Anda di halaman 1dari 5

Tokoh tokoh dalam pertempuran Surabaya 10 november

1945

1.Hariyono dan Koesno Wibowo

Indonesia telah sah menjadi sebuah negara yang berdaulat terhitung pada
tanggal 17 Agustus 1945. Hal tersebut harusnya disikapi secara bijak oleh
semua kalangan. Lebih utama lagi, untuk mereka yang bertahun-tahun
menjajah Indonesia. Namun faktanya hal itu tak terjadi. Belanda masih saja
ingin merebut kedaulatan Indonesia. Pada tanggal 31 Agustus 1945,
pemerintah Indonesia memberikan maklumat agar sang saka merah putih
terus selalu dikibarkan di seluruh nusantara. Hal itu diamini oleh segenap
rakyat Indonesia. Namun, di sebuah hotel di kota Surabaya, sebuah
penghinaan telah terjadi. Adalah Ploegman seorang Belanda yang secara
diam-diam mengibarkan bendera Merah Putih Biru (bendera Belanda) di
sebuah tiang di atap Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit). Hal itu
dilakukannya di malam hari pada tanggal 18 September 1945. Tentu, ketika
pagi tiba dan rakyat Surabaya melihatnya, mereka merasa terhina atas apa
yang dilakuan Ploegman. Maka pemuda-pemuda Surabaya pun berkumpul
menggeruduk Hotel Yamato dan meminta Ploegman untuk menurunkan
bendera Belanda.

Ploegman bersikukuh untuk tidak menurunkan bendera tersebut hingga


akhirnya perkelahian terjadi. Ploegman tewas, sementara beberapa pemuda
Surabaya tewas ditembak kolega Ploegman yang membawa senjata. Dua di
antara pemuda yang menggeruduk hotel Yamato adalah Hariyono dan
Koesno. Ketika perkelahian pecah, keduanya pergi ke atap Hotel Yamato
dan serta merta menurunkan bendera Belanda. Tidak hanya itu, mereka
dengan berani merobek bagian biru bendera tersebut dan membiarkan
warna merah dan putih tersisa. Hal tersebut ditanggapi gemuruh oleh
pemuda lain yang menyaksikannya.

2.Jenderal Mallaby

Setelah kejadian perobekan bendera Belanda tersebut, pertempuran-


pertempuran di Surabaya terjadi lagi. Belanda yang memang datang dengan
diboncengi Inggris itu meminta bantuan negeri ratu Elizabeth tersebut
untuk menyerang kembali kota Surabaya. Sampai akhirnya ketika gencatan
senjata sudah terjadi, sebuah peristiwa genting terjadi. Brigadir Jenderal
Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby terbunuh di sebuah sudut kota
Surabaya. Jenderal Mallaby adalah jenderal tertinggi di Jawa Timur. Ia tewas
ketika mobilnya berpapasan dengan milisi Indonesia. Sebuah percekcokan
salah paham terjadi sebelum akhirnya dua anggota bersenjata beda kubu itu
saling melancarkan serangan. Dari pihak Indonesia ada satu orang yang
sampai sekarang tidak diketahui namanya yang menembak Mallaby hingga
tewas. Tidak hanya itu, mobil Jenderal Mallaby juga terkena granat, dan
akhinrya jenazah Mallaby sulit dikenali.

3.Bung Tomo

Pengganti Jenderal Mallaby mengisyaratkan rakyat Surabaya untuk tunduk


atas perintah Inggris. Hal itu disampaikan dengan selebaran yang ditebar
tentara Inggris lewat pesawat. Hal itu sekali lagi mencoreng dan diangap
menghina rakyat Indonesia. Bung Tomo yang memiliki nama asli Sutomo
adalah kepala departemen penerangan di Organisasi Pemuda Indonesia. Dia
adalah seorang orator sekaligus penyiar di Radio Domei (sekarang Antara).

Ketika dirinya mengetahui Inggris telah menyebarkan ribuan kertas yang


berisi agar Rakyat Surabaya tunduk, di situ Bung Tomo naik pitam. Dirinya
merasa apa yang telah dilakukan Inggris adalah bentuk penghinaan. Lewat
radio yang ia tukangi, Bung Tomo berorasi dan membakar semangat
perjuangan Rakyat Indonesia untuk menolak tunduk. Dirinya berpidato
dengan berapi-api dan menyebut “Dan untuk kita saudara-saudara. Lebih
baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap:
merdeka atau mati!“. Mayarakat Surabaya pun akhirnya terpekik. Dengan
gagah berani mereka hadapi tentara Inggris yang memang memiliki alusista
lengkap.

4.K.H Hasyim Asy’ari

Bung Tomo benar-benar membuat masyarakat Surabaya berani untuk


melawan. Hal tersebut juga didukung oleh Resolusi Jihad yang dikemukakan
K.H Hasyim Asy’ari yang menyebut jika seorang muslim yang membela
tanah air dan memertahankan negaranya dari penjajah adalah jihad. Dan
mereka yang gugur dalam perang adalah syahid. Karena itulah pada tanggal
9 November di pesantrennya, K.H Hasyim Asy’ari meminta ribuan santrinya
untuk turun gelanggang dan bersama-sama bertempur mengusir Inggris.
Beberapa orang pun diminta untuk mengawal resolusi jihad ini. Mereka
adalah Kyai Abbas dari pesantren Buntet Cirebon, Kiyai Haji Mas Mansyur,
Kiyai Wahab Hasbullah, Bung Tomo, dan masih banyak lagi.

Hingga akhirnya banyak masyarakat Indonesia yang bergelimpangan begitu


juga dengan tentara Inggris. Karena itulah tanggal 10 November 1945
diperingati dengan hari Pahlawan. Selain kelima nama di atas, ada ribuan
nama lain yang patut kita apresiasi jasa dan perjuangannya. Sebab karena
sosok-sosok pemberani yang rela mewakafkan nyawannya itulah kita bisa
tenang hidup di Indonesia. Jadi, peringatilah selalu hari pahlawan dengan
baik dan kenang selalu jasa mereka. Mengutip kata Bung Barno “Jangan
sekali-kali melupakan Sejarah!”

5. Sungkono

Tanggal 10 November membawa Sungkono, Komandan Badan Keamanan


Rakyat (BKR), ikut serta di garis depan pertempuran. Dia memimpin
langsung pertempuran yang berkobar di seluruh kota.

Lahir pada Minggu, 1 Januari 1911 di Purbalingga Kidul, Kabupaten


Purbalingga, Jawa Tengah, semangat berjuang Sungkono mulai terlihat sejak
bekerja di Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen (KIS) di Makasar. Dia
menuntut pemotongan gaji pada perusahaan Belanda Koniklijke Marine
(KM).

Kembali ke 10 November, peran vital Sungkono mulai terasa sejak malam 9


November 1945. Saat senjata yang digunakan anak buahnya mustahil
mengalahkan pasukan AFNEI, dia berkata ke anak buahnya,

“ Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya. Surabaya


tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau
meninggalkan kota, saya juga tidak menahan, tapi saya akan
mempertahankan kota sendiri.”

Semua anak buahnya tetap tinggal untuk berperang. Sungkono berkeliling


kota. Dalam kegelapan malam, dia menanyai anak buahnya satu persatu.
Membangkitkan gelora berjuang mereka.
6. Mohammad Mangoendiprojo

Pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan


Nasional pada Mohammad Mangoendiprojo. Sosok Mangoendiprojo dikenal
sebagai salah satu pejuang pada pertempuran 10 November 1945.

Mangoendiprojo merupakan pemicu pertempuran 10 November


1945. Peristiwa itu terjadi saat Mangoendiprojo ditugasi sebagai Kontak
Biro. Saat patroli keliling Surabaya untuk gencatan senjata pada 29 Oktober
1945, dia melihat pasukan Indonesia mengepung Gedung Internatio yang di
dalamnya terdapat pasukan Inggris dari Divisi Gurkha.

Mangoendiprojo masuk gedung untuk negosiasi. Tapi, dia justru disandera.


Terjadi tembak menembak yang akhirnya menyebabkan Mallaby tewas di
dalam mobilnya.
Pada pertempuran pada 10 November 1945, Mangoendiprojo ditugasi
sebagai Ketua Dewan Pertahanan RI Surabaya.

7. Moestopo
Moestopo merupakan tokoh lain di balik peristiwa 10 November 1945. Saat
peristiwa pergolakan di Surabaya meletus, pria yang
mengeyam pendidikan doktergigi itu memimpin pasukan Indonesia pada
pertempuran.

8. Laskar Hizbullah
Laskar ini adalah milik Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) yang
saat itu dipimpin Kiai Haji Wahid Hasyim. Salah satu pemimpin Hizbullah
yang terkenal di masa itu adalah Zainul Arifin (1909-1963) yang merupakan
tokoh Gerakan Pemuda Ansor.

Pejuang-pejuang Hizbullah turut gigih melawan tentara Inggri di Surabaya


setelah NU mengeluarkan keputusan penting yang kemudian dikenal
sebagai resolusi jihad. Isinya adalah berperang menolak dan melawan
penjajah itu fardlu 'ain (harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki,
perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak
lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang
berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang
cukup kalau dikerjakan sebagian saja)."

Anda mungkin juga menyukai