Anda di halaman 1dari 29

REVOLUSI ILITER INDONESIA

Makalah

Diperuntukkan untuk memenuhi tugas pada mata pelajaran sejarah

Kelompok :

Deryl Ramadani Akbar (09)

Itsnaniyah Nurul Fajriyah (12)

Mariska Amelia Putri (15)

Mohammad Ragaf (18)

Sarah Faradisa (24)

Titania Agustina Salsabilla (26)

Winda Amalia Putri .M .A (30)

SEKOLAH MENENGAH ATAS SMA NEGERI 2 JEMBER

TAHUN AJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang hingga saat ini
masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga kami diberi
kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas
penulisan makalah tentang “Revolusi Militer Indonesia”. Sekaligus pula kami
menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk Bapak Priangga
yang telah menyerahkan kepercayaannya kepada kami guna menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Kami juga berharap dengan sungguh-sungguh
supaya makalah ini mampu berguna serta bermanfaat dalam meningkatkan
pengetahuan tentang sejarah, definisi, jenis-jenis, dan info-info lainnya terkait
makalah kami, yaitu “Revolusi Militer Indonesia”.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan
banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami
tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif. Di akhir kami
berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh setiap pihak yang
membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Jember,17 Februari 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................01
KATA PENGANTAR..........................................................................................02
DAFTAR ISI........................................................................................................03
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................04
1.1 Latar Belakang.................................................................................................05
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................05
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................06
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................06

BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................................07
2.1 Peristiwa 5 Hari Semarang..............................................................................07
2.2 Peristiwa Pertempuran Medan Area................................................................09
2.3 Peristiwa Pertempuran Ambarawa..................................................................12
2.4 Peristiwa Bandung Lautan Api.......................................................................14
2.5 Peristiwa 10 November 1945 Surabaya..........................................................17
2.6 Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.......................................................23
2.7 Peristiwa Yogya Kembali...............................................................................25

BAB 3 PENUTUPAN...........................................................................................27
3.1 Kesimpulan................................................................................................27
3.2 Kritik dan Saran.........................................................................................28

DAFTAR PUSAKA…..........................................................................................29

3
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kedatangan NICA dan Sekutu ke Indonesia bermula saat Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, 15 Agustus 1945. Kejadian ini menjadi arti
bahwa Sekutu memiliki hak atas kekuasaan Jepang di berbagai wilayah yang
pernah dikuasai Jepang. Terkhususnya wilayah yang sebelumnya adalah jajahan
negara-negara yang masuk kelompok Sekutu, termasuk Belanda yang pernah
menguasai Indonesia. Oleh karena itu, Sekutu datang ke Indonesia dengan tujuan
untuk melucuti tentara Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II. Sekutu juga
ingin mengembalikan pemerintahan sipil yang telah dijajah oleh Jepang. Akan
tetapi, sebelum Sekutu datang ke Indonesia, telah terlebih dulu ditandatangani
Persetujuan Bersama atau Civil Affairs Agreement antara Inggris dengan Belanda.
Perjanjian ini mengatur pemindahan kekuasaan di Indonesia dari British Mililtary
Administration kepada Netherland Indies Civil Administration (NICA) pada 24
Agustus 1945. Oleh sebab itu, NICA kemudian membonceng tentara Sekutu
untuk kembali ke Indonesia. Tujuannya adalah agar Belanda dapat kembali
menguasai Indonesia. Pada 20 Oktober 1945, Sekutu yang dipimpin Brigadir
Bethel datang ke Indonesia. Maksud mereka adalah untuk menerima penyerahan
kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan para tawanan perang Jepang di
Indonesia, dan melucuti senjata para tawanan.
Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu memiliki keterkaitan dengan
kemerdekaan Indonesia. Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada
tanggal 15 Agustus 1945. Peristiwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu
diawali dengan serangan dua bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus
1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Kehancuran yang disebabkan oleh bom
atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki serta ancaman dari Uni Soviet membuat
Jepang sadar bahwa kekalahan sudah tidak dapat dielakkan. Akhirnya, pada 14
Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito memutuskan untuk menyerah tanpa syarat
kepada Sekutu. Keesokan harinya, pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito

4
menyampaikan langsung keputusan menyerahnya Jepang tanpa syarat terhadap
Sekutu melalui radio nasional. Pasukan Jepang sendiri berusaha menyembunyikan
berita ini, supaya tidak terdengar oleh para pemuda Indonesia. Akan tetapi, berita
tersebut terdengar oleh salah satu tokoh Tanah Air pada masa itu. Tokoh yang
mendengar berita Jepang menyerah kepada Sekutu adalah Sutan Syahrir. Begitu
Syahrir mendengar berita tersebut, ia segera menindaklanjutinya dengan mengajak
para pejuang golongan muda untuk mendesak Soekarno agar segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sambil menunggu penyerahan
kekuasaan di Indonesia kepada Sekutu, Jepang diwajibkan menjaga status quo,
yang artinya Jepang wajib menjaga Indonesia dari penguasaan Belanda.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana terjadinya peristiwa 5 hari Semarang?

2. Bagaimana terjadinya peristiwa Pertempuran Medan Area?

3. Bagaimana terjadinya peristiwa Pertempuran Ambarawa?

4. Bagaimana terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api?

5. Bagaimana terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya?

6. Bagaimana terjadinya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949?


7. Bagaimana terjadinya peristiwa Yogya Kembali?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa 5 hari Semarang.

2. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa Pertempuran Medan Area.


3. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa Pertempuran Ambarawa.

4. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api.

5. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

5
6. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
7. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa Yogya Kembali.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
pembaca mengenai pemahaman terhadap Revolusi Militer Indonesia.
2.Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan
mengenai studi tentang Revolusi Militer Indonesia.
3. Penelitian ini diharapkan mampu menyediakan referensi baru tentang
Revolusi Militer Indonesia.

6
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Peristiwa 5 Hari Semarang

Pertempuran 5 Hari di Semarang terjadi pada tanggal 15 sampai dengan 19


Oktober 1945. Pertempuran Lima Hari atau yang juga disebut Palagan 5 Dina ini
termasuk dalam rangkaian sejarah kemerdekaan Indonesia seiring kalahnya
Jepang dari Sekutu di Perang Dunia II. Peristiwa Pertempuran Lima Hari di
Semarang melibatkan sisa-sisa pasukan Jepang di Indonesia dengan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) atau angkatan perang Indonesia saat itu sebelum
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejarah Pertempuran Lima Hari di
Semarang kemudian dikenang dengan dibangunnya sebuah monumen yakni Tugu
Muda di Simpang Lima di ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini.

2.1.1 Latar Belakang

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan pada 17 Agustus


1945, masih cukup banyak prajurit Jepang yang belum bisa pulang ke negaranya.
Tidak sedikit serdadu Jepang yang dipekerjakan, misalnya di pabrik-pabrik atau
sektor lain. Seiring dengan itu, pasukan Sekutu, termasuk Belanda, mulai datang
ke Indonesia dengan maksud melucuti senjata dan memulangkan para mantan
tentara Jepang yang masih tersisa. Saat itu, mereka akan dipindahkan ke
Semarang, namun melarikan diri dari pengawalan. Ratusan bekas serdadu Jepang
tersebut melakukan perlawanan dan kabur ke daerah Jatingaleh. Di sana, mereka
bergabung dengan pasukan batalion Kidobutai yang dipimpin oleh Mayor Kido.
Latar Belakang penyebab terjadinya pertempuran 5 hari di Semarang adalah
karena larinya tentara Jepang dan tewasnya dr. Karyadi. Dokter Karyadi tewas
ditembak oleh tentara Jepang saat akan melaksanakan tugas untuk memeriksa
Reservoir Siranda di Candi Lama, salah satu sumber mata air di Kota Semarang.
Pemeriksanaan tersebut berdasarkan berita bahwa Jepang menebarkan racun di

7
mata air tersebut. Akibatnya, rakyat Semarang semakin marah dan melakukan
serangan balasan kepada tentara Jepang.

2.1.2 Kronologi

Upaya penentangan dari para mantan prajurit Jepang mulai terlihat di


Semarang. Mereka bergerak melakukan perlawanan dengan alasan mencari dan
menyelamatkan orang-orang Jepang yang ditawan. Menurut catatan Ahmad
Muslih dan kawan-kawan dalam buku ajar Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:189),
Pertempuran Lima Hari di Semarang dimulai sejak 15 hingga 20 Oktober 1945.
Pada dini hari tanggal 15 Oktober, kurang lebih 2.000 orang dari Kidobutai
mendatangi Kota Semarang. Perang ini terjadi di empat titik di Semarang, yakni
daerah Kintelan, Pandanaran, Jombang, dan di depan Lawang Sewu (Simpang
Lima). Lokasi konflik yang disebut banyak menelan korban dan berdurasi paling
lama adalah di Simpang Lima atau yang kini disebut daerah Tugu Muda. Agar
pertikaian tidak berlarut-larut, maka digelar perundingan untuk mengupayakan
gencatan senjata. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono mewakili Indonesia,
sedangkan dari Jepang hadir Letnan Kolonel Nomura, Komandan Tentara Dai
Nippon. Selain itu, ada pula perwakilan dari pihak Sekutu yakni Brigadir Jenderal
Bethel. Perdamaian antara kedua belah pihak pun terjadi. Pada 20 Oktober 1945,
pihak Sekutu melucuti seluruh persenjataaan para tentara Jepang. Peristiwa
Pertempuran Lima Hari kemudian dikenang dengan pembangunan Tugu Muda di
Simpang Lima, Kota Semarang. Dikutip dari Monumen Perjuangan: Volume 2
(2008), pembangunan Tugu Muda dimulai pada 1952 dan diresmikan oleh
Presiden Sukarno tanggal 20 Mei 1953. dr. Kariadi, dokter sekaligus Kepala
Laboratorium Dinas Pusat yang dikabarkan diracuni oleh tentara Jepang. Nama
dr. Kariadi kemudian diabadikan untuk nama rumah sakit di Semarang.

8
2.2 Peristiwa Pertempuran Medan Area

Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi


fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Perang
Medan Area ini terjadi di Medan, Sumatera Utara (dulu masih bernama Sumatera
Timur), beberapa bulan setelah proklamasi. Pemicu pecahnya Pertempuran Medan
Area ini adalah kedatangan pasukan Sekutu di Sumatera Utara pada 9 Oktober
1945. Tujuan kehadiran Sekutu selaku pemenang Perang Dunia II adalah
mengurus tawanan dan melucuti senjata tentara Jepang di Indonesia.

2.2.1 Latar Belakang

Kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru sampai di kota Medan


pada 27 Agustus 1945. Tentara Jepang membuat sensor ketat berita dan
keterlambatan berita proklamasi. Kabar kemerdekaan ini disampaikan oleh Mr.
Teuku M. Hassan. Dia kemudian diangkat menjadi gubernur Sumatera. Mengutip
dari buku Ilmu Pengetahuan Sosial 3, Achmad Tahir membentuk Barisan Pemuda
Indonesia. Kelompok ini beraksi pada 4 Oktober 1945 untuk mengambil alih
gedung pemerintah dan persenjataan milik Jepang. Pasukan Sekutu yang
diboncengi NICA datang pada 9 Oktober 1945. Brigadir Jenderal T.E.D Kelly
bersama NICA mendarat di kota Medan. Tanggal 18 Oktober 1945, pihak Sekutu
mengeluarkan maklumat. Isi maklumat tersebut adalah larangan membawa senjata
dan semua senjata harus diserahkan pada sekutu. Tanggal 1 Desember 1945,
AFNEI sampai memasang papan bertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area"
artinya batas resmi wilayah Medan. Papan tersebut memicu kemarahan rakyat
Sumatera Utara. Pihak sekutu dan NICA melakukan aksi serupa di beberapa kota
di Indonesia. Hal ini memicu perlawanan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan
pemuda di Sumatera. Pada 10 Desember 1945, pasukan dari Inggris dan NICA
berusaha menghancurkan kamp TKR di Trepes. Namun usaha tersebut digagalkan
oleh pemuda. Para pemuda melakukan perlawanan hingga menghancurkan
beberapa truk milik sekutu.

9
2.2.2 Kronologi

Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia telah


menyatakan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kabar
gembira tersebut baru sampai ke rakyat Medan 10 hari berselang atau pada 27
Agustus 1945. Namun, kedatangan pasukan Sekutu yang disertai oleh NICA atau
balatentara Belanda membuat rakyat dan kaum pejuang di Sumatera Utara merasa
terusik. Ahmad Tahir dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan
(1995:90) mengisahkan, di Medan, Belanda mulai menunjukkan pergerakan yang
mencurigakan. NICA mengumpulkan para mantan serdadu Belanda di Medan
untuk membentuk kembali kekuatan militer mereka. Para pemuda di Medan pun
segera mengambil sikap. Dimotori oleh Ahmad Tahir yang pernah bergabung
dengan tentara sukarela (gyugun) pada masa pendudukan Jepang, dibentuklah
Barisan Pemuda sebagai tindakan antisipasi. Barisan Pemuda di Medan punya ciri
khas, yakni mengenakan lencana merah-putih. Tanggal 13 Oktober 1945, tentara
Belanda menginjak-injak lencana kebanggaan tersebut. Insiden inilah yang
memicu pecahnya perang di Medan. Dalam peristiwa yang disebut Pertempuran
Medan Area itu, pihak republik berhasil melumpuhkan hampir 100 orang serdadu
Belanda. Hal ini membuat militer Belanda murka dan menetapkan sejumlah
aturan. Ditegaskan oleh Belanda bahwa rakyat Indonesia di Medan tidak boleh
membawa senjata. Mereka yang masih membawa senjata diwajibkan
menyerahkannya kepada pihak Belanda atau Sekutu. Tentu saja, rakyat Medan
tidak mematuhi aturan tersebut. Petrik Matanasi dalam “Sejarah Pertempuran
Medan Area” menuliskan, tanggal 1 Desember 1945, Sekutu menetapkan
beberapa garis batas di beberapa titik kota Medan. Simbol pembatas ini adalah
papan-papan yang di dalamnya terdapat tulisan Fixed Boundaries Medan Area.
Penyebutan ‘Medan Area’ sebagai nama pertempuran ini diklaim berawal dari
papan tersebut. Konflik kian membara. Terjadilah peperangan lagi pada 10
Desember 1945. Pasukan RI di bawah komando Abdul Karim meladeni tentara
Sekutu atau Belanda di Deli Tua. Di Kota Medan, Sekutu dan NICA melancarkan
serangan besar-besaran. Tercatat dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (1984)

10
karya Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan, kaum rakyat pejuang di
Medan meladeni serbuan tersebut. Perang yang terjadi membuat jatuhnya banyak
korban dari kedua belah pihak. Buku Republik Indonesia: Sumatera Utara (1953),
mencatat, kala itu Kota Medan digempur peperangan, situasi kacau-balau, para
prajurit Sekutu melakukan berbagai tindakan keji yang membuat rakyat Medan
kian murka. “Selanjutnya seorang perwira Inggris diculik oleh pemuda, beberapa
truk berhasil dihancurkan. Dengan peristiwa ini TED Kelly kembali mengancam
para pemuda [Republik] agar menyerahkan senjata mereka,” tulis penyusun buku
Sejarah Nasional Indonesia VI (1984) karya Marwati Djoened Poesponegoro.
Aksi-aksi bersenjata itu lalu dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Setelah
itu, Medan terbagi dua. Sisi timur yang dekat laut dikuasai Sekutu, sementara sisi
bimur yang ke arah pedalaman Sumatra Utara dikuasai Republik. Jalan kereta api
dari Pulo Brayan ke Medan jadi pembatasnya. Pada bulan April 1946, pemerintah
RI di dalam kota Medan terus didesak militer-militer asing itu hingga akhirnya
Gubernur Sumatra, Walikota Medan, dan petinggi TKR menyingkir ke Pematang
Siantar. Setelah itu, Medan menjadi salah satu kota penting bagi NICA dan
menjadi ibu kota Negara Sumatra Timur. Sekutu dan NICA akhirnya berhasil
menduduki Kota Medan pada April 1946. Pusat perjuangan rakyat Medan pun
terpaksa digeser ke Pematang Siantar. Kendati begitu, masih terjadi perlawanan,
termasuk pada 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi. Para komandan pasukan RI yang
berjuang di Medan kemudian bertemu dan membentuk satuan komando bernama
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Tanggal 19 Agustus 1946,
dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Kabanjahe. Dikutip dari artikel
"Terbentuknya TKR di Tanah Karo" dalam laman Pemerintah Kabupaten Karo,
BPI menjadi salah satu unsur pembentuk Badan Keselamatan Rakyat (BKR) yang
merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laskar-laskar rakyat di
berbagai daerah di Sumatera Utara terus melancarkan perlawanan terhadap Sekutu
dan NICA meskipun Kota Medan telah diduduki. Tak hanya di Sumatera Utara,
gelora perlawanan juga terjadi di berbagai daerah lain di Sumatera, seperti
Padang, Bukittinggi, Aceh, dan lainnya.

11
2.3 Peristiwa Pertempuran Ambarawa

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran yang terjadi antara Tentara


Indonesia dengan Tentara Inggris. Peristiwa ini terjadi antara 20 Oktober sampai
15 Desember 1945 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Pertempuran Ambarawa dimulai saat pasukan Sekutu dan NICA atau
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai tawanan perang
Belanda di Ambarawa dan Magelang. Hal ini kemudian memicu kemarahan pada
penduduk setempat. Hubungan pun semakin runyam saat Sekutu mulai melucuti
senjata anggota Angkatan Darat Indonesia.

2.3.1 Latar Belakang

Peristiwa Pertempuran Ambarawa dimulai saat terjadi insiden di


Magelang. Pada 20 Oktober 1945, Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 atau
militer Inggris mendarat di Semarang yang dipimpin oleh Brigadir Bethell. Oleh
pihak Republik Indonesia, Bethell diperkenankan untuk mengurus pelucutan
pasukan Jepang. Ia juga diperbolehkan untuk melakukan evakuasi 19.000
interniran Sekutu (APW) yang berada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan
Magelang. Tetapi, ternyata mereka diboncengi oleh orang-orang NICA
(Netherland Indies Civil Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.
Mereka kemudian mempersenjatai para tawanan Jepang. Pada 26 Oktober 1945,
insiden ini pecah di Magelang. Pertempuran pun berlanjut antara Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris. Pertempuran sempat berhenti
setelah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigadir Bethell di Magelang pada 2
November 1945. Mereka pun mengadakan perundingan untuk melakukan
gencatan senjata. Melalui perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan,
antara lain pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk
melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APW, jalan raya
Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia dan Inggris, inggris tidak
akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada di bawah
kekuasaannya. Sayangnya, pihak Inggris mengingkari perjanjian tersebut.

12
Kesempatan dan kelemahan yang ada dalam pasal tersebut dipergunakan Inggris
untuk menambah jumlah pasukannya yang berada di Magelang.

2.3.2 Kronologi

Pertempuran ambarawa pecah antara pasukan TKR di bawah pimpinan


Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu yang telah melakukan penyerangan pada
tanggal 20 November 1945. Pada tanggal 21 November, pasukan sekutu yang
berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah perlindungan pesawat tempur.
Keesokan harinya (tanggal 22 November 1945), pertempuran berkobar di dalam
kota dan pasukan sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung
yang berada di Ambarawa. Pasukan TKR bersama para pemuda yang berasal dari
Boyolali, Salatiga, Kartasura bertahan di kuburan Belanda sehingga membentuk
garis medan sepanjang garis rel kereta dan membelah kota Ambarawa. Sementara
itu, dari arah Magelang dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Adrongi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan
memukul mundur pasukan yang berkedudukan di desa Pingit. Pasukan Imam
Androngi berhasil menduduki desa dan merebut desa-desa sekitarnya. Selain itu,
Batalyon Imam Adrongi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian disusul 3
batalyon yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalyon 10 Divisi III di bawah
pimpinan Mayor Suharto, Batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan
Batalyon Sugeng. Pasukan Sekutu berhasil dikepung, meskipun mereka terus
berusaha mematahkan kepungan dengan mengancam kedudukan pasukan RI dari
belakang dengan tank-tanknya. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan
mundur ke Bedono. Dengan bantuan resimen kedua yang pimpin oleh M. Sarbini,
Batalyon Polisi Istimewa yang dipimpin Onie Sastroatmodjo dan Batalyon dari
Yogyakarta, gerakan musuh berhasil di tahan di desa Jambu. Para komandan
mengadakan rapat koordinasi di Desa Jambu, yang dipimpin oleh Kolonel
Holland Iskandar. Rapat itu menyepakati pembentukan komando yang disebut
Markas Pimpinan Pertempuran dan berlokasikan di Magelang. Sejak itu,
Ambarawa dipecah menjadi 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor Selatan, sektor
Barat dan Timur. Kekuatan pasukan bertempur dilakukan secara bergantian. Pada

13
tanggal 26 November, pimpinan dari pasukan Purwokerto Letnan Kolonel
Isdiman yang gugur dalam pertempuran. Selanjutnya, pimpinan pasukan diambil
dari alih oleh Kolonel Soedirman, Panglima Divisi Purwokerto. Situasi
pertempuran berubah menguntungkan pasukan TKR, dengan terusirnya pasukan
musuh dari Desa Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan yang terdepan
pada tanggal 5 Desember 1945. Setelah mempelajari situasi, pada tanggal 11
Desember 1945 Kolonel Soedirman mengumpulkan para sektor. Setelah
mendengarkan laporan dari para komandan sektor, Kolonel Soedirman
menyimpulkan bahwa musuh telah terjepit. Pada tanggal 12 Desember 1945 pada
waktu 04.30, pasukan TKR bergerak secara serentak menuju sasaran masing-
masing melancarkan serangan ke pihak musuh. Dalam waktu setengah jam
pasukan TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan terkuat
musuh diperkirakan berada di benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota
Ambarawa. Kemudian terjadi pengepungan di Kota Ambarawa selama 4 hari 4
malam. Musuh yang terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran. Lalu
pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan kota Ambarawa dan
mundur ke Semarang. Pertempuran Ambarawa memiliki arti penting, disebabkan
karena letaknya yang strategis. Jika musuh kembali lagi menguasai Ambarawa,
mereka dapat mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu Surakarta,
Magelang, dan Yogyakarta. Dalam pertempuran itu, pasukan TKR meraih
kemenangan yang gemilang dan hal ini sekaligus mengantarkan Sudirman ke
pucuk pimpinan TKR dan menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih
memiliki pasukan kuat yaitu TKR Pada setiap tanggal 15 Desember kini
diperingati sebagai hari Juang Kartika, untuk mengenang pertempuran Ambarawa.
Selain itu, di Ambarawa dibangun Monumen Palagan.

2.4 Peristiwa Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tanggal 23 Maret 1946, di


mana penduduk Kota Bandung membakar rumah-rumah mereka untuk kemudian

14
mengungsi ke arah selatan Bandung. Strategi ini merupakan jalan terakhir yang
ditempuh oleh TRI (Tentara Republik Indonesia) setelah melihat tidak
seimbangnya kekuatan pasukan untuk melawan penjajah.

2.4.1 Latar Belakang

Pada 12 Oktober 1945, pasukan Inggris dari Brigade MacDonald tiba di


Bandung. Mereka ingin menguasai kota ini untuk dijadikan markas strategis
militer. Mereka menuntut agar semua senjata api yang dirampas dari tentara
Belanda, dikembalikan. Selain itu, tawanan Belanda yang baru saja dibebaskan
kembali berulah dan melakukan tindakan yang mengganggu keamanan.
Akibatnya, terjadilah bentrokan bersenjata antara Inggris dan tentara Indonesia.
Tiga hari kemudian, MacDonald memberi ultimatum kepada Gubernur Jawa
Barat, agar wilayah Bandung Utara segera dikosongkan. Ultimatum pertama
membagi Bandung menjadi dua, Bandung Utara sebagai tempat kekuasaan Sekutu
dan Bandung Selatan masih dikuasai Pemerintah Indonesia. Setelah ultimatum
dikeluarkan, terjadi pertempuran secara sporadis di berbagai daerah. Sekutu yang
mulai terdesak, kembali mengeluarkan ultimatum kedua. Agar selambat-
lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah
meninggalkan Bandung sejauh 10 hingga 11 kilometer dari pusat kota. Ultimatum
tersebut membuat tentara Indonesia mulai mengatur strategi. Ketidakseimbangan
jumlah tentara Indonesia dan sekutu, membuat tentara Indonesia merancang
operasi "Bumi Hangus". Kolonel Abdul Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi
III TRI memerintahkan untuk mengevakuasi warga menuju tempat yang lebih
aman. Setelah penduduk meninggalkan kota, segera dilangsungkan operasi "Bumi
Hangus", dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung. Dalam
sekejap, seluruh kota Bandung diselimuti gelapnya asap dan pemadaman listrik.
Kondisi tersebut dimanfaatkan tentara Indonesia untuk menyerang NICA secara
gerilya.

15
2.4.2 Kronologi

Peristiwa Bandung Lautan Api diawali dengan kedatangan pasukan sekutu


yang dipimpin Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945. Brigade MacDonald
kemudian mengeluarkan ultimatum yang meminta seluruh senjata milik
penduduk, kecuali milik TKR diserahkan kepada Sekutu. Kondisi diperparah
dengan bebasnya orang Belanda dari kamp tahanan yang mengacaukan keamanan.
Akhirnya pada 24 November 1945 malam TKR dan pejuang lainnya menyerang
markas-markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan
Hotel Preanger. Tiga hari berselang MacDonald menyampaikan ultimatumnya
kepada Gubernur Jawa Barat agar segera mengosongkan wilayah Bandung Utara
selambat–lambatnya tanggal 29 November 1945 pukul 12.00. Ultimatum pertama
membagi Bandung menjadi dua, Bandung utara sebagai tempat kekuasaan sekutu
dan Bandung selatan yang masih dikuasai pemerintah RI. Setelah ultimatum
tersebut, pertempuran pun terjadi secara sporadis di berbagai daerah. Sekutu yang
mulai terdesak kembali mengeluarkan ultimatum kedua pada tanggal 23 Maret
1946. Kemudian, Sekutu melayangkan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir
agar selambat-lambatnya pada tanggal 24 Maret 1946 pukul 24.00 pasukan
Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer
dari pusat kota. Syahrir kemudian menugaskan Syafruddin Prawiranegara dan
Jenderal Mayor Didi Kartasasmita ke Bandung. Baik Jenderal Mayor Nasution
maupun aparat pemerintah memutuskan menolak ultimatum dan meminta batas
waktu diperpanjang, namun kembali ditolak. Di sisi lain alasan Syahrir mendesak
Nasution agar memenuhi Ultimatum tersebut karena menganggap TRI belum
mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu. Sehari sebelum batas waktu yang
ditentukan yaitu pada tanggal 23 Maret 1946, keputusan untuk
membumihanguskan Bandung akhirnya ditetapkan melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3). Keputusan ini diambil agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Rencana
pembumihangusan Bandung semula akan dilakukan pada tanggal 24 Maret 1946
pukul 00.00. Namun kemudian bumi hangus dilaksanakan lebih awal yakni pada

16
tanggal 23 Maret 1946 pukul 21.00 dengan gedung pertama yang diledakkan ialah
Bank Rakyat. Hal itu disusul dengan pembakaran tempat seperti Banceuy,
Cicadas, Braga dan Tegalega, serta asrama TRI. Kejadian ini kemudian diingat
sebagai peristiwa heroik yang diabadikan menjadi lagu, film, bahkan monumen.

2.5 Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 Surabaya

Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan pertempuran paling


besar dan heroik selama masa revolusi kemerdekaan. Perang akbar antara tentara
dan massa pendukung Republik melawan pasukan Sekutu ini menegaskan pada
dunia, rakyat Indonesia serius dengan urusan kemerdekaan.

2.5.1 Latar Belakang

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh
hari kemudian pada 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah
tanpa syarat kepada Kekaisaran Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah
penyerahan tanpa syarat tersebut, Pulau Jawa secara resmi diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima tanggal 6 Agustus
1945 dan Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 14
Agustus 1945 yang menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan. Dalam
kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kekalahan pihak
Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara
Jepang. Inilah yang menyebabkan timbulnya pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan
Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di
Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara
Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam Allied Forces Netherlands East
Indies (AFNEI) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk
melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang,

17
serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris
yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi
pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Netherlands Indies
Civil Administration (NICA) ikut membonceng bersama rombongan tentara
Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan
memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan
tentara AFNEI dan pemerintahan NICA. Setelah munculnya maklumat
pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1
September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di
seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke
segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya
terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato (bernama
Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel
Majapahit) di Jalan Tunjungan No. 65 Surabaya. Sekelompok orang Belanda di
bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September
1945, tepatnya pukul 21.00 WIB, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-
Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya, para pemuda
Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda
telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasaan kembali
di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang
sedang berlangsung di Surabaya. Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel
Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah
Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato
dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI, dia berunding dengan Mr.
Ploegman beserta kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera
diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini, Ploegman
menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung
memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang

18
perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh
tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman,
sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.

2.5.2 Kronologi

Pasukan Sekutu dengan kekuatan 4000-an tentara mendarat di Tanjung


Perak, Surabaya, pada 25 Oktober 1945. Rombongan itu terdiri atas batalyon
Mahratta dan Rajput dari Brigade India Inggris ke-49 pimpinan Brigadir
(Jenderal) Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby. Para tentara Sekutu
kemudian membangun pos pertahanan di Benteng Miring (kini masuk wilayah
Semampir, Surabaya). Kehadiran mereka meningkatkan kewaspadaan para
pendukung Republik. Menukil dari buku Pasak Sejarah Indonesia Kekinian:
Surabaya 10 November 1945 (2018), sehari usai kedatangan pasukan Mallaby,
beberapa pemuda bersama Gubernur Soerjo sempat berunding dengan sang
komandan. Kesepakatan muncul, bahwa tentara Sekutu hanya akan melucuti
senjata Jepang dan setelah itu segera keluar dari Surabaya lewat laut. Namun,
hanya beberapa jam usai perundingan kelar, tentara Sekutu dari Batalyon
Mahratta sudah merangsek jauh hingga Wonokromo. Di sana, mereka mendirikan
sarang senapan mesin. Tak hanya itu, pada 27 Oktober 1945, satu pesawat militer
dari Jakarta mendadak terbang di langit Surabaya sembari menebarkan pamflet
yang diteken oleh Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn. Nama terakhir
merupakan Panglima Pasukan Inggris Divisi 23, satu dari 3 divisi militer AFNEI
dan membawahkan Brigade 49 pimpinan Mallaby. Isi pamflet-pamflet tersebut
membikin darah arek-arek Suroboyo mendidih. Hawthorn menyatakan maklumat
bahwa pasukan Sekutu akan menguasai semua kota besar di Jawa. Melalui
pamflet yang sama, Hawthorn menegaskan hanya tentara Sekutu yang boleh
membawa senjata. Seluruh pihak selain tentara Sekutu, termasuk warga Indonesia,
diwajibkan menyerahkan senjata dalam kurun 48 jam. Pamflet itu bahkan
menyebut, pelanggar perintah Hawthorn akan ditembak di tempat. Penebaran
pamflet Hawthorn diikuti langkah pasukan Sekutu menduduki banyak tempat

