobek
warna biru dalam triwarna bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato 19 September
1945.
Bendera tersebut kemudian dinaikkan kembali dengan menyisakan warna merah dan putih
yang merupakan warna bendera Indonesia.
Sebelumnya, pasukan Sekutu, termasuk ada Inggris dan Belanda (NICA), telah tiba di Jakarta
pada 15 September 1945. Pasukan gabungan yang baru saja memenangkan Perang Dunia
Kedua atas Jepang ini memasuki Kota Surabaya tanggal 25 Oktober 1945.
Pasukan Sekutu termasuk Inggris dan Belanda tergabung dalam Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees (RAPWI) atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang
dan Interniran untuk melucuti senjata tentara Jepang.
Perang pertama antara pejuang RI dan arek-arek Surabaya melawan Sekutu atau Inggris
terjadi pada 27 Oktober 1945. Tanggal 30 Oktober 1945, dinukil dari Sedjarah TNI-Angkatan
Darat 1945-1965 (1965), pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal
Aubertin Mallaby, tewas dalam suatu insiden.
Akhir & Dampak Pertempuran Surabaya
Posisi Mallaby sebagai pemimpin pasukan di Jawa Timur kemudian digantikan oleh Mayor
Jenderal Robert Mansergh yang juga Komandan Divisi 5 Inggris.
G. Moedjanto dalam Indonesia Abad ke-20 (1998) menuliskan, tanggal 9 November 1945
Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya, yang
isinya antara lain:
 Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri.
 Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada
Inggris.
 Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan
menyerah tanpa syarat.
Para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya, dan segenap rakyat tidak mengindahkan
ancaman Inggris. Maka, terjadilah pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945.
Pertempuran ini menelan korban nyawa hingga ribuan jiwa, Surabaya pun hancur lebur.
Salah satu tokoh yang berperan besar mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya
dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo.
M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1993) mencatat, dampak dari peristiwa
bersejarah ini menewaskan setidaknya 6.000 -16.000 orang dari pihak Indonesia. Sedangkan
korban tewas dari pasukan Sekutu kira-kira sejumlah 600-2.000 orang.
Tak hanya itu. Menurut Stanley Woodburn Kirby dalam The War Against Japan (1965), tidak
kurang dari 200.000 orang yang terdiri dari rakyat sipil terpaksa mengungsi dari Surabaya ke
daerah-daerah yang lebih aman akibat pecahnya pertempuran tersebut.
Pertempuran Surabaya juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia
untuk melakukan perlawanan. Setahun setelah peristiwa itu, yakni pada 10 November 1946,
Presiden Sukarno menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari
Pahlawan dan diperingati hingga saat ini.
Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi fisik atau masa
perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Peperangan ini terjadi di Medan,
Sumatera Utara (dulu masih bernama Sumatera Timur), beberapa bulan setelah proklamasi.
Pemicu pecahnya Pertempuran Medan Area ini adalah kedatangan pasukan Sekutu di
Sumatera Utara pada 9 Oktober 1945. Tujuan kehadiran Sekutu selaku pemenang Perang
Dunia II adalah mengurus tawanan dan melucuti senjata tentara Jepang di Indonesia.
Ternyata, Sekutu diboncengi oleh pasukan Belanda yang saat itu memakai nama Netherland
Indies Civil Administration (NICA). Belanda rupanya ingin kembali menguasai wilayah
Indonesia yang dulu beratus-ratus tahun mereka duduki.
Rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara, khususnya di Medan, tentu tidak tinggal diam
melihat gelagat buruk tersebut. Maka, terjadilah konflik bersenjata yang kemudian dikenal
sebagai Pertempuran Medan Area.
Kronologi Peristiwa
Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia telah menyatakan proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kabar gembira tersebut baru sampai ke
rakyat Medan 10 hari berselang atau pada 27 Agustus 1945.
Namun, kedatangan pasukan Sekutu yang disertai oleh NICA atau balatentara Belanda
membuat rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara merasa terusik.
Ahmad Tahir dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan (1995:90) mengisahkan, di
Medan, Belanda mulai menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. NICA mengumpulkan
para mantan serdadu Belanda di Medan untuk membentuk kembali kekuatan militer mereka.
Para pemuda di Medan pun segera mengambil sikap. Dimotori oleh Ahmad Tahir yang
pernah bergabung dengan tentara sukarela (gyugun) pada masa pendudukan Jepang,
dibentuklah Barisan Pemuda sebagai tindakan antisipasi.
Barisan Pemuda di Medan punya ciri khas, yakni mengenakan lencana merah-putih. Tanggal
13 Oktober 1945, tentara Belanda menginjak-injak lencana kebanggaan tersebut. Insiden
inilah yang memicu pecahnya perang di Medan.
Dalam peristiwa yang disebut Pertempuran Medan Area itu, pihak republik berhasil
melumpuhkan hampir 100 orang serdadu Belanda. Hal ini membuat militer Belanda murka
dan menetapkan sejumlah aturan.
Ditegaskan oleh Belanda bahwa rakyat Indonesia di Medan tidak boleh membawa senjata.
Mereka yang masih membawa senjata diwajibkan menyerahkannya kepada pihak Belanda
atau Sekutu. Tentu saja, rakyat Medan tidak mematuhi aturan tersebut. Petrik Matanasi dalam
“Sejarah Pertempuran Medan Area” menuliskan, tanggal 1 Desember 1945, Sekutu
menetapkan beberapa garis batas di beberapa titik kota Medan.
Simbol pembatas ini adalah papan-papan yang di dalamnya terdapat tulisan Fixed Boundaries
Medan Area. Penyebutan ‘Medan Area’ sebagai nama pertempuran ini diklaim berawal dari
papan tersebut.
Konflik kian membara. Terjadilah peperangan lagi pada 10 Desember 1945. Pasukan RI di
bawah komando Abdul Karim meladeni tentara Sekutu atau Belanda di Deli Tua. Di Kota
Medan, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran. Tercatat dalam Sejarah
Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan,
kaum rakyat pejuang di Medan meladeni serbuan tersebut. Perang yang terjadi membuat
jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak.
Buku Republik Indonesia: Sumatera Utara (1953), mencatat, kala itu Kota Medan digempur
peperangan, situasi kacau-balau, para prajurit Sekutu melakukan berbagai tindakan keji yang
membuat rakyat Medan kian murka.
Akhir Pertempuran
Sekutu dan NICA akhirnya berhasil menduduki Kota Medan pada April 1946. Pusat
perjuangan rakyat Medan pun terpaksa digeser ke Pematang Siantar. Kendati begitu, masih
terjadi perlawanan, termasuk pada 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi.
Para komandan pasukan RI yang berjuang di Medan kemudian bertemu dan membentuk
satuan komando bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Tanggal 19
Agustus 1946, dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kabanjahe. Dikutip dari artikel
"Terbentuknya TKR di Tanah Karo" dalam laman Pemerintah Kabupaten Karo, BPI menjadi
salah satu unsur pembentuk Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal-bakal
Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Laskar-laskar rakyat di berbagai daerah di Sumatera Utara terus melancarkan perlawanan
terhadap Sekutu dan NICA meskipun Kota Medan telah diduduki. Tak hanya di Sumatera
Utara, gelora perlawanan juga terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera, seperti Padang,
Bukittinggi, Aceh, dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai