Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat,
namun karena memperoleh tetangan keras dari pemimpin Indonesia di Surabaya, akhirnya
mereka mengalah.
Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan Brigadir
Mallaby, yang isinya antara lain:
Pada tanggal 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota melintas dari Jakarta, atas
perintah Mayjen Hawthorn pesawat itu menyebarkan pamflet yan isinya adalah perintah
penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada Tentara Sekutu.
Dalam waktu 2×24 jam seluruh senjata harus sudah diserahkan, dan bagi yang masih
membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal ini jelas
bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui Mallaby.
Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet tersebut, tetapi ia tetap
mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan segera memerintahkan pasukannya untuk
melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar
perjanjian. Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu
seluruh pos pertahanan Inggris.
Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin Nahdlatul Ulama dan Masyumi
menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Perang Sabil,
maka suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim. Para Kyai dan santri kemudian
mulai bergerak dari pesantren-pesantren di Jawa Timur menuju ke Surabaya.
Tercatat korban pertempuran yang berlangsung tanggal 28-29 Oktober, Inggris mencatat 18
perwira dan 374 serdadu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak Indonesia, sekitar
6000 orang tewas, luka-luka, dan hilang. Kapten R. C Smith menulis, Mallaby saat itu
menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan disapu bersih.
Dalam posisi yang terdesak Inggris menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta. Mereka
sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta, untuk
menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung.
Sore hari tanggal 29 Oktober, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer Inggris.
Hari itu juga Presiden bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai
kesepakatan yang tertuang dalam Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident: a
provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadie
Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjen Hawthorn, yang datang ke Surabaya pada
tanggal 30 Oktober. Berikut beberapa hasil kesepakatan yang diperoleh pada tanggal 30
Oktober, antara pemimpin Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia:
1. Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya
bersama-sama tentara Inggris.
2. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh
Kontak Biro.
3. Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu.
Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan, untuk
mempercepat proses pemindahan tawanan.
4. Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Pada perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota Kontak Biro dari kedua belah
pihak. Dari Inggris ada 5 orang (Brigjen Mallaby, Kolonel L. H.O Pugh, Wing Commander
Groom, Mayor M. Hudson, dan Kapten H. Shaw). Dari pihak Indonesia 9 perwakilan
(Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono, Koesnandar,
Roeslan Abdulgani, dan T. D Kundan selaku juru bahasa). Pasca tercapainya kesepakatan
Presiden Soekarno beserta rombongan kembali ke Jakarta pada pukul 13.00.
Tewasnya Mallaby
Pasca Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta, di beberapa tempat masih terjadi
pertempuran, sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata. Untuk menghentikan
pertempuran, para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak mulai mendatangi lokasi-
lokasi yang masih terjadi pertempuran.
Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro pergi bersama-sama
menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini adalah Gedung Bank Internatio di
Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih
mengepungnya.
Pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban pihak Indonesia. Pada tanggal 31 Oktober
1945, Letnan Jenderal Christison, memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerah,
apabila tidak mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan
tersebut, Kontak Biro Indonesia mengumumkan bahwa kematian Mallaby merupakan suatu
kecelakaan.
Setelah mendapat penolakan, Divisi 5 Inggris yang berkekuatan 24.000 tentara di bawah
komando Mayjend R. C. Mansergh mendarat secara diam-diam di Surabaya. Selain diperkuat
oleh sisa Brigade 49, masih ditambah 1500 marinir, di bawah komando Rear Admiral Sir W.
R. Patterson yang memimpin beberapa kapal perang. Letjen Sir Philip Christison, melengkapi
pasukan Inggris dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito, dan tank kelas Sherman,
yang merupakan persenjataan tercanggih saat itu.
Kemudian, pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada gubernur Soeryo, yang
isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai keadaan, akibatnya seluruh kota dikuasai
oleh perampok. Mereka dianggap menghalangi tugas sekutu, untuk itu Sekutu mengancam
akan menduduki kota Surabaya. Serta memanggil Gubernur Soeryo untuk menghadap.
Di hari yang sama pukul 14.00, Mansergh menyampaikan ultimatum di Surabaya. Butir
kedua dalam ultimatum itu diformulasikan sedimikian rupa sehingga mustahil untuk dipenuhi
pemimpin sipil dan militer Indonesia. Berikut isi dari ultimatum dari Mansergh:
Sebelum waktu ultimatum habis, kota Surabaya telah dibagi menjadi 3 sektor pertahanan.
Garis pertahanan ditentukan dari JalanJakarta, tetapi penempatan pasukan agak mundur ke
Krembangan, Kapasan, dan Kedungcowek. Garis kedua di sekitar Viaduct. Garis ketiga di
daerah Darmo.
BIBLIOGRAFI
Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949: Dalam Kaleidoskop Sejarah
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta Gadjah Mada University Press.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 2011. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Similar Posts: