Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sejarah Indonesi” yang dibina oleh
Disusun Oleh:
Kelompok 5
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 SIMPULAN
REFERENSI
BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa-masa sulit, khususnya depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1930an,
industry perkebunan dan pertambangan di Indonesia menderita. Melemahnya perekonomian
menyebabkan penurunan permintaan produk perkebunan dan pertambangan sehingga
berdampak pada penurunan dan pendapaatan. Akibatnya banyak Perusahaan perkebunan dan
pertamabangan yang mengalami kesulitan keuangan, bahkan ada yang bangkrut. Situasi ini
juga menimbulkan konflik antara petani dan pemilik perkebunan, dimana petani terpaksa
bekerja dengan upah rendah dan seringkali dieksploitasi oleh pemilik perkebunan. Masa
malaise mempunyai dampak yang signifikan terhadap sistem perkebunan colonial di
Indonesia dan merupakan masa yang penuh tantangan bagi perekonomian negara.
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
Perkebunan dan pertambangan memiliki manfaat ekonomi yang signifikan pada masa
malaise. Berikut adalah beberapa manfaat dari perkebunan dan pertambangan pada masa
tersebut:
Manfaat Perkebunan:
Manfaat Pertambangan:
Dapat disimpulkan bahwa perkebunan dan pertambangan memiliki peran penting dalam
menjaga perekonomian pada masa malaise. Meskipun terdapat dampak negatif dari Krisis
tersebut, namun sektor perekonomian dan pertambangan tetap memberikan manfaat ekonomi
bagi Masyarakat.
BAB 2
PEMBAHASAN
Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas yang dikenal tertua dan terbaik di Hindia
Belanda. Pada abad ke 19, pengolahan kopi diambil alih oleh perkebunan pemerintah dan
menjadi salah satu komoditas, dan mendukung struktur system tanam yang diterapkan
pemerintah di akhir abad ke 19, sisa terakhir warisan sistem tanam (paksa) atas komoditas ini
dapat ditemukan di tahun 1919 (pengelolaan diganti dengan format konsesi pertanian dari
pemerintah). Sedangkan perkebunan kopi swasta muncul setelah tahun 1880. Pada Tahun
1870-1900 ialah tahun dimana pemerintah Belanda yang memberikan peluang pada
pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya di Hindia-Belanda yang dimana pada bidang
perkebunan.
Perluasan lahan perkebunan menyebar dengan cepat. Kesulitan kesulitan serius segera
dalam pengelolaannya, mulai dari munculnya penyakit daun yang disebabkan oleh jamur
(Hemileia vastratix) hingga jatuhnya harga komoditas kopi kopi di pasar internasional. Krisis
ini menimpa tanaman kopi hingga tahun 1908,
berikut beberapa dampak dari krisis malaise terhadap perkebunan kopi adalah:
Untuk Kembali bangkit dari masa krisis ini, Hindia Belanda kemudian melakukan Upaya-
upaya tak kenal Lelah untuk mencari varietas tanaman kopi baru yang lebih kuat dan
berkualitas baik agar memperoleh kepercayaan Kembali dari pasar ekspor.
Kopi jawa (Coffea Arabica) yang ditanam secara ekslusif selama periode 1900an
awal, hamper seluruhnya rusak karena penyakit di atas. Kopi Robusta (Coffea Robusta) yang
diimpor kongo pada tahun 1900 pun mulai diuji coba. Varietas yang mempunyai ketahanan
yang lebih kuat pada penyakit daun dan mempunyai tingkat produktivitas tinggi dan
memberikan sedikit harapan untuk kebangkitan perkebunan dan pengelohan kopi di Hindia
Belanda. Perkembangannya pun tidan kurang dari 84% dari total lahan kopi yang sebelumnya
terlantas pasca krisis tahun 1980 yang ditanami dengan varietas. Kopi Robusta juga
mengingkan tanah yang memiliki kualitas kesuburan yang baik, dan penaman kopi yang baik
adalah di ketinggian 1.000-2.500 kaki, dan memiliki titik evelasi yang lebih tinggi di tanah
vulkanik, Arabika adalah varietas kopi yang tumbuh paling baik. Ada juga Ekseperimen dan
Pengembangan untuk memperoleh varietas Kopi terbaik pun dilakukan melalui perkawinan
silang atas varietas yang sudah beredar.
Pada awal abad ke-20, perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama hingga
hampir memusnahkan seluruh pohon kopi. Akhirnya pemerintah kolonial Belanda
memutuskan untuk mencoba menggantinya dengan kopi yang lebih tahan penyakit, yaitu
kopi Liberika dan Ekselsa. Namun wilayah Timor dan Flores yang saat itu berada di bawah
kekuasaan Portugis tidak terkena hama, meski kopi yang ditanam di sana juga Arabika.
Selama kerusuhan yang terjadi pada akhir tahun 1920an dan awal tahun 1930an,
industri gula Indonesia menderita. Banyak pabrik gula bangkrut dan produksi gula menurun.
Di wilayah Karesidenan Jepara yang pada akhir tahun 1800an terdapat sembilan pabrik gula
yang bekerjasama dengan pemerintah, industri gula juga mengalami keterpurukan pada tahun
1930an. Banyak masyarakat yang bekerja di perkebunan tebu memilih bermigrasi ke sektor
lain seperti manufaktur dan jasa. . Di pabrik gula Sindanglaut di wilayah Cirebon, produksi
gula meningkat sebelum krisis Malaise namun menurun pada saat krisis.