19
strategis di Surabaya. Pangkalan Udara Perak, kamp tahanan Darmo, dan Rumah
Sakit Simpang termasuk yang paling awal dikuasai oleh mereka. Respons laskar-
laskar pemuda di Surabaya pun tak menunggu lama. Pada hari yang sama dengan
penebaran pamflet dari Hawthorn, sekitar jam 2 siang, pelor pertama pertempuran
Surabaya 1945 meletup. Kontak senjata itu berlarut hingga 3 hari. Bentrok besar
mulai terjadi di tanggal 28 Oktober 1945, saat pasukan sekutu dikepung 2000
tentara Indonesia dan 140-an ribu massa pemuda. Sejumlah pertempuran terjadi di
Benteng Miring, jalan Sikatan, penjara Koblen, Kaliasin, sampai di sekitar BPM
Wonokromo, dan banyak titik lainnya. Adu senjata sempat mereda setelah
rombongan pimpinan RI, Soekarno, Mohammad Hatta, serta Amir Sjarifuddin
mendatangi Surabaya pada 29 Oktober 1945. Perundingan yang melibatkan tiga
pimpinan Republik, juga tokoh pemuda seperti Sumarsono dan Bung Tomo,
bersama Mallaby itu menyepakati gencatan senjata. Catatan Basis Susilo dalam
jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik (Vol. 30, 2017) memberi penjelasan,
bahwa sejak awal Mallaby menduga kekuatan Sekutu di Surabaya belum cukup
andal untuk mengatasi amukan para pemuda. Sebab demikian, ia bersedia
berunding dengan Gubernur Soerjo sehari usai pasukannya mendarat di Tanjung
Perak. Namun sikap itu justru ditentang atasan Mallaby, Douglas Hawthorn.
Komandan Divisi India Inggris ke-23 tersebut menilai gerakan Mallaby terlalu
lamban. Maka, dia segera menginstruksikan kepada Mallaby agar menduduki
Surabaya secepatnya. Itulah kenapa perundingan Mallaby dan Gubernur Soerjo
pada 26 Oktober 1945 tidak ada artinya. Penebaran pamflet Hawthorn sebenarnya
juga ditolak Mallaby. Semula, Hawthorn memerintahkan penebaran pamflet ke
beberapa kota di Jawa. Isi pesannya jelas provokatif: "all Indonesians must
surrender their weapons within 48 hours." Begitu tahu ada penebaran pamflet,
Mallaby menelegram Hawthorn guna mencegah penebarannya di Surabaya.
Namun, Hawthorn tidak menanggapi. Tanpa sepengetahuan Mallaby, pamflet-
pamflet mendarat di Surabaya pada Kamis pagi, 27 Oktober. Kekhawatiran
Mallaby kenyataannya terbukti. Pasukannya kewalahan menghadapi serbuan
massa pemuda dan tentara Republik di Surabaya pada 27-29 Oktober. Dalam
Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia

20
(1945-1949) (2014), dijelaskan bahwa arek-arek Suroboyo sebenarnya telah
mendesak posisi tentara Sekutu. Pos-pos tentara Sekutu, seperti Benteng Miring
dan Gedung Internatio, sudah nyaris direbut. Hawthorn tidak mengira Surabaya
sulit dikendalikan. Soehario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik:
Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995) menulis Hawthorn terpaksa
memohon pada Presiden dan Wakil Presiden RI, Soekarno-Hatta untuk
meredakan amukan massa di Surabaya. Kesepakatan antara Soekarno, Hatta, dan
Amir Sjarifuddin dengan Mallaby pada 29 Oktober 1945 memang terwujud.
Namun, gencatan senjata tidak benar-benar terjadi sebab banyak bentrok kecil
tetap berlangsung. Para pendukung Republik pun masih bersiap menumpas
pasukan Sekutu. Pada 30 Oktober 1945, Hawthorn akhirnya datang ke Surabaya.
Dia menghadiri perundingan yang menyepakati pembatalan pamflet 27 Oktober.
Kemudian, ia segera balik ke Jakarta pada hari yang sama, demikian pula
Soekarno-Hatta. Setelah perundingan yang dihadiri oleh Hawthorn usai, Mallaby
dan petinggi Surabaya melakukan pawai mobil guna menyampaikan kesepakatan
damai agar pertempuran mereda. Mallaby bersama ketua KNI Karasidenan
Surabaya, Doel Arnowo sempat duduk berdua di kap mesin sebuah mobil. Setelah
melintasi Gedung Lindeteves, mobil Mallaby menuju ke Jembatan Merah.
Namun, mobil Mallaby terhenti di depan Gedung Internatio karena kerumunan
massa. Pasukan Inggris pada waktu yang sama masih bertahan di Gedung
Internatio, tetapi terpojok oleh kepungan massa pemuda. Berdasarkan sejumlah
kesaksikan, Mallaby terjebak di tengah kerumunan massa itu. Baku tembak lantas
terjadi antara massa pemuda dan tentara Inggris. Selepas senja 30 Oktober 1945,
Mallaby tewas tertembak disertai granat yang meremukkan mobilnya. Kematian
Mallaby membikin kubu Sekutu marah besar. Sehari berselang, panglima AFNEI,
Letnan Jenderal Philip Christison mengancam mengerahkan semua kekuatan
militernya di Indonesia untuk menggempur Surabaya jika pembunuh Mallaby
tidak diserahkan. Ancaman ini tidak digubris. Sepeninggal Mallaby, tugasnya
diambil langsung oleh Panglima Divisi Infantri 5, Mayor Jenderal Eric Carden
Robert Mansergh. Secara tidak mencolok, Mansergh mengerahkan 24 ribu tentara
ke Surabaya selama 4-9 November 1945. Puluhan tank dan pesawat tempur juga

21
ia datangkan. Mansergh memanggil Gubernur Soerjo menghadap ke kantornya di
Batavia Weg, tepat pada Jumat 9 November. Ia menyerahkan ultimatum yang
ditujukan pada All Indonesians of Soerabaya. Isinya berupa ejekan sarkas, seperti
ditulis oleh Soehario Padmodiwirio (1995), sebagai berikut: “Mereka harus datang
dengan berbaris satu per satu serta membawa segala macam senjata yang ada pada
mereka. Segala senjata tersebut diletakkan (ditaruhkan) di tanah pada suatu tempat
yang jauhnya seratus meter dari tempat pertemuan itu. Dan kemudian mereka itu
harus datang ke muka dengan kedua belah tangannya diangkat ke atas kepalanya
masing-masing dan mereka akan ditahan, serta harus menandatangani penyerahan
dengan tidak pakai perjanjian apa pun.” Ultimatum itu memicu kemarahan arek-
arek Suroboyo. Perang tidak terelakkan keesokan harinya, 10 November 1945.
Hari itu, hujan mortir dari udara dan laut menyerbu Surabaya. Pertempuran sengit
kemudian berlangsung hingga 3 pekan lamanya. Merle Calvin Ricklefs, dalam A
History of Modern Indonesia Since c. 1300, mencatat ada 6 ribuan korban dari
pihak Indonesia dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945. Sebaliknya,
kubu Sekutu kehilangan sekitar 600 prajurit. Keunggulan persenjataan memang
membuat 30.000 tentara Sekutu (mayoritas prajurit Inggris-India) berhasil
mendesak kekuatan Republik yang berjumlah empat kali lipat. Namun, mental
para pejuang Indonesia tidak lantas rontok. Tewasnya Mallaby, disusul kematian
Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds yang pesawatnya jatuh ditembak
pada pagi 10 November, melanggengkan moral bertempur arek-arek Suroboyo.
Meskipun harus mundur ke luar kota, mereka tetap bertahan. Perang 10
November 1945 juga membuat kubu Sekutu tidak lagi menyepelekan kekuatan
Republik Indonesia. Inggris bahkan menyokong perundingan Belanda-Indonesia
untuk penyelesaian konflik pada tahun 1946. Meski tidak melahirkan
kesepakatan, adanya perundingan menunjukkan Inggris maupun Belanda secara
politik mengakui eksistensi Republik Indonesia.

