Tentara Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby mendarat di Surabaya, pada 27 Oktober
1945. Tentara sekutu menyerang penjara pemerintah Indonesia di Surabaya. Untuk membebaskan pihak
sekutu, termasuk orang Belanda yang ditahan di dalamnya. Hal itu tentu saja menimbulkan kemarahan
rakyat Surabaya. Oleh sebab itu, rakyat menyerbu berbagai pos tentara sekutu. Pertempuran pun tidak
dapat dihindarkan. Pertempuran itu menewaskan Jenderal Mallaby, dan membuat tentara Sekutu naik
pitam. Sekutu mengultimatum rakyat Surabaya agar menyerah. Ancaman itu justru dipandang sebagai
penghinaan bagi rakyat Surabaya. Pada 10 November 1945, seluruh rakyat Surabaya mengangkat senjata
untuk melawan Sekutu. Pertempuran pun terjadi di mana-mana, dengan Bung Tomo sebagai pemimpin
arek-arek Surabaya.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang (1 Januari 1947)
Tanggal 12 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Carmichael, yang
diboncengi NICA mendarat di Palembang. Setahun kemudian, Sekutu meninggalkan Palembang, dan
menyerahkan kedudukannya kepada Belanda. Hal ini menyulut kemarahan rakyat Indonesia,
sehingga bentrok senjata pun tak dapat dicegah. Ketika Belanda menuntut agar para pejuang
Indonesia mengosongkan Palembang, rakyat makin marah. Akibatnya terjadilah pertempuran di
Palembang. Belanda sempat terdesak dan meminta bantuan kepada Sekutu. Guna mengulur waktu
sambil menunggu bantuan tiba, Belanda menggunakan taktik berunding. Dalam pertempuran itu,
Belanda menggunakan pesawat terbang dan meriam dari kapal untuk menyerang rakyat Palembang.
Akan tetapi, rakyat kota itu tidak gentar. Dengan peralatan sederhana, mereka memberi perlawanan
yang gigih. Setelah berlangsung lima hari lima malam, seperlima kota Palembang hancur dan korban
jiwa berjatuhan di kedua belah pihak. Peristiwa pertempuran di Palembang ini disebut sebagai
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang.
Tokoh dan nama pertempuran yang di pimpinnya.
Jenderal Sudirman
Jenderal Sudirman saat itu bertindak sebagai panglima perang di Ambarawa. Memiliki
taktik khusus yang sulit dilakukan yaitu menggunakan taktik supit urang. Teknik supit
urang efektif dan cerdik. Taktik ini menyerang lawan dilakukan dari kedua sisi sehingga
membuat lawan terjepit. Dengan taktik ini, TKR berhasil memutus komunikasi antar
militer asing, merusak sistem pertahanan.
Kolonel Abdul Haris Nasution
Kolonel Abdul Haris Nasution atau AH Nasution saat itu adalah Komandan Divisi III
Tentara Republik Indonesia (TRI). Peran AH Nasution dalam peristiwa Bandung Lautan
Api adalah menyampaikan hasil musyawarah dari Majelis Persatuan Priangan pada 23
Maret 1946. Selain itu, AH Nasution memerintahkan dan membawa masyarakat
Bandung untuk mengungsi ke arah selatan bersama para tentara.
Medaan area
Ada banyak tokoh yang terlibat dalam
pertempuran Medan Area,
misalnya Ahmad Tahir, Abdul Karim
M.S., Ferdinand Lumbantobing,
Soehardjo Hardjowardojo dan Jendral
Suhardji Hardjo Wadjojo.
Pertempuran 10 November 1945
Pada 1944, ia terpilih menjadi anggota "Gerakan Rakyat Baru" dan pengurus "Pemuda Republik
Indonesia" di Surabaya, yang disponsori Jepang. Setelah ia bergabung dengan sejumlah kelompok
politik dan sosial, inilah titik awal keterlibatannya dalam Revolusi Nasional Indonesia. Dengan
posisinya itu, ia bisa mendapatkan akses radio yang lantas berperan besar untuk menyiarkan orasi-
orasinya yang membakar semangat pemuda dan rakyat untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Terlebih, sejak 12 Oktober 1945 Bung Tomo juga menjadi pemimpin "Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia" (BPRI) di Surabaya melawan pasukan Inggris. Meskipun pada
Pertempuran Surabaya 10 November 1945, akhirnya pihak Indonesia kalah, tetapi rakyat Surabaya
dianggap berhasil memukul mundur pasukan Inggris untuk sementara waktu (pasukan Inggris mundur
dari Indonesia pada November 1946) dan kejadian ini dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting
dalam sejarah sebagai awal dari mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pertempuran 5 hari di Pelembang
Belanda tetap melanggar perjanjian yang telah disetujui pada Perundingan LInggarjati dengan
melakukan Agresi Militer I secara serentak pada 21 Juli 1947 di kota-kota besar di Jawa dan
Sumatera. Dunia internasional mengecam tindakan Belanda yang melanggar perjanjian tersebut.
PBB kemudian turun tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan
masalah ini. Anggota dari KTN yaitu Australia sebagai wakil Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia
sebagai wakil Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah (Prof. Dr. Frank
Graham). Perundingan mengenai masalah agresi militer Belanda dilakukan di atas kapal Amerika
serikat, USS Renville, pada 17 Januari 1948. Kapal USS Renville pada saat itu sedang bersandar di
Pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi dari Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin
dan Belanda memilih seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua.
Hasil dari perundingan Renville adalah: Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS. RI
memiliki kedudukan sejajar dengan Belanda. RI menjadi bagian RIS dan akan diadakan pemilu
untuk membentuk Konstituante RIS. Tentara Indonesia di daerah Belanda atau daerah kantong
harus dipindahkan ke wilayah RI.
Perundingan Roem-Royen
Perundingan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI selanjutnya adalah
Perundingan Roem-Royen. Perundingan ini diadakan karena Belanda kembali
melanggar Perjanjian Renville. Belanda melancarkan Agresi Militer II sehingga
memaksa berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi,
Sumatera Barat. Pendirian pemerintahan darurat ini di bawah komando dari
Syafruddin Prawiranegara. Karena tindakan ini Belanda kembali mendapatkan
kecaman keras dari dunia internasional. Kemudian, perundingan kembali diadakan
yaitu Perundingan Roem-Royen. Perundingan ini digelar di Jakarta pada 7 Mei 1949.
Ketua delegasi dari Indonesia adalah Mr. Moh. Roem, dan wakil dari Belanda
diketuai oleh Dr. J.H Van Royen. Merle Cochran dari UNCI menjadi mediator dari
perundingan Roem-Royen ini.
Hasil dari Perundingan Roem-Royen adalah: Menghentikan perang gerilya dan
Indonesia-Belanda bekerja sama memelihara ketertiban dan keamanan. Kembalinya
pemerintah RI ke Yogyakarta dan bersedia turut serta mengikuti Konferensi Meja
Bundar yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.
Konferensi Inter-Indonesia
Konferensi Inter-Indonesia diadakan sebelum pelaksanaan
Konferensi Meja Bundar. Konferensi ini dihadiri oleh RI dan
BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan
Permusyawaratan Federal yang terdiri dari negara-negara
boneka buatan Belanda. Perundingan ini diselenggarakan di
Yogyakarta pada 19-22 Juli 1949 lalu dilanjutkan di Jakarta,
30 Juli 1949. Hasil konferensi ini adalah negara yang dibentuk
bernama RIS, APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat) adalah angkatan perang nasional, dan TNI menjadi
inti APRIS.
Konferensi Meja Bundar
Sesuai dengan hasil dari Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Meja Bundar
(KMB) akan segera dilaksanakan. Konferensi ini diadakan di Den Haag,
Belanda yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Delegasi Indonesia dipimpin oleg Drs. Moh. Hatta, dan delegasi dari BFO
dipimpin oleh Sultan Hamid II. Hasil dari KMB tersebut diantaranya: Belanda
mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949. Indonesia
berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda. Uni
Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda. Permasalahan Irian Barat
yang merupakan daerah perselisihan akan diselesaikan dalam waktu satu
tahun. Hasil perundingan tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa
didapat meskipun banyak pihak yang tidak puas. Pada 27 Desember 1949,
dilakukan penyerahan kedaulatan dari belanda kepada RIS. Belanda juga
dipaksa keluar dari wilayah RI yang ditandai dengan upaca pengakuan
kedaulatan Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari hasil KMB.