22
2.6 Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada


tanggal 1 Maret 1949. Serangan ini bertujuan menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa Republik Indonesia cukup kuat untuk mempertahankan
kemerdekaan, meskipun ibu kotanya telah diduduki oleh Belanda. Serangan
Umum 1 Maret 1949 dilakukan oleh pasukan TNI dari Brigade 10/Wehkreise III
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta).

2.6.1 Latar Belakang

Agresi Militer Belanda II yang dilakukan pada 19 Desember 1948


bertujuan menyerang wilayah RI dengan ibu kotanya yang saat itu di
Yogyakarta.Agresi Belanda yang kedua memiliki tujuan untuk menyebarkan
kepada negara-negara di dunia bahwa Republik Indonesia dan tentaranya sudah
tidak ada.Maka, dengan ketiadaan negara maupun tentara, Belanda bisa merasa
berhak menduduki dan menguasai Indonesia kembali.

2.6.2 Kronologi

Serbuan Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan dengan penguasaan


Yogyakarta selama 6 jam. Letnan Kolonel Soeharto saat itu memimpin serangan
ini. Adanya Serangan Umum 1 Maret 1949 membuktikan kepada dunia
internasional bahwa Indonesia tetap ada. Tokoh lain yang tidak terlepas dari
peristiwa ini adalah Sultan Hamengku Buwono IX. Dia mempersilakan satuan-
satuan pejuang di dalam maupun luar Yogyakarta ke istananya untuk saling
berkomunikasi. Kendati begitu, sampai sekarang masih belum dapat dipastikan
siapa penggagas asli Serangan Umum 1 Maret 1949. Tiga tokoh yang
berkemungkinan adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Letkol Soeharto, dan
Kolonel Bambang Sugeng. Salah satu pendapat yang menyebut Letkol Soeharto
adalah penggagas adalah buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
oleh G. Dwipayana dan Ramadhan KH. Namun, belakangan opini tentang Sultan

23
Hamengku Buwono IX sebagai penggagas muncul karena wawancaranya dengan
Radio BBC London tahun 1986. Dalam rekaman itu, Sultan mengatakan dia
melihat semangat rakyat makin lemah pada akhir Januari 1949. Sedangkan saat itu
dia juga mendengar dari radio bahwa Dewan keamanan PBB pada awal Maret
1949 hendak membahas persengketaan Indonesia-Belanda. Hal tersebut dinilai
menjadi alasannya melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949. Tujuannya adalah
meningkatkan semangat dan harapan rakyat serta menarik perhatian dunia bahwa
RI masih punya kekuatan. Soeharto dalam penyerangan ini memimpin pasukan
dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sementara itu, Ventje Sumual
memimpin sektor timur, Mayor Sardjono memimpin sektor selatan, Mayor Kusno
memimpin sektor utara, serta Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki di sektor
kota. Serangan umum dilancarkan jam 06.00 pagi seiring bunyi sirine pertanda
jam malam berakhir. Belanda tidak siap dan tentara RI dalam waktu singkat
memukul seluruh pasukan militer Belanda.Serangan secara besar-besaran serentak
dilakukan di seluruh wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.Serangan pasukan yang
mendadak itu membuat Belanda terkepung dan pasukan gerilyawan RI berhasil
menguasai kota dalam beberapa jam.Bantuan musuh pada jam 11.00 WIB baru
datang dari Magelang di Yogyakarta, dengan kekuatan satu Batalyon Infanteri
Brigade V, yang terdiri atas pasukan lapis baja, pasukan Netherland Indies Civil
Administration (NICA) atau Sekutu, dan pasukan Gajah Merah pimpinan Kolonel
Van Zaten. Sasaran utama adalah penyerangan utama tempat konsentrasi musuh,
yaitu Benteng Vredeburg, kantor pos, istana kepresidenan, Hotel Tugu, stasiun
kereta api, dan Kotabaru Pada waktu inilah selama enam jam, Yogyakarta berhasil
dikuasai tentara RI. Akhir Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah tepat pukul
12.00 ketika pasukan RI mundur. Saat pasukan bantuan Belanda datang, tentara
RI sudah tidak di tempat. Belanda kemudian hanya bisa menyerang daerah
sepanjang pengunduran pasukan republik. Esok harinya, R. Sumardi
menyampaikan peristiwa ini ke pemerintah PDRI di Bukittinggi via radiogram.
Informasi tersebut kemudian disampaikan ke A. A. Maramis yang merupakan
diplomat RI di New Delhi, India Warta yang sama juga diberikan kepada L. N.

24
Palar, diplomat RI di New York, Amerika Serikat. Serangan Umum pun dilansir
ke luar negeri melalui pemancar radio yang ada di Wonosobo.

2.7 Peristiwa Yogya Kembali

Peristiwa Yogya Kembali adalah sebuah peristiwa sejarah ditariknya


tentara pendudukan Belanda dari Ibu Kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949.
Adanya peristiwa ini menjadi titik awal bebasnya Bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Bahkan karena
pentingnya peristiwa ini, dibangun pula Monumen Yogya Kembali atau Monjali.
Monumen ini didirikan pada tanggal 29 Juni 1985 atas gagasan Wali Kota
Yogyakarta Kolonel Soegiarto dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada
tanggal 6 Juli 1989.

2.7.1 Latar Belakang

Peristiwa Yogya Kembali dilatarbelakangi oleh perjuangan rakyat


melawan pendudukan Belanda. Peristiwa ini berawal dari Serangan Umum 1
Maret 1949 yang membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia masih ada.
Setelahnya terjadi Perjanjian Roem Royen yang dimulai sejak 14 April 1949
hingga disepakati dan ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes,
Jakarta. Salah satu isi Perjanjian Roem Royen yaitu Belanda akan mengembalikan
kegiatan pemerintahan Republik Indonesia ke Kota Yogyakarta sebagai ibu kota
negara sementara. Selain itu, Belanda juga mengundang Indonesia untuk
menghadiri Konferensi Meja Bundar yang akan digelar pada akhir tahun 1949.

2.7.2 Kronologi

Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasan kabinet Republik


Indonesia, pembentukan surat pemerintahan sementara dan penyerahan
kedaulatan secara penuh kepada Indonesia sebelum 1 Juli 1950. Tuntutan dari
PBB dan Amerika Serikat diterima oleh Belanda dan Indonesia dengan
mengadakan perjanjian Roem Royyen pada 14 April 1949-7 Mei 1949. Perjanjian

25
yang dilaksanakan di Hotel Indes Jakarta ini menghasilkan kesepakatan gencatan
senjata antara Indonesia dan Belanda serta pengembalian kekuasaan Ibu Kota
Yogyakarta kepada Indonesia.Pengembalian Ibu Kota Yogyakarta serta
bersatunya kembali kekuatan-kekuatan pemerintahan dan militer Republik
Indonesia pasca Agresi Militer Belanda II sering disebut sebagai Peristiwa Yogya
Kembali. Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik Indonesia kembali ke
Yogyakarta yang sudah ditinggalkan oleh pasukan Belanda sejak akhir bulan Juni
1949. Soekarno, Hatta, Agus Salim dan jajaran kabinet lainnya tiba di landasan
udara Maguwo dari pengasingannya di Bangka. Setelah itu, rombongan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafrudin
Prawiranegara juga tiba di Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Rombongan pasukan
gerilya Jendral Soedirman juga tiba di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.
Keberhasilan Indonesia untuk kembali menguasai Ibu Kota Yogyakarta tidak
terlepas dari peran Sultan Hamengkubuwono IX. Sultan Hamengkubuwono IX
menolak tawaran dari Belanda yang menjanjikan kekuasaan dalam skala besar
kepada Kasultanan Yogyakarta.Sultan Hamengkubuwono IX juga menegaskan
bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia dan siap membantu
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 10 Juli 1949 diadakan
upacara penyambutan resmi atas kembalinya para pemimpin-pemimpin RI di Ibu
Kota Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai inspektur upacara
dan didampingin oleh Jenderal Soedirman.

26
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pertempuran 5 Hari di Semarang terjadi pada tanggal 15 sampai dengan 19


Oktober 1945. Pertempuran Lima Hari atau yang juga disebut Palagan 5 Dina ini
termasuk dalam rangkaian sejarah kemerdekaan Indonesia seiring kalahnya
Jepang dari Sekutu di Perang Dunia II. Peristiwa Pertempuran Lima Hari di
Semarang melibatkan sisa-sisa pasukan Jepang di Indonesia dengan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) atau angkatan perang Indonesia saat itu sebelum
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pertempuran Medan Area merupakan peristiwa sejarah pada era revolusi


fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Perang
Medan Area ini terjadi di Medan, Sumatera Utara, beberapa bulan setelah
proklamasi. Pemicu pecahnya Pertempuran Medan Area ini adalah kedatangan
pasukan Sekutu di Sumatera Utara pada 9 Oktober 1945.

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran yang terjadi antara Tentara


Indonesia dengan Tentara Inggris. Peristiwa ini terjadi antara 20 Oktober sampai
15 Desember 1945 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Pertempuran Ambarawa dimulai saat pasukan Sekutu dan NICA atau
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai tawanan perang
Belanda di Ambarawa dan Magelang.

Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tanggal 23 Maret 1946, di


mana penduduk Kota Bandung membakar rumah-rumah mereka untuk kemudian
mengungsi ke arah selatan Bandung. Strategi ini merupakan jalan terakhir yang
ditempuh oleh TRI (Tentara Republik Indonesia) setelah melihat tidak
seimbangnya kekuatan pasukan untuk melawan penjajah.

27
Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan pertempuran paling
besar dan heroik selama masa revolusi kemerdekaan. Perang akbar antara tentara
dan massa pendukung Republik melawan pasukan Sekutu ini menegaskan pada
dunia, rakyat Indonesia serius dengan urusan kemerdekaan.

Serangan umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada


tanggal 1 Maret 1949. Serangan ini bertujuan menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa Republik Indonesia cukup kuat untuk mempertahankan
kemerdekaan, meskipun ibu kotanya telah diduduki oleh Belanda.

Peristiwa Yogya Kembali adalah sebuah peristiwa sejarah ditariknya


tentara pendudukan Belanda dari Ibu Kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949.
Adanya peristiwa ini menjadi titik awal bebasnya Bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945.

3.2 Kritik dan Saran

Kritik dan Saran dari makalah ini adalah peneliti menyadari bahwa peneliti
masih jauh dari kata sempurna, kedepannya peneliti akan lebih fokus dan lebih
detail dalam menjelaskan tentang isi penelitian diatas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu kami
sebagai peneliti, membutuhkan saran dan kritik dari pembaca.

28
DAFTAR PUSAKA

Yuda Prinada (2021) “Sejarah Pertempuran 5 Hari di Semrang”


https://tirto.id/sejarah-pertempuran-5-hari-di-semarang-kronologi-terjadi-
tanggal-ga6i
Yuda Prinada (2021) “Pertempuran Medan Area” https://tirto.id/pertempuran-
medan-area-sejarah-kronologi-dan-akhir-perang-gbnU
Dwi Latifatul Fajri (2022) “Latar Belakang Pertempuran Medan Area”
https://katadata.co.id/agung/berita/623d89faaf5fc/pertempuran-medan-
area-latar-belakang- dandampaknya#:~:text=Latar%20belakang
%20pertempuran%20Medan% 20Area,AFNEI%20mendapatkan
%20perlawanan%20dari%20masyarakat.
Putri Tiah (2022) “Latar Belakang, Kronologi dan Tokoh Pertempuran
Ambarawa” https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-
6457915/pertempuran-ambarawa-latar-belakang-kronologi-dan-tokoh-
yang-berperan
Puspasari Setyaningrum (2022) “Kronologi dan Penyebab terjadinya Bandung
Lautan Api”
https://bandung.kompas.com/read/2022/05/30/105704178/peristiwa-
bandung-lautan-api-kronologi-dan-penyebab?page=all
Vanya Karunia Mulia Putri (2022) “Latar Belakang dan Tokoh Penting Bandung
Lautan Api”
https://www.kompas.com/skola/read/2022/08/26/120000569/bandung-
lautan-api--latar-belakang-peristiwa-dan-tokoh-pentingnya?page=all
Fandy (2021) “Pertempuran Surabaya 10 Noveber 1945”
https://www.gramedia.com/literasi/pertempuran-surabaya-10-november-
1945/
Abu Mu’ammar Dzikri (2022) “Sejarah dan Kronologi Pertempuran 10
November Surabaya” https://tirto.id/sejarah-peristiwa-10-november-dan-
kronologi-pertempuran-surabaya-gxPo
Silmi Nurul Utami (2022) “Serangan Umum 1 Maret 1949”
https://www.kompas.com/skola/read/2022/10/26/113000669/serangan-
umum-1-maret-1949?page=all
Puspasari Setyaningrum (2023) “Peristiwa Yogya Kembali”
https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/02/14/230715178/peristiwa-
yogya-kembali-latar-belakang-kronologi-dan-dampak?page=all

29

Anda mungkin juga menyukai